BAB I PENDAHULUAN
Salah satu dasar dari gerakan oikumene adalah doa Tuhan Yesus, demikian Aku berdoa: "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21). 17:21). Dalam doa Tuhan Yesus ini ada beberapa pokok pikiran, a. Oikumene atau kesatuan k esatuan adalah kehendak Allah. Penegasan ini penting supaya tidak ada pribadi atau lembaga apa pun mengklaim diri sebagai pencetus, penggagas, pembangun oikumene. Dengan demikian oikumene adalah konsisten sebagai gerakan yang dimulai dari pikiran Allah, sebagai impian atau visinya terhadap Tubuh Kristus di masa mendatang. b.
Tritunggal adalah model nya. Oikumene yang diidamkan Tuhan harus harus memiliki model atau type. Ungkapan seperti “Engkau dan Aku” menunjukkan bahwa pola, model
dan
relasi
dalam
lembaga
Tritunggal
adalah model
yang
ideal
membangun atau mewujudkan oikumene. c.
Doa memegang peran sentral dalam oikumene. Kesatuan dalam Tubuh kristus diletakkan dalam kontruksi konteks doa, do a, bukan kebentulan. Pesan tegas ingin disampaikan Tuhan, bahwa oikumene adalah „usaha‟ Tuhan sendiri, dan doa adalah factor dominan mewujudkan oikumene.
d. Okumene dan implikasinya. Ada target dan goal besar yang akan dihasilkan sebagai implikasi dari oikumene. Point-point ini akan dipertajam pada bab-bab berikutnya. A. TERMINOLOGI OIKUMENE
1
istilah dalam bahasa Yunani, 'oikos' yang berarti: rumah, tempat tinggal, istana, kota, 1
2
keluarga, keturunan, bangsa, kekayaan ; sedangkan 'menein' berarti: tinggal atau berdiam. Pada dasarnya kata Oikumene sama sekali tidak ada hubungan atau bersangkut paut dengan gereja. Karena yang dimaksud dengan kata Yunani ini adalah dunia yang didiami dalam pengertian politis. Jadi istilah Oikumene sebenarnya berasal dari suasana politik, lalu dipindahkan ke dalam situasi gereja. Dr. W.H. Visser't Hufft mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di dalam sejarah, yaitu Oikumene adalah seluruh dunia yang didiami; seluruh kekaisaran Roma; gereja seluruhnya; gereja yang sah; hubungan-hubungan beberapa gereja atau orang Kristen yang pengakuannya berbeda-beda; usaha dan keinginan untuk mendapatkan keesaan Kristen. Kamus
besar
bahasa
Indonesia
mendefinisikan oikumene “gerakan yg bertujuan
menyatukan atau menghimpun kembali gereja sedunia dan akhirnya menyatukan segenap umat Kristen
”
Berbicara perihal Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja. Sebab Oikumene dan Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan Oikumene adalah perwujudan Keesaan Gereja. Dalam sejarah perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia yang memakan waktu yang panjang, maka di dalamnya juga pengertian 'keesaan' mengalami berbagai perkembangan. Hal ini dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan rapat BPL PGI yang sudah diadakan. Wujud keesaan yang dirindukan dan yang berhasil ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja dengan mempunyai wadah bersama di tingkat lokal, wilayah dan nasional yang dapat berunding, mengambil keputusan bersama; dengan mempunyai satu pengakuan iman dan tata gereja yang berlaku bagi semua; serta setiap gereja saling menerima, saling mengakui sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja Tuhan yang kudus dan am. Namun
1
Di PB muncul 114x, lih. Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear , LAI, h. 565-566. Dari kata kerja ‘ menw’ (118x), ibid hal 510-511.
2
2
rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih menekankan organisasi daripada kesatuan dalam paham atau ajaran.
12
Oleh sebab itu ada beberapa gereja yang menolak
pandangan ini, sehingga paling tidak masih ada dua pandangan lain yang berbeda mengenai keesaan gereja, yakni: 3.1. Keesaan Gereja itu secara rohani
Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan arti gereja yaitu adanya gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam Kristus. Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani. 3.2. Keesaan gereja terletak dalam berkata dan berbuat
Seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan dalam karya/tugas sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman atau kesatuan gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh Kristus di dalam doaNya, maka itu terletak di dalam berkata-kata dan berbuat seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak. B. PENGERTIAN YANG SALAH TENTANG OIKUMENE Beberapa kalangan
dan beberapa periode oikumene dipersepsikan,
dianalogikan,
diposisikan atau diterjemahkan sebagai “Usaha bersama seperti natal, baksos, paskah bersama, konsultasi
dan pertemuan bersama ”. Persepsi yang demikian
tentu ada beberapa factor yang menyebabkan, seperti :
Minimnya literature
yang
memberikan
kajian
dan
penjelasan
yang tepat
mengenai oikumene.
Cermin dari kesadaran baru dari gereja-gereja, secara khusus di Indonesia tentang pentingnya oikumene.
Alam berpikir pragmatis, suatu kecenderungan mencari factor-faktor simple dan simpulnya saja.
3
Perbuatan konkret lebih menyimbolkan dalam pemaknaan.
Penerjemahan yang salah, tentu berakar dari persepsi pemaknaan yang juga salah, sebab oikumene sering dipahami “suatu usaha untuk menyatukan seluruh gereja, dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu kuasa administratif. Pendek kata, menjadikan satu semuanya (uniformitas) ”
Implikasi dari persepsi yang salah menyebabkan penjabaran berikutnya mengalami distorsi. Maka sangat tidak mengherankan jika ada pemimpin gereja yang pesimis bahwa oikumene adalah “SEBUAH KEMUSTAHILAN”. Mengapa mereka pesimis ? karena mereka berpikir bahwa Keesaan atau oikumene adalah penyeragaman. Dari awal “model oikumene” tidak dimaksudkan penyeragaman. Berarti oikumene adalah usaha radikal yang mana “seluruh gereja, dengan berbagai latar belakang, berlainan suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi dileburkan menjadi satu ”.
Pada akhirnya oikumene harus dimaknai sebagai “suatu sikap iman yang mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama”.
Esensi oikumene tidak bisa dilepaskan dari akar kelahirannya bahwa Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja.
