Muqaddimah Ibnu Khaldun Bag. 2 by aftinanurulhusna
Pendahuluan Manfaat besar histeriografi. Pengertian segala variasi histeriologi. Ulasan sepintas kesalahan yang dilakukan para sejarawan.
Ketahuilah, sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki metode (mazhab) mantap, aspek penggunaan yang sangat banyak, dan memiliki sasaran yang mulia. Sejarah membuat kita paham akan hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu, yang merefleksi diri dalam perilaku kebangsaan mereka . Sejarah membuat kita mengetahui biografi para nabi, serta negara dam kebijaksanaan para raja. Sehingga menjadi sempurnalah faedah mengikuti jejak historis bagi orang yang ingin mempraktekkannya dalam persoalan agama dan dunia. Penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Ia juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkannya dari berbagai ketergelinciran dan kesalahan. Sebab, apabila catatan sejarah mereka cuma didasarkan kepada bentuk nukilan, dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang ditarik dari kebiasaan, tentang fakta-fakta politik yang fundamental, tentang watak peradaban, dan tentang segala hal-ihwal yang terjadi di dalam kehidupan sosial manusia, serta, selanjutnya, apabila sejarah tidak diperbandingkan antara materinya yang gaib dengan materinya yang nyata, antara yang baru dan yang kuno, pasti akan ditemukan batu penghalang, ketergelinciran, dan kekhilafan di dalam berita sejarah tersebut. Banyak sejarawan, ahli tafsir dan ulama penukil terkenal, melakukan kesalahan dalam mengemukakan hikayathikayat peristiwa-peristiwa sejarah. Hal itu terjadi karena mereka hanya begitu saja menukilkan hik ayat dan berita sejarah itu, tanpa memeriksa benar-salahnya. Mereka tidak mengeceknya dengan prinsip yang berlaku pada situasi historis, tidak membandingkannya membandingkannya dengan materi-materinya materi -materinya yang serupa. Mereka juga tidak menyelidikinya dengan ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan tentang watak alam semesta, perenungan, dan dengan pengetahuan yang mendalam tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Oleh karena itu, mereka menyimpang dari kebenaran, dan menemukan dirinya tersesat di tengah padang praduga dan kesalahan. (h. 1213) *** … sarjana yang terjun ke lapangan ini (histeriografi) membutuhkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat, dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan (way (way of life), life), nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte, mazhab-mazhab, dan segala ihwal lainnya. Selanjutnya, dia perlu memiliki pengetahuan bandingan tentang situasi-situasi dan kondisikondisi mendatang dalam semua aspek ini. Dia harus membandingkan kesamaan-kesamaan, atau membedakan keadaan-keadaan, kini dan masa lampau. Dia harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya. Dia harus mengetahui perbedaan sumber dan awal timbulnya negara-negara, millah-millah (kelompok agama), sebagaimana dia harus mengetahui perbedaan sumber dan permulaan timbulnya alasan dan dorongan yang membuat semua itu terbentuk. Dia harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukungnya. Sasarannya tidak lain adalah untuk melengkapi pengetahuan tentang sebab terjadinya masing-masing peristiwa, dan untuk saling mengenal asal masing-masing peristiwa. Selanjutnya, dia harus mengecek berita yang dinukilkan dengan prinsip-prinsip dasar yang telah dia ketahui. Apabila ia memenuhi syarat-syaratnya, maka ia benar. Dan sebaliknya, apabila tidak, berita itu ditolak. Hanya karena alasan ini, histeriografi dianggap tinggi nilainya oleh orang-orang terdahulu, sehingga at-Thabari, al-Bukhari, dan sebelumnya Ibn Ishaq serta para sarjana muslim lainnya, memilih terjun ke bidang ini. Banyak sarjana yang lalai terhadap rahasia histeriografi, sehingga pengkajiannya lemah. Orang awam dan para sarjana yang tidak memiliki dasar pengetahuan, menganggapnya sebagai materi tak berarti untuk dipelajari dan sejarah yang perlu diketahui, untuk menyelidiki dan hidup dari belas kasihannya. Maka binatang-binatang yang kesasar masuk ke dalam kawanan domba, isi bercampur dengan kulit, yang benar berbaur dengan yang dusta.
“Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” Salah satu sumber kesalahan yang samar-samar dalam histeriografi ialah mengabaikan perubahan situasi dan kondisi yang terjadi pada bangsa-bangsa dan generasi-generasi, dengan perubahan periode dan perjalanan waktu. Perubahan yang demikian itu memang menjengkelkan dan sangat tersembunyi. Ia terjadi dalam cara yang tidak kentara, dan lama sekali baru dapat dirasakan. Akibatnya, perubahan-perubahan itu sukar sekali dilihat, dan hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Yang kami maksud dengan pernyataan tersebut ialah, dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan sistem hidup mereka tidaklah terus-menerus dalam suatu keadaan dan cara yang konstan. Semuanya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan menurut hari-hari dan periode-periode, serta oleh perpindahan-perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Dan kalau individu-individu, waktu-waktu, dan kota-kota berubah, maka demikian juga daerah-daerah iklim dan distrik-distrik, periode-periode dan negara-negara juga berubah-karena memang demikianlah hukum yang ditentukan oleh Allah untuk Hamba-Nya. Di dunia ini terdapat bangsa-bangsa Persia pe rtama (Kerajaan Akhaemania), bangsa-bangsa Assyiria, bangsa Nabatea (Bangsa Babylonia), kerajaan Tababi‟ah, bangsa Israel, dan bangsa Mesir. Masing-masing merek memiliki kondisi khas, dalam respek negara, penetapan batas teritorial, politik, industri, bahasa, terminologi teknis, dan cara bergaul di kalangan mereka sendiri. Masing-masing memiliki memelihara lembaga kultural meeka, sebagaimana dibuktikan oleh peninggalan sejarah. Kemudian datang kerajaan Persia kedua (Kerajaan Sassanid), bangsa Romawi, dan bangsa Arab, situasi kemudian berubah. Dan berubah pulalah adat kebiasaan, yang dalam beberapa segi masih ada yang sama atau hampir sama, dan dalam beberapa segi ada yang berbeda atau malahan bertentangan sama sekali dengan a slinya. Kemudian datanglah Islam yang disiarkan oleh kabilah Mudhar. Sekali lagi situasi berubah drastis dan mengambil bentuk-bentuk sebagaimana yang kita lihat sekarang, yang kita terima dari nenek-moyang kita terdahulu (salaf). Kemudian, negara-negara Arab dan hari-harinya roboh. Generasi-generasi terdahulu, yang meletakkan dasar kekuatan dan kebesaran mereka, pergi ke alam baka. Kekuatan kemudian pindah ke tangan bangsa non-Arab („ajam), seperti Turki di Timur, bangsa Barbar di Barat dan bangsa Franka di Utara. Dengan kepergian mere ka, berlalu pulalah bangsa-bangsa. Situasi dan adat kebiasaan pun berganti. Kejayaan mereka dilupakan, dan kekuatan mereka tidak lagi diperhatikan orang. Sebab daripada perubahan dalam keadaan dan kebiasaan yang banyak dikenal orang ialah bahwa kebiasaan setiap generasi mengikuti kebiasaan orang-orang (sultan-sultan) yang memerintah mereka. Sebagaimana dikatakan peribahasa, “Rakyat mengikuti agama rajanya.” Jika orang-orang yang berambisi politik menguasai negara, dan memegang kekuasaan, tak dapat dielakkan mereka pasti akan menempuh jalan parapenguasa sebelumnya, dan mengambil banyak daripadanya, dengan tidak melupakan kebiasaan mereka sendiri. Sehingga, dalam adat kebiasaan negara terdapat perbedaan dengan adat kebiasaan generasi yang pertama. Dan apabila sesudah mereka datang lagi negara baru, dan kebiasaannya bercampur-campur dengan kebiasaan mereka, pasti dalam kebiasaan itu akan terdapat bagian yang berbeda dengan kebiasaan negara yang kedua, dan lebih jauh lagi dengan adat kebiasaan negara yang pertama. Perubahan sedikit demi sedikit, yang menuju ke arah perbedaan yang makin besar ini akan terus berjalan, hingga sampai pada perbedaan total. Dan selama bangsa-bangsa dan generasi-generasi terus-menerus silih-berganti dalam kekuatan dan kekuasaan, selama itu pula akan terus ada perubahan dalam adat kebiasaan dan lemba ga mereka. Pemikiran analgis dan komparis dikenal baik sebagai watak manusia. Namun, cara pengambilan hukum seperti ini mudah membawa kesalahan. Kalau pada suatu ketika cara-cara itu disertai oleh sifat tidak teliti dan tergesagesa, si penyelidik akan kehilangan pegangan, dan semakin jauh dari soal yang diselidikinya. Mungkin, seseorang banyak mendengar tentang masa lampau, dan melupakan perubahan-perubahan besar, bahkan revolusi-revolusi yang terjadi selama itu. Tanpa perasaan ragu-ragu pada mulanya, dia langsung mengaplikasikan pengetahuannya terhadap berita historis, dan membandingkan berita tersebut dengan segala yang telah dilihatnya, maka tentu perbedaan antara keduanya akan sangat besar. Akibatnya, sang penyelidik jatuh ke jurang kesalahan. (h. 45-48) *** Sejarah adalah peristiwa-peristiwa khusus mengenai suatu zaman dan generasi. Pembicaraan umum tentang kondisi daerah, bangsa, dan zaman itu, merupakan dasar bagi para ahli sejarah. Kebanyakan tujuan sejarah dibangun di atas dasar tersebut, dan peristiwa-peristiwa menjadi jelas oleh dasar tersebut.
