OSMAN RALIBY
IBNU KHALDUN Tentang
MASYARAKAT DAN NEGARA Bertujuan memberi isi kepada masyarakat dan negara sesuai dengan ketuhanan Yang Maha Esa
SEPATAH KATA Seyogianya diketahui bahwa isi pokok dari kitab ini adalah !erjemahan dari buah pikiran Ibnu Khaldun mengenai masyarakat dan negara, sebagaimana secara terpisah-pisah dibentangkannya dlalam bukunya Mukaddimah yang terkenal itu. Fragmen fragnen mengenai masyarakat dan negara yang terpisah-pisah itu saya pilih satu persatu dan kemudian langsung dari bahasa Arab saya salin ke dalam bahasa Indonesia dengan berpedoman pada terjemahan-terjemahan asing yang sebelumnya telah ada, terutama sekali dalam bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Karenanya, dengan menjauhkan diri dari takabur, terjemahan fragmenta khaldunia ini dapatlah dikatakan paling terpercaya. Sebenarnya lebih kurang tiga tahun yang lalu, seiring dengan berdirinya Universitas Ibnu Khaldun di Jakarta (dan kemudian juga di Bogor), dalam kedudukan sebagai dekan dari Fakultas Publizistik perguruan tinggi tersebut, saya bercita-cita hendak menterjemahkan Muqaddimah Ibnu Khaldun itu secara lengkap untuk para mahasiswa dan masyarakat Islam Indonesia, akan tetapi sudahlah demikian kiranya, maksud hati hendak memeluk gunung,apa daya tangan tak sampai. Oleh hal-hal tertentu saya telah tidak sanggup melaksanakan penterjemahan itu seluruhnya. Pekerjaan yang telah dimulai menjadi terbengkalai dan yang selesai baru terjemahan pendahuluannya saja. Diantara sebab-sebab yang membikin pekerjaan itu menjadi separuh jalan, ialah ketiadaan waktu yang saya alami dewasa itu dan kesulitan -kesulitan yang dihadapi dalam menyalin perkataan-perkataan dan kalimat-kalimat Arab yang bersifat "mengandung", sehingga sukar sekali mencari dan kadangkala malah tak ada kata perbandingannya dalam bahasa kita. Akhirnya setelah tahun-tahun itu berlalu, sedang saya pun sudah sadar tidak akan sanggup lagi meneruskan penterjemahan Muqaddimah itu secara lengkap seperti diidam-idamkan semula, maka timbullah pikiran untuk berusaha sekedar mengambil faedah juga dari ke-terbengkalai-an itu, yaitu dengan selanjutnya menterjemahkan saja fragmen-fragmen tertentu yang nantinya bersama-sama dengan kata pendahuluan yang telah selesai disalin itu dapat dihimpun menjadi sebuah buku tersendiri dengan nama yang agak tertentu pula dan baik. Pikiran saya waktu itu jatuh pada soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan. Maka karya penterjemahan itu dimulailah kembali dengan hanya mementingkan dan menyalin semata-mata bagian-bagian yang ada hubungan dan pertaliannya dengan soal-soal masyarakat dan negara. Usaha translasi itu kemudian telah menjadi lebih mudah pula karena sementara itu di Amerika Serikat dan Eropah telah
keluar satu terjemahan baru yang lengkap dari Muqaddimah dalam bahasa Inggris yang dilakukan oleh Prof. Franz Rosenthal dari Yale University. Buku Rosenthal itu baik sekali dan ia kemudian menjadi pedoman saya terus-menerus dalam menterjemahkan selanjutnya fragmen-fragmen tersebut di atas dari bahasa Arab ke dalam hahasa Indonesia, sebagaimana sekarang telah dihimpun menjadi satu buku dan dihidangkan kepada kepada para pembaca dengan nama "Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara. " Demikianlah sekedar riwayat penterjemahan ini untuk dimaklumi. Maka kini tertumpanglah harapan semoga buku kecil ini, Yang sebenarnya adalah salinan dan susunan, dapat jugalah kiranya memperasakan manfaatnya yang besar pada para pembaca sekalian, dan dapat pula ala kadarnya memberi sumbangan pada pertumbuhan dan perkembangan pikiran di Indonesia mengenai masyarakat dan negara itu. Amin ya Rabbal alamin. OSMAN RALIBY Jakarta, akhir Juni MCMLXI.(1961)
RIWAYAT-HIDUP IBNU KHALDUN Silsilah Keturunannya Ibnu Khaldun - nama lengkapnya Waliuddin Abdurrakhman ibn Muhammad ibn Muhammad Ibnu Khaldunal-Hadlrami dari Tunisia - dilahirkan di Tunis pada 1 Ramadlan 732 H. (27 Mai 1332 A.C.). Nenek-moyangnya berasal dari suatu suku di Arabia Selatan. Khaldun, demikianlah nama nenek moyangnya itu, dikabarkan telah pergi merantau ke Spanyol di abad ke-VIII, karena tertarik oleh kemenangankemenangan dan penaklukan-penaklukan tentara Islam di sana. Ia menetap di Carmona, satu kota kecil yang terletak di tengah-tengah tiga segi antara Cordoba, Sevilla, dan Granada. Ketiga kota ini adalah kota-kota yang sangat termasyhur dalam sejarah militer Islam di Spanyol. Pun kota-kota ini kemudian terkenal sebagai pusatpusat kebudayaan Islam di Spanyol. Jadi kota kecil Carmona di Spanyol boleh dikatakan tempat tinggal tetap yang pertama dari nenek moyang Ibnu Khaldun. Dari sini anak-anak Khaldun kemudian pindah ke Sevilla; tanggal pindahnya yang pasti tidaklah diketahui orang, akan tetapi adalah terletak dalam garis kemungkinan, bahwa di abad ke-VIII famili Khaldun itu sudah berdiam di sana. Pengetahuan Ibnu Khaldun sendiri tentang silsilah keturunannya adalah sangat terbatas, padahal keluarganya itu berabad-abad lamanya termasuk kalangan orangorang yang amat termasyhur. Apa yang diketahuinya tentang itu semuanya berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam buku-buku yang ditulis oleh ahli-ahli sejarah Spanyol, terutama sekali dari dua buah buku yang masing-inasing dikarang oleh Ibn Hayyan dan Ibn Hazm yang hingga hari ini masih ada disimpan orang. Keluarga Khaldun sendiri mungkin tak punya silsilah tertulis karena barangkali memang tak merasakan perlunya dewasa itu, ataupun mungkin juga ada tetapi kemudian hilang sewaktu keluarga itu pindah dari Spanyol ke Afrika Utara di bagian pertama dari abad ke-XIII. Menurut sejarah, orang yang paling terkemuka dalam keluarga Ibnu Khaldun ialah seorang yang bernama Kuraib. Ia ini memberontak melawan pemerintah Umayyah pada suatu waktu di akhir abad ke-IX, dan berhasil mendirikan satu pemerintahan sendiri di Sevilla sampai lebih sepuluh tahun lamanya. Ia akhirnya mati terbunuh di
tahun 899. Akan tetapi Ibnu Khaldun sendiri tiada sanggup menjelaskan betapa sebenarnya pertalian keturunan antara dirinya sendiri dengan Kuraib itu. Sebagai salah seorang sarjana agung Islam yang sangat terkemuka di dunia internasional, keturunannya kadangkala menjadi perbincangan orang di mana-mana. Dalam hal ini kita lebih suka hendak mengatakan, bahwa Ibnu Khaldun itu betapapun adalah orang Arab asli dari jurusan ayah dan nenek-moyangnya yang lelaki, walaupun sudah tentu sukar pula untuk mengingkari bahwa dalam tubuhnya itu terdapat juga darah Barbari yang bercampur Spanyol. Ibnu Khaldun sendiri penuh kebanggaan dengan keturunan Arabnya yang asli itu. Peristiwa Kuraib yang mati terbunuh di bagian terakhir dari abad ke-IX itu pada galibnya tentu turut memperlibatkan juga, walaupun tidak semua, para anggota lainnya dan keluarga Khaldun. Akan tetapi agaknya kemerosotan keluarga Khaldun itu tidaklah berjalan lama, sebab dalam masa-masa sesudah itu, terutama pada pertengahan ahad ke-XI, Banu Khaldun itu terdengar kembali dalam sejarah sebagai pemimpin-pemimpin politik dari kota Sevilla. Kota Sevilla dewasa itu sesungguhnya berada dalam pimpinan politik dari Banu Khaldun dan beberapa keluarga bangsawan lainnya. Kedaulatan atas kota itu menurut sebutan memang terletak dalam tangan seorang raja, akan tetapi kekuasaan sebenarnya atas segala macam persoalan-persoalan kota Sevilla itu adalah dipegang dan dijalankan oleh keluarga-keluarga yang megah ini, yang waktu itu berdiam di istana-istana yang indah di dalam kota dan di puri-puri yang gagah di bagian luar dari kota itu. Di bagian permulaan dari abad ke-XIII kerajaan al-Muwahhidin di Spanyol hancur. Kemajuan pasukan-pasukan Kristen makin lama makin bertambah dekat dengan tiga segi Cordoba-Sevilla-Granada. Ketika keadaan sudah tak tertahankan lagi, sedang kota Sevilla sudah pasti pula telah akan jatuh ke tangan pasukan-pasukan Kristen (dan memang jatuh ke tangan Kristen di tahun 1248 M.), maka Banu Khaldun pun mengungsilah menyelamatkan diri mereka ke Afrika Utara, dimana mereka sebelumnya memang sudah mempunyai hubungan-hubungan dengan pihak berkuasa di sana, baik karena pertalian darah, maupun karena hubungan-hubungan politik lainnya. Karena itu tidaklah mengherankan jika begitu mereka tiba di sana, mereka telah disambut oleh satu kedudukan yang baik dan tinggi. Perkawinan-perkawinan dan kecakapan-kecakapan mereka dalam masyarakat telah membuat keluarga Khaldun itu mempunyai banyak teman-teman dan pengikut-pengikut pula di Afrika Utara. Mereka menetap di Ceuta. Nenek moyang Ibnu Khaldun yang mula-mula tiba di Afrika Utara itu dan menetap di Ceuta ialah Al-Hasan ibn Muhammad, yakni kakek dari kakek Ibnu Khaldun. Tiada lama setibanya di Ceuta Al Hasan segera pergi naik haji ke Makkah, barangkali sebagai alasan untuk menghindari tuduhan-tuduhan orang terhadap pengungsiannya ke Afrika itu. Sekembalinya dari Makkah ia menetap di Bone sebagai pegawai tinggi dari kerajaan Hafshiah. Berkat introduksi dari pembesar-pembesar negara yang menjadi teman-temannya, hubungan antara keluarga Khaldun dengan dinasti Hafshiah menjadilah dekat sekali. Maka dengan sendirinya kedudukan dan kekayaan keluarga Khaldun di Afrika Utara itupun amatlah baiknya. Kemudian oleh perubahan-perubahan dan naik-turunnya nasib yang menimpa para anggota keluarga dinasti Hafshiah itu, maka berubah dan naik-turun pula nasib keturunan selanjutnya dari keluarga Khaldun di Afrika Utara itu. Akan tetapi berkat takdir baik dan kepandaian siasat mereka, selalu saja mereka berada di pihak yang menang. Hanya tempat tinggal mereka yang turut bertukar dengan beralihnya
kekuasaan di istana itu. Maka tempat tinggal mereka dewasa itu kebanyakannya ialah di Tunis. Al-Hasan meninggal di zaman pemerintahan Abu Zakaria. Anaknya Abubakar Muhammad (yakni ayah dari kakeknya Ibnu Khaldun) adalah seorang sarjana dalam ilmu politik dan menjadi menteri keuangan dari dinasti Hafshiah di sana. Ia tertangkap dan terbunuh dalam pemberontakan Ibn Abi 'Umarah di sekitar tahun 1283 sewaktu melawan kekuasaan dinasti Hafshiah tersebut. Kakek dari Ibnu Khaldun, yang juga bernama Muhammad, rupanya tiada begitu tertarik pada kedudukan tinggi di kerajaan Hafshiah itu. Ia merasa telah puas dengan kedudukannya sebagai hajib 1) kedua dari istana sulthan. Walaupun jabatannya tidak begitu tinggi, ia adalah sangat dihormati dan disegani oleh kalangan istana. Malah pengaruh pribadinya besar sekali. Sulthan berkali-kali hendak menyerahkan kepadanya jabatan lain yang lebih tinggi dan lebih besar tanggung jawabnya, tetapi ia kemudian malah lebih menolaknya lagi. Di hari tuanya ia kelihatan lebih suka mempergunakan waktunya untuk studi dalam ilmu-ilmu keagamaan. Dua kali ia naik haji ke Makkah dan sejenak itu nampak benar ia asyik terus dengan studinya tentang ilmu-ilmu keagamaan. Di tahun 1336/37 M. (atau 737 H.) iapun meninggal dalam usia yang lanjut sekali. Terkena oleh pengaruhnya, anaknya yang bernama Muhammad, yang kemudian menjadi ayah dari Ibnu Khaldun, pun telah menuruti pula jejak langkahnya dalam hal menuntut ilmu pengetahuan itu. Ayah Ibnu Khaldun ini terkenal kemudian sebagai orang yang ahli dalam Ilmu Tafsir serta ilmu-ilmu lain yang bertalian dengan pembacaan dan pemahaman kitab-suci Al Qur-an, seperti pramasastera bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), rethorika (Ar. Ma'ani, bayan dan badi) dan logika (Ar. Manthiq). Ia meninggal sewaktu di Afrika Utara berkecamuk penyakit wabah (1348/49 M.) dengan sangat dahsyatnya. Ibnu Khaldun, yang waktu itu sedang berusia 17 tahun, tidak dapat melupakan malapetaka peristiwa sedih itu, sehingga dalam bukunya Kitab al-'Ibar ia telah menulis beberapa catatan mengenai kematian ayahnya itu. Sang ayah yang telah meninggal itu buat Ibn Khaldun kita bukan saja hanya seorang ayah, tetapi juga seorang guru baginya. Ia sendiri telah mendidik dan ia sendiri telah turut mengajar Ibnu Khaldun itu sehingga ia berkembang dan menjadi salah seorang dari sarjana-sarjana agung dunia Islam, yah, malah salah seorang dari sarjana-sarjana agung dunia internasional. Demikianlah secara singkat silsilah keturunan Ibnu Khaldun yang juga digelari orang dengan sebutan Waliud-Din, penjaga agama. Ia mempunyai dua saudara laki-laki, yang tua darinya bernama Muhammad, seorang guru besar di sana, dan yang muda bernama Yahya, terkenal kemudian sebagai seorang ahli sejarah dan ahli politik. Dari ketiga bersaudara ini hanya Ibnu Khaldun sajalah yang menjadi sangat termasyhur. Pendidikan Ibnu Khaldun Pendidikannya sewaktu kanak-kanak dan anak muda adalah sepetti biasa saja, yaitu belajar mengaji, belajar ilmu-ilmu yang bertalian dengan pemahaman dan penafsiran A1 Qur-an. Dalam hal ini gurunya ialah Muhammad ibn Sa'ad ibn Burrah. Bahasa Arab dipelajarinya dari ayahnya sendiri dan beberapa para ulama lainnya, di antaranya syaikh Muhammad ibn al-Arabi al Hasha'iri, syaikh Muhammad asySyawwasy az-Zarzali, syaikh Ahmad ibn al-Qashshar, dan syaikh Muhammad ibn 1
Di zaman modern sekarang ini jabatan hajib dapatlah disamakan dengan kepala rumah tangga istana. OR.
Bahr. Yang tersebut belakangan ini juga mengajar Ibnu Khaldun dalam ilmu syair. Agaknya dialah orangnya yang telah menanam bibit pengertian yang mendalam sekali pada Ibnu Khaldun sehingga ia dapat memahami syair dengan baik sekali, sebagaimana jelas kelihatan pada ketika ia membahas soal syair dalam bukunya Mukaddimah yang terkenal itu. Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam adalah termasuk ilmu-ilmu yang tinggi dan sukar. Karenanya guru-guru Ibnu Khaldun dalam bidang-bidang ini adalah orangorang yang sebelumnya memang sudah cukup ternama, seperti misalnya syaikh Syamsuddin Muhamad ihn Jabir ibn Sulthan al Wadiysyi (12274 - 1348 AC) buat Ilmu Hadits, dan syaikh-syaikh Muhammad ibn 'Abdallah al-Jayyani, Muhammad alal-Qashir, dan Muhammad ibn 'Abdassalam al-Hawwari (1278--1349 AC) buat Ilmu Hukum Islam. Sebagaimana halnya dengan sikap anak-anak yang berusia antara 7 hingga 15 tahun yang biasa menerima saja segala apa yang diajarkan kepadanya, demikian juga halnya dengan Ibnu Khaldun dalam masa usianya di masa itu. Secara passif, tanpa ada kritik, ia menerima dan mengenyam segala pelajaran-pelajarannya itu dengan bernafsu sekali. Akan tetapi dalam masa mudanya antara 15 dan 25 tahun kelihatanlah perubahan-perubahan pada sikap dan tindak-tanduknya. Sebagai diketahui masa yang paling menentukan bagi perkembangan intelektual seorang manusia muda ialah antara 15 dan 25 tahun. Dalam masa inilah pemuda itu melengkapi pendidikannya dan memulai dengan karier hidupnya, yaitu dengan memberi pada perjalanan hidupnya satu arah tujuan tertentu yang nantinya akan sukar sekali untuk mengalami perubahan-perubahan. Biasanya masa seperti itu berlalu dengan aman dan tenteram dalam kehidupan pemuda tanpa ada gangguan-gangguan dalam masyarakat di mana ia hidup. Tetapi kadangkala terjadi jugalah sesuatu yang hebat justru pada masa pertumbuhan zaman mudanya itu. Jika demikian halnya, maka peristiwa tersebut dapatlah memberikan pengaruhnya pada arah tujuan hidup anak muda itu. Dan rupanya sudahlah Takdir Tuhan yang masa usia 15 hingga 25 tahun dari usianya itu jatuh pada satu zaman yang penuh dengan kekalutan-kekalutan dan huru-hara di Afrika Utara, yaitu tahun 1347 hingga tahun 1357, lebih kurang sepuluh tahun lamanya. Afrika Utara dewasa itu adalah ibarat satu pentas di mana orang dapat mempersaksikan pergolakan-pergolakan politik yang hebat-hebat. Kerajaan Al Muwahhidun (Er. Almohades) waktu itu telah lama hancur-lebur dan di atas puingpuingnya telah muncul beberapa negara-negara kecil dan keamiran-keamiran cilik. Di Tunis muncul Keamiran Banu Hafsh, di Tlemcen (Tilamson) dan Barbari Tengah (kini disebut Aljazair) berdiri Keamiran Banu Abdul Wad. di Fez dan Marokko tegak Kerajaan Banu Marin. Di bawah lindungan negara-negara kecil ini ada pula lagi negara-negara cilik, dan di belakang negara-negara cilik ini ada pula lagi keamirankeamiran dan kota-kota yang berdiri sendiri-sendiri dengan kemerdekaan dan kedaulatan masing-masing pula. Di tahun 1347 M raja Banu Marin di Fez, Abu Al Hasan, menyerang dan menduduki Tunis. Sebelum itu di tahun 1337 ia telah menyerang juga Keamiran Banu Abdul Wad di Tlemcen dan mendudukinya selama lebih kurang sepuluh tahun. Di tahun 1348, sesudah mengalami satu pukulan yang hebat di Al Qayrawan (Er. Kairouan) dari suku-suku Arab di sana, ia terpaksa mengundurkan diri lagi dari Tunis. Akan tetapi buat beberapa waktu lamanya keadaan politik dari Banu Hafsh tetap juga buruk adanya. Abu Inan, yaitu anak dari pengganti dari Abu al Hasan, di tahun 1357 berhasil lagi menyerang Tunisia, akan tetapi sayang kemenangannya itu segera akan tidak berarti sama sekali. Ia meninggal di tahun 1358 dan sepeninggalnya
itu pergolakan-pergolakan politik di Afrika Utara menjadi halangan-halangan lagi bagi pertumbuhan yang sehat dari Keamiran Banu Hafsh. Alampun turut memainkan perananya pula di antara peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi nasib Ibnu Khaldun itu. Penyakit wabah yang berkecamuk dengan hebatnya di Tunis di tahun-tahun, 1348-49 merupakan tambahan lagi terhadap bencana-bencana yang dibuat oleh tangan manusia sendiri. Penyerangan dan pendudukan Banu Marin terhadap Tunis di tahun 1347 telah mengakibatkan berpindahnya sejumlah besar ulama-ulama terkenal ke sana sebagai pengikut-pengikut raja Abu Al Hasan. Ibnu Khaldun yang waktu itu sudah meningkat dewasa (telah berusia 15 tahun) telah mendapati di antara mereka ini ulama-ulama yang memberi semangat ilmu pengetahuan kepadanya. Mereka itu semua menjadi syaikh-syaikh dari Ibnu Khaldun, yakni ulama-ulama dan guru-guru yang memberikan pengaruh-pengaruh pasti terhadap pertumbuhan intelligentsia Ibnu Khaldun di hari-hari nanti. Mereka semua adalah ulama-ulama lautan ilmu yang megah dan masyhur dewasa itu di seluruh Afrika Utara. Di antaranya yang sangat terkemuka ialah syaikh Muhammad ibn Sulaiman as-Saththy, syaikh Abdul muhaiman ibn Muhammad ad Hadlrami, dan terutama sekali syaikh Muhammad ibn Ibrahim al Abili. Keberangkatan syaikh al Abili kemudiannya dari Tunis adalah salah satu di antara sebab-sebab yang membikin Ibnu Khaldun berangkat dan meninggalkan kota kelahirannya itu. Ada pula beberapa ulama terkenal lainnya dalam lingkungan pergaulan raja Abu al-Hasan itu, misalnya syaikh Abdullah Yusuf ibn Ridlwan al-Malaqi, syaikh Muhammad ibn Muhammad ash-Shabbagh, dan syaikh Muhammad Ahmad ibn Marzuq, akan tetapi rupanya Ibnu Khaldun sendiri tidak memandang mereka ini sebagai guru-gurunya. Malah ada di antara mereka itu, yaitu Ibn Marzuq, yang selalu bertentangan saja dengan Ibnu Khaldun. Penyakit wabah yang berkecamuk di Tunis di tahun 1348/49 itu telah membikin Ibnu Khaldun banyak kehilangan para guru besarnya dan malah juga kedua orang tuanya telah menjadi korban dari wabah itu. Maka tinggallah ia dewasa itu di bawah pimpinan abangnya yang bernama Muhammad yang kini bertindak sebagai kepala dari keluarga Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun rupanya telah bosan dengan pertukaran-pertukaran kekuasaan di Afrika Utara. Kepercayaannya kepada Keamiran Banu Hafsh di Tunis berkurang, kalaulah tidak hilang sama sekali. Kehidupan intelektualisme juga turut menurun karena pergolakan-pergolakan politik di sana. Akhirnya setelah berfikir semasakmasaknya, di tahun 1354 Ibnu Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Tunis dan pergi ke Fez di mana terdapat sejumlah ulama-ulama besar yang mendampingi Abu Inan, sultan Marokko yang baru. Di Fez-lah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya dengan dan bersama-sama para ulama yang dewasa itu berada di sana yaitu : 1. Syekh Muhammad ibn ash-Shaffar 2. Syekh Muhammad ibn Muhammad al Maqqari 3. Syekh Muhammad ibn Ahmad al 'Alwi 4. Syekh Muhainmad ibn Abdassalam 5. Syekh Muhammad ibn Abdarrazaq 6. Syekh Muhammad ibn Yahya al-Barji 7. Syekh Ibn al Khaththib (pengarang "Sejarah Granada") 8. Syekh Ibrahim ibn Zarrar 9. SyekL Abulbarakat Muhammad al Ballafiqi.
Mahasiswa Pengarang Selagi masih mahasiswa Ibnu Khaldun sebenarnya telah juga giat menulis bukubuku, akan tetapi ia sendiri tiada pernah menyebut-nyebut tentang karya-karyanya itu di dalam Muqaddimah. Barangkali karena semua itu hanya baru merupakan bukubuku kecil saja dan bukan satu karya ilmiah yang besar. Malah mengenai buku tentang Afrika Utara yang pernah ditulisnya di tahun 1401 M buat panglima perang Timur (yakni Timurlane) tiada pernah disebut-sebutnya. Dalam pandangannya sendiri semua itu kurang bernilai sebagai karya ilmiah. Akan tetapi bahwa ia memang sudah menulis-nulis lama sebelum ia menjadi pengarang Muqaddimah yang termasyhur itu, dapat kita ketahui dari apa yang pernah ditulis tentangnya oleh Ibn al Khatthib (131371347), pengarang "Sejarah Granada" yang terkenal itu. Ibn al Khatthib antara lain mengatakan, bahwa Ibnu khaldun pernah menulis satu uraian panjang dari kitab Burdah karangan al Bushiri yaitu kitab madah dan puja-puji tentang Rasulullah dalam bentuk syair-mair yang indah sekali. Di samping itu ia juga telah membuat beberapa ringkasan dari buku-buku karangan Ibn Rusyd (Er. Averroes). Pun ia juga menulis satu buku tentang Logika (Ilmu Mantiq) buat Sri Sultan. Ia telah membuat juga satu ringkasan yang baik sekali dari kitab Muhassal karangan Imam Fakhruddin ar-Razi. Malah oleh Ibn al Khatthib dikabarkan pula bahwa Ibnu Khaldun pernah juga menulis satu buku tentang dasar-dasar ilmu hitung. Entahlah, Allah lebih mengetahui tentang kebenaran segala itu. Perkawinannya. Ketika Ibnu Khaldun berdiam di Fez dan bekerja di sana sebagai pembesar istana Banu Marin diketahui bahwa ia telah beristeri. Malah besar sekali kemungkinan bahwa ia telah beristeri semenjak ia berdiam di Tunis. Isterinya ialah anak seorang jenderal Banu Hafsh yang menjadi menteri peperangan di sana, yaitu panglima Muhammad Ibnu Al Hakim (meninggal 1343 M), anggota dari satu keluarga bangsawan dan berilmu. Menurut Ibnu Khaldun sendiri ia mempunyai beberapa anak darinya. Ketika ia pergi ke Spanyol di musim gugur tahun 1363, ia telah mengirim isteri beserta anak-anaknya ke Constantine, dengan maksud supaya mereka menumpang dulu di rumah abang isterinya di sana, sebelum segala sesuatunya mengenai perumahan di Spanyol selesai. Baru kemudian mereka menurutinya ke Spanyol. Karena Ibnu Khaldun seringkali berpindah-pindah tempat, maka seringkali pula ia harus berpisah secara sementara dengan isteri dan anak-anaknya itu. Malah pernah terjadi mereka ini berada dalam ancaman bahaya dan ditahan sebagai tawanan tebusan, sedang Ibnu Khaldun sendiri berada di suatu tempat yang jauh dan aman. Ibnu Khaldun cinta dengan mesra sekali kepada keluarganya, dan hanya karena tabiatnya yang suka pindah-pindah itu sajalah yang membuat dia acapkali harus berpisah lama dengan isteri dan anak-anaknya itu. Ibnu Khaldun di Fez Seperti tersebut di atas di Fez-lah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya. Di Fez pulalah ia bergaul banyak dengan ulama-ulama yang mendampingi sultan Abu 'Inan. Dengan sendirinya ia dekatlah dengan kalangan istana. Sultan beberapa kali mendesak supaya ia mau menjadi sekretaris istana, tetapi Ibnu Khaldun selalu saja menolak dengan alasan bahwa "ia tiada pernah melihat nenek-moyangnya memegang jabatan seperti itu." Rupanya ia merasa rendah memegang jabatan sekretaris walaupun sekretaris istana sekalipun. Kiranya patut diketahui bahwa Banu Khaldun menurut sejarahnya adalah orang-orang yang selalu memegang jabatan
jabatan eksekutif dan penasihat, dan tiada pernah ada yang menjadi sekretaris atau panitera. Maka kedudukan Ibnu Khaldun di istana Fez itu tidaklah berjalan lama justeru karena pandangannya yang seperti itu. Malah karena dicurigai pada suatu ketika (10 Pebruari 1357) Ibnu Khaldun pernah dipenjarakan oleh sultan Abu 'Inan selama lebih kurang 21 bulan lamanya. Ia baru dilepaskan sesudah Abu 'Inan meninggal dunia pada 27 Nopember 1358. Dengan meninggalnya Abu 'Inan kekuasaan dinasti Banu Marin pun menurunlah dan kemudian hancur luluh dengan sendirinya. Raja-raja yang datang kemudian adalah ibarat patung-patung saja, karena yang berkuasa sebenarnya dewasa itu ialah para perdana menterinya, satu suasana yang subur untuk kemudian menimbulkan rajaraja cilik bagai cendawan tumbuh. Dalam keadaan seperti itu Ibnu Khaldun telah memilih dan menyokong Abu Salim sesudah meninggalnya Abu 'Inan. Rupanya pilihannya tepat, karena di bulan Juli 1359 Abu Salim itu diangkat oranglah menjadi raja Marokko. Sebagai balasan atas bantuannya Ibnu Khaldun diangkatnya menjadi sekretaris negara dan kemudian menjadi pegawai tinggi dalam soal-soal hukum dan pelanggaran-pelanggarannya, yang dewasa itu terkenal dengan sebutan mazalim. Akan tetapi semua itu tidak lama pula, sebab dalam musim kharif tahun 1361 dalam satu pemberontakan istana yang diatur oleh pihak sipil dan militer ia mati terbunuh. Maka Ibnu Khaldun pun berniat hendak meninggalkan Fez dan berharap hendak memperoleh tempat bergerak yang lebih baik dan aman baginya di suatu daerah lain. Akan tetapi kalangan pemerintah di Fez merasa takut bahwa ia nanti di lain daerah akan mempergunakan pengetahuannya terhadap politik Afrika Utara untuk kehancuran mereka sendiri. Oleh karena itu pada mulanya dihalang-halangi. Tetapi ketika ia berjanji akan sama sekali meninggalkan Afrika Utara dan hendak menetap di Spanyol, iapun diizinkanlah pergi. Maka berangkatlah Ibnu Khaldun meninggalkan Fez dan dengan melalui Ceuta pergi ke Granada, satu-satunya negara Islam yang waktu itu masih ada di semenanjung Iberia. Ia tiba di Granada pada 26 Desember 1362. Ibnu Khaldun di Granada Ibnu Khaldun telah diterima oleh pemerintah Granada dengan penuh kebesaran. Sebahnya ialah karena raja Muhammad V yang memerintah di sana dewasa itu adalah sahabat lama dari Ibnu Khaldun. Sebagai sekretaris negara di Fez dahulu ia telah pernah menjadi tuan rumah yang baik hati terhadap Raja Muhammad V dari Granada beserta perdana-menterinya (yaitu Ibnul Khathib, seorang sarjana dan pengarang Spanyol Islam yang terkenal yang karena mengungsi ke Fez telah menjadi guru dan sahabat karib dari Ibnu Khaldun), yakni sewaktu mereka itu terpaksa lari dan mengungsi ke Fez di antara tahun 1354-59. Atas perhatian dan bantuan Ibnu Khaldun dewasa itu Muhammad V kemudian telah dapat kembali ke Granada lagi dan berhasil memperkuat kedudukannya di sana sebagai raja Granada. Karena itu tidak usahlah orang heran kalau Ibnu Khaldun mendapat kedudukan yang baik pula di Granada. Berkat jasa-jasanya di masa yang lampau itu Ibnu Khaldun kini mendapat kepercayaan yang penuh dari Raja Muhammad V, pun juga dari perdana menterinya Ibnul Khathib. Di tahun 1364 ia ditugaskan untuk mengepalai satu missi kepada Raja Pedro dari Castilla. yang bertujuan hendak mengangkat satu perjanjian perdamaian antara Castilla yang Kristen dan Granada yang Islam. Dengan demikian Ibn Khaldun mendapat kesempatan pula untuk mengunjungi Sevilla, kota asal dari nenekmoyangnya.
Raja pedro rupanya sangat tertarik pada Ibnu Khaldun dan memuliakannya dengan setinggi-tingginya. Raja Kristen itu sampai berjanji akan mempekerjakan Ibnu Khaldun dalam dinas kerajaannya dan berjanji akan mengembalikan segala hartabenda dan tanah peninggalan keluarganya di zaman dahulu itu. Akan tetapi Ibnu Khaldun telah menolaknya dengan penuh penghargaan. Sementara itu keluarganya (isteri dan anak-anaknya) pun telah tiba pula dari Constantine, dan selama lebih kurang tiga tahun Ibnu Khaldun sekeluarga hiduplah dengan penuh ketenangan di kota Granada yang penuh dengan kebudayaan itu. Tetapi hal sedemikian itu rupanya segera akan berubah pula dan tanda-tandanya sudah mulai kelihatan. Ia merasa, bahwa sarjana dan pengarang Ibnul Khathib yang dewasa itu menjadi perdana menteri Granada, mulai amat kurang senang terhadapnya, terutama karena pengaruhnya yang nampak benar semakin hari semakin meningkat di kalangan istana. Ibnu Khaldun tiada mempunyai niat untuk bertikai dengan orang yang dengannya ia sudah saling berhutang budi, apalagi orang itu adalah pula seorang sarjana sastera yang selama itu telah menjadi kekagumannya. Sebab itu ia menghindari segala hal-ihwal yang dapat membawanya pada satu pertikaian dengan perdana menteri Ibnul Khathib (yang di kemudian hari mati dibunuh orang di Fez di tahun 1374). Kembali ke Afrika Utara Maka itulah sebabnya sehingga pada 11 Februari 1365 Ibnu Khaldun sekeluarga telah meninggalkan Granada dan kembali ke Afrika Utara di mana ia menetap di Bougie, yang dewasa itu lagi diperintah oleh amir Abu 'Abdallah, salah seorang di antara para sahabat lamanya dari kalangan Banu Hafsh. Di Bougie ini ia tidak sempat tinggal lama, hanya lebih-kurang setahun tiga bulan ia di sana, penuh dengan penderitaan-penderitaan. Sebagai diketahui amir Abu 'Abdallah itu selalu saja berada dalam pertikaian dengan kemenakannya amir Abul 'Abbas yang berkuasa di Constantine. Kadangkala terjadilah serang-menyerang di antara kedua keamiran itu, di mana Ibnu Khaldun sendiri terang harus berpihak kepada Abu 'Abdallah. Yang disebut belakangan ini kemudian meninggal dalam bulan Mei 1366, sehingga dalam suasana sulit yang timbul sesudah itu, dan juga untuk menjaga keutuhan keluarganya sendiri, Ibnu Khaldun sebagai siasat pindah dan memihak kepada amir Abul 'Abbas di Constantine. Penghidupan Ibnu Khaldun selama masa 8 atau 9 tahun kemudian penuhlah dengan kesulitan-kesulitan baru lagi, baik politis, maupun ekonomis. Selama masa ini di mana Ibnu Khaldun kadangkala terpaksa memainkan keamiran-keamiran cilik yang saling bertikaian dan bermusuhan itu, ia benar-benar telah hidup sebagai seorang petualang politik yang ruang hidupnya berpindah-pindah dari satu ibukota ke ibukota lainnya. Begitulah akhirnya dari Constantine ia berpindah pula ke Biskra pada tanggal 4 Agustus 1370. Akan tetapi oleh kerusuhan-kerusuhan pada tanggal 11 September 1372 ia beserta keluarganya meninggalkan pula Biskra dan lari ke Fez yang dengan penuh kesulitan dicapainya dalam bulan Oktober atau Nopember 1372. Tetapi suasana kacau dan huru-hara yang berkecamuk di Fez dewasa itu telah membuat Ibnu Khaldun tak mungkin untuk memperoleh satu kedudukan yang terjamin dan memuaskan di sana. Harapannya kini ialah hendak kembali lagi ke Spanyol, semoga di sana ia dapat tinggal dan hidup dengan lebih aman. Temannya Ibnul Khathib yang tadinya adalah perdana menteri Granada, dewasa itu sedang berada dalam buangan di Fez, dan sebagai perdana menteri ia telah digantikan oleh Ibn Zamrak, juga seorang sarjana dan sasterawan termasyhur. Ibnu Khaldun kenal baik pada Ibn Zamrak ini, karena sebelumnya yang tersebut itu adalah juga orang
buangan di Fez. Namun demikian bukanlah satu pekerjaan mudah bagi Ibnu Khaldun untuk berhijrah ke Spanyol. Perhubungan antara Fez dan Granada dewasa itu sudah sedemikian tegangya, sehingga hampir-hampir saja meletus menjadi satu peperangan besar. Apalagi penguasa di Fez dengan berbagai macam daya tetap menghalanghalangi keberangkatannya ke Granada itu. Tetapi akhirnya di tahun 1374 (besar kemungkinan dalam musim kharif) berhasil jugalah ia pindah ke sana, hanya saja tidak disertai keluarganya yang tak diizinkan untuk berangkat. Malah pemerintah Fez dewasa itu masih berusaha keras agar pemerintah Granada mengeluarkannya dari sana. Kesudahannya ia dikembalikan juga ke Afrika Utara, di mana ia didaratkan di Hunayn. Dari Hunayn ia pergi ke Tlemcen (Ar. Tlimsan), di mana ia bergabung dengan keluarganya yang sudah sekian lama berpisah dengannya. Sejak 5 Maret 1375 tinggallah Ibnu Khaldun di al-'Ubbad satu desa yang tiada jauh letaknya dari Tlemcen. Menulis Muqaddimah di Qal'at Ibn Salamah Selama masa lebih-kurang sembilan tahun bertualang itu, tetapi tentunya dengan penuh pengalaman-pengalaman, Ibnu Khaldun boleh dikatakan jemulah sudah pada politik. Maka dalam pekerjaan hidup Ibnu Khaldun selanjutnya kita lihatlah beliau sekeluarga menetap di Qal'at Ibn Salamah, yaitu satu puri dan desa dalam propinsi Oran, yang sengaja telah disediakan baginya oleh amir Abu 'Inan yang berkuasa dewasa itu. Di sanalah Ibnu Khaldun sekeluarga tinggal dengan aman dan tenteram selama lebih dari tiga tahun, dan di sana pulalah ia untuk pertama kali menikmati istirahat besar, jauh dari gangguan-gangguan politik dan intrik-intrik istana, dan jauh pula dari bahaya-bahaya perjalanan dan serbuan-serbuan militer. Untuk pertama kali ia memperoleh kelapangan dan kesempatan di sini untuk melakukan perkerjaan research dan studi yang mendalam. Dalam suasana tenang yang meliputi Qal'at Ibn Salamah, di sanalah Ibnu Khaldun mulai menulis dan mengarang. Segala sesuatu tiada sulit lagi baginya. Usianya ketika itu sudah 43 tahun. Penyelidikan-penyelidikan dan studinya telah cukup matang. Lebih-kurang 25 tahun lamanya ia telah berjuang dalam politik. Selama masa itu ia telah pernah menduduki jabatan-jabatan politik tinggi di istana-istana dan negaranegara Afrika Utara, mempelajari persoalan-persoalan dan lembaga-lembaga mereka, mengetahui pendapat-pendapat dan jalan-jalan pikiran mereka, menjarahi daerahdaerah dan padang-padang pasir dari suku-suku Barbari, bercampur-gaul dengan suku-suku itu serta mempelajari watak-watak, keadaan-keadaan, dan adat-istiadat mereka baik dalam kehidupan kemasyarakatan maupun dalam kehidupan kekeluargaan mereka. Otaknya yang memang sudah penuh dengan ilmu-ilmu agama, apalagi pengalaman-lpengalaman, telah bertambah-tambah melimpah selama ini dengan berbagai-bagai macam ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari perpustakaan-perpustakaan yang dewasa itu terdapat di Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol Islam). Sungguh pengasingan diri Ibnu Khaldun ke Qal'at Ibn Salamah dalam keadaan seperti itu merupakah hikmat dan nikmat yang besar bagi umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya. Di tempat yang terpencil itulah ia telah menulis kitabnya "MUQADDIMAH" yang terkenal itu, yaitu introduksi terhadap bukunya yang lebih tebal dan berjilid-jilid tentang Sejarah Umum Umat Manusia yang dinamakannya : وﻣﻦ أﺳﺮھﻢ ﻣﻦ ذوى اﻟﺴﻠ, ﻓﻰ أﯾﺎم اﻟﻌﺮﺑﻰ واﻟﻌﺠﻢ واﻟﺒﺮﺑﺮ,ﻛﺘﺎب اﻟﻌﺒﺎر و دوان اﻟﻤﺒﺘﺪى و اﻟﺨﺒﺮ (Kitab Al 'Ibar, Wa Diwan Al Mubtada Wal Khabar, Fi Ayyam Al Arabi Wal Ajami Wa1 Bar-Bar, Wa Man Asrahum Min Dzawi Al Sulthan Al Akbar /Buku tentang
Ibarat-ibarat dan Catatan Sejarah Terdahulu dan Kemudian, Memperbincangkan Peristiwa-peristiwa Politik dari Bangsa-bangsa Arab, Asing dan Barbari dan Raja-raja Besar yang Hidup Di zaman Mereka), tetapi yang singkatnya biasa disebut Kitah al'Ibar saja. Muqaddimah itu selesai dikarangnya pada pertengahan tahun 1377 M dalam jangka waktu lima bulan. Kemudian diadakannya beberapa revisi dengan membawa beberapa perubahan di sana-sini. Ibnu Khaldun merasa dirinya sangat sukses dengan hasil ciptaannya itu. Dalam bulan Nopember 1377 ia berkata : "Saya telah menyelesaikan Muqaddimah itu dengan cara yang aneh sekali. Saya seperti telah diilhami saja pada waktu pengasingan diri itu, sehingga kata-kata dan pikiranpikiran seperti mengalir saja ke otakku seperti mengalirnya air bah ke muara layaknya sampai buku itu selesai." Muqaddimah seperti telah dikatakan di atas adalah jilid pertama dari Kitab al-'Ibar yang terdiri tujuh jilid itu. Tetapi dalam sejarah pertumbuhannya Muqaddimah adalah lebih terkenal dari nama kitab induknya sendiri yang berjumlah enam (atau tujuh) jilid itu. Apa kandungan Muqaddimah itu biarlah nanti kita jelaskan di tempat yang lain. Akan tetapi perlu kiranya dinyatakan di sini, bahwa setelah selesai dengan Muqadimahnya, Ibnu Khaldun masih memerlukan empat tahun lagi untuk menyudahi Kitab al 'Ibar yang enam jilid lagi, termasuk di dalamnya kesempatan untuk mempergunakan semua perpustakaan-perpustakaan yang waktu itu terdapat di Tunisia. Kini marilah kita turuti lebih lanjut riwayat hidup syaikhuna kita itu. Menyelesaikan Kitab Al 'Ibar di Tunis Setelah bukunya Muqaddimah selesai dikarangnya pada pertengahan tahun 1377, maka terjadilah perubahan pada diri Ibnu Khaldun. Ia mulai rindu kembali kepada kehidupan ramai yang telah biasa ia mengalaminya, tetapi yang sesungguhnya tak terdapat di puri Qal'at Ibn Salamah yang terpencil itu. Ia pun jatuh sakit dengan tibatiba, sakit yang agak berat juga. Sesudah ia sembuh kembali, diputuskannya lah untuk meninggalkan puri terpencil itu dan pergi kembali ke Tunis, kota kelahirannya. Di sini ia ingin hendak menetap sementara waktu untuk melanjutkan karyanya menulis Kitab al 'Ibar yang berjilid-jilid itu, apalagi Tunis dewasa itu mempunyai beberapa perpustakaan yang baik-baik dan lengkap. Pada waktu itu yang memerintah di Tunis ialah Abul 'Abbas dari Keamiran Banu Hafsh, seorang sultan yang selama tujuh tahun paling berkuasa di seluruh Afrika Utara. Maka kepadanyalah Ibnu Khaldun meminta supaya ia dibolehkan kembali ke kampung halamannya itu, pertama untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai penyelidik ilmiah dalam ilmu sejarah, dan kedua untuk sekaligus dapat menziarahi kuburan orang tuanya yang terdapat di sana, Permintaan Ibnu Khaldun itu dikabulkan oleh Abul 'Abbas, barangkali juga karena pengaruh nama dari keluarga Ibn Khaldun itu. Maka pada permulaan musim dingin di tahun 1378 Ibnu Khaldun pun meninggalkan Qal'at Ibn Salamah dan tiba di Tunis dalam bulan Nopember (atau Desember) 1378. Di Tunislah ia kembali bekerja sebagai seorang sarjana yang melanjutkan penyelidikannya tentang ilmu sejarah dan sambil meneruskan karyanya menulis Kitab al-'Ibar, yang pendahuluannya serta beberapa bagian permulaannya telah selesai dikarangnya dahulu di Qal'at Ibn Salamah. Lebih kurang empat tahun lamanya ia tinggal di Tunis, dan dalam jangka waktu itu selesai jugalah ia menyiapkan bukunya Kitab al-'Ibar yang enam jilid itu. Kitab itu selesai kira-kira pada pertengahan tahun 1382, akan tetapi belum lagi selengkap seperti sekarang ini. Naskah waktu itu meliputi Muqaddimah, sejarah bangsa Barbari dan Zanatah, sejarah bangsa Arab
sebelum dan sesudah Islam, dan sejarah berbagai kerajaan-kerajaan Islam. Mengenai sejarah bangsa Barbari di zamannya sendiri itu misalnya ia baru sampai menulisnya hingga direbutnya kembali kota Tawzir oleh sultan Abul 'Abbas di tahun 1381. Akan tetapi naskah pertama ini dikemudian hari diperluasnya lagi dengan tambahan pasalpasal lain yang panjang tentang sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Timur, sejarah bangsa-bangsa purbakala, dan sejarah bangsa-bangsa Kristen. Pada hari penyerahan naskah pertama kepada sultan Abul 'Abbas, Ibnu Khaldun telah membacakan seratus rangkum syair puja-puji terhadap sultan itu. Baginda sultan sangat puas dengan hasil karya Ibnu Khaldun itu dan Ibnu Khaldunpun merasa sangat bahagia dengan keadaannya waktu itu serta selesainya Kitab al 'Ibar tersebut. Tetapi kebahagiaannya di Tunis, kota kampung halamannya, rupanya juga tiada dapat lama. Seorang ulama besar di sana dalam madzhab Maliki yang bernama Ibn Arafah al Warghami (1316-1401), enam belas tahun lebih tua dari Ibnu Khaldun sendiri, tetapi bekas sesama sekolah dengannya, rupanya telah lama tiada merasa senang dengan Ibnu Khaldun. Sejak Ibnu Khaldun tiba di Tunis dan menjadi teman yang akrab dari baginda sultan, ia sebenarnya telah tidak disenangi oleh Ibn 'Arafah ini yang juga dekat dengan sultan itu. Kebencian itu terutama bukanlah karena Ibnu Khaldun disukai amat oleh Sri Sultan, tetapi sebab sebenarnya ialah karena banyaknya para pelajar dan mahasiswa yang lantas pergi saja meninggalkannya dan ternyata kemudian telah menjadi pelajar dan mahasiswa yang taat dari Ibnu Khaldun. Maka sebenarnya selama Ibnu Khaldun berada di Tunis ia selalu terancam oleh bahaya fitnah dari Ibnu 'Arafah dan orang-orang yang sepaham dengannya, halmana adalah soal biasa waktu itu di kalangan perguruan tinggi. Akhirnya untuk menghindari agar jangan sampai terjadi sesuatu yang tak baik antara dirinya dengan Sri Sultan akibat hasutan-hasutan orang, maka Ibn Khaldun pun memohon pada Sri Sultan supaya ia dibebaskan dari tugasnya selama itu dan dibolehkan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya. Sultan mengizinkannya dan berangkatlah Ibnu Khaldun meninggalkan kampung halamannya untuk sekali ini tidak akan kembali-kembali lagi. "Pergi ke Makkah" itu sebenarnya hanya muslihat sematamata, walaupun satu waktu nanti memang ia akan naik haji juga tentunya. Di pelabuhan ia diantarkan beramai-ramai oleh banyak para bangsawan, temanteman, dan para mahasiswanya, sehingga merupakan satu demonstrasi yang seolaholah hendak menyatakan menyesal dan meratapi keberangkatannya itu. Ia berlayar menuju timur pada 24 Oktober 1382. Keluarganya tidak ikut serta. Sesudah lebih dari 40 hari lamanya berlayar di Laut Tengah, pada 8 Desember 1382 tibalah ia dengan selamat di pelabuhan Iskandariyah (Er. Alexandria), Mesir. Ibnu Khaldun di Mesir Setibanya di bumi Mesir Khaldun tidaklah meneruskan perjalanannya menuju Makkah untuk naik haji. Seperti telah dikatakan juga di atas "naik haji" itu hanyalah semata untuk dapat meninggalkan Tunis di mana ia terus saja mengalami fitnahanfitnahan dari pihak lawan dan yang tak menyukainya. Dari Iskandariyah Ibnu Khaldun kemudian terus berangkat ke Kairo (Ar. Al Qahirah) yang waktu itu sebagaimana juga sekarang adalah pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Ibnu Khaldun bukanlah orang yang tak dikenal di Kairo. Lama sebelum ia tiba namanya yang harum itu telah mendahuluinya lebih dahulu di sana. Masyarakat intelligentsia Kairo semua kenal akan namanya. Buah tangannya yang berjilid-jiiid itu, terutama sekali kitab Muqaddimah, walaupun belum tersebar secara meluas, sudah cukup dikenal dan dipercakapkan orang di mana-mana di negeri Mesir, malah
juga di seluruh negeri-negeri Arab. Karenanya, begitu ia sampai di Kairo pada tanggal 6 Januari 1383, para sarjana dan mahasiswa pun berduyun-duyunlah datang menziarahinya. Ibnu Khaldun sendiri pernah mengatakan tentang kunjungan para mahasiswa kepadanya di Kairo itu sebagai berikut : "Para mahasiswa pada bergegasgegas mencari saya untuk memperoleh sekedar ilmu pengetahuan, padahal telah kukatakan ilmuku hanya sedikit saja, tetapi mereka tak hendak juga mau percaya." Demikianlah Ibnu Khaldun menetap di Kairo, ibukota Mesir, yang dewasa itu dibandingkan dengan Tunis adalah lebih aman, tenteram, adil, dan makmur. Berbeda dengan keadaan di Afrika Utara umumnya situasi politik di Mesir adalah lebih stabil. Dan adalah kebetulan pula sewaktu syaikhuna kita tiba di sana, Mesir baru saja mempunyai seorang sultan yang baru, yaitu Al Malik az-Zahir Barquq. Sultan ini memulai pemerintahannya dengan mengumpulkan sekelilingnya orang-orang cerdikpandai dan ulama-ulama terkenal, kesemua itu barangkali adalah untuk maksudmaksud mempertontonkan corak dan sifat dari para pembesar dan ulama yang mengelilinginya. Hal seperti itu adalah lumrah di zaman tersebut. Maka tidak usah kita heran kalau syaikhuna kita yang termasyhur dan bijaksana itu segera pula telah dekat dengan kepala negara baru itu dan dengan kalangan pemerintah Mesir yang baru diangkat itu. Ibnu Khaldun mula-mula diberi kesempatan untuk memberi kuliah di Universitas Al Azhar yang terkenal itu, dan seketika sudah ada lowongan iapun diangkat oleh Barquq menjadi guru besar luar biasa (19 Maret 1384) dalam ilmu hukum madzhab Maliki pada Sekolah Tinggi Hakim Qamhiyah. Dikemudian hari ia juga memberikan kuliahnya pada beberapa perguruan tinggi lainnya, seperti Sekolah Tinggi Zahiriyah dan Sekolah Tinggi Surghatmisyiyah. Selama tinggal di Mesir Ibnu Khaldun terus juga membawa perbaikan-perbaikan pada Muqaddimahnya, demikian juga pada kitab al-'Ibar yang terus dijaganya supaya tetap up-to-date. Pada 8 Agustus 1384 Ibnu Khaldun diberhentikan sebagai guru besar dan tidak memberi kuliah lagi pada universitas dan perguruan-perguruan tinggi di Kairo, karena sejak tanggal tersebut ia telah diangkat oleh Sri Sultan menjadi Hakim Tinggi dalam madzhab Maliki pada Mahkamah Agung Mesir. Begitulah selama 23 tahun ia tinggal di Mesir, jabatan-jabatan yang dipegangnya silih berganti dan kadangkala bergabung, yaitu antara guru besar atau hakim tinggi atau merangkap kedua-duanya. Sewaktu kedudukannya di Kairo telah cukup baik teringatlah ia akan keluarganya yang selama ini ditinggalkannya di Tunis. Hasrat untuk mendatangkan mereka ke Kairo semakin hari semakin bertambah kuat juga dan akhirnya Ibnu Khaldun bekerja keras untuk dapat bergabung kembali dengan isteri dan anak-anaknya. Mula-mula timbul kesulitan karena sultan Tunis ingin menahan keluarganya itu sebagai suatu muslihat untuk memikat Ibnu Khaldun agar suka kembali ke kampung halamannya. Tetapi berkat sepucuk surat dari sultan Barquq kepada sultan Abul 'Abbas, izinpun kemudian segera pula diperoleh dan isteri beserta anak-anak Ibnu Khaldun pun dapatlah berangkat tanpa halangan apa-apa lagi menuju Kairo. Tetapi sungguh malang yang tak boleh ditolak, tepat setibanya dekat pelabuhan Iskandariyah, kirakira dalam bulan Oktober atau Nopember 1384, kapal yang membawa keluarganya itu oleh hal-hal yang tiada jelas telah tenggelam beserta segala muatannya, termasuk keluarganya yang sangat disayanginya itu. Inilah penderitaan Ibnu Khaldun yang sangat berat di Mesir. Ketika pada 21 Juni 1399 sultan Barquq meninggal dunia dan digantikan oleh puteranya Faraj yang baru saja berusia 10 tahun, kedudukan Ibnu Khaldun semakin bertambah kuat. Sultan Faraj juga sangat tertarik pada syaikhuna kita. Di tahun 1400 Ibnu Khaldun mengunjungi Damascus sebagai anggota rombongan sultan Faraj yang
dewasa itu harus menyertai tentara Mesir dalam mempertahankan perbatasan timur kerajaan dari serangan-serangan tentara Monggolia. Dalam perjalanan kembali ia mengambil kesempatan untuk berziarah ke tempat-tempat mulia di Palestina, seperti Baitul-maqdis, Baitullahm (Bethlehem) dan Hebron. Di Baitullahm ia menolak untuk memasuki Gereja Sepulkra Suci, karena menurut Ibnu Khaldun "gedung yang didirikan umat Kristen di atas tempat di mana dikiranya Nabi Isa as telah disalib tidak benar menurut pendapat saya dan karenanya saya tidak hendak memasukinya." Setibanya kembali di Mesir, Ibnu Khaldun dibebaskan dengan resmi dari jabatannya sebagai hakim tinggi madzhab Maliki pada 5 September 1400. Pembebasan itu adalah sebagai akibat dari suatu komplot yang sebenarnya telah ada sejak ia berada dalam musafir di Syria (termasuk Palestina waktu itu) bekerja keras untuk menggulingkannya. Ibnu Khaldun di Syiria Ibnu Khaldun pergi ke Syria adalah atas permintaan dari sultan Faraj sendiri. Ketika pasukan-pasukan Tartar di bawah pimpinan panglima Timur sudah berada di perbatasan Syria, tentara Mesir di bawah pimpinan Faraj berusaha keras untuk menghalaunya dari sana. Ibnu Khaldun diminta oleh Sri Sultan supaya turut menyertainya dari garis belakang barisan pertempuran. Ibn Khaldun sebenarnya memenuhi permintaan itu dengan setengah hati. Mereka meninggalkan Mesir dalam bulan Nopember 1400 dan tiba di Damascus yang sudah hancur-luluh itu sebulan kemudiannya. Akan tetapi baru saja seminggu mereka di sana tibalah kabar dari Mesir bahwa di sana orang merencanakan suatu pemberontakan terhadap sultan. Maka Faraj beserta para penasihatnya pun berniat untuk kembali saja dengan segera ke Mesir sebelum sesuatu yang tak diinginkan itu terjadi. Di sini timbullah pertikaian antara penguasa-penguasa sipil dengan penguasa-penguasa militer tentang jalan mana yang sebaiknya dan seharusnya ditempuh. Para pembesar militer ingin hendak bertahan terus di Damascus, tetapi para pembesar sipil, antara lain para hakim dan ulama-ulama termasuk juga syaikhuna kita Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa sebaiknyalah ditempuh jalan mundur dengan teratur. Maka Damascus pun ditinggalkanlah kemudian dalam keadaan hancur dan dirampok habis-habisan oleh pasukan-pasukan Monggolia yang dipimpin oleh Timur, panglima perang dan penakluk dunia yang gagah perkasa itu. Sewaktu para hakim dan ulama Damascus untuk pertama kali mengadakan kontak dengan Timur guna mengatur penyerahan kota, panglima perang Monggolia itu sekonyong-konyong telah menanyakan pada mereka tentang di mana gerangan adanya seorang sarjana agung ulama besar yang bernama Ibnu Khaldun, karena ia ingin sangat hendak bertemu dengannya. Demikian sudah harumnya nama Ibnu Khaldun dewasa itu. Maka diusahakanlah supaya syaikhuna kita itu dapat dibawa dan dipertemukan dengan penakluk dunia itu. Ketika itu semua pintu kota Damascus masih dikuasai oleh tentara Mesir sehingga tiada seorangpun dapat meloloskan dirinya ke luar. Ibnu Khaldun Dan Panglima Monggolia Maka Ibnu Khaldun pun terpaksalah diturunkan orang dengan tali dari atas tembok kota itu dan pada 10 Januari 1401 terjadilah pertemuan yang bersejarah antara ulama dan sarjana Ibnu Khaldun dengan panglima dan raja Timur, penakluk dunia bangsa Monggolia yang termasyhur itu. Pertemuan pribadi antara kedua orang besar itu berlangsung hingga akhir Februari tahun tersebut.
