Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks
kelenjar
adrenal
sebagai
tanggapan
atas
hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku 1. Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokort mineralokortikoid ikoid disamping kerja glukokortikoid.
2. Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati
mual,
ondansetron) 2.
dikombinasikan
dengan
antagonis
5-HT3
(misalnya
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan peradangan dan imunologi.
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya
diberikan
pada
keadaan
insufisiensi
atau
hiperfungsi
dari
adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme.
Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2.
3. Farmakodinam Farmakodinamik ik kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan
berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatann ikatannya ya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontran nontranskripsi skripsi3.
4. Efek Samping Kortikosteroid
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.
Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.
Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi.
Iatrogenic
Cushing’s
syndrome,
diinduksikan
dengan
pemberian
glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan dosis steroid
total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.
Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.
Apabila
kortikosteroid
diberikan
kepada
golongan
resisten
akan
menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.
Pengaruh
kortikosteroid
yang
terpenting
pada
manusia
adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu
kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktorfaktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat
kerja
kortikosteroid
diperkirakan
pada
membran
makrofag.
Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik.
Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 35 –70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan
akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari 2.
Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.
Kortikosteroid
mempunyai
pengaruh
terhadap
aktifitas
biologik
komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.
Kepustakaan
lain
melaporkan
bahwa
kortikosteroid
topikal
juga
berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita4.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp
periodik pada penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.
5. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya
penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan 5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta. 2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta. 3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11 th ed. McGraw-Hill, New York. 4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edi tion.
Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA. 5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta. Sumber : by benvie on Mar 21st, 2009 alamatnya http://doctorology.net/?p=61
Home
Portal
Gallery
Calendar FAQ Search Register Log in
Memberlist
Usergroups
Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN Share | Actions
Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Goto page : 1 ... 16 ... 29, 30, 31 Author gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Message
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 6:55 am MISTERI SINDROM GUILAIN-BARRE TI Produksi | Selasa, 28 September 2010 | 04:02 WIB Jangan sepelekan penyakit flu yang tampaknya biasa. Demikian juga ika bagian tubuh tertentu kerap merasa kebas, kesemutan, atau nyeri. Bisa jadi itu tanda-tanda awal terjadinya sindrom Guillain-Barré, yaitu saat sistem kekebalan tubuh justru menjadi jahat dan menyerang tubuh. Sindrom Guillain-Barré atau SGB kerap juga disebut radang polineuropati demyelinasi akut (acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/AIDP). Atau dengan bahasa lain, peradangan akut yang menyebabkan rusaknya sel saraf, yang tidak jelas penyebabnya. Penyakit itu dapat menyerang siapa saja. Belum ada yang bisa memprediksi kedatangannya, progresnya, hingga tingkat keparahannya. Pernah terjadi, dokter ahli saraf dan penyakit dalam pun meninggal karena sindrom ini. Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl menemukan sindrom tersebut pada tahun 1916. Mereka mendiagnosis dua tentara yang menunjukkan keabnormalan pada peningkatan produksi spinal fluid protein. Saat ini diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisis cairan otak. Kenaikan jumlah sel darah putih pada cairan otak mengindikasikan terjadinya infeksi. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan electrodiagnostic, yaitu dengan memeriksa normal tidaknya konduksi sel-sel saraf. Kasus SGB terakhir terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pasien RS Islam Sultan Agung, Semarang, bernama Susanti (28) akhirnya meninggal dunia karena sindrom ini. Serangan SGB yang diderita Susanti rupanya sudah parah hingga menyerang otot paru-parunya dan menyebabkan infeksi. Kondisinya terus menurun, dan Susanti tidak tertolong lagi. Angka kejadian SGB tergolong kecil, 1:100.000. Di RSUP dr Kariadi (RSDK) Semarang, setiap tahun rata-rata ditemukan sekitar lima sampai tujuh kasus. Dari sejumlah pasien itu, ada yang bisa sembuh, ada yang tidak. Tidak jelas
Spesialis saraf Amien Husni dari RSDK Semarang menjelaskan, hingga kini penyebab dari penyakit autoimun tersebut masih tidak diketahui. Demikian juga pemicunya. Lazimnya, ketika tubuh terinfeksi
penyakit, virus, atau bakteri, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan antigen (zat yang merusak tubuh). Pada kasus SGB, antibodi ustru menjadi jahat dan menyerang sistem saraf tepi. Selaput myelin yang menyelubungi sel saraf dihancurkan (demyelinasi) sehingga sel sarafnya rusak. Kerusakan mulai dari pangkal ke tepi atau dari bawah ke atas. Kerusakan itu menyebabkan kelumpuhan motorik dan menimbulkan gangguan sensibilitas pada penderita. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf (radiks), dapat menyebabkan kelainan pada sumsum tulang belakang. Pada kasus Susanti, SGB ditemukan dua minggu setelah Susanti menjalani operasi usus buntu. Setelah itu serangan mulai dari kaki Susanti yang kemudian tidak dapat digerakkan. Kelumpuhan itu pun merambat hingga ke tangan dan anggota tubuh lain. Susanti juga tidak dapat berbicara. Pada penyakit autoimun yang lain, serangan yang terjadi serupa, tetapi pada lokasi yang berbeda. Meski demikian, mekanisme terjadinya juga tidak dapat dipahami: antibodi yang dihasilkan justru menyerang tubuh. Kasus multiple sclerosis, misalnya, demyelinasi terjadi pada saraf pusat. Adapun pada myasthenia, antibodi merusak hubungan antara saraf dan otot. Kelumpuhan pada SGB biasanya terjadi dari bagian tubuh bawah ke atas atau dari luar ke dalam secara bertahap. Kejadiannya pun tidak dapat diperkirakan. Pada beberapa kasus kelumpuhan terjadi sangat cepat dan pada kasus yang lain kejadiannya bisa lebih lambat. Pada kasus yang parah kerusakan selaput myelin mencapai paru-paru dan melemahkan otot-otot pernapasan. Paru-paru pun tidak dapat bekerja dan penderita harus dibantu dengan ventilator. Dengan kelemahan tersebut, sangat mungkin terjadi infeksi di dalam paru-paru karena kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan berkurang. Itu
yang menyebabkan kondisi penderita semakin parah. Gejala lain yang dirasakan penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti rasa kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri. Pola persebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Biasanya, kata Amien, penderita SGB sebelumnya menderita infeksi virus seperti influenza satu atau dua minggu sebelumnya. Bisa jadi hal itu didorong oleh virus influenza, atau reaksi imun terhadap virus influenza. Tidak terjadi infeksi Sindrom ini, seperti penyakit autoimun yang lain, termasuk self remittance disease. Sebenarnya penderita dapat sembuh dengan
sendirinya dalam jangka waktu sekitar enam bulan. Dengan catatan, tidak terjadi infeksi pada tubuh penderita. ”Yang menyebabkan kematian biasanya karena terjadi gagal napas dan infeksi yang timbul. Namun, itu juga tidak dapat dipastikan,” k ata Amien. Penanganan pada penderita SGB biasanya dilakukan dengan plasma exchange, tindakan yang mirip cuci darah, dengan mengganti plasma darah menggunakan alat bernama plasmaferesis. Hal itu dapat menolong penderita untuk bertahan atau mencapai kondisi yang lebih baik. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki alat ini. Alternatif lain adalah dengan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi selama lima hari untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, obat ini tidak murah, bahkan tergolong sangat mahal, dan tak semua pasien mampu membeli.
Ada satu cara lagi yang dimungkinkan, yaitu dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Kortikosteroid biasanya diberikan sebagai antiradang. Walaupun dalam banyak literatur disebutkan pemberian kortikosteroid tidak dapat memberi pengaruh yang berarti, pada beberapa kasus, kata Amien, ternyata dapat membantu. Harga kortikosteroid pun jauh lebih murah dari pada immunoglobulin. Dengan demikian, pasien yang tidak mampu biasanya diberikan terapi ini dan pada beberapa kasus ternyata berhasil. Bagi mereka yang berhasil sembuh, SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh. Sebab, sel saraf merupakan jaringan yang paling ”bodoh” sehingga ketika rusak tidak bisa lagi kembali normal dengan sendirinya. Penderita yang pulih dari SGB harus menjalani terapi dan latihan secara teratur untuk dapat menggerakkan kembali anggota tubuhnya, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis. Setelah satu tahun atau lebih, 85 persen penderita bisa kembali normal. Penyakit yang bisa sedemikian jahat ini pun tidak dapat dicegah. Akan tetapi, Amien mengatakan, jika dapat terdeteksi sedini mungkin dan mendapat penanganan lebih cepat, kemungkinan sembuhnya bisa lebih besar. Oleh karena itu, berhati-hatilah dan cermati setiap gejala yang muncul. Sebab, sindrom ini termasuk dalam acute inflammatory, terjadi secara mendadak dan meradang dalam waktu yang sangat cepat. gitahafas
Moderator
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 11:07 am JIKA LUMPUH LAYUH TIBA TIBA Lusia Kus Anna | Selasa, 2 Agustus 2011 | 07:22 WIB Hari-hari ini, media massa ramai memberitakan kasus penyakit yang diderita Azka, bocah berusia 4 tahun yang dirawat di Bogor, serta Shafa, bocah seusia Azka, yang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Keduanya menderita sindrom Guillain-Barre sehingga
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
lumpuh, termasuk otot pernapasannya. Tak kurang Menteri
Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pun tergerak untuk mengunjungi mereka. Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome/GBS), menurut dokter ahli saraf Merdias Almatsier, adalah gangguan autoimun. Yakni, kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri, dalam hal ini menyerang sistem saraf tepi, sehingga menyebabkan kelemahan otot, bahkan kelumpuhan. Gangguan ini bisa menyerang perempuan dan laki-laki di segala usia. Akan tetapi, umumnya mereka yang berusia 30-50 tahun. Situs Mayoclinic menyebutkan, GBS diderita 1-2 orang per 100.000. Sebagai gambaran, Merdias menyatakan bahwa berdasarkan data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ada 46 kasus GBS pada pasien dewasa di tahun 2010. Itu belum terhitung pasien anak-anak serta pasien yang dirawat di rumah sakit lain. Pemicu GBS belum diketahui secara pasti. Menurut Merdias, bisa karena virus ataupun nonvirus. Dalam MedlinePlus, situs milik Lembaga Kesehatan Nasional Amerika Serikat, dinyatakan, GBS biasanya terjadi setelah ada infeksi, misalnya flu, radang paru, atau infeksi perut. Bisa juga disebabkan virus Epstein-Barr, infeksi Campylobacter, yaitu bakteri yang terdapat pada produk unggas yang dimasak kurang matang. GBS uga bisa terjadi bersama AIDS, herpes simpleks, mononukleosis, lupus, penyakit Hodgkin, serta bisa terjadi seusai operasi. GBS umumnya terjadi pada pelindung saraf (myelin sheath). Kerusakan itu disebut demyelination. Hal itu menyebabkan penyampaian sinyal saraf menjadi lamban. ”Kelemahan otot bahkan kelumpuhan terjadi pada kedua sisi tubuh secara simetris. Berbeda dengan gejala polio atau stroke yang umumnya menyerang satu sisi anggota tubuh,” kata Merdias. Dari bawah ke atas Umumnya, kelemahan otot berawal dari kaki, kemudian menyebar ke bagian tubuh atas, termasuk tangan. Dalam beberapa kasus bisa terjadi kelumpuhan berawal dari lengan turun ke bawah. Dalam hal ini penderita merasa kesemutan, nyeri kaki, dan tangan seperti ditusuktusuk, serta kelemahan tangan dan kaki sehingga tak mampu menggenggam sesuatu. Jika peradangan menyerang saraf diafragma dan dada, akibatnya bisa fatal. Penderita memerlukan alat bantu pernapasan. Gejala lain yaitu kehilangan refleks kaki dan tangan, gerak anggota tubuh tak terkontrol, tekanan darah naik turun, mati rasa, serta kejang otot. Selain itu, pandangan kabur, sulit menggerakkan otot wajah, sulit bicara, dan berdebar-debar. Jika penderita mengalami kesulitan bernapas, kesulitan menelan, keluar air liur tak terkontrol, berkunang-kunang dan pingsan, harus segera mendapatkan pertolongan medis. Gejala GBS sampai pada kondisi penderita menjadi lumpuh bisa berlangsung beberapa hari. Akan tetapi, ada pula yang memburuk dengan cepat. Hanya dalam beberapa jam menjadi lumpuh. Karena itu perlu diwaspadai gejala-gejala tersebut di
atas. Untuk memastikan, dokter akan melakukan pemeriksaan, antara lain dengan mengambil contoh cairan sumsum tulang belakang, elektromyografi, elektrokardiografi, dan tes fungsi paru. Terapi Sejauh ini belum ada obat untuk GBS. Meskipun demikian, ada terapi untuk mengurangi gejala, mengobati komplikasi, dan mempercepat pemulihan. Pada tahap awal, terapi untuk menghambat antibodi yang menyerang sel saraf bisa mengurangi keparahan GBS. Salah satunya, plasmaferesis, yaitu mengeluarkan darah dari tubuh, biasanya dari tangan, dipompa ke mesin untuk menghilangkan antibodi, kemudian memasukkan darah kembali ke tubuh. Metode lain adalah menghambat antibodi dengan terapi imunoglobulin dosis tinggi. Adapun rasa nyeri diobati dengan obat antiradang serta kortikosteroid. Jika segera ditangani, demikian Merdias, dalam 3 minggu sampai 1 bulan, sebanyak 90 persen penderita bisa pulih. Meski demikian, data Lembaga Gangguan Saraf dan Stroke Nasional AS menunjukkan, sekitar 30 persen penderita masih mengalami kelemahan otot dalam tiga tahun, bahkan kelemahan otot ringan bisa bertahan dalam waktu lama. gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:30 pm PENYAKIT GUILLAIN-BARRE « on: 04 February 2010, 16:57 » http://forum.um.ac.id/ GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, arang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan. Apa gejala GBS? Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau
memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll) Gejalagejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Apa penyebab GBS? Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya. Bagaimana GBS dapat ter-diagnosa? Diagnosa GBS didapat dari riwayat dan hasil test kesehatan baik secara fisik maupun test laboratorium. Dari riwayat penyakit, obat2an yang biasa diminum, pecandu alcohol, infeksi2 yang pernah diderita, gigitan kutu maka Dokter akan menyimpulkan apakah pasien masuk dalam daftar pasien GBS. Tidak lupa juga riwayat penyakit yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien misalnya diabetes mellitus, diet yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga dokter bisa membuat vonis apakah anda terkena GBS atau penyakit lainnya. Pasien yang diduga mengidap GBS di haruskan melakukan test: 1. Darah lengkap 2. Lumbar Puncture 3. EMG (electromvogram) Sesuai urutannya, test pertama akan dilakukan kemudian test ke dua apabila test pertama tidak terdeteksi adanya GBS, dan selanjutnya. Apa yang akan terjadi setelah test dilakukan? Tanda-tanda melemahnya syaraf akan nampak semakin parah dalam waktu 4 sampai 6 minggu. Beberapa pasien melemah dalam waktu relative singkat hingga pada titik lumpuh total dalam hitungan hari, tapi situasi ini amat langka. Pasien kemudian memasuki tahap „tidak berdaya‟ dalam beberapa hari. Pada masa ini biasanya pasien dianjurkan untuk ber-istirahat total di rumah sakit. Meskipun kondisi dalam keadaan lemah sangat dianjurkan pasien untuk selalu menggerakkan bagianbagian tubuh yang terserang untuk menghindari kaku otot. Ahli Fisioterapy biasanya akan sangat dibutuhkan untuk melatih pasien
dengan terapi-terapi khusus dan akan memberikan pengarahanpengarahan kepada keluarga adan teman pasien cara-cara melatih pasien GBS. Apakah GBS menyakitkan? Ya dan tidak. Pasien biasanya merasakan sakit yang akut pada saat GBS. Terutama didaerah tulang belakang dan lengan dan kaki. Namun ada uga pasien yang tidak mengeluhkan rasa sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari otot yang sementara kehilangan suplai energy, atau dari posisi duduk atau tidur si Pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke posisi nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang rasa sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk me-relokasi bagian-bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa sakit dapat datang dan pergi dan itu amat normal bagi penderita GBS. Apakah pasien GBS membutuhkan perawatan khusus? Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu perawatan intensive sangat diperlukan di tahap-tahap dimana GBS mulai terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuihan pasien maka dokter akan menentukan apa pasien memrlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami kesulitan di: 1. Bernafas 2. Kemampuan menelan 3. Susah batuk Dalam kondisi tersebut diatas, biasanya pasien akan diberikan bantuan alat ventilator untuk membantu pernafasan. Berapa lama pasien dapat sembuh? Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien harus tetap wapada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung parahnya pasien bisa berjalan dalam waktu hitungan minggu atau tahun. Namun statistic membuktikan bahwa rata-rata pasien akan membaik dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menyisakan cacat dibagian yang terserang paling parah, perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layu akibat GBS. Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun. Adakah obat untuk penyakit ini? Obat nya hanya ada 1 macam yaitu GAMAMUNE ( Imuno globuline ) yang harganya 4jt - 4,5 jt rupiah /botol biasanya obat ini diinfuskan kepasien dg jumlah yang dihitung dari berat badan,
untuk lebih jelas nya tanya ke dokter, contoh kasus yang dialami Deya dg berat badan pada saat sakit waktu itu 58 KG deya menghabiskan obat ini sebanyak 20 botol, ( 5 botol / hari).