C. LATAR BELAKANG OIKUMENE Para sarjana dan Sejarawan gereja tidak memiliki kata sepakat perihal titik tonggak kelahiran gerakan oikumene
yang
bertalian
dengan
gereja. Seperti halnya dengan
kekristenan di Indonesia yang merupakan "barang impor" dari Eropa, demikian juga dengan Oikumene. Oikumene merupakan warisan dari gereja-gereja di Eropa yang kemudian mendarat di bumi Indonesia. Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai? Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya,
4
di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Nanti pada konperensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda. Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order. Dewan ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia. DGD (Dewan gereja-gereja sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konperensi persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah SR X th. 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene. Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia. D. SIGNIFIKANSI OIKUMENE DALAM PERSPEKTIF EKLESIOLOGI Topik ini akan dibahas di bab berikut, namun platform tentang nilai penting dan tujuan oikumene sepantasnya dipetakan dari awal. Ada beberapa kisi yang menarik dalam mempelajari „gerakan‟ Oikumene :
5
Pertama, keragaman di Tubuh 3
keindahan gereja,
Kristus
atau gereja, pada satu
sisi sebagai
tapi di sisi lain juga sebagai „bom waktu‟ yang bisa membumi
hanguskan eksistensi dan missi gereja. Kedua,
gereja
bukan komunitas
fiktif
di dunia. Pergulatan
gereja
dalam
membangun eksistensinya di dunia, bukan saja untuk kepentingan pembangunan jati 4
dirinya, tetapi juga predikatnya sebagai “garam dan terang dunia” (Mat. 5:13-16). Jatuh bangunnya gereja
untuk meraih
prestasi
gemilang mewujudkan organisme
yang
menerangi sangat menarik untuk dikaji.
3
D. A. Carson, Gereja Jaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang : Gandum Mas, 1997), h.
55-56. 4
John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF); band. John Stott, The Living Church , (Jakarta : BPK. Gunung Mulia) dan D. A. Carson , Gereja Jaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang : Gandum Mas, 1997), h. 31.
6
BAB II TINJAUAN ALKITAB TENTANG OIKUMENE
Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan beberapa kali. Dalam septuaginta, kata Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadangkadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1, bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan P.B. itu sendiri. Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh dunia/oikumene (Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17, band. Lukas 21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5; Wahyu 3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas. Jadi sebenarnya secara harfiah arti istilah Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda dengan yang diartikan oleh Gerakan Oikumene dewasa ini. 4.2. Keesaan menurut Yohanes 17:20-26
Tujuan utama Gerakan Oikumene yakni terwujudnya keesaan gereja. Dan sebagai landasan Alkitabnya sering menggunakan Yohanes 17:21. Tetapi apakah memang Keesaan Gereja yang telah dirumuskan itu sesuai dengan Yoh. 17:21? Ada beberapa bagian Alkitab yang ada sangkut pautnya membicarakan mengenai keesaan gereja. Salah satu di antaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20-26. Bagian ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang percaya/gereja yang universal. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan kemuliaan Ilahi. Tetapi apa yang dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya dibandingkan dengan kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a). Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan
7
merupakan suatu analogi. Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak. Namun selanjutnya kesatuan yang dimaksud dalam doa Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan dalam dua cara; yaitu: 1. Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan Anak ada dalam kekekalan. Keduanya ini jelas sifat dasar kesatuan antara Bapa dan Anak yang rohani dapat bersatu menghadapi dunia ini. Ketika orang percaya bersatu dalam iman mereka ini, maka mereka mempunyai kuasa dan pengaruh dalam menghadapi dunia. 2. Kesatuan yang diutarakan oleh Berkouwer, yaitu yang dimaksud dalam bagian ini (Yoh. 17:21), bukan 'kesatuan yang mistik' atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi kesatuan kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak, yang dapat dilihat oleh tiap-tiap orang. Kedua cara/pandangan di atas mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan di antara orang percaya dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih dahulu ada kesatuan kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang percaya perlu suatu perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal keyakinan pada dasarnya adalah rohani; dan kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah rohani (I Kor. 1:2,9; 12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan/perwujudan dalam kehidupan (band. Efesus 4:1-6). Tuhan Yesus dalam doaNya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada dasarnya adalah rohani, namun hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh tiap-tiap orang. Pembahasan lebih lanjut akan menelaah mengenai kesatuan (kesatuan diartikan sama dengan keesaan, hal ini diterima oleh kebanyakan tokoh gereja hingga saat ini) di antara orang percaya. Kesatuan di antara orang percaya hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus (Yoh. 17:20). Kesatuan di antara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan (ay. 17-19), kemuliaan (ay. 22,24) dan kasih (ay. 23,26), semuanya untuk dapat dilihat orang (ay. 21,24). 8
Bapa dan Anak secara zat/esensi adalah satu (Yoh. 10:30), sehingga apa yang Bapa miliki juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15). Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada manusia, maka itu tidak akan berarti dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus yang mulia harus datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14; band. Yoh. 17:24). Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di atas kayu salib (Yoh. 3:14-17; band. Fil. 2:8). Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada manusia (Yoh. 14:9-10). Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Allah Bapa, dan sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu diwujudkan melalui perbuatan-perbuatanNya (Yoh. 14:11). Segala sesuatu yang Kristus lakukan dan katakan semuanya sesuai dengan kehendak Allah Bapa (Yoh. 8:28; 14:24). Jikalau kesatuan orang percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21), maka kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan Allah. Kesatuan di antara orang percaya/gereja akan terwujud jikalau orang percaya/gereja melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru Selamat (ay. 21,23). Berhubungan dengan kemuliaan, jika orang-orang percaya menyatakan kemuliaan Kristus, maka ini akan menghasilkan kesatuan asasi. Pemahaman tentang kesatuan di antara orang percaya/gereja di atas, hampir sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu, adalah terletak dalam berkata dan berbuat seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak: Perkataan dan perbuatan mereka harus mendemonstrasikan Firman dan karya Kristus dan Bapa. Di situlah mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua itu terjadi, maka dunia akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus Kristus untuk menyelamatkan dunia ini. Berdasarkan hal ini, maka tidak benar untuk menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yoh. 17:20, 21, sebagai amanat untuk mendirikan satu gereja yang esa. 4.3. Keesaan menuju Kedewasaan Iman 9
Orang Kristen dipanggil untuk mendemonstrasikan perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan sehingga tercipta kesatuan asasi. Namun bagaimana itu dapat terwujud dan apakah itu menjadi tujuan akhir? Dalam meneropong hal ini, Firman Tuhan akan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di mana bagian ini juga sering dipergunakan para ahli/tokoh Oikumene dalam membahas mengenai Keesaan Gereja. Keesaan (=kesatuan) gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus (ay. 2-3, band. I Kor. 12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata, terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya. Dalam mencapai keesaan di antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah kerendahan hati (ay. 2). Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang untuk lemah lembut dan sabar; selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena kasih itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang lain (I Kor. 13:4-7). Kesatuan di antara orang percaya/gereja bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12). Kesatuan dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus, supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan dalam kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman (Ef 4:13-16).
