MAKALAH SWAMEDIKASI
NYERI dan NYERI LOKAL
Dosen Pengampu : Dra. Rina Melani, Apt.
Disusun oleh kelompok 7 :
Adillina Taufikarani
(175020124)
Fifin Ariesta Setiani
(175020128)
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2018
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Setiohadi dkk, 2006). Nyeri adalah tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh yang merupakan bagian dari proses penyembuhan dan perlu dihilangkan atau diatasi jika nyeri telah mengganggu aktifitas tubuh (Priyanto,2008). Gejala-gejala nyeri diantaranya yaitu sakit menusuk, pusing, panas terbakar, menyengat, pedih, nyeri yang merambat, rasa nyeri yang hilang hil ang timbul, dan berbeda tempat rasa nyeri. Gejala yang tidak spesifik meliputi kecemasan, depresi, kelelahan, insomnia (gangguan pola tidur), rasa marah dan ketakutan (Sukandar dkk, 2008). Nyeri tersebut terseb ut juga menggangu aktivitas sehingga membutuhkan manajemen nyeri yang adekuat. Perlu pemahaman yang baik mengenai etiologi, patofisiologi, faktor resiko dari pasien dan juga terapi farmakologi dan nonfarmakologi yang sesuai. Nyeri bersifat subjektif dan individual. Selain itu nyeri juga bersifat tidak menyenangkan, sesuatu kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak berkesudahan. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan atau mental, dan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seseorang. Nyeri melelahkan dan menuntut energi seseorang sehingga dapat mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan. Nyeri tidak dapat diukur secara objektif, seperti menggunakan sinar-X atau pemeriksaan darah. Nyeri lokal adalah nyeri yang dirasakan setempat pada bagian dekat permukaan tubuh seperti kulit, encok pada tulang, sendi, otot (fibrositis, non articular rheumatism) yang sering ditandai dengan rasa yang timbul secara tiba-tiba dan kaku pada otot daerah tengkuk, bahu, pinggang dan bokong), bokong), memar karena trauma benda tumpul dan terkilir. Walaupun tipe nyeri tertentu menimbulkan gejala yang dapat diprediksi, sering kali perawat mengkaji nyeri dari kata-kata, prilaku ataupun respons yang diberikan oleh pasien. Hanya pasien yang tahu apakah terdapat nyeri dan seperti apa nyeri ters ebut.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nyeri dan nyeri lokal? 2. Bagaimana cara memberikan swamedikasi dan penatalaksanaan pada nyeri dan nyeri lokal?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang nyeri dan nyeri lokal. 2. Untuk mengetahui swamedikasi dan penatalaksanaan nyeri dan nyeri lokal.
PEMBAHASAN
I.
Definisi Nyeri
Nyeri/ pain (dalam bahasa inggris) berasal dari kata peone (latin) atau poine (yunani) yang berarti pinalti atau hukuman. Menurut Aristoteles “nyeri merupakan suatu perasaan nafsu dari jiwa dimana jantung merupakan sumber utama dari nyeri tersebut. Menurut Descartes, Galen, dan Vesalius, nyeri adalah sensasi yang ditimbulkan oleh otak yang memegang peran utama. Menurut Muller, Van Frey dan Gold scheider (abad 19) mengaitkan nyeri dengan neuroreseptor, nociseptor dan input sensorik. Teori- teori tersebut akhirnya berkembang dalam definisi nyeri yaitu “pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau keadaan yang menggambarkan kerusakan tersebut”. ( ISO Farmakoterapi, 2008 : hal 517 ). Pada dasarnya nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi dan memberiksn tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan pada tubuh seperti peradangan, infeksi-infeksi kuman, dan kejang otot ( Dipiro,Sixth edition : hal 989). Intensitas nyeri, gambaran seberapa parah nyeri yang dirasakan dan pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Nyeri dalam intensitas yang sama dapat dirasakan sangat berbeda oleh dua orang berbeda. Tidak ada penanda objektif yang memadai untuk mengukur sebuah rasa nyeri. Hanya pasien sendiri yang bisa mendeskripsikan bagaimana intensitas nyeri yang dirasakannya. Nyeri merupakan gejala paling umum yang membuat seseorang menemui jasa pelayanan kesehatan. Berdasarkan penelitian Deyo et al. (2002), dalam kurun waktu 3 bulan, kira-kira 1 dari 4 orang dewasa di Amerika Serikat mengalami nyeri punggung bawah yang bertahan sekurang-kurangnya selama 1 hari. Nyeri punggung bawah merupakan perasaan nyeri di daerah lumbosakral dan sakroiliakal. Mobilitas punggung bawah sangat tinggi, selain itu punggung bawah memiliki fungsi untuk menyangga beban tubuh. Bagian punggung bawah juga berdekatan dengan organ-organ yang bilamana mengalami perubahan patologik akan menyebabkan nyeri punggung bawah. II.
PATOFISIOLOGI NYERI
Patofisiologi nyeri diawali dengan pengeluaran mediator-mediator nyeri inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, serotonin yang akan merangsang ujung-ujung saraf bebas. Stimulus ini akan diubah menjadi impuls listrik yang dihantarkan melalui syaraf menuju ke sistem syaraf pusat.
Berdasarkan lamanya nyeri, dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri dengan durasi sampai 7 hari yang biasanya terjadi secar a tibatiba. Penyebabnya mungkin diketahui atau tidak. Gejala-gejalanya dapat berlangsung selama berjam-jam, berhari- hari, sampai 1 minggu dihubungkan dengan luka jaringan, inflamasi, suatu prosedur yang berhubungan dengan pembedahan, proses kelahiran bayi, atau suatu gangguan penyakit yang singkat dan bias juga diikuti dengan kecemasan atau tekanan emosional (Ikawati, 2011). 2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri dengan durasi lebih lama bahkan bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan sering dianggap sebagai penyakit itu sendiri. Nyeri ini bisa menjadi memburuk jika ada faktor lingkungan dan psikologis yang mempengaruhi. Nyeri kronis umumnya tidak mempan terhadap pengobatan dan hal ini bias menyebabkan gangguan yang berat bagi pasien. Pada beberapa kasus dapat terjadi serangan nyeri akut pada problem nyeri kronis. Contoh nyeri kronis antara lain nyeri rematik, nyeri tulang belakang, nyeri diabetes neuropati, neuralgia post herpes, multiple sclerosis, dll (Ikawati, 2011).