Tips perawatan diri Karena penyebab pasti GBS tidak dapat menunjuk, tidak ada cara yang diketahui untuk mencegahnya. However, it's important to seek immediate medical treatment for any symptoms of muscle weakness and loss of reflexes. Namun, penting untuk segera mencari perawatan medis untuk setiap gejala kelemahan otot dan hilangnya refleks. Early treatment improves the outlook for recovery. Perawatan dini meningkatkan prospek untuk pemulihan. gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:43 pm KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS GBS (GUILLAIN-BARRE SYNDROME) Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer Komplikasi Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps. Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut: - Paralisis otot persisten - Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik - Aspirasi - Retensi urin - Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
- Nefropati, pada penderita anak - Hipo ataupun hipertensi - Tromboemboli, pneumonia, ulkus - Aritmia jantung - Ileus Prognosis Prognosis buruk dihubungkan dengan perburukan gejala yang sangat cepat, usia tua, penggunaan ventilator jangka panjang (lebih dari 1 bulan), dan berkurangnya potensial aksi pada pemeriksaan neuromuskuler. Sebuah laporan menyebutkan kesembuhan sempurna pada 50-95% kasus. Peningkatan jumlah protein enolase spesifik pada pemeriksaan cairan serebrospinal dihubungkan dengan durasi penyakit yang lebih panjang. Meningkatnya IgM anti-GM1 memprediksikan lambatnya penyembuhan. Sekuelae neurologis dilaporkan pada 10-40% kasus; yang paling buruk adalah tetraplegia yang muncul dalam 24 jam dengan masa penyembuhan yang tidak sempurna setelah 18 bulan atau lebih. Sekuelae paling ringan adalah kesulitan berjalan derajat ringan, dengan penyembuhan dalam beberapa minggu. Namun yang paling sering didapat adalah puncak gejala dalam 10-14 hari dengan masa penyembuhan dalam hitungan minggu hingga bulan. Rata-rata masa perawatan dalam ventilator adalah 50 hari. Angka mortalitas bervariasi dari 5 hingga 10%; sebagian besar akibat instabilitas otonomik ataupun akibat komplikasi intubasi lama, paralisis,2 dan aritmia.17 Sekitar 10% penderita tidak sembuh sempurna dan tergantung pada kursi roda, ataupun hidup dengan kelemahan atau kesemutan permanen.17 Tabel 1 di bawah ini merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil keluaran pada penderita GBS. Prognosis favorable dihubungkan dengan 90% kemungkinan dapat berjalan secara mandiri dalam waktu 6 bulan, sementara prognosis unfavorable dihubungkan dengan kemungkinan kemampuan berjalan mandiri kurang dari 20% kasus setelah 6 bulan gejala. ---------------------------------------------------------- Favorable----------------- Unfavorable Usia (tahun)Alat bantu nafas (ventilator) Defisit maksimum dalam waktu <7 hari--<40Tidak adaTidak ada->40YaYa Amplitudo distal respon-M-------Normal--------<20% normal Perjalanan penyakit penderita dewasa dan anak hampir sama, namun
menurut Sarada et al (1994), penderita anak memiliki prognosis berjalan secara mandiri yang lebih baik dibandingkan dewasa. Sekitar 35% penderita hidup dengan disabilitas jangka panjang, sementara 38% penderita harus melakukan modifikasi pekerjaan akibat penyakitnya; 44% kasus mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas di waktu senggang dan dalam keadaan psikososial yang kurang baik. Sindroma Guillain-Barre adalah penyakit poliradikuloneuropati demielinasi monofasik yang idiopatik, akut, dan sebagian besar reversibel. Sebagai patofisiologi kelainan ini, diduga terdapat gangguan dari respon autoimun yang menyerang saraf tepi, yakni myelin dan/atau mungkin antigen aksolemnal. Pada dua pertiga kasus, paralisis flasid ini didahului oleh penyakit infeksi. Pada bentuk sindroma sensorimotor yang klasik, kelemahan terjadi secara akut dalam hitungan hari, ataupun subakut alam waktu 2-4 minggu. Paresis yang terjadi umumnya terdistribusi secara simetris dan refleks tendon akan berkurang atau hilang. Terdapat bermacam varian dari sindroma Guillain-Barre, antara lain bentuk motorik murni, MillerFisher, dan bentuk aksonal primer. Diagnosis dilakukan berdasarkan gambaran dan temuan klinis, serta pemeriksaan penunjang yakni pemeriksaan elektrofisiologis yang menunjukkan adanya demyelinasi serta meningkatnya protein pada pemeriksaan cairan serebrospinal. Namun pada minggu pertama setelah onset, baik perubahan demyelinasi pada hantaran saraf dan peningkatan protein ini dapat tidak ditemukan. Terapi pada fase akut ditujukan terutama untuk melawan proses imunopatogenesis, termasuk plasmapheresis dan infus immunoglobulin dosis tinggi. Monitoring adanya gangguan otonom dan perawatan intensif telah memperbaiki prognosi penderita sindroma Guillain-Barre. Selama rehabilitasi, perbaikan fungsi yang signifikan dapat dilihat dengan metode pengukuran standard. Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus sindroma GuillainBarre, yakni - problem muskuloskeletal - kardiopulmonari - sensori - gangguan sistem saraf otonom. Pada pelaksanaan rehabilitasi medik, masing-masing bentuk latihan dilakukan dengan berdasarkan pada tahap penyembuhan pasien, yakni tahap awal dan lanjut. Pada tahap awal atau fase progresif, rehabilitasi terutama ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan kondisi; sehingga pada tahap ini masalah kardiopulmoner dan muskuloskeletal menjadi fokus perhatian utama. Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum
menjadi problem bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan. Pada tahap akhir, yakni masa penyembuhan, rehabilitasi ditujukan lebih kepada peningkatan fungsi, terutama peningkatan kekuatan otot serta peningkatan fungsi penderita secara maksimal. Namun, fungsi paru tetap harus dijaga dan ditingkatkan untuk mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisme. Rehabilitasi terhadap modalitas sensorik juga perlu dilakukan. Diperlukan adanya kerjasama antar anggota tim medik yang baik dari tahap awal hingga akhir, karena akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, yakni supaya penderita dapat berfungsi secara maksimal dengan segala keterbatasan atau impairment dan disabilitasnya. Sumber: http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/13/ gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:46 pm GUILLAIN-BARRE SYNDROME Penyakit DBS itu apa? bagaimana gejalanya? Apa obatnya? Bapak/Saudara yang Terhormat. Terima kasih telah menggunakan layanan e-konsultasi Klikdokter. Nampaknya yang Anda maksudkan adalah GBS atau Guillain-Barre Syndrome. GBS adalah kelainan yang terjadi di mana sistem imunitas (pertahanan) tubuh seseorang menyerang sistem saraf perifer. Gejala pertama yang dirasakan pada kelainan ini adalah berbagai derajat rasa lemah dan kesemutan pada daerah kaki. Kemudian gejala ini akan menyebar secara progresif ke daerah lengan dan tubuh bagian atas. Gejala-gejala ini dapat meningkat dan memburuk sehingga otot-otot tak dapat digunakan sama sekali dan hampir lumpuh total. Biasanya terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah pasien mengalami gejala infeksi virus pada saluran pernapasan atau pencernaan. Gejala-gejala ini dapat terjadi dalam beberapa hari dan dapat mencapai 3-4 minggu. Hingga saat ini tidak diketahui adanya pengobatan terhadap GBS. Namun, terapi dapat mengurangi keparahan penyakit dan meningkatkan tingkat proses penyembuhan pada pasien. Untuk mengatasi komplikasi, saat ini banyak dilakukan plasmaferesis dan terapi imunoglobolin dosis tinggi. Selama terjadinya GBS juga perlu penatalaksanaan untuk menjaga agar organ-organ tubuh yang terpengaruhi dapat terus berfungsi sampai proses penyembuhan terjadi. Demikian informasi yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. (JF) Salam, Tim Redaksi Klikdokter
GBS BUKANLAH PENYAKIT LANGKA Bramirus Mikail | Asep Candra | Rabu, 10 Agustus 2011 | 00:51 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Semenjak kasus M. Azka Arriziq (4) dan Safa Azalani (4) dua balita pengidap penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) muncul kepermukaan, banyak anggapan di masyarakat bahwa penyakit yang diderita mereka sebagai penyakit langka. Namun, pandangan yang berbeda justru diungkapkan oleh dr. Irawan Mangunatmadja, SpA (K) dari Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ia menegaskan bahwa GBS bukanlah penyakit yang langka. "GuillainBarre Syndrome (GBS) bukan penyakit langka. Hanya saja tipenya lainlain. Ada yang ringan, sedang dan berat," ujarnya kepada wartawan, Selasa, (9/8/2011). Menurut Irawan, penyakit GBS disebabkan karena infeksi virus dan inflamasi pada susunan saraf tepi. Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem, maka sistem kekebalan tubuh pasien menjadi kacau. Di Indonesia sendiri, lanjut Irawan, sangat sering dilaporkan kasus lumpuh layu akut. Selama dalam surveilens polio, lumpuh layu akut yang tersering adalah guillain-barre syndrome. "Di daerah-daerah itu banyak pasien seperti ini. Dari data kami, bulan lalu saja sudah ada 3 pasien GBS yang sudah dirawat, dan sekarang menjalani rawat jalan," jelasnya. Irawan, yang juga menangani kasus Azka mengungkapkan bahwa kondisi terakhir Azka sejauh ini menunjukkan hasil yang membaik. "Kalau dilihat beberapa hari ketika masuk dengan sekarang, ada perbaikan klinis. Matanya sudah mulai berkedip-kedip dan ada napas spontannya," katanya. Apabila dalam dua minggu ini (fase laten) Azka terus menunjukkan kondisi yang semakin baik, dimana otot-otot pernapasannya kembali membaik, maka diharapkan Azka bisa segera melepas ventilator.mLebih lanjut Irawan mengatakan, dalam perkembangannya apabila pasien dinyatakan sembuh, umumnya akan menimbulkan gangguan dalam hal mobilisasi. Di mana ketika berjalan akan sedikit terganggu sehingga diperlukan sebuah alat bantu.
Last edited by gitahafas on Thu Aug 11, 2011 10:11 am; edited 1 time in total gitahafas
Moderator
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:54 pm PENATALAKSANAAN REHABILITASI MEDIS, TERAPI OKUPASI ATAU FISIOTERAPI PADA PASIEN GBS Oleh: Indonesian Children | Desember 14, 2009 Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal. Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk mencapai fungsi tubuh yang telah hilang. Rehabilitasi ditujukan terutama untuk memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci dan berpakaian. Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan program latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan. Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal. Dalam terapi, digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan, cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat pasien mandiri dengan AKSnya. Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan bicara dan menelan pasien pasca intubasi ataupun trakeostomi. Terapis wicara akan memperbaiki kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing. Pada GBS, didapati beberapa masalah mendasar dari sudut pandang rehabilitasi, terutama masalah muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik. Muskuloskeletal Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari medulla spinalis ke neuromuscular junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang
menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang . Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf. Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah. Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi
bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS. Kardiopulmonari Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga . Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang. Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang. Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang . Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru.
Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk kondisi pasien. Sistem Saraf Otonomik Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus . Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi. Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan menelan, gangguangangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi. Sensasi Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri. Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan. Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.
Last edited by gitahafas on Thu Aug 04, 2011 5:36 am; edited 1 time in total gitahafas
Moderator
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:56 pm PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PROBLEM MUSKULOSKELETAL PASIEN GBS Oleh: Indonesian Children | Desember 14, 2009
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Penatalaksanaan rehabilitasi penderita GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi, yakni pada fase progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif, yang penting diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan kondisi pasien, sehingga tidak terjadi komplikasi. Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi pada fase ini, karena pada fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus menurun. Pada fase penyembuhan, prinsip rehabilitasi ditujukan terutama pada peningkatan kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama ditujukan pada masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner. Tujuan utama dari rehabilitasi pada penderita GBS secara keseluruhan adalah untuk mengoptimalisasi kemampuan fungsional penderita. Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Fase progresif Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan otot, dapat dilakukan latihan penguatan secara aktif, bila kondisi pasien memungkinkan. Namun apabila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya dilakukan latihan penguatan dengan bantuan (aktif asistif). Pada penderita GBS yang sangat lemah, perlu diberikan latihan pasif, dimana terapis yang akan menggerakkan angota badan penderita.Karena umumnya kondisi penderita akan terus menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Latihan menggerakkan anggota tubuh dianjurkan dimulai dari bagian bawah, dan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Hal ini sekaligus juga dapat meningkatkan motivasi pasien secara psikis. Latihan pergerakan setiap sendi dilakukan secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot maupun sendi yang tertinggal. Dalam menggerakkan anggota badan, perlu diperhatikan tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Pasien tidak boleh dibiarkan terlalu lelah atau melakukan gerak paksa dalam menggerakkan anggota tubuh, karena hal ini dapat merusak motor unit. Berikan pengertian dan kesadaran kepada pasien bahwa gerakan yang dilakukan secara rutin lebih penting dalam mengembalikan gerakan otot, bila dibandingkan dengan gerakan yang terlalu dipaksakan. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari dapat ditingkatkan secara bertahap. Perlu
diingat pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh; sehingga fisioterapis perlu membantu penderita dalam menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, atau paling sedikit sampai lingkup sendi yang fungsional. Seperti halnya latihan untuk otot, latihan pergerakan sendi sebaiknya uga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Dalam melakukan evaluasi luas gerak sendi, dilakukan pengukuran sudut setiap sendi dengan goniometer, dalam satuan derajat. LGS seharusnya tetap terjaga dari waktu ke waktu, agar supaya penderita mampu berfungsi secara maksimal. Fase penyembuhan Fase penyembuhan merupakan fase lanjutan dari fase progresif, dimana rehabilitasi ditekankan pada pemeliharaan panjang otot dan lingkup gerak sendi, sehingga diharapkan panjang otot dan LGS akan tetap terjaga. Rehabilitasi pada fase lanjutan ini lebih menekankan pada upaya peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang ada serta dalam masa pemulihan. Dalam menangani masalah kekuatan otot, fase ini masih berfokus pada peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian, beban latihan yang diberikan belum boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif masih terbatas. Program latihan aktif dapat ditingkatkan apabila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Jenis latihan penguatan yang diberikan kemudian dapat ditingkatkan menjadi bentuk latihan aktif resistif, dimana dalam upaya peningkatan kekuatan otot, diberikan beban. Beban yang diberikan dapat bervariasi, baik secara manual ataupun dengan alat. Beban manual diberikan oleh fisioterapis, sedangkan alat yang digunakan dapat macam-macam, misalnya dengan quadricep bench. Karena tujuan akhir rehabilitasi adalah untuk memaksimalkan kemampuan fungsional, perlu diperhatikan pada otot mana saja akan diberikan latihan tersebut; yakni terutama pada otot-otot yang diperlukan dalam beraktivitas. Untuk mengevaluasi perbaikan kondisi pasien, dapat dilakukan evaluasi perbaikan kekuatan otot dengan menggunakan metode manual muscles testing (MMT). Pengukuran kekuatan otot dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan melihat adanya perbaikan dalam evaluasi, baik terapis maupun penderita dapat melihat perkembangan yang terjadi, sehingga akan meningkatkan motivasi bagi keduanya. Latihan pergerakan sendi pada fase penyembuhan tidak berbeda dengan latihan gerak sendi pada fase progresif; yakni berupa latihan gerak pada
setiap sendi secara sistematis, dan di akhir gerakan aktif, ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi maksimal untuk mempertahankan LGS. Pemeliharaan panjang otot dapat dilakukan sekaligus pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS; terkecuali untuk beberapa otot yang melewati dua sendi, misalnya otot quadriceps, iliotibial band, dan sartorius. Otot-otot ini penting dalam kegiatan penderita sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh; sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti. Pada otot-otot ini, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Evaluasi panjang otot sulit dilakukan, karena bersifat individual dan dipengaruhi aktivitas dan keturunan. Salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh; atau dengan jalan membandingkan otot sebelah kanan dengan sebelah kiri, atau sebaliknya; sehingga dapat dinilai apakah panjang otot yang bersangkutan cukup baik untuk penderita dapat melakukan aktivitasnya kembali.