10
BAB III MODEL OIKUMENE DI INDONESIA
Perkembangan oikumene
yang
pada
mulanya
merupakan
kesadaran
pentingnya
keesaan gereja telah menjadi usaha dan model membangun keesaan gereja. Namun sebelum mempelajari model oikumene di Indonesia, adalah masuk akal jika sisi penghalang atau rintangan besar gereja di Indonesia dalam membangun oikumene di Nusantara. A. Tantangan Oikumene Di Indonesia
Usaha mewujudkan oikumene di Bumi Indonesia, bukan saja mengalami pasang surut, tetapi juga memiliki tantangan yang “Bhineka”. Kajian ini bersifat historis dan Indonesiawi, termasuk korektif (terbuka) terhadap kajian yang lebih bertanggung jawab dan ilmiah. Ada
dua klasifikasi tantangan oikumenikal
di
Indonesia, Pertama adalah
aspek
internal (dari dalam gereja), dan yang Kedua adalah aspek eksternal (dari luar gereja). i.
Aspek Internal
a. Hubungan Katolik dan Kristen Pasca reformasi gereja yang dimotori Marthin Luther pada tahun 1517, maka Potret gereja yang tunggal “am” “Katolik” menjadi tidak utuh. Pembangkangan Luther melalui 95 dalilnya di gereja Wittenberb merupakan perlawanan terbuka terhadap otoritas dan ajaran Gereja Katolik Roma. Perjuangan Luther bukanlah perjuangan pertama, karena 5
sebelum 1517 sudah ada „benih- benih” perlawanan
5
yang dilakukan „kaum posisi
Gerakan reformasi (pembaruan) yang terjadi di Perancis yang dipimpin oleh Peter Waldo, yang di kemudian hari dikaitkan dengan gereja Waldensis (abad 12) yang peta persebarannya ada di Italia atau dikawasan yang banyak imigran Italia seperti Uruguay. John Hus (Yohanes Hus; 1369-1415) dari Bohemia (Cekozlovakia) pada era yang sama dengan Waldo juga bergerak dalam perjuangan reformasi yang sama. Yohanes Hus dan aliran yang didirikan di kemudian hari bergabung dengan gereja Calvin. Lih. Yahoo Answers. Band. Henk Ten Napel , Kamus Teologia (Jakarta : BPK. Gunung Mulia).
11
gereja” terhadap hegemoni gereja Katolik yang dianggap sudah menyimpang pada waktu itu. Harus diakui bahwa perbedaan antara Katolik dengan Protestan cukup mendasar dan pada
point
vital, Pertama dalam konteks
Penafsiran
Alkitab. Selain
menganut paham SOLA SCRIPTURA, tapi juga SOLA GRATIA yang merujuk pada 6
Bapa Paus, Bishop dan Para Pastorlah yang berhak menafsirkan Kitab Suci , karena mereka mendapat sola gratia (rahmat). Kedua, perbedaan dasar pada Matius 16:18, Gerja Katolik mengklaim batu karang “Petrus” adalah Santo Petrus, dan pada suk sesi berikutnya merujuk pada para Paus sebagai wakil Petrus. Sedangkan gereja Protestan 7
meyakini bahwa Batu karang sendiri. Ketiga, gereja
sebagai dasar gereja adalah Tuhan Yesus Kristus
Protestan hanya
mengakui
Kitab
Suci
sebagai
sumber
pengajaran gereja, tetapi gereja Katolik mengakui tradisi suci sebagai pendamping Kitab
Suci
sebagai
sumber
pengajaran gereja. Keempat , pada
symbol
salib
di
Protestan tidak ada Tubuh Kristus (corpus Christy), sedang Katolik sebaliknya. Kelima, katolik mengakui ada 7 macam sakramen, yaitu Baptis, Krisma, tobat, ekaristi, imamat, pernikahan dan sakramen pengurapan orang sakit. Protestan hanya memiliki dua sakramen,
yaitu
Baptisan
air
dan
Perjamuan
Kudus. Keenam, gereja
Katolik
merupakan Persekutuan para kudus (santa), dan mereka menjadi „perantara‟ para umat ber-devosi, asalkan tetap ditujukan kepada Tritunggal. Protestan menolak ajaran seperti ini, karena hakekat gereja adalah “persekutuan orang percaya kepada Kristus” dan hanya Kristus lah sebagai pusat iman (Kristosentris). Pada
posisi sepeti inilah,
oikumene Protestan
dengan
Katolik
berhadapan
dengan tembok besar dan tebal. Oikumene yang diakui Katolik adalah oikumene homogeny (di dalam Tubuh Katolik). Hubungan Katolik dengan Protestan bukan saja mengalami pasang surut, tetapi berat karena merupakan dua kekuatan besar aliran dunia dalam hal religi. b. Pluralitas di Tubuh Protestan Pasca pemisahan diri dari gereja Katolik, aliran Protestan mengalami dinamika yang luar biasa dan kompleks. Ketika gerakan reformasi masih berumur jagung, sudah 6
Stefan Leks, Kanon Alkitab (Yogjakarta : Kanisius). Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru jilid I, III (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1994).