KARAKTERISTIK Peredaan nyeri Ketergantungan terhadap obat Komponen Psikologis Penyebab organic Kontribusi lingkungan dan keluarga Insomnia Tujuan pengobatan Depresi
NYERI AKUT Sangat diinginkan Tidak biasa Umumnya tidak ada Sering
NYERI KRONIK Sangat diinginkan Sering Sering merupakan masalah utama Sering kali tidak ada
Kecil Jarang Kesembuhan Jarang
Signifikan Sering Fungsionalisasi Sering
Berdasarkan asalnya, nyeri dibagi menjadi 2 yaitu : 1.
Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulasi langsung pada reseptor nyeri (nosiseptor) baik secara mekanis atau melalui rangsang kimia atau panas. Nyeri nosiseptif dapat dibedakan lagi menjadi 2 berdasarkan lokasinya, yaitu :
A. Nyeri Somatik
Nyeri somatik adalah nyeri yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator nyeri dan inflamasi yang kemudian memicu nyeri melalui aktivasi nosiseptor yang banyak dijumpai pada kulit, otot, atau jaringan lunak. Umumnya nyeri digambarkan sebagai nyeri tajam, menusuk, dan berdenyut-denyut yang relative mudah diketahui lokasinya (Ikawati, 2011). B. Nyeri Visceral
Nyeri visceral disebabkan oleh stimulasi pada system saraf otonom dan sering terjadi pada rongga dalam tubuh seperti jantung, paru-paru, saluran cerna, atau saluran urugenital. Sering kali nyeri samar-samar, menyebar, dan sulit dipastikan lokasinya. Penyebab nyeri somatik antara lain adalah nekrosis/iskemia, inflamasi, peregangan ligament, kontraksi otot polos, peregangan kapsula organ, dll. Contohnya kontraksi secara ritmik otot polos dapat menyebabkan rasa tidak nyaman/kram perut. Karena melibatkan system saraf otonom maka tanda-tanda nyeri visceral juga bisa meliputi mual/muntah, hipotensi, bradikardi, berkeringat (Ikawati, 2011).
Penghantaran nyeri nosiseptif melibatkan proses stimulasi, transmisi, modulasi, dan persepsi. A. Stimulasi
Stimulasi dan transduksi sebagian besar jaringan dan organ dalam tubuh diinervasi reseptor khusus nyeri yang disebut nosiseptor yang berhubungan dengan saraf aferen primer dan berujung di medulla spinalis. Reseptor ini terdapat pada struktur somatik maupun visceral. Proses transduksi dimulai ketika suatu stimulir (kimiawi, mekanik, panas) datang dan diubah menjadi sinyal elektrik pada reseptor di perifer. Berbagai mediator kimiawi sebagai hasil adanya kerusakan jaringan seperti histamin, bradikanin, aerotonin, dan prostaglandin dapat mengaktifkan dan meningkatkan sensitivitas reseptor tersebut.
B. Transmisi
Sinyal elektrik tersebut kemudian ditransmisikan sepanjang sel membran sel saraf aferen primer. Caranya stimulus tadi akan menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas pada membrane sel, membuka kanal Na+ yang ada disepanjang akson, sehingga kemudian menyebabkan depolarisasi yang diperlukan dalam transmisi impuls saraf. Impul saraf dihantarkan menuju korda spinal melalui 2 jenis saraf aferen primer yaitu : serabut A – δ tereliminasi (A – δ fiber) dan serabut C tereliminasi (C-fiber). A – δ fiber bertanggung jawab terhadap penerusan sinyal yang cepat yang berkaitan dengan stimulus termal dan mekanik. Serabut A ini melepaskan asam amino eksitatorik yaitu glutamate, yang akan mengaktifkan reseptor AMPA didorsal horn saraf. Transmisi sinyal melalui serabut ini menghasilkan sensasi nyeri yang tajam atau menusuk yang merupakan alarm bagi seseorang terhadap adanya cidera atau kerusakan jaringan. Nyeri dikenal sebagai first pain. Sementara itu serabut C berespon terhadap stimulus mekanik panas, mekanik, kimiawi dan menghantarkan sinyal nyeri ke korda spinal dengan kecepatan yang lebih kecil dibandingkan serabut A. Serabut ini yang
juga
berujung didorsal horn pada korda spinal, melepaskan asam amino eksitatorik glutamat dan aspartat. Namun berbeda dengan serabut A, C juga melepaskan senyawa peptida seperti substansi P, neurkinin A, somatotastin, galanin, dan calsitonin, gene-related peptida (CGRP). Transmisi sinyal melalui serabut C ini menghasilkan nyeri tumpul dan panas. Nyeri jenis ini disebut second pain karena dirasakan setelah sensasi nyeri pertama. Sekali reseptor pada dorsal horn teraktifasi maka signal elektrik akan diteruskan lagi menuju thalamus melalui saluran spinotalamus. Dari thalamus signal dikirim ke cortex dan bagian lain di otak yang bertugas memproses dan mengiterpretasi signal. C. Modulasi
Tubuh akan memodulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Saraf dari thalamus dan batang otak akan melepaskan berbagai neurotransmitter inhibitor seperti norepinefrin, serotonin, GABA, glisin, endorphin, dan enkefalin yang akan memblok substansi P dan neurotransmiter eksitatori pada serabut saraf aferen primer.
