Motivasi Dalam Berwisata : Studi Deskriptif Mengenai Motivasi Berwisata Alam By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos.
Kita tahu bahwa bahwa kepariwisataan alam adalah salah satu bidang yang paling pesat kemajuannya dalam pariwisata dunia. Untuk memahaminya kenapa bisa seperti itu, kita harus mengerti bahwa motivasi intrinsik wisata alam selalu identik dengan kepariwisataan itu sendiri. Untuk memisahkannya kita harus mencari petunjuk di dalam teori-teori yang berkaitan dengan motivasi wisata. Yang ada di sepanjang sejarah literatur kepariwisataan, dan mencoba untuk melihat apakah dengan adanya bermacam-macam teori tersebut dapat membantu kita untuk mengidentifikasi motivasi para wisatawan alam dan sebab-sebab tumbuhnya segmen wisata ini. Berdasarkan karya-karya tulis yang sudah ada, sangat memungkinkan untuk menggambarkan dari beberapa penulis beserta teori-teorinya tentang kesimpulan ahir yang sangat penting apakah model atau kerangka berpikir mereka mampu “mengerti” mengenai wisata alam ini. Pertama-pertama mari kita mendefinisikan apakah wisata alam dan dari sana kita kita akan me-review beberapa teori mengenai motivasi berwisata yang dapat diaplikasikan ke dalam tyoe pariwisata ini. Untuk mengatehui mengenai kepariwisataan alam ini, kita harus tahu mengenai klasifikasi secara garis besar mengenai kepariwisataan yang di dalamnya terdapat kepariwisataan alam yang masuk dalam type alternative tourism. tourism. “alternative tourism dapat secara garis besar didefinisikan sebagai form kepariwisataa yang dipersiapkan atau dibuat untuk konsekuen terhadap alam, sosial dan nilai-nilai komunitas dimana diantara guest dan host menikmati interaksi positif dan berguna serta dapat berbagi penglaman diantara keduanya” (Wearing & Neil, 1999, seperti yang disebutkan dalam Newsome, Moore & Dowling, 2002). Newsome, nature-based(wisata alam), Wildlife Moore & Dowling memasukkan Adventure (petualangan), nature-based(wisata (wisata kehidupan liar), dan ecotourism (wisata pecinta lingkungan hidup) sebagai golongan kepariwisataan alam. Klasifikasi dan konsepsi mengenai kepariwisataan alam ini sebelumnya pernah ditegaskan oleh Ceballos-Láscurain (1996) saat dia mendefinisikan kepariwisataan alam tersebut sebagai semua bentuk kepariwisataan yang langsung bergantung dari sumber daya alam yang biasanya banyak terdapat di negara-negara yang kurang berkembang, kepariwisataan itu
meliputi pemandangan, topografi, vegetasi, air, dan kehidupan liar. Klasifikasi lain yang berkembang mengenai kepariwisataan alam adalah dari McKerchner (1998) yang memperluas cakupan kepariwisataan alam menjadi : Adventure Tourism, Ecotourism, educational tourism, Anti-tourism, Sustainable tourism, responsible tourism dsb. Motivasi berwisata dapat didefinisikan sebagai penggabungan secara global jaringan-jaringan biologi dan kekuatana alam yang memberi nilai dan arah dalam pilihan berwisata, perilaku dan pengalaman dalam berwisata (Pearce, Morrison & Rutledge, 1998) motif general yang dapat digarisbawahi oleh para peneliti mengenai mengapa kepariwisataan alam ini sangat cepat berkembang adalah perilaku lingkungan yang berubah dan sifatnya merata di seluruh dunia, perkembangan pendidikan, dan perkembangan media massa (Lindberg, Wood & Engeldrum, 1998). Morrison dan Rutledge pada tahun 1998 pernah mempresentasikan sepuluh trend yang merepresentasikan persoalan-persoalan penting mengenai gambaran motif berwisata. Empat diantaranya adalah: motif untuk mengambil pengalaman dari lingkungan, motif untuk relaks di tempat yang relatif menyenangkan, motif untuk mengejar ketertarikan dan mengaplikasikan skill, dan motif untuk menjaga kesehatan dan vitalitas tubuh. Motif-motif ini adalah awal yang baik untuk berdiskusi masalah Kepariwisataan alam. Pearce & Morrison menulis mengenai bagaimana cara menginterpretasi teoriteori mengenai motif berwisata, kita perlu mengidentifikasi tujuh ke butuhan, yaitu: 1) member memberii saran saran bagaiman bagaimanaa mengukur mengukur motiva motivasi si 2) dapat dapat dikomu dikomunik nikasi asikan kan denga dengan n mudah mudah 3) Dapat Dapat diguna digunakan kan oleh