Ibnu Khaldun di pihaknya bermaksud dengan pertemuan-pertemuan itu hendak memperoleh jaminan dari panglima mengenai keselamatan dirinya dan keselamatan teman-teman sejawatnya, yaitu para hakim dan ulama dari Damascus. Tetapi ia bukanlah tidak sadar bahwa yang dihadapinya itu adalah juga seorang manusia besar pembuat sejarah dunia. Maka sudah terang dalam pertemuan-pertemuan itu tentu dibicarakannya juga hal-hal yang mengenai sejarah. Dan jika disebut sejarah, maka panglima Timur di pihaknya tentu merasa berbahagia pula dapat bertemu dengan Ibnu Khaldun, sarjana dan ahli sejarah dunia, terutama sejarah dan segala sesuatu mengenai Afrika Utara, yang penerangannya sangat diperlukan oleh panglima besar itu, barangkali guna penaklukan dunia di bagian utara dari benua Afrika itu, entahlah. Ibnu Khaldun memang terkenal sebagai ahli dalam soal-soal Afrika Utara. Walaupun ia telah menetap di Mesir, namun hubungannya dengan Afrika Utara tiadalah pernah diputuskannya. Pertama sekali selama tinggal di Mesir itu ia tetap terus mempertahankan pakaian nasionalnya. Kemudian ia menjadi penghubung antara para ulama dan sarjana di Afrika Utara dengan para ulama dan sarjana di Mesir, seperti misalnya dalam hal penyampaian surat-surat dari mereka di Tunis kepada mereka yang di Kairo, pembelian kitab-kitab tertentu di Kairo untuk mereka-mereka yang berdiam di Tunis dan Spanyol, dan begitulah seterusnya. Malah ia juga menyampaikan penerangan-penerangan tentang situasi politik di Mesir kepada negarawan-negarawan yang berdiam di bagian barat dari Afrika Utara itu. Sebagai balasannya ia mendapat pula keterangan-keterangan tentang perkembanganperkembangan politik terbaru di sana sehingga dengan demikian ia dapat terus membuat kitab Muqaddimahnya itu menjadi up-to-date hingga saat yang terakhir sekali. Jadi jelas dari sini, bahwa pengetahuan Ibnu Khaldun tentang situasi politik di Afrika Utara itu adalah selalu baru dan segar. Itulah sebabnya maka Timur sebagai penakluk dunia sangat memerlukan menemui Ibnu Khaldun untuk kepentingan siasat peperangannya, bukan untuk keperluan-keperluan damai. Ia telah menanyakan Ibnu Khaldun tentang ilmu bumi dari Afrika Utara dan memintanya supaya menulis satu risalah terperinci tentang itu untuk nanti diterjemahkan ke dalam bahasa Mongolia. Sebagai sarjana dan sematamata guna kepentingan ilmiah Ibn Khaldun telah memenuhi permintaan itu dan atas jasa-jasanya itu Timur kemudian mengizinkannya pulang kembali ke Mesir. Perlu ditambahkan di sini bahwa setibanya di Mesir Ibnu Khaldun merasa juga kurang layak untuk memberikan keterangan-keterangan tentang ilmu bumi Afrika Utara kepada seorang penakluk dunia seperti Timur itu. Oleh karena itu untuk mengimbangi kesadaran batinnya setibanya kembali di Mesir ia menyampaikan informasi-informasi yang berguna pula kepada sultan Banu Marin di Afrika Utara mengenai sejarah bangsa Tartar dan pribadi dari panglima Timur, penakluk dunia yang gagah perkasa itu. Dengan berbuat demikian kiranya ia telah memperbaiki kesalahan yang dilakukannya di Syria dahulu. Ibnu Khaldun Meninggal Di Mesir Ibnu Khaldun tiba kembali di Mesir dalam bulan Maret 1401. Lebih kurang sebulan kemudian, bulan April, ia diangkat lagi untuk ketiga kalinya menjadi hakim tinggi dalam madzhab Maliki. Lebih kurang setahun kemudian (1 Maret 1402) ia diberhentikan pula untuk kemudian diangkat lagi dalam bulan Juli berikutnya, dan diberhentikan lagi dalam bulan September tahun 1403. Pada 11 Pebruari 1405 ia diangkat pula kembali dalam jabatan hakim itu dan sekali ini jabatan itu dipegangnya hingga 31 Mai 1405. Pengangkatannya yang terakhir sebagai hakim ialah dalam bulam Maret 1406 dan hanya beberapa hari saja sesudah pengangkatan ini, yaitu pada
17 Maret 1406, ulama dan sarjana agung kita itu pun berpulang ke rahmat Allah dengan penuh ketenangan. Dengan penuh kehormatan dari negara dan bangsanya ia dikebumikan di permakaman kaum Sufi agak di luar kota Kairo yang megah itu. Tidak banyak diketahui orang tentang penghidupannya selama lima tahun yang terakhir itu. Sebab itu tidak banyak pula yang dapat kita kemukakan selain dari pengangkatan dan pemberhentiannya yang berkali-kali dari kedudukannya sebagai hakim tinggi mdazhab Maliki. Maka pergilah Ibnu Khaldun, pujangga, ulama dan sarjana agung dunia lslam, ya malah sarjana agung dunia internasional juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Hiduplah nama Ibnu Khaldun sepanjang masa.
MUQADDIMAH SELAYANG PANDANG Perbedaan antara Ibnu Khaldun dan selebihnya para ahli sejarah Muslim, baik sebelum maupun sesudahnya, ialah kenyataan bahwa Ibnu Khaldun memandang sejarah itu sebagai satu ilmu yang perlu dipelajari, jadi bukan hanya sebagai kabar dan cerita semata-mata. Syaikhuna kita itu ingin supaya orang melihat sejarah itu secara ilmiah. Karena itu ia mencoba membuat cara melihat dan penerangan sejarah menurut kaca mata baru dan untuk itu ia berpikir dan melakukan penyelidikan-penyelidikan yang mendalam. Maka ditulisnyalah Kitab al 'Ibar yang terdiri dari tujuh jilid (lihat di atas pada Riwayat-Hidup Ibnu Khaldun). Jilid pertama dari kitab itu mengandung Sepatah-Kata dan Pendahuluan (Ar. Muqaddimah) yang panjangnya jika dalam bahasa Arab hanya beberapa halaman saja, tetapi jika dalam bahasa Indonesia panjangnya adalah seperti tercantum pada halaman 40 hingga halaman 50. Lihatlah di sana. Dan itulah dia Muqaddimah asli dari Ibnu Khaldun bagi bukunya Kitab al 'Ibar. Akan tetapi sudah semenjak zaman syaikhuna kita itu sendiri muqaddimah yang asli ini bersama dengan jilid pertama dari Kitab al 'Ibar menjadi satu buku tersendiri dengan sebutan judul Muqaddimah pula, yaitu diambil dari nama Muqaddimah asli. Sebutan Muqaddimah untuk jilid pertama dari Kitab al 'Ibar itu adalah demikian populernya kemudian, sehingga pengarangnya sendiri akhirnya terbiasa atau terpaksa juga menggunakan nama itu. Dewasa ini nama Muqaddimah sudah umum diketahui orang, lebih umum dan lebih terkenal lagi dari kitab induknya,sendiri. Maka apakah kandungan isi Muqaddimah itu ? Ibnu Khaldun membagi pokok pembicaraannya dalam enam Bab, yang olehnya dalam bahasa Arab dinamakan Fasal. Bab-bab itu ialah : I. Peradaban manusia pada umumnya. II. Peradaban padang-pasir (Baduwi), bangsa-bangsa dan suku-suku biadab dan keadaan-keadaan hidup mereka. III. Dinasti, kekuasaan raja, Khalifah, jawatan-jawatan dalam pemerintahan dan segala sesuatu yang bertalian dengannya. IV. Negeri dan kota dan segala macam bentuk peradaban maju. V. Perekonomian, cara-cara hidup dan cara-cara mencari makan. VI. Ilmu pengetahuan dan pendidikaan. Pembagian dalam enam bab ini kiranya dapat memberi gambaran pada kita apa sesungguhnya yang dianggap Ibnu Khaldun sebagai pokok utama dari pengetahuan kita tentang masyarakat manusia. Ibnu Khaldun memulai Muqaddimahnya dengan memperbincangkan nilai sejarah dan bentuk-bentuknya, dan kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh para ahli sejarah dalam mencatat tanggal-tanggal dan peristiwa-peristiwa, baik dengan
disengaja karena maksud-maksud tertentu, maupun karena tak sadar dan semata-mata karena kurang atau tiada pengertian tentang hukum-hukum dari apa yang kini sudah biasa dinamakan orang dengan sosiologi dan keadaan-keadaan masyarakat. Ia kemudian mengemukakan beberapa contoh-contoh yang juga diuraikannya sekali dengan memperlihatkan kesalahan-kesalahan di dalamnya. Banyak di antara pernyataan-pernyataan Ibnu Khaldun dalam bab pertama itu merupakan sesuatu yang baru dan menarik, dan pada umumnya kebanyakan kecaman-kecamannya terhadap para ahli dan pencatat sejarah adalah tegas dan nyata benarnya. Ibnu Khaldun kemudian menunjuk pada betapa pentingnya orang harus menentukan fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan hukum-hukum sosiologi atau ilmu masyarakat manusia. Sesudah satu pembahasan yang mendalam dan kritis, Ibnu Khaldun kemudian menyebut-nyebut ilmu pengetahuan yang baru didapatinya itu. Maka mulailah ia berbicara tentang sosiologi secara umum, sesuai dengan pembagian bab-bab seperti tersebut di atas. Ia menerangkan tentang watak pergaulan manusia (masyarakat), perlunya manusia bermasyarakat, dan bagaimana masyarakat itu berbeda-beda menurut iklim masing masing, betapa ia dipengaruhi oleh perubahan-perubahan udara sehingga terjadilah daerah-daerah yang panas, dingin dan pertengahan iklim hawanya. Kemudian dijelaskannya tentang bagaimana iklim itu berpengaruh pada sifat (karakter), warna, dan keadaan-keadaan manusia. Maka ia pun berbicaralah tentang ilmu bumi dunia sebagaimana dikenal orang di waktu itu, yaitu terbagi dalam tujuh daerah raja. Dalam bab pertama itu sebenarnnya tidaklah banyak hal dan soal yang baru-baru. Baru dalam bab kedua Ibnu Khaldun mulai menyinggung soal-soal yang baru sama sekali. Dalam bab itu syaikhuna kita memperbincangkan tentang berbagai macam bentuk masyarakat padang pasir. Di sini ia menulis dengan panjang sekali tentang masyarakat Baduwi beserta sifat-sifatnya dan diperbandingkannya sekali dengan masyarakat kota. Ibnu Khaldun di sini mengemukakan teori-teori sosialnya yang sungguh-sungguh baru. Ia berbicara tentang 'ashabiyah, yaitu rasa-golongan yang kalau sekarang agaknya dapat disamakan dengan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Ibnu Khaldun menyandarkan 'ashabiyah itu pada keluarga atau kumpulan yang menyamainya. Ashabiyah inilah katanya asal-usul dari kekuasaan dan kewibawaan, ataupun asal-usul keadaan dalam masyarakat padang pasir. Kekuasaan ini dimiliki oleh mereka-mereka yang menikmati 'ashabiyah itu. Dikatakannya bahwa rasa golongan itu dapat berasal juga dari keturunan bangsawan. Maka kekuasaan yang diperoleh secara demikian itu akhimya dapat turun-temurun sampai empat keturunan manusia. Mungkin juga sampai pada keturunan ke lima dan ke enam, akan tetapi dalam hal demikian kekuasaan itu tentu sudah merosot dan lemah. 'Ashabiyah itu (dan bersamanya kekuasaan atau kewibawaan) berakhir dengan lenyapnya sesuatu keturunan bangsawan dan berpindah kepada keluarga, suku atau bangsa lain yang jumlahnya banyak, kuat, dan lain-lain sebagainya. Tujuan 'ashabiyah ialah kekuasaan, kewibawaan atau kedaulatan. Kemudian Ibnu Khaldun berbicara tentang kedaulatan dan sifat-sifatnya, corak kedaulatan yang berbeda-beda itu, luasnya kedaulatan menurut bangsa-bangsa di mana ia muncul, akibat kemenangan atas bangsa-bangsa yang kalah perang, dan lainlain sebagainya. Menurut Ibnu Khaldun bangsa yang kalah perang adalah cenderung sekali pada meniru-niru bangsa yang menang dan berkuasa. Dalam bab ini Ibnu Khaldun juga menulis banyak tentang bangsa Arab. Menurut pendapatnya orang-orang Arab itu adalah bangsa liar yang suka berperang dan bertempur, merampok, merampas dan menghancurkan. Dalam pertempuran-
pertempuran mereka hanya berhasil di dataran-dataran yang mudah, mengarungi gunung dan dataran-dataran tinggi mereka tak berani disebabkan oleh kesukarankesukaran alam di sana. 2) Jika mereka mengalahkan sesuatu negeri, maka negeri itu tentu segera akan hancur dan sepi, karena sudahlah menjadi watak mereka dalam merusak dan membinasa itu. Orang-orang Arab menurut pendapat syaikhuna kita kurang dapat menyesuaikan diri dengan kedaulatan (atau kewibawaan) dan ini adalah disebabkan oleh watak mereka yang nomadis dan bertabiat kasar. Mereka lebih suka pada kebebasan dan kemerdekaan dan tiada hendak menyerah pada kekerasan, kekuasaan dan disiplin. Hanya tidak perlu dijelaskan di sini, bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang bangsa Arab itu adalah terlalu subyektif sifatnya. Misalnya pula pendapatnya yang mengatakan bahwa orang-orang Arab itu kurang campin dalam perniagaan, bahwa mereka tiada sanggup untuk berilmu pengetahuan, dan bahwa kebanyakan dari sarjana-sarjana agung dalam negara-negara Islam adalah umumnya orang-orang yang bukan Arab. Walaupun Ibnu Khaldun dalam mengemukakan pendapat itu mengemukakan juga contoh-contoh, namun opininya tentang orang-orang Arab itu adalah agak keterlaluan. Ini barangkali disebabkan oleh pengaruh darah Barbari yang terdapat dalam tubuhnya syaikhuna kita. Wallahua'lam. Dalam bab ketiga Ibnu Khaldun menguraikan tentang negara dan kedaulatannya. Menurutnya kejadian negara adalah karena kekuatan pada suku dan rasa-golongan. Rasa-golongan atau 'ashabiyah itu mempunyai sifat-sifat dan bentuk-bentuknya yang tersendiri sesuai dengan keadaan mereka yang menguasainya. Agamapun mempunyai pengaruh pada penguatan negara. Jika pertikaian terjadi di kalangan penguasa, maka negara pun lemah dan cepat hancur dan musnah. Seperti halnya dengan negara, demikian juga kedaulatan mempunyai sifat-sifat tertentu, dan yang karakteristik sekali ialah pemborongan kebesaran, kemegahan, kemewahan, dan kesenangan bagi dirinya sendiri. Ini adalah karakteristik yang jika terus berakar dengan kuatnya akan membawa negara kepada usia tua, lemah dan musnah. Sebagaimana manusia, negara juga mempunyai umur menurut kodrat alam, dan Ibnu Khaldun dalam bab ini menaksir kehidupan sesuatu negara mulai dari lahir hingga muda dan kuat hingga tua dan akhirnya mati, pada umumnya selama tiga generasi manusia, dengan taksiran satu generasi empat puluh tahun lamanya. Jadi menurutnya usia negara pada umumnya tidak akan lebih dari seratus dua puluh tahun; terkecuali dalam hal-hal yang agak jarang terjadi. Teori ini bersamaan pula dengan teorinya tentang keturunan manusia seperti telah kita sentuh juga di atas sewaktu menyinggung soal 'ashabiyah. Dalam bab ketiga ini Ibnu Khaldun asli sekali dalam pendapatnya sehingga teori-teori sosialnya beserta analisa-analisanya tentang masyarakat sungguh merupakan sesuatu yang baru dan menarik sekali. Ibnu Khaldun memperbincangkan tentang negara dan kedaulatan secara panjang dalam bab ini. Kemudian diuraikannya tentang perubahan negara dari tingkat nomadis ke tingkat peradaban dan berbagai taraf-taraf yang harus dilaluinya. Diterangkannya pula dengan jelas bagaimana dalam evolusi itu kaum mawali dan orang-orang yang dekat dengan pihak penguasa turut memainkan peranannya dalam pemerintahan negara. Kemudian ia memperbincangkan kedaulatan dengan aneka macam coraknya. tentang Imamah dan khilafah dan aneka macam pendapat-pendapat tentangnya, begitu juga tentang kaum Syi'ah. Dengan panjang lebar ia membentangkan tentang Khilafah 2
Ini sudah terang kurang benar, sebab yang menyerbu ke lembah-lembah Syria, dataran-dataran tinggi Anatolia dan Armenia, gunung di Persia, malah sampai-sampai ke Afrika Utara hingga Marokko dan Spanyol, dan malah yang menemhusi gunung-gunung tinggi di Spanyol dan masuk ke lembah-lembah Perancis, semuanya itu menurut sejarah adalah orang-orang Arab. Kita kurang sependapat dalam hal ini dengan syaikhuna kita. O.R.
dan kedaulatannya, tentang formalita-formalita pada khilafah dalam pemilihan dan pengangkatan putera mahkota, tentang berbagai jawatan-jawatan dan lembagalembaga negara, tentang angkatan perang, polisi, tradisi-tradisi kerajaan, strategi dan taktik peperangan, dan tentang soal-soal yang menyangkut perdagangan. Bab itu kemudian ditutupnya dengan pembicaraan tentang kezaliman yang pasti akhirnya akan menghancurkan negara dan kebudayaan manusia. Bab ke empat memperbincangkan pedesaan dan perkotaan, asal-usul kota-kota, sifat-sifat dan keadaan-keadaannya seperti misalnya mengenai kesuburan dan kemakmuran, atau ketandusan dan kemiskinan, yang pengaruhnya meluas sampai keluar batas negara-negara dari kota tersebut. Kemudian terdapat pula uraian yang panjang lebar tentang disposisi suku-suku Baduwi dalam hubungannya dengan kotakota, tentang peradaban kota dan pengaruhnya, tentang keadaan negara yang tujuan tertingginya ialah peradaban, yang juga dapat menjadi sebab dari kehancurannya, tentang korupsi dalam negara, dan akhirnya tentang perbedaan negara-negara menurut hasil pertaniannya, industrinya dan bahasanya. Dalam bab ke lima Ibnu Khaldun berbicara tentang makanan dan cara-cara memperolehnya, yang akhirnya membawa dia pada memperbincangkan tentang penumpukan harta. Maka diuraikannyalah tentang ekonomi dan perdagangan, supply dan kebutuhan, monopoli, tentang harga-harga, dan lain-lain sebagainya. Tentang perdagangan diterangkannya dengan lebih mendalam. Dalam bab ini terdapat pula pasal-pasal tersendiri tentang pertanian, pembangunan, pertenunan, kebidanan dan perobatan. Bab yang ke enam dan terakhir telah disediakan oleh Ibnu Khaldun untuk khusus memperbincangkan tentang ilmu pengetahuan (sciences) dan pendidikan (education). Diterangkannya di sana, bahwa tidak belajar itu adalah salah satu dari sifat-sifat peradaban. Di mana saja ada peradaban, maka pendidikan dan ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang. Maka diuraikannya dengan panjang lebar tentang berbagai ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan sosial. Akhirnya dalam bab ini Ibnu Khaldun mencela falsafat (philosophy) beserta para filosofnya karena menurut pendapatnya falsafat adalah satu cabang pengetahuan yang tiada berguna dan merupakan bahaya bagi agama dan kepercayaan. Di sini syaikhuna kita kemudian memperbincangkan dan menolak beberapa ketentuan-ketentuan falsafat. Akhirnya ia datang pada membicarakan soal pendidikan serta sistem-sistemnya dan tentang sifatsifat dari para sarjana umumnya. Ditegaskannya pula di sana, bahwa dalam Islam kebanyakan sarjana-sarjana adalah orang-orang yang bukan Arab. Begitulah bab ini kemudian ditutupnya dengan uraian-uraian tentang rethorika, proza, dan syair-mair dengan kebiasaan-kebiasaan yang lazim dipakai waktu itu. Demikianlah secara singkat dan selayang pandang kandungan isi dari Muqaddimah itu. Apa yang.tertera di sebelah ini setelah Sepatah Kata dan Pendahuluan atau Muqaddimah, adalah pandangan Ibnu Khaldun khusus mengenai Masyarakat dan Negara, sebagaimana terdapat di sana-sini dalam bukunya yang terkenal itu. Ia sengaja telah kita kumpul dan terjemah semoga darinya orang dapat mengambil faedah dalam menambah ilmu pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu politik dan ilmu ketatanegaraan. Wa billahittaufiq.
MUQADDIMAH DARI
MUQADDIMAH
SEPATAH KATA Bismillah ar-Rahman ar-Rahim Berkatalah seorang hamba Allah 'Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun Al Hadlrami, yang sangat berhajat pada kerahiman Tuhan, yang maha Kaya dengan kebaikannya, semoga Allah memberikan sukses padanya. Alhamdulillah ! Segala puji bagi Allah, yang mahakuasa dan mahahebat, di tangan-Nya terletak kekuasaan muluk dan kekuasaan malakut. Segala nama-nama baik dan semua sifat-sifat indah adalah kepunyaan-Nya. I1mu-Nya adalah begitu sempurna, sehingga tiada suatupun yang tiada diketaliui-Nya, baik yang diucapkan dalam bisikan rahasia, maupun yang tiada diucapkan. Kekuasaan-Nya adalah demikian lengkap, sehingga tiada satupun di langit dan di bumi yang berlebihan bagiNya ataupun dapat lepas dari-Nya. Dia menciptakan kita dari tanah sehingga menjadi makhluk-makhluk yang hidup dan bernafas. Dibuat-Nya kita tinggal di atasnya sebagai suku-suku dan bangsabangsa (Ar. ajyal dari jil dan umam dari ummah). Darinya Ia sediakan bagi kita rezeki-rezeki dan makanan-makanan. Rahim-rahim dari para ibu dan rumah-rumah adalah tempat tinggal kita. Rezeki dan makanan itu menjaga agar kita hidup. Tetapi hari-hari dan waktu-waktu memakan kita. Akhirnya ajal yang ditentukan bagi kita dalam kitab nasib memanggil kita. Tetapi Dia itu terus tetap dan baka. Dia itu adalah al Hayyu yang tidak mati-mati. Maka selawat dan salam atas junjungan kita Muhammad, Nabi yang ummi serta Arabi, yang namanya telah termaktub dan disebut-sebut dalam kitab Taurat dan Injil; yang untuk kelahirannya dunia seadanya telah bergerak berputar lama sebelum harihari Minggu mengikuti hari-hari Saptu secara tertib dan lama pula sebelum bintang Saturnus dan Behemoth telah menjadi terpisah, yang cintanya pada kebenaran telah disaksikan oleh merpati dan laba-laba. Selawat dan salam pula atas keluarganya dan sahabat-sahabatnya, yang karena cinta padanya dan mengikutinya telah memiliki bekasnya yang mendalam dan menjadi terkenal, dan dengan membantunya telah timbul persatuan, sedang musuhmusuh mereka menjadi lemah karena perpecahan. Selawatlah, ya Allah, baginya dan bagi semua mereka itu, karena selama Islam terus-menerus menikmati nasibnya yang penuh bahagia itu, tapi kekufuran yang telah lusuh itu tetap akan putus ! Berilah pangestu salam sebanyak-banyaknya baginya dan bagi semua mereka itu ! Ibnu Khaldun
PENDAHULUAN Sejarah sesungguhnya adalah satu mata pelajaran yang secara luas diperkembangkan di antara bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa. Ia dituntut orang dengan sangat. Rakyat sederhana, orang-orang biasa berhasrat mengetahuinya. Rajaraja dan para pemimpin berlomba-lomba untuk sejarah itu. Baik orang-orang terpelajar maupun orang-orang yang tak terpelajar sanggup memahaminya, karena pada zahirnya sejarah itu tidak lebih dari kabar-kabar tentang peristiwa-peristiwa politik, dinasti-dinasti, dan kejadian-kejadian di kurun-kurun yang telah jauh lampau yang dikemukakan secara kata-berkata dan dibumbui pula dengan amsal-amsal. Sejarah itu berbakti kepada pertemuan-pertemuan orang ramai yang luas dan memberi kepada kita satu pengertian tentang persoalan-persoalan manusia. Ia
memperlihatkan bagaimana perubahan keadaan-keadaan (Ar.taqallub al ahwal) menyentuh persoalan-persoalan manusia itu (Ar. sya'nul khaliqah), betapa negara tertentu muncul menduduki suatu ruang yang makin meluas di dunia ini, dan bagaimana mereka memperlakukan bumi itu, hatta sampai kemudian mereka. mendengar panggilan, dan …. habislah masa mereka. Pada batinnya sejarah itu mengandung spekulasi dan satu usaha untuk sampai pada kebenaran, penjelasan-penjelasan yang halus tentang sebab-musabab dan asalusul dari barang-barang yang ada, dan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan kenapa dari segala peristiwa-peristiwa. Sejarah karena itu sangatlah berakar pada filsafat. Ia berhak digolongkan sebagai cabang dari falsafat. Para ahli sejarah terkemuka di kalangan Islam telah mengumpulkan dengan sangat banyak peristiwa-peristiwa bersejarah dan telah menulisnya menjadi buku-buku. Akan tetapi orang-orang yang sama sekali tak berhak menyibukkan dirinya dengan sejarah telah memasukkan dalam buku-buku itu desas-desus yang tidak benar yang dicari-cari ataupun dibikin-bikin dengan bebasnya, begitu pula laporan-laporan palsu yang dibuat-buat atau dibunga-bungai. Banyaklah di antara para pengikut mereka itu yang menuruti jejak mereka dan meneruskan penerangan itu kepada kita sebagaimana telah didengarnya. Mereka tidak melihat ataupun memberi perhatian pada sebabsebab dari peristiwa-peristiwa (Ar. waqa-i') dan keadaan-keadaan (Ar. ahwal) itu, pun tidak pula mereka menghapuskan ataupun menolak ceritera-ceritera bohong itu. Usaha sedikit sekali dilakukan untuk mencapai kebenaran (Ar. attahqiq). Mata yang kritis pada galibnya tidak tajam. Kesalahan-kesalahan dan waham-waham menjadilah bersekutu dan merupakan unsur-unsur yang biasa dalam penerangan sejarah. Taklid buta menjadilah satu bawaan keturunan pada ummat manusia. Penyibukan diri dengan soal-soal ilmiyah di pihak orang-orang yang tiada berhak jadilah amat meluas. Akan tetapi padang kebodohan itu tidak sehat buat kemanusiaan. Tiada seorangpun dapat menantang kekuatan kebenaran (Ar. sulthan al-haq), dan kejahatan kebatilan (Ar. syaithaan al Bathil) haruslah dilawan dengan pandangan yang benderang. Si pelapor hanyalah mendiktekan dan meneruskan bahan-bahan saja. Maka perlulah satu pandangan yang kritis untuk memilih yang sehat-sehat dari kebenaran-kebenaran yang terpendam itu, perlu pada pengetahuan untuk membentangkan kebenaran dan membersihkannya sehingga pandangan kritis dapat dipergunakan baginya. Banyak sudah karya-karya sejarah yang sistematis yang telah disusun, dan sejarah bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia (Ar. tawarikh al umam wad dual fil alam) telah dicatat dan dikarang. Tetapi amat sedikitlah ahli-ahli sejarah yang sudah begitu terkenal dan diakui sebagai autoritas-autoritas, dan yang telah menggantikan hasilhasil karya orang-orang sebelumnya dengan karya-karya mereka sendari. Mereka sesungguhnya dapat dihitung dengan jari-jari di tangan, mereka tidak lebih banyak dari huruf-huruf harakat dalam susunan kramatika. Sebagai contoh, misalnya ada : Ibnu Ishaq, At-Thabari, Ibn Al Kalbi, Ibn 'Umar Al Waqidi, Saif Ibn 'Umar Al Asadi. Al Mas'udi, dan ahli-ahli sejarah terkenal lainnya, yang berbeda dari umumnya para ahli sejarah itu. Sebagai diketahui buku-buku buah tangan A-Mas'udi dan Al Waqidi dalam halhal tertentu mencurigakan dan dapat ditolak. Ini cukup diketahui oleh orang-orang yang kompeten dan para ahli yang dapat dipercaya. Akan tetapi namun demikian, karya-karya mereka itu telah dimegahkan dengan diterimanya secara universal penerangan-penerangan yang terkandung di dalamnya dan dengan diterima pula metode-inetode mereka (Ar. Iqtifa-u sunanihim fi at-tashnif) dan penyampaian material mereka. Seorang pengecam yang tajam (Ar. An-naqid al bashir) akan
menjadi hakim sendiri mengenai bagian mana dari bahan mereka itu yang dianggapnya palsu dan mana yang dapat dipercayainya. Peradaban (Ar. al 'umran) dalam aneka ragam keadaannya mengandung unsur-unsur yang bermacam-macam dan padanya dapat dipertautkan keterangan-keterangan sejarah (Ar. al akhbar) dan dengannya diuji laporan-laporan dan hahan-bahan sejarah itu (Ar. Ar riwayat wal atsar). Kebanyakan dari sejarah-sejarah karangan pengarang-pengarang ini meliputi segala-galanya disebabkan semestinya pengluasan geografi dari kedua daulah Islamiyah yang terdahulu itu 3) dan disebabkan pilihan sangat luas dari sumbersumber yang mereka pergunakan ataupun yang tidak digunakannya. Beberapa dari para pengarang ini, seperti Al Mas'udi dan ahli-ahli sejarah lain seperti dia, telah memberikan satu sejarah yang lengkap mendalam tentang daulah-daulah dan bangsabangsa sebelum Islam (Ar. ma qablal millah min ad-dual wa al umam) dan tentang soal-soal lainnya sebelum Islam umumnya. Sebaliknya beberapa ahli sejarah yang terkemudian memperlihatkan kecenderungan untuk lebih teliti dan mereka ini sangsi untuk berbuat begitu umum dan luas. Mereka mengumpulkan segala kejadian dari zaman mereka sendiri dan memberikan penerangan sejarah yang lengkap mendalam tentang bagian dunia mereka sendiri. Mereka membatasi diri mereka pada sejarah negara (Ar. daulah) dan kota-kota mereka sendiri. Ini telah dilakukan oleh Ibn Hayyan, ahli sejarah Spanyol (Ar. Andalus) beserta daulah Umayyah di sana, dan oleh Ibnu ar Raqiq, ahli sejarah Afrika dan negara-negara yang ada di Kairouan (Ar. Al Qayrawan). Para ahli sejarah yang kemudiannya, semuanya terikat pada taklid dan boyak pada tabiat dan akal, atau sekurang-kurangnya tidak pernah berusaha untuk tidak bersifat boyak. Mereka hanya menyalin dari ahli-ahli sejarah yang lama dan menuruti contoh mereka. Mereka mengabaikan perubahan-perubahan pada keadaan (Ar.'Amma ahalathu al ayyam min al ahwal) dan pada adat-istiadat bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa (Ar. 'awa-id al-umam wa al-ajyal) yang telah terjadi oleh berlalunya masa. Maka mereka kemukakan penerangan sejarah (Ar. al Akhbar) tentang daulah-daulah dan cerita-cerita tentang peristiwa-peristiwa (Ar. Hikayat al-waqa-i') dari abad-abad permulaan hanya sebagai bentuk-bentuk tanpa isi, sarung-sarung tanpa pedang, sebagai pengetahuan yang harus dianggap kebodohan karena tidak diketahui darinya apa yang ganjil dan apa yang asli. Penerangan mereka hanya mengenai kejadiankejadian (Ar. al-hawadits) yang asal-usulnya tidak diketahui. Ia adalah tentang bentuk-bentuk yang terhadap jenis-jenisnya tidak diberikan perhatian dan yang mauduk-mauduknya tertentu tidak diberikan perincian-perincian. Dengan keterangan-keterangan yang ada itu mereka hanya mengulangi bahan sejarah yang betapapun juga sudah diketahui orang dengan luas dan mereka mengikuti para ahli-sejarah terdahulu yang telah mengerjakan segala itu. Dalam memperlakukan bahan sejarah itu mereka mengabaikan pentingnya perubahan atas generasi-generasi, terutama karena mereka itu tidak mempunyai seorangpun yang dapat memberikan pengertian tentang itu kepada mereka. Karya-karya mereka karena itu tidak memberikan penjelasan untuk itu. Kemudian jika mereka tiba pada penggambaran sesuatu daulah (negara) tertentu, mereka menyampaikan penerangan sejarah tentang itu hanya secara mekanis sematamata dan berusaha keras menjaganya agar tetap sebagaimana tadinya telah disampaikan kepada mereka, baik penuh dengan dugaan-dugaan maupun benar. Mereka tidak melihat kepada (asal-usul) permulaan dari daulah (negara) itu. Juga Dimaksudkan di sini Daulah Umayah dan Daulah 'Abasiyah.
3
mereka tidak mengatakan sebab-sebab daulah itu dapat mengembangkan benderanya (Ar. (al rajah) dan sanggup memberi arti kepada lambang negaranya (Ar. al ayah), atau apa yang menyebabkan daulah tersebut itu akhirnya berhenti sesudah mencapai tujuannya (Ar. al ghayah). Maka itu tetaplah seorang pelajar sejarah harus mencari asal-usul dari keadaankeadaan dan prinsip prinsip organisasi dari berbagai negara (Ar. Ahwalu mabadi addual wa maratibiha). Ia harus menyelidiki sendiri kenapa berbagai negara-negara itu membawa tekanan-tekanan untuk saling menindas (Ar. tazahum ad-dual) dan kenapa mereka saling ganti-mengganti (Ar. ta'aqub ad-dual). Ia harus mencari satu penjelasan yang memuaskan tentang unsur-unsur yang membuat negara-negara itu saling berpisah atau saling bertemu (Ar. tabayun wa tanasub ad-dual). Segala ini akan kita perbincangkan dalam Muqaddimah dari buku ini. Maka akhirnya datanglah para ahli sejarah lain-lain dengan satu presentasi yang sangat singkat dari sejarah. Mereka ini sudah merasa puas sekali dengan nama-nama dari raja-raja tanpa sesuatu keterangan keturunan atau keterangan sejarah dan hanya dengan satu petunjuk angka-angka mengenai lamanya kekuasaan-kekuasaan mereka. Ini telah dilakukan oleh Ibn Rasyiq dalam bukunya Mizan al-'Amal dan oleh semua domba-domba hilang yang telah mengikuti jejaknya. Tidak ada kepercayaan dapat diberikan pada apa yang mereka katakan. Mereka tidak dapat dipercaya, demikian pula bahan mereka itu tidak dapat dianggap berguna untuk diteruskan, karena mereka telah menyebabkan hilang lenyapnya bahan yang berfaedah itu dan merusak cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan yang telah dianggap baik dan praktis oleh para ahli sejarah. Ketika saya telah mentalaah karya-karya orang lain, sampai-sampai menembusi kegelapan-kegelapan kemarin dan hari ini, maka saya lepaskanlah diri saya termangumangu serta ketiduran. Walaupun tidak banyak sebagai pengarang, saya tunjukkan juga kecakapan menulis saya sendiri sedapat mungkin, dan demikianlah, maka saya susunlah satu buku tentang sejarah. Dalam buku ini saya angkatlah hijab dari keadaan-keadaan sebagaimana ia telah muncul pada generasi-generasi (Ar. ahwal annasyi-ah min al ajyal). Saya susun ia dengan satu cara teratur dalam bab-bab yang memperbincangkan fakta-fakta sejarah (Ar. al akhbar) dan pencerminan-pencerminan (Ar. al-i'tibar). Di dalamnya saya tunjukkan bagaimana (Ar. al 'ilalan) dan kenapa (Ar. asbaban) daulah-daulah dan peradaban itu (Ar. al 'umran) tumbuh. Saya dasarkan karya saya ini atas sejarah dari dua (suku) bangsa yang merupakan penduduk dari al Maghrib dewasa ini. dan mendiami berbagai daerah-daerah (Ar. annawahi) dan kota-kotanya (Ar. al amshar), dan atas daulah-daulahnya 4), baik yang lama usianya maupun yang pendek, termasuk dalamnya raja-raja (Ar. al muluk) dan sekutu-sekutu mereka di masa yang lampau. Kedua (suku) bangsa itu ialah orangorang Arab dan orang-orang Barbari (Ar al Barbar). Mereka adalah dua suku bangsa (Ar. Al jilan) yang diketahui telah menetap di Al Maghrib sejak begitu lama sehingga orang hampir tak dapat membayangkan mereka itu pernah hidup di tempat lain, karena penduduk-penduduknya mengetahui tiada pernah ada suku bangsa lain di sana. Maka saya perbaiki isi-isi karya ini dengan teliti sekali dengan menyerahkannya kepada penilaian para sarjana kaum elite. Saya telah memilih satu cara penertiban dan pembagian bab-bab di luar kebiasaan selama ini. Dari berbagai kemungkinankemungkinan, saya telah memilih satu methode yang ajaib dan asli sekali. Dalam buku ini saya uraikan tentang peradaban (Ar. ahwal al-'umran), tentang urbanisasi (Ar. at-tamaddun), dan tentang karakteristik-karakteristik yang essensial (Ar. al 'awaridl ad dzatiah) dari organisasi sosial manusia (Ar. al Ijtima al insani), dengan 4
Dapat juga diartikan negara-negara atau dinasti-dinasti. OR.
suatu cara yang menerangkan kepada pembaca bagaimana dan kenapa sesuatu itu ada sebagai adanya, dan memperlihatkan padanya bagaimana manusia-manusia yang mengendalikan daulah-daulah itu muncul untuk pertama kali di atas panggung sejarah (Ar. kaifa dakhala ahl ad-dual min abwabiha). Sebagai akibat, ia harus membersihkan tangannya dari kepercayaan membabi-buta pada taklid. Ia harus sadar terhadap keadaan-keadaan zaman dan suku-suku bangsa (Ar. ahwal al-ayyam wa alajyal) yang berada sebelum dan sesudah masanya. Maka saya bagi karya saya ini dalam satu Muqaddimah dan tiga Kitab : Muqaddimah menerangkan tentang kelebihan utama dari ilmu Sejarah, dan mengemukakan satu penghargaan terhadap berbagai metode-metodenya (Ar. madzahib at-tarikh) serta menyebut kekhilafan-kekhilafan dari para ahli-sejarah. Kitab Pertama menerangkan tentang peradaban (Ar. Al 'umran) dan karakteristikkarakteristik essensialnya, seperti misalnya, kekuasaan diraja (Ar. mulkun), pemerintahan (Ar. As sulthan), jabatan-jabatan penghasil (Ar. al-kasb), cara-cara mencari penghidupan (Ar. al ma'asy), pekerjaan tangan (Ar. ash-shana-i), dan ilmuilmu pengetahuan (Ar. al-'ulum), sebagaimana juga sebab-musabab dan alasan-alasan (Ar. al-'ilal wa al-asbab) darinya. Kitab Kedua menerangkan tentang sejarah Arab dan suku-suku bangsa dan daulah-daulahnya, sejak mula penciptaan makhluk hingga sekarang ini. Ini mengandung penunjukan-penunjukan pada bangsa-bangsa dan daulah-daulah terkenal yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa-bangsa Nabataea (Ar. an-Nabath), Syria, (Ar. as-Suryaniyun), Persia (Ar. al Faris), Bani Israil, Kopt (Ar. al Qibth), Yunani, Byzantium (Ar. ar-Rum), Turki dan bangsa-bangsa asing lainnya. Kitab Ketiga menerangkan tentang sejarah suku bangsa Barbari dan Zanatah yang merupakan bagian darinya, tentang asal-usul dan suku-suku mereka dan terutama tentang kekuasaan diraja dan daulah-daulah di al Maghrib itu. Kemudian sekali adalah perjalanan saya ke Timur untuk mempersaksikan beberapa banyak cahaya yang terdapat di sana dan untuk menunaikan kewajiban haji di Makkah dan melakukan thawaf di Ka'bah serta mengunjungi Madinah, begitu juga untuk mempelajari karya-karya dan kitab-kitab tebal tentang sejarah Timur. Sebagai hasilnya, saya telah dapat menutupi kekosongan-kekosongan dalam penerangan sejarah saya tentang raja-raja Persia yang bukan Arab di negeri-negeri itu, dan tentang daulah-daulah Turki di daerah-daerah yang dikuasai mereka. Saya tambahkan keterangan ini pada apa yang saya telah tuliskan di sini sebelumnya. Saya masukkan ia dalam perbincangan tentang bangsa-bangsa dari berbagai kota-kota dan wilayah-wilayah (Ar. muluk al-amshar wa adl-dlawahi) yang sezaman dengan sukusuku bangsa Persia dan Turki tersebut. Dalam hubungan ini saya hanya ringkas dan pendek saja dan lebih menyukai sasaran yang mudah . daripada yang sulit. Saya mulai dengan daftar-daftar keturunan yang umum dan kemudian menuju ke penerangan sejarah yang lebih khusus atau terperinci. Demikianlah, karya ini mengandung. satu sejarah yang lengkap tentang dunia. Ia memaksa budiman yang sesat dan keras kepala untuk kembali ke kandangnya. Ia mengemukakan sebab-sebab dan alasan-alasan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai daulah-daulah. Ia merupakan kapal buat ilmu falsafat (Ar. alhikmah) dan penumpang buat pengetahuan sejarah. Karya ini mengandung sejarah bangsa Arab dan Barbari (Ar. al akhbar al 'Arab wa al-Barbar), baik golongan-golongan suka menetap, maupun golongan yang selalu berpindah-pindah tempat tinggalnya (Ar. al-mudun wa al-wabar). Ia juga mengandung pengrawian daulah-daulah besar yang hidup sezaman dengan mereka, dan terutama, jelas menunjukkan ibarat-ibarat (Ar. al-'ibar) yang harus dicamkan dan
diingat dari keadaan-keadaan terdahulu itu dan dari sejarah berikutnya. Karena itulah maka saya telah menamakan karya ini : "Kitab Ibarat Dan Pelukisan Sejarah Permulaan Dan Berikutnya, Menerangkan Tentang Peristiwa-Peristiwa Politik Mengenai Bangsa Arab, Asing dan Bar-Bari, Dan Kepala-Kepala Negara Yang Sezaman Dengan Mereka." (Ar. Kitab al-'Ibar wa Diwan al Mubtada' wal al-Khabar, fi Ayyam al-Arab wa al-'Ajam wa al-Barbar wa man 'Asarahum min zawi us-Sulthan al-akbar). Saya tiada meninggalkan suatupun mengenai asal-usul suku-suku bangsa (Ar. ajyal) dan daulah-daulah bangsa terdahulu (Ar. ta'asur al-umam al-awwal), mengenai sebab-sebab perubahan dan perbedaan (Ar. asbab at-tasarruf wa al-haul) di masamasa yang lampau dan di kalangan golongan-golongan agama (Ar. milal), mengenai daulah-daulah dan golongan-golongan agama, kota-kota dan desa-desa, kekuatan dan kehinaan, jumlah-jumlah besar dan jumlah-jumlah kecil, ilmu-ilmu dan kerajinankerajinan tangan, laba-laba dan rugi-rugi, keadaan-keadaan umum yang berubahubah, kehidupan berpindah-pindah dan yang tetap-menetap, peristiwa-peristiwa dini hari dan peristiwa-peristiwa yang akan datang, pendeknya segala sesuatu yang diharapkan terjadi dalam peradaban manusia. Saya perlakukan segala sesuatu itu secara luas dan mendalam dan saya terangkan dalil-dalil untuk itu dan sebab-sebab maka terjadinya. Sebagai akibatnya, maka kitab ini telah menjadi unik, karena mengandung pengetahuan-pengetahuan yang garib dan hikmah-hikmah yang tersembunyi walaupun sebenarnya biasa. Namun demikian saya masih juga yakin, bahwa ia masih belum sempurna, terutama jika saya perhatikan sarjana-sarjana di masa-masa yang lampau dan dewasa ini. Saya mengaku tidak sanggup memasuki masalah sesulit itu. Saya harap agar mereka-mereka yang berkesanggupan ilmiyah dan berpengetahuan luas melihat kitab ini dengan mata yang kritis, jangan dengan mata yang rela saja, dan secara diam-diam memperbaiki dan memperhatikan kesalahan-kesalahan yang ditemukan mereka itu. Jumlah ilmu yang dapat diberikan seorang sarjana adalah sedikit. Pengakuan kekurangan-kekurangan seseorang membantu terhadap kecamankecaman. Maka saya harapkan sangat kebaikan dari saudara-saudara semua. Dan kepada Allah saya mohon semoga amalan kita itu dapat diterima oleh-Nya. Hasbunallah wa ni'mal Wakil !