D. Persepsi
Persepsi atau kesadaran akan rasa nyeri merupakan hasil akhir dari rangkaian penghantaran impuls diatas. Persepsi nyeri tidak hanya meliputi proses nosiseptif tetapi merupakan respon fisiologis dan emosi yang akan dirasakan seseorang individu. Persepsi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman atau kondisi individu seseorang sehingga bersifat subyektif. ( Ikawati, 2011). Secara singkatnya nyeri nosiseptik terjadi karena perangsangan pada ujung saraf bebas yang dikenal dengan istilah nosiseptor merupakan tahap pertama yang mengawali timbulnya rasa nyeri. Reseptor ini dapat ditemukan baik di struktur visceral ataupun somatik serta teraktivasi oleh rangsangan mekanis, termal (panas), dan kimiawi. , Pelepasan bradikinin, K + prostaglandin, histamine, leukotrin, serotonin, dan “substance”
P dapat menimbulkan kepekaan dan aktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan potensi aksi yang dihantarkan sepanjang serabut saraf aferen ke spinal cord (sumsum tulang belakang). Potensial akut berlanjut dari tempat rangsangan ke dorsal horn (ujung seperti tanduk) dari spinal cord (sumsung tulang belakang) dan kemudian secara asenden kearah pusat yang lebih tinggi. Thalamus bereaksi sebagai pemancar dan meneruskan rangsangan ke struktur pusat yang akan memproses rasa nyeri lebih lanjut (Sukandar dkk, 2008). 2. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik mengimplikasikan adanya cedera pada struktur saraf yang menyebabkan fungsi yang menyimpang pada system saraf, baik pusat maupun perifer. Contoh penyimpangan tersebut adalah sensitisasi saraf yang berkaitan dengan kerusakan pusat fungsi penghambatan system saraf dan interaksi abnormal antara system saraf somatik dan simpatik. Nyeri digambarkan seperti rasa panas/terbakar,geli, mati rasa, menusuk, atau pedih seperti tersengat listrik. Kadang rasa nyeri dirasakan jauh dari tempat cedera. Pada pemeriksaan biasanya pasien menunjukan alodina (meningkatkan kepekaan nyeri), hypoalgesia atau hyperalgesia atau hyperpatia (respon nyeri yang berlebihan) yang disebabkan oleh sensitisasi serabut C, terjadinya segera dalam wilayah cedera. Sifat nyerinya biasanya lebih persiten/menetap dan sulit diobati dan cenderung hanya responsif sebagian saja terhadap terapi obat. Contoh nyeri neuropati adalah nyeri diabetes neuropati, AIDS, multiple sclerosis, nyeri radiasi dan kemoterapi (Ikawati, 2011).
Nyeri neuropatik terjadi akibat pemprosesan input sensorik yang abnormal oleh system saraf pusat atau perifer. Terdapat sejumlah besar sindroma nyeri neuropatik yang sering kali sulit diatasi (misal: nyeri punggung bawah, neuropatik diabetic, postherpic neuralgia, nyeri akibat kanker, luka pada spinal cord (sumsung tulang belakang). Kerusakan saraf
atau rangsangan terus-menerus dapat menyebabkan sirkuit/lintasan
nyeri untuk menimbulkan rangsangan saraf secara spontan, rangsangan nyeri saraf otonom dan meningkatkan pelepasan bahan-bahan dari saraf dorsal horn yang progesif (Sukandar dkk, 2008). Tubuh mengatur rasa nyeri melalui beberapa proses . System opiat endogen terdiri dari neurotransmiter (misal: enkepalin, dinorfin, dan β-endorfin) dan reseptor (missal: µ, δ, κ) yang ditemukan diseluruh system saraf pusat. Opioid endogen terikat pada reseptor opioid dan menghambat penghantaran rangsangan nyeri. Susunan saraf pusat juga mengandung suatu system desending untuk mengontrol penghantaran rasa nyeri. System ini berawal di otak dan dapat menghambat penghantaran nyeri simpatik pada dorsal horn. Neurotransmiter penting meliputi opioid endogen serotonin, norepinefrin, GABA (γamino butirat) dan neutrotensin (Sukandar dkk, 2008). Tanda dan gejala nyeri (Dipiro dkk., 2009)
1. Gejala Nyeri akut dapat digambarkan seperti rasa tajam atau tumpul, terbakar, terkejut, kesemutan, rasa seperti tertembak, radiasi, intensitas yang berfluktuasi, bervariasi dalam lokasi, dan terjadi berhubungan dengan ketepatan waktu dengan stimulus berbahaya yang jelas. Nyeri kronis memiliki gejala yang sama, dan sering terjadi tanpa hubungan tepat waktu dengan stimulus berbahaya. Seiring waktu, presentasi nyeri kronis dapat berubah (rasa tajam sampai tumpul, yang jelas hingga samarsamar). 2. Tanda
Nyeri akut dapat menyebabkan takikardia, diaforesis, midriasis, dan pucat, tapi tanda-tanda ini tidak diagnostik. Tanda-tanda ini jarang hadir dalam rasa sakit kronis.
Pada nyeri akut, kondisi komorbiditas biasanya tidak terlihat, dan hasil pengobatan umumnya dapat diprediksi. Pada nyeri kronis, kondisi komorbiditas sering hadir, dan hasil pengobatan sering tak terduga.
Nyeri selalu subjektif; sehingga nyeri terbaik didiagnosis berdasarkan keterangan pasien, sejarah, dan
pemeriksaan fisik. Penjelasan dasar nyeri dapat diperoleh
dengan menilai karakteristik (faktor paliatif dan provokatif, kualitas, radiasi, tingkat keparahan, dan faktor temporal). Perhatian harus diberikan untuk faktor mental yang dapat menurunkan ambang nyeri (kecemasan, depresi, kelelahan, marah, takut), faktor perilaku, kognitif, sosial, dan budaya juga dapat mempengaruhi pengalaman nyeri.
Nyeri neuropatik sering kronis, dan tidak mudah diobati dengan analgesik konvensional. Dapat terjadi respon menyakitkan untuk rangsangan biasanya berbahaya (hiperalgesia) atau tanggapan menyakitkan untuk rangsangan biasanya non berbahaya (allodynia).