7
12
Nampak benih resistensi, para pelopor reformasi, sudah berselisih tentang doktrin, seperti Marthin Luther dengan Zwingly. Embrio perpecahan dari perbedaan, semakin kuat dan bias dengan munculnya pengelompokan Methodis, Wesleyan, Lutheran, Baptis, Injili, Calvinis. Di perkembangan selanjutnya Tubuh Protestan semakin membengkak dengan „menempelnya‟ aliran Pentakosta, Advent hari Ketujuh, Bala Keselamatan, dan terakhir adalah Kharismatik. Jika
dibedah
dengan
saksama
maka Pluraliatas
di tubuh
Protestan umumnya
disebabkan atau juga dilatari karena : perbedaan teologi, Organisasi gereja, Orientasi Missi, Pemerintahan Gereja, Liturgi dan Tradisi. Aliran Protestan di Indonensia warnanya semakin terorganisir dengan tampilnya organisasi Aras Nasional, seperti : PGI (Persekutua Gereja di Indonesia), PGLII (dulunya PII = Persekutuan Injili Indonesia), GBI (Gereja Baptis Indonesia), GMAHK (Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh), PGPI (Persatuan Gereja Pantekosta Indonesia), Bala Keselamatan. Secara eksplisit organisasi gerejawi yang
beragam ini merupakan cerminan
bahwa oikumene di Indonesia sangat menantang dan Potensial. (27/8/13) c. Pluralitas dalam teologi Protestan Pokok bahasan ini merupakan akar dari pembahasan sebelumnya. Ragam organisasi aras nasional merupakan implikasi dari pluralitas teologia protestan di Indonesia. Pada awal persebarannya, hanya ada dua kekuatan kekristenan, yaitu Katolik dan Protestan. Pada perkembangan selanjutnya aliran Protestan di Indonesia mengalami dinamika yang atraktif. Semula
hanya
dipisahkan
dengan
hanya
Calvinis dan
Arminian,
selanjutnya meluas berbentuk percabangan-percabangan (sub organisasi/sub teologi). 8
Kelompok Calvinis mutasi menjadi Injili, Reformed dan Oikumenikal (mainstream).
Pengelompokan ini jika didiagnosis akan mengerucut pada perbedaan teologi. Dan jika dirunut lagi, maka akan muncul tema-tema teologi yang menjadi akar pluralitas di Protestan. Beberapa
tema
yang menjadi
8
titik resistensi adalah
Stevri Lumintang, Teologia Reformasi (Batu : YPPII)I
13
:
Soteriologi,
eskatologi, Pneumatologi dan Missi. Khusus soteriologi menjadi topic yang paling dominan memberi sumbangsih terjadinya keragaman teologia di Tubuh Protestan. d. Gerakan Pantekosta-Kharismatik dan dilematikanya
Gerakan Pantekosta merupakan gerakan kebangunan rohani dalam kekristenan modern 9
yang cukup mengubah peta perkembangan agama Kristen . Revolusi gerakan kesucian lebih tajam, revolusi ibadah yang tidak lagi formas-liturgis, revolusi pemberdayaan kaum awam,
revolusi
penginjilan
dan revolusi konsep
gereja
local. Khusus point
terakhir, gereja local yang dipahami sebagai komunitas orang-orang Kristen dari suatu organisasi gereja dan beroperasi melalui fasilitas bangunan sebagai sarana tempat ibadah, telah bergeser pada unit kecil (jumlah sangat minim) orang-orang Kristen yang beribadah kepada Tuhan, tanpa dukungan tempat yang ideal. Gerakan Pantekosta akhirnya menjelma menjadi gereja atau sebagai komunitas yang eksistensinya diakui, walaupun melalui
proses yang lumayan rumit dan panjang. Hal
tidak lepas dari respon gereja arus utama (mainstreams) yang lebih dahulu berkiprah. Bahkan sempat gerakan Pantekosta, diposisikan sebagai aliran yang bidat. Gerakan 10
Pantekosta memiliki tiga pilar idealism dalam gerakannya : Pertama, Orthodoksi (Keyakinan yang benar). Semangat mengembalikan Alkitab sebagai pusat kehidupan kekristenan, yang pada abad ke 19 mulai diracuni teologia 11
modern yang dimotori Karl Barth dan Rudolph Bultmann . Alkitab yang selama ini menjadi pusat teologi, mulai digoyang, namun pada saat yang bersamaan muncul gerakan Pantekosta yang dengan „tulus‟ menerima dan meyakini innerancy Alkitab yang justru mulai diragukan para teolog modern yang notabene berumah di gereja „arus
utama.‟ Dr. Jackie David
Johns dalam
bukunya “”Kepemimpinan
Formatif
12
Pentakosta” , mengamati bahwa Alkitab adalah refensi vital bagi gerakan Pantekosta. Perjumpaan Alkitab dengan
orang
Kristen, dianggap
9
perjumpaan
dengan
Allah
Sumral Lester, Perintis Iman (Jakarta : Yayasan Pekabaran Imanue, 1997l), h. 43. Wikipidia.org 11 Lih. Harvie Conn, Teologia Kontemporer (malang : SAAT, 1996) dan Band. Etta Linneman, Teologia Kontemporer (Malang : Dept Literatur Yppii, 1996). 12 Wikipidia.org 10
14
sendiri. Bagi gerakan Pentakosta, Alkitab dan Roh Kudus memiliki peran sangat penting dalam spiritualitas Pantekosta. Kedua, ortopati (perasaan yang benar). Rasionalisme telah mengebiri perasaan manusia dalam beberapa percaturan kehidupan. Emosi dipasung karena dianggap labil dan bertentangan dengan rasio. Teologia modern nampaknya mengaminkan apa yang diusung oleh alam pikir manusia modern. Gerakan Pantekosta mencoba menerobos kekakuan dalam beragama, dengan memberikan „ruang bebas‟ untuk emosi manusia berekspresi dalam ibadahnya kepada Tuhan. Ibadah gereja yang kaku dan beku dianggap bagian dari ibadah yang anti emosi. Penerjemahan orthopati Nampak pada ekspresi sukacita, tepuk tangan, menangis dalam ibadah di gerakan Pantekosta. Harus diakui penyimpangan tetap ada dalam penonjolan perasaan lebih daripada rasio, dan salah satunya adalah gerakan Pantekosta diposisikan sebagai gerakan Kekristenan yang 13
anti intelektual.