AL-MUQADDIMAH Kelebihan ilmu sejarah - Penilaian berbagai approach terhadap sejarah (Ar. tahqiqu mazahib at-tarikh) - Sekilas tentang aneka ragam kesalahan yang mungkin diperbuat ahli sejarah Sesuatu tentang kenapa kesalahan-kesalahan ini terjadi. Sesungguhnya patutlah diketahui, bahwa sejarah adalah satu mata pelajaran (Ar. fan) yang mempunyai sejumlah madzhab yang berbagai macamnya. Faedahfaedahnya adalah sangat banyak, dan tujuannya adalah mulia. Sejarah membuat kita berkenalan dengan keadaan-keadaan dari bangsa-bangsa yang telah lalu sesuai dengan pantulan karakter (Ar. akhlaq) nasional mereka. Ia memperkenalkan kita dengan perjalanan hidup Nabi-nabi dan dengan daulah-daulah (negara-negara) dan haluan-haluan politik dari para kepala negara. Maka barangsiapa ingin dapatlah ia mengambil faedah dengan berusaha meniru contoh-contoh dalam sejarah itu, baik dalam soal-soal keagamaan, maupun dalam soal-soal keduniaan. Menulis sejarah meminta banyak sumber-sumber dan aneka macam pengetahuan yang luas. Ia juga meminta satu pandangan (Ar. nadzar) yang sehat mendalam. Kedua
sifat ini membawa para ahli sejarah kepada kebenaran (Ar. Al-haq) dan menjauhkannya dari kekhilafan-kekhilafan dan kesalahan-kesalahan. Jika ia mempercayai saja berita sejarah (Ar. al akhbar) dalam bentuk sederhananya sewaktu ia disampaikan dan tiada mempunyai pengetahuan yang baik tentang prinsip-prinsip yang terbit dari adat-istiadat (Ar. usul al-'adat), kaedah-kaedah politik (Ar. qawaid alsiyasah), watak peradaban (Ar. thabi'at al-'umran), atau keadaan-keadaan yang menentukan susunan kemasyarakatan manusia (Ar. al-ahwalu fi al-ijtima' al-insani), dan jika seterusnya ia tidak pula memperbandingkan bahan-bahan yang telah lampau itu dengan bahan-bahan yang lagi sedang terjadi, atau yang lagi terjadi itu dengan yang telah lampau, maka acapkali tidaklah ia akan mengelakkan dirinya dari keadaan terserandung, tergelincir dan tersesat dari jalan kebenaran (Ar. jadat al-shidqi). Para ahli sejarah (Ar. al Muarrikhun), para ahli tafsir (Ar. al Mufassirun) dan para ahli penyampai (Ar. a-im-mat al-naql) yang terkemuka selalu saja melakukan kesalahan-kesalahan dalam riwayat-riwayat dan peristiwa-peristiwa (Ar. al-waqa-i') yang mereka sampaikan. Mereka telah menerima segala itu dalam bentuk asli sewaktu penyampaian, tanpa memberi perhatian sedikitpun pada nilai sebenarnya. Mereka tidak menyesuaikannya dengan asal-usulnya pun tidak memperbandingkannya dengan bahan-bahan lain serupa itu. Mereka juga tidak mencobanya secara lebih mendalam dengan ukuran falsafat (Ar. mi'yar al-hikmah), dengan bantuan pengetahuan tentang watak benda-benda (Ar. thaba-i' al-kainat), atau dengan pertolongan pandangan (Ar. an-nadzar) dan tinjauan sejarah (Ar. al-bashirah fi al-akhbar). Karenanya maka mereka terseleweng dari kebenaran dan mendapati diri mereka tersesat di padang pasir kewahaman dan kesalahan-kesalahan. Ini adalah terutama mengenai soal angka-angka (Ar. ihsa-i al-a'dad), baik angkaangka tentang jumlah-jumlah uang, maupun angka-angka tentang jumlah-jumlah tentara, kapan saja ia tercantum dalam riwayat-riwayat (Ar. fi al-hikayat). Ia memberi kesempatan baik bagi suatu penerangan palsu dan merupakan pendukung bagi pernyataan-pernyataan bohong. Maka tidak boleh tidak ia harus dikembalikan kepada asal-mulanya dan diawasi dengan bantuan fakta-fakta yang ada. Kesalahan Angka-Angka Pada Bani Israil Sebagai contoh misalnya, al Mas'udi dan beberapa banyak ahli sejarah lainnya, mengatakan bahwa Nabi Musa as telah menghitung-hitung banyaknya (jumlah) tentara Israil di padang pasir at-Tih. Beliau telah menyuruh latih semua mereka yang telah sanggup memanggul senjata, terutama mereka yang telah berumur dua puluh tahun atau lebih. Ternyata semuanya berjumlah 600.000 atau lebih. Dalam hubungan ini al-Mas'udi lupa untuk memperhatikan apakah Mesir dan Syria ada kemungkinan untuk memiliki tentara sedemikian banyak. Setiap kerajaan (Ar. mamlakah) tentu mempunyai tentara sebesar yang mungkin dapat dimiliki dan dipeliharanya, akan tetapi tidak akan lebih dari itu. Kenyataan ini dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah terkenal dan hal-ihwal yang telah lazim (Ar. alahwal al-ma'lufah). Apalagi jika diketahui bahwa satu tentara sebesar itu tidaklah akan dapat maju (Ar. zahaf) dan berperang sebagai satu kesatuan. Seluruh medan pertempuran yang ada itu menjadi kekecilan baginya. Jika ia berada dalam formasi pertempuran, maka ia meluas menjadi dua kali, tiga kali atau beberapa kali lagi di luar kesanggupan jarak pandangan mata. Maka bagaimanakah kedua pihak (Ar. fariqan) seperti itu dapat saling bertempur, ataupun formasi tempur (Ar. As-shaf) yang satu dapat mengalahkan formasi tempur lainnya, padahal sayap-barisan (Ar. janib) yang satu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh sayap-barisan lainnya ! Situasi di masa
sekarang ini membuktikan kebenaran pernyataan ini. Dan masa yang lampau itu menyerupai masa yang akan datang akibat air setetes menyamai tetesan air lainnya. Selanjutnya patutlah diketahui, bahwa raja Persia dan daulah (negara)nya adalah jauh lebih besar dari raja Bani Israil. Kenyataan ini jelas dari kemenangan Nebuchadnezzar (Ar. Bukhtanasr) atas mereka. Ia telah menelan negeri mereka itu dan menguasainya seluruhnya. Ia juga telah menghancurkan Baitul-makdis (Er. Yerusalem), pusat agama dan pusat politik mereka. Padahal ia hanyalah salah seorang dari para pegawai propinsi Fars. 5) Orang mengatakan bahwa ia adalah gubernur dari daerah perbatasan barat. Propinsi-propinsi Persia dari kedua 'Iraq, 6) Khurasan. Transoxania (Ar. ma wara-an nahr), dan daerah Derbend di Laut Kaspia (Ar. alabwab) adalah jauh lebih luas dari kerajaan-kerajaan Bani Israil. Namun begitu tentara Persia tidak mencapai jumlah sebanyak demikian. malah mendekati demikianpun tidak. Pemusatan yang terbesar dari pasukan-pasukan Persia di Qadisiyah berjumlah 12.000 orang, kesemuanya mempunyai para pengikut (pembantu) masing-masing. Ini adalah menurut Saif 7) yang mengatakan, bahwa bersama-sama dengan para pengikut mereka, mereka berjumlah lebih dari 200.000 orang. Menurut 'Aisyah dan az-Zuhri, 8) pemusatan dari tentara Rustum yang menyerang Sa'ad di al-Qadisiyah hanya berjumlah 60.000 orang, kesemuanya punya para pengikut masing-masing. Maka jika kaum Bani Israil sesungguhnya berjumlah sebanyak tersebut itu, tentu luas daerah di bawah kekuasaan mereka akan lebih besar, karena sesungguhnya luas kesatuan-kesatuan administrasi negeri (Ar. al-'amalat) dan propinsi-propinsi di bawah sesuatu daulah (negara) tertentu adalah berbandingan langsung dengan luas tentaranya dan golongan-golongan yang menyokong daulah itu, sebagaimana akan dijelaskan nanti dalam Pasal tentang Propinsi-propinsi dari Buku Pertama. Kini sudahlah jelas diketahui, bahwa daerah Bani Israil itu tidaklah meliputi satu wilayah yang lebih luas dari propinsi Yordania dan Palestina di Syiria dan negeri Yathrib 9) dan Khaibar di al-Hijaz. Juga bahwa, menurut para sarjana yang amat mengetahui hanya ada empat generasi antara Musa dan Israil, yaitu : Musa adalah anak dari 'Amran, anak dari Yishar (Er. Izhar), anak dari Qahits (Er. Kohath), anak dari Lawi (Er. Levi), anak dari Yaqub (Er. Yacob), dan ia inilah Israil-Allah. Demikianlah silsilah Musa menurut Taurat. Jangka waktu antara Israil dan Musa telah ditentukan oleh al-Mas'udi ketika ia berkata : "Israil memasuki Mesir dengan anak-anaknya, suku-suku bangsa dan anakanak mereka, ketika mereka datang pada Yusuf sebanyak tujuh puluh jiwa. Lamanya mereka tinggal di Mesir sampai mereka meninggalkannya bersama Musa menuju padang pasir at-Tih adalah dua ratus dua puluh tahun. Selama masa-masa itu rajaraja Kopt (Ar. al-Qibt), yakni Fir'aun-fir'aun, telah menyerahkan mereka itu sebagai rakyat mereka dari satu kepada lainnya." Maka tidaklah mungkin kiranya, yang keturunan-keturunan dari satu orang dapat berkembang biak menjadi sejumlah tersebut tadi dalam jangka waktu empat keturunan. Ada sangkaan bahwa jumlah serdadu itu ditujukan pada zamannya Sulaiman dan yang berkuasa sesudah beliau. Tetapi juga ini tak mungkin. Antara Sulaiman dan Israil hanya ada sebelas keturunan, yaitu : Sulaiman, anak dari Daud, anak dari Isya (Er. Yesse), anak dari 'Ufidz (Er. Obed), anak dari Ba'az (atau Bu'iz, Er. Boaz), anak 5
Propinsi Fars telah memberikan namanya pada seluruh daerah Persia. O.R Yaitu Mesopotamia dan Persia Barat Laut yang berdekatan dengannya. 7 Yakni Saif ibn 'Umar al-Asadi, meninggal tahun 345 H. atau 956 M. 8 Yakni Muhammad Ibn Muslim yang meninggal antara tahun 123 dan 125 H atau 740 dan 741/742 M 9 Yakni Madinah sekarang. 6
dari Salmun (Er. Salmon), anak dari Nahsyun (Er. Nahsbon), anak dari Aminazas (Er. Amminadab), anak dari Ram, anak dari Hasrun (Er. Hezron), anak dari Baras (Er. Perez), anak dari Yahuza (Er. Yudah), anak dari Yakub. Keturunan-keturunan dari satu orang dalam sebelas generasi tidaklah akan berkembang-biak menjadi satu jumlah seperti itu, sebagaimana disangkakan. Mereka sesungguhnya tentu dapat mencapai angka ratusan atau ribuan. Ini sering terjadi. Tetapi suatu pertumbuhan yang melampaui itu menuju angka-angka yang lebih tinggi lagi tidaklah mungkin. Perbandingan dengan kenyataan-kenyataan dinihari yang dapat dilihat dan yang baru saja berlalu yang masih amat terkenal (Ar. fil hudhir almusyahid wal qarib al ma'ruf) membuktikan, bahwa sangkaan itu tidak benar dan penyampaian itu bohong. Menurut pernyataan yang tegas dari Cerita-cerita Israiliah, tentara-tentara Sulaiman itu berjumlah 12.000 orang dan kuda-kudanya (Ar Muqarrabat) berjumlah 1.400 ekor, dan dikandangkan di istananya. Inilah keterangan yang sahih. Maka janganlah percaya pada keterangan-keterangan bohong dari para juru penerang pasaran. Pada zaman Sulaiman as, Negara Israil berkembang sebesar-besarnya dan daerahdaerah kekuasaannya luas sekali. Dan telah kita dapati selalu, bahwa orang-orang sezaman jika mereka sendiri atau yang terdekat dengan mereka, dan memperbincangkan tentang tentara-tentara Islam atau Kristen, atau jika mereka sampai pada menghitung-hitung penghasilan-penghasilan pajak (Ar. amwal al jabayat) dan pengeluaran-pengeluaran pemerintah (Ar. kharaj al-sulthan), penghasilan-penghasilan dari manusia-manusia pemboros (Ar. nafaqat al mutarrafin), dan barang-barang yang dimiliki oleh kaum hartawan yang subur-makmur, mereka pada umumnya berlaku berlebih-lebihan, melampaui batas-batas yang biasa, dan menyerah pada imbauan sensasi. Jika para pembesar yang bertugas ditanyakan tentang tentara-tentara mereka, jika barang-barang dan penghasilan-pengliasilan kaum hartawan harus ditaksir, dan jika penghasilan-penghasilan dari manusia-manusia pemboros mesti dilihat secara terang, maka angka-angka tentang itu akan kita dapatilah melonjak sepuluh kali dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh orang yang bersangkutan. Sebabnya adalah sederhana, yaitu keinginan biasa untuk sensasi (Ar. al-walu' an-nafs bil ghara-ib), keenakan dalam menyebut angka-angka tinggi, dan ketiadaan perhatian pada para pemerhati dan para pengeritik. Ini kemudian membawa pada kegagalan dalam pengecaman diri sendiri tentang kesalahan-kesalahan dan tujuan-tujuannya, dalam meminta pada diri sendiri kesederhanaan dan kejujuran dalam pemerintahan, dalam mengambil tindakan baru untuk pembahasan dan penyelidikan. Para ahli sejarah seperti ini merusak diri mereka sendiri dan mereka berpesta dengan pernyataan-pernyataan bohong. Mereka mengambil ayat-ayat Allah sebagai mainan dan membeli kabar-kabar kosong untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. 10) Sungguh ini satu pekerjaan yang amat buruk ! Kesalahan-Kesalahan Mengenai Sejarah Yaman Satu contoh yang lain dari kabar-kabar bohong para ahli sejarah ialah sejarah kaum at-Tubba' 11) yakni raja-raja Yaman dan semenanjung Arabia, seperti umumnya telah disampaikan pada kita. Dikabarkan, bahwa dari tempat-tempat mereka di Yaman itu kaum at-Tubba' telah menyerang Afrika dan (suku) bangsa Barbari di negeri alMaghrib. Afriqusy ibn Qais ibn Shaifi, yaitu seorang di antara raja-raja besar 10 11
Al Qur-an : XXXI : 6 (5). Kaum at-tubba' ini ada tersebut dalam al-Qur-an L: 14 dan XLIV : 37. Lihat di sana.
terdahulu mereka yang hidup di zaman Musa as, atau agak terdahulu dari itu, dikabarkan telah menyerang Afrika dan melakukan satu pembunuhan besar-besaran di kalangan (suku) bangsa Barbari. Dialah yang memberi nama Barbari (Ar. al-Barbar) itu, yakni ketika ia mendengar kata-kata karut (Ar. rathanah) mereka dan bertanyatanya apakah al-Barbarah itu. Ini telah memberikan pada mereka satu nama yang telah abadi bagi mereka sampai hari ini. Ketika ia meninggalkan al-Maghrib, dikabarkan bahwa ia telah memusatkan di sana beberapa kabilah dari suku-bangsa Himyar. Mereka ini tinggal menetap di sana dan bercampur-baur dengan bumi putera di sana. Di antara keturunan-keturunan mereka itu ialah Shinhajah dan Kutamah. Inilah yang telah membuat at-Thabari, aljurjani, al-Mas'udi, Ibn al-Kalbi dan al-Baihaqi 12) untuk menyatakan, bahwa Shinhajah dan Kutamah itu adalah termasuk dalam suku bangsa Himyar. Para ahli keturunan (Ar. nassabah) Barbari tidak hendak mengakui ini dan mereka adalah benar. Al-Mas'udi pun pernah mengatakan juga bahwa salah seorang dari raja-raja Himyar setelah Afriqusy, yaitu Dzul-Adz'ar, yang hidup di zaman Sulaiman as, telah menyerang negeri al-Maghrib dan memaksanya menyerah kalah sekali. Hal yang serupa itu pula telah dikatakan oleh al-Mas'udi mengenai anak yang menggantikannya, yaitu Yasir. Dikatakan tentangnya bahwa ia telah mencapai Wadi ar-Raml (Ind. Sungai Pasir) di al-Maghrib, akan tetapi tidak sanggup mengharunginya disebabkan amat luasnya padang pasir tersebut. Karenanya, iapun balik kembali. Dan seperti itu pula telah dikatakan bahwa raja Tubba' yang akhir, yaitu As'ad Abu Karib, yang hidup di zaman raja Persia Yastasb (Er. Vishtaspa dari Pers. Bishtasp), dari keturunan raja-raja al-Kayyaniah (Er. Achaemenids), adalah raja dari Mosul dan Azerbaijan. Ia dikatakan telah menghadapi dan menghancurkan orangorang Turki dan menyebabkan timbulnya satu penumpahan darah di kalangan mereka. Kemudian ia menggempur mereka lagi untuk kedua kalinya dan untuk ketiga kalinya. Sesudah itu ia dikabarkan telah mengirim tiga orang puteranya untuk penyeranganpenyerangan, satu untuk menyerang negeri Fars, satu untuk Soghdian, yakni salah satu dari suku-suku bangsa Turki di Transoxania (Ar. wara-an nahr) dan satu lagi untuk negeri Rum (Er. Byantium). Maka putera yang pertama itu menguasai negeri tersebut hingga sampai ke Samarkand dan menyeberangi padang pasir menuju ke Tiongkok. Di sana didapatinya saudaranya yang kedua yang telah menyerang negeri Soghdian dan telah tiba di Tiongkok lebih dahulu sebelumnya. Kedua mereka ini telah menimbulkan satu penumpahan darah di Tiongkok dan akhimya mereka bersama-sama pulang penuh dengan harta-harta rampasan. Mereka tinggalkan di Tiongkok itu 13) beberapa kabilah dari suku bangsa Himyar. Dan mereka telah berada di sana hingga hari ini. Putera yang ketiga dikabarkan telah tiba di Konstantinopel. Ia telah menyerang kota tersebut dan memaksa negeri Rum (Byzantium) untuk menyerah kalah. Kemudian ia pun pulang kembali. Segala penerangan (Ar. al-akhbar) ini adalah jauh dari kebenaran. Ia berakar pada waham-waham yang salah dan tiada berdasar sama sekali. Ia menyerupai kabar-kabar alkissah dari tukang-tukang cerita. Daerah kerajaan kaum Tubba' (Ar. mulku atTubbabaah) itu adalah terbatas di semenanjung Arabia saja. Tempat dan kedudukan mereka ialah San'a di Yaman. Seperti diketahui semenanjung Arabia itu adalah dilingkari oleh lautan di tiga jihat : di selatan Samudera Indonesia, di timur Teluk 12
Di naskah lain tersebut al Bili, bukan al-Baihaqi. OR. Menurut naskah lain di Tibet. OR
13
Persia (Ar. Bahrul fars), menjulur dari Samudera Indonesia hingga Basrah, dan di barat Laut Merah (Ar. Bahr al-Suis), menjulur dari Samudera Indonesia hingga Suez di Mesir. Ini dapat dilihat di atas peta. Tidaklah ada jalan dari Yaman ke al-Maghrib, kecuali lewat Suez. Jarak antara Laut Merah dan Laut Tengah (Ar. al-bahr asy Syami), adalah dua hari perjalanan atau kurang. Adalah amat jauh dari kemungkinan, bahwa jarak itu dapat ditempuh tembus oleh seorang raja besar dengan tentaranya yang besar pula, kecuali jika ia menguasai daerah tersebut. Menurut kebiasaan ini tidaklah mungkin. Di daerah itu terdapat suku-suku bangsa Amalekit (Ar. al'amaliqah) dan Kanaan (Ar. Kan'an) di Syria, dan suku bangsa Kopt (Ar. al-Qibt) di Mesir. Kemudian harinya, suku-suku bangsa Amalekit itu menguasai Mesir dan kaum Bani Israil menguasai Syria. Akan tetapi tidak ada satu laporan pun yang mengatakan, bahwa kaum at-Tubba' itu pernah memerangi salah satu dari (suku-suku) bangsa ini atau bahwa mereka itu pernah menguasai sesuatu bagian tertentu dari daerah tersebut. Apapula jarak dari Yaman ke al Maghrib itu adalah sangat jauh dan tentara menghajati pada makanan (Ar. al-azwidah wa al- 'lufah) yang banyak untuk para prajurit dan hewan-hewan pengangkut. Tentara yang hendak melintasi daerah-daerah orang lain memerlukan persediaan-persediaan gandum dan binatang-binatang dan perampasan negeri-negeri (Ar. intihab al-bilad) yang mereka lalui. Menurut kebiasaan segala itu tidak mencukupi untuk makanan para prajurit dan hewan-hewan. Sebaliknya, jika mereka berusaha membawa bersama mereka bahan-bahan makanan secukupnya maka mereka tentu bakal tidak mempunyai cukup binatang-binatang lagi untuk pengangkutan. Dengan demikian, seluruh barisan mau tak mau harus membawa mereka melalui daerah-daerah yang mesti dikuasainya dan mesti dipaksanya menyerah-kalah untuk memperoleh makanan mereka. Maka sekali lagi, sungguh amat jauhlah dari kemungkinan, bahwa tentara seperti itu dapat melalui semua bangsabangsa itu tanpa mengusik mereka dan memperoleh perbekalan mereka dengan berunding secara damai (Ar. bil musalamah). Ini menunjukkan bahwa segala penerangan tentang penyerangan-penyerangan kaum Tubba' ke al-Maghrib itu adalah fantastis dan penuh ketololan. Dan tentang Wadi ar-Raml yang dikatakan tak terharungi itu, orang tak pernah mendengarnya di al-Maghrib, padahal negeri al-Maghrib itu telah kerap kali dijelajahi manusia dan jalan-jalannya diketemukan oleh para pengembara dan para penggempur di segala zaman dan jurusan. Di sebabkan oleh sifat yang sangat aneh dari cerita itu, maka besarlah kegemaran untuk meneruskannya terus-menerus. Tentang apa yang dinamakan penyerangan kaum Tubba' ke negeri-negeri di Timur dan negeri Turki, haruslah diakui bahwa garis maju dalam hal ini adalah lebih luas dari terusan sempit di Suez. Akan tetapi jaraknya adalah lebih besar, dan bangsabangsa Persia dan Byzantium (Ar. ar-Rum) berada di pertengahan dari jalan menuju Turki itu. Dan tidaklah ada laporan, bahwa kaum Tubba' itu pernah menguasai (Ar. malaku) negeri-negeri Persia dan Byzantium. Mereka hanya memerangi orang-orang Persia di perbatasan-perbatasan Iraq dan di perbatasan-perbatasan negeri-negeri Arab antara al-Bahrain dan al-Hirah, yang merupakan daerah-daerah perbatasan bagi kedua bangsa tersebut. 14) Peperangan-peperangan ini telah terjadi antara raja Tubba' Dzu'lAdz'ar dengan raja al-Kayyaniah Kaikawus, dan kemudian antara raja Tubba' alAshghar Abu Karib dengan raja al-Kayyaniah Yastasb (Er. Bisthasp).
14
menurut Prof. Franz Rosenthal : al-Hirah yang terletak di sungai Furat (Er. Euphrat) adalah ibukota dari negarapenyanggah Lakhmid yang berada di bawah pengawasan Persia. Yang dimaksud al-Bahrain di sini bukanlah khusus pulau-pulau seperti dikenal sekarang ini, tetapi al-Bahrain dahulu, yang di dalamnya termasuk juga pesisir barat-laut dari Teluk Persia.
Di kemudian hari ada lagi peperangan-peperangan dengan para raja dari dinastidinasti yang menggantikan al-Kayyaniah, dan pada gelerannya, dengan pengganti mereka lagi, yaitu dinasti as-Sasaniyah (Er. Sasanid). Akan tetapi menurut kebiasaan seyogianya tidaklah mungkin buat kaum Tubba' untuk menjelajah negeri Persia dalam petualangan mereka hendak menyerang negerinegeri Turki dan Tibet, disebabkan bangsa-bangsa yang harus dihadapi di tengah jalan dalam menuju ke Turki itu, disebabkan kebutuhan pada perbekalan-perbekalan dan makanan-makanan, sebagaimana juga jarak yang sangat jauh, seperti sudah tersebut di atas. Maka itu segala kabar-kabar tentangnya adalah khayal dan tolol. Sekalipun cara penyampaian kabar-kabar itu sehat, pokok-pokok soal yang disebut itu akan menimbulkan curiga atasnya. Apalagi kabar-kabar itu memang harus dicurigakan karena cara penyampaiannya adalah tidak sehat. Ibn Ishaq berkata dalam keterangannya tentang Yathrib (Madinah) dan Aws dan Khazraj, bahwa raja Tubba' yang terakhir telah pergi ke arah Timur menuju Iraq dan Persia, akan tetapi suatu serangan dari raja Tubba' terhadap negeri-negeri Turki dan Tibet tidak dibenarkan betapapun oleh kenyataan-kenyataan yang ada. Maka penentuan-penentuan ke jurusan ini seyogianya janganlah dipercaya. Segalapeperangan seperti itu seharusnya diselidiki dan disesuaikan dengan ukuran-ukuran yang sehat. Akibatnya nanti ialah, bahwa ia akan dihancurkan dengan sebaik-baiknya. Allah adalah penunjuk kepada kebenaran. Kesalahan-Kesalahan Mengenai 'Ad Dan Iram Lebih jauh lagi dari apa yang tersebut di atas dan malah penuh dengan sangkaansangkaan ialah penafsiran umum dari ayat Surat al Fajr yang berbunyi : "Tiadakah kamu lihat bagaimana Tuhanmu telah berbuat dengan 'Ad-Iram, yang mempunyai tiang-tiang ? (A1 Qur-an LXXXIX : 6-7). Para ahli tafsir menjadikan perkataan Iram itu nama dari suatu kota yang digambarkan sebagai mempunyai tiang-tiang, yakni tonggak-tonggak besar dari batu (Ar. asathin dari usthuanah). Mereka katakan bahwa 'Ad bin Ush Ibn Iram mempunyai dua orang anak, yaitu Syadid dan Syadad, yang memerintah sesudahnya. Syadid kemudian musnah, sehingga menjadilah Syadad satu-satunya raja dalam kerajaan itu. Raja-raja lainnya di sana semua menyerah kepada kekuasaannya. Ketika Syadad pada suatu hari mendengar suatu penggambaran tentang Sorga, iapun berkata : "Akan kudirikan sesuatu yang seperti itu." Maka didirikannyalah kota Iram di atas padang pasir Aden (Ar. 'Adan) dalam jangka waktu tiga ratus tahun. Ia sendiri mencapai usia sembilan ratus tahun. Orang mengatakan bahwa kota itu besar sekali, penuh dengan puri-puri dari emas dan perak dan tiang-tiang dari zabarjad dan yaqut, di dalamnya tumbuh aneka macam pohon-pohonan dan sungai-sungai mengalir dengan bebasnya. Ketika pembinaan kota itu telah selesai, Syadad pun pergilah ke sana dengan rakyat kerajaannya. Akan tetapi ketika ia sampai pada jarak sehari semalam dari kota itu, Tuhan menyampaikan satu suara gemuruh dari langit dan musnahlah semua mereka itu. Demikian diriwayatkan oleh At-Thabari, As-Tsa'labi, Az-Zamakhsyari, dan para ahli tafsir lainnya. Mereka menyampaikan berita berikut ini semata-mata berdasarkan kepercayaan pada salah seorang dan para sahabat Nabi yang bernama 'Abdullah Ibn Qilabah 15). Ia ini pada suatu hari telah keluar mencari beberapa untanya. Maka ia 15
Seorang yang tiada dikenal sama sekali dalam sejarah hidup Nabi, kecuali dalam huhungan cerita ini sematamata. OR.
ketemukan kota tersebut itu dan mengambil daripadanya sekuasa ia dapat membawanya. Ceritanya itu akhirnya sampai pada Mu'awiyah, yang segera mengeluarkan perintah agar ia dibawa kepadanya, dan berceriteralah ia tentang kabar itu. Mu'awiyah kemudian mendatangkan Ka'ab al-Akhbar dan menanyakannya tentang itu. Maka berkatalah Ka'ab : "Itulah dia Iram, yang mempunyai tiang-tiang. Iram akan dimasuki oleh seorang Muslim di zamanmu, merah pekat kulitnya, pendekpendek tubuhnya, atas keningnya ada tahi lalat, begitu pula atas kuduknya, dan ia itu keluar mencari beberapa unta kepunyaannya." Kemudian ia pun memalingkan muka, dan ketika terlihat olehnya Ibn Qilabah, berkata sekali :"Ya Allah, ini rupanya orang itu ! " Sejak itu tiada pernah orang mendengar kabar apa-apa tentang kota tersebut di manapun di dunia ini. Padang pasir Aden, di mana kota itu dikatakan telah didirikan, terletak di tengah-tengah negeri Yaman. Keramaiannya tiada pernah terhenti dan para pengembara dan penunjuk jalan telah menjelajah jalan-jalannya di segala jurusan. Namun demikian, tiada pernah orang meriwayatkan tentang kota itu. Tidak ada pengabar berita lama, tidak ada bangsa yang menyebut-nyebutnya. Kalau para ahli tafsir mengatakan bahwa kota itu telah lenyap sama sekali sebagaimana lenyapnya benda-benda kuno lainnya, ini lebih dapat diterima akal, akan tetapi mereka sengaja telah mengatakan bahwa kota itu masih ada. Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa kota itu ialah Damascus (Ar. Damasyq) karena Damascus pernah berada dalam kekuasaan kaum 'Ad. Lebih gila lagi ucapan beberapa di antara mereka yang mengatakan, bahwa kota itu adalah gaib dan hanya dapat diketemukan oleh mereka yang terlatih dan ahli-hali sihir. Segala ini adalah sangkaan-sangkaan yang lebih baik dinamakan omongan-omongan kosong (Ar. Al Khurafat) belaka. Segala yang dikemukakan para ahli-tafsir itu adalah akibat dari peninjauanpeninjauan dari sudut ilmu bahasa, karena paramasastera Arab menghendaki sebutan "dzatil'imad" (Ind. yangmempunyai tiang-tiang) menjadi sifat dari Iram. Perkataan "al'imad (Ind. tiang-tiang) diartikan bermakna tonggak-tonggak besar dari batu-batu (Ar. al-asathin). Dengan demikian Iram telah diperkecil maknanya menjadi suatu jenis dari bangunan. Para ahli-tafsir Al Qur-an telah dipengaruhi dalam penafsiran mereka itu oleh pembacaan cara qiraat Ibn az-Zubair 16) yang membaca sebutan itu dengan idlafah tanpa tanwin, yaitu : 'Adi Iram (artinya : 'Ad dari Iram) dan bukan 'Adin dengan tanwin. Mereka kemudian menerima berita-berita tersebut yang sebenaraya lebih baik dinamakan hikayat alkissah, yang sama dengan lelucon-lelucon dalam cerita-cerita penggeli hati. Sebenamya "tiang-tiang" itu adalah tiang-tiang kemah. Jika yang dimakaud dengan perkataan itu "tonggak-tonggak besar dari batu," maka tidaklah perlu dicari begitu jauh, karena kekuatan kaum 'Ad adalah sangat termasyhur dan mereka itu dapat digambarkan sebagai kaum dengan gedung-gedung dan tonggak-tonggak besar dengan cara yang biasa. Akan tetapi adalah terlalu dicari-cari untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan itu ialah suatu gedung tertentu dalam salah satu dari kota tertentu pula. Jikapun dibaca dengan idlafah, seperti halnya menurut cara pembacaan Ibn az-Zubair, maka idhafah itu ialah untuk menyatakan hubungannya dengan kabilah itu, seperti misalnya jika dikatakan : Quraisy Kinanah, Ilyas Mudlar atau Rabiah Nizar, yang artinya ialah Quraisy dari Kinanah dan begitulah seterusnya. Tidaklah ada perlunya sama sekali penafsiran yang begitu jauh yang menggunakan sebagai pokok pembahasan cerita-cerita kosong, seperti tersebut di atas, yang
16
Yakni Abdullah ibn Az-Zubair yang terkenal karena ahlinya dalam pembacaan Al Qur-an.
sesungguhnya tak dapat dipersebabkan pada Al Qur-an, karena cerita-cerita itu adalah jauh dari kebenaran. Keruntuhan Al Baramikah Suatu ceritera hikayat lagi dari para ahli sejarah, yang semua mereka turut menyampaikannya ialah mengenai sebab dari hancurnya ar-Rasyid dari al-Baramikah (Er. Barmecides), yakni kissah al-'Abbasah, saudara perempuan dari ar-Rasyid dengan Ja'far ibn Yahya ibn Khalid, mawlanya. Ar-Rasyid dikatakan menjadi masgul tentang di mana menempatkan mereka ketika ia minum-minum khamar dengan mereka. Ia hendak menerima mereka bersama-sama dalam majelisnya. Karena itu ia izinkan kedua mereka itu untuk kawin tanpa percampuran. Al-'Abbasah kemudian mengakali Ja'far dalam keinginannya hendak bercumbu-cumbuan dengan Ja'far karena al-'Abbasah sesungguhnya telah jatuh cinta padanya. Ja'far akhirnya bersetubuh dengannya dikatakan sewaktu ia sedang mabuk dan al-'Abbasah pun hamil-lah. Cerita itu disampaikan kepada ar-Rasyid yang murka dengan amat sangat. Cerita ini adalah tidak sesuai dengan kedudukan al-'Abbasah, kesalehannya, keturunannya, dan ketinggian martabatnya. Ia adalah puteri keturunan 'Abdullah ibn 'Abbas dan jauh darinya hanya empat keturunan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling terkemuka dan besar dalam Islam. Al-'Abbasah adalah anak perempuan dari Muhammad al-Mahdi, anak dari Abdullah Abi Ja'far al Manshur, 17) anak dari Muhammad as Sajjad, anak dari 'Ali (Bapa dari Khalifah-Khalifah). 'Ali adalah anak dari ahli tafsir Al Qur-an Abdullah, anak dari pamannya Nabi saw al-'Abbas. Jadi al-'Abbasah adalah puteri dari seorang khalifah dan saudara dari seorang khalifah. Ia dilahirkan untuk kekuasaan kerajaan dan khilafah dan turunan dari orangorang sekeliling Muhammad dan paman-pamannya. Ia terikat oleh kelahiran dengan imamat Al Islam, dengan cahaya wahyu dan dengan tempat turunannya malaikat malaikat untuk membawa wahyu-wahyu itu. Ia dekat zamannya dengan watak asli kepadang-pasiran Arab (Ar. badawat al-'urubiyah), dengan sifat kesederhanaan Islam yang masih menjauhi kebiasaan kemewahan dan bidang-bidang subur untuk berbuat maksiat. Di manakah seseorang dapat mencari kesucian dan kesopanan (Ar. As-shaun wal 'afaf), jika dia itu tidak memilikinya? Dimanakah kebersihan dan kemurnian bisa diperdapat, jika kedua-duanya telah tak ada lagi di rumahnya? Bagaimanakah mungkin menghuhungkan keturunannya dengan Ja'far bin Yahya dan mengotori kebangsawanan Arabnya dengan seorang mawla dari Persia? Nenek moyangnya orang Persia itu telah diperoleh sebagai seorang budak, atau diambil sebagai mawla, oleh salah seorang dari nenek-moyangnya al-'Abbasah, yaitu paman dari Nabi dan bangsawan Quraisy, dan apa yang dilakukan Ja'far hanyalah bahwa ia beserta ayahnya telah tertarik oleh kemegahan yang sedang tumbuh dari daulah Abbasiyah dan dengan demikian akhirnya terintislah jalan naik dan diangkatlah ia pada satu martabat bangsawan (Ar. manazil al-ashraf). Dan bagaimanakah bisa terjadi yang ar-Rasyid, dengan himmahnya yang tinggi dan keturunannya yang megah, dapat membiarkan dirinya menjadi bersangkutan karena perkawinan dengan mawla-mawla Persia itu! Jika seorang yang kritis melihat pada cerita ini dengan segala kejujuran dan membanding al-'Abbasah dengan puteri dari salah seorang raja yang besar di zamannya sendiri, maka ia tentu akan merasa jijik dan tak masuk akal yang al 'Abbasah itu dapat berbuat sedemikian rupa dengan salah seorang dari mawla-mawla kerajaannya, apalagi sewaktu keluarganya sedang memegang tampuk pemerintahan 17
Diceritakan lainnya disebut juga Abu Ja'far Abdullah al-Manshur.
negara. Ia pasti akan minta agar cerita itu dinyatakan tidak benar. Dan siapakah yang dapat menyamai al-'Abbasah dan ar-Rasyid dalam keagungan itu ? Penghancuran al-Baramikah sebenarnya adalah disebabkan oleh usaha mereka hendak merebut kekuasaan atas negara (Ar. istibdadihim 'ala ad-daulah) dan karena mereka telah menahan pemasukan-pemasukan pajak negara (Ar. amwal al-jibayah). Ini telah berjalan begitu jauh, sehingga ketika ar-Rasyid sendiri memerlukan uang sedikit saja, ia tidak memperolehnya. Mereka merebut persoalan-persoalannya dari tangannya dan turut campur mengambil bagian dalam segala kekuasaannya. Ia tidak berhak bersuara sama sekali bersama mereka dalam soal-soal kerajaannya. Pengaruh mereka semakin bertambah dan merekapun bertambah-tambah megahnya. Mereka mengisi kedudukan-kedudukan dan jabatan-jabatan pemerintahan dengan anak-anak dan jadi pegawai-pegawai tinggi, dan dengan demikian menutup pintu bagi orangorang lain untuk menempati kedudukan-kedudukan menteri (Ar. al-wazir) sekretaris jenderal (Ar. al-katib), panglima perang (Ar. al-qaid), kepala protokol, 18) dan kedudukan-kedudukan pada administrasi ketentaraan dan pemerintahan sipil. Dikatakan bahwa di istana ar-Rasyid itu ada dua puluh lima orang yang tergolong pegawai-pegawai tinggi, baik militer maupun sipil, dan semua mereka itu adalah anak-anak dari Yahya ibn Khalid. Di sana mereka menggagahi orang-orang kerajaan dan menggeser mereka keluar dengan kekerasan. Ini telah dapat mereka lakukan karena kedudukan ayah mereka, Yahya, yang menjadi penasehat kesayangan bagi Harun, baik sebagai putera kota maupun sebagai Khalifah. Harun memang dibesarkan dalam pangkuannya dan memperoleh segala pendidikan darinya. Harun membiarkan ia melakukan pekerjaannya dan iapun biasa berbapa kepadanya dengan memanggilnya "ya Abati" artinya "Ayahku." Sebagai akibat dari ini akhirnya Baramikahlah, dan bukan pemerintah yang melakukan segala pengaruh. Mereka semakin bersimaharajalela. Kedudukan mereka semakin bertambah-tambah berpengaruh. Mereka menjadi pusat perhatian. Semua taat pada mereka. Segala harapan-harapan ditujukan pada mereka. Dari batas-batas negeri yang sejauh-jauhnya hadiah-hadiah dan pemberian raja-raja dan amir-amir dipersembahkan kepada mereka. Uang pajak mengalir ke dalam khazanah mereka sebagai saluran orang untuk diperkenalkan kepada mereka dan untuk memikat kasih sayang mereka. Pemberian-pemberian dan kemurahan-kemurahan mereka berikan kepada orang-orang Syi'ah 19) dan kerabat-kerabat yang penting dari Nabi. Yang miskin dari keluarga-keluarga bangsawan yang ada sangkutannya dengan Nabi mereka berikan sesuatu untuk nafkah. Mereka memerdekakan orang-orang tangkapan. Begitulah, mereka telah diberi puji-pujian sebagaimana tidak pernah diberikan kepada khalifah mereka. Mereka melimpahi keistimewaan-keistimewaan dan hadiah-hadiah atas mereka yang datang memohon kurnia dari mereka. Mereka memegang pengawasan atas desa-desa dan tanah-tanah perladangan di daerah pedalaman dan dekat kota-kota besar di setiap propinsi. Pada akhirnya pihak al-Baramikah itu menyakiti hati kalangan dalam dari istana (Ar. al-bithanah). Mereka menimbulkan kebencian di antara kaum elite (Ar. al khashshah) dan membangkitkan amarah pada pegawai-pegawai tinggi (Ar. ahl alwilayah). Kecemburuan dan kedengkian berbagai corak mulai memperlihatkan dirinya, dan kala-kala intrigue merayaplah dalam tempat-tempat empuk dalam pemerintahan.
18
Ar. al-hajib arti sebenarnya ialah penjaga pintu, tetapi sesuai deugan keadaan sekarang saya artikan saja : kepala protokol. 19 Dimaksudkan di sini tentunya orang-orang Syi'ah dari golongan 'Alawiyah dan bukan 'Abbasiyah.
Keluarga atau banu Qahthabah, yaitu paman-paman Ja'far dari pihak ibunya, memimpin persekongkolan terhadap mereka. Perasaan-perasaan ikatan darah dan hubungan-hubungan kekeluargaan tak dapat meredakan atau menjauhkan keluarga Qahthbah dari hasad dengki yang telah membatu dalam hati semua mereka. Ini bersatu pula dengan cemburu yang mulai timbul pada yang dipertuan agung mereka (yaitu ar-Rasyid) dengan kebenciannya pada pembatasan-pembatasan dan pada sifat berkuasa sendiri, dan dengan kebenciannya yang menggelora nyata oleh tindakantindakan congkak di pihak al-Baramikah. Dalam mereka terus juga subur sebagaimana biasanya, terjerumuslah mereka ke dalam satu insubbordinasi besar (Ar. kibar al-mukhalafah), seperti nampak misalnya pada sikap mereka dalam soal Yahya ibn Abdullah ibn Hasan ibn al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib, saudara dari Muhammad 20) al-Mahdi yang terkenal dengan sebutan "Si jiwa Bersih" (Ar. an-Nafs az-Zakiyah), yang telah berontak terhadap al-Manshur. Yahya ini adalah orang yang dibawa balik oleh al Fadhl ibn Yahya dari negeri Dailam atas suatu surat keterangan aman dari ar-Rasyid yang ditulis dengan tangannya sendiri. Menurut at-Thabari, al-Fadhl telah membayar satu juta dirham (Ar. alf alf dirham) dalam soal ini. Ar Rasyid telah menyerahkan Yahya itu kepada Ja'far untuk ditahan di rumahnya dan diamat-amatinya sendiri. Maka ditahanlah ia itu buat beberapa waktu lamanya, tetapi didorong oleh purbasangka, Ja'far akhirnya atas keputusannya sendiri telah membebaskan Yahya itu, terutama karena hormatnya pada darah turunan ahli bait Nabi seperti selamanya menjadi pendapatnya, dan juga untuk memperlihatkan purbasangkanya terhadap Pemerintah. Ketika soal ini dilaporkan orang kepada ar-Rasyid, ia ini segera menanyakan Ja'far tentang soal Yahya itu. Ja'far arif akan maksudnya dan karena itu mengatakan, bahwa dialah yang telah menyuruhnya pergi. Ar-Rasyid pada dzahirnya kelihatan menyetujuinya dan menahan sakit hatinya bagi dirinya sendiri. Dengan demikian Ja'far sendiri telah melempengkan jalan bagi kehancuran dirinya sendiri dan keluarganya, yang berakhir dengan rubuhnya singgasana mereka, dengan langit-langit berjatuhan atas diri mereka dan tanah runtuh-rubuh bersama mereka dan rumah mereka. Hari-hari kemegahan mereka menjadilah suatu barang dari zaman yang lampau, suatu contoh teladan bagi generasi-generasi yang akan datang. Barangsiapa mempelajari dengan teliti riwayat mereka dan dengan seksama memeriksa tatacara pemerintahan dan tingkah laku mereka, tentu akan berpendapat, bahwa segala itu adalah sesuai dengan kebiasaan dan jelas sebab-musababnya. Jika kita perhatikan pengabaran Ibn 'Abd rabbih 21) tentang percakapan ar-Rasyid dengan paman kakeknya Dawud ibn 'Ali mengenai keruntuhan al-Baramikah, demikian pula ceramah-ceramah malam hari dari al-Ashma'i dengan ar-Rasyid dan al-Fadhl ibn Yahya sebagaimana tersebut dalam bab para penyair dari Kitab al 'Iqd, maka tentu diketahui bahwa sungguhnya cemburu dan perebutan kekuasaan (Ar. al-munafasah fi al-istibdad) sebenarnya berarti perebutan pengawasan- semata-mata di pihak khalifah dan para pengikutnya yang telah membunuh mereka. Faktor lainnya ialah syair-syair yang secara diam-diam telah diberikan kepada para penyanyi oleh musuh-musuh dalam selimut dari al Baramikah yang bercokol dalam istananya sendiri, dengan maksud supaya dinyanyikan mereka dan dengan demikian khalifah tentu mendengarnya sehingga kebenciannya yang sudah bertumpuk-tumpuk terhadap mereka itu semakin bertambah-tambah menggelora. 20
Yaitu Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ibn al-Hasan (cucu Nabi). Lakap al-Mahdi itu dipakainya sejak ia ke al Hijaz. 21 Yaitu Ahmad Ibn Muhamad, yang hidup 246 -328 H atau 860 - 940 M. Lihat pada C. Brockelmann : Geschichte der Arabischen Literatur, Weimar, 1898, Berlin 1091. OR
Syair itu berbunyi begini : Semoga Hindun dapat memenuhi janjinya pada kita, Dan menolong kita dari kesulitan yang dihadapi, Dan sudi bertindak sendiri untuk sekali saja, Yang tidak pernah bertindak sendiri itu, itulah dia Pelemah ! " 22) Ketika ar-Rasyid mendengar syair ini iapun berteriak "Ai wallahi, sesungguhnya aku Pelemah juga !" Maka dengan cara-cara seperti ini dan yang serupa itu, musuh-musuh al Baramikah akhirnya berhasillah membangkitkan kecemburuan yang nyata dari arRasyid dan menimbulkan dendam yang sangat terhadap mereka. Na'uzubillah dari nafsu manusia pada kekuasaan dan malapetaka ! Kesalehan ar-Rasyid Cerita gila tentang keadaan ar-Rasyid yang dikatakan suka minum anggur dan jatuh mabuk dalam pesta-pesta ria dengan sahabat-sahabat periangnya adalah sangat menjijikkan. Cerita itu sekurang-kurangnya tidak sesuai dengan sikap ar-Rasyid terhadap perlaksanaan kehendak-kehendak agama dan keadilan yang diwajibkan atas khalifah-khalifah. Ia bergaul rapat dengan para ulama dan awlia. Ia bertukaran pikiran (Ar. al-muhawarah) dengan al-Fudlail ibn 'Iyadl , Ibn as-Sammak, dan al-'Umari, dan ia bersurat-suratan pula dengan Syufyan ath-Thawri. Mendengar khutbah-khutbah (Ar. al-mawa'iz) mereka, ia menangis. Pula ia berdo'a di Makkah ketika ia melakukan thawaf di Ka'bah. Ia tetap beribadat, mengindahkan waktu-waktu sembahyang, dan sembahyang subuhnya tetap pada waktu paling awal. Menurut ath-Thabari dan lainlain ia bersembahyang sunat setiap hari seratus rakaat. Secara bergiliran tahun-tahun itu dipergunakannya sekali sepenuhnya untuk kepentingan perjuangan Islam dan sekali untuk keperluan naik haji ke Makkah. Ia memarahi pelawak penghiburnya (Ar. al-mudlahhik) Ibn Abi Maryam karena telah mengeluarkan kata-kata tiada patut baginya sewaktu ia lagi bersembahyang. Kejadian itu begini : Ketika Ibn Abi Maryam mendengar ar-Rasyid membacakan ayat Al Qur-an : "Dan mengapakah aku tidak menyembah Tuhan Yang telah menjadikan aku," 23) maka ia telah dengan tiba-tiba meningkah dengan kata-kata : "Sungguh akupun tidak tahu, kenapa ya ?" Ketika itu Ar-Rasyid telah tak dapat menahan ketawanya, tetapi kemudian ia berpaling memarahinya dengan amat sangat dan berkata : "Ya Ibn Abi Maryam, juga di sembahyang kamu melucu ? Awas, awas terhadap Al Qur-an dan agama !!! Selain dua ini, kamu boleh melawak apa saja yang kamu sukai, mengerti !" Demikianlah peristiwa tersebut. Di samping itu ar-Rasyid memiliki juga sejumlah ilmu dan kesederhanaan, karena zamannya adalah masih terdekat dengan zaman nenek-moyangnya sendiri yang cukup mempunyai segala sifat-sifat itu. Masa antara dia dan kakeknya Abu Ja'far alManshur tiadalah begitu jauh. Malah ketika Abu Ja'far meninggal, ia adalah seorang pemuda yang masih remaja. Abu Ja'far itu memiliki beberapa banyak ilmu dan ia berpegang teguh pada ajaranajaran agama lama sebelum menjadi khalifah dan sesudahnya. Dialah yang menasehatkan Malik supaya mengarang kitab Al-Muwaththa' dengan perkataan :"Ya Abu Abdullah, tiada seorangpun di atas bumi ini yang lebih alim dariku dan dari tuan. Tetapi aku ini sudah sangat sibuk dengan khilafah. Karenanya tuanlah 22
Syair ini berasal dari Umar Ibn Abi Rabi'ah, hidup kira-kira di tahun 700 M. Yakni ayat Al Qur-an, surat Ya sin 22.