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: 1. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak nafas, Mendengkur) 2. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir) 3. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan 4. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial. 5. Penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
MEKANISME NYERI
Transduksi stimuli
Transmisi melalui serabut syaraf
Kornu dorsalis medula spinalis, korteks serebri
Persepsi, diskriminasi nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang CNS dan PNS
Rangsangan
Nyeri
Perangsangan pada ujung saraf bebas yang dikenal dengan istilah nosiseptor merupakan tahap pertama yang mengawali timbulnya rasa nyeri. Reseptor ini dapat ditemukan baik di struktur viseral ataupun somatik serta teraktivasi oleh rangsangan mekanis, termal (panas), dan kimiawi. Adanya noksius akan menimbulkan kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme, yang akan memacu pelepasan mediator nyeri dimana mediator nyeri tersebut akan menimbulkan aktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan potensial aksi yang dihantarkan sepanjang serabut saraf aferen ke spinal cord (sumsung tulang belakang). Potensial akut berlanjut dari tempat rangsangan ke dorsal horn (ujung seperti tanduk) dari spinal corn (sumsum tulang belakang) dan kemudian secara asenden ke arah pusat yang lebih tinggi. Thalamus bereaksi sebagai stasiun pemancar dan meneruskan rangsangan ke struktur pusat yang akan memproses rasa nyeri lebih lanjut. Adapun mediator-mediator nyeri yang dilepaskan adalah : 1. Pembebasan H+ (Ph <6), K +(>20 mmol/L), asetilkolin, serotonin, histamine. 2. Pembentukan kinin dan bradikinin (bradikinin adalah polipeptida yang dibentuk dari protein plasma) 3. Prostaglandin (mirip strukturnya dengan asam lemah dan dibentuk dari asam arachidonat) yang selanjutnya akan mensensitisasi reseptor nyeri lama.
Mekanisme pemberantasan rasa nyeri :
1.
Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal.
2.
Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensorik oleh anestetika lokal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri :
1. Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau merupakan penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksa. 2. Kultur
Orang belajar dari budayanya bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri, misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. 3. Jenis Kelamin Laki-laki dan wanita tidak berbeda signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (misalnya: tidak panas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 4. Makna Nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya. 5. Perhatian Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatianya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. 6. Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7. Pengalaman Masa Lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman dimasa lalu dalam mengatasi nyeri. 8. Support Keluarga dan Sosial Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh perhatian dan perlindungan.
III.
TATALAKSANA TERAPI
1.
Tujuan terapi a.
Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
b.
Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten
c.
Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
d.
Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
e.
Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.
2.
Pendekatan umum Orang berusia lanjut dan belia (anak-anak) mempunyai resiko terbesar untuk mengalami undertreatment (pengobatan tidak memadai) oleh karena salah memahami patofisiologi rasa sakit yang mereka derita.
3.
Sasaran terapi Sasarannya adalah rasa nyeri
4.
Pengukuran skala nyeri Sebelum dilakukan penatalaksanaan terapi nyeri, perlu dilakukan penilaian terhadap keparahan nyerinya. Nyeri sebaiknya dinilai, baik dalam keadaan istirahat maupun beraktivitas. Penilaian tentang nyeri juga harus meliputi informasi tentang lokasi, kualitas
atau
karakteristik
nyeri
(seperti
:apakah
nyerinya
tajam,
tumpul,
berdenyut,dll), intensitas, onset, durasi, frekuensi nyeri, dan tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang memicu dan menghilangkan nyeri. Untuk nyeri pada anakanak dapat dilakukan penilaian dengan beberapa cara pengukuran nyeri dapat dlakukan denan beberapa cara : a. Skala nyeri menurut bourbanis Numerik rating scale (skala intensitas nyeri numeric)
Keterangan : 0
: tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik). 4-6 : nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikan, dapat mengikuti perintah dengan baik). 7-9 : nyeri berat ( secara obyektif klien kadang tidak apat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi). 10 : nyeri sangat bert (pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul)
b. Numeric rating scale ( skala intensitas nyeri numeric)
Skala penilaian numeric (numerival rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendiskripsi kata. Dalam al ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10cm. c. Face pain rating scale
Face pain rating scale yaitu dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang t ersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk “nyeri berat” d. Visual analog scale
Skala analog visual (visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus yan mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendiskripsian verbal pada setiap
ujungnya.
Skala
ini
memberi
klien
kebebasan
penuh
untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan
nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata ( Ikawati,2011 : hal 33-34 ). 5.
Strategi Terapi a) Terapi Non Farmakologi Beberapa terapi non farmakologi yang dapat dilakukan meliputi :
Stimulasi saraf transkutan listrik (TENS) Digunakan dalam mengatasi nyeri akut dan kronis (misalnya : bedah, trauma, rendah kembali, arthritis,neuropati, fibromyalgia, dan oral vacial). Dengan menggunakan TENS, transkutan (melalui kulit) stimulasi saraf listrik, fungsi saraf penting dapat diaktifkan secara efektif. Frekuensi gelombang merangsang tubuh untuk dapat menyembuhkan rasa sakit. Dengan cara ini, pemicu penyembuhan rasa sakit dapat dilakukan dengan tepat dan juga meningkatkan aliran darah dalam tubuh.
Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
Stimulasi dan masase kutaneus. Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena menyebabkan relaksasi otot.
Terapi es dan panas Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik terapi es
maupun terapi panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit b) Terapi Farmakologi Ada Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk Terapi Farmakologi dari Nyeri, diantaranya: A. Obat Nonopioid
Obat Nonopioid merupakan analgesik yang paling efektif dengan efek samping yang paling rendah. Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzin siklooksigenase (COX), COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgesic jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX (kecuali paracetamol) pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri. Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitor. Obat-obat nonopioid : 1.