oleh semu semuaa golonga golongan, n, 4) dapat dapat diapl diaplikas ikasika ikan n ke semua semua motif motif 5) Dinamik 6) Dapat menghitung menghitung motivas motivasii intrinsi intrinsik k dan extrinsik extrinsik 7) Berfun Berfungsi gsi benar benar-be -benar nar sebaga sebagaii teori teori Tujuh kebutuhan ini juga merupakan bahan yang baik dalam memahami motivasi berwisata alam. Masyarakat yang hidup di kota besar sangat termotivasi untuk mengadakan perjalanan wisata ke alam liar karena mereka ingin lari dari hal-hal artifisial dan monotone yang ada di kota (Dann;1977) teori motivasi berwisata dari, Gray memberi kita dua motif untuk menjelaskan mengapa kita melakukan perjalanan wisata alam.Yang pertama adalah kemauan / dorongan untuk pergi dari tempat yang sudah diketahui ke tempat yang belum diketahui sebelumnya, yang
oleh Gray disebut dengan “Wanderlust”. Yang kedua adalah dorongan untuk pergi ke tempat yang menyediakan fasilitas yang spesifik yang tidak tersedia di tempat asalnya, yang oleh Gray disebut dengan “Sunlust”. Dari teori Gray tersebut akan sangat nampak bahwa wisatawan kebanyakan mencari sesuatu yang baru dalam kehidupannya sehari-hari, sesuatu yang unik dan memberinya kesenangan. Ada satu temuan menarik saat Krippendorf selesai menganalisis delapan teori tentang motivasi berwisata, bersamaan dengan kegiatan analisisnya tersebut, Krippendorf mencoba untuk mengunjungi berbagai macam tempat wisata terkenal di dunia, dan hasilnya dia menemukan bahwa “ yang pertama, perjalanan wisata lebih banyak termotivasi oleh going away from daripada termotivasi oleh going something . yang kedua adalah motif oleh going towards something . dan perilaku wisatawan benar-benar berorientasi b erorientasi pada pribadinya” (Witt & Wright, 1992). Sekarang kita mencoba untuk lebih fokus kepada faktor-faktor yang memengaruhi motivasi seperti misalnya ‘kebutuhan’. Pearce (1988) mengatakan bahwa hierarkhi dari motivasi berwisata berdasar atas teori motivasi dari Abraham Maslow yang dikombinasikan dengan gagasan tentang jenjang karir. Jenjang karir menekankan bahwa masyarakat mempunyai range motif untuk mencari pengalaman dalam hari libur kerja. Analisis mengenai hubungan wisata dan jenjang karir ini hanya salah satu dari pendekatan untuk memahami motivasi untuk berwisata. Pendekatan-pendekatan lainnya adalah kebutuhan menjalin hubungan baru, penghargaan terhadap diri kita sendiri (self esteem), kebutuhan untuk pemenuhan hasrat diri. Dengan melihat berbagai macam pendekatan tadi, jenjang karir contohnya, lalu berlajut dengan pemikiran seseorang untuk keluar dari rutinitas sehari-harinya dalam bekerja dan mempertimbangkan untuk berwisata, maka sebenarnya teori tentang jenjang karir ini dapat digunakan sebagai media analisis terhadap motivasi seseorang dalam berwisata. Witt & Wright memperkenalkan Theory of Expectancy (teori harapan) yang sangat komplit dan menarik serta mampu diaplikasikan ke dalam motivasi berwisata, berdasar pada teori Vroom tentang motivasi kerja (motivation of work theory). Ini adalah teori yang dapat menyatukan semua konsep-konsep yang ada dan menghasilkan sebuah kerangka pemikiran, termasuk juga “needs” yang sangat penting dalam pemahaman terhadap motivasi, namun juga sebagai alat pengambilan keputusan yang dibutuhkan saat memilih kepada harus pergi saat liburan tiba. Kesimpulannya adalah expectancy theory menyediakan kerangka pemikiran untuk menganalisis motivasi berwisata.
Vroom memaparkan dua formula, yang pertama bisa digunakan untuk memahami motivasi berwisata atau tidak berwisata, dan yang kedua adalah, untuk mengetahui mengapa wisatawan memilih tujuan tertentu. Sekarang kita akan fokus ke formula pertama, yang bila dijabarkan lagi akan diperoleh pernyataan bahwa perilaku individu ditentukan oleh keyakinan bahwa ketertarikan dan valensi akan salah satu type liburan yang akan mereka jalani sangat membantu untuk memilih type liburan yang lain seperti misal relaxation, spiritual, dan ilmu pengetahuan dengan ketertarikan yang lebih besar lagi. Dengan kata lain kebutuhan seseorang sangat bergantung pada nilai yang menempel pada kebutuhan tersebut.