Ketiga, Ortopraksis (refleksi dan penerapan yang benar). Sejarah gereja bagai siklus musim. Ada masa-masa gereja “beku spiritualitas”, ada masa “bergairah dalam spiritualitas”. Periode-periode dalam sejarah gereja nampaknya hanya kita jumpai warna pengkutuban seperti itu. Hanya berumur 3 abad gereja bergairah membangun Siritualitas pasca reformasi melalui gerakan Protestan yang dipelopori Luther dan Calvin. Akhrinya gerakan Protestan kembali masuk pusaran Syndrome stagnan, bahkan membiarkan
teologi
modern berkiprah
dalam gereja
modern,
yang mulai anti
Orthodoksi, hal-hal adikodrati dan nilai-nilai kekristenan lainnya yang selaras dengan ajaran gereja rasuli. Bagi gerakan Pantekosta Alkitab bukan sekedar menjadi bagian penting dalam ibadah (dikhotbahkan), tetapi juga untuk ditaati / dipraktekkan. Spirit inilah yang ditekankan oleh gerakan Pantekosta. Alkitab harus kembali menggarami dan menerangi setiap sendi kehidupan gereja non ibadah, seperti pernikahan, dunia kerja, hubungan dengan sesama dan sendi kehidupan lainnya. Ron Auch, penulis 14
“ gerakan Pantekosta di dalam Krisis ”, seolah mengingatkan kita kembali pada siklus
13
John Stott, Berpikir dan Beriman (Jakarta : PERKANTAS), h. 13. Ron Auch, Gerakan Pantekosta Di dalam Krisis (Malang : Penerbit Gandum Mas).
14
15
sejarah, akhirnya gerakan Pantekosta menjadi stagnan kembali dan digantikan oleh gerakan Kharismatik atau neo Pantekosta. (3/9/13) Kelemahan dari gerakan dan gereja Pantekosta dalam perspektif oikumene, cenderung anti social. Gerakan Pantekosta dan kharismatik cenderung menempatkan diri sebagai “kelompok ekslusif”. Hal ini harus dipahami karena bagi gerakan kharismatik
dan
juga
Pantekosta, “menjauhkan
diri dari
dunia”
adalah
langkah
Alkitabiah untuk mewujudkan kekudusan. Gerakan Pantekosta cenderung menghakimi gerakan atau gereja non Pantekosta sebagai komunitas yang „sesat‟ dan tanpa Roh Kudus. Kesadaran pentingnya
ber-oikumene
di kalangan
Pantekosta muncul
ketika
mereka juga menyadari pentingnya system organisasi gereja yang lebih kuat. Pada tahap inilah, gereja Pantekosta mulai membuka diri untuk terbuka pada aliran lain yang memiliki system organisasi yang sudah baku dan tertata. Dalam mempelajari oikumene, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari gerakan misi, karena titik tumbuk, titik temu dan titik perceraian ada di missi.
Misi dalam sejarah gerakan misi sedunia, yang terpolarisasi dalam dua kubu, yakni oikumenikal dan evangelikal / injili . Baik oikumenikal maupun injili, keduanya
memulai pada konsep misi yang sama, yakni konsep misi warisan orthodoxy, namun kemudian keduanya, masing-masing berubah membentuk kutub polarisasi, yang masingmasing jatuh pada upaya mengformulasi misi secara sempit. Kubu oikumenikal sangat menekankan pada pemahaman "kontekstual", sehingga cenderung meninggalkan atau mengabaikan "teks", sedangkan kaum injili sangat menekankan pada pemahaman misi yang
"tekstual",
sehingga
cenderung
mengabaikan"konteks".
Reformed lebih banyak dikenal dengan doktrinnya, dari pada misinya. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, terdengar atau terucap bahwa doktrin reformed bertentangan dengan misi gereja-gereja masa kini. Komentar mereka ini, tentu bukanlah komentar tanpa dasar, oleh karena pengaruh kaum Reformed liberal (teolog liberal) yang tentu telah
16
menyimpang dari azas-azas utama ajaran Reformed (Calvinisme). Selain itu, banyak misiolog memandang sistem teologi Reformed dengan sebelah mata, hal itu tidak bisa disalahkan oleh karena yang mereka lihat ialah apa yang ditampilkan oleh para penganut Hyper-Calvinist, yang memahami sistem teologi Reformed secara keliru dan ekstrim. Sedikitnya, inilah tantangan misi kaum Calvinist masa kini, khususnya di Indonesia. Di Indonesia, paling sedikit ada dua paradigma misi kaum Reformed. Pertama ialah paradigma misi kaum Reformed yang berada di bawah payung Persekutuan GerejaGereja Indonesia (PGI) atau yang menyebut gereja aliran arus utama (Oikumenikal). Kedua ialah paradigma Calvinist yang menyebut diri Reformed Injili Indonesia.
Secara statistic Tantangan gereja reformed di dunia, secara khusus di Indonesia ada empat golongan. Pertama, ialah dari golongan non reformed, seperti
kaum Pelagius
dampai arminianisme. Soteriologinya yang Anthropo-centris sangat mendukung gerakan misinya. Dan kelompok ini adalah pelaku misi mayoritas di Indonesia. kedua, dari golongan kaum reformed yang „murtad‟ yaitu penganut metode historis kritis (kaum liberal). Uniknya walau
ajaran mereka „liberal‟
namun mereka merasa bagian dari
reformed. Golongan ini memandang bahwa orang Kristen dan non Kristen adalah setara dalam misi karena sebagai agen misi Allah di dalam dunia ini. Ketiga, yaitu golongan hyper-Calvinisme, semula mereka seirama dengan reformed namun karena tidak puas dengan beberapa topic ajaran teologi reformed seperti dosa asal mula dosa yang mereka yakini sebagai Allah lah penciptanya. Kelompok ini juga memaknai kedaulatan Allah sedemikian rupa dan akhirnya mengabaikan sisi tanggung jawab manusia. Tentu hal ini sudah jauh dari yang dimaksudkan Calvin dan Calvinisme. Implikasi pandangan kelompok
ini
akhirnya
berimplikasi
pada
ranah
praktika
kehidupan
Kristen, secara khusus tugas misi gereja. Keempat , golongan Calvinis yang „salah kaprah.‟ Penekanan mereka bermuara dari keyakinan Calvin tentang Kerajaan Allah yang menggarami dunia. Membawa kaum ini hanya menekankan satu bidang misi saja, yaitu misalnya bidang politik, sehingga justru melahirkan makna misi yang tidak seimbang bahkan tawar. Dengan kasus seperti ini pun, kaum reformedlah yang kena getahnya, dituduh telah menyimpang dari panggilan Allah.