Asam asetilsalisilat (Asetosal, Aspirin, Cafenol, Naspro)
Obat
ini
mempunyai
kemampuan
menghambat
biosintesis
prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim sikloogsigenase secara irreversible,
pada
dosis
yang
tepat
obat
ini
akan
menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A 2. Efek samping : iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan pendarahan samar. Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal yang dapat dikurangi melalui kombinasi dengan suatu antasidum (MgO, Alumunium hidroksida, CaCO 3) atau digunakan garam kalsiumnya (carbasalat). Asetosal juga dapat menimbulkan efek spesifik seperti reaksi alergi kulit dan tinnitus pada dosis lebih tinggi, kejang-kejang bronchi hebat. Kontra indikasi : jangan digunakan pada anak-anak dibawah 12 tahun karena dapat menyebabkan Reye’Syndromedan pada wanita hamil pada triwulan ketiga dan sebelum persalinan karena dapat menyebabkan memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan. Interaksi : asetosal memperkuat daya kerja anti koagulan, anti diabetic oral, dan metroteksat. Dapat menurunkan efek dari obat encok probenesid dan sulfinpirazon, diuretika furosemide serta spironolakton. Kerjanya
diperkuat oleh kodein dan d-propoksifen. Hindari penggunaan bersama alcohol karena dapat meningkatkan pendarahan ( Tjay Hoan,2006 : hal 316 ). 2. Paracetamol (Acetaminophen)
Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, myalgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing, mudah terangsang, dan disorientasi. Efek samping : yang paling umum adalah gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal dan juga reaksi alergi kulit. Efek samping ini terutama terjadi pada gangguan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinyu tidak dianjurkan. Wanita hamil dapat menggunakan paracetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu
( Tjay Hoan, 2006:
hal 318). Interaksi : kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulasinya, kecuali paracetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal 2 minggu. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulasinya (Tjay Hoan, 2006: hal 314). 3. Asam mefenamat
Meskipun mempunyai efek analgetika, antiinflamasi, dan antipiretika, namun daya antiinflamasinya tidak sekuat aspirin. Asam mefenamat bersifat asam sehingga dapat menyebabkan gangguan lambung. Sebaiknya jangan diminum pada saat perut kosong atau pada pasien dengan riwayat gangguan saluran cerna atau lambung. Efek samping : diare, trombositopenia, anemia hemolitik dan ruam kulit. Tidak direkomendasikan untuk penggunaan pada anak-anak dan wanita hamil, sebaiknya tidak digunakan dalam jangka waktu lebih dari seminggu dan pada pemakaian lama perlu dilakukan pemeriksaan darah. Kontraindikasi : yang paling umum adalah gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginal dan uga reaksi alergi kulit. Efek
samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinyu tidak dianurkan. Interaksi :kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulasinya, kecuali paracetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal 2 minggu. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia ( Iso Farmakoterapi hal 520). 4. Antalgin ( metampiron, metamizol, dipiron )
Antalgin merupakan obat lama namun masih cukup banyak dipakai di Indonesia.
Obat
ini
memiliki
efek
analgetika,
antipiretika,
dan
leukopenia
dan
antiinflamasi yang kuat. Efek
samping
yang
cukup
berbahaya
yaitu
agranulositosis yang dapat berakibat kematian (5%) sehingga di Amerika, Inggris, dan Swedia sudah ditarik dari peredaran. Penelitian perlu dilakukan untuk mengkaji apakah efek samping tersebut memang tidak dijumpai pada ras bangsa Asia, termasuk Indonesia. 5. Obat-obat NSAID lain (Na. Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam, Tenoksikam, Meloksikam, Indometasin )
Memiliki efikasi yang relatif sepadan, tetapi memiliki efek samping bervariasi, utamanya terhadap saluran gastrointestinal. Karena itu obatobat ini tidak boleh digunakan oleh mereka yang sudah memiliki riwayat gangguan intestinal. Di bawah ini adalah perbandingan resiko relatif beberapa NSAID dalam efeknya terhadap lambung. Semakin besar angkanya menunjukkan semakin besar resikonya terhadap lambung. Tabel perbandingan resiko relatif beberapa NSAID dalam menyebabkan gangguan lambung.
6.
Macam-macam obat NSAID
Resiko relatif gangguan G.i
Indometasin
2,25
Naproksen
1,83
Diklofenak
1,73
Piroksikam
1,66
Meloksikam
1,43
Tenoksikam
1,24
Ibuprofen
1,19
Golongan inhibitor COX-2
Obat golongan inhibitor COX- merupakan alternatif dari obat golongan NSAID yang dirancang untuk lebih aman terhadap lambung, karena bersifat menghambat secara lebih spesifik terhadap COX-2, yang merupakan enzim indusibel yang terekspresi tinggi pada kejadian inflamasi. Obat ini memiliki aktifitas antiinflamasi dan analgetik yang cukup baik. Namun perlu dipakai dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler karena meningkatkan resiko penjedalan darah akibat kurang terhambatnya pembentukan tromboksan, sehingga dapat memicu serangan stroke iskemia atau iskemia antung. Contoh obatnya : celecoxib dan refecoxib. Namun refecoxib sudah ditarik dari peredaran (Ikawati.2011 : hal 45)
Mekanisme kerja obat nonopioid disajikan pada bagan berikut : Stimulus
Kerusakan Membran Sel Fosfolipid Fosfolipase A
Kortikosteroid Asam Arakidonat Inhibitor Lipoxygenase
NSAID
Lipoxygenase
Cyclooxygenase
Leukotrien
Prostaglandin Tromboksan Prostasiklin
Daftar Obat Analgesik Nonopioid yang Mendapat Ijin FDA untuk Orang Dewasa Golongan generik Salisilat
dan
nama
Rentang dosis lazim (mg)
Dosis maks (mg/hr)
Asam asetil salisilat (aspirin)
325-650 tiap 54 jam
4000
Kolin
870 tiap 3-4 jam
5220
Magnesium
650 tiap 4 jam atau 1090 tiga
4800 dalam dosis tertinggi
X sehari Natrium
325-650 tiap 4 jam
5400
Diflunisal
500-1000 pada awal
1500
250-500 tiap 8-12 jam Para-Amino fenol
Paracetamol
325-1000 tiap 4-6 jam
4000
Meklofenamat
50-100 tiap 4-6 jam
400
Asam mefenamat
Awal 500
1000
Fenamat
250 tiap 6 jam (maks 7 hari)
Asam pianokarboksilat
Etodolak
200-400 tiap 6-8 jam Hanya
untuk
1000
pelepasan
segera Asam asetat
Kalium diklofenak
Pada beberapa pasien, awal 150 100,50 tiga X sehari
Asam propionat
Ibuprofen
200-400 tiap 4-6 jam
3200 1200
Fenoprofen
200-400 tiap 4-6 jam
3200
Ketoprofen
25-50 tiap 6-8 jam
300
12,5-25 tiap 4-6 jam
75
500 saat awal
1000
Naproksen
500 tiap 12 jam atau 250 tiap 6-8 jam Natrium naproksen
Pada beberapa pasien 440 660 saat awal 220 tiap 8-12 jam
Naproksen, delayed release
500 tiap 12 jam
1000
Naproksen, controled release
500-1000 tiap 24 jam
1500
30-60 (dosis i.m tunggal saja)
30-60
15-330 tiap 6 jam (max 5
120
Asam pirozolin karboksilat
Ketorolak (parenteral)
hari) Ketorolak (oral) (indikasi
hanya
lanjutan/setelah saja)
Pada beberapa pasien, dosis untuk
40
awal 20
parenteral 10 tiap 4-6 jam (max 5 hari, termasuk dosis parenteral)
Penghambat siklooksigenase-2
Selekoksib
Awal 400 diikuti dengan 200
400
pada hari yang sama, lalu 200 dua X sehari Valdekoksib
20 dua X sehari
40
B.