Sejarah merupakan pokok pembicaraan dari karya-karya khusus, seperti karya al-Mas‟udi, Muruj adh-Dzahab. Di dalam karya tersebut, al-Mas‟udi menerangkan hal-ihwal bangsa-bangsa di Barat dan di Timur selama masanya, yaitu di tahun 330 (940-an). Di dalamnya, ia menyebut sekte-sekte da n adat istiadat mereka. Ia melukiskan berbagai negeri, gunung, samudera, provinsi-provinsi, dan kerajaan-kerajaan. Dibedakannya suku Arab dengan suku non-Arab. Dengan demikian, bukunya menjadi petunjuk dasar bagi para sejarawan, bahkan sumber mereka paling utama untuk menguji kebenaran sejarah. Kemudian sesudahnya datang al-Bakri yang menulis sejarah sebagaimana telah dilakukan oleh al-Mas‟udi, khususnya mengenai jalan-jalan dan kerajaan-kerajaan, tanpa menguraikan persoalan lain, karena di masa itu tidak terjadi perubahan besar mengenai bangsa dan generasi. Namun, di masa ini, yakni akhir abad kedelapan (hijriah), Maghribi sudah berubah secara menyeluruh. Orang -orang Barbar, penduduk asli Maghribi, telah digantikan oleh orang Arab yang datang bertransmigrasi, mengalir deras ke sana sejak abad kelima (hingga abad kedelapan). Jadinya, jumlah orang Arab lebih banyak daripada jumlah orang Barbar, mengambil alih hak sebagian besar tanah, malah memperoleh bagian pula dari tanah-tanah yang masih tinggal di tangan mereka. Demikianlah situasi waktu itu hingga pertengahan abad kedelapan (14 M)! Peradaban Timur dan Barat dihinggapi wabah pes yang menghancurkan bangsa-bangsa dan menyebabkan banyak sekali penduduk mati. Penyakit itu telah menelan peradaban-peradaban yang baik, serta menghapusnya sama sekali. Ia menyerbu negara-negara yang telah berusia lanjut dan mencapai puncaknya yang paling jauh. Penyakit itu telah menguras kekuatan dan membatasi pengaruh mereka. Penyakit itu telah melemahkan kekuatan mereka. Keadaan mereka mendekati titik kehancuran dan kemusnahan. Dengan musnahnya umat manusia, mundurlah peradaban di bumi. Kota dan pabriknya hancur. Jalan raya dan rambu-rambunya musnah. Tempat tinggal dan rumah kosong. Negara dan kabilah menjadi lemah. Semua itu menyebabkan seluruh dunia yang didiami manusia berubah. Saya yang berada di Timur seolah-olah merasakan apa yang sedang menimpa Barat (Maghribi, Maroko), sesuai dengan perbandingan dan kadar peradabannya. Seolah-olah lidah alam semesta berteriak menyerukan kehancuran dan kerusakan. Seketika dunia menjawab seruan itu. Maka Allah-lah pewaris bumi dan segala yang ada di permukaannya! Begitu situasi berubah secara menyeluruh, seluruh makhluk seolah-olah berubah, dan seluruh dunia dengan segala isinya bertukar. Seakan-akan ciptaan baru yang diulang layaknya! Alam yang diperbarui! Karena itu masa ini membutuhkan orang yang dapat menulis dan mencatat hal-ihwal ciptaan, daerah-daerah beserta generasi-generasinya, kebiasaan-kebiasaan dan sekte-sekte penduduknya. Pendeknya melakukan apa yang telah dilakukan oleh al-Mas‟udi untuk masanya, sehingga dapat dijadikan dasar yang akan diikuti oleh sejarawan yang datang sesudahnya. (h. 52-54) *** Dan di atas setiap ahli ilmu, Dia-lah yang lebih mengetahui. Allah adalah gudang terakhir segala ilmu. Manusia itu lemah, dan tak sempurna. Dan mengakui kekurangan diri adalah suatu kewajiban agama tersendiri. (h. 54)