17
Keempat
golongan
ini
tentu
secara
eklesiologis
telah
member
andil
terpojoknya kaum reformed sebagai kelompok yang „adem ayem‟ dalam penginjilan atau bermisi. Namun demikian apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh keempat kelompok
tersebut bisa
menjadi
referensi
pembanding kaum
reformed
dalam
bermisi, tentu sebagai referensi sekunder. Jika
kaum
reformed
mau membangkitkan
tanggung
jawab
misinya
di
Indonesia, maka bukan semata-mata karena „sengatan empat golongan‟ tersebut, tapi harus merunut dan memformulasikan paradigma misinya dengan melihat data sejarah sejak abad 16 sampai abad yang lalu. Paling tidak dari diagnosis sejarah ada beberapa hal yang mengemuka atau menonjol dalam gerakan misi kaum reformed : (1). Hampir lima abad kaum reformed
berkibar, namun topic yang hangat
diperbincangkan dibahas, didiskusikan dan diperdebatkan adalah tema-tema doctrinal. Energy perhatian daripada golongan reformed tereduksi dengan usaha „pemberdayaan dan pematangan doctrinal.‟ (2). Tentu
formulasi
ini
berimbas
pada
langkah melihat doktrin
dengan
implementasi dalam praktek hidup, termasuk pada tanggung jawab misi. Dalam konteks inilah kaum non reformed akhirnya mengambil kesimpulan bahwa antara pemahaman doctrinal dengan tanggung jawab misi tidak ada hubungannya. Dan bukan hanya itu, tanpa akurasi data riset yang bertanggung jawab kelompok ini menghakimi kaum reformed mandul dalam bermisi karena terjebak ajaran „kedaulatan Allah dan predestinasi.‟ Penulis
buku
tanggung jawab
mencoba
misi golongan
menjernihkan reformed
simpang
siur
penyebab
mandulnya
sebenarnya bukan karena system dan
substansi doktrin reformed yang salah. Menurut pandangan penulis penyebabnya merosotnya tanggung jawab misi kaum reformed di dunia dan Indonesia adalah karena pengaruh kaum hyper-calvinisme dan teologi liberal yang „berjubah reformed‟ tapi mereka tidak memiliki paradigm misi yang memadai. Ada dua penyebab sementara yang menjadi persoalan misi kaum reformed. Pertama, system doktrin yang diasumsikan mempengaruhi paradigma misi kaum 18
reformed. Sedangkan yang kedua ialah fenomena historis bahwa memang gereja-gereja yang menganut ajaran Calvinisme (reformed) mengalami kemerosotan dalam bermisi dibandingkan kelompok gereja non Calvinis. Tentu penulis buku ini tidak menyorot seorang diri perihal kemerosotan misi kaum reformed : (10/9) a. Greenway mengamati dan berkomentar bahwa persoalan system doktrin dan kenyataan historis harus diakui sebagai penyebab kemerosotan
gereja-
gereja reformed dalam bermisi. Termasuk di Indonesia. b. Para akademisi, Kalangan STT, pendeta gereja-gereja dan misiolog dan praktisi misi menyorot bahwa system doktrin telah menggeser paradigma misi gereja reformed di Indonesia. Akhirnya mandul dan stagnan, padahal jika dibandingkan dengan sejarah pekabaran Injil di Indonesia, justru gerejagereja reformed yang menjadi „perintis misi‟ (babat alas) lahirnya gereja di Indonesia. Penulis juga menambahkan bahwa disamping dua pokok persoalan di atas, secara khusus di Indonesia gereja-gereja berlatar belakang reformed kenyataannya tidak banyak berbicara
dan
terlibat
dalam
penanaman
pertumbuhan
gereja,
dan
pribadi, pengumpulan dana pertemuan doa
misi. Inilah
untuk
kegiatan-kegiatan misi, pengutusan tenaga-tenaga
kegiatan
kondisi
seperi
yang
misi
lintas
budaya
penginjilan,
misi,
penginjilan
dan
pertemuan-
sedang
terjadi di dalam
gereja-gereja
untuk
menyanggah apa
yang
reformed di Indonesia. TANGGAPAN DAN RELEVANSI
Tanggapan personal
ini
tidak
dimaksudkan
sudah
disajikan oleh penulis buku. Secara khusus gereja-gereja yang beraliran reformed, seharusnya berterima kasih atas terbitnya buku MISIOLOGIA KONTEMPORER yang telah memberikan kritik, argumentasi dan rekomendasi agar gereja aliran reformed „bangkit‟ untuk bermisi kembali. Untuk bermisi di Indonesia, ada beberapa saran sebagai tanggapan setelah membaca buku misiologia kontemporer, secara khusus bab VIII, point B. 19
a. Gereja reformed dan non reformed perlu bersinergi dalam menjalankan amanat agung Tuhan Yesus. Tidak mungkin misi diusung gereja tertentu. Sinergi sangat penting, karena beberapa alasan : i.
Desaign tubuh Kristus sudah jelas, bahwa secara anatomi kita didesaign saling
butuh,
saling
menunjang dan
saling
menghormati demi
terwuudnya unity, termasuk unity dalam bermisi. ii.
Sinergi menghasilkan energy / daya yang lebih besar atau maksimal.
iii.