Obat Opioid
Analgetik opioid diberikan pada nyeri sedang sampai berat, sesuai dengan intensitas nyeri dan kekuatan analgetika obatnya. Mulai kerja analgetik oral sekitar 45 menit dan efek puncak terlihat antara 1-2 jam. Pemberian golongan opiat langsung ke dalam sistem syaraf pusat (melalui rute epidural dan intratekal) memerlukan pemantauan cermat karena dilaporkan terjadi sedasi hebat, depresi pernafasan, pruritis (gatal), mual, muntah, retensi urin, dan hipotensi. Sifat dari analgesik opioid yaitu menimbulkan adiksi, habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal : 1.
Potensi analgesik yang sama kuat dengan morfin.
2.
Tanpa bahaya adiksi.
Obat golongan opioid : 1. Morfin Pada sistem syaraf pusat, morfin memunculkan perasaan mengantuk, sedatif sehingga tidak merasakan nyeri. Dosis awal mengakibatkan mual yang diakibatkan leh stimulasi langsung kepada kemoreseptor di medula oblongata dan mengakibatkan sensitivitas vestibular. Morfin dapat diberikan secara oral, parenteral, dan rektal. Kombinasi analgesik opiat dengan alkohol atau depresan sistem syaraf pusat yang lain akan menguatkan depresi nafas dan berpotensi bahaya yang dapat mengakibatkan kematian. Morfin dapat menyebabkan dilatasi vena dan arterior, sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. 2. Meperidin dan struktur sejenisnya (fenilpiperidin) Meperidin merupakan turunan morfin yang kurang poten dibandingkan morfin. Morfin kurang poten sebagai spasmodik dan tidak dapat menekan batuk. Lama kerja meperidin lebih singkat dibandingkan dengan morfin. Pada dosis tinggi
atau
pada
gagal
ginal
metaboliknya
normeperidin
menumpuk,
menyebabkan tremor, hentakan otot, dan keang. Meperidin tidak boleh dikombinasikan penghambat MAO karena kemungkinan menyebabkan depresi atau eksitasi nafas berat, delirium hiper pirexia (tidak sadar akibat panas tinggi) dan konvulsi. Fentanil adalah opiot sintetik mirip meperidin. Sering kali digunakan sebagai tambahan bagi anestesi umum, fentanil lebih poten dengan lama kera analgetik lebih singkat dibandingkan meperidin. Fentanil transdermal dapat digunakan untuk pengobatan nyeri kronis yang memerlukan analgetik opiat.
3. Metadon dan struktur sejenisnya Metadon lebih efektif digunakan peroral, lama kerja panjang dan kemampuan untuk menekan gejala putus obat pada ketagihan heroin. Pada dosis berulang lama kerja metadon sebagai analgetik diperpanjang, tetapi mungkin juga timbul sedasi berlebihan. Walaupun efektif untuk nyeri akut, namun umumnya digunakan untuk terapi nyeri kronis. Dosis berulang lama kerja metadon sebagai analgetik diperpanjang, tetapi mungkin juga timbul sedasi berlebihan. Walaupun efektif untuk nyeri akut, namun umumnya digunakan untuk terapi nyeri kronis. 4. Antagonis Opiat Naloxon merupakan antagonis opiat murni yang terikat secara kompetitif pada reseptor opiat, tetapi tidak menghasilkan respon analgesik. Antagonis opiat digunakan untuk mengatasi efek toksik dari opiat agonisantagonis. 5. Analgesik Sentral Tramadol, analgetik yang bekerja secara sentral untuk nyeri sedang sampai agak berat, bekerja ke reseptor N opiat dan secara lemah menghambat reuptake norepinerfin dan serotonin. Walaupun kurang menyebabkan depresi pernafasan dibandingkan morfin pada dosis terapi tramadolmempunyai profil efek sampingserupa dengan analgetik opiat yang lain. Mungkin juga meningkatkan resiko kejang. Dapat berguna untuk mengobati nyeri kronis terutama
yang
bersifat
neuropatik,
tetapi
hanya
dibandingkan analgetik opiat lain untuk nyeri akut.
sedikit
bermanfaat
Efek samping umum obat golongan opioid
Efek
Manifestasi
Perubahan mood
Disforia, euforia
Kesadaran
Lemah, mengantuk, apatis, tidak bisa konsentrasi
Stimulasi chemoreseptor tringer Mual, muntah zone (CTZ) Depresi pernafasan
Kecepatan respirasi turun
Menurunkan motilitas GI
Konstipasi
Meningkatkan tonus spinkter
Kontraksi saluran empedu, retensi urin
Pelepasan histamin
Asma urikaria, pruritus
Toleransi
Perlu dosis lebih besar untuk mencapaiefek yang sama
Dependency (ketergantungan)
Terjadi gejala putus obat jika dihentikan secara tiba-tiba
Pedoman penentuan dosis
Nama Obat
Dosis
Keterangan
(dinaikkan atau diturunkan sesuai respon pasien) AINS
/ Dosis
sampai
maksimum
Gunakan pada nyeri ringan sampai
Parasetamol / sebelum diganti dengan obat lain
sedang.