23
hendaknya menulis suatu kitab bagi rakyat yang akan berfaedah bagi mereka. Di dalamnya hendaklah tuan jauhi benar kelemahan Ibn 'Abbas dan kekerasan Ibn Umar 24) dan persembahkanlah ia secara terang dan jelas kepada rakyat." Malik telah menerangkan tentang kejadian ini sebagai berikut : "Wallahi, pada kejadian tersebut itu Al-Manshur sesungguhnya telah mengajari aku untuk menjadi seorang pengarang !" Kesalehan Ar-Rasyid dan Al Manshur Putera dari al-Manshur ini yang bernama al-Mahdi, yaitu ayah dari ar-Rasyid, telah mengalami kekakuan al-Manshur yang sama sekali tak suka mempergunakan Kas Negara (Ar. bait al-mal) untuk memperlengkapi keluarganya dengan pakaianpakaian baru. Pada suatu hari al-Mahdi datang padanya. Ketika itu ia lagi di Majelisnya sibuk bercakap-cakap dengan para tukang jahit tentang tambalan-tambalan dari pakaian-pakaiaui tua sanak-keluarganya. Al-Mahdi tidak menyukai itu dan berkata : "Ya Amir al Mukminin ! Tahun ini biarlah saya yang bayar buat pakaian-pakaian anggota keluarga kita dari penghasilan saya sendiri !" Jawab al-Manshur ialah : "Silahkan !" Ia tidak menghambatnya dari membayarnya sendiri, malah sebaliknya ia tidak mengizinkan pembayaran itu dilakukan darii uang Kas Negara yang menjadi hak milik kaum Muslimin seluruhnya. Ar-Rasyid adalah seorang yang sangat dekat zamannya dengan masa khalifah itu dan dengan nenek moyangnya. Ia diasuh di bawah pengaruh didikan yang sama seperti itu dalam keluarganya, sehingga tabiat tersebut menjadilah watak darah daging baginya. Maka bagaimanakah manusia seperti itu dapat menjadi seorang peminum anggur dan pemabuk secara terang-terangan ? Adalah satu hal yang sudah umum diketahui, bahwa kaum bangsawan Arab di jaman Jahiliyah menjauhi diri dari minuman-minuman khamar. Anggur tidaklah termasuk pohon-pohonan yang dipelihara mereka. Mereka umumnya menganggap minum anggur itu pekerjaan yang tercela. Ar-Rasyid dan nenek moyangnya adalah sangat berhasil dalam menjauhi segala sesuatu yang tercela dalam agama dan dunia mereka dan mereka dalam tingkah-laku dan akhlak yang menuju kesempurnaan amatlah terpuji, begitu pula sifat-sifat ke-Araban mereka, yaitu watak kehidupan mereka yang sebenar-benarnya. Kini marilah kita perbandingkan pula kissah dari ahli pengobat (Ar. thabib) Jibril Ibnu Bukhtisyu', 25) sebagaimana diberitakan oleh ath-Thabari dan al-Mas'udi. Pada suatu ketika sepotong ikan dihidangkan orang di meja ar-Rasyid. Jibril tidak mengizinkan ar-Rasyid memakan ikan itu. Ternyata kemudian Jibril telah memerintahkan pelayan yang bersangkutan supaya membawa ikan itu ke rumahnya (Jibril) sendiri. Ar-Rasyid mengetahui ini dan iapun curigalah. Seorang khadamnya disuruhnya mengamat-amati Jibril dan khadam itu memang menyaksikannya memakan ikan tersebut. Untuk helah dan membenarkan dirinya, Ibn Bukhtisyu' menyuruh tiga potong ikan diletakkan masing-masing di atas tiga buah pinggan. Potongan yang pertama dicampurnya dengan daging yang telah diaduk dengan berbagai macam bumbu, sayur-mayur, kuah pedas dan manis-manisan. Potongan kedua disiraminya dengan air es dan potongan ketiga dengan air anggur. Pinggan pertama dan kedua ialah makanan Amir al-Mukminin, katanya, tidak peduli apakah 24
Dengan Ibn 'Abbas di sini dimaksudnya 'Abdulluh ibn 'Abbas yang tersebut di atas, yaitu kemenakannya Nabi. sedang Ibn 'Umar ialah 'Abdullah, putera dari khalifah 'Umar Ibn Khatab. 25 jibril adalah salah seorang dari keturunan ahli pengobat di masa yang telah lalu. Ia meninggal tahun 213 H (atau 828/29 M)
pada ikan itu telah ditambah olehnya sesuatu atau tidak. Pinggan ketiga, katanya pula, ialah makanan Ibn Bukhtisyu' sendiri. Maka ketiga pinggan itu diserahkannya pula kepada pelayan. Ketika ar-Rasyid bangun dari tidurnya dan menyuruh panggil Ibn Bukhtisyu' untuk dimarahinya, yang tersebut belakangan ini telah meminta supaya ketiga pinggan itu dibawa kepadanya. Maka pinggan yang dengan air anggur tadi kelihatannya telah menjadi semacam sup dengan potongan-potongan kecil dari ikan, sedang yang dua lainnya nampaknya telah busuk dan berbau lain sekali. Demikianlah dengan itu Ibn-Bukhtisyu' telah melakukan helah yang cukup membenarkan dirinya memakan ikan yang tadinya disediakan untuk khalifah. Dan terang pulalah dari cerita ini, bahwa keadaan ar-Rasyid menjauhi diri dari minuman anggur itu adalah satu kenyataan yang cukup dikenal oleh kalangan-dalam di istananya dan oleh orang-orang yang turut bersantap bersamanya. Dan adalah satu kenyataan yang terkenal pula, bahwa ar-Rasyid telah menyetujui untuk menahan Abu Nuwas dalam penjara terus-menerus sampai ia tobat dan melepaskan kebiasaan buruknya, yaitu suka minum anggur secara berlebih-lebihan, sebagaimana telah disampaikan orang kepadanya. Ar-Rasyid sendiri biasa mimun anggur korma (Ar. nabiz at-tamr) berdasarkan madzhab di Iraq sendiri yang sudah terkenal fatwa-fatwanya tentang itu. 26) Akan tetapi ia tidak dapat dituduh suka meminum anggur yang sebenar-benarnya. Berita-berita tolol tentang itu tidaklah dapat dibenarkan. Ia bukanlah orang yang suka melakukan sesuatu yang diharamkan dan yang dianggap oleh ahli agama sebagai salah satu dosa yang terberat di antara dosadosa besar itu (Ar. min akbari al-kabair 'inda ahli al-millah). Tiada seorangpun dari kaum 'Abbasiyah terdahulu itu yang tercela karena pemborosan atau kemewahan dalam soal-soal pakaian, batu permata, ataupun ragam makanan yang mereka pilih. Mereka tetap berpegang pada watak padang pasir yang keras dan pada kesederhanaan dari agama Islam (Ar. sazajat al-din). Maka betapakah orang dapat curiga mereka akan melakukan sesuatu yang menuju dari yang boleh ke tidak boleh atau dari yang halal ke yang haram ? Para ahli sejarah seperti at-Thabari, al-Mas'udi, dan lain-lain, telah sama setuju, bahwa semua kaum khalifah keturunan banu Umayyah dan banu al-Abbas yang terdahulu itu selalu keluar dengan hanya perhiasan perak yang ringan di pinggang mereka, di pedang mereka, di tali kekang dan pelana kuda mereka, dan bahwa khalifah pertama yang mulai keluar dengan perlengkapan keemasan ialah al-Mu'tazz ibn al-Mutawakkil, yaitu khalifah ke delapan sesudah ar-Rasyid. Pun dengan pakaian, mereka itu sederhana. Maka betapakah kiranya orang bisa berpendapat lain mengenai soal apa yang mereka minum itu ? Soal ini akan menjadi lebih jelas lagi bila kelak telah difahami sebaiknya betapa watak kerajaan-kerajaan itu pada mula pertumbuhannya dalam kehidupan padang pasir dan lingkungan-lingkungan sederhana itu, seperti nanti akan kita uraikan juga di antara persoalan-persoalan yang akan diperbincangkan dalam, bab pertama, insya Allah ! Al-Ma'mun dan Ibn Aktsam Kemudian ada pula satu berita yang sejajar atau sama dengan yang tersebut di atas, yaitu berita yang disampaikan oleh para ahli sejarah tentang Yahya Ibn Aktsam, qadli dan sahabat dari al-Ma'mun. 27) Ia dikatakan telah minum anggur bersama-sama al-Ma'mun dan menjadi mabuk pada suatu malam. Ia kedapatan tertimbun di antara 26
Madzhab yang umum di Iraq ialah Mazhah Hanafi, yang bersikap agak lunak terhadap nabiz itu. Berita ini terdapat secara lengkap dalam kitab 'Iqd, jilid III karangan Ibn 'Abdrabbih. Yahya Ibn Aktsam itu meninggal di tahun 242 atau 243 atau 847 M. 27
rihan sampai ia kemudian terbangun. Maka syair berikut disebut-sebutlah sebagai keluar dari mulutnya : "Ya Tuhanku, penghulu sekalian manusia ! Dia yang memberiku minum tidaklah adil dengan hukumannya, Memang 'ku lalai terhadap si penuang, sehingga did telah membuat daku, Sebagai kau lihat, kehilangan akal sehat agama. " Hal Ibn Aktsam dan al-Ma'mun ini sama dengan halnya ar-Rasyid di atas. Apa yang mereka minum adalah anggur korma yang sepanjang pendapat mereka tidaklah terlarang. Tidaklah ada mabuk dalam hal mereka itu. Persahabatan Yahya ibn Aktsam dengan al-Ma'mun adalah satu persahabatan dalam Islam (Ar. fid din). Dan adalah satu kenyataan yang tak dapat dimungkiri, bahwa Ibn Aktsam itu tidur dalam kamarnya al-Ma'mun. Dan dikabarkan, sebagai suatu petunjuk betapa mulia dan sopannya al-Ma'mun itu, bahwa pada suatu malam ia itu tertegun dengan sangat dahaganya. Maka berdirilah ia meraba-raba mencari kendi air. Ia segan membangunkan Yahya Ibn Aktsam. Pun adalah pula kenyataan yang tak dapat dimungkiri, bahwa kedua mereka itu biasa sembahyang subuh bersama-sama. Maka bagaimanakah ini boleh disamakan dengan minum anggur bersama-sama ? Malah Yahya Ibn Aktsam itu terkenal pula sebagai perawi Hadtis. Ia dipujikan oleh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal 28) dan Hakim Isma'il. 29) At-Tirmizi 30) sendiri merawikan haditshadits Nabi dengan menggunakan namanya pula. Dan penghafal hadits Al-Mizzi 31) pun menerangkan, bahwa al-Bukhari telah merawikan hadits-hadits Nabi atas (kekuatan) namanya, di dalam kitab-kitab yang bukan "al Jami' as-Shahih." Mencerca Yahya seperti itu sebenarnya sama artinya dengan mencerca semua dari para ulama tersebut. Kemudian ada pula orang-orang cabul yang menuduh Yahya Ibn Aktsam itu mempunyai suatu kecenderungan pada anak-anak muda. Ini adalah satu penghinaan terhadap Tuhan dan satu dusta keji yang diarahkan pada kaum ulama. Orang-orang itu telah menuduh sedemikian rupanya berdasarkan desas-desus kisah yang tolol yang barangkali telah dibuat-buat oleh musuh Yahya, karena sesungguhnya mereka sangatlah cemburu padanya disebabkan kesempurnaan dan persahabatannya dengan raja (Ar. Sulthan). Kedudukannya dalam ilmu dan agama tidak memungkinkan terjadinya hal yang seperti itu. Ketika Ibnu Hanbal diberitahukan orang tentang desas-desus mengenai Yahya itu beliau berteriak : "SubhanAllah, subhanAllah ! Siapa berkata begitu !" Beliau kemudian mencela desas-desus itu dengan amat sangat. Hakim Isma'il yang juga diberitahukan orang tentang omongan itu telah berkata dengan keras : "Allah menjaga semoga kejujuran (Ar. 'adalah) orang seperti itu tidaklah lenyap hanya karena tuduhan-tuduhan bohong dari tukang-tukang cerita yang iri hati." Katanya pula :"Yahya Ibn Aktsam bersih di mata Tuhan dari hubungan apapun yang seperti itu dengan anak-anak muda, sebagaimana dituduhkan orang atasnya. Saya mengetahui pikiran-pikirannya yang paling rahasia dan kudapati dia sangatlah takut pada Allah. Akan tetapi ia memang suka bersenda-gurau dan berolok-olok secara tertentu, Yang mungkin telah membuat orang menuduhnya sedemikian rupa." Ibn Hibban telah menyebut-nyebut Yahya itu dalam kitabnya as-Tsiqah Dikatakannya di sana supaya orang jangan memperhatikan cerita-cerita mengenainya itu karena sebagian besar dari padanya adalah tidak benar. 28
Yaitu Ahmad ibn Muhamad ibn Hanbal, pendiri dan kepala dari Madzhab Hanbali (164-241 H. atau 780-855 M) Yaitu Ismail ibn Ishaq, kadi dari madzhab Maliki. 30 Yaitu Muhammad ibn Isa, meninggal 279 h. (atau 892 M.), seorang perawi hadits yang terkenal. 31 Yaitu Yusuf ibn Abdarrahman al-Mizzi (654-742 H. atau 1256 - 1341 M.), pengarang dari "Tahzab al Kamal" 29
Al Ma'mun dan Buran. Maka ada pula satu cerita lain yang menyerupai cerita di atas. Cerita itu ialah tentang keranjang (Ar. az Zinbil), disampaikan oleh Ibn 'Abdrabbih, pengarang Al'Iqd, dalam penjelasannya mengenai hal bagaimana al-Ma'luun itu telah menjadi menantu dari Al-Hasan ibn Sahl dengan mengawini anak perempuannya yang bernama Buran. Pada suatu malam sewaktu ia keluyuran di jalan-jalan kota Baghdad, al-Ma'mun dikabarkan telah kepergok dengan satu keranjang yang diulurkan orang ke bawah dari salah satu sutuh (atap rumah) dengan perantaraan kerek dan tali yang dipintal dari benang-benang sutera, maka iapun menundukkan dirinya dalam keranjang itu dan memegang kereknya yang segera pula bergerak. Dan terangkatlah ia ke dalam satu kamar yang luas, yang sifatnya begini dan begitu …. Ibn 'Abdrabbih melukiskan tentang bagaimana cantiknya permadani-permadani di situ yang mengharukan mata dan jiwa, kehebatan perabot-perabotnya, dan keindahan pemandangan di sana. Kemudian, begitulah dikabarkan, seorang wanita yang luar biasa cantiknya dan menggiurkan, telah muncul dari balik tirai di kamar itu. Ia menyapa al-Ma'mun dan mengajaknya menemaninya. Maka sepanjang malam itu ia telah minum anggur bersamanya. Pada waktu subuh kembalilah ia pada teman-temannya di tempat di mana mereka telah menunggu-nunggunya. Ia telah begitu jatuh cinta pada wanita itu, sehingga akhirnya ia telah melamarnya pada ayahnya. Maka bagaimanakah segala ini boleh sesuai dengan keadaan al-Ma'mun yang terkenal dengan agamanya, ilmunya dan teguh pegangannya pada cara-cara hidup dari nenek-nenek moyangnya, yaitu khalifah-khalifah al-Abbas yang rasyidin, dengan teguh pegangannya pada cara-cara hidup para khalifah empat yang pertama, yang merupakan sokoguru-sokoguru Islam, dengan penghormatannya pada para alim ulama, dan ketaatannya terhadap norma-norma keagamaan seperti sembahyang dan hukum-hukum agama lainnya ! Bagaimanakah bisa benar, bahwa ia bertindak seperti orang fasik yang menyenangkan dirinya dengan merayap-rayap di malam hari, memasuki rumah-rumah orang di gelap-gulita dan berasyik-ma'syuk secara orangorang badui itu ! Dan bagaimanakah cerita itu bisa sesuai dengan kedudukan dan sifat mulia dari puteri al-Hasan ibn Sahl itu, dan dengan akhlak yang keras dan kesucian yang berlaku di rumah ayahnya ! Banyaklah ceritera-ceritera yang seperti itu. Ia bertebaran dalam karya-karya para ahli sejarah. Perangsang untuk mengada-ada dan mengisahkan cerita-cerita seperti itu merupakan satu kecenderungan umum dalam mencari nikmat terlarang dan dalam mengaibkan kedudukan orang-orang lain. Manusia membenarkan penghambaan mereka terhadap kenikmatan menyebut-nyebut sesuatu kaum di masa yang lalu (yang dikabarkan juga melakukan hal-hal yang mereka lakukan itu. OR). Karenanya mereka acapkali kelihatan sangat tertarik pada kabar-kabar seperti itu dan bersiap-siap hendak menemuinya jika mereka membalik-balik lembaran-lembaran dari karya-karya (Ar. awraq ad-dawawin) yang sudah diterbitkan orang. Sekiranya mereka mau menuruti tauladan bangsa-bangsa yang lampau dalam hal-hal yang lain, seperti dalam sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada mereka yang telah memasyhurkan mereka itu, la kana khairan lakum (Al. Qur-an IV : 46, III : 110, IV : 66, XLVII : 21 dan XLIX : 5), lau kanu ya'lamun (A-Qur-an II : 102-103, XVI : 41, XXIX : 41-64 dan LXVIII : 33). Saya pada suatu kali (pernah) mengecam seorang pangeran diraja karena kesukaannya yang bernafsu sekali hendak belajar menyanyi dan bermain gitar. Saya katakan padanya, bahwa itu bukanlah urusannya dan tidak layak bagi kedudukannya.
Sahutnya : "Tidakkah tuan mengenal Ibrahim ibn al-Mahadi, 32) yang menjadi pemain musik terkemuka dan penyanyi yang terbaik di zamannya ?" Maka kataku pula : "SubhanAllah, kenapa kalau begitu kok tidak tuan turuti saja tauladan ayahnya ataupun abangnya ? Tidakkah tuan lihat betapa pekerjaannya itu telah menghambat Ibrahim untuk memperoleh kedudukan mereka ?" Akan tetapi pangeran itu rupanya tuli terhadap kecamanku itu dan tak menghiraukannya. Dan Allah memberi petunjuk siapa yang disukai-Nya. Silsilah Keturunan Al-Fathimiyah Seterusnya ada pula perkabaran tolol yang telah diterima oleh banyak ahli-ahli sejarah mengenai dinasti 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah), yaitu khalifah-khalifah Syi'ah 33) di Kairawan (Ar. al-Qairawan) dan Kairo (Ar. al-Qahirah). Para ahli sejarah tersebut mengingkari keturunan mereka dari sayidina 'Ali as. (Ar. ahlal bait) dan menyerang kebenaran, bahwa mereka itu adalah turunan dari Imam Isma'il, anak dari Ja'far asShadiq. Mereka mendasarkan pendirian mereka itu atas berita-berita yang telah dibuat-buat untuk keuntungannya para khalifah 'Abbasiyah yang lemah oleh orangorang yang menginginkan kesayangan mereka dengan melempari tuduhan-tuduhan terhadap lawan-lawan mereka yang giat itu dan karenanya cenderung mengeluarkan segala macam cerca dan nista terhadap musuh-musuh mereka. Kita akan mengemukakan beberapa perkabaran seperti itu dalam uraian kita tentang sejarah 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu. Para ahli sejarah tersebut tiada merasa perlu untuk memperhatikan kenyataan-kenyataan kejadian (Ar. syawahid al-waqi'at) dan dalildalil yang nyata (Ar. adillat al-ahwal) yang meminta pengakuan, bahwa yang sebaliknyalah yang benar dan bahwa tuntutan mereka itu adalah satu pembohongan dan harus ditolak. Semua mereka telah menyampaikan keterangan-keterangan yang sama tentang asal mulanya dinasti Syi'ah (Ar. daulat al-Syiah) itu Abu 'Abdallah al-Muhtasil 34) (dikabarkan) mengundang kaum Kutamah supaya mereka rela menerima keluarga Muhammad (yakni al-'Alawiyah. O.R.). Pekerjaannya itu diketahui oleh semua orang. Diketahui pula bagaimana ia meletakkan perhatiannya pada 'Ubaidallah al-Mahdi dan anaknya Abul-Qasim. Karenanya, kedua mereka ini ketakutanlah terhadap jiwa mereka dan keduanya lari dari Timur, pusat kedudukan khilafah. Mereka memasuki Mesir dan meninggalkan kota al-Iskandariyah (Ar. Alexandria) dengan menyamar diri sebagai pedagang. Maka disampaikanlah peristiwa itu kepada 'Isa an-Nawshari, gubernur (Ar. 'amil) Mesir dan Iskandariyah, yang segera mengirimkan pasukanpasukan berkuda untuk memburu mereka. Akan tetapi ketika pasukan-pasukan itu mencapai mereka, mereka tidak mengenal kedua mereka itu disebabkan pakaian dan penyamaran mereka. Maka terhindarlah mereka dan masuklah mereka dengan selamat ke Marokko (Ar. al-Maghrib). Al-Mu'tadlid 35) kemudian memerintahkan para amir dari kaum Aghlabiyah yang memerintah Afrika di Kairawan, sebagaimana juga para amir kaum Midrar di 32
Ibrahim ini memang adalah putera dari khalifah al-Mahdi, yang memerintah sebentar saja atas pengakuan suatu golongan. 33 Seperti umum telah mengetahuinya, persoalan mengenai silsilah al-Fathimiyah sebagai keturunan Sayidina 'Ali, begitu pula sejarahnya yang terdahulu, telah berisikan suatu "peledakan" politik berabad-abad lamanya setelah dinasti al-Fathimiyah itu jatuh. 34 Abu 'Abdallah As-Syi'i, yang atas usahanya telah membikin kaum al-Fathimiyah berkuasa di bagian barat-laut dari Afrika, biasa disebut-sebut sebagai muhtasil di Al-Basrah, jika tidak abangnya Abul-'Abbas yang memegang jabatan itu. 35 Menurut Prof. Franz Rosenthal peristiwa ini terjadi di tahun 293 H atau 905/ 906 M, jadi sebenarnya bukan sewaktu pemerintahan al-Mu'tadlid, melainkan sewaktu pemerintahan anaknya al-Muktafi. Wallahu 'alam! OR.
Sijilmasah, supaya berusaha keras mencari kedua mereka itu di manapun dan mengamat-amatinya sekali. Kepala kaum Midrar di Sijilmasah yang bernama Ilyasa' kemudian dapat mengetahui tempat persembunyian mereka di negerinya itu dan menahan mereka itu untuk menyenangkan hati khalifah. Ini semua adalah sebelum kemenangan kaum Syi'ah atas kaum Aghlabiyah di Kairawan. Kemudian sesudah itu, sebagaimana umumnya mengetahuinya propaganda (Ar. da'wah) kaum 'Ubaidiyah (al-fathimiyah) tersebarlah dengan sukses di seluruh Afrika (Utara) dan Marokko, dan seterusnya menurut geleran meluas sampai-sampai ke Yaman, Iskandariyah serta daerah-daerah Mesir lainnya, Syria dan Hijaz. Maka tegaklah dinasti 'Ubaidiyah (al-fathimiyah) memerintah dunia Islam dalam bagian yang sama dengan dinasti al-'Abbasiyah. Malah mereka hampir saja berhasil dalam menerobos tanah airnya kaum al-'Abbasiyah dan menggantikan mereka memerintah di sana. Propaganda mereka di Baghdad dan daerah al-Iraq lainnya telah mencapai sukses dengan bantuan amir al-Basasiri, seorang dari kalangan mawali ad-Dailam yang telah menguasai khalifah-khalifah banu al-'Abbas. Ini telah terjadi sebagai akibat dari satu pertikaian antara al-Basasiri dengan amir-amir yang bukan Arab. 36) Maka setahun penuh nama al-'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu telah disebut-sebut orang dari atas mimbar kota Baghdad dalam khutbah-khutbah Jum'at. Kaum al-'Abbasiyah terus menerus terganggu oleh kekuatan dan kehebatan dinasti al-'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu, sedang raja-raja banu Umayyah di seberang lautan (yakni di Spanyol) telah menyatakan sakit hati mereka terhadap al-'Ubaidiyah itu dan mengancam hendak berperang dengan mereka. Maka bagaimanakah segala ini dapat menimpa seorang penuntut palsu dari mahkota, apalagi ia dianggap seorang pembohong? Seyogianya orang memperbandingkan hal ini dengan sejarahnya al-Qarmathi. 37) Silsilahnya menurut kenyataan adalah palsu. Maka lihatlah bagaimana sempurnanya kehancuran da'wahnya itu dan kehancuran para pengikutnya ! Keburukan dan kelicikan mereka lekas sekali nyata. Merekapun berakhir secara buruk dan menderita satu nasib yang pahit. Jika keadaan kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) serupa pula seperti itu, tentu akan diketahui orang juga akhirnya, walaupun akan meminta beberapa waktu lamanya. "Apapun watak sifat yang dimiliki seorang manusia, orang akan mengetahuinya walaupun dikiranya ia dari manusia tersembunyi." 38) Dinasti 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu berkelanjutan usianya terus-menerus selama lebih kurang dua ratus tujuh puluh tahun. Mereka menguasai maqam Ibrahim as 39) beserta tempat sembahyangnya, rumah Rasulullah saw dan tempat di mana beliau dikebumikan, petak di mana para hujad berdiri dan di mana malaikat turun (menyampaikan wahyu kepada Muhammad). Akhirnya, pemerintahan mereka pun berhentilah. Selama masa itu semua para pengikut mereka memperlihatkan taat dari cinta yang sebesar-besarnya terhadap mereka dan percaya sepenuhnya pada keturunan mereka dari Imam Isma'il, anak Ja'far as Shadiq. Malah lama sesudah dinasti itu pergi dan hilang lenyap pengaruhnya, orang-orang masih juga datang mendesakkan dakwah 36
Peristiwa ini terjadi pada permulaan pemerintahan kaum Saljuk di bawah Tughril-bek, yaitu dalam masa Desember 1058 hingga 1060. 37 Al-Qarmathi ialah pendiri dari sekte yang terkenal dengan nama itu, yakni seorang yang bernama Hamdan yang hidup di bagian kedua dari abad ke sembilan Masehi. 38 Syair ini berasal dari bagian terakhir dari Mu'allaqut karangan Zuhayr. 39 Yakni maqam Ibrahim di Masjid al-Hasan, Makkah.
sekte tersebut. Mereka mengumumkan nama-nama dari anak-anak kecil keturunan 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) yang mereka percayakan berhak atas khilafah. Begitu jauhnya tindakan mereka itu sehingga mereka menganggap anak-anak itu seolah-olah sebenarnya telah ditetapkan menjadi para pewaris dari imam-imam yang terdahulu. Sekiranya ada kecurigaan-kecurigaan mengenai silsilah keturunan mereka, tentu para pengikut mereka itu tidak akan rela menghadapi bahaya-bahaya yang terlibat dalam usaha penyokongan mereka. Seorang sektarian (Ar. shahib al-bid'ah) tidak akan mempermainkan persoalan-persoalannya sendiri, juga tidak akan menaburkan benih kebimbangan dalam sektenya sendiri, pun juga tidak akan menipu dirinya sendiri mengenai kepercayaannya itu. Adalah aneh sekali, hakim Abubakar al-Baqillani, 40) syekh besar kaum alMutakallimin, cenderung pada pandangan yang tak masuk akal (OR. yaitu mengenai kepalsuan dari silsilah kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu), dan berpegang teguh pada pendapat yang lemah tersebut. Jika sikapnya itu adalah disebabkan oleh kemulhid-an agama dan extremisme kaum Syi'ah dalam mana termasuk kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu, maka itu tidaklah dapat diterima, karena sangkalannya tentang keturunan mereka itu dari 'Ali as tidak akan membatalkan da'wah mereka itu, pun juga penerimaan keturunan mereka seperti tersebut itu betapapun tidak akan menolong mereka di depan Tuhan dalam persoalan kekufuran mereka. Tuhan telah berkata kepada Nuh as mengenai anak-anaknya : "Sesungguhnya ia bukan dari ahlimu, karena amalnya itu sesungguhnya amal yang tidak baik. Karena itu janganlah kamu minta kepadaku apa yang kamu tidak tahu."41) Dan Muhammad s.a.w. telah memperingati Fathimah sebagai berikut : "Ya Fathimah, berbuatlah (sebagaimana kamu suka). Saya tidak akan dapat menolongmu di hadapan Tuhan." Jika seorang manusia sampai mengetahui sesuatu persoalan atau yakin mengenai sesuatu masalah, maka ia haruslah mengemukakannya secara terbuka. "Dan Allah mengatakan yang hak dan Ia memimpin (manusia) ke jalan yang benar." 42) Kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu adalah selalu dalam berpindah-pindah disebabkan kecurigaan-kecurigaan berbagai pemerintah terhadap mereka. Mereka itu diamatamati oleh pemerintah-pemerintah yang dzalim (Ar. at-thughah), karena para pengikut mereka banyak dan propaganda mereka meluas sampai ke pelosok-pelosok. Berulang kali mereka harus pindah dari tempat-tempat di mana mereka sebenarnya telah menetap. Orang-orang mereka karena itu sering berada dalam persembunyian dan keadaan mereka hampir-hampir tak diketahui, berkata seorang-penyair : Jika kau tanyakan zaman tentang apakah namaku, mereka pasti akan tidak mengetahuinya Dan di manakah aku, pun mereka juga tidak akan tahu di mana aku berada. 43) Demikianlah halnya, sehingga Muhammad, anak dari imam Isma'il, nenek moyang dari 'Ubaidallah al-Mahdi, diberikan orang sebutan "al-Maktum" ("Yang Tersembunyi"). Dinamakan ia demikian oleh para pengikut mereka (Ar. as-Syi'ah sebenarnya berarti partisan) karena mereka semua telah sependapat mengenai kenyataan, bahwa ia itu acap bersembunyi disebabkan takut pada orang-orang yang berkuasa atas mereka. Para pengikut banu 'Abbas (Ar. Syi'atul bani al 'Abbas) banyak mengambil faedah dari kenyataan ini ketika mereka secara terang-terangan 40
Yaitu Muhammad ibn al-Thayyib, meninggal tahun 403 H. (atau 1013 M.). Al-Qur-an XI :46 (48) 42 Al-Qur-an XXXIII : 4. 43 Beberapa pengarang mengatakan, bahwa syair ini adalah dari Abu Nuwas, akan tetapi ia tiadalah terdapat dalam Diwan dari Abu Nuwas itu. 41
menyerang silsilah keturunan 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu. Mereka berusaha mengambil hatinya para khalifah yang lemah-lemah (dari al-Abbasiyah) itu dengan cara mengakui pendapat bohong yang mengatakan bahwa keturunan 'Alawiyah 44) dari kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah), adalah palsu semata-mata. Ini amatlah menyenangkan hati para wali al-'abbasiyah dan para amir daulah mereka yang bertugas melakukan operasi-operasi militer terhadap musuh-musuh al-'Abbasiyah itu. Hal itu menolong mereka dan pemerintah dalam memampasi diri mereka yang tiada sanggup melawan dan mengusir suku-bangsa Barbar Kutamah (Ar. al-Barbar alKutamiyin) yang menjadi pengikut-pengikut (Ar. as-syi'ah) dan propagandispropagandis (Ar. ahl ad-dakwah) dari kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah), yang telah merampas Syria, Mesir dan al-Hijaz dari kerajaan al-Abbasiyah. Sesuai dengan itu para hakim (Ar. al-Qudlah) di Baghdad akhirnya menyediakan satu pernyataan resmi yang isinya menyangkal kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu sebagai keturunan dari sayidina 'Ali as Pernyataan itu disaksikan oleh sejumlah orangorang terkemuka, di antaranya Syarif al-Radli 45) dan abangnya al-Murtadla 46) dan Ibn at-Thahawi. 47) Di antara para ulama yang juga menyaksikan dokumen itu ialah Abu Hamid al-Isfarayini, 48) al-Quduri, 49) as-Shaimari, 50) Ibn al-Akfani, 51) alAbiwardi, 52) ahli hukum Syi'ah Abu Abdallah ibn an-Nu'man, 53) dan kaum terkemuka lainnya di Baghdad. Peristiwa itu terjadi pada suatu hari bersejarah (Ar. yaum masyhud 54) di tahun 402 (atau 1011 M.) di zamannya al- Qadir. Penyaksian dari pada saksi itu adalah didasarkan atas pendengaran, atas apa yang masyhur dan diketahui rakyat di Baghdad. Dan kebanyakan dari mereka adalah pengikut-pengikut dari banu al-'Abbas yang selalu menyerang silsilah keturunan 'Ali dari kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu. Para ahli sejarah telah menyampaikan keterangan-keterangan sebagaimana mereka telah mendengarnya. Mereka telah meneruskannya kepada kita sebagaimana yang mereka ingat. Akan tetapi yang benar (Ar. al-haq) adalah terletak di balik segala itu. Suatu surat dari al-Mu'tadlid mengenai 'Ubaidallah, dialamatkan kepada Ibn alAghlab di al-Qairawan (Er. Kairawan) dan Ibn Midrar di Sijilmasah, menjadi saksi yang paling benar dan dalil yang paling jelas atas benarnya penerangan, bahwa kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) tersebut adalah keturunan dari sayidina Ali as AlMu'tadlid adalah paling dekat nasabnya dengan keluarga Nabi dan karenanya lebih berhak dari siapapun untuk berbicara tentang silsilah keturunan dari ahlil-bait Nabi. Negara dan pemerintah adalah ibarat pasar dunia, di mana baginya dihidangkan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan dan keahlian tangan manusia. Pemikiran-pemikiran yang tak terduga-duga dan riwayat-riwayat yang dilupakan manusia dikemukakan orang di sana. Dalam pasar ini berita-berita dibeberkan dan hal-hal yang berupa penerangan sejarah disampaikan orang pula. Apa saja yang dibutuhkan orang di pasar ini pada umumnya dibutuhkan juga di tempat-tempat lainnya. Karena bilamana negara yang ada itu menjauhi ketidak adilan, purbasangka, kelemahan, dan 44
Yakni keturunan dari Saidina 'Ali a.s. Yaitu Muhammad ibn al-Husain, 359-406 H. atau 969-1015 M. 46 Yaitu 'Ali ibn al-Husain, hidup dari 355-436 H. atau 966-1044 M. 47 Di lain naskah tertulis Ibn al-Bathawi. 48 Yaitu Ahmad ibn Muhammad, hidup 345-406 H. atau 956-1016 M. 49 Yaitu Ahmad ibn Muhammad, hidup 362-428 H. atau 972-1037 M. 50 Yaitu Abu 'Abdallah al-Husain ibn 'Ali, hidup 351-436 H. atau 962-1045 M. 51 Yaitu Abu Muhammad 'Abdallah ibn Muhammad, hidup 320-405 H. atau 932 - 1014 M. 52 Yaitu Abu al-'Abbas Ahmad ibn Muhammad, meninggal 425 H. atau 1034 M. 53 Yaitu Muhammad ibn al-Mu'allim, meninggal 413 H. atau 1022 M. 54 Berasal dari ayat al-Qur-an XI : 103. 45
kecendekiaan (bercabang hati), dengan hati yang tabah berdiri di atas jalan yang benar dan sekali-kali tidak akan menyeleweng darinya, maka barang-barang yang ada di pasarnya itu adalah penaka perak putih dari emas yang murni sekali. Akan tetapi sebaliknya jika ia dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan perorangan dan dengkimendegki, atau goyang-goyah oleh pemuka-pemuka kedzaliman dan kebathilan, maka barang-barang, di pasarnya itu menjadilah seperti logam-logam sanga dan palsu. Orang yang kritis haruslah menilai sendiri apa yang dilihat di sekelilingnya, memeriksa ini, mengagumi itu, dan akhirnya memilihlah ia apa yang dipilihnya. Silsilah Keturunan Al-Idrisiyah Satu cerita lain yang seperti itu, yang malah lebih tidak mungkin lagi ialah cerita yang sering diperbincangkan di kalangannya sendiri oleh orang-orang yang suka menyerang keturunan 'Alawiyah 55) dari Idris ibn Idris ibn Abdallah ibn Hasan ibn alHasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib (semoga kerelaan Allah atas mereka sekalian) yang menjadi al-Imam di Marokko (Ar. al-Maghrib al-aqsha) menggantikan ayahnya. Mereka mengilat-ngilatkan seolah-olah telah terjadi suatu kejahatan zina, yaitu dengan insinuasi mereka bahwa itu anak yang belum lagi lahir sewaktu meninggalnya Idris tua 56) pada hakekatnya adalah anak dari Rasyid, mawla dari kaum Idrisiyah tersebut. Alangkah tololnya manusia-manusia yang melupakan Tuhan ini ! Mereka seharusnya mengetahui, bahwa Idris tua itu isterinya adalah seorang wanita dari suku bangsa Barbar dan bahwa sejak tibanya di al-Maghrib hingga mangkatnya ia telah sedarah sedaging dengan penghidupan secara padang pasir itu. Dan di padang pasir pekerjaan seperti itu tiadalah dapat tinggal sebagai rahasia. Di sana tidak ada tempat tersembunyi di mana orang dapat melakukan pekerjaanpekerjaan rahasia. Para tetangga wanita selalu saja dapat melihat dan tetangga lelaki selalu dapat mendengar segala sesuatu yang dilakukan para wanita mereka, karena rumah-rumah di sana rendah-rendah, demikian pula jendela-jendelanya, dan sangat berdekatan satu sama lain tanpa ada ruang di antaranya. Maka adalah Rasyid itu telah dipercayakan untuk menjaga seluruh para wanita (Ar. al-harim) sesudah meninggal mawlanya, atas anjuran sahabat-sahabat dan pengikut-pengikut al-Idrisiyah sendiri dan takluk pada pengawasan tertinggi dari mereka semua. Seterusnya, semua (suku) bangsa Barbar di Marokko itu umumnya sepakat untuk menyampaikan bai'ah pada Idris muda sebagai pengganti ayahnya. Dengan sukarela mereka mentaati dia itu. Mereka bersumpah, bahwa mereka bersedia mati untuknya dan mereka telah memasuki bahaya-bahaya maut untuk melindunginya dalam segala peperangan-peperangannya dan ghazwah-ghazwahnya. Andaikata ada di kalangan mereka itu sendiri yang menceritakan riwayat-riwayat kotor seperti tersebut itu ataupun mereka mendengarnya dari seseorang lain, sekalipun musuh yang penuh dendam ataupun munafik yang suka fitnah, sekurang-kurangnya beberapa di antara mereka itu tentu sudah menolak untuk melakukan pekerjaan tadi. Tidak, demi Allah cerita kotor ini sebenarnya adalah berasal dari lawan-lawan banu Idris yang terdapat di kalangan banu 'Abbas dan di kalangan banu Aghlab, yang menjadi gubernurgubernur dan pegawai-pegawai tinggi 'Abbasiyah di Afrika (Utara). Terjadinya itu adalah begini : Ketika ldris tua telah melarikan dirinya ke al-Maghrib (Marokko) sesudah pertempuran Fach, 57) al-Hadi mengirim perintah-perintahnya kepada banu Aghlab 55
Yakni keturunan dari sayidina 'Ali as. Yakni ayah dari Idris muda, O.R. 57 Fach ialah satu tempat dekat Makkah, di mana pengikut-pengikut sayidina 'Ali as dikalahkan di tahun 169 H. (atau 786 M). 56
supaya mereka bersiap-siap dan mengamat-amatinya dengan keras di daerah mereka. Akan tetapi mereka tidak dapat menangkapinya, dan ia lolos dengan aman ke alMaghrib. Ia pun memperkuat kedudukannya di sana, dan propagandanya (Ar. da'wah) pun berhasil pula. Di kemudian hari ar-Rasyid dapat mengetahui bahwa Wadlih, mawla gubernur al-'Abbasiyah di Iskandariyah telah cenderung kepada pihak pengikut-pengikut al-'Alawiyah. 58) dan bahwa ia telah bersikap menipu dalam soal pelarian Idris ke al-Maghrib. Maka ar-Rasyid telah membunuh Wadlih itu. Sesudah itu asy-Syammakh, seorang mawla dari ayah ar-Rasyid, mengemukakan kepada ar-Rasyid satu muslihat untuk membunuh Idris itu. Asy-Syammakh pura-pura menjadi pengikut dari ldris dan pura-pura sudah pecah dengan mawla-mawlanya dari al-'Abbasiyah. Maka Idrispun mengambilnya di bawah perlindungannya dan membolehkan ia bergaul dengannya dalam kehidupan pribadinya sehari-hari. Pada suatu kali, ketika Idris sedang sendirian, asy-Syammakh memberikan racun kepadanya dan dengan demikian membunuhnya sekali. Berita kematiannya itu telah diterima oleh banu al-'Abbas dengan gembira sekali, karena mereka mengharapkan dengan kejadian itu akan tercabutlah akar dan tumpullah mata propaganda kaum al'Alawiyah (Ar. ad-da'wah al-Alawiyah) di al-Maghrib. Berita tentang anak yang belum lahir yang ditinggalkan oleh kematian Idris belum lagi sampai pada mereka. Jadi hanya singkat saja waktunya sampai propaganda kaum al-'Alawiyah itu muncul pula kembali. Kaum Syi'ah itu maju pesat di al-Maghrib, dan pemerintah Syi'ah di sana pun diperbaharui lagi dengan adanya Idris ibn Idris. Ini sesungguhnya adalah satu pukulan yang hebat sekali bagi kerajaan al-Abbasiyah. Kebetulan dewasa itu kelemahan dan kejemuan telah pula meliputi kerajaan Arab itu. Kerajaan al-Abbasiyah tidak kuasa lagi untuk berusaha mengawasi daerah-daerahnya yang jauh terpencil itu. Karena ldris tua itu memerintah begitu jauhnya di al-Maghrib di bawah lindungan suku bangsa Barbar, maka kekuasaan ar-Rasyid di sana itu hanya sekedar cukup saja, dan tidak lebih, untuk meracuninya dengan bantuan satu muslihat. Karenanya kaum al'Abbasiyah itu kini lari pada wali-wali mereka di Afrika (Utara), yaitu kaum banu Aghlab. Mereka meminta pada kaum Aghlabiyah itu supaya memulihkan kembali keretakan yang penuh bahaya yang telah dibuat golongan al-Idrisiyah itu, mengambil langkah-langkah terhadap malapetaka yang lagi mengancam kejatuhan negara dari jurusan sana, dan sekaligus memusnahkan kaum al-Idrisiyah itu sebelum mereka dapat meluas. Al-Ma'mun dan khalifah-khalifah sesudahnya semuanya menulis kepada kaum Aghlabiyah itu. supaya berbuat demikian. Akan tetapi kaum Aghlabiyah juga telah terlalu lemah untuk dapat menguasai (suku) bangsa Barbar di al-Maghrib itu, dan malah mereka lebih mungkin mencoba menghantam raja-raja mereka sendiri, sebagaimana kaum Idrisiyah telah menghantam mereka, karena kekuasaan khilafah kini telah digagahi oleh budak-budak bangsa asing, 59), yang sudah mengambil-alih untuk tujuan-tujuan mereka sendiri seluruh pengawasan dan kekuasaan khilafah atas manusia, pajak-pajak dan para pegawainya. Keadaan tak ubahnya seperti ditamsilkan oleh seorang penyair 'Abbasiyah sendiri dewasa itu : Seorang khalifah di dalam sangkar 60) 58
Yakni kaum Syi'ah, pengikut sayidina 'Ali as. Ar. mamalik al-'ajam, ialah hamba-hamba sahaya yang bukan orang Arab yang kemudian merebut kekuasaan dan terkenal dengan sebutan Mameluk atau Mamalik. 60 Sindiran terhadap khalifah al-Musta'in, salah seorang dari pada khalifah 'Abbasiyah yang sangat dipengaruhi dan kuasai oleh dua jenderal Turki yang bernama Washif dan Bugha. 59
Antara Washif dan Bugha Berkata apa saja disuruh mereka, Seperti burung nuri tak ubahnya. Amir-amir kaum Aghlabiyah karena itu ketakutanlah terhadap kemungkinan adanya persekongkolan-persekongkolan dan mereka pun mencari helah yang bermacam-macam ragamnya. Kadang-kadang mereka menghina al-Maghrib beserta rakyatnya. Di lain kali, mereka berusaha menimbulkan rasa takut terhadap kekuasaan Idris dan keturunannya yang telah menggantikannya di sana. Mereka menulis kepada al'Abbasiyah bahwa ia telah melintasi batas-batas daerahnya. Dalam hadiah-hadiah, pemberian-pemberian dan pembayaran-pembayaran pajak, mereka masukkan mata uang-mata uang dari Idris untuk menunjukkan betapa pengaruhnya itu telah berkembang dan untuk menakut-nakuti terhadap kekuasaannya yang lagi bertambahtambah besarnya, untuk menghambat-hambatkan bahaya yang mungkin terjadi jika ia itu diserang dan dipukul sebagaimana diharapkan mereka melakukannya, dan untuk mendesak satu perubahan da'wah jika mereka dipaksakan juga untuk melakukan pekerjaan tersebut. Di lain waktu pula, mereka menyerang keturunan Idris itu dengan dusta-bohong seperti tersebut di atas, yaitu untuk mencelakakannya. Mereka tidak peduli apakah tuduhan itu benar atau tidak, karena Baghdad letaknya adalah jauh sekali dari mereka, dan anak-anak al-'Abbasiyah beserta budak-budak 'ajam mereka adalah begitu lemah dalam akal mereka, sehingga mereka menerima saja omongan setiap orang dan mendengar saja teriakan setiap manusia. Mereka terus dalam keadaan sedemikian itu sampai kesudahannya pemerintahan Aghlabiyah itu berakhir. Maka tuduhan kotor tentang keturunan Idris itu menjadilah terkenal di kalangan orang ramai. Beberapa tukang fitnah mendengarnya dengan penuh perhatian dan memakainya untuk mencelakakannya kaum Idrisiyah itu setiap kali persainganpersaingan muncul. Kenapakah orang-orang yang meninggalkan Tuhan ini tersesat dari maksud-maksud Syari'at, yang tiada mengenal perbedaan antara kenyataan yang tegas dengan hanya sangka-sangkaan 61) semata-semata ? Idris adalah dilahirkan di tempat tidur ayahnya, dan "sang anak adalah masuk bilangan tempat tidur." 62) Dan kaidah ahli Iman ialah, bahwa keturunan-keturunan Nabi itu jauh adanya dari perbuatan-perbuatan seperti itu. Allah subhanahu wa ta'ala menjauhkan setiap kebejatan dari mereka dan menyucikan mereka itu. Maka tempat tidur Idris itu adalah suci dari segala kekotoran dan dari segala kebejatan menurut ketentuan al Qur-an. 63) Dan barang siapa percaya pada yang sebaliknya itu, maka mengakulah ia kesalahannya dan mengundanglah ia kekufuran itu. Saya telah menolak tuduhan terhadap Idris dengan panjang lebar di sini dengan maksud hendak menutup pintu-pintu kesangsian itu dan membasmi orang-orang yang pendengki. Saya telah mendengar cerita itu dengan telinga sendiri dari seorang yang bermusuhan dengan kaum Idrisiyah dan telah menyerang silsilah keturunan mereka itu dengan pembikinan berita bohong tersebut. Sambil menipu diri sendiri, ia telah meneruskan cerita itu dengan menggunakan kebesaran nama-nama para ahli sejarah Maghrib yang tertentu, yang telah membelakangi keturunan-keturunan keluarga Nabi dan goncang iman mereka terhadap nenek-moyang mereka itu. Akan tetapi keadaan al-Idrisiyah adalah di atas segala itu dan maksum dari noda semacam tersebut tadi.