Last edited by gitahafas on Thu Aug 04, 2011 5:30 am; edited 2 times in total
Moderator
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:58 pm
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
PENATALAKSANAAN PADA MASALAH KARDIOPULMONER PADA PASIEN GBS Oleh: Indonesian Children | Desember 14, 2009 Masalah kardiopulmoner lebih menonjol terutama pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot interkostal akibat berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Hal ini menyebabkan penderita tidak mampu melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital akan berkurang. Kemampuan batuk penderita uga akan berkurang, sehingga menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Hal ini menyebabkan saluran pernafasannya menyempit, dan ekspansi paru berkurang. Pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas vital penderita.
gitahafas
Berkurangnya Ekspansi Dada Untuk meningkatkan kemampuan ekspansi dada, perlu dilakukan latihan peningkatan ekspansi dada. Namun pada fase ini, latihan secara pasif sulit dilakukan, yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bantuan ventilator atau hiperinflasi manual. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli
akan bertambah sehingga mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu perlu dilakukan pemeliharaan kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk dapat terpelihara dengan baik. Bila kekuatan otot interkostal sudah kembali pulih, rongga dada akan siap untuk mengembang kembali; sehingga latihan penguatan dapat segera diberikan. Karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan hiperinflasi manual dapat memberikan efek samping, seperti barotrauma; maka latihan aktif harus segera dilakukan. Pemberian resep latihan masih harus memperhatikan intensitas dan frekuensi latihan dalam satu sesi dan dalam sehari. Hal ini akan memberikan kesempatan istirahat yang cukup bagi penderita, untuk menghindari kelelahan. Gangguan Pembersihan Jalan Nafas Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekret saluran pernafasan. Pembersihan sekret merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh, namun apabila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja silia; maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara. Penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan umumnya sulit untuk menghasilkan batuk yang cukup kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, diameter saluran pernafasan akan menyempit, dan volume udara yang masuk ke paru akan berkurang; sehingga dengan sendirinya kemampuan ventilasi uga akan berkurang. Pada fase awal, pembersihan saluran pernafasan dapat dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi dapat diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, dapat dilakukan drainase postural untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan distal ke proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk; bila penderita tidak mampu, maka perlu dilakukan suction. Selama melakukan drainase postural, perlu diwaspadai adanya tandatanda gangguan otonomik, seperti laju pernafasan, nadi, ataupun saturasi oksigen. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya mampu terlaksana pada fase penyembuhan, dimana otototot pernafasan mulai menguat. Pada fase pertama bila otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, latihan batuk dapat bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan otot. Gangguan Menelan
Pada penderita GBS dengan gangguan menelan, resiko infeksi paru-paru semakin tinggi akibat kemungkinan pneumonia aspirasi. Bila pasien mampu batuk kuat, maka benda asing dapat keluar dari saluran pernafasan sekaligus membersihkan sekresi. Namun, pada penderita dengan gangguan menelan umumnya disertai dengan kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk. Penderita GBS yang disertai adanya gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui selang yang langsung masuk ke lambung, sehingga resiko aspirasi lebih kecil. Penatalaksanaan pada Masalah Otonomik Gangguan saraf otonomik, misalnya ketidakstabilan tekanan darah, diaphoresis, ataupun hipotensi postural akan muncul bila kerusakan selubung myelin mencapai tingkat vertebrae torakal atau lebih tinggi lagi, yakni saraf kranialis. Gangguan otonom ini merupakan salah satu hal yang perlu dicermati dalam rehabilitasi, terutama dalam h al mobilisasi; dimana saat mobilisasi, tubuh perlu melakukan adaptasi, baik karena pengaruh postural ataupun terhadap sistem kardiovaskuler. Karenanya, perlu dicermati perubahan tekanan darah saat dilakukan tindakan rehabilitasi. PENATALAKSANAAN PADA MASALAH SENSASI PADA PASIEN GBS Gangguan sensibilitas yang sering muncul pada penderita GBS adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemutan. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian modalitas TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation). Nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh imobilisasi lama di tempat tidur. Nyeri ini dapat dikurangi d engan melakukan peregangan pada sendi-sendi tulang belakang beserta otototot disekitarnya, pergerakan pasif anggota gerak, masase, perubahan posisi yang cukup sering, serta dengan medikasi. Penggunaan narkotika sebagai pengurang nyeri harus dilakukan secara bijaksana, karena adanya resiko ileus pada penderita GBS.2 Bila rasa nyeri tidak berkurang, hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya. Rasa tebal atau baal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan pada bagian tubuhnya, misalnya akibat penekanan tonjolan tulang pada kasur. Bila berlanjut, hal ini dapat menyebabkan luka lecet dan akhirnya dekubitus. Sebagai usaha pencegahan ulkus ini, perubahan posisi penderita harus selalu dilakukan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.
Last edited by gitahafas on Tue Aug 09, 2011 11:00 am; edited 2 times in total gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 5:20 am GUILLAIN-BARRE SINDROM Suatu ketika di Puskesmas (terjadi 30 tahun yang lalu), datang seorang laki-laki usia 37 tahun dengan keluhan kedua tungkai lemah dan semakin susah dibawa berjalan, tidak ada kesemutan. Makin lama semakin memberat dan setelah itu mengenai kedua lengan atas. Penderita lumpuh seluruh anggota gerak. Sebelumnya mendapat influenza kira-kira 2 minggu dengan keluhan waktu itu demam disertai nyeri seluruh sendi. Akhirnya penderita dirujuk ke RS kabupaten untuk dirawat. Kasus lain, seorang wanita usia dewasa muda telah dirawat di RS sehari yang lalu dengan kelumpuhan seluruh anggota gerak, selang beberapa lama sesudahnya mengalami sesak nafas. Sebelum itu penderita mendapat diare yang tak kunjung baik, selanjutnya dirawat di perawatan intensif untuk dilakukan bantuan nafas. Saat itu RS belum punya alat bantu nafas (respirator) untuk memperbaiki pernafasan penderita. Untungnya dua hari kemudian penderita merasa lebih baik, pernafasan mulai teratur dan akhirnya dapat pulang ke rumah setelah nafas membaik. Penderita mulai dapat berjalan, walaupun masih tertatihtatih. Penderita tertolong. Sementara itu kasus lain yang tidak kalah menariknya adalah seorang penderita dengan keluhan melihat kembar (suatu objek terlihat dua), mendadak, tidak ada demam dan tidak ada mual muntah, mempunyai riwayat sebelumnya demam, nyeri sendi, diare kira-kira 3 minggu yang lalu, penderita dirawat. Setelah perawatan 2 minggu mulai membaik dan pulang ke rumah. Kasus-kasus di atas memperlihatkan pada kita kalau keluhan lumpuh layuh dapat tertolong dengan pengelolaan biasa, serta keluhan seperti ini bukan hanya dialami oleh pasien polio tetapi dapat uga disebabkan oleh Guillain Barre Sindrom. Berbeda dengan polio yang disertai demam saat sakit dengan kelumpuhan hanya satu tungkai, setelah sembuh mengalami gejala sisa setelah penderita baik, sedangkan Guillain Barre Sindrom dapat sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun kadang-kadang kasus tertentu ada yang tidak tertolong. Apa itu Guillain Barre Sindrom (GBS) ? Merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadangkadang dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya refleks. Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otototot penggerak bola mata sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai gangguan koordinasi anggota gerak. Penyakit
GBS, sudah ada sejak 1859. Nama Guillain Barre diambil dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain dan Barré yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya. Apa penyebabnya ? GBS ini tadinya dianggap sebagai neuroalergi yang menghasilkan berbagai bahan berbahaya. Terdapat perkiraan bahwa kumpulan gejala ini terjadi karena menurunnya daya kekebalan tubuh sendiri (auto imun), yang biasanya didahului oleh infeksi virus atau kuman-kuman yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan atas dan diare yang melemahkan daya tahan tubuh (kekebalan) sehingga mengalami keluhan seperti kasus-kasus di atas. Sel sistem kekebalan menyerang sarung saraf (mielin) yang mengelilingi serabut saraf di seluruh saraf tepi. Dapatkah GBS diobati ? Dapat, angka kesembuhan terjadi sempurna (75-90 %) dengan cara pengobatan dan fisioterapi. Bagi kasus2 tertentu dilakukan penggantian plasma dengan maksud menghilangkan efek menurunnya kekebalan (auto imun). Terapi ini akan dapat menyembuhkan penderita, selain itu dapat juga dilakukan infus imunoglobulin . Pada sebagian kasus tidak arang penderita secara bertahap dapat pulang setelah dirawat beberapa lama. Sedangkan pada kasus-kasus tertentu, ada yang membutuhkan bantuan alat nafas (respirator) dan pada kasus yang sangat berat dengan gangguan nafas ada yang tidak tertolong. Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitasnya berhenti. Pengobatan medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi hasilnya. Pada kebanyakan kasus terjadi perbaikan spontan. Kadang-kadang pengelolaaan menjadi sangat rumit dan melelahkan. Pada manula penyembuhan umumnya lebih lambat dibandingkan anak anak. Edukasi penderita dengan menerangkan pada keluarga mengenai penyakit ini dan cara pengobatan serta fisioterapi menyeluruh harus dilakukan. RS Cipto Mangunkusumo saat ini sedang menangangi 2 kasus GBS yang sebelumnya sempat dirawat dr RS St. Carolus Jakarta dan RS Azra Bogor. Dapatkah GBS dicegah ? Salah satu jalan untuk mencegah SGB adalah dengan mempertinggi daya tahan tubuh saat tidak sakit dengan cara mengonsumsi protein hewani dari daging dan ikan, nabati dari tempe dan tahu disertai sayur dan buah, sehingga diharapkan kita jarang sakit influenza, karena daya tahan tubuh tinggi. Selain itu perlu juga menjaga kebersihan tubuh dengan mandi dan cuci tangan bila mau makan untuk menghindari infeksi kuman, virus atau bakteri yang menyebabkan diare
Bila ada gejala-gejala GBS, apa yang harus dilakukan ? Jangan kaget, segera kosultasi dokter di Puskesmas. Kita tidak mengenal awalnya orang terkena serangan, tapi bila mendapat gejala seperti kasus di atas segera bawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit, agar dapat dilakukan pengobatan segera dan dapat mewaspadai serangan yang lebih hebat. Ingat, keadaan lumpuh layuh ini dapat disebabkan oleh Polio atau Guillain Barre Sindrom. Bila kena GBS, apakah harus mengeluarkan biaya mahal ? Tidak selalu demikian, ada penderita yang baik setelah mendapat pengobatan biasa, malah ada yang sembuh spontan dalam jangka waktu pendek. Tetapi memang pada kasus tertentu yang berat disertai gangguan nafas memerlukan infus zat kekebalan (imunoglobulin) yang mahal dan atau penggantian plasma darah untuk mempercepat perbaikan. Tentu setiap RS telah membuat aturan kapan harus diberikan cara-cara penanganan khusus diatas. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Last edited by gitahafas on Tue Aug 09, 2011 10:59 am; edited 2 times in total gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 5:22 am PENATALAKSANAAN REHABILITASI MEDIS, TERAPI OKUPASI ATAU FISIOTERAPI PADA PASIEN GBS Oleh: Indonesian Children | Desember 14, 2009 Saat pasien dirawat dengan ventilator, ia tidak mampu bicara ataupun berkomunikasi dengan cara lain; karenanya mungkin timbul rasa terasing, frustasi, kemarahan, syok, depresi, ansietas, ataupun rasa takut hidup tergantung selamanya dengan kerusakan permanen. Karenanya penting adanya dukungan penuh dari keluarga sehingga pasien dapat mengekspresikan perasaannya dan mendapatkan ketenangan batin. Pada waktu penderita GBS tidak lagi memerlukan ventilator, selang akan dicabut, sehingga pasien dapat berbicara kembali, meskipun otot-otot yang umumnya digunakan untuk berbicara (bibir, mulut, lidah, dan pita suara) masih sangat lemah sehingga bicara menjadi kurang jelas, sehingga pasien membutuhkan bantuan terapis wicara untuk mengajarinya supaya dapat berbicara dengan lancar kembali. Komunikasi yang efektif perlu dibangun diantara pasien dan dokter, pelaku rawat medis, keluarga, dsb. Bila bicara tidak mungkin dilakukan, metode komunikasi lainnya dapat digunakan, misalnya dengan
penggunaan alat tulis ataupun bahasa isyarat melalui isyarat mata, jari, isyarat tunjuk atau gerakan tangan sebagai respon terhadap orang lain. Papan berisi kartu atau balok-balok berwarna dengan tulisan berupa pertanyaan standard yang bervariasi mungkin dapat digunakan pada pasien dengan kemampuan gerak yang minimal. Atau bila mungkin, dapat digunakan media lainnya seperti mouthpiece menggunakan sinyal Morse yang dihubungkan dengan komputer yang akan mentransformasikan sinyal menjadi alfabet, dan lain sebagainya. Dibutuhkan ide kreatif serta selera humor dan kesabaran yang tinggi dalam mengatasi masalah ini. Selain mengalami periode sulit secara fisik, penderita p enderita GBS juga mengalami periode sulit secara psikologik; dimana ia terbaring tanpa daya, dan harus menggantungkan hidupnya pada orang-orang di sekitarnya. Karena itu, perlu diberikan informasi yang jelas sejak awal mengenai perjalanan penyakit, bahwa sebagian besar penderita akan sembuh, sehingga muncul optimism baik dari penderita maupun pihak keluarga. Meski begitu, harus dihindari kemungkinan optimisme yang berlebihan sehingga keluarga dan penderita menjadi kurang sensitif. Konseling dan medikasi akan membantu mengatasi perasaan penderita serta keluarganya. Kerabat yang berkunjung hendaknya terus menyemangati dan membuat pasien tetap dapat mengikuti perkembangan aktivitas keluarga dan teman-temannya, untuk menghindari perasaan terisolasi dari kehidupan normal serta mempersiapkannya untuk fase penyembuhan dan pengenalan ke dalam lingkungannya kembali. Sejumlah penderita merasa nyaman bila mendapatkan kunjungan dari kerabat ataupun orang lain yang pernah sembuh dari penyakit serupa. Manajemen nyeri, pengertian mengenai penyakit serta terapi gejala sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita GBS. Saat pasien GBS mulai sembuh, penggunaan otot-otot mulai kembali, sehingga perlu latihan otot-otot tersebut. Pasien akan terkejut betapa sedikit hal yang dapat ia kerjakan setelah berbaring beberapa minggu di tempat tidur saja. Fisioterapis dan terapis okupasi akan mengajarkan latihan untuk memperkuat otot-otot, serta menggunakan otot-otot tersebut secara benar dan meningkatkan stamina. Hari dimana seorang pasien dengan paralisis mampu duduk kembali merupakan suatu hari besar yang sangat berarti, sementara hari-hari besar lainnya adalah hari dimana penderita dapat duduk tanpa bantuan, duduk di kursi roda, dan berjalan dengan atau tanpa alat bantu, seiring dengan terlatihnya otot mereka. Interval antara fase-fase ini dapat sangat panjang dan melelahkan, berkisar dari satu setengah bulan hingga satu setengah tahun, tergantung dari kondisi pasien. Rehabilitasi juga berkaitan erat dengan kondisi psikologis penderita, serta adan ya periode „mati‟ dimana