Sinergi membuat kita lebih tangguh dan kuat. Alam sendiri memberi analogi bahwa berjejaring (jala) mampu menangkap ikan lebih banyak dibanding dengan „model pancing‟ (satu pancing satu ikan).
b. Gereja reformed di Indonesia perlu belajar dari sejarah misi gereja reformed belanda di Indonesia, pada intinya mereka giat dan taktis dalam bermisi. Walau pun sempat ada tuduhan sejarah bahwa gereja membonceng pihak colonial. Jika gereja reformed
yang
merintis
misi
di Indonesia ada masalah di system
teologinya, pasti misi mereka juga stagnan. Dengan demikian kita sudah diyakinkan bahwa gereja reformed belanda yang memulai misi di Indonesia sudah „menang dan dewasa‟ c. dalam mengelola perbedaan internal alirannya sehingga energy misi tidak tereduksi oleh karena perdebatan. d. Gereja reformed dan non reformed perlu membuka ruang diskusi yang terbuka dan dewasa dalam membicarakan paradigma misi masing-masing. Dengan forum diskusi seperti ini akan meminimalisir semangat saling menghakimi, merasa paling benar, merasa paling missioner. Dan sangat mungkin akan terjadi semangat
saling
koreksi dari
semangat
saling
mengenal
masing-masing
dan
memahami
kelompok. Jika suasana terwujud, maka sangat
dan
mudah
merealisasikan kerjasama dalam bermisi. e. Dalam bermisi, masing-masing kelompok harus menghargai paradigma masingmasing. Orang bijak berkata bahwa UNITY IS NOT UNIFORMITY (kesatuan bukalah
keseragaman). Keragaman model
bermisi penyebabnya
terlalu
sulit
diuraikan. Paradigma teologi misi yang berbeda, konstruksi teologi nya, SDM
20
dan
tenaga-tenaga
misi yang variatif, bidang
minat
misi
termasuk
usia
pelayanan badan misi sangat mempengaruhi pelayanannya. f. Jangan pernah meninggalkan doa dalam bermisi. Yesus, Paulus sebagaimana dicatat oleh
Perjanjian baru meyakini bahwa DOA merupakan factor penting.
Semua pola dan metode misi atau pelayanan, tanpa doa hanya lah metode(Billy Graham, damai dengan Allah) yang pengaruhnya hanya sebatas wilayah akaliah / jasmaniah. Narrator Injil Lukas mencatat sebuah kronologi tentang DOA dan dampaknya, “akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan ber doa….Kuasa Tuhan menyertai Dia, sehingga Ia dapat menyembuhkan orang sakit” (Lukas 5:16,17). Lukas di bagian
kitab
lain
yang ditulisnya
juga
memberikan catatan yang hampir sama menekankan tentang urgensinya doa, “dan ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman
Allah
dengan
berani” (Kis. 4:31). Dari
catatan Lukas,
kita diberi
gambaran yang jelas tentang makna doa bagi seorang juru selamat kita bahwa, i.
Doa adalah prioritas utama di atas agenda apa pun. Kristus yang sedang popular (naik daun), dan
sibuk tidak
mau
kehilangan
indahnya‟ berelasi dan berkomunikasi (Intimacy)
„kesempatan
dengan Bapa,
sang
empunya pelayanan / ladang misi. ii.
Doa adalah sarana menghadirkan atau pun berada di zona kehadiran Allah. Ungkapan kuasa Tuhan menyertai Yesus, juga menegaskan bahwa Kuasa yang berasal dari Allah lah yang terpenting di atas metode, atau pun sumber daya manusia.
iii.
Mukjizat,
tanda-tanda
ajaib, seperti kesembuhan
adalah
konfirmasi
bahwa Allah yang diberitakan Kristus sebagai Pribadi yang omni potent. Apa yang terjadi di gereja mula-mula bahwa “keberanian dan semangat” dalam bermisi bukan berasal dari factor yang dari luar diri para murid, tapi dari sang Parakletos yang bekerja dari dalam hidup para murid yang sedang berdoa. Sedangkan Paulus, seorang misiolog dan teolog yang lengkap pada zamannya pun meyakini kuasa Allah dalam doa, “dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah 21
setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan segala permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus, juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil,…” (Efesus 6:18, 19). Tanggapan penutup, Prof. Mel Louck, PhD, seminary berkata,
Guru besar
sejarah
gereja
di
Fuller
“events have effect, ideas have consequences”, Sampai
Theological kapan pun
gerakan misi di planet kita akan bergerak dalam irama yang berbeda. Gereja mula-mula sendiri
dalam menorehkan
sejarah misi tidak
terlepas
dari perseteruan
karena
perbedaan. Bagaimana paulus mencela Petrus dan pada bagian episode sejarah rasuli yang lain, paulus berseberangan dengan Barnabas (Kis.15:35-41), catatan sejarah ini tentu akan menjadi pengingat bahwa sampai kapan pun perbedaan tetap mewarnai perjalanan misi gereja. Jika narrator Kitab kisah para rasul kita ijinkan memberikan testimony ia akan dengan lancer bertutur dan menyampaikan analisisnya bahwa, Pertama, perbedaan adalah hal yang lumrah dalam tubuh Kristus. Ragam paradigma misi, warna teologi dan minat bidang misi harus dipandang sebagai „point to rich‟ , khazanah yang akan memperkaya tubuh Kristus. Bayangkan jika pluralitas dalam bermisi tidak hadir, maka persemaian Injil juga monoton. Kedua, dibutuhkan sikap paroxusmo,j
yang dewasa dalam merespon perbedaan. frase
“parachusmos”
perselisihan tajam,
namun
((sharp disagreement),
data
bukan saja bermakna
leksikal menyiratkan adanya
unsur
“ semangat
pemaksaan untuk sepaham, otoriter dan kasar ”. Paulus di kemudian hari menyadari noda hitam ini, sehingga Ia berpesan “karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan
dan
dikasihiNya,
kenakanlah
belaskasihan, kemurahan,
rendah hati,
kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang akan yang lain…”(Kol. 3:12, 13a). dan paulus di kemudian hari juga membutuhkan Markus yang pernah ia kecam dan remehkan, “hanya Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ke
22
mari, karena pelayanannya penting bagiku (2 Tim. 4:11). Point sejarah rasuli ini penting sebagai sikap dan pendekatan kita terhadap keragaman di ladang misi. Ketiga, fakta saudara itu
kepada
kebutuhan kasih kasih karunia
karunia, “…dan
sesudah diserahkan saudara-
Tuhan” (Kis. 15:40b). di saat
kelemahan, noda
kepemimpinan dan rapuhnya system serta miskinnya metode misi, suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa Allah sumber kasih karunia mengatasi problematika yang kompleks tersebut. Kita tidak boleh terus menerus larut dalam kecemasan jika melihat kelemahan di sana-sini, yang sepertinya akan merusak „proyek mi si Al lah ‟ sebab Dia yang berdaulat dan memiliki ketetapan kekal pasti sanggup mengatasinya. Menjalankan misi Allah pada hakekatnya menyerahkan segala sesuatunya ke dalam campur tangan Allah yang kaya kasih karunia dan hikmat.