61
Ar. baina al-maqthu' wa al-mazhnun. Ar. al-waladu li al-firasy. 63 Bacalah Al Qur-an XXXIII: 33. 62
Sebaiknya janganlah diberi peluang bagi pembentangan suatu tuduhan yang seperti itu, karena menolak 'aib di mana 'aib itu sebenarnya sudah tidak mungkin ada, adalah satu keaiban pula. Akan tetapi namun demikian, saya akan tetap membela mereka di dunia ini, dan saya harap kelak begitulah mereka akan membela saya di Hari Qiamat. Haruslah diketahui bahwa kebanyakan dari mereka yang menyerang keturunan 'Alawiyah dari Idris itu adalah orang-orang yang mereka sendiri menghendaki diri mereka itu sebagai keturunan dari Nabi ataupun berlaku seolah-olah mereka itu ada pertaliannya dengan keturunan Nabi, dan mereka ini iri akan keturunan Idris. Tuntutan menjadi keturunan Nabi itu telah merupakan kunci bagi pangkat kebangsawanan (ke"syarif"an) di antara bangsa-bangsa dan suku bangsa segala daerah. Maka sekarang, baik di tanah air mereka di Fez, maupun di daerah-daerah lain di al-Maghrib, keturunan kaum Idrisiyah itu begitu terkenal dan terangnya sehingga hampir tiada seorang pun sanggup memperlihatkan ataupun berharap dapat memperlihatkan satu silsilah keturunan yang lebih lengkap dari itu. Silsilah itu adalah hasil penyampaian yang terus-menerus dari bangsa-bangsa dan generasi-generasi yang baru saja berlalu atas penyampaian resmi dari mereka-mereka sebelumnya. Kaum ldrisiyah itu memasukkan usrah perumahan nenek moyang mereka Idris, pendiri dan pembina kota Fez itu, ke dalam usrah perumahan mereka. Masjidnya adalah berdekatan dengan tempat tinggal mereka beserta darb-darbnya. 64) Pedangnya digantungkan terhunus di atas menara adzan utama dari kediaman mereka. Ada pula atsar-atsar 65),lain darinya yang menjadi saksi dari zaman ke zaman tanpa terputusputus tradisinya, sehingga tradisi tentang mereka itu adalah hampir sama dengan nilainya penglihatan mata sendiri, sehingga sungguh dapat dipercaya kebenarannya. Para keturunan Nabi lainnya bolehlah memperhatikan tanda-tanda ini yang Allah telah kurniakan bagi kaum ldrisiyah itu naik meninggi oleh tingginya kekuasaan diraja yang diperlihatkan nenek-moyang mereka di al-Maghrib. Mereka akan melihat, bahwa mereka sendiri tiada memiliki hal yang seperti itu dan bahwa mereka tidak seukuran walau setengah sekalipun dengan al-Idrisiyah itu. Mereka juga akan melihat, bahwa mereka yang mendakwakan diri mereka itu keturunan Nabi akan tetapi tidak mempunyai tanda-tanda yang diperlukan untuk memperkuat tuntutan itu sebagaimana ada terdapat pada kaum al Idrisiyah, setinggi-tingginya baiklah bergembira yang kedudukan mereka itu telah dibiarkan orang seolah-olah benar adanya. Manusia itu haruslah dapat diyakinkan mengenai keturunan yang mereka tuntut itu, akan tetapi perbedaan ada antara apa yang diketahui, dengan apa yang disangka-sangka saja, antara apa yang yakin dengan apa yang hanya dibiarkan saja sebagai kebenaran yang mungkin. Jika mereka ketahui kenyataan-kenyataan ini mereka tentu akan sesak napas disebabkan terpaksa menelan kembali ludahnya sendiri karena cemburu itu. Hasad dengki yang timbul pada diri mereka masing-masing menyebabkan banyak di antara mereka yang mengharapkan agar mereka dapat menjatuhkan kaum Idrisiyah itu dari kedudukan mereka yang mulia itu kekedudukan orang-orang biasa. Karena itulah mereka lari kepada dendam dan akal-akal jahat dan membuat tuduhan-tuduhan palsu yang bukan-bukan seperti yang menjadi pokok perbincangan kita di atas. Mereka membenarkan diri mereka sendiri dengan pendirian, bahwa segala keragu-raguan itu kemungkinannya adalah sama. Sebaiknya mereka harus buktikan segala itu! 64 65
Gang-gang atau jalan-jalan. Barang-barang kuno atau relief.
Kita tiada mengenal turunan-turunan Nabi yang garis silsilahnya itu begitu terang dan begitu jelas seperti nasabnya keturunan-keturunan Idris dari keluarga al-Hasan. Kaum Idrisiyah yang paling terkenal di zaman ini 66) ialah Banu 'Imran di Fez. Mereka itu adalah keturunan Yahya al-Juthi ibn Muhammad ibn Yahya al-'Addam ibn al-Qasim ibn Idris ibn Idris. Mereka adalah naqib-naqib dari ahlil bait 'Alawiyah (keturunan sayidina 'Ali a.s.) di sana. Mereka sekarang ini tinggal di rumah nenekmoyang mereka Idris. Mereka memegang pimpinan atas seluruh al-Maghrib itu. Insya Allah, dalam hubungan dengan al Idrisiyah itu kita tentu nanti akan menyebut-nyebut juga nama mereka. Mereka adalah keturunan-keturunan dari 'Imran ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Yahya ibn 'Abdallah ibn Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad ibn Yahya ibn Ibrahim ibn Yahya al-Juthi. Kepala bait mereka sekarang ini ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn 'Imran. Silsilah Keturunan Al-Muwahhidin Pada pernyataan-pernyataan jahat dan kepercayaan-kepercayaan salah seperti tersebut di atas ini orang dapat menambahkan pula tuduhan-tuduhan yang dilemparkan oleh kalangan para ahli fikih 67) al-Maghribi ke atas pundaknya imam alMahdi, kepala dari daulah al-Muwahhidin 68) dituduh penipu dan tiada jujur ketika ia bersitegang terus atas pendiriannya tentang Tauhid yang sebenar-benarnya dan ketika ia mengeluh terhadap kaum ahl-al-baghyi 69) di zaman sebelumnya. Semua pendakwaannya dalam hubungan itu dianggap sebagai bohong, malah sampai-sampai keturunannya dari ahli bait Nabi, yang sudah diterima dan dipercaya oleh para pengikutnya al-Muwahhidin itu, pun juga dianggap demikian. Sebenarnya jauh dalam lubuk hati mereka, iri-hati terhadap kemajuan al-Mahdilah yang telah membikin para ahli fikih itu, kemudian bertindak mengatakannya sebagai penipu. Sambil menipu diri sendiri mereka mengira, bahwa mereka dapat menandingi al-Mahdi itu dalam ilmu pengetahuan, fatwa-fatwa dan agama. Nyatanya ia lebih tinggi dari mereka itu. Pendapat-pendapatnya selalu diterima orang, apa yang dikatakannya dituruti, dan ia pun mempunyai banyak para pengikut. Mereka iri hati terhadap kemajuannya ini dan mencoba mengurangi pengaruhnya itu dengan menyerang pendirian-pendiriannya, dan mengabar-ngabarkan seolah-olah segala da'wahnya itu adalah palsu. Pun pula mereka telah terbiasa menerima dari raja-raja Lamtunah (dari dinasti alMurabithun), yaitu musuhnya al Mahdi, penghargaan dan penghormatan yang telah tiada pernah mereka terima dari siapa pun lainnya, sebabnya karena kesederhanaan dalam agama dari kaum al-Murabithun itu. Di bawah daulah Lamtunah itu ahli-ahli ilmu pengetahuan menduduki tempat-tempat kehormatan dan diangkat menjadi para anggota Majelis Syura, masing-masing menurut pengaruhnya pada rakyat di desanya sendiri. Para ahli ilmu itu karenanya menjadilah Syi'ah 70) dari al-Murabithun dan musuh-musuh dari musuh-musuh mereka. Maka itu mereka mencoba membalas dendam pada al-Mahdi itu karena oposisinya terhadap mereka, dan karena kecamannya terhadap mereka. Ini adalah akibat dari pengikutan mereka pada Lamtunah dan ta'assub 71) mereka yang menguntungkan daulah Lamtunah itu.
66
Yakni zamannya Ibnu Khaldun, O.R. Yuris-yuris Islam, O.R. 68 Ing. Almohad dynasti, OR. 69 Kaum tidak adil, O.R. 70 Pengikut atau partisan. 71 Fanatisme. 67
Keadaan al-Mahdi adalah berbeda dengan keadaan mereka. Ia tidak sependirian dengan i'tikad-i'tikad mereka itu. Apalagikah yang dapat diharapkan dari seorang yang telah pernah mengecam setiap dinasti (daulah) yang berkuasa itu dan yang dalam tindakan-tindakannya telah ditentang oleh para ahli fikih dari daulah tersebut? Ia sendiri telah menyeru kaumnya supaya berjihad terhadap mereka itu. Maka ia telah menghancurkan daulah itu sampai ke akar-akarnya dan menjungkir-balikkannya sekali, walaupun daulah itu kokoh kekuatannya, besar kekuasaannya 72) dan kuat tenaga sekutunya dan tentaranya. Pengikut-pengikutnya yang tewas dalam pertempuran itu tak terkira banyaknya. Mereka telah bersumpah setia kepadanya hingga mati. Mereka telah melindunginya dari maut dengan nyawa mereka sendiri. Mereka telah bertaqarrub pada Tuhan dengan mengorbankan diri mereka bagi kemenangan cita-cita (da'wah) al-Mahdi sebagai fanatik-fanatik penegak Kalimat Allah yang nantinya menang dan menggantikan daulah-daulah di kedua pesisir itu. 73) Al-Mahdi sendiri terus tetap sederhana, suka menyendiri, sabar dalam segala cobaan, dan sedikit sekali mengindahkan soal keduniaan 74) hingga akhir hayatnya. Ia meninggal tanpa kekayaan atau benda keduniaan. Malah anak pun ia tidak punya, sebagaimana setiap manusia menghendakinya, melainkan kerap kali ia tertipu dalam keinginannya. Saya ingin hendak mengetahui apakah kiranya yang diharapkannya hendak memperoleh dengan cara hidup yang seperti itu kalaulah bukan hasrat ingin menatap wajah Allah, karena ia tidaklah memiliki harta-benda keduniaan selama hidupnya itu. Tambahan lagi, jika maksudnya ia itu tiada baik, tentu ia tidak akan berhasil, dan da'wahnya tentu tidak akan meluas. "Demikianlah Allah telah melakukan dahulu-dahulu dengan para hamba-Nya." 75) Sesungguhnya penolakan para ahli fikih itu terhadap keturunan al-Mahdi dari keluarga Nabi tidaklah didasarkan atas sesuatu dalil apapun. Sekiranya benar bahwa ia sendirilah yang mendakwakan keturunan tersebut, maka dakwanya itu tidaklah dapat tidak dibenarkan, sebab manusia haruslah dapat dipercaya mengenai keturunan yang mereka dakwakan bagi diri mereka. Baiklah dikatakan kiranya, bahwa kepemimpinan (Ar. ar-riyasah) atas sesuatu kaum hanya terletak pada manusiamanusia sebangsa mereka sendiri. Ini memang benar sebagaimana akan diterangkan nanti dalam Bab Pertama dari buku ini. Akan tetapi al-Mahdi itu memegang pimpinan atas seluruh al-Mashmudah. Mereka bersetuju untuk mengikutinya dan dipimpin olehnya dan golongan 'ashabatnya yang bernama Harghah, sampai akhirnya Allah mengkurniakan kemenangan penuh bagi da'wahnya itu. Dalam hubungan ini haruslah diketahui, bahwa kekuasaan al-Mahdi itu tidaklah bergantung semata-mata pada keturunan al-Fathimiyahnya, dan orang-orang tidaklah mengikutnya semata-mata atas dasar kenyataan tersebut. Mereka telah mengikutnya karena adanya rasa golongan pada mereka, yaitu golongan Harghah-Mashmudah, 76) dan karena kedudukannya yang sudah berurat berakar dalam rasa golongan itu. Keturunan Fathimiyah dari al Mahdi itu telah menjadi samar-samar dan pengetahuan tentangnya telah menghilang di antara kalangan rakyat, walaupun ia tetap tinggal hidup pada dirinya dan pada keluarganya karena adanya tradisi keluarga itu. Keturunan asal dari al-Fathimiyah oleh satu dan lain hal telah terkupas dan ia kemudian memakai kulitnya Harghah-Mashmudah dan dengan demikian muncullah ia 72
Ar. syaukah. Dimaksudkan di sini pesisir Afrika Utara bagian barat dan Spanyol, O.R. 74 Ar. At taqallul min ad-dunya. 75 Al Qur-an XL : 85. 76 Ar. 'ashabiat al-Harghiat al-Mashmudiyah. 73
sebagai salah seorang dengan kulit mereka. Kenyataan bahwa ia berasal dari keturunan al-Fathimiyah tidaklah menyukarkan baginya dalam hubungan dengan rasa golongannya itu karena kenyataan tersebut tidak diketahui oleh anggota-anggota dari golongan itu. Hal seperti ini acapkalilah terjadi sekali saja keturunan dari asal seseorang itu menjadi samar-samar. Dalam hal ini ingatlah pada kisah 'Arfajah dan Jarir mengenai pimpinan atas suku bangsa Bajilah. 'Arfajah adalah sebenarnya dari suku bangsa Azd, akan tetapi ia telah memakai kulit suku (bangsa) Bajilah secara begitu baik, sehingga ia di hadapan sayidina 'Umar ra sanggup bertikai dengan Jarir mengenai kepemimpinan (Ar. arriyasah) itu, seperti juga telah tercatat dalam sejarah. Dari peristiwa ini hendaknya dapatlah manusia memahami betapa wajah kebenaran itu sebenarnya. Allah adalah petunjuk kepada apa yang sesungguhnya benar. Pentingnya Historiographi. Pembicaraan panjang lebar tentang kesalahan-kesalahan itu telah membawa kita agak jauh juga dari tujuan kitab ini. Akan tetapi banyaklah sudah orang-orang yang kompeten dan ahli-ahli sejarah yang cakap yang telah tergelincir dalam hubungan dengan cerita-cerita dan pendapat-pendapat seperti itu, dan mereka pun seperti terdampar layaknya dengan pikiran-pikiran mereka itu. Maka banyaklah orang-orang yang berpikiran lemah dan tiada kritis mendengar tentang itu dari mereka, dan malah para ahli sejarah sendiri yang cakap-cakap telah menerima segala itu tanpa penyelidikan yang kritis dan dengan demikian cerita-cerita aneh pun menyusuplah dalam karangan-karangan mereka. Maka sebagai akibat dari itu Ilmu Sejarah (Ar. 'ilmu at-tarikh, fan at-tarikh atau Er. historiographi) menjadilah bersifat tak masuk akal dan membingungkan dan para pelajarnya pun meraba-raba dibuatnya. Kesudahannya Ilmu Sejarah itu dianggaplah sebagai satu lapangan dari orang-orang biasa. Padahal sekarang ini seorang ahli dalam jurusan ini seharusnya mengetahui kaidah-kaidah politik, watak sebenarnya dari benda-benda, perbedaan-perbedaan di antara bangsa-bangsa dan negeri-negeri, periode-periode mengenai cara-cara hidup, akhlak, adat-istiadat, sekte-sekte, madzhab-madzhab dan segala sesuatu lainnya. Seterusnya ia perlu memiliki satu pengetahuan yang mendalam tentang keadaan-keadaan sekarang dalam segala hal-hal itu. Ia harus dapat memperbandingkan persamaan-persamaan dan perbedaanperbedaan antara keadaan sekarang dengan keadaan-keadaan di masa yang telah lalu dan lampau. Ia harus mengetahui sebab-sebab dari persamaan-persamaan itu pada keadaan-keadaan tertentu dan sebab-sebab dari perbedaan-perbedaan itu pada keadaan-keadaan lainnya. Ia harus insaf tentang asal-usul berbagai-bagai negara dan golongan agama (Ar. ushul ad-dual wa al-milal) dan permulaan-permulaan dari pertumbuhannya, sebagaimana juga tentang sebab-sebab dan perangsang-perangsang yang melahirkannya dan lingkungan-lingkungan serta sejarah dari orang-orang yang menegakkannya. Kesemuanya itu ialah supaya pengetahuannya lengkap tentang sebab-musabab dari setiap kejadian, dan diketahuinya tentang asal-usul dari setiap peristiwa. Kemudian, haruslah ia mengecek penerangan yang disampaikan itu dengan kaidah-kaidah asasi yang telah diketahuinya itu. Jika ia memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, maka shahihlah (benarlah) penerangan itu. Jika sebaliknya, maka ahli sejarah itu haruslah menganggapnya sebagai bohong dan menolaknya. Hanya dan semata-mata karena alasan ini sajalah makanya Ilmu Sejarah itu telah dipandang tinggi oleh orang-orang purbakala, sedemikian tingginya sehingga atThabari, al-Bukhari, dan sebelum mereka, Ibn Ishaq dan sarjana-sarjana ummat lainnya, telah memilihnya sebagai bidang ilmu yang akan diselami mereka. Akan
tetapi kebanyakan para sarjana telah melupakan ini, yaitu rahasia sebenarnya dari Ilmu Sejarah, dan akibatnya ialah ilmu ini menjadilah suatu kejuruan yang jahil. Orang-orang awam dan sarjana-sarjana yang tiada mempunyai dasar-dasar kuat dari ilmu pengetahuan, telah menganggap sebagai satu soal remeh mempelajari, dan mengetahui sejarah itu, menggalinya dan menjelajahnya. Maka bercampurlah hewanhewan gembalaan dengan hewan-hewan tersesat, kulit bercampur dengan isi, kebenaran dengan kebohongan. "Dan kepada Allah-lah terserah akibat semua urusan itu." (Al Qur-an XXXI : 22). Kealpaan Para Ahli Sejarah Tentang Perubahan Satu lobang tempat jatuh yang tak kelihatan dalam ilmu sejarah ialah sifat alpa terhadap kenyataan, bahwa keadaan-keadaan di kalangan bangsa-bangsa dan sukusuku bangsa itu turut berubah dengan berubahnya zaman dan berlalunya hari-hari. lni adalah suatu luka perih yang tersembunyi dalam sekali dan hanya dapat diketahui sesudah waktu yang lama, sehingga jarang sekali orang menyadarinya selain dari beberapa gelintir manusia saja. Soalnya begini. Keadaan dunia dan bangsa-bangsa, 77) Adat-istiadat dan sektesekte mereka, 78) tidaklah tetap dalam bentuknya yang sama atau dengan cara yang tak berubah-rubah. Ia berbeda-beda menurut hari-harinya dan zaman-zamannya, dan berubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Hal seperti ini berlaku bagi perorangan-perorangan manusia, waktu-waktu dan kota-kota, dan, dengan cara yang sama, iapun terjadi dalam hubungan dengan daerah-daerah dan distrik-distrik, zamanzaman dan daulah-daulah (dinasti-dinasti). "Demikianlah Allah telah melakukan dahulu-dahulu dengan para hamba-Nya." (Al Qur-an XL : 85). Di dunia ini tadinya pernah ada bangsa Persia purba, bangsa Syria, bangsa Nabataea, bangsa Tubba', bangsa Israil, dan bangsa Kopt. Semua mereka itu masingmasing mempunyai lembaga-lembaga tertentu dalam rangka susunan kenegaraan dan kedaerahan mereka, politik sendiri-sendiri, ekonomi sendiri-sendiri, bahasa sendirisendiri, istilah sendiri-sendiri, sebagaimana juga cara sendiri-sendiri dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebudayaan mereka. Peninggalan-peninggalan kuno mereka menjadi saksi bagi segala itu. Mereka itu kemudian digantikan oleh bangsa Persia baru, bangsa Romawi,79) dan bangsa Arab. Lembaga-lembaga lama berubahlah dan adat-istadat semula pun bertukarlah bentuknya, atau menjadi sesuatu yang mirip benar dengan bentuk semula, ataupun menjadi sesuatu yang berlainan dan berbeda sama sekali seluruhnya. Kemudian datanglah Islam dengan daulah 80) Mudlar. Maka berubahlah lagi semua lembaga-lembaga yang ada, dan pada umumnya bentuk-bentuk yang telah diambil itu masih dikenal sekarang ini sebagai akibat dari kelanjutan generasi dari generasi sebelumnya. Kemudian hari-hari dari dinasti Arab itupun berakhirlah. Generasi-generasi terdahulu yang telah memperteguh kekuasaan Arab dan membangun kerajaankerajaan mereka lenyaplah pula. Kekuasaan jatuh pada tangan orang lain, pada orangorang yang bukan Arab, seperti orang-orang Turki di timur, orang-orang Barbar di barat, dan orang-orang Franka 81) di utara. Maka dengan lenyapnya mereka itu, seluruh bangsa-bangsa itu pun lenyap, dan lembaga-lembaga dan adat-istiadat pun 77
Ar. ahwal al-'alam wa al-umam. Ar. 'awa-iduhum wa nihaluhum. 79 Yakni Romawi-Timur yang juga disebut Byzantium. OR 80 Dinasti. 81 Yakni orang-orang Kristen Perancis. 78
mengalami perubahan. Kemegahan mereka dilupakan orang, dan kekuasaan mereka pun tak diindahkan orang lagi. Sebab utama yang dapat diterima secara luas dari perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga dan adat-istiadat itu ialah kenyataan, bahwa adat-istiadat dari setiap (suku) bangsa itu adalah bergantung pada adat-istiadat dari rajanya. Yakni sama seperti bunyi kata berhikmat : "An-Nasu 'ala din al-malik wa ahli al-malik" (artinya : "Rakyat umum itu hanya meniru saja apa agama raja dan keluarga rajanya.") Jika orang-orang yang bernafsu politik mengalahkan sesuatu daulah dan merebut kekuasaan, maka mau tak mau mereka harus berlindung pada adat-istiadat dari yang digantikannya dan menerima bagian terbesar darinya. Dalam pada itu mereka tidak mengabaikan adat-istiadat dari (suku) bangsa mereka sendiri. Ini mengakibatkan timbulnya beberapa pertentangan-pertentangan (Ar. al-mukhalafah) antara adatistiadat dari daulah yang baru dengan adat-istiadat dari (suku) bangsa yang lama. Kekuasaan baru itu, pada gilirannya, digantikan pula oleh daulah yang lain lagi dan adat-istiadat itu pun teraduklah lebih lanjut dengan adat-istiadat dari daulah yang baru itu. Maka bertambah-tambahlah pertentangan-pertentangan yang terjadi, dan adalah pertentangan antara daulah yang baru itu dengan daulah yang pertama lebih hebat dari pertentangan antara daulah yang kedua dengan yang pertama. Pertentangan-pertentangan itu tiada henti-hentinya berjalan terus taraf demi taraf, sehingga sebagai hasilnya tercapailah satu susunan adat-istiadat dan lembaga-lembaga yang dalam keseluruhannya menyolok sekali (Ar. Al mubayinah bi al jumlah). Selama bangsa-bangsa dan suku bangsa-suku bangsa itu tiada henti-hentinya silih bertukar menggantikan kekuasaan diraja dan pemerintah, maka pertentangan-pertentangan mengenai adat-istiadat dan lembaga-lembaga itu pun tiadalah henti-hentinya akan terjadi. Manusia sudah terkenal tabiatnya suka membuat kiasan dan perbandingan. 82) Dua ini tidaklah aman dari kesalahan. Bersama-sama dengan sifat pelupa dan lalai, mereka mengontal-ngantil manusia dari maksudnya dan memisahkannya dari tujuannya. Maka acapkalilah terjadi seorang yang telah mendengar cukup banyak tentang sejarah yang lalu itu tetap juga tinggal tiada sadar tentang perubahan-perubahan yang telah dialami oleh keadaan-keadaan. Tanpa ragu-ragu sedikitpun ia mempergunakan pengetahuannya tentang dinihari itu untuk menerangkan sejarah dan mengukur penerangan sejarah itu dengan apa yang telah dipersaksikannya dengan mata kepalanya sendiri, walaupun perbedaan antara keduanya itu benar adanya. Sebagai akibat dari itu, terjerumuslah ia itu ke dalam jurang kesalahan. Kesalahan Mengenai Al-Hajjaj Dan Persoalan Mengajar Ini dapat digambarkan dengan apa yang telah disampaikan para hali sejarah mengenai hal-ihwal dari Al-Hajjaj. 83) Mereka mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang guru sekolah. Pada masa sekarang, mengajar 84) itu adalah satu kepandaian yang berguna buat mencari nafkah hidup. Ia jauh dari kebanggaan rasa golongan. Guru-guru itu lemah, miskin, dan tak berakar. Banyaklah orang-orang yang lemah di bidang kejuruan dan kerja tangan dan hendak mencari nafkah hidup mereka, telah berjuang untuk kedudukan-kedudukan yang sebenarnya bukan lapangan mereka, akan tetapi yang terletak dalam batas-batas kemungkinan yang dapat dicapai oleh mereka. Maka mereka tersesatlah oleh nafsu tamak mereka itu. Acapkali tali terlepas dari tangan mereka dan terlemparlah mereka 82
Ar. al-qiyas wa al-muhakah. Dimaksudkan di sini Al-Hajjaj ibn Yusuf, gubernur yang megah dari Iraq, 660-714 M. 84 Ar. at-ta'lim. 83
ke dalam jurang kehancuran. Mereka tidak menginsafi, bahwa apa yang mereka inginkan itu adalah tidak mungkin buat orang-orang seperti mereka. Mereka tidak menginsafi, bahwa mereka adalah orang-orang kejuruan dan pekerja tangan yang mencari nafkah hidup. Pun mereka juga tidak mengetahui, bahwa pada masa permulaan dari Islam dan di zaman daulah-daulah Umayyah dan 'Abbasiyah, mengajar itu bukanlah seperti sekarang. Kepandaian ilmu waktu itu adalah penyampaian pernyataan-pernyataan yang telah didengar orang sudah dibuat oleh Nabi sebagai pembentuk Syari'at Islam. Ia adalah pengajaran tentang soal-soal agama bagi orang-orang yang belum mengetahuinya dengan perantaraan tabligh. Orang-orang dari keturunan bangsawan dan orang-orang yang merasa segolongan dengan daulah yang berkuasa, yaitu mereka-mereka yang melaksanakan ajaran-ajaran Islam, merekalah orang-orang yang telah mengajarkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi saw itu, dan mereka telah melakukan segala itu sebagai tabligh yang bersifat menyampaikan, bukan sebagai ta'lim (pengajaran) yang bersifat jabatan. Al Qur-an adalah Kitab mereka, diturunkan kepada Rasul dari kalangan mereka. Kitab itu adalah pedoman mereka, dan Islam adalah agama mereka. Untuknya mereka telah berjuang dan untuknya mereka telah rela mati. Mereka telah berbeda dari bangsa-bangsa lain karenanya dan mereka telah terhormat karenanya. Maka mereka inginlah hendak menyampaikan segala ajaran-ajaran Islam itu dan memahamkannya kepada seluruh ummat manusia. Mereka tak dapat ditakut-takuti dalam hal ini oleh celaan-celaan yang datang karena kebanggaan manusia, pun tidak pula dapat dihambat oleh kecaman-kecaman yang timbul karena ketinggian hati manusia. Ini dapat dibuktikan oleh kenyataan bahwa Nabi saw telah mengirim sahabat-sabahat beliau yang terpenting sebagai utusan-utusan kepada bangsa Arab untuk mengajar mereka norma-norma Islam 85) dan syari'at-syari'atnya. Beliau telah mengirim sebagai utusan para sahabat beliau nan sepuluh 86) dan lain-lain lagi sesudah mereka itu. Sesudah itu Islam pun berdiri dengan teguhnya dan berakar dengan sangat kuatnya. Bangsa-bangsa yang jauh-jauh sekalipun menerima dan memeluk Islam dari tangan kaum Muslimin sendiri. Dengan berlalunya masa, maka keadaan Islam itu pun berubahlah. Banyak hukum-hukum Syari'at itu diistinbatkan dari nash-nash yang ada sebagai akibat dari perkembangan-perkembangan yang berturut-turut dan tiada hentihentinya. Akhirnya orang pun berhajat pada suatu kanun yang dapat memelihara pertumbuhan itu supaya aman dari kesalahan-kesalahan. Maka menjadilah kepandaian ilmu itu satu kebiasaan yang untuk memilikinya perlu kepada studi. 87) Dan dengan demikian keahlian ilmu itu tumbuhlah kejurusan menjadi satu kejuruan dan jabatan. Ini nanti akan kita perbincangkan juga pada pasal tentang Ilmu dan Pendidikan. Maka orang-orang yang menguasai rasa golongan itu 88) kini sibuklah dengan pelaksanaan urusan-urusan raja dan pemerintahan negara. Perkembangan kepandaian ilmu dipercayakan kepada orang-orang lain. Secara demikian kepandaian ilmu itu menjadilah jabatan yang berguna untuk mencari nafkah hidup. Orang-orang yang hidup mewah dan memegang kuasa pada pemerintahan negara merasa diri sudah terlalu megah untuk turut serta dalam pengajaran apapun. Maka mengajar itu menjadilah satu jabatan yang terbatas pada orang-orang yang rendah. Dan sebagai 85
Ar. hudud al-Islam. Dalam istilah Arab terkenal dengan sebutan 'asyarah al-mubasysyarah, yakni sepuluh orang Islam yang terdahulu sekali yang sudah pasti masuk sorga. Mereka itu ialah : Abubakar, 'Umar, 'Usman, 'Ali, Thalhah, AzZubair, 'Abdurrahman ibn 'Auf, Saad ibn Abi Waqqash, Sa'id ibn Zaid dan Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah. 87 Ar. at-ta'allum. 88 Ar. ahl al-'ashabiyah. 86
akibat darinya, guru-guru itu dipandang sebagai hina oleh orang-orang yang menguasai rasa golongan dan pemerintahan negara. Maka mengenai Al-Hajjaj ibn Yusuf itu, ayahnya adalah salah seorang dari para kepala dan bangsawan Tsaqif, yang cukup terkenal sudah karena kedudukan mereka dalam rasa kegolongan Arab 89) dan karena persaingan mereka dengan kaum bangsawan Quraisy. Al-Hajjaj itu memang benar turut mengajar Al Qur-an, akan tetapi mengajar Al Qur-an di zamannya itu tidaklah sama seperti mengajar Al Qur-an sekarang ini, yaitu sebagai satu jabatan yang berguna untuk mencari nafkah hidup. Mengajar sebagai dilakukannya itu adalah mengajar dalam bentuk sebagaimana telah dipraktekkan di zaman permulaan dari Islam, seperti juga telah kita sebutkan di atas tadi. Kesalahan Mengenai Para Hakim Umayyah Di Spanyol Satu gambaran lain dari kesalahan yang sejenis itu ialah kesimpulan yang tak ada dasarnya yang telah diambil oleh pembaca-pembaca yang kritis dari buku-buku sejarah. Mereka rupanya mendengar darinya tentang kedudukan hakim-hakim 90) di masa yang lampau itu, dan tentang pimpinan mereka dalam peperangan-peperangan dan betapa dahulu itu mereka telah memberikan perintah-perintah kepada tentaratentara. Maka secara sesat mereka pun menginginkan pula kedudukan-kedudukan yang seperti itu. Mereka mengira bahwa jabatan hakim sekarang ini sama pentingnya dengan martabat hakim di zaman dulu. Ketika mereka mendengar bahwa ayah dari Ibn Abi 'Amir, 91) yang berkuasa penuh atas Hisyam, dan ayah dari Ibn 'Abbad, 92) yakni salah seorang dari muluk aththawaif di Sevilla, 93) adalah hakim-hakim, mereka mengira bahwa mereka itu adalah seperti hakim-hakim sekarang ini. Mereka rupanya tiada sadar bahwa perubahanperubahan telah menimpa adat-istiadat dari jabatan hakim itu, dan tentang ini nanti akan kita perbincangkan juga dalam pasal tentang Jabatan Hakim dalam jilid pertama. Ibn Abi 'Amir dan Ibn 'Abbad adalah dari golongan kabilah-kabilah Arab yang menyokong daulah Umayyah di Spanyol dan mewakili rasa golongan dari kaum Umayyah itu, dan betapa pentingnya posisi mereka itu sudahlah cukup diketahui orang. Kepemimpinan 94) dan kekuasaan kerajaan 95) yang dipegang mereka itu bukanlah terbit dari pangkat hakim sebagaimana yang dikenal sekarang ini. Tidak. Dalam organisasi tata negara zaman dahulu itu, jabatan hakim itu diberikan oleh daulah dan para mawlanya kepada orang-orang yang turut menyertai rasa golongan dari daulah yang bersangkutan itu, sebagaimana juga halnya di abad kita sekarang ini dengan al-wizarah di al-Maghrib. Lihat sajalah pada kenyataan, bahwa di zaman dahulu itu para hakim itu turut serta dengan tentara dalam pertempuran-pertempuran di musim panas dan bahwa mereka ditugaskan dalam persoalan-persoalan yang penting-penting sekali, seperti yang hanya dapat dipercayakan pada orang-orang yang rasa golongan mereka benar-benar telah mendalam. Hanya orang-orang seperti inilah yang diperlukan untuk pelaksanaan segala itu. Dengan mendengar hal-hal seperti itu sebagian orang mudah tertipu dan memperoleh pengertian yang salah tentang keadaan-keadaan itu. Sekarang ini 89
Ar. 'ashabiyah al-'Arab. Ar, ahwal al-qudlah. 91 Dapat dicatat di sini, bahwa al-Manshur ibn Abi 'Amir meninggal di tahun 392 H. atau 1002 M. 92 Dinasti 'Abbadiyah itu berkuasa di Sevilla selama abad ke sebelas. O.R. 93 Ar. Isybiliyah 94 Ar. ar-riyasah. 95 Ar. al-mulk. 90
kebanyakan orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan seperti itu adalah orangorang Spanyol 96) yang pendek pikiran. Rasa golongan telah lenyap di negeri mereka itu sejak bertahun-tahun lamanya, sebagai akibat dari permusuhan orang-orang Arab beserta daulah mereka di Spanyol dan keluarnya orang-orang Spanyol itu dari pengawasan 'ashabiyah orang-orang Barbar. Keturunan Arab mereka masih saja diingat-ingat orang, akan tetapi kesanggupan untuk memperjuangkan kekuasaan lewat 'ashabiyah dan kerjasama itu telah lenyap. Malah menurut kenyataan, orang-orang Spanyol itu kemudiannya menjadilah rakyat yang passif, tanpa perasaan sama sekali buat kewajiban bantu-membantu. Mereka telah diperbudak oleh kekerasan dan telah menjadi senang pada penghinaan, karena menurut perkiraan mereka, keturunan mereka serta turut-sertanya mereka dalam pemerintahan negara itu, itulah dia sumber kekuatan dan kekuasaan. Itulah sebabnya maka di antara mereka itu terdapat orangorang kejuruan dan keahlian tangan yang berusaha keras hendak mencapai kekuatan dan kekuasaan itu dan bernafsu sekali hendak memperolehnya. Sebaliknya, orang-orang yang mempunyai pengalaman tentang hal-ihwal kabilahkabilah, rasa golongan dan kerajaan-kerajaan di sepanjang pesisir barat, dan yang mengetahui bagaimana superioritas itu 97) dapat tercapai di antara bangsa-bangsa dan golongan-golongan suku bangsa, jarang sekali berbuat kesalahan-kesalahan ataupun memberi pengertian-pengertian yang salah dalam hal itu. Bertahan Pada Bahan-Bahan Tua Gambaran lain dari kesalahan yang seragam seperti itu ialah prosedur yang ditempuh para ahli sejarah dalam keinginan mereka hendak menyebut-nyebut bermacam-macam kerajaan dan jumlah dari raja-rajanya. Mereka menyebut nama dari setiap raja, keturunannya, ibu dan ayahnya, isteri-isterinya, laqabnya, capnya, kadlinya, hajibnya dan wazirnya. Dalam hal ini mereka telah mengikuti secara taklid para ahli sejarah dari kedua daulah Umayyah dan 'Abbasiyah, tanpa menginsafi maksud-maksud dari para ahli sejarah di zaman tersebut. Ahli-ahli sejarah di zaman itu menulis buku-buku sejarah mereka ialah buat anggota-anggota dari kerajaan yang sedang berkuasa, karena anak-anak mereka berhajat pada pengetahuan tentang riwayat hidup-riwayat hidup dan keadaan-keadaan dari para nenek-moyang mereka untuk dituruti jejak-jejak langkah mereka dan mengerjakan sebagaimana mereka telah lakukan, walaupun sampai pada hal yang sekecil-kecilnya, seperti misalnya penerimaan pelayan-pelayan dari antara orangorang yang ditinggalkan oleh kerajaan yang sebelumnya dan pemberian pangkatpangkat dan kedudukan-kedudukan bagi keturunan-keturunan para pelayan itu dan yang menyamainya. Juga hakim-hakim turut mengambil bagian dalam rasa golongan kerajaan itu, dan menikmati kebesaran yang sama seragai wazir-wazir, seperti baru saja kita sebutkan di atas. Karena itulah maka para ahli sejarah di zaman tersebut harus menyebutkan segala itu semuanya. Akan tetapi di kemudian hari, berbagai-bagai kerajaan baru telah muncul. Masa pemerintahannya semakin menjadi bertambah-tambah lama. Perhatian sejarah kini ditujukanlah secara khusus kepada pribadi raja-raja itu sendiri dan pada perhubunganperhubungan bersama dari berbagai-bagai kerajaan dalam rangka kekuatan dan kekuasaannya. Persoalannya sekarang ini ialah bangsa-bangsa manakah yang sanggup menentang kerajaan yang sedang berkuasa itu dan manakah yang terlalu lemah untuk berbuat demikian. Karena itu tidaklah ada faedahnya buat pengarang di masa 96 97
Ar. al-Andalus. Ar. at-taghallub'
sekarang ini untuk mencantumkan nama-nama anak dan isteri-isteri, cukilan cincin stempel, laqab, kadli, wazir dan hajib dari sesuatu kerajaan kuno, jika ia tiada mengetahui asal-usul, keturunan, atau keadaan-keadaan dari para anggotanya. Pengarang-pengarang zaman sekarang ini telah menyebut-nyebut segala itu hanya karena hendak meniru pengarang-pengarang dahulu itu secara taklid buta. Mereka tiada mengindahkan maksud-maksud sebenarnya dari pengarang-pengarang dahulu itu dan lupa pula memperhatikan tujuan yang sesungguhnya dari penulisan sejarah. Yang dapat dikecualikan dalam hal ini ialah wazir-wazir yang pengaruhnya luar biasa, yang kebesaran mereka dalam sejarah adalah melebihi kebesaran dari raja-raja. Wazir-wazir seperti ini memang perlu dicantumkan, misalnya ialah, al-Hajjaj, Banu al-Muhallah, al-Baramikah, Banu Sahl ibn Nawbacht, Kafur al Ikhsyidi, Ibn Abi 'Amir, dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidaklah ada keberatan apa-apa untuk memperbincangkan peri kehidupan mereka ataupun menunjuk pada keadaan-keadaan mereka, karena mereka itu semua adalah sama pentingnya dengan raja-raja. Perubahan-Perubahan Sejak Zaman Al-Mas'udi. Kini marilah kita cantumkan di sini satu catatan tambahan sebagai penutup dari pembicaraan kita ini. Sejarah adalah penyebutan kejadian-kejadian yang istimewa bagi zaman atau (suku) bangsa tertentu. Perbincangan tentang keadaan-keadaan umum dari daerahdaerah, bangsa-bangsa dan zaman-zaman itu merupakan dasar bagi ahli sejarah. Kebanyakan dari persoalan-persoalannya terletak atas dasar ini, dan kejelasan dari penerangan sejarahnya pun terbit dari sini pula. Ini merupakan pokok pembicaraan dari karangan-karangan tertentu, seperti misalnya kitab Muruj adz-Dzahab dari alMas'udi. Dalam karangannya itu al-Mas'udi mengulas tentang keadaan-keadaan dari bangsa-bangsa dan daerah-daerah di Barat dan di Timur di waktu zamannya, yaitu di tahun tiga ratus tiga puluhan. 98) Ia telah menyebut di sana sekte-sekte dan adatistiadat mereka. Ia lukiskan di dalamnya berbagai-bagai negeri, gunung-gunung, samudera-samudera, propinsi-propinsi dan kerajaan-kerajaan. Ia telah pula memperbedakan di sana antara rakyat-rakyat Arab 99) dengan rakyat-rakyat yang bukan Arab. Dengan demikian bukunya itu menjadilah kitab petunjuk asasi bagi para ahli sejarah, sumber mereka yang utama buat menguji penerangan sejarah. Sesudah al-Mas'udi itu, kemudian datanglah al-Bakri 100) yang melakukan pekerjaan yang sama, khusus mengenai jalan-jalan dan propinsi-propinsi, tanpa menguraikan yang lain-lain lagi, karena di zamannya itu tidaklah banyak terjadi transformasi-transformasi atau perubahan-perubahan besar di kalangan bangsa-bangsa dan suku bangsa-suku bangsa. Akan tetapi sekarang ini, yakni pada akhir abad ke delapan, 101) suasana di al-Maghrib itu, seperti dapat kita lihat, telah berputar dan berubah seluruhnya. Orang-orang Barbar, yaitu penduduk asli dari al-Maghrib, telah digantikan oleh orang-orang Arab yang mengalir deras ke sana sejak abad ke lima 102) Jumlah orang-orang Arab itu melebihi jumlah orang-orang Barbar dan dengan mudah mereka dapat menguasai orang-orang Barbar, melucuti mereka dari sebagian besar
98
Atau 940-an Masehi OR. Ibnu Khaldun memakai perkataan Ar. syu'ub al-Arab OR. 100 Yaitu ahli geographi 'Abdullah ibn Muhammad al-Bakri, hidup 432-487 H. (atau 1040/41-1094 M.). Ia sering disebut-sebut oleh Ibnu Khaldun. Bukunya yang terkenal, tetapi yang baru sebagian diterbitkan ialah al-Masalik wa al Mamalik (jalan-jalan dan Propinsi-propinsi). Di Kairo kini sudah diterbitkan ilmu buminya yang bernama Mu'jam wa Tsa'yam. 101 Atau abad ke empat belas Masehi, OR. 102 Atau abad ke sebelas Masehi. OR. 99
tanah-tanah mereka, dan malah memperoleh bagian pula lagi dari tanah-tanah yang masih tinggal di tangan mereka itu. Demikianlah suasana waktu itu, sampai pada pertengahan abad ke delapan, 103) peradaban di Timur dan di Barat itu ditimpa oleh penyakit tha-un yang menghancurkan, yang merusakkan bangsa-bangsa dan menyebabkan banyak sekali penduduk-penduduk musnah dan lenyap. 104) Penyakit itu telah menelan banyak dari hal-hal yang baik dari peradaban dan yang hapus karenanya. Ia telah menyerbu kerajaan-kerajaan itu pada saat usia mereka sudah lanjut, ketika mereka sudah tiba pada batas waktu mereka. Ia telah mengurangi kekuatan mereka dan membatasi pengaruh mereka. Ia telah memperlemah kekuatan mereka. Keadaan mereka telah mendekati titik kehancuran dan kemusnahan. Maka peradaban pun mundurlah dengan mundurnya kemanusiaan itu. Kota-kota dan gedung-gedung menjadi puing-puing, jalan-jalan raya dan tanda-tanda lalu-lintas musnah, tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah menjadi kosong, daulah-daulah dan kabilah-kabilah pun menjadilah lemah. Seluruh dunia yang didiami manusia berubah karenanya. Timur seolah-olah telah ditimpa oleh apa yang telah menimpa Barat, 105) walaupun dalam ukuran yang sesuai dan sebanding dengan peradaban Timur sendiri yang kaya-raya itu. Keadaannya seolah-olah suara eksistensi di dunia ini 106) telah menyerukan kehancuran dan pembatasan, dan dunia rupanya telah menjawab tantangan seruan itu. Maka Allahlah pewaris bumi dan segala apa yang berada di atasnya! Ketika kelihatan ada satu perubahan umum pada keadaan keadaan itu, maka nampak seolah-olah seluruh makhluk itu telah berubah dan seluruh dunia telah bertukar, seperti satu ciptaan baru yang diulangi layaknya, yah satu alam yang adanya adalah baru sama sekali! Karena itu adalah satu kebutuhan sekarang ini supaya ada hendaknya salah seorang manusia yang secara sistematis mencatat situasi dunia di antara segala daerah-daerah dan bangsa-bangsa, sebagaimana juga adat-istiadat bagi kepercayaan-kepercayaan sekte yang telah berubah bagi para pengikutnya, pendeknya, melakukan buat masa sekarang apa yang telah dilakukan al-Mas'udi buat zamannya. Ia haruslah menjadi model buat para ahli sejarah zaman depan dalam menuruti jejaknya. Dalam buku saya ini saya akan perbincangkan sebanyak-banyaknya tentang itu, sebagaimana dimungkinkan oleh keadaan saya di sini di al-Maghrib. Saya akan berbuat demikian, baik secara terang-terang tersurat, maupun secara tersirat, tentang sejarah al-Maghrib, sesuai dengan maksud saya hendak membatasi diri dalam buku ini pada penulisan al-Maghrib saja dulu, hal-ihwal suku-suku dan bangsa-bangsanya, dan rakyat-rakyat dan daulah-daulahnya, tanpa menyinggung daerah manapun yang lain-lain. 107) Pembatasan ini adalah sangat perlu oleh kekurangan tela'ah saya tentang keadaan-keadaan di Timur 108) serta bangsa-bangsanya, dan juga oleh kenyataan, bahwa berita-berita dari tangan kedua tidaklah akan dapat memberikan fakta-fakta penting yang amat saya perlukan itu.
103
Atau abad ke empat belas Masehi. Ini terjadi di antara tahun 1347 - 1357 M. di Afrika Utara, di mana di samping peperangan merebut Tunis, juga berkecamuk penyakit sampar (tha'un) yang bersifat menghancurkan juga. OR. 105 Maksudnya al-Maghrib, yakni Marokko sekarang. 106 Ar. lisan al-kawni fl al-'alam. 107 Menurut kenyataan, Ibnu Khaldun kemudian telah merubah pikirannya itu dan menambah pada babak permulaan dari bukunya ini Sejarah dari Negeri-negeri Timur. O R 108 Ar. al-Masyriq. 104
Al Mas'udi telah dapat berbuat demikian disebabkan ia telah banyak menjelajahi berbagai-bagai negeri, sebagaimana telah tertulis dalam bukunya itu. Namun demikian pembahasannya tentang keadaan-keadaan di al-Maghrib tidaklah lengkap. "Dan di atas setiap ahli ilmu, Dialah yang lebih mengetahui." (QS.12 : 76) Allah adalah gudang terakhir dari segala ilmu. Manusia itu adalah lemah dan tiada sempurna. Mengaku tentang kekurangan diri adalah satu kewajiban agama yang spesifik. Dan barang siapa ditolong Allah, maka mudahlah jalan baginya dan berhasillah usaha-usaha dan tuntutan-tuntutannya. Maka kami memohon pertolongan Allah dalam mencapai tujuan yang kami cita-citakan dengan buku ini. Semoga Ia sudi memberi petunjuk dan bantuan, dan sesungguhnya Allah dapatlah dipercaya. Transliterasi Bunyi Suara Yang Bukan Arab. Kini tinggallah lagi bagi kita untuk menjelaskan bagaimana cara menuliskannya nanti bunyi-bunyi suara yang tidak ada pada lidah Arab, bila saja ia terdapat dalam buku kita ini kelak. Haruslah diketahui, bahwa huruf-huruf untuk itu, sebagaimana kelak akan diterangkan, adalah perubahan-perubahan dari bunyi suara yang datang dari pangkal kerongkongan. Perubahan-perubahan ini berasal dari kenyataan, bahwa bunyi-bunyi suara itu menjadi terpecah dalam persentuhannya dengan anak-lidah dan tepi-tepi lidah di kerongkongan, pada waktu menyentuh langit-langit atau gigi, dan begitu pula jika bertemu dengan kedua bibir. Bunyi suara itu berubah menurut aneka ragam penyentuhan-penyentuhan yang terjadi. Sebagai akibat darinya, huruf-huruf itupun berbunyi secara tertentu. Penggabungan dari bunyi-bunyi itu menimbulkan perkataan, yang menggambarkan apa terdapat dalam pikiran manusia. Tidak semua bangsa sama dalam pembunyian huruf-huruf itu. Bangsa yang satu mempunyai huruf-huruf yang tidak dipunyai oleh yang lainnya. Huruf-huruf yang ada pada bangsa Arab, sebagai diketahui, berjumlah dua puluh delapan semuanya. Orangorang 'Ibrani kedapatan mempunyai huruf-huruf yang tak ada pada bahasa kita. Dalam bahasa kita menurut kenyataan ada pula huruf-huruf yang tak terdapat pada mereka itu. Demikian juga halnya dengan orang-orang Eropah, Turki, Barbar, dan orang asing lainnya. Maka supaya dapat membunyikan hurut-huruf mereka itu, orang-orang Arab yang ahli tulis-baca telah membuat dan menggunakan istilah-istilah untuk pembunyian huruf-huruf mereka itu dengan meletakkan huruf-huruf yang ada itu tertulis secara terpisah-pisah, seperti alif ba, jim, ra, tha, dan demikianlah seterusnya melewati ke dua puluh delapan huruf-huruf yang ada itu. Jika mereka sampai pada satu huruf yang tidak terdapat bunyi huruf dalam bahasa mereka, maka tinggallah ia tidak tertulis dan tidak dibunyikan dengan jelas. Para penulis kadangkala membunyikannya dengan menggunakan huruf yang paling dekat padanya dalam bahasa kita, sebelumnya atau sesudahnya. lni bukanlah satu cara yang memuaskan dalam pembunyian huruf, malah satu penukaran dari bunyi aslinya. Buku kita ini, mengandung sejarah bangsa Barbar dan beberapa bangsa 'ajam lainnya. Pada nama-nama mereka dan pada beberapa dari perkataan mereka itu, kita dapati huruf-huruf (suara-suara) yang tidak ada pada bahasa tertulis kita dan pada orthographi kita yang biasa. Karenanya kita terpaksa menandai huruf-huruf (suarasuara) itu dengan tanda-tanda tertentu. Maka seperti telah dikatakan, kami tidaklah puas dengan penggunaan huruf-huruf yang paling berdekatan dengannya, karena menurut pendapat kami itu bukanlah suatu penunjukkan yang memuaskan. Karena itu dalam buku saya ini, saya telah mengistilahkan hendak menulis huruf-huruf (suarasuara) asing itu dengan dua huruf kita yang paling dekat dengannya, sehingga para
pembaca dapat menyuarakannya agak di tengah-tengah di antara suara-suara yang dibunyikan oleh kedua huruf itu dan dengan demikian menyuarakannya secara tepat sekali. Pikiran saya ini berasal dari cara-cara ahli al Qur-an menulis huruf-huruf yang tak begitu tajam bunyinya, 109)seperti misalnya pada perkataan ash-shirath menurut cara pembacaannya Khalaf. 110) Di sini pembunyian huruf shad itu adalah antara shad dan zai. Dalam hal ini mereka menyebut perkataan itu dengan shad dan menulis di dalamnya bentuk zai. Jadi dengan begitu mereka menunjuk pada penyuaraan yang agak di tengah-tengah antara kedua bunyi suara itu. Dan secara demikian pula saya telah menulis setiap huruf (suara) yang penyuaraannya adalah agak di tengah-tengah di antara dua dari huruf-huruf (suara) kita itu. Huruf Barbar kaf, misalnya, yang disuarakan agak di tengah-tengah antara kaf kita yang nyaring dengan jim atau qaf, seperti misalnya dalam perkataan nama Bulugin 111) telah saya tuliskan dengan satu kaf dengan tambahan satu titik - yakni dari jim di bawahnya -, ataupun satu atau dua titik - yakni dari qaf - di atasnya. Ini menunjukkan bahwa suara itu harus dibunyikan agak di tengah-tengah antara kaf dengan jim ataupun qaf. Bunyi suara ini paling banyak terdapat pada bahasa Barbar. Dalam hal-hal yang lain, saya telah menuliskan setiap huruf (suara) yang harus dibunyikan agak di tengah-tengah antara dua huruf (suara) dari bahasa kita, dengan penggabungan yang sama dari dua huruf itu. Pembaca dengan demikian akan mengetahui bahwa itu adalah satu suara pertengahan dan tentu akan mengucapkannya sesuai dengan itu. Dengan cara begini kita sudahlah memberi petunjuk tentang hal tersebut itu dengan memuaskan. Andai kata kita tidak menulisnya dengan menggunakan hanya satu huruf (suara) yang berdekatan dengannya di salah satu tepinya, tentulah kita akan telah merubah pembunyiannya yang sebenarnya dengan pembunyian huruf (suara) tertentu dari bahasa kita sendiri, dan kita dengan demikian sudahlah bertindak merubah cara-cara bicara dari ummat manusia. Ini haruslah dicamkan benar-benar. Semoga Allah memberikan kita kemenangan semuanya!