Aspirin
Dapat digunakan bersama obat opiod untuk mengurangi dosis masing-masing. Konsumsi alcohol secara teratur dan parasetamol
dosis
tinggi
dapat
menyebabkan toksisitas pada liver. Hindari kemungkinan overdosis jika obat tersebut digunakan bersama. Morfin
po 5-30 mg tiap 3-4 jam im 5-10 mg tiap 3-4 jam
Obat Pilihan pada nyeri hebat
iv 1-2,5 mg tiap 5 menit jika
Kombinasikan produk sustained release
perlu
dengan lepas berkala untuk mengontrol nyeri berat pada pasien kanker Tersedia produk yang dapat tiap 12 jam
Hidromorfon
Sustained Release 15-30 mg
diberikan tiap 24 jam (mungkin bisa tiap
rectal 10-20 mg tiap 4 jam
8 jam pada pasien tertentu)
po 2-4 tiap 3-6 jam
Gunakan pada nyeri hebat
im 1-4 tiap 3-6 jam
Lebih poten daripada morfin : selain hal itu tidak ada keuntungan lain
iv 0,1-0,5 mg tiap 5 menit jika
Kombinasikan
dengan
immediate-
perlu
release dengan lepas berkala untuk mengontrol nyeri berat pada pasien
rectal 3 mg tiap 6-8 jam
kanker Gunakan
hanya
bentuk
Sustained-release pada
sediaan
pasien
yang
menunjukan toleransi terhadap opioid tersedia kapsul lepas berkala 12 mg, 16 mg, 24 mg dan 32 mg dan harus diberikan tiap 24 jam Oksimorfin
Levorfanol
im 1-1,5 tiap 4-6 jam
Gunakan pada nyeri hebat
iv 0,5 pada awal
Tidak
rectal 3 mg tiap 6-8 jam
morfin
po 2-3 mg tiap 6-8 jam
Gunakan pada nyeri hebat
im 1-2 mg tiap 6-8 jam
Waktu paruh yang diperpanjang dapat
ada
kelebihan
dibandingkan
berguna untuk pasien kanker pada nyeri kronis,
tunggu
3
hari
sebelum
menyesuaikan dosis Kodein
po 15-30 mg tiap 3-6 jam
Gunakan pada nyeri sedang
im 15-30 mg tiap 3-6 jam
Analgesik
iv 15-30 mg tiap 3-6 jam (maks
AINS, atau parasetamol atau aspirin
lemah,
gunakan
dengan
360mg per hari) hidrokodon
(po) po 5-10 mg tiap 3-6 jam
Gunakan
pada
nyeri
berat/sedang.
Paling efektif jika digunakan bersama
dengan AINS atau parasetamol atau aspirin Oksikodon
po
5-10
mg
tiap
3-6
jam
Gunakan pada nyeri sedang/berat
(po)
Controlled – release, 10-20 mg
Paling efektif jika digunakan bersama
tiap 12 jam
dengan AINS atau parasetamol ataun aspirin Kombinasikan
produk
immediate-
release dengan sustained-release untuk mengontrol nyeri berat pada pasien kanker Meperidin
Im 50-150 mg tiap 3-4 jam
Gunakan pada nyeri hebat
Iv 5 – 10 mg tiap 5 menit jika
Oral tidak dianjurkan
perlu
Jangan digunakan pada gagal ginjal Dapat menimbulkan tremor, mioklonus atau seizure (kejang) Penghambatan
MAO
dapat
menyebabkan dan/ seizure (kejang) atau gejala overdosis opioid Fentanil
iv 25-50 mcg/jam
Gunakan pada nyeri hebat
im 0,05-0,1 mcg tiap 1-2 jam
Jangan digunakan secafra transdermal pada nyeri akut
transdermal 25 mcg/jam tiap 72 Transmukosal untuk kanker jam transmukosal diulang
satu
setelah
dosis
200 kali,
mcg
dapat
30
menit
pertama
dititrasi/disesuaikan
lalu secara
bertahap Metadon
po 2,5-10 mg tiap 3-4 jam (akut)
Efektif pada nyeri kronis yang berat
im 2,5-10 mg tiap 3-4 jam (akut)
Sedasi dapat menjadi masalah utama
po 5-20 mg tiap 6-8 jam (kronis)
Pada beberapa pasien kronis dapat diberikan tiap 12 jam Kesetaraan dosis analgesic metadon
akan menurun secara progresif seiring semakin tingginya dosis opioid yang digunakan
sebelumnya,
jika
dibandingkan dengan opioid yang lain Propoksifen
po 100 mg tiap 4 jam (napsilat)
Gunakan pada nyeri sedang
po 65 mg tiap 4 jam (HCL)
Analgesic lemah, paling efektif jika
(maks tiap hari 600 mg napsilat,
digunakan
dengan
390mg HCL)
parasetamol
atau
menyebabkan
kadar
AINS aspirin
atau dapat
karbamazepin
meningkat 100 mg garam Napsilat = 65 mg garam HCL Pentazosin
po 50-100 mg tiap 3-4 jam
Obat pilihan ketiga untuk nyeri sedang
(maks 600g/hari)
sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat pada
pasien
ketergantungan.