tidak dijumpai adanya perbaikan apapun. Untuk meningkatkan motivasi pasien, fisioterapis perlu mengukur peningkatan stamina otot yang lambat, karena sesungguhnya rehabilitasi membutuhkan waktu yang panjang dan kesabaran baik dari pasein ataupun personil kesehatan. Endurans hanya dapat dibangun dengan ketekunan; hal ini merupakan sesuatu yang sulit mengingat fakta bahwa penderita GBS memerlukan periode penyembuhan yang panjang antara tahapan-tahapan latihan. Pada pasien yang sulit menjumpai adanya perbaikan, mungkin perlu dibuat tujuan-tujuan jangka pendek bagi mereka sendiri; misalnya dimulai dari berjalan, kemudian jogging, lalu mengendarai sepeda, dsb. Mulailah dari tahap yang mudah; saat tubuh mulai belajar dan mengetahui kemampuannya sendiri, tujuan yang ingin dicapai dapat lebih ditingkatkan secara gradual. Jangan lupa perlu adanya waktu istirahat diantara tahapan latihan, atau mungkin interval 1 atau 2 hari diantaranya. Selama fase rehabilitasi, pasien diajarkan untuk menggunakan energinya yang terbatas secara bijak, antara lain dengan menggerakan badannya secara tepat, menghindari rutinitas yang tidak perlu, dan mengkompensasikan aktivitas yang sulit dengan gerakan ataupun aktivitas lainnya. Kekuatan otot umumnya kembali pertama-tama pada lengan, kemudian tangan, sehingga terapi fisik dimulai dengan latihan pada lengan dan bahu. Hal-hal mendasar seperti halnya memegang pensil dan menggunakannya harus kembali dipelajari. Kekuatan otot perlu diperiksa secara rutin; otot yang lemah perlu dicari untuk kemudian dilatih dan diperkuat melalui latihan-latihan penguatan spesifik. Dengan bertambahnya kekuatan otot, rasa lelah akan semakin berkurang. Pasien akan belajar untuk memacu dirinya sendiri, meski masih dalam observasi; dengan melakukan bermacam latihan sampai mencapai keterbatasan endurans, namun tidak melebihi batasnya. Seorang terapis harus mampu mengenali tanda dan peringatan dari tubuh apabila batasan itu terlampaui, antara lain adanya kesemutan, baal ataupun abnormalitas sensorik lainnya pada kelompok otot tertentu. Terlalu memaksakan diri akan berakibat timbulnya nyeri, spasme, kelemahan, dan fatigue pada otot yang sementara, sehingga rehabilitasi haruslah dihentikan sementara sampai ototnya kembali pulih. Di sinilah pasien akan belajar mengetahui keterbatasannya, bagaiman menilai tanda dan gejala dari tubuhnya sendiri, serta kebutuhannya akan istirahat. Dalam aktivitas sehari-hari, kadang dibutuhkan usaha dan konsentrasi lebih, sehingga hal ini perlu dimengerti dan dihargai oleh orang-orang di sekeliling penderita. Kelelahan atau berkurangnya endurans otot merupakan masalah baik selama proses rehabilitasi dan masa penyembuhan. Hampir 80% penderita yang nampaknya sembuh dan hidup normal kembali, kadang
masih dijumpai kelelahan ataupun fatigue; dan pada beberapa kasus, hal ini tidak kunjung berkurang. Seperti halnya rasa kesemutan dan nyeri, nampaknya penderita harus belajar untuk hidup dengan hal itu sebagai bagian hidupnya. Sekitar 50-75% pasien yang sembuh mengeluh adanya nyeri tertusuk jarum serta sensasi sensorik yang aneh pada tungkai dan kaki. Gejala tersebut bertambah pada sore dan malam hari, serta setelah berjalan jauh. Hal ini dapat bertahaan sampai beberapa tahun setelah serangan GBS pertama, sedangkan gejala persisten mungkin dipengaruhi oleh derajat kerusakan aksonal yang terjadi. Analgetika niasa mungkin tidak dapat mengurangi gejala, sehingga perlu ditambah dengan medikasi lainnya. Selama penderita menjalani rehabilitasi, terkadang perlu diperhatikan adanya suatu kebutuhan khusus, seperti halnya keinginan pasien untuk memikirkan kembali hidupnya, rumah, mobil, hobi, pekerjaan, dsb. Hal ini diharapkan dapat menambah kualitas hidup penderita dan membuatnya dapat hidup senormal mungkin. Bila diperlukan, konseling profesional dapat diadakan untuk meningkatkan rasa percaya diri serta harga dirinya sebagai manusia. gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 5:28 am REHABILITASI PADA PASIEN GBS Authors: Fitri, Fasihah Irfani Issue Date: 19-May-2011 Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sekelompok gangguan yang diperantarai sistem imun yang secara umum dicirikan dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom. Dalam bentuknya yang klasik, GBS adalah suatu acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), yang dicirikan dengan kelemahan otot simetris ascending progresif, dan hiporefleks dengan atau tanpa gejala sensorik atau otonom; walapun begitu varian yang melibatkan saraf kranialis atau keterlibatan motorik murni dapat juga dijumpai. 1 Selain AIDP, bentuk yang paling umum dikenali, varian lainnya mencakup acute motor axonal neuropathy (AMAN) dan acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN).2 Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat menyebabkan gagal nafas, dan disfungsi otonom dapat memperumit penggunaan obat sedatif dan vasoaktif. 1 Dengan terkendalinya poliomyelitis, GBS menjadi penyebab paling penting dari acute flaccid paralysis. 2 Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan mengenai anak-anak maupun orang dewasa.3 Guillain Barre Syndrome adalah diagnosis yang secara utama dibuat dengan riwayat penyakit dan gejala klinis.2 Infeksi gastrointestinal atau pernafasan ringan mendahului gejala neuropatik pada 1 hingga 3 minggu sebelumnya (kadang-kadang lebih lama) pada sekitar 60% kasus. Penelitian kini menunjukkan bahwa Campylobacter jejuni adalah organisme penginfeksi yang paling sering dijumpai namun hanya dijumpai pada proporsi kecil kasus. Kejadian sebelumnya atau penyakit
yang berhubungan lainnya mencakup viral exanthems dan penyakit virus lainnya [cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr virus (EBV], infeksi bakteri selain Campylobacter (Mycoplasma pneumoniae, Lyme disease), paparan terhadap agen trombolitik, dan limfoma (terutama Hodgkin disease). 3 Guillain Barre Syndrome adalah suatu penyebab disabilitas angka panjang yang penting untuk sedikitnya 1,000 orang tiap tahun di Amerika Serikat. Karena GBS terjadi pada umur yang relatif muda dan harapanhidup yang masih panjang setelah GBS,setidaknya 50.000 orang di Amerika Serikat mengalami efek residual dari GBS. Lebih kurang 40% pasien yang diopname dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat dirawat. Untuk pasien GBS yang memerlukan opname untuk rehabilitasi,perlunya penggunaan ventilator memberikan dugaan yang kuat akan panjangnya masa rawat inap untuk rehabilitasi. Hal lainnya yang mempengaruhi rehabilitasi adalah disautonomia, keterlibatan saraf kranial, dan berbagaikomplikasi medis lainnya yang berhubungan dengan GBS. Sindroma nyeri deaferentasi merupakan hal yang sering dijumpai pada tahap awal penyembuhan. Berbagai komplikasi medis seperti trombosis vena dalam, kontraktur sendi, hiperkalsemia akibat immobilisasi dan dekubitus juga dapat dijumpau pada tahap awal penyembuhan dan dapat mempengaruhi program rehabilitasi . Anemia adalah hal yang sering pada beberapa bulan awal penyakit namun tampaknya tidak mempengaruhi pemulihan fungsional. Terapi harusnya tidak membebani unit motorik, yang berhubungan dengan kelemahan paradoksikal. URI: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24601
Moderator
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 5:32 am
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
SINDROM GUILLAIN-BARRE Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Sindrom Guillain – Barré (SGB) atau radang polineuropati demyelinasi akut adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan pada tahun 1916 oleh Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl. Mereka menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita keabnormalan peningkatan produksi protein cairan otak. Diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisa cairan otak dan electrodiagnostic. Indikasi terjadinya infeksi adalah kenaikan sel darah putih pada cairan otak. Sedangkan bila menggunakan electrodiagnostic, dapat melalui pemeriksaan konduksi sel saraf.
gitahafas
Gejala dan Penyebab Pada kondisi normal, tubuh akan menghasilkan antibodi untuk melawan
antigen (zat yang merusak tubuh) ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, atau bakteri. Pada kasus SGB, antibodi malah menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan sel saraf. Hal ini ditimbulkan karena antibodi merusak selaput myelin yang menyelubungi sel saraf (demyelinasi). Kerusakan yang ditimbulkan dimulai dari pangkal ke tepi atau dari atas ke bawah. Kerusakan tersebut akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensibilitas. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf maka dapat terjadi kelainan pada sumsum tulang belakang. Gejala-gejala yang dapat timbul pada penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri, dengan pola persebaran yang tidak teratur dan dapat berubahubah. Kelumpuhan pada pasien SGB biasanya teradi dari bagian tubuh bawah ke atas atau dari luar ke dalam secara bertahap, namun dalam waktu yang bervariasi. Penderita SGB parah, kerusakan dapat berdampak pada paru-paru dan melemahkan otot-otot pernapasan sehingga diperlukan ventilator untuk menjaga pasien agar tetap bertahan. Kondisi penderita dapat bertambah parah karena kemungkin terjadi infeksi di dalam paru-paru akibat berkurangnya kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan. Kematian umumnya terjadi karena kegagalan pernapasan dan infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan Pertukaran plasma, serupa dengan cuci darah, yaitu penggantian plasma darah menggunakan alat plasmaferesis. Ini dapat membantu pasien untuk bertahan dari sindrom Guillain – Barré atau mencapai kondisi yang lebih baik. Pemberikan imunoglobulin intravena (IVIg diberikan melalui darah) dosis tinggi selama lima hari untuk peningkatan kekebalan tubuh. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi sebagai antiradang. Pada beberapa kasus, pemberian kortikosteroid dapat membantu proses penyembuhan. Pasien yang berhasil sembuh dari SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh karena sel saraf merupakan jaringan yang tidak bisa kembali dengan sendirinya ketika mengalami kerusakan. Untuk dapat menggerakkan anggota tubuhnya kembali, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis, pasien harus melakukan terapi dan latihan secara teratur. Dalam jangka waktu satu tahun atau lebih, 85% penderita SGB dapat kembali normal. gitahafas
Moderator
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 5:41 am WASPADAI PENYAKIT PENYEBAB KELUMPUHAN Wednesday, 16 March 2011 Seputar Indonesia Biasanya penyakit ini bermula dari gejala yang sepele. Namun tanpa
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
penanganan yang tepat, Guillain Barre Syndrome (GBS) bisa berakibat fatal, bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rediono,35,tak menyangka bahwa flu yang dideritanya bukanlah flu biasa.Ternyata flu yang dianggapnya penyakit enteng tersebut merupakan gejala munculnya guillain barre syndrome (GBS) yang berujung pada kelumpuhan. Awalnya serangan GBS pada bapak dua orang anak ini ditandai dengan flu. Tapi anehnya,flu yang dideritanya tak kunjung sembuh.“Saya merasa lemas, kadang kesemutan, badan terasa pegal, dan terkadang sulit digerakkan,” ujar dia. Setelah 3 hari k eletihan yang dirasakan semakin parah, akhirnya Rediono pergi ke dokter. Dokter mendiagnosa bahwa dia kelelahan dengan obat cukup beristirahat saja. Keesokan harinya, saat terbangun dari tidur, Rediono merasa badannya lebih lemah, bahkan seolah lumpuh. Setelah mendatangi kembali rumah sakit, Rediono akhirnya terdiagnosa GBS. Sebuah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah, kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu,bulan,atau tahun. “Saya mengalami GBS kurang lebih 6 bulan dan bisa kembali normal setelah mendapat perawatan,” terangnya. Guillain barre syndrome (GBS) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. Dikatakan oleh ahli saraf dari Rumah Sakit Omni Alam Sutera Tangerang,Daniel Thomas SpS, bahwa GBS sebenarnya bukan langsung disebabkan infeksi virus, tetapi karena antibodi dari badan terhadap molekul dari agen-agen infeksius, seperti virus dan bakteri yang pernah menyerang tubuh. Jadi,GBS tidak secara langsung karena infeksi virus atau bakteri terhadap tubuh, melainkan antibodi dari tubuh menyerang saraf tepi di dalam tubuh (sel schwann, axon) yang mempunyai molekul yang sama dengan virus tersebut yang disangka sebagai virus. Daniel menjelaskan, gejala GBS awalnya berupa rasa lemah yang disertai kebas dan kesemutan mulai dari tungkai bawah yang menjalar ke atas seperti tungkai atas, badan, lengan, dan wajah. Biasanya simetris pada kedua sisi.Gejala-gejala awal tersebut bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu. Umumnya, penderita tidak merasa perlu perawatan atau terkadang susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Dalam tahapan berikutnya, mulai muncul kesulitan berarti seperti badan yang semakin lemah yang lebih mirip pada gejala lumpuh. Bahkan beberapa dari pasien GBS banyak yang mengira bahwa sebelum didiagnosa GBS,mereka alami stroke. Pada kasus akut, GBS bisa mengakibatkan kesulitan menelan hingga bernapas. Pasien GBS bahkan bisa mengalami kelumpuhan mendadak yang memungkinkan berdampak kematian. “Namun, tidak semua penyakit GBS berakhir dengan kelumpuhan,
seperti apabila tertangani sejak awal, maka GBS bisa diatasi. Selain itu,juga bergantung dari daerah saraf tepi yang terkena,” ungkap Daniel.Yang berbahaya adalah apabila GBS bisa sampai mengenai saraf yang bekerja pada otot-otot pernapasan sehingga terjadi kelumpuhan otot pernapasan dan dapat menyebabkan kematian. Angka mortalitas sekitar 5% bila terjadi paralisis pernapasan. GBS timbul dari pembengkakan syaraf periferal sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang.Namun selain itu, terdapat faktor genetik yang menjadi salah satu penyebabnya, karena tidak semua orang dengan mudah terserang GBS.Tetapi yang perlu diingat,GBS bisa mengenai semua usia, terutama pada usia muda (15 – 35 tahun) dan orang tua (50 –75 tahun).“Angka kejadian kira-kira 1,2 sampai 3 per 100.000 penduduk,”tandasnya. Masih dijelaskan Daniel, GBS bisa disembuhkan, kebanyakan pasien atau sekitar 85% pasien dengan GBS mencapai full and functional recovery dalam waktu 6 sampai 12 bulan. Recovery maksimal 18 bulan.Penyakit ini lebih lambat dan sulit untuk sembuh sempurna bila mengenai orang pada usia di atas 50 –60 tahun.“Menjaga gaya hidup bersih dan memperkuat daya tahan tubuh agar lebih kuat terhadap infeksi virus dan bakteri yang bisa mencetuskan terjadinya GBS merupakan salah satu cara untuk menghindar dari GBS,”pesannya. ● inggrid namirazswara gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 5:42 am MISTERI SINDROM GUILLAIN BARRE Selasa, 28 September 2010 | 04:02 WIB Kompas.com - Jangan sepelekan penyakit flu yang tampaknya biasa. Demikian juga jika bagian tubuh tertentu kerap merasa kebas, kesemutan, atau nyeri. Bisa jadi itu tanda-tanda awal terjadinya sindrom Guillain-Barré, yaitu saat sistem kekebalan tubuh justru menjadi jahat dan menyerang tubuh. Sindrom Guillain-Barré atau SGB kerap juga disebut radang polineuropati demyelinasi akut (acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/AIDP). Atau dengan bahasa lain, peradangan akut yang menyebabkan rusaknya sel saraf, yang tidak jelas penyebabnya. Penyakit itu dapat menyerang siapa saja. Belum ada yang bisa memprediksi kedatangannya, progresnya, hingga tingkat keparahannya. Pernah terjadi, dokter ahli saraf dan penyakit dalam pun meninggal karena sindrom ini. Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl menemukan sindrom tersebut pada tahun 1916. Mereka mendiagnosis dua tentara yang menunjukkan keabnormalan pada