CUPLIKAN DARI MUQADDIMAH TENTANG
MASYARAKAT DAN NEGARA 1.
ASAL-USUL MASYARAKAT Sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (Ar. al-ijtima' al-insani) dari ummat manusia adalah satu keharusan. Para filosof (Ar. al-hukuma') telah melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka : "Manusia itu adalah politis menurut tabiatnya" (Ar. al-insanu madaniyyun bi ath-thab'i). lni berarti bahwa ia memerlukan satu organisasi kemasyarakatan yang menurut istilah para filosof dinamakan "kota" (Ar. al-madinah, atau Lat. polis). Dan itulah dia peradaban (Ar. al-'umran). Keharusan adanya organisasi kemasyarakatan manusia atau peradahan itu dapat diterangkan oleh kenyataan, bahwa Allah subhanahu wa ta'ala telah menciptakan dan menyusun manusia itu menurut satu bentuk yang hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan 109
Ar. huruf al asymam. Yaitu Khalaf ibn Hisyam, salah seorang dari tujuh ahli qira'at al-Qur-an yang termasyhur. Ia meninggal di tahun 229 H. (atau 843/44 M.). Perkataan ash-shirath tersebut itu ialah dari surat Al-Fatihah. O.R. 111 Huruf "g" seperti diketahui tidak ada dalam bahasa Arab. O.R. 110
makanan. Ia menunjuki manusia itu pada keperluan makan menurut watak dan memberi padanya kodrat yang menyanggupkannya memperoleh makanan itu. Akan tetapi kodrat manusia seorang itu tidak mencukupi baginya untuk memperoleh makanan yang ia perlukan, dan tidak memberi kepadanya makanan sebanyak yang ia butuhi untuk hidup. Sekalipun kita letakkan makanan yang amat diperlukan itu pada serendah-rendahnya, yakni makanan sekedar cukup untuk sehari saja, misalnya sedikit gandum, namun jumlah makanan yang sedikit itu hanya dapat diperoleh sesudah satu usaha yang banyak juga, seperti misalnya menggiling, meremas, dan memasak. Masing-masing dari tiga pekerjaan ini berhajat pada sejumlah alat-alat dan lebih banyak lagi pekerjaan tangan dari yang tersebut barusan. Adalah di luar tenaga seorang manusia untuk melakukan segala itu, ataupun sebagiannya, sendirian saja. Jelaslah bahwa ia tak dapat berbuat banyak tanpa penggabungan beberapa tenaga dari kalangan sesama manusia, jika ia hendak memperoleh makanan bagi dirinya dan bagi mereka itu. Dengan bergotong-royong (Ar. at-ta'awun) maka kebutuhan-kebutuhan sejumlah manusia, beberapa kali lebih banyak dari jumlah mereka, dapatlah dipenuhi. Demikian pula dengan cara serupa, setiap perorangan itu berhajat pada bantuan orang lain untuk pertahanan dirinya. Ketika Tuhan mengatur tabi'at-tabi'at pada semua makhluk bernyawa dan membagi berbagai-bagai kodrat di antara mereka, maka banyaklah hewan-hewan bisu diberikan tenaga yang lebih sempurna daripada tenaga manusia. Tenaga seekor kuda misalnya, adalah lebih besar dari tenaga seorang manusia, dan demikian tenaga seekor keledai atau seekor sapi. Tenaga dari seekor singa atau seekor gajah adalah berganda-ganda lebih besar dari tenaga manusia. Dan karena permusuhan 112) adalah suatu tabi'at pada makhluk hewan, maka Tuhan memberikan masing-masing mereka itu satu anggota tertentu bagi pertahanan diri mereka dari serangan-serangan. Kepada manusia, sebagai ganti itu, diberikannya kesanggupan berpikir dan dua buah tangan. Dengan dibantu oleh pikiran, tangan itu dapatlah menyediakan dirinya bagi kecakapan-kecakapan tangan. Kecakapankecakapan tangan ini pada gilirannya menghasilkan bagi manusia itu alat-alat yang berguna baginya sebagai ganti anggota badan yang dimiliki hewan-hewan lainnya untuk pertahanan diri mereka itu. Lembing-lembing misalnya, adalah sebagai pengganti tanduk-tanduk guna menebuk dan menembus, pedang-pedang sebagai ganti kuku atau cakar guna menimbulkan luka-luka, perisai-perisai sebagai ganti kulit-kulit tebal, dan begitulah seterusnya. Banyak yang lain-lain lagi yang serupa itu seperti telah disebut-sebut juga oleh GALEN 113) dalam bukunya Faedah-faedah Anggota Badan. Tenaga seorang manusia tidak akan dapat menahan tenaga seekor binatang bisu yang manapun terutama - tidak tenaga - dari binatang-binatang buas. Manusia pada umumnya tiada sanggup mempertahankan dirinya dari mereka secara sendirian. Pun pula tenaganya tiada akan cukup untuk mempergunakan alat-alat pertahanan yang ada, karena alat-alat semacam itu banyak sekali adanya dan meminta banyak sekali usaha-usaha tangan dan benda-benda yang diperlukan. Maka tak boleh tidak amatlah perlu bagi manusia supaya bergotong-royong sesamanya. Selama gotong-royong seperti itu tidak ada, ia tidaklah akan memperoleh makanan atau santapan apapun, dan kehidupan tidaklah memenuhi baginya, karena Allah telah menciptakannya begitu rupa sehingga betapapun ia berhajat pada makanan jika ia hendak hidup. 112
Ar, al-'udwan ialah permusuhan, akan tetapi kiranya tepat juga jika di sini diterjemahkan dengan perkataan aggressivitas atau suka-serang. 113 Ar. Jalinus, yakni Claudius Galenus, seorang tabib yang amat masyhur di zaman purba sebelum nabi 'Isa, hidup sebagai ahli anatomi dan fisiologi di Roma, dan meninggal di tahun 200 sebelum Isa.
Pun pula ia tak akan berhasil mempertahankan dirinya karena ketiadaan senjatasenjata. Maka jatuhlah ia menjadi mangsa bagi binatang-binatang dan matilah ia tidak pada waktunya. Dalam keadaan-keadaan seperti itu jenis manusia (Ar. naw'ul bashar) tentulah akan lenyap. Akan tetapi karena adanya gotong-royong, maka manusia pun memperolehlah makan untuk santapannya dan senjata-senjata untuk pertahanan dirinya. Dan dengan demikian terpenuhilah hikmat Tuhan agar umat manusia itu berkelanjutanlah hidupnya dan terpeliharalah jenisnya itu hendaknya. Maka itu organisasi masyarakat adalah satu kemestian bagi jenis manusia (Ar. alijtima'u dlaruriyyun li an-naw'i al-insani). Tanpa itu wujud umat manusia tidaklah sempurna. Keinginan Tuhan hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia dan menjadikan mereka khalifah-khalifahnya di bumi ini tentulah tidak akan terbukti. Inilah sebenarnya arti peradaban (Ar. Al-'umran) yang menjadi maudhu' atau dasar pokok pembicaraan dari ilmu pengetahuan yang sedang kita perbincangkan sekarang ini. (Pasal I : Muqaddimah Pertama). 2.
ASAL-USUL NEGARA Pada waktu umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan seperti kita sebutkan itu, dan ketika peradaban dunia dengan demikian telah menjadi satu kenyataan, maka umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan melaksanakan satu kewibawaan dan memelihara mereka, karena permusuhan dan kedzaliman adalah pula watak kehewanan pada manusia. Senjata-senjata yang dibuat untuk pertahanan bangsa manusia dari serangan binatang-binatang bisu tidaklah mencukupi bagi pertahanan dari serangan-serangan manusia terhadap manusia, karena semua mereka itu memiliki alat-alat senjata tersebut itu. Jadi amatlah diperlukan sesuatu yang lain buat pertahanan terhadap serangan-serangan sesama manusia itu. Dan ini tidaklah mungkin datang dari luar, karena semua hewan-hewan yang lain itu tidaklah memiliki tanggapan-tanggapan dan ilham-ilham manusia (Ar. madarikihim wa ilhamatihim). Maka dengan sendirinya orang yang akan melaksanakan kewibawaan itu (Ar. alwazi') haruslah salah seorang di antara mereka itu. Ia harus menguasai mereka dan mempunyai kekuatan dan wibawa atas mereka (Ar. lahu 'alaihim al-ghalbah wa assulthan wa al-yad al-qahirah), sehingga tiada seorang pun di antara mereka itu akan sanggup menyerang yang lainnya. Dan inilah yang dinamakan kekuasaan autoritas (Ar. al-mulk 114). Jadi nyata dari sini, bahwa kekuasaan wibawa itu adalah satu watak (tabiat) khusus dari manusia yang secara mutlak perlu sekali bagi umat manusia. Para filosof malah berpendapat bahwa ia itu juga terdapat di kalangan binatang-binatang bisu tertentu, seperti misalnya di kalangan lebah dan di kalangan belalang. Di kalangan mereka itu orang telah dapati adanya hukum, kepemimpinan dan ketaatan pada seorang kepala. Mereka mengikuti seekor dari kalangan mereka sendiri yang karena khilkah dan badannya nampak amat menonjol sebagai pemimpin mereka itu. Akan tetapi segala itu telah ada pada makhluk di luar manusia ialah berkat fithrah dan hidayah Tuhan, dan bukan sebagai fikrah(kesanggupan berpikir) dan siyasah (politik). "Dialah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu itu kejadian masingmasing, kemudian Ia unjukkanlah jalan-jalan." (al-Qur-an XX : 50). 114
Perkataan Arab al-mulk ini oleh Issawi diterjemahkan dengan perkataan Inggris sovereignty, dan oleh Rosenthal dengan royal authority. Menurut pendapat saya yang paling kena ialah menterjemahkannya dengan kekuasaan wibawa atau dalam bahasa Inggrisnya authoritative power. Oleh karena itu al-mulk akan kita terjemahkan seterusnya dengan kekuasaan-wibawa. O.R.
Para filosof malah bertindak lebih jauh lagi. Mereka berusaha untuk memberi dalil yang logis tentang adanya nubuwwah dan bahwa nubuwwah itu adalah satu watak, khusus dari manusia. Dalam hubungan ini mereka menarik argumen sampai ke akhir ujungnya dan mengatakan bahwa makhluk manusia itu secara mutlak memerlukan suatu autoritas untuk melaksanakan satu kewibawaan. Kemudian mereka menyatakan lagi bahwa autoritas yang seperti itu adalah terdapat pada Syari'at Islam yang diwajibkan Allah dan telah disampaikan kepada seluruh umat manusia oleh seorang manusia, yang sungguh berbeda dari seluruh manusia lainnya oleh keistimewaankeistimewaan hidayah Allah padanya sehingga karenanya semua lainnya pada menyerah diri padanya dan siap-sedia menerima segala barang apa saja katanya. Maka itu adanya kekuasaan-wibawa di antara mereka itu dan di atas mereka menjadilah satu kenyataan yang diterima tanpa ingkar atau mungkir sedikitpun. Penetapan para filosof ini terang tidak logis kelihatannya, karena wujud (eksistensi) dan penghidupan manusia itu dapat juga ada tanpa adanya nubuwwah itu, yaitu lewat peraturan-peraturan yang dibuat oleh seseorang yang berkuasa sesukanya atau dengan bantuan suatu rasa golongan (Ar. al-'ashabiyah) yang memungkinkan baginya untuk memaksa yang lain-lain itu agar mengikutinya ke mana saja ia bawa mereka itu. Rakyat yang mempunyai Kitab Suci dan yang mengikuti Nabi-nabi adalah sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kaum Majusi 115) yang tiada memiliki Kitab Suci itu. Yang tersebut belakangan ini adalah merupakan bagian terbesar dari penduduk dunia. Malah mereka itu juga mempunyai kerajaan-kerajaan dan monumenmonumen, untuk tidak menyebut-nyebut penghidupan itu sendiri. Hingga sekarang ini mereka masih memiliki segala itu di daerah-daerah sejuk di utara dan di selatan. Ini adalah bertentangan dengan penghidupan manusia dalam keadaan anarkhi, di mana seorang pun tidak ada yang akan melaksanakan kewibawaan itu. Hal seperti ini tidaklah mungkin. Maka dari ini teranglah bagi kita, bahwa para filosof itu telah salah ketika mereka mengatakan bahwa nubuwwah itu adalah wajib, karena adanya itu tidaklah sesuai dengan logika. (Pasal 1 : Muqaddimah Pertama). 3.
NEGARA DAN MASYARAKAT Adalah satu kenyataan, bahwa daulah (negara) dan mulk (kekuasaan wibawa) itu mempunyai hubungan yang sama terhadap 'umran (peradaban atau masyarakat) sebagai hubungan bentuk dengan benda. Bentuk adalah rupa yang menjaga adanya benda dengan perantaraan potongan tertentu dari bangunan yang diwakilinya. Di dalam ilmu falsafat telah ditetapkan bahwa yang satu tak dapat dicerai-pisahkan dari yang lainnya. Kita sungguh tak dapat membayangkan satu daulah tanpa 'umran, sedang satu 'umran tanpa daulah dan mulk adalah tidak mungkin, karena umat manusia menurut wataknya haruslah saling bantu-membantu, dan ini meminta adanya satu kewibawaan (Ar. Al-wazi'). Maka kepemimpinan politik yang didasarkan atas kekuasaan Syari'at ataupun diraja, adalah satu keharusan sebagai pemegang wibawa itu. Inilah yang dimaksudkan dengan daulah. Oleh karena keduanya itu tak dapat dicerai-pisahkan, maka kehancuran salah satunya itu akan mempengaruhi yang lainnya, sebagaimana juga tak adanya yang satu akan mengakibatkan tak adanya yang lain itu.
115
Dengan perkataan Majusi di sini dimaksudkan kaum Zarathustra atau Zoroaster di Persia purba.
Kehancuran besar hanya terjadi sebagai akibat dari kehancuran-kehancuran daulah seluruhnya, seperti telah terjadi dengan Ke-maharaja-an Byzantium, Ke-maharaja-an Persia, ataupun umumnya ke-maharaja-an Arab, sebagaimana juga ke-maharaja-an Bani Umayyah dan 'Abbasiyah. Pemerintahan perorangan, seperti misalnya dari Anusyarwan, 116) Heraclius, 117) 'Abdul malik ibn Marwan, 118) atau ar-Rasyid, tidaklah dapat menimbulkan pengaruh yang sekaligus menghancurkan. Para individu itu datang ganti-berganti dan mengambil alih 'umran yang ada. Mereka menjaga wujud dan jangka waktu peradaban itu, dan mereka amat bersamaan satu dan lainnya. Daulah sebenarnya, yakni yang bertindak dalam soal 'umran itu, pada hakikatnya ialah rasa golongan dan kekuasaan (Ar. al-'ashabiyah wa asysyawkah). Ini tetap tinggal pada anggota-anggota perorangan dari daulah itu. Akan tetapi jika rasa golongan itu telah lenyap dan digantikan oleh rasa golongan lain yang mempengaruhi 'umran yang ada, dan jika semua anggota-anggota penguasa dari daulah itu telah tak ada lagi, maka satu kehancuran besar pun terjadilah, seperti telah kita nyatakan juga di atas tadi. Allah amat berkuasa untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. "Jika Ia mau, niscaya Ia hapuskan kamu dan Ia adakan ciptaan yang baru. Yang demikian itu tidaklah payah bagi Allah." (Al Qur-an XXXV : 16). (Pasal IV : 19) 4.
KEBUTUHAN PADA KEPALA NEGARA Maka adalah jabatan Imam itu satu kemestian. Para sahabat Nabi dan para tabi'in telah ijmak semuanya, bahwa lembaga Imamah adalah wajib menurut hukum Islam. Pada waktu Rasulullah wafat, para sahabat beliau telah bertindak membai'atkan Abu Bakar ra dan mempercayakan padanya pengawasan persoalan-persoalan mereka. Dan demikianlah seterusnya di masa-masa berikutnya. Dalam zaman manapun rakyat tiada pernah diserahkan kepada anarkhi. Kesemuanya itu adalah karena ijmak para sahabat dan tabi'in yang menunjuk pada kemestian adanya jabatan Imam itu. Ada pula sebagian orang yang menyatakan pendapat, bahwa keharusan adanya Imamah itu adalah ditentukan oleh akal, dan bahwa ijmak yang kebetulan terjadi itu hanya menguatkan saja lagi penentuan akal dalam hal ini. Sebagai mereka katakan, apa yang membuat jabatan Imam itu wajib menurut hukum akal ialah keperluan umat manusia pada suatu organisasi kemasyarakatan (Ar. al-ijtima') dan tidak mungkinnya mereka itu hidup dan bereksistensi secara sendiri-sendiri. Satu di antara akibat-akibat lazim dari organisasi kemasyarakatan itu ialah pertikaian 119) yang disebabkan oleh tekanan-tekanan dari pendapat-pendapat yang berbeda-beda (Ar. at-tanazu' li izdiham al-aghradl). Selama tidak ada penguasa yang akan melaksanakan sesuatu kewibawaan, maka pertikaian ini akan menimbulkan keributan atau kekacauan, yang seterusnya dapat mengakibatkan penghancuran dan pemusnahan manusia. Karena itulah maka pemeliharaan jenis umat manusia adalah salah satu dari maksud-maksud yang dlaruri dari Syari'at Islam. 116
Yakni Chosroes I (541-579), raja yang paling besar dari rentetan raja-raja Sassanid. Heraclius (580-641), kaisar dari Ke-maharaja-an Romawi Timur antara tahun 610-641. Berhasil memukul mundur tentara Persia, tetapi kalah menghadapi tentara Islam sehingga Syria dan Mesir terpaksa diserahkan kepada Islam. 118 Abdul malik (memerintah 685-705) memperkokoh kekuasaan Daulah Umayyah, memulai penyerangan Transoxania dan membawa perubahan-perubahan besar di dalam kerajaannya. Masjid al-Aqsa di Baitul maqdis adalah hasil ciptaan dari arsitek-arsiteknya. 119 Perkataan Arab at-tanazu' di sini kita terjemahkan dengan pertikaian, sedang Issawy menterjemahkannya dengan political sanction, dan Rosenthal dengan disagreement. 117
Pengertian inilah yang terkandung dalam pikiran para filosof ketika mereka memandang nubuwwah itu sebagai sesuatu yang menurut akal adalah wajib bagi umat manusia. Kami terlebih dahulu telah perlihatkan tentang tidak benarnya dalil mereka itu. Setelah satu dari premisenya ialah, bahwa pengaruh kewibawaan itu terjadinya hanyalah disebabkan Syari'at dari Tuhan, yang kepadanya semua menyerah diri sebagai keimanan dan iktikad. Premise ini 120) sungguh tidak dapat diterima. Munculnya pengaruh kewibawaan itu adalah sebagai akibat dari gaya kekuasaan diraja (Ar. sathwah al-malik) dan kekerasan dari si penguasa (Ar. qahru ahli asysyawkah), walaupun Syari'at tak ada sama sekali, seperti misalnya di kalangan bangsa Majusi dan bangsa-bangsa lain yang sama sekali tak mempunyai Kitab Suci ataupun belum lagi didatangi da'wah sesuatu agama. Malah kita dapat mengatakan (terhadap pendirian yang memestikan adanya khilafat berdasarkan akal) Untuk meniadakan pertikaian itu cukuplah sudah seyogianya setiap orang mengetahui, bahwa kedzaliman itu tidaklah dibolehkan atasnya menurut hukum akal. Dengan begini maka dakwaan mereka, bahwa penghapusan pertikaian itu hanyalah mungkin terjadi oleh adanya Syari'at dalam hal yang satu, dan oleh adanya jabatan Imam dalam hal yang lain, menjadilah tidak benar. Pertikaian itu dapat juga dilenyapkan dengan adanya pemimpin-pemimpin yang kuat, ataupun dengan keadaan rakyat itu sendiri menjauhkan diri mereka dari pertikaian dan saling mencelakakan itu, sebagaimana halnya jika ada jabatan Imam tersebut. Jadi dengan demikian, maka dalil premise tadi tidaklah tahan uji. Maka dengan itu teranglah bahwa kemestian adanya jabatan Imam itu adalah ditunjuk oleh Syari'at, yakni dengan ijmak, sebagaimana telah kita sebutkan di atas tadi. (Pasal III : 24) 5.
SYARAT-SYARAT KEPALA NEGARA Jika telah diakui bahwa lembaga Imamah itu adalah wajib menurut ijmak (konsensus umum), maka harus pula ditambahkan di sini bahwa keperluan lembaga itu adalah satu fardl al-kifayah, dan mengenai itu terserah kepada ikhtiar dari pemukapemuka Islam yang kompeten (Ar. ahl al-'aqd wa al-hill). Adalah kewajiban mereka untuk berbuat agar Imamah itu berdiri, dan setiap orang wajib taat kepada Imam sesuai dengan perintah Al Qur-an : "Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul dan pada mereka yang dikuasakan di antara kamu!" (Al Qur-an IV:59). Lembaga Imamah itu mempunyai empat syarat, yaitu : 1. Ilmu pengetahuan (Ar. al-'ilm) Mengenai ilmu pengetahuan sebagai syarat kiranya sudah cukup terang. Imam hanya dapat melaksanakan hukum-hukum Allah itu jika ia mengetahui tentangnya. Jika ia tidak mengetahuinya tidaklah ia akan dapat mengemukakannya. Dan tidaklah cukup ilmu pengetahuannya itu terkecuali jika ia sanggup mengambil keputusan-keputusan yang bebas (Ar. yakuna mujtahidan). Meniru-niru semata-mata (Ar. taqlid) adalah satu kepincangan, dan Imamah meminta kesempurnaan dalam segala sifat-sifat dan keadaan-keadaan. 2. Keadilan (Ar. al-'adalah), Mengenai keadilan itu adalah perlu karena Imamah adalah satu lembaga keagamaan yang mengawasi segala lembaga-lembaga lainnya yang pula memerlukan keadilan. Maka terlebih utamalah kiranya jika Imamah itu sendiri 120
Premise ialah terjemahan dari perkataan muqaddimah sebagai istilah ilmu manthiq (Logica).
juga memiliki syarat keadilan itu. Tidak adalah perbedaan pendapat mengenai kenyataan bahwa keadilan Imam itu akan lenyap oleh sikap yang membiarkan berlakunya tindakan-tindakan terlarang dan yang menyerupainya. Akan tetapi ada perbedaan pendapat tentang masalah apakah ia (keadilan) itu akan lenyap oleh sikap Imam yang memasukkan atau menerima soal-soal baru dalam iktikad dari ummat itu. 3. Kesanggupan (At. al-kifayah) Kesanggupan berarti bahwa Imam bersedia melaksanakan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi berperang. Ia harus faham berperang dan sanggup mengambil tanggung jawab untuk mengerahkan ummat menuju peperangan. Ia harus mengetahui juga tentang 'ashabiyah (rasa golongan) dan titik-titik halus dari diplomasi (Ar. ahwal ad-daba'). Ia harus cukup kuat untuk memelihara tugas-tugas politik. Kesemuanya itu adalah agar ia berkesanggupan melakukan fungsi-fungsinya melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mentadbirkan kepentingan-kepentingan umum. 4. Kebebasan pancaindera dari sesuatu cacat yang dapat memberi bekas pada pengeluaran pendapat dan pekerjaan (Ar. as-salamah). Tentang kebebasan pancaindera dan anggota-anggota badan dari cacat-cacat ataupun kedhaifan-kedhaifan seperti gila, buta, bisu, atau tuli, dan kehilangan anggota-anggota yang mengganggu kesanggupan bertindak, seperti kehilangan tangan, kaki ataupun testikel (buah pelir), itu semua telah dijadikan syarat disebabkan segala kekurangan-kekurangan seperti itu memberi bekas pada kesempumaan tindakan dari Imam dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Malah dalam hal cacat yang hanya mengganggu pemandangan saja, seperti misalnya kehilangan satu kaki, syarat bebas dari cacat itu tetap berlaku sebagai satu syarat, dengan pengertian bahwa Imam itu seharusnyalah sempurna. Ketiadaan kebebasan bertindak bertalian rapat dengan kehilangan anggotaanggota badan tadi. Ketiadaan yang seperti itu boleh dikatakan dua bagai. Satunya ialah yang dipaksakan dan sama sekali tak dapat bertindak lagi karena dipenjarakan orang ataupun karena hal-hal lain yang menyamai pemenjaraan itu. Kemerdekaan bertindak yang bebas dari pembatasan-pembatasan apapun adalah satu syarat yang sama perlunya bagi Imamah itu sebagaimana halnya dengan kebebasan dari kecacatan anggota-anggota badan. Bagi yang satu lagi terletak dalam kategori yang lain sekali. Ketiadaan kebebasan bertindak ini mengandung pengertian bahwa beberapa di antara orang-orang Imam itu merebut kekuasaan darinya, walaupun dalam peristiwa itu tidak terlibat soal pemungkiran taat atau pertikaian, dan menahannya di suatu tempat yang terasing. Maka dalam hal seperti ini persoalan berpindahlah pada orang yang merebut kekuasaan itu. Jika ia bertindak sesuai dengan hukum Islam dan keadilan dan melaksanakan politik yang terpuji, maka ia itu bolehlah diakui sebagai Imam. Jika tidak, maka umat Islam haruslah mencari bantuan. Mereka harus mencari orang-orang yang akan menguasainya dan melenyapkan suasana tak sehat yang telah dibuatnya sehingga kekuasaan bertindak dari khalifah itu, pulih kembali. 5. Keturunan dari kaum Quraisy. Akan tetapi mengenai syarat ini ada perbedaan pendapat. Syarat keturunan Quraisy adalah didasarkan atas ijmak para sahabat pada hari Saqifah yang
bersejarah itu. Pada hari itu kaum Anshar bermaksud hendak membai'atkan Sa'd ibn Ubadah. Mereka waktu itu telah berseru : "Seorang amir dari kami dan seorang amir dari kalian !" (Ar. Minna amirun wa minkum amirun !). Akan tetapi kaum Quraisy telah menentang mereka itu dengan sebagai dalil menyebut-nyebut ucapan Nabi yang mewasiatkan mereka supaya "berbuat baik kepada semua kaum Anshar yang berbuat baik dan membiarkan tak terhukum semua dari mereka yang berbuat jahat." Maka kaum Quraisy waktu itu mengatakan, bahwa jika kepemimpinan (Ar. Imarah) itu diberikan kepada kaum Anshar, maka yang tersebut belakangan ini tentulah tidak bakal diwasiatkan Nabi supaya dijaga oleh kaum Quraisy, sebagaimana tersebut dalam hadits tadi. Maka di sini kaum Anshar telah menerima dalil tersebut dan menarik kembali pernyataan mereka : "Seorang amir dari kami dan seorang amir dari kalian." Juga keinginan pembai'atan Sa'd mereka tarik kembali. Maka menurut hadits sahih adalah tegas pula bahwa "barang ini (yakni Negara Islam) akan tetaplah selalu berada pada kaum Quraisy itu." Dalil-dalil lain yang seperti ini adalah banyak. Akan tetapi kekuasaan kaum Quraisy itu lambat laun menjadi lemah. Rasa golongan mereka lenyap sebagai akibat dari hidup mewah dan berlebih-lebihan yang mereka lakukan, dan sebagai akibat dari kenyataan bahwa daulah itu menggunakan mereka di seluruh penjuru dunia. Dengan demikian kaum Quraisy menjadilah terlalu lemah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban khilafat. Bangsa-bangsa yang bukan Arab berkuasalah atas mereka, dan kekuasaan eksekutif pun jatuhlah dalam tangan mereka itu. Ini telah menyebabkan banyak kekacauan di kalangan para sarjana mengenai keturunan Quraisy itu sebagai satu syarat tambahan bagi Imamah. Mereka seterusnya telah bertindak lebih jauh lagi dan menolak sama sekali, bahwa keturunan Quraisy itu adalah satu syarat bagi Imamah. Mereka dasarkan pendirian mereka ini atas ucapan Nabi : "Dengarkan dan patuhilah walaupun seorang budak Habsyi yang hitam pekat yang menjadi kepala pemerintahmu !" Akan tetapi sayang pernyataan ini tidak dapat dijadikan hujjah berkenaan dengan masalah yang dipersoalkan itu. Ia hanya merupakan satu tamsilah hypothetis yang secara mubalaghah dimaksudkan untuk menekankan pentingnya arti wajib taat itu. Di antara mereka yang menolak keturunan Quraisy itu sebagai syarat Imamah ialah Abu Bakar al-Baqillani, seorang yuris yang terkenal. Rasa golongan (Ar. 'ashabiyah) kaum Quraisy telah mulai pudar dan menghilang di zaman yuris itu dan penguasa-penguasa yang bukan Arab telah mengendalikan khalifah-khalifah yang ada. Karena itu ketika dilihatnya betapa keadaan khalif-khalif sesungguhnya di zaman itu, maka iapun menghapuskanlah keturunan Quraisy itu sebagai satu syarat untuk Imamah, walaupun itu sebenarnya telah mengandung arti memberi persetujuan diam-diam kepada kaum Khawarij. Akan tetapi para sarjana umumnya tetap berpegang pada perlunya keturunan Quraisy itu sebagai syarat Imamah. Mereka berpendapat Imamah itu adalah haknya orang Quraisy, walaupun ia itu terlalu lemah untuk melaksanakan persoalan-persoalan umat Islam (Ar. wa sihhatu al-Imamah li al-Quraisy, walau kana 'ajizan 'anil qiyami bi umur al-Muslimin). Akan tetapi jika ini dapat diterima, maka tak adalah artinya lagi syarat kesanggupan (Ar. al-kifayah), yang meminta dari Imam kekuatan dalam melakukan kewajiban-kewajibannya. Jika kekuasaannya (Ar. asy-syawkah) telah lenyap oleh hilangnya rasa-golongan, maka juga kesanggupan itu turut melenyap. Dan jika syarat kesanggupan itu dihapuskan, itu nantinya akan berpengaruh pula pada ilmu pengetahuan dan
agama. Maka dalam hal seperti ini, semua syarat-syarat yang diperlukan bagi Imamah itu menjadilah tidak diperhatikan lagi, dan ini akan bertentanganlah dengan ijmak adanya. Maka kini baiklah kita perbincangkan hikmah apa sebenarnya yang telah membikin orang membuat keturunan Quraisy itu menjadi satu syarat bagi Imamah, sehingga dengan demikian dapatlah kita ketahui fakta-fakta sesungguhnya yang menjadi alas dari segala pendapat itu. Menurut hemat saya adalah begini : Semua hukum-hukum Syari'at tidak boleh tidak tentu mempunyai maksudmaksud tertentu dan hikmah-hikmah, dan guna itulah ia telah disyari'atkan. Jika kini kita periksa hikmah dari keturuhan Quraisy itu dijadikan satu syarat bagi Imamah dan maksud yang diharapkan oleh Si pemberi Syari'at (yakni Muhammad saw) darinya, maka akan kita dapatilah bahwa dalam hubungan ini ia tidaklah semata-mata berpikir tentang adanya berkat yang terkandung dalam berwasilah dengan Nabi itu, sebagaimana umumnya sudah pendapat orang. Wasilah seperti itu se-memang-nyalah ada jika terang dari keturunan Quraisy, dan itu se-memangnyalah pula satu berkat. Akan tetapi seperti diketahui, pemberian berkat (Ar. tabarruk) bukanlah tujuan dari Syari'at Karena itu jika satu keturunan tertentu telah dijadikan satu syarat bagi Imamah, maka tentunya harus ada satu kepentingan umum yang menjadi tujuan di belakang pembikinan hukum itu. Jika kita periksa persoalan itu dan kita analisa dia, maka kita dapatilah bahwa kemaslahatan umum itu sebenarnya tidak lain melainkan pengindahan pada rasa golongan (Ar. al-i'tibar al-ashabiyah). Rasa golongan itu memberikan perlindungan (Ar. al-himayah) dan memperkuat tuntutan-tuntutan (Ar. almuthalabah). Adanya rasa golongan itu dapat melepaskan pejabat tersebut dari opposisi dan perpecahan (Ar. al-khilaf wal furqah). Masyarakat Islam tentu akan dapat menerima dia beserta keluarganya, dan ia dapatlah dengan demikian mengadakan hubungan akrab dengan mereka itu. Kaum Quraisy adalah pula pemimpin-pemimpin utama, asli dan tergagah dari bangsa Mudlar. Jumlah mereka, rasa golongan mereka, dan kebangsawanan mereka telah memberikan mereka kewibawaan atas seluruh orang-orang Mudlar lainnya. Orang-orang Arab lainnya semuanya mengakui kenyataan itu dan tunduk patuh pada kekuatan mereka. Sekiranya pemerintahan itu dipercayakan pada pihak lain, yang manapun di luar mereka, maka dapatlah diharapkan bahwa opposisi mereka dan ketiadaan taat mereka itu akan dapat merusak segala-galanya. Tidak ada kabilah Mudlar yang lain yang sanggup menggoncangkan mereka dari sikap opposisi mereka dan dapat menarik mereka itu dengan tanpa kemauan mereka sendiri. Maka dengan begitu masyarakat Islam tentu akan terpecah dan pendapat umumnya terbelah, padahal Nabi sebagai pemberi undang-undang telah memperingatkan terhadap segala itu. Beliau ingin melihat mereka itu bersatu, menjauhkan diri dari perpecahan dan kekacauan untuk kepentingan persaudaraan (Ar. al-luhmah), rasa golongan dan perlindungan yang diperbaiki (Ar. tabassun al-himayah). Jelas bahwa sebaliknyalah yang akan terjadi, jika kaum Quraisy itu yang berkuasa. Mereka itu sanggup dengan kekuatan mereka untuk menyuruh manusia melakukan apa saja yang diharapkan dari mereka. Tidak perlu ditakutkan bahwa nanti akan ada orang-orang yang akan menentang mereka, ataupun bahwa nanti akan timbul perpecahan. Mereka sanggup mengambil tanggung jawab untuk meniadakan perpecahan itu dan menjauhkan manusia darinya. Itulah sebabnya
maka keturunan Quraisy kemudian telah dijadikan satu syarat bagi lembaga Imamah itu. Jika kini telah jelas bahwa keturunan Quraisy sebagai satu syarat bagi imamah adalah dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dengan bantuan rasa golongan dan superioritas mereka, dan jika kita ketahui pula bahwa si pemberi Syari'at itu (yakni Nabi) tidaklah membuat hukum-hukum khusus bagi sesuatu generasi, zaman atau bangsa tertentu, maka tentulah kita akan ketahui juga, hahwa keturunan Quraisy itu sebenarnya adalah tergolong dalam kategori kesanggupan. Dengan begini kita telah mempertautkannya dengan syarat ketiga, yaitu kesanggupan, dan telah memperlihatkan maksud terutama dari pen-syarat-an keturunan Quraisy itu, yaitu adanya perasaan golongan. Karena itu kitapun menganggapnya sebagai satu syarat yang perlu bagi seseorang yang bertugas dalam persoalan-persoalan kaum Muslimin supaya ia itu termasuk dalam golongan kaum yang kuat rasa golongannya, superior terhadap rasa golongan dari kaum-kaum yang sezaman dengan mereka, sehingga mereka sanggup memaksakan yang lain-lain itu supaya mengikuti mereka dan seluruhnya itu dapat dipersatukan untuk kepentingan perlindungan yang bermanfaat. Perasaan golongan seperti itu pada hakikatnya tidaklah dapat meliputi semua daerah-daerah dan wilayah-wilayah. Akan tetapi rasa golongan kaum Quraisy umum sifatnya, karena da'wah Islamiyah yang mereka lakukan itu adalah umum dan rasa golongan Arab adalah sesuai untuk da'wah itu. Karena itulah mereka telah sanggup menguasai semua bangsa-bangsa lainnya. Akan tetapi dewasa ini setiap daerah mempunyai orang-orangnya sendiri yang mewakili rasa golongan terbesar di sana itu. Maka jika kita perhatikan rahasia maksud Tuhan dengan khilafah tidaklah banyak lagi yang perlu dikatakan tentang itu. Allah telah membuat khalifah itu 121) menjadi nabi-Nya untuk melaksanakan persoalan-persoalan hidup dari para hamba-Nya. Ia harus membawa mereka itu pada jalan yang akan memberi kebajikan bagi mereka dan bukan pada jalan yang akan membawa kemelaratan bagi mereka. (Pasal III : 24). 6.
ASAL-USUL 'ASHABIYAH Pemuliaan ikatan darah (Ar. shilat ar-rahmi) adalah sesuatu yang tabi-i pada watak manusia, dengan sedikit sekali pengecualiannya. Ikatan itu menimbulkan cinta (Ar. nu'arah) pada kaum kerabat dan keluarga seseorang (Ar. dzawi al-qurba wa ahl al-arham), membangkitkan perasaan supaya hendaknya janganlah ada cedera atau bencana yang datang menimpa mereka itu. Orang akan merasa malu jika kaum kerabatnya diperlakukan tidak baik ataupun diserang, dan orang itu akan turut turun tangan untuk melerai antara mereka dengan bahaya atau kehancuran apapun yang mengancam mereka itu. Ini adalah satu dorongan tabi-i pada manusia sejak makhluk manusia itu muncul di dunia. Jika tali nasab antara mereka yang saling bantu-membantu itu adalah sangat dekat, sehingga ia menghasilkan persatuan dan pergaulan (Ar. al-ittihad wa al-iltiham), maka pertalian itu adalah jelas dan terang menghendaki adanya suatu rasa kesetiaan tanpa sesuatu desakan dari luar. Akan tetapi jika tali nasab itu agak berjauhan, maka ia acapkali dilupakan untuk sebagiannya. Tetapi betapapun sedikit pengetahuan tentangnya tetap ada dan ini menyebabkan seseorang akan membantu kaum 121
Waspadalah terhadap kata-kata khalifah (orangnya) dan khilafah (jabatannya). OR
kerabatnya itu untuk tujuan-tujuan tertentu, guna menghindari malu yang dirasakan akan menimpa jiwanya jika seseorang yang berkerabat dengannya diperlakukan secara tidak sewajarnya. Dalam kategori ini termasuk juga para mawali dan sekutu-sekutu. Cinta yang dirasakan oleh setiap orang pada para mawalinya dan sekutu-sekutunya adalah berasal dari rasa malu yang timbul pada manusia jika salah seorang dari para tetangganya, kaum kerabatnya, ataupun keluarganya, betapapun jauh dan dekat nasabnya itu, dihinakan. Sebabnya ialah karena pergaulan (atau kontak rapat) antara seorang mawla dengan tuannya menimbulkan perhubungan yang karib, tak ubahnya seperti orangorang seketurunan jua ataupun lebih kurang demikian halnya. Dan sesungguhnya dalam artian inilah harus difahamkan hadits Nabi yang berbunyi : "Pelajarilah sebanyak-banyaknya nasabmu sebagaimana diperlukan untuk mempertegak perikatan-perikatanmu dari pertalian darah." Artinya ialah bahwa nasab-nasab itu berguna hanya sebegitu jauh ia mengandung ikatan-ikatan sebagai akibat dari pertalian-pertalian darah sehingga timbullah usaha gotong-royong dan cintamencintai. Segala sesuatu lainnya di luar ini adalah berlebih-lebihan kiranya. Karena nasab itu adalah sesuatu yang bersifat khayalan (imaginair) dan tak ada hakikatnya. Faedahnya hanya terletak pada perhubungan dan pertalian rapat itulah. Jika keadaan seketurunan itu nampak terang dan jelas, maka ia akan membangkitkan pada manusia itu satu rasa cinta yang tabi-i, seperti sudah kita katakan juga tadi di atas. Akan tetapi jika keadaan itu diketahui hanya dari riwayatriwayat lama saja, maka ia akan membangkitkan pengertian hanya secara samarsamar. Faedahnya telah tak ada lagi, dan membangkit-bangkitkannya kembali tak adalah gunanya, hanya merupakan semacam permainan yang tak diperlukan. Dalam artian inilah orang harus memahami pernyataan : "Ilmu keturunan adalah sesuatu yang tak ada gunanya diketahui dan tak ada pula mudaratnya jika tak diketahui." Ini berarti bahwa jika nasab (seketurunan) itu sudah tidak jelas lagi, dan telah tinggal menjadi satu persoalan dari ilmu pengetahuan, maka ia tidaklah lagi dapat membangkitkan faham dan hilanglah rasa cinta yang disebabkan oleh 'ashabiyah (rasa golongan) itu. Maka menjadilah ia tak bermanfaat. (Pasal II : 8) 7.
TEMPATNYA KETURUNAN BERSIH Turunan bersih hanya terdapat di kalangan manusia jalang padang pasir dari bangsa Arab dan di kalangan manusia-manusia yang seperti itu dari bangsa-bangsa lainnya. Ini adalah disebabkan oleh penghidupan yang miskin, syarat-syarat hidup yang keras dan tempat-tempat hidup yang buruk yang rupanya adalah terkhusus bagi manusia-manusia Arab itu. Segala itu adalah akibat dari satu kemestian yang menetapkan keadaan-keadaan tersebut bagi mereka, seperti juga kehidupan mereka yang banyak sekali bergantung pada unta-unta beserta pembiakan dan penggembalaan unta-unta itu. Maka unta itu adalah sebab dari penghidupan jalang manusia Arab di padang pasir, karena hewan tersebut itu hidupnya adalah dari daun-daunan padang pasir dan ia melahirkan anak-anaknya di atas pasir dari pada sahara itu, sebagaimana telah juga kita perbincangkan sebelumnya. Padang pasir (Ar. al-qafr) adalah tempat ujian dari kekerasan-kekerasan dan tahan lapar, akan tetapi bagi manusia Arab itu semua sudah menjadi kebiasaan dan adat. Angkatan demi angkatan dari mereka itu telah tumbuh di sana. Akhirnya mereka pun menjadi berwatak dalam karakter dan tindak-tanduk mereka. Tak ada warga bangsa manapun yang berkesempatan untuk menyertai nasib
mereka itu. Tak ada warga dari suku manapun yang merasa tertarik pada mereka. Akan tetapi jika salah seorang dari mereka memperoleh kesempatan untuk lari dari keadaan nasib seperti itu, namun ia tidak akan melakukannya atau melepaskan kehidupan seperti itu. Karenanya maka nasab turunan mereka itu dapatlah dipercaya tidak pernah mengandung campuran dan noda. Ia telah terjaga bersih secara terusmenerus tak berkeputusan. Demikianlah halnya, misalnya dengan suku-suku dari bangsa Mudlar seperti. Quraisy, Kinanah, Tsaqif, Banu Asad, Hudzail, dan tetangga-tetangga mereka Khuza'ah. Penghidupan di tempat-tempat di mana tidak ada pertanian atau peternakan itu amatlah berat. Mereka hidup jauh dari tanah-tanah yang subur dari Syria dan Iraq, jauh dari sumber rempah-rempah dan sumber-sumber gandum. Sungguh amat bersihlah mereka menjaga nasab-nasab mereka itu!. Tiada bercampur sedikitpun dan cukup terkenal tiada bernoda. Bangsa Arab lainnya hidup di bukit-bukit dan di tempat-tempat bersumber yang subur ladangnya dan makmur penghasilannya. Dalam bangsa Arab ini termasuk antara lain suku-suku Himyar dan Kahlan, seperti Lachm, Judzam, Ghassan, Thayy, Qudla'ah, dan 'Iyad. Nasab-nasab mereka sudah bercampuran dan golongan-golongan mereka telah saling berbauran (kawin-mengawini). Sudahlah diketahui bahwa orang umumnya berbeda pendapat mengenai masing-masing dari para keluarga mereka itu. Ini telah terjadi sebagai akibat dari percampuran mereka dengan orang-orang yang bukan Arab. Mereka tidak peduli sama sekali untuk menjaga kebersihan dari keturunan para keluarga mereka dan golongan-golongan mereka. Ini hanya dilakukan oleh manusia Arab yang asli semata-mata. Telah berkata sayidina 'Umar ra sebagai berikut : "Pelajarilah nasab (Er. genealogy), dan janganlah menjadi seperti orang-orang Nabath (Er. Nabataeans) dari as-Sawad. 122) Mereka jika ditanyai tentang usul-usul mereka, jawabnya ialah : Dari desa ini atau desa itu." Tambahan lagi orang-orang Arab dari tanah-tanah subur itu suka sekali pada kebiasaan manusia umumnya, yaitu persaingan dalam merebut tanah-tanah gemuk dan ladang-ladang yang baik. Ini mengakibatkan banyaknya percampuranpercampuran dan perbauran pada nasab-nasab. Malah sudah pada permulaan Islam orang-orang pada masanya menamakan diri mereka itu menurut nama-nama tempat darimana mereka itu berasal. Begitulah maka mereka sebutlah nama-nama distrik (Ar. jund) Qinnasrin, distrik Damascus, ataupun distrik al-'Awashim, daerah perbatasan dari Syria Utara. Kebiasaan seperti ini kemudian berpindah ke Spanyol (Ar. alAndalus). Kejadian ini bukanlah disebabkan orang-orang Arab itu menolak pertimbanganpertimbangan nasab (genealogis), akan tetapi ini adalah semata-mata disebabkan mereka telah memperoleh tempat-tempat tinggal khusus sesudah fathul (pengluasan) Islam itu. Maka dengan sendirinya terkenallah mereka dengan sebutan-sebutan yang berasal dari nama-nama tempat tinggal mereka. Ia itu menjadilah satu sebutan tambahan bagi nasab yang biasanya dipakai orang-orang Arab untuk dapat mengenal mereka di hadapan amir-amir mereka. Di kemudian harinya, orang-orang Arab yang bertempat tinggal tetap (Ar. alhawadlir) bercampuran pula dengan orang-orang Persia dan orang-orang asing lainnya. Maka kemurnian turunan pun lenyaplah sepenuhnya, dan bersama itu buahnya, yaitu 'ashabiyah pun lenyap pula dan tak dapat diterima orang lagi. Dengan
122
As-Sawad ialah dataran rendah di Iraq. O.R.
sendirinya kabilah-kabilah pun lenyap dan hapus, dan bersama mereka hapuslah pula 'ashabiyah itu. Hanya di kalangan kaum Badwilah keadaan semula itu tetap tak berubah-ubah. (Pasal II : 9 ) 8.
PERGAULAN DAN KETURUNAN SEBAGAI DASAR 'ASHABIYAH Penempatan berbagai macam kedudukan dalam pemerintahan negara oleh para pengikut (Ar. al-musthaniun) dari sesuatu daulah bergantung sekali pada lama dan barunya pergaulan akrab 123) mereka dengan kepala daulah itu. Sebabnya ialah karena tujuan 'ashabiyah, yaitu pertahanan dan penyerangan, hanya dapat terwujud dengan bantuan dari orang-orang yang seketurunan. Sebagai kita telah terangkan sebelumnya, hubungan-hubungan darah dan kerabat-kerabat terdekat lainnya adalah membantu satu sama lain, sedangkan orang-orang asing dan orang-orang luar tidak. Hubunganhubungan kemawlaan dan pergaulan-pergaulan dengan para hamba sahaya ataupun dengan sekutu-sekutu mempunyai akibat yang sama dengan apa yang terdapat pada orang-orang seketurunan. Akibat-akibat dari keadaan seketurunan itu, walaupun tabi-i sekali, masih saja sebagai sesuatu yang khayali (imaginair) sifatnya. Barang yang sebenarnya menimbulkan rasa pergaulan akrab itu ialah sikap suka bercampur-gaul dalam masyarakat, suka mengikat tali persaudaraan, lama dikenal orang sebagai terkenal, dan persahabatan yang timbul dari zaman kanak-kanak, mempunyai penyusu yang sama, dan sama-sama dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup dan mati. Jika pergaulan akrab terjadi menurut cara tersebut itu, maka akibatnya adalah cinta (Ar. nu'arah) dan rasa tolong-menolong atau gotong-royong (Ar. tanashur). Ini dapatlah dipersaksikan di kalangan manusia itu. Sesuatu yang mirip seperti itu dapat pula dipersaksikan dalam hubungan dengan pertalian antara yang dipertuan (pemimpin) dengan si pengikutnya. Antara kedua mereka itu terjadilah satu perikatan erat yang khusus, yang mempunyai akibat yang sama dengan apa yang terdapat pada orang-orang seketurunan, dan yang memperkuat pergaulan akrab tadi. Walaupun sekiranya tak ada yang seketurunan, namun buah dari seketurunan itu toh ada juga. Apabila pertalian kemawlaan seperti itu terjadi antara sesuatu kabilah dengan mawla-mawla mereka pada waktu sebelum kabilah itu memperoleh suatu kekuasaan wibawanya, maka akar-akar pertalian itu sudahlah teguh penjalinannya, perasaanperasaan dan iktikad-iktikad yang bersangkutan pun sudah lebih absah adanya, dan pertalian itu sendiri oleh dua sebab pun telah lebih tegas bentuknya. Sebab pertama : Sebelum sesuatu rakyat memperoleh kuasa kewibawaan (Ar. almulk), mereka telah merupakan tauladan dalam tata-cara hidup mereka itu. Perbedaan antara orang-orang seketurunan dengan para mawla jarang sekali terjadi. Kedudukan para mawla sama dengan kedudukan orang-orang sekerabat atau orang-orang sekeluarga. Akan tetapi jika para pengikut mereka itu datang sesudah mereka itu memperoleh kuasa kewibawaan tersebut, maka martabat kuasa kewibawaan itu akan menyebabkan mereka membikin satu perbedaan antara mereka yang berkuasa 124) (yang dipertuan agung atau Ar. sayyid) dengan yang harus mengikut (Ar. mawla), dan pula antara kaum kerabat mereka dengan para mawla atau para pengikut itu. 123
Ibnu Khaldun di sini menggunakan perkataan iltihan yang sebenarnya berarti kontak atau hubungan yang dekat, akan tetapi berdasarkan maksud yang terkandung di dalamnya maka saya di sini sengaja telah menterjemahkannya dengan pergaulan akrab. 124 Di sini Ibnu Khaldun memakai perkataan sayyid, yang Indonesianya adalah tuan atau yang dipertuan, tetapi untuk mudahnya kita terjemahkan saja dengan mereka yang berkuasa.