Pertanyaan Refleksi :
1. Secara sederhana apa pengertian oikumene ? 2. Mengapa gereja selalu terjebak dalam siklus sejarah, khususnya dalam hal „kesuaman rohani‟ ? 3. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari gerakan Pantekosta ! 4. Kapan kesadaran ber-oikumene muncul di kalangan Pantekosta ? jelaskan !
23
ii.
Aspek Eksternal
Membedah
gerakan atau
usaha
oikumene tidak
hanya
aspek
internal yang
kita
perhatikan, namun aspek eksternal juga perlu mendapat porsi perhatian, sehingga ada keseimbangan. Kehidupan kebangsaan kita, akhir-akhir ini agak terganggu. Terorisme, radikalisme dan intoleransi bukan saja menjadi ancaman bagi NKRI, tetapi juga perkembangan oikumene di Indonesia. Prof. B.J. Habibie
15
sejak awal adalah bangsa majemuk
yang terdiri dari berbagai suku, agama dan budaya. Kondisi ini merupakan kekayaan berharga dan dapat mendorong berbagai inovasi dan produktivitas jika masyarakat pandai mengelolanya” (Kompas.com, Sabtu 4 Agustus 2012) Namun kesadaran akan pluralitas hari-hari ini sedang terancam tumbuhnya benih-benih intoleransi. Beberapa indicator yang muncul seperti,
dengan
Pertama, Tawuran. Pertikaian yang melibatkan kelompok (pelajar atau masyarakat) marak terjadi akhir-akhir ini. Sebuah fenomena social yang sebenarnya bukan baru, tetapi eskalasi yang meningkat sepantasnya membuat kita prihatin. Masyarakat kita menjadi sensitive dan sangat reaktif terhadap „perbedaan nilai‟ atau apa pun. Krisis kearifan dan toleransi. Kedua, Kekerasan Terhadap Minoritas. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, HKBP dan GKI Yasmin yang belum tuntas adalah „bom waktu‟ yang membahayakan harmoni kebangsaan kita yang selama ini bercirikan toleransi. Pemerintah oleh berbagai kalangan dianggap “mandul & cuek” atas penjajahan modern ini. Tentu masih ada indicator-indikator lain yang mungkin lebih ideal, bisa kita jadikan ukuran. Resistensi beberapa elemen masyarakat di Indonesia ketika Presiden SBY menerima penghargaan “World Statesman Award ” dari Appeal Of Conscience Foundations (ACF) di New York pada tanggal 30 Mei 2013 menunjukkan ada “goresan luka” atau ketidakpuasan elemen masyarakat atas penanganan penindasan terhadap kemajemukan. Pemerintah dianggap „membiarkan‟ adanya penindasan terhadap kaum minoritas yang berbeda dengan yang merasa berhak atas rumah kebangsaan ini.
15
Mantan Presiden Republik Indonesia, disampaikan pada acara SILATURAHMI DAN DIALOG CENDEKIAWAN LINTAS AGAMA, Jakarta 3 Agustus 2012.
24
Kehidupan kebangsaan kita, akhir-akhir ini agak terganggu. Terorisme, radikalisme dan intoleransi bukan saja menjadi ancaman bagi NKRI, tetapi juga perkembangan oikumene di Indonesia. a. Penganiayaan Sejarah gereja merekam bahwa penganiayaan terhadap gereja nampaknya menjadi pasangan yang serasi, atau sulit diceraikan dari keberadaan gereja. Ada banyak sebab 16
terjadinya penganiayaan,
mulai dari politik, ekonomi, SARA dan social. Pada awal
perkembangannya, gereja sudah diwarnai „faksi-faksi‟ (1 Kor. Ps. 1-3), perselisihan Paulus dengan Barnabas (Kis. 15:35-41); Perselisihan Paulus dengan Petrus (Kitab Galatia), termasuk pelaksanaan konsili gereja pertama kalinya di Yerusalem (Kis. 15), menyiratkan bahwa gereja rawan pecah, dan berat untuk padu. J. I. Packer menyorot kerawanan ini berakar dari „sitz im lebben‟ para murid Kristus mula-mula 17
yang berlatar Yahudi . Pada zaman Kristus sendiri, Yudaisme sangat beragam faksinya, ada Yudaime politis (Kaum Zelot), ada Yudasime Konservatif (Orang Farisi dan ahli Taurat), namun juga ada Yahudi Moderat dan Liberal (Saduki). Penganiayaan
didesain
oleh
pembuatnya
untuk
memecah
belah
gereja,
membuat gereja tertekan dan hancur, tapi sebaliknya gereja justru „bersehati berdoa” (Kis. 4:23-37 dan Yoh 20:19-29). Demikian pula dalam perjalanan sejarah gereja modern
di
Indonesia
pada
periode
1995-2000,
gereja
di
Indonesia
mengalam
„tekanan-tekanan‟ besar dari Pemerintah maupun oposisi gereja, namun pada era ini gereja bersatu, lahirlah organisasi-organisasi oikumenis atau organisasi-organisasi 18
gerejawi yang selama ini sectarian sempit, menjadi inklusif dan terbuka. b. Sekularisme c. Sinkritisasi 16
Pada awal kekristenan, Penganiayaan menjadi alat uji kemurnian iman gereja. Agama Kristen dianggap sebagai religio Licita (agama liar), menjadi dasar hokum terjadinya aniaya besar dan sistematis terhadap gereja. Lih. Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama ( Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2012); band. DIETRICH Kuhl, Sejarah Gereja (Batuu : Penerbit YPPII). 17 J.I. Packer & Merril C. Tenney, Dunia Perjanjian Baru (Surabaya : Penerbit YAKIN) 18 Bamag Surabaya, Seminar Wawasan kebangsaan
25
d. Politis e. Revolusi Islam B. Model-model usaha Oikumene di Indonesia i.
Model Oikumene Gereja Mainstream
ii.
Model Oikumene Gereja Tanpa Tembok
iii.
Model Oikumene Gereja Injili
iv.
Model Oikumene Gereja Pantekosta-Kharismatik
v.
Model Oikumene Parachurch
vi.
Model oikumene Lokal-sektoral
26