peningkatan produksi spinal fluid protein. Saat ini diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisis cairan otak. Kenaikan jumlah sel darah putih pada cairan otak mengindikasikan terjadinya infeksi. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan electrodiagnostic, yaitu dengan memeriksa normal tidaknya konduksi sel-sel saraf. Kasus SGB terakhir terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pasien RS Islam Sultan Agung, Semarang, bernama Susanti (28) akhirnya meninggal dunia karena sindrom ini. Serangan SGB yang diderita Susanti rupanya sudah parah hingga menyerang otot paru-parunya dan menyebabkan infeksi. Kondisinya terus menurun, dan Susanti tidak tertolong lagi. Angka kejadian SGB tergolong kecil, 1:100.000. Di RSUP dr Kariadi (RSDK) Semarang, setiap tahun rata-rata ditemukan sekitar lima sampai tujuh kasus. Dari sejumlah pasien itu, ada yang bisa sembuh, ada yang tidak. Tidak jelas Spesialis saraf Amien Husni dari RSDK Semarang menjelaskan, hingga kini penyebab dari penyakit autoimun tersebut masih tidak diketahui. Demikian juga pemicunya. Lazimnya, ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, atau bakteri, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan antigen (zat yang merusak tubuh). Pada kasus SGB, antibodi justru menjadi jahat dan menyerang sistem saraf tepi. Selaput myelin yang menyelubungi sel saraf dihancurkan (demyelinasi) sehingga sel sarafnya rusak. Kerusakan mulai dari pangkal ke tepi atau dari bawah ke atas. Kerusakan itu menyebabkan kelumpuhan motorik dan menimbulkan gangguan sensibilitas pada penderita. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf (radiks), dapat menyebabkan kelainan pada sumsum tulang belakang. Pada kasus Susanti, SGB ditemukan dua minggu setelah Susanti menjalani operasi usus buntu. Setelah itu serangan mulai dari kaki Susanti yang kemudian tidak dapat digerakkan. Kelumpuhan itu pun merambat hingga ke tangan dan anggota tubuh lain. Susanti juga tidak dapat berbicara. Pada penyakit autoimun yang lain, serangan yang terjadi serupa, tetapi pada lokasi yang berbeda. Meski demikian, mekanisme terjadinya juga tidak dapat dipahami: antibodi yang dihasilkan justru menyerang tubuh. Kasus multiple sclerosis, misalnya, demyelinasi terjadi pada saraf pusat. Adapun pada myasthenia, antibodi merusak hubungan antara saraf dan otot. Kelumpuhan pada SGB biasanya terjadi dari bagian tubuh bawah ke atas atau dari luar ke dalam secara bertahap. Kejadiannya pun tidak dapat diperkirakan. Pada beberapa kasus kelumpuhan terjadi sangat cepat dan pada kasus yang lain kejadiannya bisa lebih lambat. Pada kasus yang parah kerusakan selaput myelin mencapai paru-paru dan
melemahkan otot-otot pernapasan. Paru-paru pun tidak dapat bekerja dan penderita harus dibantu dengan ventilator. Dengan kelemahan tersebut, sangat mungkin terjadi infeksi di dalam paru-paru karena kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan berkurang. Itu yang menyebabkan kondisi penderita semakin parah. Gejala lain yang dirasakan penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti rasa kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri. Pola persebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Biasanya, kata Amien, penderita SGB sebelumnya menderita infeksi virus seperti influenza satu atau dua minggu sebelumnya. Bisa jadi hal itu didorong oleh virus influenza, atau reaksi imun terhadap virus influenza. Tidak terjadi infeksi Sindrom ini, seperti penyakit autoimun yang lain, termasuk self remittance disease. Sebenarnya penderita dapat sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu sekitar enam bulan. Dengan catatan, tidak terjadi infeksi pada tubuh penderita. ”Yang menyebabkan kematian biasanya karena terjadi gagal napas dan infeksi yang timbul. Namun, itu uga tidak dapat dipastikan,” kata Amien.Penanganan pada penderita SGB biasanya dilakukan dengan plasma exchange, tindakan yang mirip cuci darah, dengan mengganti plasma darah menggunakan alat bernama plasmaferesis. Hal itu dapat menolong penderita untuk bertahan atau mencapai kondisi yang lebih baik. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki alat ini. Alternatif lain adalah dengan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi selama lima hari untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, obat ini tidak murah, bahkan tergolong sangat mahal, dan tak semua pasien mampu membeli. Ada satu cara lagi yang dimungkinkan, yaitu dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Kortikosteroid biasanya diberikan sebagai antiradang. Walaupun dalam banyak literatur disebutkan pemberian kortikosteroid tidak dapat memberi pengaruh yang berarti, pada beberapa kasus, kata Amien, ternyata dapat membantu. Harga kortikosteroid pun jauh lebih murah dari pada immunoglobulin. Dengan demikian, pasien yang tidak mampu biasanya diberikan terapi ini dan pada beberapa kasus ternyata berhasil. Bagi mereka yang berhasil sembuh, SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh. Sebab, sel saraf merupakan jaringan yang paling ”bodoh” sehingga ketika rusak tidak bisa lagi kembali normal dengan sendirinya. Penderita yang pulih dari SGB harus menjalani terapi dan latihan secara teratur untuk dapat menggerakkan kembali anggota tubuhnya, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis. Setelah satu tahun atau lebih,
85 persen penderita bisa kembali normal. Penyakit yang bisa sedemikian ahat ini pun tidak dapat dicegah. Akan tetapi, Amien mengatakan, jika dapat terdeteksi sedini mungkin dan mendapat penanganan lebih cepat, kemungkinan sembuhnya bisa lebih besar. Oleh karena itu, berhatihatilah dan cermati setiap gejala yang muncul. Sebab, sindrom ini termasuk dalam acute inflammatory, terjadi secara mendadak dan meradang dalam waktu yang sangat cepat. gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Aug 04, 2011 11:33 am SINDROM GUILAIN-BARRE, PENYAKIT AUTOIMUN YANG BISA MELUMPUHKAN Senin, 01/08/2011 14:38 WIB Vera Farah Bararah - detikHealth Sindrom Guillain-Barre adalah kelainan yang membuat sistem kekebalan tubuh menyerang saraf. Sindrom ini terbilang jarang dan hanya mempengaruhi 1-2 orang per 100.000, tapi bisa menyerang siapapun tanpa memandang usia. Penyakit ini seringkali diikuti dengan infeksi ringan seperti infeksi paru-paru atau pencernaan. Kerusakan pada bagian saraf ini akan menyebabkan kesemutan, kelemahan otot dan kelumpuhan. Sindrom ini paling sering mempengaruhi saraf penutup (myelin sheath) yang disebut demielinasi yang menyebabkan sinyal saraf untuk bergerak jadi lebih lambat. Sedangkan kerusakan pada saraf lain bisa membuat saraf berhenti bekerja sama sekali. Gejala Sindrom Guillan-Barre sering diawali dengan kesemutan dan kelemahan di kaki dan tungkai lalu naik ke bagian tubuh atas dan lengan. Gejala atau tanda lain yang muncul seperti: - Rasa seperti ditusuk-tusuk di jari tangan, kaki atau keduanya - Kelemahan dan sensasi kesemutan di kaki yang menyebar ke atas - Ketidakmampuan untuk berjalan - Kesulitan dengan gerakan mata, wajah, berbicara, mengunyah atau menelan - Rasa sakit yang parah di punggung bawah - Kesulitan dalam mengontrol kandung kemih atau fungsi usus - Detak jantung yang cepat - Kesulitan bernapas Penyebab Sampai saat ini para ilmuwan belum mengetahui dengan pasti apa penyebab dari sindrom Guillain-Barre, meskipun ada kemungkinan akibat infeksi. Beberapa kasus sindrom Guillain-Barre terjadi setelah terkena infeksi bakteri, memiliki penyakit yang kronis tapi banyak juga
yang terjadi tanpa adanya pemicu. Pengobatan Umumnya tidak ada obat untuk sindrom Guillain-Barre. Tapi saat ini ada dua jenis perawatan yang bisa mempercepat pemulihan dan mengurangi keparahan dari sindrom ini yaitu: 1. Plasmapheresis, perawatan ini dikenal sebagai pertukaran plasma (pembersihan darah). Metode ini terdiri diri dari bagian pengeluaran cairan darah (plasma) dan memisahkannya dari sel-sel darah yang sebenarnya. Lalu sel-sel darah ini dimasukkan kembali ke dalam tubuh agar bisa memproduksi plasma dan mengganti plasma yang sudah dikeluarkan. Para ilmuwan percaya dalam teknik ini ada antibodi tertentu dalam plasma yang berkontribusi terhadap penyerangan sistem kekebalan ke saraf perifer. 2. Imunoglobulin intravena, yaitu memberikan imunoglobulin yang mengandung antibodi sehat dari donor darah melalui intravena. Dosis imunoglobulin yang tinggi bisa memblokir antibodi yang merusak sistem saraf di tubuh. BEDA ALERGI DAN INTOLERANSI MAKANAN Lusia Kus Anna | Senin, 22 Agustus 2011 | 14:31 WIB Kompas.com - Reaksi yang timbul setelah mengasup makanan tertentu adalah hal yang wajar, tetapi kebanyakan disebabkan oleh intoleransi makanan daripada karena alergi. Kendati demikian gejalanya hampir sama sehingga orang sering salah mengidentifikasinya. Alergi terhadap makanan sebetulnya lebih jarang daripada yang diduga, diperkirakan hanya 0,1-5 persen penduduk menderita alergi ini. Alergi makanan terjadi karena reaksi sistem imun yang berpengaruh pada beberapa organ di tubuh. Jika Anda menderita alergi suatu makanan, bahkan setelah dimakan dalam jumlah kecil, reaksinya akan langsung timbul. Jika yang terpengaruh adalah sistem pencernaan, gejalanya bisa berupa rasa mual, muntah atau diare. Bisa juga berupa ruam-ruam atau gatal jika yang terpengaruh adalah kulit. Reaksi alergi yang mengancam jiwa disebut anafilaksis, karena menyebabkan gangguan pernapasan dan membuat tekanan darah sangat rendah. Sementara itu intoleransi makanan biasanya timbul secara bertahap dan tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh. Jika Anda hanya menderita intoleransi makanan, Anda masih bisa mengonsumsi makanan tertentu dalam jumlah kecil tanpa Anda reaksi yang timbul. Penderita intoleransi makanan juga bisa melakukan pencegahan reaksi. Misalnya jika Anda menderita intoleransi laktosa, Anda bisa mengonsumsi susu bebas laktosa. Secara umum ada beberapa kondisi yang memicu intolerensi makanan, yakni:
- Ketiadaan enzim tertentu yang diperlukan untuk mencerna suatu makanan secara utuh, misalnya laktosa. - Sindrom iritasi perut. Kondisi ini akan menyebabkan kram, sembelit dan diare. - Keracunan makanan. Toksin seperti bakteri dalam makanan yang rusak bisa meneybabkan gangguan pencernaan yang parah. - Zat tambahan atau pengawet dalam makanan. - Stres berulang atau faktor psikologis. - Penyakit celiac. Orang yang menderita penyakit ini biasanya menderita gangguan pencernaan yang dipicu oleh gluten, protein yang ditemukan dalam roti dan tepung-tepungan.
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Mon Aug 29, 2011 4:30 pm JANGAN ANGGAP REMEH ALLERGI MAKANAN Bramirus Mikail | Lusia Kus Anna | Senin, 29 Agustus 2011 | 13:44 WIB KOMPAS.com - Ada makanan tertentu yang jika terserap ke dalam tubuh melalui pencernaan akan memicu reaksi alergi. Alergi bisa menyerang siapa saja. Reaksinya bisa ringan, namun lama kelamaan bisa memberi efek serius, bahkan mengancam nyawa. Sebuah artikel yang dipublikasikan dalam Journal Pediatrics tahun 2011 menyimpulkan, 8 persen anak-anak Amerika di bawah usia 18 tahun mengalami alergi makanan yang berisiko pada kematian. Menurut American Academy of Asma, antara 150-200 orang Amerika meninggal setiap tahunnya akibat anafilaksis (reaksi alergi akut) Sedangkan pada tahun 2003 hingga 2006, alergi makanan menyebabkan sekitar 317.000 orang harus dirujuk ke bagian gawat darurat di rumah sakit, klinik rawat jalan dan klinik dokter. Berdasarkan hasil analsis, 90 persen reaksi alergi makanan muncul setelah seseorang mengonsumsi, susu, telur, kacang-kacangan, kedelai, gandum, ikan dan kerang. Gejala yang ditimbulkan biasanya meliputi
gatal-gatal, bengkak, muntah dan diare. Jika pasien dengan anafilaksis tersebut tidak segera diobati dengan pemberian epinefrin (adrenalin sintetik yang disuntikkan ke dalam tubuh) maka bisa berakibat fatal. Sebagian besar reaksi alergi makanan terjadi secara langsung yaitu beberapa saat setelah mengonsumsi makanan. Reaksi alergi terhadap makanan jarang muncul setelah dua jam makan. Menurut pemaparan Sloane Miller, pakar alergi makanan, ada banyak cara untuk menghindari timbulnya alergi pada makanan: Pertama, Hindari makanan tertentu yang dapat memicu alergi, dan konsultasikan dengan dokter spesialis alergi untuk memastikan Anda memang menderita alergi atau hanya intolerenasi makanan. Kenali juga jenis makanan yang bisa memicu alergi. Kedua, Selalu berjaga-jaga dengan membawa obat-obatan yang memang Anda perlukan, misalnya antihistamin atau obat-obatan lain yang diberikan dokter sesuai tingkat keseriusan penyakitnya. Ketiga, Menjalin hubungan yang kuat dengan kerabat, guru dan keluarga yang dapat membantu Anda ketika dalam keadaan darurat.
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Mon Aug 29, 2011 4:57 pm ALERGI Alergi merujuk pada reaksi berlebihan oleh sistim imun kita sebagai tanggapan pada kontak badan dengan bahan-bahan asing tertentu. Berlebihan karena bahan-bahan asing ini umumnya dipandang oleh
tubuh sebagai sessuatu yang tidak membahayakan dan tidak terjadi tanggapan pada orang-orang yang tidak alergi. Tubuh-tubuh dari orangorang yang alergi mengenali bahan asing itu dan sebagian dari sistim imun diaktifkan. Bahan-bahan alergi disebut "allergens". Contoh-contoh dari allergens termasuk serbuk sari, tungau, jamur-jamur, dan makananmakanan. Untuk mengerti bahasa alergi adalah sangat penting untuk mengingat bahwa allergens adalah bahan-bahan yang asing terhadap tubuh dan dapat menyebabkan reaksi alergi pada orang-orang tertentu. Ketika allergen bersentuhan dengan tubuh, dia menyebabkan sistim imun untuk mengembangkan reaksi alergi pada orang yang alergi terhadapnya. Ketika anda bereaksi secara tidak sesuai pada alergen yang umumnya tidak berbahaya pada orang-orang lain, anda mempunyai reaksi alergi dan dapat dirujuk sebagai alergi atau atopik. Oleh karananya, orang-orang yang cenderung mendapat alergi disebut alergi atau atopik. Dokter anak austria bernama Clemens Pirquet (1874-1929) pertamakali menggunakan istilah alergi. Ia merujuk pada kedua imunitas yang menguntungkan dan hipersensitifitas yang berbahaya sebagai alergi. Kata alergi berasal dari kata-kata Greek "allos," yang berarti berbeda atau berubah dan "ergos," berarti bekerja atau beraksi. Alergi secara garis besar dirujuk sebagai "reaksi yang berubah". Kata alergi pertama kali digunakan pada tahun 1905 untuk menggambarkan reaksi-reaksi yang merugikan dari anak-anak yang diberikan suntikan-suntikan berulang dari serum kuda untuk melawan infeksi. Tahun berikutnya, istilah alergi diusulkan untuk menerangkan kereaktifan yang berubah yang tidak diharapkan ini. Fakta-fakta Alergi - Diperkirakan sekitar 50 juta penduduk Amerika dipengaruhi oleh kondisi-kondisi alergi. - Biaya dari alergi di Amerika adalah lebih dari US$ 10 milyar setiap tahunnya. - Alergi rhinitis (alergi hidung) mempengaruhi sekitar 35 juta pendud uk Amerika, 6 juta darinya adalah anak-anak. - Asma mempengaruhi 15 juta penduduk Amerika, 5 juta darinya adalah anak-anak. - Angka dari kasus-kasus asma berlipat ganda selama 20 tahun terakhir. Sumber: Total Kesehatan Anda.com
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Mon Aug 29, 2011 4:59 pm PENYEBAB ALERGI Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, marilah kita lihat pada beberapa contoh-contoh rumah tangga yang umum. Beberapa bulan setelah kedatangan seekor kucing didalam rumah, ayah mulai mendapat mata-mata yang gatal dan episode-episode dari bersin. Satu dari tiga anak mengembangkan batuk dan mencuit-cuit, terutama ketika kucing itu masuk kedalam kamar tidurnya. Ibu dan kedua anak lainnya tidak mengalami reaksi apa saja terhadap kehadiran kucing. Bagaimana kita menjelaskan ini ? Sistim imun adalah mekanisme pertahanan yang diorganisir oleh tubuh melawan penyerbu-penyerbu asing, terutama infeksi-infeksi. Pekerjaannya adalah mengenali dan bereaksi terhadap bahan-bahan asing ini, yang disebut antigens. Antigens adalah bahan-bahan yang mampu menyebabkan produksi dari antibodi-antibodi. Antigens mungkin dapat atau tidak dapat menjurus pada reaksi alergi. Allergens adalah antigens tertentu yang menyebabkan reaksi alergi dan produksi dari IgE. Tujuan dari sistim imun adalah memobilisasi kekuatannya pada tempat penyerangan dan menghancurkan musuh. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menciptakan protein-protein pelindung yang disebut antibodi-antibodi yang khusus ditujukan melawan bahanbahan asing tertentu. Antibodi-antibodi ini, atau immunoglobulins (IgG, IgM, IgA, IgD), adalah pelindung dan membantu menghancurkan partikel asing dengan melekatkan dirinya pada permukaannya, dengan begitu membuat mudah sel-sel imun lainnya untuk menghancurkannya. Bagaimanapun orang yang alergi, mengembangkan tipe spesifik dari antibodi yang disebut immunoglobulin E, atau IgE, sebagai tanggapan pada bahan asing tertentu yang umumnya tidak berbahaya, seperti dander kucing. Ringkasannya, immunoglobulins adalah grup dari molekul-molekul protein yang bekerja sebagai antibodi-antibodi.