Kedudukan kepemimpinan dan kekuasaan wibawa itu (Ar. ahwal ar-riyasah wa al mulk) menghendaki keadaan ini melihat adanya derajat-derajat dan perbedaan dalam pangkat-pangkat. Kedudukan para pengikut karenanya sungguh berlainan. Mereka sekarang sama derajatnya dengan orang-orang asing. Pergaulan akrab antara mereka yang berkuasa (yang dipertuan) dengan mereka itu adalah lemah, dan karenanya kerja sama pun menjadilah kurang terwujud. Ini berarti bahwa para pengikut itu sekarang telah tambah berkurang akrabnya dengan mereka yang berkuasa (yang dipertuan) itu dibandingkan dengan masa sebelum mereka (yang dipertuan) itu memperoleh kekuasaan wibawa tersebut. Sebab kedua : Orang-orang yang menjadi para pengikut dari seorang pemimpin berkuasa (yang dipertuan) lama sebelum ia memperoleh kekuasaan wibawa itu, pada hakikatnya telah mempunyai kedudukan ishthina' (kedudukan pengikut) itu lama sebelum pemimpin berkuasa (yang dipertuan) itu memangku kekuasaan tersebut. Karena itu maka tidaklah begitu jelas lagi bagi orang-orang sezamannya bagaimana sebenarnya pertalian akrab itu tadinya telah terjadi. Sebagaimana biasa orang umumnya menduga, bahwa itu adalah disebabkan oleh nasab, dan dalam hal begini rasa golongan itu pun menjadi kuatlah. Akan tetapi sebaliknya pula, pertalian-pertalian kemawlaan yang terbentuk sesudah sang pemimpin (yang dipertuan) itu berkuasa sifatnya adalah baru dan bagian terbesar dari rakyat mengetahui tentangnya. Asal-usul dari pergaulan akrab itu dalam hal ini cukup jelas adanya, dan perbedaannya dari nasab pun jelas pula. Maka 'ashabiyah dalam hal terakhir ini adalah lemah sifatnya dibandingkan dengan 'ashabiyah yang timbul sebagai akibat dari pertaliah kemawlaan dari masa sebelumnya sang pemimpin (yang dipertuan) itu memperoleh kekuasaan. Ini terang dan nyata sekali jika kita mau memperhatikan sejarah daulah-daulah yang terkenal dan peristiwa-peristiwa lainnya yang menggambarkan kepemimpinan politik. Perhubungan antara para pengikut dengan para pemimpin (para yang dipertuan) yang terjalin lama sebelumnya tercapai sesuatu riyasah (leadership) dan kekuasaan, tentunya nanti akan jelas memperlihatkan satu pertalian yang lebih akrab dan kuat antara para pemimpin itu dengan pengikut-pengikut mereka. Yang tersebut belakangan ini nampak menduduki tempat-tempat yang sama di sisi sang pemimpin (yang dipertuan) itu, tak ubahnya seperti dengan anak-anaknya sendiri, saudarasaudaranya sendiri, ataupun kerabat-kerabatnya sendiri. Tetapi sebaliknya, perhubungan-perhubungan antara para pengikut dengan para pemimpin (para yang dipertuan) yang berjalan sesudah tercapainya sesuatu riyasah dan kekuasaan, tidaklahh memperlihatkan pertalian akrab seperti yang terdapat pada golongan pertama itu. Setiap orang dipersilahkan mempersaksikan kenyataan ini dengan mata kepala sendiri! Kesudahannya ialah bahwa pada akhir kekuasaan mereka daulah-daulah itu kembali mempekerjakan orang asing dan menerima mereka itu sebagai pengikutpengikut. Akan tetapi orang-orang ini tidak memperoleh kebesaran apapun sebagaimana yang telah dicapai oleh orang-orang yang telah menjadi pengikutpengikut daulah sebelum daulah itu berkuasa. Kedudukan mereka sebagai para pengikut adalah masih terlalu baru rupanya. Apalagi kehancuran daulah itu pun sedang mengancam pula. Maka itu mereka hanya menempati kedudukan yang sangat rendah dan tak berarti. Sang pemimpin (yang dipertuan atau kepala negara) telah mengambil mereka itu sebagai para pengikutnya dan telah menggantikan mawla-mawlanya yang lama dan pengikut-pengikutnya yang asli dengan mereka itu, ialah disebabkan satu kenyataan yang menunjukkan dengan jelas sekali, bahwa para mawla dan para pengikutnya yang
lama itu sudah menjadi amat menyusahkan baginya. Ketaatan mereka terhadapnya berkurang. Mereka memandangnya dengan cara seperti yang biasa dilakukan oleh kabilahnya sendiri dan keluarganya sendiri. Pertalian akrab memang telah terjadi antara dia dengan mereka itu dalam waktu yang amat lama. Mereka telah tumbuh dan akil-balig bersama-sama dengan dia dan telah punya hubungan-hubungan dengan bapak-bapak ayahnya dan anggota-anggota tertua dari keluarganya, dan telah menyesuaikan pula hidup mereka itu dengan orang-orang besar dari perumahannya. Begitulah mereka semua telah menjadi familiar dengannya dan sebagai akibat dari keadaan familiar ini mereka itu pun menjadilah sombong dan menyusahkan baginya. Inilah sebabnya kenapa si pemimpin (yang dipertuan atau kepala negara) itu kemudian menyisihkan mereka dan memakai orang-orang lain sebagai ganti mereka itu. Akan tetapi perhatiannya terhadap mereka ini dan penggunaan mereka sebagai pengikut-pengikutnya tidaklah berlangsung lama. Karena itu mereka tidaklah dapat memperoleh kedudukan-kedudukan yang megah, melainkan tetap memegang posisi mereka itu sebagai kharijiyah (orang-orang luar atau "Outsiders") semata-mata. Demikianlah wataknya daulah-daulah pada akhir umurnya itu. (Pasal III : 18) 9.
KEHIDUPAN PADANG PASIR HANYA DENGAN 'ASHABIYAH Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan pada watak manusia itu yang baik (Ar. al-khair) dan yang jahat (Ar. asy-syarr). Demikianlah dalam Al Qur-an Tuhan telah berkata : "Dan Kami telah unjukkan padanya dua jalan" (Al Quran XC : 10). Kemudian Tuhan berkata pula lagi : "Lalu menunjukkan kepadanya jalan kejahatannya dan jalan kebaikannya." (Al Qur-an XCI: 8). Maka kejahatan adalah sifat yang paling dekat pada manusia jika ia gagal dalam memperbaiki kebiasaan-kebiasaannya dan jika agama tidak dipergunakan sebagai contoh untuk memperbaikinya. Jumlah terbesar dari umat manusia adalah dalam keadaan ini, terkecuali mereka yang telah memperoleh tawfiq dari Allah. Sifat-sifat jahat pada manusia itu ialah kedzaliman (Ar. Adz-dzulm) dan keadaan saling serang-menyerang (Ar. al-'udwan). Seorang yang matanya telah melihat harta benda saudaranya tentu akan meletakkan tangannya atas harta benda itu untuk mengambilnya, kecuali jika ada satu kewibawaan yang sanggup menghambatnya. Telah berkata seorang penyair : Kedzaliman adalah satu sifat manusia, Jika kamu dapati juga, Ada manusia susila (yang tidak dzalim ), Maka tentu ada sebabnya pula kenapa ia tidak dzalim itu. Maka sifat saling serang-menyerang yang terdapat pada para penduduk kota-kota dan kota-kota besar itu biasanya adalah dibendung oleh para penguasa (Ar. al-hukam) dan Pemerintah, yang mengekang semua mereka yang berada di bawah pengawasannya itu dari sikap serang-menyerang dan bermusuh-musuhan sesamanya. Mereka dengan demikian dicegah oleh pengaruhnya kekuatan dan kewibawaan Pemerintah (Ar. bi hakamah al-qahri wa as-sulthan) dari pendzaliman sesama mereka, terkecuali tentunya kedzaliman yang datang dari Pemerintah itu sendiri. Penyerangan (agressi) dari luar terhadap sesuatu kota dapat dicegah dengan tembok-tembok, terutama dalam hal adanya kelengahan, kemungkinan serangan mendadak di malam hari, ataupun tidak sanggupnya para penduduk untuk melawan musuh itu di siang hari. Ataupun dapat juga serangan itu dicegah dengan bantuan
suatu angkatan pasukan-pasukan penolong dari Pemerintah, sekiranya para penduduk itu memang bersedia dan bersiap-siap untuk melawan serangan itu. Di kalangan suku-suku Badwi pengaruh kewibawaan itu datangnya ialah dari para syaikh dan pemimpin-pemimpin mereka. Ini adalah disebabkan oleh rasa hormat dan penghargaan yang umumnya mereka terima dari rakyat. Kampung-kampung kaum Badwi itu dipertahankan dari serangan-serangan musuh luaran oleh satu pasukan kesukuan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah dan berani. Pertahanan dan perlindungan mereka itu hanya akan berhasil jika mereka itu merupakan satu golongan yang mempunyai 'ashabiyah dari sesuatu keturunan. Ini memperkuat syawkah (kekuasaan) mereka dan membikin mereka itu disegani orang, karena Cinta seseorang terhadap turunannya dan 'ashabiyahnya adalah lebih penting dari apapun juga lainnya. Kasih sayang dan cinta pada keluarga sedarah dan sekerabat itu adalah watak dari manusia sebagai taruhan Tuhan dalam kalbu para hamba-Nya. Ia menimbulkan rasa bantu-membantu dan gotong-royong, dan memperhebat rasa takut di pihak musuh. Ini dapat diibaratkan dari cerita dalam Al Qur-an mengenai saudara-saudara dari Nabi Yusuf as, Mereka telah berkata kepada ayah mereka : "Jika dia dimakan oleh serigala, padahal kami adalah se'ushbah (segolongan), sesungguhnya kami, kalau begitu, adalah orang-orang yang rugi" (Al Qur-an XII : 14). Ini berarti bahwa manusia tidaklah dapat membayangkan sikap bermusuhan apapun terhadap seseorang lainnya yang mempunyai rasa golongan (Ar. 'ushbah) untuk menyokongnya. Mereka yang tak mempunyai seorangpun yang seketurunan dengan mereka untuk diperhatikan, jaranglah mempunyai cinta pada yang lain itu. Jika bahaya mengancam pada masa peperangan, maka orang-orang seperti itu segera akan menyelinap keluar dan berusaha menyelamatkan diri mereka, karena mereka itu takut akan ditinggalkan orang tanpa bantuan dan mereka rasa-rasa cemas untuk itu. Orang-orang seperti ini teranglah tidak dapat tinggal di padang pasir (Ar. al-qafr), karena mereka akan menjadi mangsa dari setiap bangsa lainnya yang ingin hendak menelan mereka itu. Jika ini adalah benar mengenai tempat di mana seseorang tinggal, yang tetap memerlukan pertahanan dan perlindungan militer, maka bersamaan itu tentu benar pula mengenai setiap kegiatan manusia lainnya, seperti nubuwwah, menegakkan kuasa kewibawaan (Ar. iqamah mulk), ataupun da'wah (propaganda) untuk sesuatu hal. Tiada sesuatu pun dapat dicapai dalam semua hal ini tanpa memperjuangkannya, karena manusia adalah berwatak untuk melakukan penolakan (resistensi). Dan untuk perjuangan itu orang memerlukan rasa golongan (Ar. 'ashabiyah), seperti kita telah katakan juga pada permulaan di atas. Ini haruslah dipegang teguh sebagai pedoman bagi penjelasan-penjelasan kita di kemudian hari. (Pasal II : 7) 10. WUJUD 'ASHABIYAH DI KOTA-KOTA Sudahlah cukup terang kiranya, bahwa bercampur-gaul dan berhubungan dengan sesamanya itu (Ar. al-iltiham wa al-ittishal) adalah salah satu dari watak manusia, walaupun dan sekalipun mereka itu mungkin bukan dari satu keturunan yang sama. Akan tetapi sebagaimana kita telah terangkan juga sebelumnya (lihat Muqaddimah, pasal III, bagian 45), perikatan seperti itu sifatnya adalah lebih lemah dari perikatan yang didasarkan atas nashab (seketurunan), dan 'ashabiyah yang terbit darinya pun hanya merupakan bagian saja dari 'ashabiyah yang terbit dari keadaan seketurunan itu. Banyak para penduduk dari kota-kota menjadi akrab pergaulan (rapat perhubungan) mereka karena perkawinan di antara mereka-mereka itu (Ar. shihr).
Antar perkawinan seperti ini mendekatkan mereka sesamanya, dan akhirnya, mereka ini merupakan golongan-golongan yang ikatannya perorangan-perorangan. Pada mereka inipun terdapat juga permusuhan dan persaudaraan sebagaimana terdapat pada kabilah-kabilah dan keluarga-keluarga. Maka terpecah jugalah mereka menjadi pihakpihak dan golongan-golongan. Apabila sesuatu daulah telah lanjut usianya dan bayang-bayangnya melenyap dari daerah-daerahnya yang teramat jauh-jauh itu, maka para penduduk dari kota-kota perlulah bertindak menjaga persoalan-persoalan masing-masing dan berusaha agar tempat masing-masing itu terpelindung hendaknya. Maka kembalilah mereka kepada musyawarah (Ar. as-Syura), dan orang-orang golongan atasan (Ar. 'ilyah) nampaklah berbeda dari orang-orang golongan rendahan (Ar. suflah). Dan manusia itu, jiwa mereka menurut wataknya, adalah cenderung pada mencari kemenangan dan menjadi pemimpin (Ar. an-nufusu bi-thiba'iha mutathawilatun ila al-ghalb wa ar-riyasah). Karena suasana waktu itu adalah kosong dari pemerintah dan daulah yang kuat, maka yang tua-tua berhasratlah hendak memegang kekuasaan sepenuhnya. Setiap orang berlomba-lomba dalam hal ini dengan yang lainnya. Mereka berusaha memperoleh pengikut-pengikut seperti mawla-mawla, partisan-partisan, dan sekutu-sekutu, yang akan menyertai mereka itu. Mereka bersedia membelanjakan segala yang mereka miliki untuk menarik rakyat jembel dan si jelata yang banyak itu. (Ar. li al-awghadi wa al awsyab). Setiap orang berkoalisi (Ar. i'shawshaba) dengan orang-orangnya, dan salah seorang dari mereka itu akhirnya mencapailah kemenangan. Maka diapun mulailah kini berbalik dan menentang orang-orang sesamanya guna menguasai mereka dan memburu-buru mereka itu untuk dibunuh ataupun untuk dibuang. Akhirnya iapun merampas semua kekuasaan eksekutif (Ar. asy-syawkat an-nafidzah) dari mereka dan membuat mereka itu tidak berdaya sama sekali. Seluruh kota jatuhlah di bawah pengawasan mutlak darinya. Kini mulailah ia berpendapat, bahwa ia telah menciptakan satu kerajaan yang dapat diwariskannya kelak kepada keturunanketurunannya, akan tetapi gejala-gejala yang sama dari kekuasaan dan kelanjutan usia yang terdapat pada suatu kerajaan besar, terdapatlah juga pada kerajaan ciliknya itu. Kadangkala sebagian dari mereka ini bertindak meniru cara-cara dari raja-raja besar yang menjadi kepala-kepala atas kabilah-kabilah dan keluarga-keluarga dan perasaan-perasaan golongan, yang pergi memasuki pertempuran-pertempuran, yang bangkit melakukan peperangan-peperangan, dan yang menguasai daerah-daerah dan propinsi-propinsi. Mereka misalnya meniru adat raja-raja duduk bersemayam di atas sebuah kursi kemahkotaan. Mereka juga menggunakan alat-alat kelengkapan diraja 125 ), menggerakkan barisan berkuda dalam menjarahi daerah-daerahnya itu, memakai cincin-cincin sebagai stempel, disapa orang secara khidmat, dan dipanggil orang dengan sebutan "Mawla," yang sungguh menertawakan bagi siapa saja yang mempersaksikan keadaan mereka itu. Mereka pun meniru emblem-emblem kerajaan yang sebenarnya bukan hak mereka. Dan semua itu mereka telah lakukan hanya karena memudarnya pengaruh daulah yang berkuasa itu dan terjadinya hubunganhubungan akrab yang mereka usahakan sehingga akhirnya mengakibatkan munculnya 'ashabiyah itu. Akan tetapi sebaliknya pula sebagian dari mereka itu menjauhi diri dari tingkah-laku yang tidak sewajarnya itu dan hidup secara biasa saja; sebabnya ialah karena mereka ini tiada sudi menyediakan diri mereka itu menjadi sasaran dari lelucon-lelucon dan permainan orang.
125
Ibnu Khaldun di sini menggunakan perkataan alah, yaitu alat-alat kelengkapan diraja seperti pertunjukan panjipanji dan bendera-bendera, pemukulan genderang-genderang dan tiupan terompet-terompet dan Serunai.
Menurut kebiasaan kemenangan merebut pimpinan seperti (di atas) itu jatuhnya ialah pada anggota-anggota dari keluarga-keluarga besar, keluarga-keluarga bangsawan, dan semua mereka yang pantas untuk menjadi pengetua-pengetua dan pemimpin-pemimpin dari sesuatu kota. Kadang-kadang ia jatuh pada orang tertentu dari kalangan paling bawah dari rakyat jelata. Jika ia memperoleh 'ashabiyah itu, maka itu adalah disebabkan takdir telah menghendaki itu baginya. Maka iapun berkuasalah atas pengetua-pengetua dan kalangan-kalangan atasan yang telah kehilangan sokongan dari golongan mereka itu. (Pasal IV : 21). 11. TUJUAN 'ASHABIYAH Tujuan 'ashabiyah (rasa golongan) ialah kekuasaan wibawa (Ar. mulk). Ini adalah karena, sebagai kita telah katakan sebelumnya, 126) 'ashabiyah itu memberi perlindungan, memungkinkan pertahanan bersama, sanggup mendesakkan tuntutantuntutan, dan aneka macam kegiatan kemasyarakatan yang lain-lain lagi. Kitapun telah mengatakan juga sebelumnya 127) bahwa sesuai dengan wataknya makhluk manusia itu memerlukan seseorang yang akan bertindak sebagai suatu wibawa dan pengantara dalam setiap organisasi kemasyarakatan (Ar. yahtajuna fi kulli ijtima'in ila wazi'in wa hakimin) untuk menjaga agar para anggota itu tidak pukul-memukul sesama mereka. Orang seperti itu haruslah, sebagai satu kemestian, mempunyai superioritas (Ar. taghallub) atas yang lainnya dalam hal 'ashabiyah. Jika tidak, maka kodratnya untuk melaksanakan satu kewibawaan tidaklah dapat berlaku. Superioritas seperti itu ialah kekuasaan-wibawa (Ar. hadza at-taghallub huwa al-mulk). Kekuasaan-wibawa itu melebihi kepemimpinan (Ar. riyasah). Kepemimpinan artinya ialah keadaan menjadi kepala suku, dan keadaan seorang pemimpin itu dipatuhi orang, tetapi ia mempunyai kekuatan untuk memaksakan orang-orang lain supaya menerima kekuasaan pemerintahannya. Dalam pada itu kekuasaan-wibawa berarti superioritas dan kekuasaan memerintah dengan kekerasan (Ar. wa amma al-mulku fa huwa at-faghallubu wa al-hukmu bi al-qahri). Apabila seseorang dari kalangan 'ashabiyah telah sampai pada mencapai martabat kepala suku dan ditaati orang, dan bila ketika itu ia dapati jalan terbuka menuju superioritas dan pemakaian kekerasan, maka ia tidaklah akan mengabaikannya, karena itu adalah sesuatu yang diharapkan nafsunya. Ia tidak dapat akan mencapai tujuannya itu sepenuhnya, terkecuali dengan bantuan rasa golongan ('ashabiyah) yang akan mengakibatkan yang lainnya itu mematuhinya. Demikianlah superioritas diraja itu adalah tujuan dari 'ashabiyah (Ar. fa at-taghallubu al-mulkiyu ghayatun li al'ashabiyah), seperti yang jelas kelihatan. Kemudian seyogianya pula diketahui, bahwa walaupun sesuatu kabilah itu mempunyai berbagai-bagai "perumahan" dan beberapa banyak 'ashabiyah, namun mestilah ada satu 'ashabiyah yang lebih kuat dari semua gabungan 'ashabiyah'ashabiyah lainnya, yakni superioritas atas semua mereka dan menjadikan mereka itu takluk kepadanya. Semua 'ashabiyah yang beraneka corak itu berkoalisilah di dalamnya seolah-olah menjadi satu 'ashabiyah yang terbesar. Jika tidak demikian halnya, maka perpecahanlah yang akan terjadi dan terbitlah pertikaian-pertikaian dan pertentangan-pertentangan.
126
Lihat pada Pasal II: 7 dari Muqaddimah atau nomor 9 di atas. Lihat pada nomor 2 di atas (yang sebenarnya merupakan bagian dari pendahuluan Pertama dari Pasal I dari Muqaddimah). 127
"Dan sekiranya Allah tidak menjauhkan manusia sebagiannya dari sebagian lainnya, niscaya rusaklah bumi ini." (Al Qur-an II : 252). Kemudiannya, sekali 'ashabiyah itu memperoleh superioritas atas rakyat golongannya, maka sesuai dengan wataknya, ia akan mencari superioritas pula lagi atas rakyat dari 'ashabiyah-'ashabiyah lain yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Jika 'ashabiyah yang satu sama dengan 'ashabiyah yang lain atau sanggup menolak tantangannya, maka rakyat-rakyat yang bersangkutan itu sebandinglah dan sama. Dalam hal begini, masing-masing 'ashabiyah itu tetaplah memegang kekuasaannya atas daerah dan rakyatnya sendiri-sendiri, sebagaimana halnya dengan kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Akan tetapi jika sesuatu 'ashabiyah mengalahkan 'ashabiyah lainnya dan membuatnya takluk kepadanya, maka kedua 'ashabiyah itupun bercampurlah secara akrab (Ar. iltahamat), yang kalah memberikan tambahan tenaga kepada yang menang, yang sebagai satu akibat, mulai menuntut tujuan yang lebih tinggi dari sebelumnya dari superioritas dan dominasinya itu. Demikianlah selalu selanjutnya, sehingga kekuatannya itu menyamai kekuatan daulah yang berkuasa. Akhirnya, apabila daulah yang berkuasa itu sudah tua umurnya dan di antara para pembesarnya yang se'ashabiyah itu tidak seorangpun ada yang akan mempertahankannya, maka 'ashabiyah yang baru itupun bertindak merebut kekuasaan dan membebaskan daulah yang memerintah itu dari kekuasaannya. Dengan demikian seluruh kekuasaan-wibawa (Ar. mulk) itu jatuhlah ke dalam tangannya. Kekuatan dari sesuatu 'ashabiyah dapat juga mencapai puncaknya pada ketika daulah yang berkuasa itu masih belum lagi mencapai usia tuanya. Babakan ini dapat terjadi bersamaan dengan babakan di mana daulah yang berkuasa itu sedang memerlukan dengan sangat bantuan dari para pengikut 'ashabiyah-'ashabiyah lainnya untuk menenteramkan suasana. Dalam hal seperti itu daulah yang lagi memerintah itu bertindaklah memasukkan para pengikut 'ashabiyah yang kuat-kuat itu ke dalamnya sebagai mawla-mawlanya yang akan dipergunakannya untuk melaksanakan anekabagai maksud-maksudnya. Maka ini artinya ialah pembentukan kekuasaan-wibawa (mulk) yang baru, yang kurang dari kekuasaan-wibawa semula. Demikianlah telah terjadi dengan orang-orang Turki di bawah daulah 'Abbasiyah, dengan orang-orang Shinhajah dan Zanatah dalam hubungan mereka dengan orangorang Kutamah, dan dengan orang-orang Banu Hamdan dalam hubungan mereka dengan raja-raja Syi'ah dari kerajaan 'Alawiyah dan 'Abbasiyah. Dengan demikian nyatalah sudah, bahwa kekuasaan-wibawa (mulk) adalah tujuan dari 'ashabiyah itu. Jika sesuatu 'ashabiyah mencapai tujuan itu, maka kabilah (rakyat) yang menjadi pengikut 'ashabiyah tertentu itu memeganglah kekuasaanwibawa, baik dengan cara memegangnya benar-benar (Ar. bi al-istibdadi) maupun dengan cara memberi bantuan sajai (bi al-muzhaharah) kepada yang bakal memerintah. Tergantunglah pada keadaan-keadaan dewasa itu mana dari kedua alternatif ini yang akan berlaku. Jika 'ashabiyah itu menemui tantangan-tantangan dalam mencapai tujuannya, seperti yang akan kita jelaskan nanti, maka berhentilah ia di tempat beradanya, sampai Allah menetapkan apa yang akan terjadi selanjutnya dengannya. (Pasal II : 16) 12. 'ASHABIYAH SEBAGAI DASAR KEKUASAAN-WIBAWA Sesungguhnya kekuasaan-wibawa (Ar. mulk) dan kekuasaan daulah yang besarbesar itu terjadinya adalah karena golongan dan rasa golongan. Ini adalah seperti telah
disebut juga di pasal pertama, karena kekuatan agressif dan defensif itu hanya dapat tercapai dengan perantaraan rasa golongan, yakni kesukaan dan keinginan untuk berjuang dan mati bagi kepentingan bersama. Kekuasaan-wibawa itu adalah satu kedudukan yang mulia dan penuh nikmat. Di dalamnya termasuk segala sesuatu yang baik-baik di dunia ini, kesenangankesenangan badaniah, kesenangan-kesenangan syahwiah dan kesenangan-kesenangan rohaniah. Karenanya, menurut kebiasaannya, selalu ada persaingan besar untuk itu. Ia jarang sekali diserahkan orang dengan sukarela, akan tetapi ia dapat direbut. Dengan demikian terjadilah pertikaian, yang dapat menimbulkan peperangan dan bunuhmembunuh dan usaha-usaha untuk memperoleh kemenangan. Tiada sesuatupun dari segala itu akan terjadi, jika tidak karena rasa golongan, seperti telah juga kita sebutsebut tadinya. Keadaan seperti ini sama sekali tak difahami oleh orang ramai. Mereka lupa akannya, karena mereka telah melupakan masa sewaktu daulah itu untuk pertama kali didirikan. Mereka telah menjadi orang-orang dewasa di daerah-daerah tertentu sejak suatu masa yang lama. Mereka telah hidup di sana sampai turun-temurun. Dengan demikian mereka tiada mengetahui apa-apa tentang apa yang telah terjadi atas kehendak Tuhan pada masa permulaan dari daulah itu. Yang mereka lihat hanya, bahwa tokoh-tokoh daulah itu sudah ditentukan, bahwa rakyat telah mematuhi mereka, dan bahwa 'ashabiyah sudah tidak diperlukan lagi untuk memperkuat kekuasaan mereka itu. Mereka tidak mengetahui betapa duduknya keadaan pada mula-mulanya dan kesulitan-kesulitan apa yang telah dihadapi oleh pembentuk daulah itu. (Pasal III : 1) 13. SEKALI NEGARA ITU BERDIRI TEGUH, 'ASHABIYAH DAPATLAH DITINGGALKAN Negara itu jika sekali telah berdiri teguh bolehlah ia meninggalkan 'ashabiyah. Sebabnya ialah karena rakyat itu pada mulanya sukar untuk menyerah diri kepada sesuatu kekuasaan pemerintahan, terkecuali jika mereka terpaksa menyerah karena sesuatu kekuatan yang melebihi kekuatannya. Maka pemerintah baru itupun merupakan barang baru baginya. Rakyat tiada suka dan terbiasa dengan pemerintahannya. Akan tetapi sekali leadership (Ar. riyasah) telah tergenggam dalam tangan keluarga yang sanggup melaksanakan kekuasaan-wibawa (Ar. mulk) dalam daulah itu, dan sekali kekuasaan-wibawa itu telah menjadi turun-temurun bagi beberapa banyak generasi dari daulah-daulah yang berturut-turut itu, maka zamanzaman permulaan itupun telah dilupakan orang, dan para anggota dari keluarga itu menjadilah pemimpin-pemimpin yang diakui. Dan menjadilah satu akidah, bahwa setiap orang harus takluk dan menyerah diri pada mereka. Orang-orang bersedia untuk berperang bersama-sama mereka untuk kepentingan mereka, sebagaimana mereka telah sedia berperang untuk kepentingan agama. Dalam kcadaan seperti ini, para pemimpin daulah tiadalah memerlukan 'ashabiyah untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Keadaan adalah seolah-olah ketaatan pada pemerintah itu merupakan kitab dari Tuhan yang tak dapat dirubah-rubah atau ditentang-tentang. Itulah sebabnya pula maka perbincangan tentang Imamah telah sengaja saya tempatkan pada bagian terakhir dari uraian ini yang khusus memperbincangkan soal-soal keimanan, seolah-olah ia sebagian daripadanya. 128) 128
Lihat Pasal III : 23, 24 tentang kedudukan Khalifah dan Imamah, atau pada No. 4 dan 5 di atas.
Maka adalah para penguasa itu telah mempertahankan pemerintahan dan daulah mereka dewasa itu atau dengan bantuan para mawla dan para pengikut yang tumbuh dalam lindungan dan kekuasaan 'ashabiyah, atau dengan bantuan golongan-golongan persukuan dari suatu keturunan lain yang telah menjadi mawla mereka. Sebagai suatu contoh dapat kita lihat apa yang telah terjadi dengan daulah 'Abbasiyah. Di zaman pemerintahan al-Mu'tashim dan anaknya al-Watsiq adalah keadaan 'ashabiyah bangsa Arab itu sudah amat lemah. Mereka berusaha mempertahankan kendali pemerintahan mereka sesudah itu dengan bantuan para mawla dari bangsabangsa Persia, Turki, Dailam, Saljuk dan lain-lain. Kemudian orang-orang Persia dan para mawla itu memperoleh kekuasaan atas propinsi-propinsi dari daulah itu, sedang pengaruh dari pemerintah pusat sendiri menjadilah semakin kecil dan hanya terbatas di sekitar ibukota Baghdad. Kemudian (suku) bangsa Dailam mara ke Baghdad dan mendudukinya. Para khalifah pun dikuasailah oleh mereka. Kemudian pada gilirannya (suku) bangsa Dailam itu hilang pula kekuasaannya. Bangsa Saljuk datang merebut kekuasaan sesudah mereka dan para khalifah pun dikuasailah oleh mereka. Kemudian lagi bangsa Saljuk itupun pada gilirannya hilang pula kekuasaannya karena dikalahkan oleh bangsa Tartar, khalifah dibunuh mereka dan daulah itupun dimusnahkan mereka sama sekali. Demikian pula telah terjadi dengan daulah Umayyah di Spanyol. Ketika 'ashabiyah mereka telah hancur, maka raja-raja kecil yang disebut muluk at-thawaif (Er. reyes de taifah) merebutlah kekuasaan dan membagi-bagi daerah itu di antara sesama mereka. Dalam persaingan sesama mereka itu, mereka telah mendistribusikan daerah daulah Umayyah itu. Masing-masing mereka merebut daerah yang sedang berada di bawah pengawasannya dan memperluas kekuasaan masing-masing. Raja-raja ini mengetahui tentang hubungan yang ada antara orang-orang yang bukan Arab di bagian Timur dengan kerajaan 'Abbasiyah. Sambil meniru-niru mereka, mereka itu memakai sebutan-sebutan diraja dan titel-titel diraja. Bahaya bahwa nanti seseorang lain akan mencaplok pangkat-pangkat yang mereka tuntut itu, ataupun akan merubah suasana dalam hal ini tidaklah ada sama sekali, karena Spanyol dewasa itu bukanlah lagi tempatnya 'ushbah-'ushbah (golongan-golongan) dan qabilah-qabilah, seperti akan kita terangkan juga nanti. Keadaan sedemikian itu terus berlarut-larut, seperti pernah disyairkan oleh Ibn Syaraf sebagai berikut : Apa yang membikin'ku seperti zahid di Spanyol Ialah penggunaan nama-nama Mu'tashim dan Mu'tadlid di sana Sebutan-sebutan diraja itu tidaklah pada tempatnya Seperti kucing said yang meniup-niup dirinya hendak menjadi Singa layaknya. Mereka berusaha keras mempertahankan kekuasaan mereka itu dengan bantuan dari para mawla dan pengikutnya dan dengan sokongan bangsa Zanatah dan sukusuku Barbar yang lain yang telah menyusup ke Spanyol dari pesisir Afrika. (Pasal III : 2) 14. OPPOSISI DARI SUKU BANGSA DAN 'USHBAH Suatu daulah jarang sekali berdiri dengan teguh di negeri-negeri yang banyak terdapat suku bangsa dan 'ushbah yang berbeda-beda. Sebabnya ialah karena perbedaan-perbedaan yang terdapat pada pendapat-pendapat dan kemauan-kemauan. Di belakang setiap pendapat dan kemauan itu selalu saja ada 'ashabiyah yang mempertahankannya. Maka itu di zaman apa saja terdapat opposisi terhadap sesuatu daulah dan perlawanan yang menentangnya, walaupun daulah itu memiliki
'ashabiyah, karena setiap 'ashabiyah yang berada di bawah pengawasan daulah yang lagi berkuasa itu selalu saja mengira bahwa ia cukup mempunyai kekuatan dari kekuasaan pada dirinya. Orang bolehlah memperbandingkan apa yang dalam hal ini telah terjadi di Afrika 129 ) dan di al-Maghrib sejak permulaan Islam hingga masa sekarang ini. 130) Para penduduk dari negeri-negeri itu adalah suku bangsa-suku bangsa dan golongangolongan Barbar. Kemenangan pertama-tama dari Ibn Sarh 131) atas mereka dan atas orang-orang Eropah Kristen (Ar. al-Ifranjah) di al-Maghrib adalah tidak berfaedah. Mereka berulangkali sesudah itu berontak melakukan irtidad sambil membunuh banyak kaum Muslimin. Malah sesudah agama Islam berdiri teguh di kalangan mereka, mereka masih terus juga berontak dan melawan, dan banyak kali-lah sudah mereka kembali berperang pada ajaran-ajaran kaum Khawarij. Ibn Abi Zayd 132) mengatakan, bahwa (suku) bangsa Barbar di al-Maghrib itu telah berontak dua belas kali dan bahwa Islam telah menjadi kuat di kalangan mereka itu hanya selama gubernur Musa ibn Nusyayr memerintah dan masa sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan oleh satu pernyataan dari 'Umar yang mengatakan bahwa anna Afriqah mufarriqatun 133) liqulubi ahliha (Afrika itu memecah-belah jantungjantung penduduknya). Pernyataan itu rupanya hendak menunjuk pada banyaknya golongan-golongan dan suku bangsa-suku bangsa di sana, yang menyebabkan mereka menjadi tiada patuh dan tak terkendalikan. Iraq dewasa itu tidaklah demikian halnya, demikian pula Syria. Karena militer Iraq dan Syria adalah masing-masing terdiri dari orang-orang Persia dan Romawi Timur (Byzantium). Para penduduknya adalah satu jemaah campuran dari para penghuni kota-kota kecil dan kota-kota besar. Ketika kaum Muslimin mengalahkan mereka itu tiada seorangpun di antara mereka yang masih tinggal yang sanggup bertahan atau melawan lagi. Suku-suku atau kabilah-kabilah dari bangsa Barbar di alMaghrib amatlah banyaknya. Semua mereka itu adalah orang-orang penghuni padang pasir dan anggota-anggota dari 'ushbah-'ushbah(golongan-golongan) dan keluargakeluarga. Bilamana suatu kabilah telah dimusnahkan, maka kabilah yang lain pun tampillah menggantikannya dan yang tersebut belakangan ini sama saja dengan yang sebelumnya dalam hal memberontak dan irtidad. Karena itulah bangsa Arab telah memerlukan waktu yang lama dalam menegakkan daulahnya di negeri Ifriqiyah dan al-Maghrib itu. Demikian jugalah halnya di Syria di zamannya Bani Israil. Waktu itu di sana terdapat satu jumlah yang besar dari suku bangsa-suku bangsa (Ar. qaba-il), masingmasing dengan 'ashabiyahnya sendiri-sendiri, misalnya seperti suku bangsa Palestina (Ar. Filasthin ) dan suku bangsa Kanaan (Ar. Kan'an), Bani Esau (Ar. 'Ishu), Bani Median (Ar. Midyan), Bani Luth, suku bangsa Edom, suku bangsa Armenian, suku bangsa Amalekit (Ar. 'Amaliqah), suku bangsa Girgasy (Ar. Akrisy) dan suku bangsa Nabatea (Ar. Nabith) dari Jazirah 134) dan Mosul. Karena itu amatlah sulit bagi Bani Israil untuk mendirikan daulah mereka itu dengan teguh. Berulangkali kekuasaanwibawa (Ar. mulk) mereka itu telah digoncangkan. Semangat opposisi seringkali 129
Dengan Afrika dimaksudkan di sini Ifriqiyah, yaitu daerah yang kini ditempati oleh Republik Tunisia. Yakni masanya Ibnu Khaldun. O.R. 131 Yaitu Gubernur Mesir di zaman sayidina Usman ra. Yang pernah mencoba menyerang Tripolitania tiada lama sesudah tahun 647 M. 132 Yaitu 'Abdallah ('Ubaidallah) ibn Abi Zayd adalah seorang autoritas tentang sekolah yang sering disebut-sebut oleh Ibnu Khaldun. Ia hidup antara tahun 316-386 H (atau 928-996 M). 133 Sebenarnya ini hanya permainan kata-kata saja, yaitu hendak memperhubungkan perkataan Ifriqiyah dengan kata kerja faraqa, yakni memecah belah. 0 R. 134 Yakni daerah Irak sekarang O.R. 130
muncul. Mereka menentang pemerintah mereka sendiri dan berontak melawannya. Maka itu kaum Bani Israil tiada pernah mempunyai satu kekuasaan-wibawa yang berkelanjutan terus-menerus dan kuat. Pada waktunya merekapun dikalahkan orang, mula-mula oleh bangsa Persia, kemudian oleh bangsa Yunani, dan kesudahannya oleh bangsa Romawi, ketika mana kekuasaan mereka itu telah berakhir dengan porakporanda. "Dan Allah itu amatlah berkuasa atas urusan-Nya." (Al Qur-an XII : 21) Sebaliknya amatlah mudahnya mendirikan satu daulah di negeri-negeri yang bebas dari perasaan-perasaan golongan. Memerintah di sana akan aman dan tenteram sekali karena pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan kurang, dan daulah di sana itu tidaklah memerlukan banyak 'ashabiyah. Hal seperti terdapat di Mesir dan Syria sekarang ini. 135) Mereka di sana bebas dari perasaan-perasaan suku bangsa dan golongan. Malah orang tidak menyangka bahwa Syria, yang pada suatu masa adalah penuh dengan kabilah-kabilah dan golongan-golongan 136) kini adalah bebas dari segala itu. Kekuasaan-wibawa di Mesir adalah paling tenteram dan sangat berakar, karena Mesir itu mempunyai sedikit sekali orang khawarij ataupun orang-orang yang memiliki golongan-golongan kabilah. Mesir mempunyai seorang Sultan dan sejumlah rakyat. Dinasti yang memerintah Mesir itu terdiri dari raja-raja Turki dan 'ushbah'ushbah mereka. Mereka saling ganti-berganti dalam kekuasaan, dan kendali pemerintahan telah beredar di kalangan mereka dari satu pusat ke pusat lainnya. Hanya menurut nama khilafah itu berada di tangannya al-Abbasiyah, yaitu keturunan dari klialifah-khalifah 'Abbasiyah di Baghdad. (Pasal III : 9) 15
WATAK KEKUA5AAN-WIBAWA Kekuasaan-wibawa (Ar. al-mulk) adalah satu lembaga yang merupakan tabiat (Ar. manshibun thabi'iyyun) pada umat manusia. Kita sudah menerangkan sebelumnya, 137 ) bahwa makhluk manusia tidak dapat hidup dan berwujud terkecuali dengan adanya organisasi kemasyarakatan dan kegotong-royongan untuk kepentingan memperoleh makanan mereka dan untuk keperluan-keperluan hidup yang lain-lain. Jika mereka itu telah berorganisasi, maka keadaan memaksakan mereka supaya saling indah-mengindahkan dan dengan demikian memenuhi keperluan-keperluan yang mereka hajati. Setiap orang akan menggerakkan tangannya untuk memperoleh apa saja yang ia perlukan dan ia akan berusaha untuk mengambil apa saja yang ia perlukan itu dari orang lain. Karena adalah sudah menjadi watak dari makhluk hewan itu untuk berlaku dzalim (tidak adil) dan agressif. Orang yang akan dirugikan itu, di pihaknya, sudah tentu berusaha pula untuk menghalang-halanginya berbuat demikian. Kesemua itu adalah digerakkan oleh rasa amarah, rasa benci dan sebagai reaksi dari kekuatan manusia jika hak-miliknya itu terancam. Maka terjadilah pertikaian. Pertikaian menimbulkan permusuhan-permusuhan, dan permusuhan-permusuhan menimbulkan kekacauan dan penumpahan darah serta pengorbanan-pengorbanan nyawa manusia, yang pada gilirannya dapat sampai pada memusnahkan umat manusia sendiri. Padahal sebagai diketahui umat manusia adalah salah satu dari yang teristimewa diperintahkan Tuhan kita supaya dipelihara. 135
Yakni Mesir dan Syria di Zaman Ibnu Khaldun. OR. Ibnu Khaldun menamakan Syria "tambang dari kabilah-kabilah dan golongan-golongan." 137 Lihat pada : 1. Asal-usul Masyarakat dan 2. Asal-usul negara. OR. 136
Maka itu manusia tidaklah dapat terus-menerus hidup dalam keadaan anarkhi, tanpa mempunyai suatu pemerintahan 138) yang akan menjaga mereka itu. Maka itu pula mereka memerlukan seseorang yang akan mengendalikan mereka. Dan itulah dia yang memerintah mereka itu. Dan sebagaimana dikehendaki oleh watak manusia, orang itu haruslah seorang pemerintah yang kuat, seorang yang benar-benar melaksanakan kewibawaan (Ar. almalik al qahir al-mutahakkim). Dalam hubungan ini adanya 'ashabiyah adalah satu keharusan, karena sebagai kita telah katakan juga sebelumnya, 139) tindakan-tindakan agressif dan defensif hanya dapat berhasil dengan bantuan dari 'ashabiyah itu. Jelaslah kiranya dari apa tersebut di atas, bahwa kekuasaan wibawa itu adalah satu lembaga yang mulia (Ar. manshibun syarifun), yang dituntut oleh semua pihak, dan merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan. Tiada sesuatu pun darinya dapat terbentuk terkecuali jika ia dibantu oleh 'ashabiyah-'ashabiyah, seperti telah juga kita perkatakan sebelumnya. Adapun 'ashabiyah-'ashabiyah itu berbeda-beda pula. Masing masing 'ashabiyah melakukan kekuasaan dan kekuatannya sendiri atas rakyat dan keluarga-keluarga yang menurutinya. Dan tidaklah setiap 'ashabiyah memiliki kekuasaan-wibawa itu. Kekuasaan-wibawa pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang sanggup menguasai rakyat-rakyat, sanggup memungut iyuran-iyuran negara, sanggup mengirim angkatan-angkatan bersenjata untuk berperang, 140) sanggup melindungi daerah-daerah perbatasan, dan yang tiada mempunyai seorangpun di atas mereka lagi yang lebih kuat dari mereka itu. Inilah arti sebenarnya dari kekuasaan-wibawa (Ar. almulk) yang sudah menjadi penerimaan umum. Kemudian ada pula rakyat yang 'ashabiyahnya tiada sanggup melaksanakan salah satu dari tindakan-tindakan yang merupakan bagian dari kekuasaan-wibawa sebenarbenarnya itu, seperti misalnya melindungi daerah-daerah perbatasan, mengumpulkan pajak-pajak, ataupun mengerahkan angkatan-angkatan bersenjata. Kekuasaan-wibawa seperti itu adalah cacad, tiada sempurna, dan bukan kekuasaan-wibawa dalam arti yang sebenarnya. Demikianlah halnya dengan banyak raja-raja Barbar dari daulah Aghlabiyah di Kairawan (Ar. al-Qairawan), dan dengan raja-raja Persia pada permulaan dari daulah 'Abbasiyah. Kemudian ada pula lagi rakyat yang 'ashabiyahnya itu tiada cukup kuat untuk menguasai dan mengawasi segala perasaan-perasaan golongan yang lain-lain ataupun untuk mencegah timbulnva perasaan-perasaan golongan itu, sehingga karenanya timbullah satu kekuasaan baru di atas kekuasaan mereka itu. Maka kekuasaan-wibawa mereka seperti ini adalah juga cacat, tiada sempurna, dan tidaklah merupakan kekuasaan-wibawa dalam arti yang sebenar-benarnya. Kekuasaan itu misalnya dilakukan oleh gubernur-gubernur propinsi dan para kepala wilayah yang seluruhnya sebenarnya adalah merupakan alat-alat negara dari satu daulah. Keadaan seperti ini seringkali terdapat dalam kerajaan-kerajaan yang amat luas daerahnya. Saya maksudkan dengan ini ialah gubernur-gubernur dari propinsi-propinsi atau wilayah-wilayah yang terpencil yang memerintah rakyat mereka sendiri, akan tetapi disamping itu mematuhkan pula pemerintah pusat dari daulah yang bersangkutan itu. 138
Perkataan Arab al-hakim sebenarnya adalah penguasa atau kepala negara akan tetapi saya kira lebih tepat kalau di sini ia diterjemahkan dengan pemerintah. O.R. 139 Lihat pada asal-usul masyarakat. 140 Di sini Ibnu Khaldun mempergunakan perkataan ba'tsul bu'uts, artinya pengiriman duta-duta. Tetapi saya kira kalau hanya pengiriman duta-duta yang dimaksudkan itu tiadalah sukar. Sebab itu tentu yang dimaksudnya dengan bu'uts itu pengiriman angkatan-angkatan bersenjata. O.R.