Dosis
parenteral tidak dianjurkan Butorfanol
im 1-4mg tiap 3-4 jam
Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang
iv 0,5-2 mg tiap 3-4 jam
sampai berat
intranasal 1 mg (1 spray) tiap 3- 4
Dapat menimbulkan gejala putus obat
jam jika adekuat, dapat diulang pada pasien ketergantungan pada lubang hidung yang lain satu kali dalam 30-60 menit maks 2 semprotan (1 semprotan tiap lubang hidung) tiap 3-4 jam Nalbufin
im/iv 10 mg tiap 3-6 jam
Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang
(maks dosis 20 mg, 160 mg/hari)
sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan
Buprenorfin
im 0,3 mg tiao 6 jam
Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang
iv lambat 0,3 mg tiap 6 jam
sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan
dapat diulang satu kali, 30-60 Nalokson tidak efektif untuk mengatasi
Dezosin
menit setelah dosis pertama
depresi nafas
im 5-20 mg tiap 3-6 jam
Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat
iv 2,5 – 10 tiap 2-4 jam
Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan
Nalokson
iv 0,4-1,2 mg
Saat mengatasi efek samping opiate pada
pasien
yang
memerlukan
analgesic, encerkan dan titrasi dosis (0,2-0,4 mg tiap 2-3 menit) agar efek analgesic tidak hilang Tramadol
po 50-100 mg tiap 4-6 jam
Dosis maksimum 400mg/24 jam
jika mula kerja (onset) obat yang Turunkan cepat tidak tercapai,
dosis
pada
penderita
gangguan ginjal dan lanjut usia
mulailah dengan 25 mg/hari dan dititrasi/disesuaikan
dosisnya
dalam waktu beberapa hari
C. Kombinasi Opioid dan Nonopioid
Kombinasi analgesik oral opioid dan non opoid sering lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi dan memungkinkan untuk mengurangi dosis obat masing – masing. NSAID ditambah opioid dengan jadwal tertentu seringkali efektif untuk nyeri kanker tulang metastase.
Algoritma Nyeri
Identifikasi Sumber Nyeri dan Obati penyakit yang menyebabkan nyeri/trauma jika mungkin
Apakah Nyeri?
Tdk
Monitoring pasien
Ya
Kaji Tingkat Keparahan Nyeri
Tdk
Ringan
Tdk
Sedang
Ya
Paracetamol atau NSAID
Apakah Nyerinya Berkurang? Ya
Monitoring Pasien
Tdk? Tambahkan/ Ganti
Berat
Ya
Kombinasi Opioid dan Paracetamol/ NSAID
Apakah Nyerinya Berkurang?
Tdk? Tambahkan/ Ganti
Ya
Monitoring Pasien
Algoritma Umum Nyeri
Ya
Analgesik Opioid
Apakah Nyerinya Berkurang? Ya
Monitoring Pasien
Tdk
Cek Lab
a. Nyeri Ringan
Obat:
Dosis Maksimal per hari Paracetamol 4,0 g
Analgesik nonopioid Anti
inflamasi
Ibuprofen 3,2 g
non
Naproksen 1,0 g
steroid (AINS)
Respon
Baik
Jelek
Lan utkan
Dosis
b. Nyeri Ringan/Sedang
Obat:
Dosis maksimal per hari
Paracetamol atau AINS Paracetamol 4,0 g kombinasi dengan opoid
Tambahan:
Amitriptilin 10-50 mg Imipramin 10-50 mg
Antidepresan trisiklik
Doksepin 10-50 mg
Antikonvulsan
Prednison
Steroid
Deksametason
Prinsip Terapi Nyeri Ringan: 1. Cek frekuensi / lama sakit / waktu timbulnya / penyebab nyeri secara teratur 2. Jika terdapat nyeri tulang, pemakaian AINS harus secara teratur 3. Selalu gunakan satu obat sampai Dosis maksimum tercapai sebelum menggantikannya dengan obat lain yang lebih berkhasiat, kecuali bila nyeri benar-benar tidak dapat dikontrol 4. Jika nyeri bersifat terusmenerus atau sering kambuh, gunakan dosis pencegahan / sebelum nyeri muncul.
Prinsip Terapi Nyeri Ringan/Sedang: 1. Cek frekuensi / lama sakit / waktu timbulnya / penyebab nyeri secara teratur 2. Selama terdapat nyeri tulang, pemakaian AINS bersama opioid harus secara teratur. 3. Penatalaksanaan nyeri harus selalu didahulukan dibanding dengan terapi lainnya. 4. Tentukan tempat nyeri, terutama pada tulang, harus segera dievaluasi untuk alternatif alergi 5. Pemeriksaan secara tepat dan riwayat alergi opiat adalah penting 6. Selalu gunakan satu obat sampai dosis maksimum tercapai 7. Jika nyeri bersifat terus menerus atau sering kambuh, gunakan dosis pencegahan
Respon
Baik
Jelek
Lan utkan
Dosis
c. Nyeri Ringan/Sedang
Oksikodon
Obat: Opioid
analgesik
Morfin
AINS
Hidromorfin
Tambahan:
Metadon
Antidepresan trisiklik
AINS
Antikonvulsan
Steroid
Steroid
Res on
Baik Lan utkan
Prinsip Terapi Nyeri Ringan/Sedang: 1. Cek frekuensi / lama sakit / waktu timbulnya / penyebab nyeri secara teratur 2. Morfin sering kali menjadi pilihan pada kategori berikut: tersedia berbagai produk, banyak pilihan rute pemberian, terdapat data ekivalensi/ kesetaraan dosis berbagai rute tersebut, sehingga memudahkan untuk diganti-ganti 3. Tidak ada batasan dosis opiat dalam praktek sehari-hari. 4. Gunakan semua terapi tambahan untuk meminimalkan kenaikan dosis. 5. Kontrol nyeri pada awal memerlukan dosis yang lebih tinggi dari dosis pemeliharaan. 6. Kondisi khusus seperti nyeri yang timbul tiba-tiba atau mendadak hilang terutama disepanjang jalur saraf atau neuralgia, mungkin memerlukan tambahan berupa anti konsulvan atau anti depresan
Jelek Blok saraf Epidural Intratekal
Algoritma Nyeri Berdasarkan Tingkat Keparahannya