Ada 5 macam tipe-tipe yang berbeda: IgA, IgM, IgG, IgD, dan IgE. IgE adalah antibodi alergi. Pada contoh binatang kucing, ayah dan anak perempuan termuda mengembangkan antibodi-antibodi IgE dalam umlah besar yang ditujukan melawan allergen kucing, dander kucing. Ayah dan anak perempuan kini menjadi sensitif atau cenderung untuk mengembangkan reaksi-reaksi alergi pada ekspose yang berikutnya dan berulang pada allergen kucing. Secara khas, ada periode "sensitifitas" yang berkisar dari bulanan sampai tahunan sebelum reaksi alergi. Walaupun mungkin adakalanya terjadi reaksi alergi pada ekspose pertama kali pada allergen, pasti sebelumnya ada kontak sehingga sistim imun bereaksi dengan cara ini. IgE adalah antibodi yang dimiliki oleh kita semua dalam jumlah kecil. Orang-orang yang alergi, bagaimanapun, menghasilkan IgE dalam umlah yang besar. Secara normal, antibodi ini penting dalam melindungi kita dari parasit-parasit, namun tidak d ari dander kucing atau allergens. Selama periode sensitifitas, IgE dander kucing diproduksi berlebihan dan melapisi sel-sel tertentu yang berpotensi meledak yang mengandung bahan-bahan kimia. Sel-sel ini mampu menyebabkan rekasi alergi pada ekspose berikutnya pada dander. Ini disebabkan oleh reaksi dari dander kucing dengan dander IgE mengiritasi sel-sel dan menjurus pada pelepasan beragam bahan-bahan kimia, termasuk histamine. Bahan-bahan kimia ini, pada gilirannya, menyebabkan peradangan dan gejala-gejala alergi yang khas. Ini adalah bagaimana sistim imun menjadi berlebihan dan disiapakn untuk menyebabkan reaksi alergi ketika distimulasi oleh allergen. Waktu ekspose pada dander kucing, ibu dan kedua anak lainnya menghasilkan klas-klas antibodi-antibodi lainnya, tidak satupun darinya menyebabkan reaksi alergi. Dalam anggota keluarga yang tidak alergi, partikel-partikel dander dieliminasi oleh sistim imun dan kucing itu tidak ada pengaruhnya pada mereka. Sumber: Total Kesehatan Anda.com
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53
Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Mon Aug 29, 2011 5:00 pm SIAPA YANG BERISKO ALERGI DAN MENGAPA ? Alergi dapat berkembang pada umur berapa saja, kemungkinan bahkan didalam kandungan. Mereka umumnya terjadi pada anak-anak namun mungkin dapat menimbulkan gejala-gejala untuk pertama kalinya pada waktu dewasa. Asma mungkin berlangsung lama pada orang-orang dewasa sedangkan alergi hidung cenderung berkurang di usia tua. Kenapa, mungkin anda tanya, beberapa orang sensitif (peka) terhadap allergen-allergen tertentu dimana kebanyakan tidak peka? Mengapa orang-orang alergi menghasilkan lebih banyak IgE dari pada yang tidak alergi? Kelihatannya faktor utama yang membedakannya adalah keturunan. Untuk beberapa waktu, telah diketahui bahwa kondisikondisi alergi cenderung berkelompok/berkerumun didalam keluargakeluarga. Risiko anda sendiri mengembangkan alergi berhubungan dengan sejarah alergi dari orang tua anda. Jika tidak ada satupun orang tua anda alergi, kesempatan anda mendapat alergi adalah kira-kira 15%. Jika satu orang tua alergi, risiko anda meningkat sampai 30% dan jika kedua-duanya alergi, risiko anda lebih besar dari 60%. Walaupun anda mungkin mewarisi kecenderungan mengembangkan alergi, anda mungkin kenyataanya tidak pernah mempunyai gejalagejala. Anda juga tidak seharusnya mewarisi alergi yang sama atau penyakit-penyakit yang sama seperti orang tua anda. Masih belum jelas apa yang menentukan bahan-bahan apa yang memicu reaksi pada orang yang alergi. Apalagi, penyakit-penyakit yang mana mungkin dapat berkembang atau berapa beratnya gejala-gejala yang mungkin terjadi, belum diketahui. Potongan utama lainnya dari teka-teki alergi adalah lingkungan. Adalah elas bahwa anda harus mempunyai tendensi genetik dan di ekspose pada allergen sehingga mengembangkan alergi. Sebagai tambahan, lebih hebat dan ber-ulang-ulang ekspose pada allergen dan lebih awal terjadi didalam kehidupan, lebih mungkin alergi akan berkembang. Ada pengaruh-pengaruh penting lainnya yang dapat berkomplot untuk menyebabkan kondisi-kondisi alergi. Beberapa dari ini termasuk merokok, polusi, infeksi, dan hormon-hormon. Sumber: Total Kesehatan Anda.com
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Mon Aug 29, 2011 5:03 pm KONDISI KONDISI UMUM ALERGI, GEJALA DAN TANDANYA Bagian-bagian tubuh yang cenderung bereaksi pada alergi termasuk mata-mata, hidung, paru-paru, kulit, dan perut. Walaupun beragam penyakit-penyakit alergi dapat timbul berbeda, mereka semua berasal dari tanggapan/reaksi imun yang berlebihan pada bahan-bahan asing pada orang-orang yang sensitif. Uraian-uraian singkat berikut akan menyajikan ikhtisar dari kelainan-kelainan alergi yang umum. Alergi Rhinitis Alergi Rhinitis ("hay fever") adalah yang paling umum dari penyakitpenyakit alergi dan merujuk pada gejala-gejala hidung musiman yang disebabkan oleh serbuk sari. Alergi rhinitis sepanjang tahun atau alergi rhinitis abadi (perennial) umumnya disebabkan oleh allergen-allergen didalam rumah/ruangan, seperti tungau (dust mites), dander binatang, atau jamur-jamur. Juga dapat disebabkan oleh serbuk sari. Gejala-gejala berasal dari peradangan dari jaringan yang melapisi bagian dalam hidung (pelapis atau selaput-selaput lendir) setelah allergens dihirup. Area-area yang berdekatan, seperti telinga-telinga, sinus-sinus, dan tenggorokan dapat juga terlibat. Gejala-gejala yang paling umum termasuk: - Hidung meler - Hidung mampet - Bersin - Hidung gatal - Telinga-telinga dan tenggorokan yang gatal - Post nasal drip Pada tahun 1819, seorang dokter inggris, John Bostock, pertama kali
menggambarkan hay fever dengan merinci gejala-gejala hidung musiman sendirinya, yang dia sebut "summer catarrh". Kondisi disebut hay fever karena diperkirakan disebabkan oleh "new hay". Asma Asma adalah persoalan pernapasan yang berasal dari peradangan dan kekejangan (spasm) dari saluran udara paru-paru (bronchial tubes). Peradangan menyebabkan penyempitan dari saluran-saluran udara, yang mana membatasi aliran udara kedalam dan keluar dari paru-paru. Asma paling sering, namun tidak selalu, dihubungkan dengan alergi-alergi. Gejala-gejala umum termasuk: - Sesak Napas - Mencuit-cuit (Wheezing) - Batuk - Sesak Dada Alergi Mata-Mata Alergi mata-mata (allergic conjunctivitis) adalah peradangan dari lapisan-lapisan jaringan (membranes) yang menutupi permukaan dari bola mata dan permukaan bawah dari kelopak mata. Peradangan terjadi sebagai hasil dari reaksi alergi dan mungkin dapat menghasilkan gejalagejala berikut: - Kemerahan dibawah kelopak dan mata keseluruhannya - Mata-mata yang berair dan gatal - Pembengkakkan dari membran-membran Allergic Eczema Allergic eczema (atopic dermatitis) adalah alergi ruam yang umumnya tidak disebabkan oleh kontak kulit dengan allergen. Kondisi ini umumnya dihubungkan dengan alergi rhinitis atau asma dan menonjolkan gejala-gejala berikut: - Gatal, kemerahan, dan atau kekeringan dari kulit - Ruam (Rash) pada muka, terutama anak-anak - Ruam sekeliling mata-mata, pada lipatan-lipatan sikut, dan dibelakang lutut-lutut, terutama pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa HIVES Hives (urticaria) adalah reaksi-reaksi kulit yang timbul seb agai pembengkakkan-pembengkakkan yang gatal dan dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja. Hives dapat disebabkan oleh reaksi alergi, seperti pada makanan atau obat-obatan, namun mereka juga dapat terjadi pada orang-orang yang tidak alergi. Gejala-gejala hives yang khas adalah: - Raised red welts - Gatal yang hebat
Allergic Shock Allergic shock (anaphylaxis atau anaphylactic shock) adalah reaksi alergi yang mengancam nyawa yang dapat mempengaruhi sejumlah organ-organ pada waktu yang bersamaan. Tanggapan ini secara khas terjadi ketika allergen dimakan (contohnya, makanan) atau disuntikakan (contohnya sengatan lebah). Beberapa atau seluruh dari gejala-gejala berikut dapat terjadi: - Hives atau perubahan warna kemerahan dari kulit - Hidung mampet - Pembengkakkan dari tenggorokan - Sakit perut, mual dan muntah - Napas pendek, mencuit-cuit (wheezing) - Tekanan darah rendah atau shock Shock merujuk pada sirkulasi darah yang tidak mencukupi kepada aringan-jaringan tubuh. Shock paling umum disebabkan oleh kehilangan darah atau infeksi. Allergic shock disebabkan oleh pembuluh-pembuluh yang membesar dan "bocor", yang berakibat pada merosotnya tekanan darah. Sumber: Total Kesehatan Anda.com
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Mon Aug 29, 2011 5:10 pm ADA DIMANA SAJA ALERGEN? Dimana-mana...... Kita telah melihat bahwa allergen-allergen adalah tipe-tipe spe sial dari antigen-antigen yang menyebabkan reaksi-reaksi alergi. Gejala-gejala dan penyakit-penyakit yang ditimbulkan tergantung sebagian besar dari
alan masuknya dan tingkat ekspose pada allergen-allergen. Struktur kimia dari allergen-allergen mempengaruhi jalannya ekspose. Serbuk sari diudara, contohnya, akan berdampak sedikit pada kulit. Mereka mudah sekali terhirup dan jadi akan menyebabkan lebih banyak gejalagejala hidung dan paru-paru dan membatasi gejala-gejala kulit. Sedangkan allergen-allergen yang ditelan atau disuntik mereka akan berjalan menuju bagian-bagian lain tubuh dan memprovokasi gejalagejala yang jauh dari titik masuknya. Sebagai contoh, allergen-allergen didalam makanan mungkin dapat mempercepat pelepasan penengahpenengah (mediators) didalam kulit dan menyebabkan hives. Kita akan mengasumsikan bahwa allergen-allergen didefinisikan sebagai: sumber dari bahan-bahan yang menghasilkan alergi (sebagai contoh, kucing), bahannya sendiri (dander kucing), atau protein-protein spesifik yang memprovokasi tanggapan imun (contohnya, Feld1). Feld1, dari Felis domesticus (kucing yang jinak), adalah allergen kimia yang paling penting pada dander kucing. Allergen-allergen mungkin dapat terhirup, tercerna (termakan atau tertelan), dipakai pada kulit, atau disuntik kedalam tubuh baik sebagai obat atau dengan tidak hati-hati oleh sengatan serangga. Didalam Udara Yang Kita Napas Bernapas dapat penuh risiko jika anda alergi. Disamping oksigen, udara mengandung variasi yang lebar dari partikel-partikel; beberapa beracun, beberapa berinfeksi, dan beberapa tidak berbahaya termasuk allergenallergen. Penyakit-penyakit yang umum yang berasal dari allergenallergen udara adalah hay fever, asma, dan conjunctivitis. Allergenallergen berikut umumnya tidak berbahaya, namun dapat memicu reaksireaksi alergi ketika dihirup oleh individu-individu yang sensitif. - Serbuk sari: pohon-pohon, rumput-rumput, dan/atau rumput-rumput liar - Tungau - Protein-protein binatang: dander, kulit, dan/atau urin - Spora-spora jamur - Bagian-bagian serangga: kacoa-kacoa Didalam Apa Yang Kita Makan Ketika makanan-makanan dan obat-obatan dicerna, allergen-allegen mungkin dapat mengakses kedalam aliran darah dan menjadi terpasang pada IgE tertentu didalam sel-sel pada tempat-tempat yang jauh seperti kulit atau selaput-selaput hidung. Kemampuan dari allergen-allergen untuk berpergian menerangkan bagaimana gejala-gejala dapat terjadi pada area-area yang berlainan dari saluran pencernaan. Reaksi-reaksi alergi makanan dapat mulai dengan pembengkakan lidah atau tenggorokan dan mungkin diikuti oleh kesemutan (tingling), mual, diare, atau kram perut. Kesulitan bernapas dengan hidung atau reaksi-reaksi
kulit mungkin juga dapat terjadi. Dua grup utama allergen-allergen yang dicerna adalah: - Makanan: Makanan yang paling umum yang menyebabkan reaksireaksi alergi adalah susu sapi, ikan, kerang-kerangan, telur-telur, kacangkacangan, kacang--kacang tumbuhan, kedele, dan gandum. - Obat-obatan (ketika diminum): contohnya, antibiotik-antibiotik dan aspirin Menyentuh kulit Kita Allergic contact dermatitis adalah peradangan kulit yang disebabkan oleh reaksi alergi lokal. Mayoritas dari reaksi-reaks i kulit lokal ini tidak melibatkan IgE, namun disebabkan oleh sel-sel peradangan. Rash yang ditimbulkan adalah serupa dengan yang dari ivy rash yang beracun. Harus dicatat bahwa ketika beberapa allergen-allergen (contohnya, latex) bersentuhan dengan kulit, mereka diserap oleh kulit dan dapat juga berpotensi menyebabkan reaksi-reaksi keseluruh tubuh, tidak hanya pada kulit saja. Untuk kebanyakan orang, bagaimanapun, kulit adalah penghalang yang hebat yang hanya dapat dipengaruhi secara lokal. Contoh-contoh dari allergic contact dermatitis termasuk: - Latex (menyebabkan reaksi-reaksi IgE dan non-IgE) - Tumbuh-tumbuhan (poison ivy and oak) - Zat pewarna (Dyes) - Bahan-bahan kimia - Logam-logam (nickel) - Kosmetik-Kosmetik Allergic contact dermatitis tidak melibatkan antibodi IgE, namun melibatkan sel-sel dari sistim imun yang diprogram untuk bereaksi ketika dipicu oleh allergen yang mensensitifkan. Menyentuh atau menggosok unsur/bahan yang pernah membuat anda sensitif sebelumnya dapat memicu rash kulit (skin rash). Yang Disuntikkan Kedalam Tubuh Reaksi-reaksi yang paling berat dapat terjadi ketika allergen-allergen disuntikan kedalam tubuh dan mendapat akses langsung kedalam aliran darah. Akses ini membawa risiko dari reaksi umum, seperti anaphylaxis, yang dapat membahayakan nyawa. Berikut adalah allergen-allergen yang paling umum disuntikan yang dapat menyebabkan rekasi-rekasi alergi yang berat: - Racun serangga - Obat-obatan - Vaksin-vaksin (termasuk suntikan alergi) - Hormon-hormon (contohnya, insulin) Sumber: Total Kesehatan Anda.com
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Tue Sep 06, 2011 3:47 pm ANGIOEDEMA, PEMBENGKAKAN KARENA GATAL GATAL Selasa, 06/09/2011 09:42 WIB Adelia Ratnadita - detikHealth Angioedema mirip dengan urtikaria yang merupakan gatal-gatal, bekas merah (pembengkakan atau bercak) dari berbagai ukuran, yang tiba-tiba muncul dan menghilang pada kulit. Angioedema merupakan jenis bengkak, bilur-bilur besar dan melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam, terutama di dekat bibir dan mata. Dalam kebanyakan kasus angioedema tidak berbahaya, dan bahkan tanpa memerlukan pengobatan, dan tidak meninggalkan bekas pada kulit setelah sembuh. Dalam kasus pembengkakan dari angioedema dapat menyebabkan tenggorokan atau lidah menghalangi jalan napas dan menyebabkan kehilangan kesadaran, yang dapat mengancam nyawa. Penyebab Peradangan di kulit dapat mengakibatkan gatal-gatal dan angioedema. Gatal-gatal dan angioedema kadang-kadang dapat dipicu ketika sel-sel tertentu yang disebut sel mast melepaskan bahan kimia histamin dan bahan lainnya ke dalam aliran darah dan kulit. Angioedema dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap obat atau makanan. Banyak alergen yang telah diidentifikasi, antara lain: 1. Obat Meskipun hampir semua obat dapat menyebabkan gatal-gatal atau angioedema, namun beberapa penyebab umum adalah obat tekanan darah, ibuprofen, penisilin dan aspirin. 2. Makanan
Pada orang sensitif, banyak makanan yang dapat menimbulkan alergi. Namun, makanan yang sering menimbulkan alergi adalah ikan, telur, kerang, susu, kacang, dan coklat. Beberapa alergen potensial lainnya termasuk aditif makanan seperti salisilat dan sulfida. 3. Alergen lainnya Kontak langsung dengan bulu binatang, lateks, serbuk sari, dan sengatan serangga adalah beberapa zat lain yang dapat menyebabkan gatal-gatal dan angioedema. Beberapa pemicu tambahan yang dapat menyebabkan angioedema, antara lain: 1. Dermatographia Merupakan garis yang muncul pada daerah di mana kulit tergores, atau di mana tekanan diterapkan pada kulit akibat histamin yang menyebabkan pembengkakan di bawah kulit. 2. Faktor fisik Pada beberapa orang, faktor lingkungan dapat mengakibatkan pelepasan histamin. Air, panas, dingin, latihan, tekanan pada kulit, sinar matahari dan stres emosional adalah beberapa contoh faktor lingkungan yang dapat menyebabkan angioedema. Gatal-gatal dan angioedema juga dapat terjadi sebagai respons terhadap produksi antibodi tubuh. Gangguan sistem kekebalan tubuh (kanker atau lupus), infeksi (hepatitis), transfusi darah, gangguan tiroid tertentu, atau bahkan dingin dapat menyebabkan angioedema. Bentuk warisan angioedema disebut angioedema herediter, yang terkait dengan tingkat rendah atau fungsi abnormal dari protein darah tertentu (C1 inhibitor). Inhibitor ini berperan dalam mengatur bagaimana fungsi s istem kekebalan tubuh. Gejala 1. Sensasi tebal dan bengkak pada daerah yang terkena 2. Nyeri atau kehangatan di daerah yang terkena 3. Pada kasus yang berat, kesulitan menelan atau bernapas 4. Pembengkakan kulit 5. Melepuh (bula) di daerah pembengkakan yang parah Meskipun angioedema dapat terjadi pada tangan, kaki, alat kelamin atau di dalam tenggorokan, biasanya terjadi pada daerah dekat mata atau bibir. Meskipun jarang, angioedema herediter lebih serius. Kondisi ini dapat menyebabkan pembengkakan tiba-tiba pada wajah, lengan, kaki, tangan, kaki, alat kelamin, saluran pencernaan, dan saluran napas.