Demikianlah misalnya hubungan dari Shinhajah dengan daulah 'Ubaidiyah (alFathimiyah) dari Zanatah dengan daulah Umayyah pada ketika yang lain, dari rajaraja Persia dengan daulah 'Abbasiyah, dari pangeran-pangeran serta raja-raja Barbar dengan orang-orang Kristen Eropah di al Maghrib sebelum Islam, dan dari raja-raja Persia kuno dengan rakyat Alexander dari Yunani dan bangsa Yunani sendiri. Banyaklah contoh-contoh di dalam sejarah jika kita mau memperhatikannya. Dan Allah itulah "Yang Berkuasa atas hamba-hamba-Nya" (Qur-an VI : 18). (Pasal III : 21) 16. PEMUSATAN KEKUASAAN Menurut wataknya kekuasaan-wibawa itu (Ar. mulk) suka memusatkan kekuasaan di tangan satu orang. Sebabnya ialah seperti telah kita perkatakan juga sebelumnya, karena kekuasaan-wibawa tersebut timbulnya adalah dengan perantaraan 'ashabiyah (rasa golongan). Dan 'ashabiyah yang menimbulkan kekuasaan-wibawa itu adalah sesuatu yang terjadi dari beberapa banyak 'ushbah-'ushbah (golongan-golongan), yang diantaranya ada satu yang merupakan yang terkuat dari seluruh lainnya. Jelas kelihatan dari sini, bahwa 'ashabiyah tertentu dapat mengalahkan dan menguasai 'ashabiyah-'ashabiyah lainnya, dan adakalanya meletakkan semua mereka itu di bawah kekuasaannya. Dan begitulah secara demikian itu nantinya terwujudlah satu organisasi kemasyarakatan dan penguasaan atas umat manusia dan daulah-daulah. Rahasianya disini ialah bahwa 'ashabiyah yang meluas meliputi sesuatu kabilah (suku bangsa) itu sifatnya adalah menyerupai watak yang terdapat pada benda-benda yang hendak dilarutkan (Ar. mitslu al-mizaj li al-mutakawwin). Pelarutan dalam ilmu fisika adalah hasil dari percampuran unsur-unsur. Seperti telah kita terangkan pada pasal tertentu di atas 141) adalah unsur-unsur itu jika diaduk datam jumlah yang bersamaan, tidak akan menghasilkan pelarutan apaapa. Unsur yang satu hendaknya harus melebihi atas unsur-unsur lainnya, sehingga jika ia melakukan kelebihan kekuatannya atas yang lain-lain itu, terjadilah pelarutan itu. Dengan cara yang seperti itu pula, salah satu dari berbagai-bagai 'ashabiyah itu haruslah melebihi semua yang lainnya. Hanya secara demikianlah baru mereka dapat dipertemukan, dapat dipersatukan dan dapat dilarutkan menjadi satu 'ashabiyah yang terdiri dari berbagai-berbagai 'ushbah (golongan). Semua golongan lain yang berbedabeda itu dengan demikian beradalah di bawah pengaruh dari 'ashabiyah yang terkuat. 'Ashabiyah terbesar (Ar. 'ashabiyah al-kubra) ini hanya terdapat pada rakyat yang mempunyai keluarga kuat (Ar. ahli baitin) dan kepemimpinan (Ar. riyasah) di antara suku-sukunya. Salah seorang di antara mereka itu seharusnyalah menjadi Pemimpin (Ar. ra-is) yang mempunyai kekuasaan atas semua mereka lainnya. Ia menonjollah sebagai Pemimpin dari semua 'ashabiyah yang aneka macam itu, karena melebihi semua itu menurut tumbuhannya. 142) Jika ia telah menonjol sebagai orang yang memegang kepemimpinan, maka ia pun menjadilah congkak dan tiada membiarkan orang lain menyertainya dalam kepemimpinannya itu. Orang lain tak boleh menyertainya dalam memegang kekuasaan atas rakyat. Ia sekali-sekali tidak membiarkan hal itu terjadi. Sebabnya ialah karena sifat-sifat tinggi hati dan sombong (Ar. khulku al kibri wa al-anafah) itu
141
Dimaksudkan oleh Ibnu Khaldun barangkali Pasal II : 10, yaitu yang memperbincangkan Soal Kemurnian Keturunan. 142 Ibnu Khaldun menggunakan perkataan li ghalbi manbitihi, yang juga dapat diterjemahkan karena kelahirannya. O.R.
sudah menjadi satu khuluk pada watak kehewanan. Demikianlah maka egoisme yang memang sudah menjadi watak manusia pun berkembanglah pada dirinya. Apalagi ilmu politik pun menghendaki agar hanya satu penguasa saja yang mengendalikan pemerintahan. Jika yang akan mengendalikannya itu berbagai-bagai orang yang berbeda-beda pendapatnya, maka kehancuranlah yang akan timbul sebagai akibatnya. Allah telah berkata dalam Al Qur-an : "Kalaulah ada pada kedua-duanya (langit dan bumi) Tuhan selain Allah, niscaya akan rusak binasalah kedua-duanya itu" (Al Qur-an XXI : 22). Maka itu aspirasi-aspirasi dari berbagai 'ashabiyah itupun dilumpuhkan oranglah. Rakyat menjadi jinak dan tidak mempunyai aspirasi untuk turut serta dengan Pemimpin dalam melakukan pengawasan. 'ashabiyah mereka dipaksakan supaya menjauh diri dari perbuatan itu. Maka sang Pemimpin pun berkuasalah sendiri sepenuhnya dan dengan kuasa yang sebesar mungkin. Kadangkala ia tiada membiarkan sebagian pun dari kekuasaan itu berada di tangan orang lain. Dengan demikian ia memusatkan segala kekuasaan itu di tangannya sendiri dan tidak membolehkan rakyat untuk mengambil bagian dalam kekuasaan itu. Hal seperti ini mungkin dapat terjadi dengan raja pertama dari sesuatu daulah, atau mungkin juga hanya dengan yang keduanya atau yang ketiga, sesuatunya tergantung sekali pada perlawanan dan kekuatan dari berbagai-bagai perasaan golongan, akan tetapi ia adalah sesuatu yang tak dapat tidak harus terjadi dalam sesuatu daulah. Demikianlah biasanya sunnah Tuhan dengan para hamba-Nya di masa-masa yang telah lalu. (Pasal III : 10) 17. TERJADINYA KEMEWAHAN Sudahlah menjadi tabiat dari negara-negara untuk berlaku mewah. Sebabnya ialah karena bila sesuatu bangsa telah memperoleh kemenangan dan memiliki segala sesuatu dari harta-kekayaan mereka yang tadinya memegang kekuasaan-wibawa itu, maka harta dan kemakmurannya pun berganda-gandalah. Dan bersama dengan itu bangsa tersebut pun menjadi terbiasa pula dengan bekerja, banyak adat-istiadat yang baru-baru. Maka dari satu penghidupan yang penuh dengan kesulitan-kesulitan dan tekanan-tekanan hidup mereka bergeraklah maju menuju satu kehidupan yang mewah dan hiduplah mereka itu penuh dengan kesenangan dan keindahan. Mereka menerima adat-istiadat dan keadaan-keadaan dari bangsa (rakyat) yang mereka gantikan itu. Kemewahan-kemewahan itu sudah terang menghendaki adanya adat-istiadat yang sesuai dengannya. Maka orang pun mulailah cenderung pula supaya hidup mewah dalam soal-soal makanan, pakaian, tempat-tidur dan perabotan rumah. Mereka merasa bangga dalam hal-hal seperti itu dan berlomba-lombalah mereka dengan bangsa-bangsa lain dalam hal-hal makanan lezat, pakaian cantik dan kendaraan yang indah. Setiap generasi-generasi ingin melebihi generasi sebelumnya dalam hal ini, dan begitulah seterusnya mereka meluncur ke bawah menuju kehancuran daulah mereka. Semakin luas daerah yang dikuasai oleh sesuatu daulah, semakin besar pula peranan rakyatnya dalam kemewahan itu. Pada galibnya batas yang akan dicapai itu sudah ditentukan buat sesuatu daulah oleh kekuatannya sendiri dan oleh adat-istiadat dari bangsa yang digantikannya. Demikianlah sudah sunnah Allah pada makhluk-Nya. (Pasal III : 10)
18. KEMEWAHAN DAN KEKUASAAN Kemewahan itu mula-mula akan merupakan tambahan kekuatan bagi sesuatu daulah. Sebabnya ialah karena sesuatu suku bangsa yang telah memperoleh kekuasaan-wibawa dan kemewahan (Ar. taraf) itu sifatnya adalah subur, cacah jiwanya naik dan rakyatnya pun berkembang. Dengan demikian golongan-golongan pun bertumbuhan pula. Juga para mawla beserta pengikut-pengikutnya bertambahtambah jumlahnya. Pendeknya, generasi-generasi baru lahir dalam satu suasana yang penuh kemakmuran dan kemewahan. Dan dengan mereka ini daulah itu pun beruntunglah dalam jumlah rakyatnya dan kekuatannya, karena sejumlah golongangolongan telah terbentuk waktu itu sebagai akibat dari bertambahnya angka penduduk itu. Jika generasi-generasi pertama dan kedua telah tidak ada lagi dan daulah tersebut mulai tua usianya, maka para pengikut dan mawla-mawlanya itu sendiri tiadalah sanggup berbuat sesuatu untuk meletakkan daulah tersebut beserta kekuasaanwibawanya di atas dasar yang lebih kuat. Sebabnya ialah karena mereka itu tiada pernah mempunyai kekuasaan itu di tangan mereka sendiri dan selama itu mereka hanya bergantung pada pembesar-pembesar daulah saja dan bertindak sebagai penyokong-penyokong mereka. Jika akar telah tak ada lagi, maka cabang-cabang dengan sendirinya tidaklah dapat kuat, malahan akan lenyap seluruhnya. Dan daulah itu pun kini tiadalah dapat lagi mempertahankan kekuatannya yang semula. Sebagai contoh dalam hal ini dapat diambil apa yang telah terjadi dengan kerajaan Arab dalam sejarah Islam. Sebagai telah pernah kita katakan, jumlah orang-orang Arab di zaman Nabi dan para khalifah yang terdahulu adalah lebih kurang 150.000 orang yang terdiri dari suku-suku Mudlar dan Qahthan. Kemewahan hidup telah mencapai puncaknya di zaman daulah itu. Penduduknya telah bertambah cepat sekali bersamaan dengan bertambahnya kemakmuran. Para khalifah telah memperoleh banyak mawla-mawla dan pengikut-pengikut (Ar. al-mawali wa ash-shana-i). Dengan demikian jumlah asli telah bertambah berganda-ganda. Ada dikatakan bahwa sewaktu pertempuran Amorium (Ar. Ammuriyah), alMu'tashim telah menyerang kota itu 900.000 orang. Jumlah ini agaknya tidak jauh dari kebenaran, kalau sekiranya kita ingat tentang betapa besarnya jumlah militer Islam di daerah-daerah perbatasan itu baik yang terjauh maupun yang terdekat, baik di Timur maupun di Barat, dan kemudian menambah lagi padanya jumlah tentara yang langsung berada dalam dinas kerajaan, bersama-sama dengan para mawla dan pengikut-pengikutnya. (Pasal III : 16) 19. KEPALA NEGARA DAN PEMERINTAH Seyogyanyalah diketahui, bahwa Kepala Negara secara sendirian adalah lemah, padahal ia mendukung beban yang sangat berat atas pundaknya. Ia haruslah mencari bantuan dari orang-orangnya. Ia memerlukan bantuan-bantuan mereka buat keperluan-keperluan hidup dan buat segala macam kepentingannya yang lain. Maka betapatah lebih lagi ia memerlukan bantuan itu untuk melaksanakan satu pimpinan politik atas masyarakat manusia, atas makhluk-makhluk dan hamba-hamba Allah yang telah dipercayakan Tuhan padanya sebagai rakyatnya ? Ia harus membela dan melindungi masyarakat dari musuh-musuhnya. Ia harus menjalankan hukum terhadap rakyatnya untuk menjaga agar mereka jangan sampai saling bermusuhan dan serang-menyerang karena harta-benda. Dalam ini termasuk
pula penjagaan keamanan pada lalu lintas manusia. Ia harus membuat manusia bertindak sebaik-baiknya untuk kepentingan diri mereka masing-masing, dan ia harus mengawasi persoalan-persoalan umum mereka yang meliputi pencarian nafkah hidup mereka dan persoalan muamalat mereka seperti bahan-bahan makanan dan takarantakaran timbangan dan ukuran-ukuran agar dengan demikian tipu-menipu dapat dihindarkan. Ia harus melaksanakan pimpinan politik dan membuat rakyat secara puas patuh kepadanya sampai-sampai kepada derajat dikehendakinya, kedua-dua itu sesuai dengan maksud-maksudnya terhadap mereka dan dengan kenyataan bahwa hanya dia sendirilah yang mempunyai segala kebesaran itu, sedang mereka tidaklah punya apaapa. Ini menghendaki satu penilaian psykhologis yang luar hiasa. Seorang bangsawan ahli-hikmah pernah berkata "Memindahkan gunung-gunung dari tempat-tempatnya adalah lebih mudah bagiku daripada mempengaruhi manusia-manusia secara psykologis". (Pasal III : 32) 20. PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER Seyogianya diketahui, bahwa baik kekuatan militer maupun tenaga sipil, 143) kedua-duanya adalah alat bagi Pemerintah untuk dipergunakan dalam mengurus kepentingan-kepentingannya. Akan tetapi pada permulaan sesuatu daulah selagi bangsa itu masih sibuk menegakkan kekuasaannya, keperluan pada kekuatan militer adalah lebih besar daripada keperluan pada tenaga sipil. Dalam hal seperti itu tenaga sipil hanyalah merupakan satu pembantu dalam pelaksanaan kekuasaan Pemerintah, sedang tenaga militer adalah peserta langsung dalam memberi bantuan aktifnya. Pun demikian juga halnya pada kesudahan sesuatu daulah sewaktu 'ashabiyahnya telah mulai melemah, seperti pernah kita perkatakan sebelumnya, dan rakyatnya pun sudah mulai berkurang jumlahnya karena usia tua. Pada ketika itu daulah yang bersangkutan berhajat sekali pada bantuan kekuatan militer. Kebutuhan pada bantuan militer untuk maksud-maksud perlindungan dan pertahanan (Ar. himayat ad-daulah wa al-mudafa'ah) di waktu itu sama kuatnya dengan kebutuhan di waktu permulaan dari daulah tersebut untuk kepentingan-kepentingan penegakannya. Dalam kedua hal ini tenaga militer mempunyai kelebihan atas tenaga sipil. Pada masa itu kaum militer mempunyai kedudukan-kedudukan yang lebih tinggi. Mereka menikmati lebih banyak keuntungan-keuntungan dan lebih banyak kemewahan-kemewahan. Akan tetapi di zaman tengah dari daulah itu, Pemerintah hingga tarap tertentu melepaskan tenaga militer itu karena kekuasaannya telah berdiri tegak dengan kekuatan yang cukup. Tinggal saja lagi cita-citanya untuk memperoleh hasil dari kekuasaan-wibawanya itu, yaitu misalnya pemungutan pajak-pajak, pemilikan hartabenda, berusaha melebihi negara-negara lain, dan menjalankan hukum. Untuk segala ini tenaga sipillah yang diperlukan. Maka kebutuhan untuk mempergunakannya meningkatlah. Tentara ibarat pedang tinggallah sekarang tanpa terpakai dalam sarungnya, terkecuali jika sesuatu terjadi sehingga mereka perlu dikerahkan untuk tindakan-tindakan pengamanan kembali. Untuk tujuan-tujuan yang lain dari itu, tenaga militer tidaklah diperlukan lagi.
143
Ibnu Khaldun di sini mempergunakan perkataan as-saif wa al-qalam, yang lebih tepat sebenarnya jika diterjemahkan dengan pedang dan pena. Akan tetapi untuk jelasnya sengaja ia kita salinkan dengan kekuatan militer dan tenaga sipil. Sebenarnya Ibnu Khaldun melihat pada kekuatan militer dan tenaga sipil itu sebagai kekuatan-kekuatan pedang dan pena. O.R.
Dalam hal seperti ini, tenaga sipillah yang mempunyai lebih banyak kekuasaan. Mereka menduduki jabatan-jabatan yang tinggi. Mereka menikmati lebih banyak keuntungan-keuntungan dan kekayaan dan mempunyai hubungan yang lebih akrab, lebih acap, dan lebih mesra dengan pihak yang berkuasa. 144) Dalam masa-masa seperti itu, tenaga sipil itulah alat yang dipergunakan oleh yang berkuasa untuk memetik buah dari kekuasaan wibawanya. Ia pergunakan itu untuk mengawasi dan memerintah daerah kekuasaannya dan untuk mempertunjukkan keadaan baik dari negeri itu. Pada waktu seperti itu para wazir dan kaum militer dapatlah tiada dipergunakan. Mereka dikesampingkan dari lingkungan terdekat dari yang berkuasa sehingga mereka haruslah berhati-hati sekali terhadap tingkah laku mereka. (Pasal III : 35) 21. USIA SESUATU DAULAH 145) Sebagaimana halnya dengan umur-umur manusia, demikian jugalah dengan usiausia daulah. Lamanya itu dapat berbeda-beda sesuai dengan letaknya bintang-bintang di langit (Ar. Bihasab al-qiranat). Akan tetapi pada galibnya tidak ada daulah yang usianya melampaui usia-usia dari tiga generasi bangsanya. Dan satu generasi itu (Ar. al jail) adalah sama dengan kebiasaan lamanya hidup seseorang manusia, yaitu empat puluh tahun, yakni masa yang diperlukan bagi pertumbuhan-pertumbuhan badan untuk mencapai kesempurnaannya dan untuk pencapaian kedewasaannya. Tuhan telah berkata dalam Al Qur-an : "Sehingga ia sampai pada masa balighnya dan mencapai usia empat puluh tahun ...." (Al Qur-an XLVI : 15). Karena itulah kita telah mengatakan bahwa menurut kebiasaan, lamanya hidup seseorang manusia sama dengan lamanya usia satu generasi dari sesuatu bangsa. Kebenaran kata ini diperkuat oleh kenyataan berdiamnya empat puluh tahun bangsa Bani Israil di padang pasir dari semenanjung Sinai. Ke empat puluh tahun itu dimaksudkan untuk membuat lenyapnya generasi yang dewasa itu lagi hidup dan tumbuhnya satu generasi lain yang tiada pernah melihat dan mengalami penghinaan kolonisasi di Mesir. Ini adalah bukti dari pernyataan bahwa masa empat puluh tahun itu yang lebih kurang sama dengan usia perorangan manusia, haruslah dianggap sebagai lamanya usia dari sesuatu generasi bangsa. Kita telah menyatakan, bahwa lamanya usia sesuatu dinasti itu menurut kebiasaan tidaklah melebihi lamanya usia tiga generasi bangsa. Generasi pertama (Ar. al-jil al-awwal) masih saja berpegang pada sifat-sifat kepadangpasir-annya, seperti kekerasan padang pasir dan kekasaran padang pasir. Para anggotanya sudah biasa dengan sifat suka menyendiri, tetapi ingin menikmati kemenangan-kemenangan mereka secara bersama-sama. Mereka itu pemberani dan suka merampok. Karenanya kekuatan rasa golongan terus-menerus terjaga di kalangan mereka itu dan rasanya tak hendak lenyap. Mereka kuat dan amat ditakuti. Orang-orang pun banyaklah yang menyerah pada mereka. Di bawah pengaruh kekuasaan-wibawa dan satu penghidupan yang lapang, maka datanglah generasi kedua yang berubah sifatnya dari kehidupan padang pasir menjadi satu penghidupan yang berkebudayaan kota, dari tadinya hidup dan menyendiri menjadi hidup mewah dan melimpah-limpah, dari satu keadaan di mana setiap orang menikmati kebesaran dan kemegahan menjadi satu keadaan di mana hanya seorang 144
Ibnu Khaldun menggunakan di sini perkataan sulthan, yang saya kira lebih tepat jika di sini diterjemakan dengan yang berkuasa daripada dengan perkataan sultan, yang juga telah menjadi perkataan Indonesia dengan artian kepala negara 0 R. 145 Dengan daulah dimaksudkan di sini dinasti dari raja-raja dan bukan negara. O R.
saja yang menikmati seluruh kebesaran dan kemegahan itu, sedang yang lain-lainnya telah menjadi acuh tak acuh terhadap kebesaran dan kemegahan itu. Pada generasi baru itu superioritas yang tadinya penuh kebanggaan bersama berubah menjadi pengabdian yang hina. Demikianlah kekuatan 'ashabiyah itu mulai retak hingga taraf tertentu. Rakyat mulailah terbiasa dengan hina-dina dan pengabdian. Namun demikian dari kebaikan-kebaikan semula masih banyak yang tinggal di kalangan mereka, sebab mereka itu masih mempunyai hubungan pribadi yang langsung dengan generasi pertama beserta segala hal-ihwal keadaannya. Pun mereka telah turut menyaksikan dengan mata kepala sendiri kebanggaannya dan perjuangannya mencapai kebesaran itu dan keinginannya untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka tak dapat melepaskan segala itu sekaligus, walaupun sebagian besar dari segala itu nanti akan lenyap juga. Mereka hidup dengan harapan supaya keadaan-keadaan yang terdapat pada generasi pertama itu seyogianya datang kembali ataupun mereka hidup dengan khayalan agar keadaan-keadaan seperti itu terus-menerus tetap begitu hendaknya. Adapun mengenai generasi ketiga, mereka itu sama sekali telah lupa akan zamannya penghidupan padang pasir beserta kesulitan-kesulitannya, seolah-olah masa itu tidak pernah ada. Mereka telah kehilangan rasa betapa sedapnya kemegahan itu dan betapa sebenarnya 'ashabiyah itu, sebab selama masa itu mereka telah dikuasai dengan kekerasan. Kemewahan mencapai puncaknya di kalangan mereka, sebab mereka telah terlalu cenderung kepada kehidupan melimpah-limpah dan mudah. Mereka menjadilah amat tergantung pada daulah dan mereka adalah seperti wanita-wanita dan anak-anak layaknya, yang memerlukan perlindungan dari seseorang yang lain. Rasa golongan lenyap sepenuhnya dari mereka. Orang-orang pada lupa untuk melindungi dan mempertahankan diri mereka sendiri dan bertindak mendesak agar tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi. Dengan emblem-emblem mereka, pasangan pakaian mereka, penunggangan kuda dan kemahiran mereka dalam bertempur, mereka menipu rakyat dan memberikan mereka kesan yang bukan-bukan. Sebenarnya sebagian besar mereka itu bersifat penakut seperti wanita. Jika seseorang datang dan mendesak atau menuntut sesuatu dari mereka, mereka tidak sanggup menolaknya. Maka di sinilah yang memerintah atau yang berkuasa itu memerlukan orang-orang lain yang berani untuk membantunya. Maka diambilnyalah beberapa banyak mawali dan pengikut-pengikut lainnya. Mereka ini dapat membantu daulah itu sampai taraftaraf tertentu, sehingga sampailah soalnya Allah mengizinkan kehancuran daulah itu beserta segala sesuatu yang ada padanya. Jelas kelihatan di sini bahwa tiga generasilah yang ada di sana. Dalam masa tiga generasi ini daulah itu pun menjadikan tua bangka. Karena itu barulah pada generasi ke empat nampak kebanggaan keturunan itu mulai luntur. Hal ini telah kita perbincangkan sebelumnya dalam hubungan dengan pembicaraan kita, bahwa kemegahan dan kebanggaan keturunan itu adalah terbatas pada empat keturunan atau generasi. Saya telah buktikan itu dengan dalil-dalil tabi-i dan jelas yang didasarkan atas premise-premise yang kita tetapkan sebelumnya. Para pembaca hendaknya memperhatikan itu. Sebagai orang yang tidak berat sebelah dalam pendiriannya ia tidaklah boleh mengabaikan kebenaran. Tiga generasi adalah seratus dua puluh tahun lamanya, seperti sudah juga dikatakan sebelumnya. Menurut kebiasaan dinasti-dinasti tidaklah lebih lama usianya dari jumlah tahun-tahun itu, hanya kadangkala yang satu agak lebih dan yang lain agak kurang dari usia itu, terkecuali jika kebetulan tidak ada seorangpun yang mau menyerangnya. Jika sesuatu dinasti telah mencapai usia tuanya, maka mungkin juga
tidak akan ada penuntut terhadap kekuasaannya. Jika demikian sesuatupun tidak akan terjadi. Tetapi jika sekiranya ada seseorang penuntut kekuasaannya maka pastilah ia tidak akan menemui apapun yang akan sanggup menolaknya. Jika ajalnya telah tiba, maka keakhiran dinasti itupun tidaklah dapat ditunda-tunda ataupun dipercepat walau sesaatpun. Demikianlah kita lihat, bahwa panjangnya usia sesuatu dinasti sesuai dengan panjangnya umur seseorang manusia. Ia tumbuh dan melalui satu masa yang tetap dan kemudian iapun berlalu. Karenanya pula orang biasa mengatakan, bahwa panjangnya usia sesuatu dinasti adalah seratus tahun. Perkataan ini sama maknanya seperti yang telah saya terangkan barusan. (Pasal III : 14) 22
DARI PADANG PASIR KE HIDUP MODERN Ketahuilah, bahwa babak-babak ini 146) adalah merupakan hal-hal yang tabi-i bagi daulah-daulah. Superioritas yang telah membuat kekuasaan-wibawa itu dapat tercapai adalah akibat dari adanya 'ashabiyah (rasa-golongan) dan dari adanya kemauan yang keras dan nafsu merebut yang tumbuh bersamanya. Menurut kebiasaan hal-hal seperti ini hanya mungkin dalam hubungan dengan kehidupan padang pasir. Maka itu babak pertama dari dinasti-dinasti itu adalah kehidupan padang pasir 147). Ketika kekuasaan-wibawa telah diperoleh, maka satu penghidupan yang lapangpun terjadilah bersama-sama dengan kemungkinan-kemungkinan luas lainnya. Peradaban modern sebenarnya hanyalah satu kesenian dari kehidupan mewah (Ar. alhidlaratu innama hiya tafannunun fi at-taraf) dan penghalusan pengetahuan mengenai pekerjaan tangan yang dipergunakan bagi berbagai-bagai aspek cara-cara kemewahan. Misalnya mengenai soal makanan, pakaian, perumahan, perabot rumah (permadani), alat-alat kerja, dan lain-lain keperluan rumah tangga. Masing-masing dari barangbarang ini menghendaki satu kesenian kemahiran tersendiri yang akan memperhalus dan memberi perbaikan-perbaikan padanya. Kesenian-kesenian (kemahiran-kemahiran) ini semakin bertambah-tambah jumlahnya dengan bertambahnya aneka ragam kemewahan-kemewahan dan kesenangan-kesenangan dan cara-cara menikmati hidup mewah yang diingini oleh hawa nafsu, dan dengan bertambahnya berbagai benda dan barang yang telah menjadi kebiasaan pada manusia. Babak modem dari kekuasaan-wibawa adalah kelanjutan dari babak kehidupan padang pasir. Itu terjadi sebagai satu kemestian, yaitu sebagai akibat kenyataan, bahwa kekuasaan-wibawa itu semestinya didampingi oleh satu kehidupan yang lapang. Dalam babak modern itu dan dalam keadaan baru rakyat dari dinasti yang digantikannya. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan-keadaan dalam mana dinasti yang terdahulu itu hidup, dan menurut kebiasaan merekapun belajar dari mereka itu. Seperti itu pulalah terjadi dengan bangsa Arab sewaktu mereka telah menaklukkan bangsa Persia dan Byzantium (Ar. ar-Rum) dan mempekerjakan putera-putera mereka, lelaki dan perempuan. Pada waktu itu bangsa Arab tidak modern sama sekali dalam kebudayaannya. Diriwayatkan orang bahwa ketika dewasa itu mereka berikan orang sebuah bantal, mereka mengira bahwa itu adalah sebungkus kain-kain buruk.
146 147
Yakni peralihan sesudah daulah dari kehidupan padang pasir hingga sampai pada kehidupan modern. O.R. Ibnu Khaldun di sini sudah terang hanya teringat pada dinasti-dinasti Arab semata-mata. O R.
Kapur barus yang mereka dapati dalam perbendaharaan raja Persia telah dipergunakan oleh mereka sebagai garam dalam sarung mereka. Banyaklah hal-hal yang seperti itu. Bangsa Arab kemudian menaklukkan rakyat dari daulah-daulah terdahulu dan mempergunakan mereka dalam jabatan-jabatan mereka dan dalam keperluankeperluan rumah tangga. Dari kalangan mereka, mereka pilih orang-orang mahir dalam berbagai keahlian, dan pada gilirannya mereka itu diajarlah bagaimana harus memperlakukan, menguasai dan memperkembangkan segala kesenian itu untuk mereka sendiri. Kemudian itu penghidupan orang Arab pun meluas dan menjadi lebih berwarnawarni, sehingga mereka melampaui batas dalam hal ini. Mereka memasuki babak kebudayaan modern (Ar. thaur al-hidlarah), memasuki babak kemewahan dan kehalusan dalam makanan, minuman, pakaian, perumahan, persenjataan, permadani, perabot rumah tangga, musik, dan lain-lain barang serta alat-alat. Kesempurnaan seperti itu mereka perlihatkan pada hari-hari perayaan mereka, pada banquet-banquet dan pada pesta-pesta perkawinan. Dalam hal ini mereka telah melampaui batas. (Pasal III : 15) 23. KEMEWAHAN PERTANDA KEHANCURAN NEGARA Jika tabiat kekuasaan-wibawa untuk menuntut segala kemenangan serta kemegahan 148) bagi dirinya telah tercapai, kemewahan telah ada serta ketenangan pun telah tercipta dengari sebaik-baiknya, maka daulah itupun mendekatilah sudah pada usia tuanya. Ini dapat kita jelaskan dengan beberapa cara. Pertama Sebagaimana telah kita terangkan, kekuasaan-wibawa itu sesuai dengan wataknya, mestilah menuntut kemenangan serta kemegahan bagi dirinya. Selama kemenangan serta kemegahan itu menjadi milik bersama dari golongan (masyarakat) itu dan selama semua para anggotanya sama-sama berdaya-upaya untuk memperoleh kemenangan serta kemegahan itu, maka kehendak-kehendak mereka untuk berkuasa di atas orang lain dan untuk mempertahankan harta benda mereka sendiri dapatlah dilihat dengan nyata dari tindakan-tindakan mereka yang tiada sabar dan tiada terkendalikan. Semua mereka ingin menang dan megah. Karena itu mereka menganggap mati dalam mencari kemenangan serta kemegahan itu sebagai satu kenikmatan, dan mereka lebih suka hancur-lebur daripada lenyapnya kemenangan serta kemegahan itu. Akan tetapi jika kemudian ada salah seorang dari mereka yang menuntut kemenangan serta kemegahan itu bagi dirinya sendiri, tentu ia akan memperlakukan semua orang lain itu dengan kekerasan dan mengendalikan mereka itu dengan semau-maunya. Malah lebih lanjut ia tentu tidak akan membiarkan pihak lain memiliki kekayaan-kekayaan dan segala itu akan dimilikinya sendiri. Maka orang pun akhirnya menjadilah terlalu malas untuk mempedulikan kemegahan itu. Mereka mulailah menjadi tidak bersemangat dan lebih suka pada kehina-dinaan dan penghambaan (Ar. al-maddzalah wa al-isti'bad). Generasi yang kemudiannya dari pada anggota dinasti tersebut dibesarkanlah dalam keadaan seperti ini. Mereka menganggap tunjangan-tunjangan yang mereka terima itu sebagai bayaran pemerintah kepada mereka karena jasa-jasa dan bantuanbantuan militer mereka. Pikiran lain tak ada terlintas dalam otak mereka. Akan tetapi jaranglah ada manusia yang mau mempersewakan dirinya sendiri guna mengorbankan nyawanya. Maka keadaan seperti itu akhirnya melemahkan daulah itu dan 148
Ibnu Khaldun menggunakan di sini perkataan Arab al-majdu yang dalam bahasa Indonesia saya kira lebih tepat diterjemahkan dengan dua perkataan kemenangan serta kemegahan. O.R.
menghancurkan sendi-sendi kekuatannya. Ashabiyahnya pun menjadi rusak karena rakyat pendukung 'ashabiyah itu telah hilang semangat dan energi mereka. Akibatnya ialah daulah itu meluncurlah terus menuju kelemahan dan kebangkaannya. Kedua Seperti telah kita katakan juga sebelumnya, kekuasaan-wibawa itu menurut wataknya adalah meminta kemewahan (Ar. anna thabiat al-mulki taqtadli at-tarafa). Manusia menjadi terbiasa dengan beberapa banyak macam benda-benda. Pengeluaran-pengeluaran mereka adalah lebih tinggi dari uang-uang sokongan yang mereka terima dan penghasilan mereka tidaklah cukup untuk membiayai pengeluaranpengeluaran mereka itu. Maka mereka-mereka yang miskin musnahlah. Nafsu berbelanja memboroskan penghasilan mereka pada barang-barang mewah. Keadaan seperti ini semakin menjadi-jadi di zaman generasi-generasi yang kemudiannya. Maka pada akhirnya semua penghasilan mereka itu nanti tidaklah sanggup lagi membiayai kemewahan-kemewahan itu beserta segala hal-hal lain lagi yang mereka telah terbiasa dengannya. Mereka pun menjadilah orang-orang yang kekurangan. Jika raja-raja mereka mendesak mereka supaya membiayai belanja penyerangan-penyerangan dan peperangan-peperangan, maka mereka pun tak berdaya untuk melaksanakannya. Karena itu maka para raja yang berkuasa membebani pula lagi rakyat dengan ukubatukubat dan banyaklah di antara mereka itu yang dirampas harta kekayaannya, baik dengan mengambilnya buat mereka sendiri, maupun dengan menyerahkannya kepada anak-anak mereka dan penyokong-penyokong dari dinasti yang bersangkutan. Dengan berbuat demikian mereka sebenarnya telah membuat rakyat mereka menjadi lemah dalam keuangannya untuk sekedar dapat membelanjai nafkah hidupnya, dan kelemahan rakyat itu akhirnya mempunyai akibat (reaksi) atas raja itu sendiri dan akan sangat melemahkannya pula. Maka itu jika kemewahan telah merajalela pada sesuatu dinasti, sedang penghasilan rakyat telah tak cukup lagi untuk sekedar membiayai nafkah kebutuhankebutuhan dan pengeluaran-pengeluarannya sehari-hari, maka raja yakni Pemerintah haruslah menambah perbantuan-perbantuan pada mereka itu supaya mereka dengan demikian dapat mengatasi dan memulihkan kembali keadaan yang tiada sehat atas diri mereka itu. Akan tetapi harus diingat pula bahwa jumlah uang yang masuk dari pajak adalah sesuatu yang tetap. Ia tidak bertambah dan tidak berkurang. Jika ia bertambah oleh adanya pajak-pajak pabean yang baru, maka jumlah yang akan dipungut sebagai akibat penambahan itu mempunyai batas-batas yang tertentu pula dan tiada akan dapat ditambah-tambah lagi. Dan jika uang yang masuk dari pajak itu harus lenyap pula karena perlu dikeluarkan untuk membiayai perbantuan-perbantuan yang telah mesti ditambah baru-baru ini, yakni telah mesti ditambah bagi setiap orang sematamata karena hendak mempertahankan kemewahan-kemewahan dan pengeluaranpengeluaran besar yang boros itu, maka jumlah tentara dengan sendirinya terpaksa pula dikurangi dari keadaan sebelum penambahan-penamhahan bantuan itu berlaku. Dalam pada itu kemewahan tersebut tentu semakin menjadi-jadi. Akibatnya ialah bantuan-bantuan tersebut itu semakin bertamhah-tambah besar jumlahnya, dan dengan itu jumlah tentara semakin bertambah-tambah kurang pula. Ini kiranya terjadi untuk ketiga dan empat kalinya. Pada akhirnya jumlah tentara itu telah berkurang sampai sekecil-kecil mungkin. Akibatnya lagi ialah pertahanan militer dari daulah itu menjadilah amat lemahnya dan kekuasaan dinasti itupun merosotlah. Negara-negara yang bertetangga dengannya, malah pun juga bangsa-bangsa dan suku-suku yang dikuasai oleh dinasti itu sendiri, kini menjadi berani dan akan bertindak menyerangnya, dan adalah dengan seizin Allah yang ia kemudian hancur-lebur, sebagaimana Ia telah tetapkan juga bagi semua makhluk-Nya.
Ketahuilah pula kemudian, bahwa kemewahan itu adalah merusak akhlak (Ar. attarafu mufsidun li al-khalqi). Lewat kemewahan itu jiwa memperoleh bermacam corak kebiasaan-kebiasaan maksiat dan sapsapah (sophisme), yang akan kita bicarakan tersendiri nanti dalam pasal khusus tentang kebudayaan yang menetap (lihat Muqaddimah IV : 18. OR.). Orang kehilangan sifat-sifatnya yang balk yang tadinya merupakan tanda dan petunjuk pada diri mereka sebagai pemegang kekuasaanwibawa itu. Mereka sebaliknya telah mengamhil sifat-sifat itu buruk. Ini adalah menuju ke arah kemunduran dan kehancuran, sesuai dengan takdir Tuhan dalam hal seperti itu bagi sekalian makhluk-Nya. Maka dinasti (daulah) itupun memper-tontonkanlah tanda-tanda kemerosotan dan kehancuran. Ia ditimpa oleh penyakit tuanya yang kronis dan akhirnya iapun matilah. Ketiga Seperti telah juga kita sebut-sebut, kekuasaan-wibawa itu, sesuai dengan wataknya, meminta ketenteraman dan kedamaian. Jika orang telah terbiasa dengan ketenteraman dan kedamaian dan menerimanya sebagai suatu garis tabiat, maka iapun menjadilah satu bagian dari wataknya. Demikianlah adanya dengan segala hal yang orang telah mulai terbiasa dan ter-adat dengannya. Maka generasi-generasi baru di sini tumbuhlah dalam kesenangan dan kesedapan hidup mewah yang aman dan tenteram dan damai. Tanda-tanda kebiadaban yang tadinya ada pada generasi-generasi yang terdahulu mengalami perubahan. Mereka lupa pada kebiasaan-kebiasaan keras di padang pasir (Ar. 'awa-id al-bidawah) yang tadinya telah membikin mereka cukup tangkas untuk mencapai kekuasaan-wibawa itu, seperti misalnya energi yang besar, ketangkasan merompak, dan kesanggupan mengharungi padang yang luas-buas dan tak akan kehilangan jalan di daerah-daerah yang terpencil. Tidak ada perbedaan terdapat antara mereka dengan pendudukpenduduk kota yang biasa, terkecuali karena ketangkasan mereka dalam berkelahi dan dalam berlambang. Maka pertahanan militer mereka pun lemahlah, energi mereka lenyap, dan kekuatan mereka retak sampai ke sendi-sendinya. Akibat-akibat buruk dari keadaan seperti ini atas dinasti (daulah) yang bersangkutan itu akan kelihatanlah dalam bentuk ketua-bangkaan usianya. Dalam pada itu orang-orang terus juga menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk yang terbaru dari kemewahan-kemewahan dan kebudayaan setempat dan dengan ketenteraman, keamanan dan kehalusan dalam segala keadaan-keadaannya, dan dengan demikian tenggelam terus dengan cepatnya menjurus ke bawah. Maka dengan begitu mereka menjadilah terpisah jauh sekali dengan penghidupan padang pasir dan kekerasan padang pasir. Lambat laun kebaikan-kebaikan yang lama pun semakin melenyap dari mereka. Mereka lupa sudah pada sifatnya keberanian yang tadinya telah melindungi dan mempertahankan mereka. Akhirnya mereka terpaksalah harus bergantung pada kekuatan militer yang lain, jika mereka masih mempunyainya. Satu contoh tentang ini ialah bangsa-bangsa yang sejarahnya terdapat dalam bukubuku yang anda punyai. Apa yang saya telah katakan itu akan kelihatan di saua kebenarannya dan tak akan dapat disangkal. Dalam satu dinasti yang telah ditimpa oleh usia-tua sebagai akibat kemewahan dan hidup tenang-tenteram itu, kadang-kadang ada terjadi yang sang raja memilih penyokong-penyokong dan pengikut-pengikutnya dari kalangan-kalangan yang tak ada sangkut-pautnya dengan dinasti yang sedang memerintah itu, akan tetapi mereka itu semua memang termasuk orang-orang yang terbiasa dengan hidup kasar. Maka ia pergunakan orang-orang ini sebagai tentaranya yang terang akan sanggup menderita kesakitan-kesakitan perang, lapar dan hidup terpencil. Ini memang dapat merupakan satu obat bagi kemungkinan sampai umurnya dinasti itu, akan tetapi itu hanya
sementara saja sehingga Tuhan mengizinkan pelaksanaan amar-Nya mengenai kehancuran dinasti itu. Demikianlah telah terjadi dengan daulah Turki di Timur. Kebanyakan para anggota tentaranya adalah mawali Turki. Raja-raja Turki kemudian memilih pasukanpasukan berkuda dan prajurit-prajurit dari kalangan hamha-hamba orang kulit putih (Ar. al-mamalik) yang dibawakan kepada mereka. Mereka itu lebih bernafsu bertempur dan lebih sanggup menderita hidup terpencil daripada anak-anaknya orangorang Mamalik yang terdahulu, yang telah terbiasa hidup dalam lingkunganlingkungan mewah sebagai kasta berkuasa di bawah naungan Sri baginda Sultan. Demikian pula halnya dengan Daulah al-Muwahhidin di Afrika Utara. Raja-raja mereka acapkali memilih tentara-tentara mereka dari bangsa Zanatah dan bangsa Arab. Mereka mempergunakan banyak dari mereka, dan mengabaikan bangsa mereka sendiri yang telah terbiasa dengan kemewahan. Begitulah maka dinasti itupun memperoleh satu penghidupan lain yang baru, yang tiada disentuh-sentuh oleh ketuabangkaan usia. Allahlah pewaris bumi dan segala yang ada di atasnya. (Pasal III : 13) 24. BATAS-BATAS EKSPANSI NEGARA Setiap daulah mempunyai sejumlah propinsi-propinsi dan wilayah-wilayah tertentu dan tidak lebih dari itu. Sebabnya ialah karena golongan yang menjadi pembangun daulah itu dan rakyat yang mejadi pendukung dan penegaknya, sebagai satu kemestian seharusnyalah disebarkan ke seluruh propinsi-propinsi dan daerahdaerah perbatasan yang telah mereka capai dan miliki itu. Hanya secara demikianlah baru mungkin untuk melindungi mereka dari musuh-musuh dan melaksanakan undang-undang daulah itu yang mengenai pemungutan pajak-pajak, pembatasanpembatasan, dan lain-lain. Jika golongan-golongan yang aneka-bagai itu telah tersebar merata di seluruh daerah-daerah perbatasan dan propinsi-propinsi, maka jumlah mereka pun semestinyalah berkurang dan habis. Pada waktu itulah territorium daulah itu mencapai pengluasannya (expansinya) yang terjauh, di mana semua daerah-daerah perbatasan itu merupakan suatu lingkaran (peripheri) di sekeliling pemerintahan pusat. Jika pada masa itu daulah itu terus juga meluaskan daerahnya sampai-sampai melampui apa yang telah dikuasainya itu, maka daerah-daerahnya yang semakin meluas itu tinggallah tanpa perlindungan militer lagi, dan terbukalah ia bagi setiap kesempatan serangan dari musuh atau dari tetangganya. Ini mempunyai akibat yang merugikan bagi daulah itu karena orang mulai menjadi berani terhadapnya dan tiada segan-segan menghadapinya. Sebaliknya jika 'ishabat (golongan) itu cukup besar jumlahnya dan tidak akan habis-habis jika ditebarkan ke daerah-daerah dan wilayahwilayah perbatasan, maka daulah itu tetap mempunyai satu kekuatan pusat untuk menjaga daerahnya seluas yang telah tercapai itu, sampai expansinya itu nanti tiba pada luasnya yang sejauh-jauh mungkin. Sebab tabi-i dari keadaan seperti ini terletak pada kenyataan, bahwa kekuatan 'ashabiyah itu sebenarnya adalah salah-satu dari kekuatan-kekuatan alam (Ar. al'illatu ath-thabi'iyat fi dzalika hiya : quat al-'ashabiyah min sa-ir al-quwa aththabi'iyah). Setiap kekuatan yang mengakibatkan kegiatan dalam bentuk apapun seharusnyalah maju dalam kegiatannya itu secara demikian, yakni menuruti jalan tabiinya.
Daulah itu adalah lebih kuat di pusatnya daripada di daerah-daerah perbatasannya. Jika ia telah mencapai ekspansinya yang terjauh, maka ia menjadilah terlalu lemah dan tiada sanggup berjalan lebih jauh lagi. Ini dapat diperbandingkan dengan sinarsinar cahaya yang memancar dari pusatnya, atau dengan lingkaran-lingkaran yang meluas di atas air jika sesuatu jatuh atasnya. Jika daulah itu menjadi tua usianya dan lemah, maka ia mulai runtuh di daerahdaerah perbatasannya. Pusat tinggal tetap utuh seperti biasa sampai Tuhan mengizinkan kehancuran seluruh daulah itu. Ketika itulah baru pusat terhancurkan. Akan tetapi jika daulah itu disergap dari pusat, maka tidaklah ada faedah baginya yang daerah-daerah perbatasannya itu tetap tinggal utuh. Semua itu juga akan turut hancur dengan segera. Pusat itu adalah ibarat jantung hati yang darinya memancar semangat yang menyala-nyala. Jika jantung hati itu telah disergap dan direbut, maka segala daerah-daerah perbatasan itu teranglah akan turut terhancurkan pula. Ini dapat dilihat pada ke-maharaja-an Persia. Pusatnya ialah Al-Madain (Ctesiphon). Ketika tentara Islam telah merebut Al Madain, maka seluruh kemaharaja-an Persia itu hancur-luluh. Pemilikan propinsi-propinsi di bagian peluaran dari ke-maharaja-annya itu adalah tidak berguna lagi bagi Yazdijard. Sebaliknya pula, pusat pemerintahan ke-maharaja-an Byzantium di Syria adalah di Konstantinopel. Ketika tentara Islam mencaplok Syria dari ke-maharaja-an Byzantium itu, yang tersebut belakangan ini dapat pulih kembali di pusatnya di Konstantinopel itu. Lepasnya Syria tidaklah menghancurkan mereka. Dan pemerintah mereka terus juga berlangsung di sana tanpa ada hentinya sampai dengan izin Allah ke-maharaja-an itu pun berakhirlah. Suatu contoh yang lain ialah keadaan bangsa Arab pada permulaan Islam. Karena mereka itu adalah satu golongan yang sangat besar, dengan cepat sekali mereka telah dapat mencaplok negeri-negeri Syria, Iraq, dan Mesir. Kemudian mereka terus pula berjuang hingga sampai pada menduduki India Barat (Sind), Abyssinia, Afrika-Utara dan al-Maghrib, dan kemudian sekali Spanyol. Mereka bertebaran di seluruh propinsipropinsi dan daerah-daerah perbatasan, dan menetap di sana sebagai orang militer. Maka jumlah mereka menjadilah ciut sekali oleh ekspansi itu. Penyeranganpenyerangan seterusnya tak dapat lagi mereka lakukan, dan Daulah Islamiyah mencapailah puncak keluasannya waktu itu. Batas-batas itu tidak pernah dilampauinya, malahan daulah itu kemudian mundur darinya, sampai dengan izin Allah hancur-lebur pula.
BIBLIOGRAPHI Untuk mereka yang tak menguasai bahasa Arab, tetapi ingin hendak melanjutkan studinya tentang segala sesuatu mengenai Ibnu Khaldun, di bawah ini kita cantumkan satu daftar nama-nama buku dan karangan yang diperlukan. ALATAS, HUSEIN. "Objectivity and the Writing of History : The Conceptions of History by Al-Ghazzali, Ibnu Khaldun … " The Islamic Review, 1954 No. 1 AMMAR, ABBAS M. "Ibnu Khaldun's Prolegomena to History. The Views of a Muslim Thinker of the 14th Century on the Development of Human Society." Disertasi Ph. D. yang tiada diterbitkan, Dept. of Archaelogy, Cambridge University, 1941. ARENDONK, CORNELIS VAN; "Ibnu Khaldun" dalam Encyclopaedia of Islam. ASTRE, GEORGES ALBERT. "Un Precurseur de la sociologie au XIVe siecle : Ibn Khaldoun" dalam L'Islam et l'Occident. Paris, 1947.
AYAD, MOHAMMED KAMIL. Die Geschichts - und Gesellschaftslehre Ibn Halduns. Stuttgart dan Berlin, 1930. BERGH, SIMON VAN DEN. Umriss der muhammedanischen Wissenschaften nach Ibn Kaldun. Leiden, 1912. Bolsjaya Sovetskaya Entsklopediia. Moskow, 1950. Artikel Ibnu Khaldun BOSCH, KHEIRALLAH G. "Ibnu Khaldun on Evolution, " "The Islamic Review, 1950, No. 5. BOUTHOUL, GASTON. Ibn Khaldoun : sa philosophie sociale. Paris 1930. BOUTHOUL, GASTON. "L'Esprit de corps selon Ibn Khaldoun," "Revue internationale de Sociologie, Paris, 1932, XL. BUKHSH, SALAHUDDIN KHUDA. "Ibnu Khaldun and his History of Islamic Civilization," Islamic culture, Hyderabad, 1927, nomor L CARO BAROJA, JULIO. "Aben Jaldun y la ciudad musulmana," Africa, Madrid, 1955, No. 167. CHAIX-RUY, JULES. "Sociologia y psicologia de la vida social en la Obra de Ibn Jaldun," Revista Mexicana de Sociologia, Mexico, 1954, XXI, No. 24. COLOSIO, STEFANO. "Contribution a 1'etude d'Ibn Khaldoun," Revue du Monde Musulman, Paris, 1914, XXVI. COQUEBERT DE MONTBRET FILS, E. "Extraits des Prolegomenes historique d'Ibn Khaldoun," Journal asiatique, Paris, 1824, jilid V; 1825 jilid VI, 1827 jilid X. DARBISHIRE, ROBBERT S. "The Philosophical Rapprochement of Christendom and Islam in Accordance with Ibnu Khaldun's Scientific Cristicism," TheMoslem World, Hartford, 1940, jilid XXX. DOVER, CEDRIC. "The Racial Philosophy of Ibnu Khaldun," Phylon, Georgia, 1952, jilid XIII. ENAN, MUHAMMAD ABDULLAH. Falsafat Ibnu Khaldun al-ijtima'iyah. Kairo, 1925. ENAN, MUHAMMAD ABDULLAH. Ibnu Khaldun : His Life and Work. Lahore, 1946. Encyclopaedia Britannica. London, Chicago, dan Toronto, 1950. "Ibnu Khaldun." Encyclopaedia of Islam. Leiden dan London, 1934. Artikel "Ibnu Khaldun." Encyclopaedia Americana. NY dan Chicago, 1951. Artikel "Ibn Khaldun EZZAT, ABDULAZIZ. Ibn Khaldoun et sa science sociale. Cairo, 1947. FARRUKH, 'UMAR. Ibnu Khaldun wa Muqaddimatuhu. Beirut, 1951. FARRUKH, 'UMAR. "Dirasat 'an Muqaddimat Ibnu Khaldun," Revue de l Acalemie Arabe, Damascus, 1954, XXIX. FARRUKH, 'UMAR. The Arab Genius in Science and Philosophy. The American Council of Learned Societies ; Near East Translation Program, Publication 10. Washington, 1954. FINDIKOGLU, ZIYAEDDIN FAHRI. "Les Theories de la connaisance et de l'histoire chez Ibn Haldoun" dalam Proceeding of the 10th International Congress of Philosophy. Amsterdam, 1949. FISCHEL, WALTER JOSEPH. Ibn Khaklun and Tamerlane : Their Historic Meeting in Damascus, A.D. 1401. Berkeley dan Los Angeles, 1952. GIBB, HAMILTON ALEXANDER. "The Islamic Background of Ibn Khaldun's Political Theory," dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, London, 1933-1935.
GUMPLOWICZ, LUDWIG. "Ibn Khaldun, ein arabischer Soziologe des 14. Jahrhunderts" dalam Sociologische Essays. Innsbruck, 1899. HUSAIN, TAHA. Etude analytique et critique de la philosophie sociale d 'Ibnu Khaldoun. Paris, 1917. ISSAWI, CHARLES. An Arab Philosophy of History. London, 1950. MAHDI, MUHSIN. Ibnu Khaldun's Philosophy of History ; A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture. London, 1957. MAHMASSANI, SOBHI Les Idees economique d'Ibnu Khaldoun : Essai historique analytique et critique. Lyon, 1932. NASHAAT. MOHAMMAD ALI. The Economic Ideas in the Prolegomena of Ibnu Khaldun. Cairo, 1944. QADIR, ABD AL. "'The Social and Political Ideas of Ibnu Khaldun," The Indian Journal of Political Science. Allahabad, 1941. QADIR' ABD AL. "The Economic Ideas of Ibnu Khaldun." Lihat majalah di atas, Allahabad, 1942. ROSENTHAL, ERWIN ISAK JAKOB. Ibnu Khalduns Gedanken uber den Staat : Ein Beitrag zur Geschichte der mittelalterlichen Staarslehre. Berlin, 1932. ROSENTHAL, FRANZ : A History of Muslim Historiography. Leiden, 1952. SCHMIDT, NATHANIEL. Ibnu Khaldun : Historian, Sociologist and philosopher. New York, 1930. TOYNBEE, ARNOLD JOSEPH. "The Relativity of Ibnu Khaldun's Historical Thought" dalam A Study of History. London, 1934-1954. 10 jilid. Lihat III, 321- 28,473-76, dan jilid X, 84-87. ZAHIDA, H. PASHA. "Ibn Khaldoun, Sociologist" dalam Actes du XVe Congres Interrnational de Sociologie. Istanbul, 1952.