Beberapa tanda dan gejala angioedema herediter, antara lain: 1. Kesulitan bernapas atau terhambat karena pembengkakan jalan napas 2. Pembengkakan mendadak pada wajah, lengan, kaki, saluran pencernaan, tangan, alat kelamin, dan kaki 3. Perut kram, sebagai akibat pembengkakan saluran pencernaan. Pengobatan Pasien mungkin tidak memerlukan pengobatan dalam kasus gejala ringan angioedema. Antihistamin yang dapat menghalangi pelepasan histamin, adalah pengobatan standar untuk gatal-gatal dan angioedema. Pengobatan angioedema dapat dengan, antara lain: 1. Obat tanpa resep a. Cetirizine b. Chlorpheniramine c. Diphenhydramine d. Loratadine Chlorpheniramine, diphenhydramine atau antihistamin lainnya dapat menyebabkan kantuk. Namun, loratadine tidak. 2. Obat dengan resep dokter a. Hidroksizin b. Desloratiadine c. Levocetrirzine d. Fexofenadine Kortikosteroid oral, seperti prednison dapat membantu mengu rangi bengkak, kemerahan, dan gatal yang kadang-kadang dapat diresepkan untuk kasus yang parah dari angioedema. Pengobatan untuk angioedema herediter: Obat-obat yang disebutkan di atas tidak efektif dalam mengobati angioedema herediter. Androgen tertentu seperti danazol, yang membantu mengatur kadar protein darah, adalah beberapa obat yang digunakan khusus untuk mengobati angioedema herediter dalam jangka panjang. Penanganan darurat untuk angioedema Seseorang mungkin membutuhkan suntikan adrenalin (epinefrin) pada kondisi darurat untuk serangan parah dari angioedema. Pasien mungkin akan diresepkan dan diinstruksikan bagaimana cara menggunakan adrenalin, dan membawa adrenalin untuk digunakan dalam situasi
darurat dalam kasus mereka telah mengalami serangan darurat angioedema berulang kali.
gitahafas
Moderator
Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Thu Sep 08, 2011 10:21 am SINDROM MUNCHAUSEN, CARI SIMPATI DENGAN PURA PURA SAKIT Kamis, 08/09/2011 09:35 WIB Putro Agus Harnowo - detikHealth Sindrom ini adalah gangguan mental yang serius di mana seseorang memiliki kebutuhan mendalam atas perhatian orang lain dengan cara berpura-pura sakit atau terluka dengan disengaja. Penderita sindrom ini bisa membuat-buat gejala sakit, ingin melakukan operasi, atau mencoba mencurangi hasil tes laboratorium untuk meraih simpati. Sindrom Munchausen mempunyai sejumlah kondisi gangguan buatan, baik dibuat-buat ataupun ditimbulkan sendiri. Gangguan buatan dapat berupa psikologis atau fisik. Sindrom Munchausen merupakan gangguan yang misterius dan sulit untuk diobati. Bantuan medis penting untuk mencegah cedera serius hingga kematian yang mungkin disebabkan oleh tindakan membahayakan diri sendiri. Gejala Gejala sindrom Munchausen berkutat pada berpura-pura memiliki penyakit atau cedera untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya. Orang dengan sindrom Munchausen berusaha keras agar penipuannya tak terbongkar, sehingga mungkin sulit untuk melihat bahwa sebetulnya gejala mereka merupakan bagian dari gangguan mental yang serius. Orang dengan gangguan ini bukan bertujuan mendapat manfaat praktis dari kondisi medisnya seperti keluar dari pekerjaan atau memenangkan gugatan. Sindrom ini juga tidak sama dengan keadaan murung. Orang dengan dengan gangguan seperti depresi atau bipolar benar-benar
percaya bahwa mereka sakit, sedangkan orang-orang dengan sindrom Munchausen tidak sakit, tetapi mereka ingin menjadi sakit. Gejala sindrom Munchausen antara lain: 1. Mendramatisir cerita tentang masalah kesehatannya 2. Sering rawat inap 3. Gejala penyakitnya tidak konsisten atau samar-samar 4. Kondisi kesehatan memburuk tanpa alasan yang jelas 5. Bersemangat menjalani uji kesehatan atau operasi yang berisiko 6. Memiliki pengetahuan terminologi medis dan penyakit yang luas 7. Mencari pengobatan dari banyak dokter atau rumah sakit yang berbeda 8. Memiliki beberapa pengunjung saat dirawat di rumah sakit 9. Enggan jika para profesional kesehatan berbicara dengan keluarga atau teman 10. Berdebat dengan staf rumah sakit 11. Sering meminta obat penghilang rasa sakit atau obat lain Karena orang-orang dengan sindrom Munchausen ahli dalam berpurapura memiliki gejala penyakit atau menimbulkan luka nyata pada diri mereka sendiri, terkadang sulit bagi para profesional medis dan orang yang bersimpati untuk mengetahui apakah penyakit yang nyata atau tidak. Orang dengan sindrom Munchausen membuat gejala atau menyebabkan penyakit dengan beberapa cara, yaitu: 1. Membuat riwayat kesehatan palsu, seperti: mengklaim telah menderita kanker atau HIV kepada orang yang dicintai, penyedia layanan kesehatan atau bahkan kelompok-kelompok internet 2. Memalsukan gejala penyakit, seperti: sakit perut, kejang atau pingsan. 3. Membahayakan diri sendiri. Mereka mungkin melukai atau membuat diri mereka sakit, seperti: menyuntikkan diri dengan bakteri, bensin, susu, atau kotoran. Dapat juga dengan cara meminum obat untuk meniru penyakit, seperti: pengencer darah, obat kemoterapi dan obat diabetes. 4. Mencegah penyembuhan. 5. Merusakkan. Memanipulasi instrumen medis, seperti: memanaskan termometer. Bisa juga mengutak-atik tes laboratorium, seperti: mencemari sampel urin mereka dengan darah atau zat lainnya. Penyebab Penyebab sindrom Munchausen tidak diketahui. Orang dengan gangguan ini mungkin pernah mengalami penyakit parah ketika mereka masih
muda atau mungkin pernah dilecehkan secara emosional atau fisik. Perawatan dan obat-obatan Pengobatan sindrom Munchausen sulit sebab tidak ada terapi standar untuk kondisi tersebut. Karena orang dengan sindrom Munchausen ingin berperan sakit, maka mereka tidak bersedia untuk mencari pengobatan. Namun jika didekati dengan cara yang halus, dibujuk dengan niat ingin menyelamatkan mukanya, orang dengan sindrom Munchausen mungkin setuju untuk dirawat oleh penyedia kesehatan mental. Meskipun tidak ada pengobatan standar untuk sindrom Munchausen, pengobatan sering berfokus pada pengelolaan kondisi daripada mencoba untuk menyembuhkannya. Pengobatan umumnya termasuk psikoterapi dan konseling perilaku. Jika memungkinkan, terapi keluarga juga mungkin disarankan. Obat dapat digunakan untuk mengobati gangguan mental lainnya seperti depresi atau kecemasan. Dalam kasus yang parah, rawat inap psikiatri sementara mungkin diperlukan. Sumber: MayoClinic, psychology today
Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Page 30 of 31
Goto page : 1 ... 16 ... 29, 30, 31
Similar topics » Senarai Penyakit Berjangkit » Pemeriksaan awal elak penyakit kronik » Permintaan tinggi bukan punca pelarasan harga gula » masalah pembuangan bayi » CARTA PERKEMBANGAN BAYI You cannot reply to topics in this forum Permissions in this forum: Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN Free forum | © phpBB | Free forum support | Report an abuse | Free forums
http://www.ilunifk83.com/t220p450-allergi-penyakit-autoimun-penyakit-genetiksel-punca-bayi-tabung-dll
hafa Azalia tetap tenang di pembaringan ketika dijenguk Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, serta anggota Komisi IX DPR, Kamis (4/8). Sementara sang ibu terus menitikkan air mata. Bocah empat tahun ini dirawat di ruang perawatan intensif khusus anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat. Tubuh Shafa lemas akibat terserang penyakit Guillain Barre Syndrome atau GBS yang menyerang susunan saraf hingga menyebabkan kelumpuhan dan kesulitan bernafas. Sejumlah peralatan bantu medis masih melekat di tubuhnya. Linda berjanji akan mengusahakan ventilator bagi Shafar agar bisa rawat jalan. Tak hanya Shafa, Azka Arrizqi juga menderita penyakit yang sama. Bahkan, kondisinya lebih parah lantaran masih dalam keadaan koma. Penyakit GBS menyerang syaraf dan menyebabkan kelumpuhan. Bahkan, di beberapa kasus menyerang otot pernafasan, seperti pada kasus Azka yang paru-parunya tidak bekerja dengan baik. http://www.liputan6.com
http://www.actarifm.com/2011/08/dua-bocah-penderita-gbs-mendapat-simpati/
Archive for July, 2010 PLEASE READ… Posted in Uncategorized on July 28, 2010 by donaldmiralle
Four years ago out of the blue, our family friend and Encinitas local Paul Langhorn contracted Guillain-Barre Syndrome. For those of you who do not know what GBS is, it‟s an autoimmune disorder affecting the peripheral nervous system, usually triggered by an acute infectious process. It is frequently severe and usually exhibits as an ascending paralysis noted by weakness in the legs that spreads to the upper limbs and the face along with complete loss of deep tendon reflexes. GBS is rare and has an incidence of 1 or 2 people per 100,000, but still is one of the leading causes of non-trauma-induced paralysis in the world. Paul is now in need of a new wheelchair to help with his rehabilitation and comfort, and I can‟t think of a better and more deserving person. My Mother-in-Law Linda Inskeep forwarded the original thread below with the note from Paul. Please find time to read through and remember anything helps! When I think of “courage”, my friend and neighbor Paul quickly comes to mind. He was stricken with Guillian Barre Syndrome almost four years ago and is now confined to a wheelchair. As Paul recalls, in a matter of hours he went from being a normal, healthy guy living the good life in San Francisco to complete paralysis. He was hospitalized and on a ventilator for months. The journey back has been long and slow. And yet, Paul is full of
determination and optimistic about his recovery. He has a great sense of humor and humbly accepts life as it is without anger or self pity. Paul and his family have been very supportive of me as well and I am thankful for their friendship. Now Paul needs our help to purchase a new wheelchair. Please read the attached information he prepared for “Bay Street Helping Hands” and give whatever you can. Thanks! Love, Linda “First off, I want to thank you for the support you have given me since I got Guillain-Barre Syndrome in November 2006. Your contributions and messages of encouragement have been an incredible help with my recovery.
My muscles are slowly coming back and I can do a little more each day. A problem I am having is that the muscle s aren’t coming back evenly. For instance, my back muscles are much stronger than those in my abdomen, causing my back to arch (lordosis). I will not be able to walk until this is corrected. Currently, I am raising funds for a new power chair that is designed to correct the arch. The chair costs $40,000, most of which is covered by insurance. My share is $4,300. Any financial assistance towards this would be of great help… Thank - you, Paulie.”
Please make donations out to “Bay Street Helping Hands”, 101 Townwood Way, Encinitas CA 92024.
2 Comments » Medical Mission to Tanga Posted in Uncategorized on July 19, 2010 by donaldmiralle
Two sisters look on as they wait for treatment at the clinic in Tanga, Tanzania. (Photo by Donald Miralle) It was my pleasure to document and be part of a medical mission to Tanga, Tanzania to help bring primary health care into five rural villages a nd urban communities in the Tanga region. In conjunction with the Toledo Tanga Sister City Committee, the Rotary Club of Tanga, and the World Health Organization‟s Dr. William Mwengee, the team was comprised of vo lunteers and medical students led by Dr. Richard Paat, Associate Professor of Medicine, University of Toledo College of Medicine and Dr. Glenn Geelhoed, Professor of Surgery and Tropical Medicine, George Washington University. Dr. Paat was instrumental in organizing not only this trip but 40 other medical missions including trips to the Guatemala, Philippines, Honduras and disaster areas like Cuba and Indonesia; Dr. Geelhoed has over 200 medical missions to his credit over the course of 5 decades and has written over 800 articles and four books, the most recent an autobiography which is being released in early 2011. With funding from a two-year grant from the Bill and Melinda Gates Foundation and the MissionToHeal.org, the primary goal of the trip was not only to treat locals but more importantly to bring sustainable, cost-effective primary health care services into the rural villages and educate a handful of villagers in first aid, suturing skills, prevention, diagnosis and treatment of diarrheal diseases, respiratory infections, malaria, HIV and TB. The team transformed a local school into a triage unit, clinic, and pharmacy over the course of 4 days and saw over 200 patients a day. In addition, a dental clinic under Mike Kastner, DDS performed over 350 extractions and procedures over the course of four days. It was a great success with the local Pongwe Clinic opening their new operating room, which saw it‟s first 50 procedures completed under the direction of Dr . Geelhoed, with the local group of newly educated medical assistants continuing immediately after our departure. I can‟t even begin to write about all the different experiences I had, peo ple I met, and how much this trip changed my life and my perspective on things; living in a country like the U.S. you really take for granted necessities like clean water, food, medicine, and even electricity. Growing up in Los Angeles, everything was geared towards the consumers, capitalism and the “hav es” rather than the educators, volunteers and the “have-nots”. I can only hope that area of Tanga continues to benefit from our trip and the Health Promoter System proves to be a successful
model for them and other developing countries. But as long as groups of selfless individuals freely give their time and knowledge to make a difference in so many peoples lives in such a short time then you can believe that anything is possible. Special thanks to my mother-in-law Linda Inskeep RN who was part of the mission and introduced me to the group; Dr. Paat and and Dr. Geelhoed who were inspirational leaders and rolemodels for all; and the rest of the team including Mike Kastner DDS, Josie Hardy RN, Edward “Jay” Miller MPH, Dennis Bensch, Katrina Ducis, Kannan Samy, Audrey Roberts, Shweta Pai, Meghan Kaumaya, Todd, Ludwig, Holly Pierce and Dennis Steinauer. It was a pleasure to meet and work with you all, thanks for the good times, great memories, and hope to do it again! Below are some of my favorites from the trip to Tanga as well as our down time in Zanzibar afterward – you can view the photos in larger format on the gallery in my website. Asante Sana, Maisha Marefu!!!
Tanzania is located in Central East Africa with much of it‟s eastern borders lying on the Indian Ocean (Photo by Donald Miralle).
A aerial view of tightly packed building outside of Dar Es Salam, Tanzania (Photo by Donald Miralle)
A mother holds her sick daughter outside of the clinic in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle)
Locals line up for hours waiting for treatment outside the clinic in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle)
A man bikes with casava roots in front of the Pongwe Clinic in Tanga, Tanzania. (Photo by Donald Miralle)
A young boy looks inside the window of the school room converted into the triage as he waits to be seen by medical staff. (Photo by Donald Miralle)
A man waits inside the clinic in front of a school chalkboard used to educate local medical staff. (Photo by Donald Miralle)
Man awaits surgery at the Pongwe clinic (Photo by Donald Miralle).
Medical student Audrey Roberts comforts an elderly man while Dr. Geelhoed educates a local medical assistant on the administering of a spinal for a removal of hernias (Photo by Donald Miralle)
Young man grimaces in pain while in surgery to remove a hyrdoseal from one of his testicles in the Pongwe Clinic in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle).
Dr. Geelhoed shakes the hand of Rafiki, both birth brothers at 71 years of age, after Dr. G removed a hernia from Rafiki and Kanaan Samy sutures up the wound in the operating room at Pongwe Clinic (Photo by Donald Miralle).
A general view of the examination room converted from one of the schools classrooms (Photo by Donald Miralle).
Mike Kastner DDS inspect the teeth of a young girl as Holly Pierce assists (Photo by Donald Miralle).
A young girl is held down by her parents and staff as she struggles while having her teeth pulled in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle).
A young girl looks on from inside the clinic as doctors diagnose her with a secondary infection from a dental procedure she had a month ago. Editors note: this was not a result of any procedure by Mike Kastner DDS (Photo by Donald Miralle)
Young fisherman, Tanga (Photo by Donald Miralle).
A local fisherman cuts up the days catch as his cat eats the scraps in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle).
Young boy waits in cue outside the clinic (Photo by Donald Miralle).
Dr. Richard Paat fits a hearing a id to a local adolescent’s ear. The team from Toledo came with 14 large army duffels packed with medicine and supplies, as well as hearing aids and eye glasses (Photo by Donald Miralle).
A boy plays soccer with a ball made up of pieces of trash in Tanga, Tanzania. Soccer is the country‟s most popular sport and with the World Cup going on everyday you would see groups of adults and children playing the in streets (Photo by Donald Miralle).
Locals play a pick-up game of soccer on the beach in front of a beached freight ship in Tanga (Photo by Donald Miralle).
Locals play more soccer at dusk (Photo by Donald Miralle).
World Cup ads in the streets of Tanga (Photo by Donald Miralle).
Mother-in-Law Linda Inskeep RN from San Diego, California in the clinic on one of many long hot days in Tanga. (Photo by Donald Miralle).
Locals wait outside the clinic al day for medical attention (Photo by Donald Miralle).
2nd year medical student Meghan Kaumaya with patients in the Tanga clinic (Photo by Donald Miralle).
Young girl in dress waits for medical attention at the temporary triage unit in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle).
Man has his blood pressure read by a local RN at the temporary clinic in Tanga, Tanzania (Photo by Donald Miralle).
4th year medical student Katrina Ducis listens to the chest of a patient with a stethoscope (Photo by Donald Miralle).
Girls wait for their father to come out of surgery at the Pongwe clinic in Tanga (Photo by Donald Miralle).
Boy runs through the narrow streets of Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
Obama is represented on nearly ever fabric vendor in the market in Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
Chickens delivered to the market via motorcyle in Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
Chickens are slaughtered in the Zanzibar market (Photo by Donald Miralle).
Meat Market Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
Street scene Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
Children from a local school look at a memorial for slaves in Zanzibar, once a major port for the eastern Africa slave trade market (Photo by Donald Miralle).
Commuters on the ferrey boat watch the sunset as we arrive on Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
View from Dar to Zanzibar ferrey (Photo by Donald Miralle)
Stone town in Zanzibar is an interesting mix of architecture with African, Muslim, and Indian influences (Photo by Donald Miralle).
Street Scene Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
Water Channel through reef off the coast of Zanzibar (Photo by Donald Miralle).
17 Comments » Safari in the Selous Posted in Uncategorized on July 13, 2010 by donaldmiralle
A pride of female lions sits in the shade to beat the late afternoon heat after gorging themselves on a wilda beast kill. Shot with a 5D Mark II, 24- 105mm, and an off camera 580EX with Pocket Wizard Flex TT5′s (Photo by Donald Miralle)
My first trip to Africa started with a trip to the Se lous Game Reserve, the oldest and largest protected area in Africa named after Englishman big game hunter and conservationist Sir Frederick Selous. Located in Southern Tanzania it covers an area of approximately 54,600 square kilometers, over double the size of the famous Serengeti and larger than Switzerland. It was a made a World Heritage Site in 1982 due to its rich and untouched biodiversity, and after some thought I opted for a three day safari there rather than the Serengeti because of the high density of wildlife and low density of tourists. It is also very accessable through Coastal Aviation out of Dar Es Salaam, the main city hub you fly into Tanzania. I booked with Enchanting Africa Safaris Tours last minute (literally as I was flying into the country) and thanks to Hildy Rubin and crew for seeing my reservations and accomodations through. I stayed at the fantastic Maze Lake Camp run by Richard and Sarah who do a great job managing the camp, and booked me a wonderful array of private land and water safaris (the Selous is the only place in Africa where you can go on a river/lake safari tour). From waking up in the morning to the sound of the local elephant “Rafiki” eating brush outside my tent, seeing a pride of lions killing wilda beasts, to dedicated Masai Warriors guarding the campsite at night, cape buffaloes and hippos challenging our boat on the Rufiji River, and having a lunch on safari under a 2,000 year old Baobab trees, I have more unbelievable memories that will last a lifetime. Here are some of those moments captured in photos, hope you enjoy and as always feedback is welcome! You can see the photos larger on my website here. More photos from Africa to coming soon…
The vast Selous covers over 54,600 square kilometers, an area larger than many countries (Photo by Donald Miralle)
A hippo sits in the edge of Manze lake grazing while birds fly around picking off insects. (Photo by Donald Miralle)
A male African Elephant “Rhafiki” wakes me up outside my tent in the morning. Despite their size elephants are extremely stealth and quite in the bush and you don’t know one is near until he is over you and you can hear his breath. (Photo by Donald Miralle)
Giraffes feed along the shores of Lake Manze at sunrise (Photo by Donald Miralle).
A crocodile hides in the mangroves at sunset at Lake Rufiji in the Selous. (Photo by Donald Miralle)
Two impalas in a bachelor group lock horns. (Photo by Donald Miralle)
A single tusked elephant grazes along the Maze river at sunset as birds pick out insects behind his tracks (Photo by Donald Miralle).
Dead trees line the shores of Lake Manze making a surrealist Dali-like landscape (Photo by Donald Miralle).
A solitary male lion looks on from the Selous reserve (Photo by Donald Miralle).
A female lion stalks prey in the grass at the Selous reserve (Photo by Donald Miralle).
A lion clamps down on the neck of a wilda beast. She was a member of a female pride consisting of a mother and two daughters (Photo by Donald Miralle).
Lions feed on the carcas of a wilda beast. They gorged themsleves on it through the evening before leaving little for scavangers (Photo by Donald Miralle).
The one-eyed matriarch of the pride looks on. She lost an eye hunting and probably will succumb sooner than later (Photo by Donald Miralle).
Wild dogs have been hunted down in most of Africa but have done well in the Selous, and have the highest hunting kill percentage of any carnivore in Africa. (Photo by Donald Miralle).
A spotted hyena flees the scene with a full belly and a bloody muzzle (Photo by Donald Miralle).
A Fisher Eagle with a recently killed meal perched in a dead tree on Rufiji River (Photo by Donald Miralle). These large raptors which resemble a bald eagle feed on fish, reptiles and even other birds (Photo by Donald Miralle).
A Pied Kingfisher looks on from a low lying branch over the river waiting for an unsuspecting fish to swim by (Photo by Donald Miralle).
White-Fronted Bee-Eaters sit outside of their nests burrowed in the banks of the river. The Selous is a bird’s lovers paradise with over 440 species of bird present (Photo by Donald Miralle).
A yellow-billed stork looks for food along the Rufiji River banks (Photo by Donald Miralle)
A 2,000 year old Baobab Tree at sunset. The Selous is the largest protected dry forest ecosystem in Africa (Photo by Donald Miralle).
A brown-hooded kingfisher looks on (Photo by Donald Miralle).
Zebras look on from a distance. One kick from a Zebras hind legs can kill a full-grown lion (Photo by Donald Miralle).
A hippo comes ups for a peek and some air as my boat approaches (Photo by Donald Miralle)
Two elephants lock horns (Photo by Donald Miralle)
An aerial view of dead trees in Lake Siwandu (Photo by Donald Miralle).
One of the most dangerous animals in the bush, a Cape Buffalo stares down my camera at dusk (Photo by Donald Miralle).
The Selous bush has scattered bones like this wilda beast throughout as visitors are not allowed to touch animal’s remains (Photo by Donald Miralle).
One of the most beautiful sunsets I’ve seen on the shores on Lake Manze (Photo by Donald Miralle).
My Masai Warriors friends Emmanuel and Paolo stand outside my camp at sunrise. I was amazed how in touch the Masai were with nature and their surroundings (Photo by Donald Miralle).
The view from my tent on the shores of Lake Manze (Photo by Donald Miralle).
A view from the inside of my tent, which I shared with a gecko and skink roommates that were great for helping with the bugs (Photo by Donald Miralle).
On the front of my safari boat with my long glass and off-camera flash (Photo by Donald Miralle).
Best safari crew in the North Selous – (L-R) Emmanuel the Masai Warrior, Adam the guide, myself and Emmanuel the driver (Photo by Donald Miralle). 19 Comments »
July 2010
M T W T F S S
« Jun
5
6
Aug »
7
1
2
3
4
8
9
10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31
Search
Search for:
Blog Stats o
77,314 hits
My Photos o
donaldmiralle.com
o
Bio
Bio Email Subscription
Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email. Join 74 other followers
Recent Comments
donaldmiralle on New Cover of Lava, the Kona…
donaldmiralle on New Cover of Lava, the Kona…
Tom Niagara on New Cover of Lava, the Kona…
Bill Coleman on New Cover of Lava, the K ona…
Bill Coleman on New Cover of Lava, the K ona…
Links o
A Photo Editor
o
AFLO
o
AP Images
o
Aperture
o
apple
o
Aquatech
o
ASMP
o
Aurora
o
Bruce Levin Group
o
Contact Press Images
o
Corbis
o
DigitalPhotojournalist
o
Eaton Paddleboards
o
Forty Forty Agency
o
Fred Miranda
o
Getty
o
Greenhouse reps
o
Jupiter
o
Magnum
o
Mexsport
o
National Geographic
o
NFL Players
o
NPPA
o
NYT Images
o
Paddleboard
o
Panos
o
PDN
o
Polaris
o
Profoto
o
Redux
o
Reuters
o
Rob Galbraith
o
Roberts Distributors
o
Sipa
o
Sportsshooter
o
Surfline
o
The Photo Brigade
o
VII
o
Washington Post
o
World Press Photo
Photographers o
Aaron Chang
o
Al Bello
o
Al Tielmans
o
Ami Vitale
o
Anacleto Rapping
o
Andreas Gursky
o
Art Wolfe
o
Brad Mangin
o
Brad Swonetz
o
Collin Erie
o
Craig Golding
o
Daniel Beltra
o
David Bergman
o
David Burnett
o
David Doubilet
o
David Hockney
o
David LaChappelle
o
Deanne Fitzmaurice
o
Elizabeth Kreutz
o
Erich Schlegel
o
Ernst Haas
o
Eugene Richards
o
Ezra Shaw
o
Frans Lanting
o
Fred Vuich
o
Gary Bogdon
o
Harry How
o
Heinz Kluetmeier
o
Jamie Squire
o
Jason Nuttle
o
Jed Jacobsohn
o
Joel Strickland
o
John Baldessari
o
John Beiver
o
Kevin Terrell
o
Lars Baron
o
Lucy Nicholson
o
Lynn Goldsmith
o
Magnus Wennman
o
Markus Marcetic
o
Matt Brown
o
Matt McClain
o
Mattias Klum
o
Mike Powell
o
Neil Leifer
o
Nick Laham
o
Paul Nicklen
o
Rob Tringali
o
Robert Beck
o
Robert Laberge
o
Robert Seale
o
Rod Mar
o
Sarah France
o
Sean Haffey
o
Siri Berting
o
Tom Hauck
o
Valerie RothBousquet
o
Wally Skalij
o
Walter Iooss
o
Yann Arthus-Bertrand
o
Zed Nelson
Top Rated
Posts | Pages | Comments All | Today | This Week | This Month
o
There are no rated items for this period.
Blog at WordPress.com. Theme: Black-LetterHead by Ulysses Ronquillo. Follow
Follow Donald Miralle's Blog Get every new post delivered to your Inbox. Join 74 other followers Enter email ad
Powered by WordPress.com
http://donaldmiralle.wordpress.com/2010/07/ Posted On: June 1, 2011 by Michael Baseluos
Guillain Barre Syndrome (GBS) and its link to the Flu Shot / Vaccination Guillain Barre Syndrome (GBS) is a clinical neuromuscular syndrome that can cause paralysis (temporarily and sometimes permanently) in individuals who receive the influenza / flu vaccination. Generally, GBS is characterized by weakness and numbness. Some individuals complain of a tingling sensation in the legs and arms with minor to major loss of movement in the legs, arms, upper body, and face. Some people will show a contortion of the face from GBS similar to the physical drooping from a stroke. GBS usually starts as a ascending paralysis characterized by weakness in the legs, moving its way up to the upper limbs and face with a loss of deep tendon reflexes. For the most part, Guillain Barre Syndrome is triggered by an upper respiratory or gastrointestinal infection although the etiology (cause) of GBS is not exactly known. It can be a potentially deadly disorder and affects up to 2 people per 100,000. Unfortunately GBS has no
known cure although several treatments can alleviate symptoms and lower the length of the disorder. For the most part, people recover fully from severe cases of GBS.
There is great debate in the vaccine community about the link between the flu vaccination and Guillain Barre Syndrome. The Vaccine Court for the most part has accepted the theory that the influenza vaccination can replace upper respiratory or gastrointestinal infection as the triggering factor for GBS and the Miller Fischer variant of GBS. When filing a vaccine compensation claim, a GBS flu vaccine attorney will investigate the presence of any antecedent upper respiratory or gastrointestinal infection within six (6) weeks prior to symptom onset. Most individuals do report experiencing some form of infectious illness prior to developing Guillain Barre Syndrome. Almost 70 % of GBS cases are associated with some prior acute infection by various bacterial viruses. In a flu GBS case, the influenza vaccine activates the immune system against components of the nervous system similar to activation by viral or bacterial infection in non-vaccinated GBS cases. Many experts believe that the most common mechanism for development of Guillain Barre Syndrome is molecular mimicry in which the body produces cross-reactive immune responses. There are certain variations of GBS, the most prominent of which is known as the Miller Fisher variant. Patients with the Miller Fisher syndrome typically project symptoms of ataxia (gross lack of coordination of muscle movements), ascending numbness, and facial palsy and these symptoms can very well occur after taking the flu vaccine. A Guillain Barre injury lawyer will look at the possibility of any infections prior to the onset of Miller Fisher syndrome. Many GBS patients will develop a disabling chronic fatigue syndrome and sensitivity to heat that may become permanent. The disabling fatigue can be particularly troublesome by interfering with activities of daily living and occupational duties. A vaccine compensation lawyer can make the argument that a person whose occupation is impaired by the fatigue syndrome deserves economic damages in addition to pain and suffering.
Sometimes in filing a vaccine compensation claim , the government attorneys will try to challenge a Miller Fisher claim, claiming that there are differences between Miller Fischer and general GBS. An expert neurologist will be able to dispel this argument by showing there is no fundamental difference between the pathogenesis (development of the disease) of Guillain Barre Syndrome and the Miller Fisher variant. Both disorders share similar patterns of evolution, recovery, and symptom characteristics. In our next blog entry, we will discuss more in detail how the influenza vaccination causes Guillain Barre Syndrome. If you suspect your GBS is linked to the flu shot, contact a flu shot vaccine injury attorney as soon as possible. There is no need to go a local attorney because a GBS flu injury firm can handle cases nationwide. Posted by Michael Baseluos | Permalink | Email This Post Posted In: Vaccine Injury
« Previous | Home | Next »
Contact Us
Name:
Email:
Enter text from the Image Above:
Subscribe
Topics
Asbestos Exposure
Assault
Auto Accidents
Aviation Aircraft Accidents
Basic Discrimination
Business Litigation
Phone:
Comments:
Criminal Defense
Emploment Law
Family Law
Medical Device Injury
Medical Malpractice
Mesothelioma Exposure
Motorcycle Accident
Nursing Home Abuse
Pharmaceutical Drug Injury
Premises Liability
Product Liability
Real Estate
Truck Accident
Vaccine Injury
Wills and Estates
Wrongful Death
Search this Blog
Recent Entries
June 24, 2011 4:59 PM Association between Flu Shot / Influenza Vaccine and Guillain Barre Syndrome (GBS) The most common vaccine shot associated with t he development of...
June 1, 2011 3:54 PM Guillain Barre Syndrome (GBS) and its link to the Flu Shot / Vaccination Guillain Barre Syndrome (GBS) is a cli nical neuromuscular syndrome that...
May 7, 2011 3:57 PM Principles of Vaccine Injury Compensation If you believe you have been injured by a vaccine,...
May 1, 2011 3:17 PM Vaccine Injury Compensation Program Basics As more Americans take vaccines from injury into well into...
January 29, 2011 7:16 PM Process of Finalizing Texas Uncontested Divorce In our last blog entry, we discussed elements of the...
Archives
June 2011
May 2011
January 2011
October 2010
September 2010
August 2010
July 2010
June 2010
May 2010
April 2010
March 2010
February 2010
January 2010
December 2009
November 2009
October 2009
September 2009
August 2009
July 2009
May 2009
April 2009
March 2009
February 2009
January 2009
December 2008
November 2008
October 2008
Legal Blogs
Fort Worth Injury Attorney Blog (Bill Berenson)
Dennis Kennedy Blog (Dennis Kennedy)
Texas Criminal Lawyer Blog (Michael J. Brown)
Dallas Fort Worth Car Accident Lawyer Blog (Mark A. Anderson)
Long Term Disability Law Blog (Scott Riemer)
Texas Injury Lawyer Blog (Earl Drott)
Fort Worth Injury Lawyer Blog (Mark A. Anderson)
Virginia Injury Lawyer Blog (Sickels Frei Mims)
St. Louis Injury Lawyer Blog (WWF&G)
San Antonio Injury Lawyer Blog (Rush & Gransee)
Texas Truck Accident Lawyer Blog (Bill Berenson)
inter alia (Tom Mighell)
DC Medical Malpractice & Patient Safety Blog (Patrick A. Malone)
June 24, 2011
Association between Flu Shot / Influenza Vaccine and Guillain Barre Syndrome (GBS) The most common vaccine shot associated with the development of Guillain Barre Syndrome (GBS) is the influenza flu shot. Most people receive the influenza vaccination to reduce the risks associated with the flu. New influenza vaccines are formulated every year due to ever changing influenza viruses. Since 1979, the vaccines are trivalent, using strains of influenza A (H1N1), influenza A (H3N2), and influenza B viruses. The first known association between GBS and the flu shot became apparent during a mass vaccination program in the United States with a swine influenza vaccine in 19761977. It should be noted that in 1976, an influenza outbreak occurred in Fort Dix NJ. The outbreak was traced to swine-type influenza A (H1N1). In reaction to the outbreak and the danger from an epidemic from swine influenza, the United States Department of Health and Human Services instituted a mass vaccination of the US population. Approximately fifty (50) million adults were vaccinated during the short three (3) month interval from October - December 1976. Of the mass numbers vaccinated, there were over five hundred (500) cases of Guillain Barre Syndrome including thirty (30) deaths. A study of the incidence of GBS discovered that there was an elevated risk of Guillain