Tafsir Asy-Sya’âwî
A. Pendahuluan Al-Qur‟an merupakan salah satu mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sebagai undang-undang yang mengatur kehidupan umat manusia. Kemukjizatan alQur‟an ini tidak hanya berlaku bagi umat di mana al-Qur‟an diturunkan kepadanya, akan tetapi ia berlaku sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman. Hal ini berbeda dengan mukjizatmukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum Beliau yang berlaku hanya pada masa itu saja, sebagaimana mukjizat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan nabi-nabi lainya. Terkait dengan Al-Qur‟an yang shâlih likulli zamân wa makân, ia akan selalu relevan dengan perkembangan waktu, yakni dari zaman dahulu ketika al-Qur‟an diturunkan, sekarang maupun yang akan datang. Selain itu, Al-Qur‟an juga relevan dan berlaku bagi semua manusia, baik itu bagi masyarakat Arab yang mana di sana ia diturunkan maupun bagi non masyarakat Arab, yaitu semua orang yang berada wilayah selain Arab. Al-Qur‟an
memerintahkan
kepada
manusia
untuk
senantiasa berfikir dan merenungi apa isi yang terkandung di dalamnya. Sedangkan berfikir itu sendiri sangat dipengaruhi sekali dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, sistem sosial politik serta kondisi psikologis seseorang. Dari situ, maka
1
tidak bisa dipungkiri muncul berbagai kitab-kitab tafsir, baik itu yang ditulis oleh para ulama salaf maupun kontemporer. Hal ini senada dengan pendapat Abdullah Drâz yang dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa Al-Qur‟an itu bagaikan berlian yang di setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lainnya.1 Dan tidak mustahil jika pandangan seseorang mengenai al-Qur‟an akan berbeda dengan pandangan-pandangan orang lain, boleh jadi pemahaman orang lain lebih dalam dari apa yang orang tersebut pahami, atau boleh jadi sebaliknya. Jadi, dengan adanya berbagai pemahaman terhadap al-Qur‟an tersebut, maka tidak lain kecuali untuk saling melengkapi antara pemahaman satu dengan yang lain hingga pada akhirnya dapat ditemukan
pemahaman
yang
lebih
sempurna.
Adapun
pemahaman yang paling sempurna hanyalah milik Allah SWT. Wallahu A‟lam B.
Tafsir Asy-Sya’âwî 1. Profil Muhammad Mutawalli Asy-Sya’râwî Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟râwî merupakan salah satu mufassir al-Qur‟an yang terkenal pada masa modern dan merupakan Imam pada masa kini. Beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Beliau dikenal dengan metodenya 1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2, (Jakarta: Letera Hati, 2011), h. 564
2
yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran, dan memfokuskannya
atas
titik-titik
keimanan
dalam
menafsirkannya. Beliau juga terkenal dengan sosok yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, sehingga belum pernah di dalam suatu hari beliau mengulang jawaban atas berbagai persoalan yang diajukan kepada beliau pada suatu majlis ilmu, dan beliau juga memberikan jawaban tersebut secara langsung dan spontan. Inilah salah satu sebab mengapa seorang penanya sangat percaya dan yakin terhadap kepribadian dan kemampuan beliau.2
Masa Kelahiran Beliau, Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟râwî lahir di desa Daqadus, distrik Mith Ghamr, Propinsi Daqahlia, Mesir pada tangal 16 April 19113. Pada malam kelahiran, paman beliau bermimpi aneh, yakni ia melihat anak ayam sedang khutbah di atas mimbar masjid. Maka dia menceritakan mimpinya itu kepada ayah beliau dengan berkata: “Seekor anak ayam ini adalah anak yang datang kepada kita malam ini”. Kemudian ayah 2
Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, (Kairo: AlMaktabah At-Taufîqiyah, tt), h. 5 3 Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 6
3
beliau berkata: “Saya akan menyerahkan anakku kepada Al-Azhâr Asy-Syarîf, dan saya memohon kepada Allah agar membantu saya untuk mewujudkan cita-cita yang luhur ini”.4 Orang tua beliau adalah orang yang cinta kepada ilmu, senang terhadap ulama dan senantiasa hadir di dalam majlis ilmu. Oleh karena itu, orang tua beliau menekankan Asy-Sya‟râwî untuk menempuh pendidikan di Al-Azhâr Asy-Syarîf.5 Dalam kitab Muhammad Mutawalli asy-Sya‟rawi min al-Qaryah ilâ „Âlamiyyah, sebagaimana yang dilutip oleh
Istibsyarah
menerangkan
bahwa
asy-Sya‟rawi
dilahirkan dari keluarga pas-pasan, tidak kaya, tidak miskin, memiliki nasab yang terhormat yaitu keturunan Ahl al-Bait. Akan tetapi asy-Sya‟rawi sendiri tidak perrnah menceritakan hal ini kepada siapapun, sebagaimana beliau pernah berkata: “Aku tidak pernah bercerita kepada siapapun
terkait
hal
ini,
maka
memberitahu siapapun tentang hal ini.”
janganlah
engkau
6
Masih berkaitan dengan nasab beliau, bahwa suatu hari beliau bercerita, bahwa beliau pernah bermimpi bertemu dengan Sayyidah Zainab, maka ayah beliau
4
Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 7 Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 7 6 Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, Relasi Gender menurut Tafsir AsySya‟rawi, (Jakarta: Teraju, 2004), 21 5
4
bertanya: ”Apakah beliau (Zainab) tidak berbusana?”, asySya‟rawi menjawab: “Beliau (Zainab) tidak memakai busana”,
maka
ayah
beliau
mahramnya-keturunannya”.
berkata:
“Kita
adalah
7
Jadi dapat diketahui bahwa, asy-Sya‟rawi ternyata masih termasuk keturunan Nabi Muhammad, akan tetapi beliau tidak menginginkan berita tersebut masyarakat luas dan melarang
tersebar di
siapa saja yang telah
mengetahui nasabnya tersebut untuk tidak sekali-kali memberitahukan kepada orang lain. Dari sini juga dapat dipahami, bahwa beliau termasuk orang yang mendapatkan pancaran “cahaya”, yang di kemudian hari beliau mampu memancarkan kembali “cahaya” tersebut, sehingga mampu menerangi jiwa-jiwa yang sedang dalam keadaan gelap gulita.
Masa kanak-kanak Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟râwî pada masa kecilnya hidup di wilayah pertanian dan perkebunan yang bersih, penuh dengan sederhanaan. Pada usia 10 tahun, beliau menghafal al-Qur‟an dibawah asuhan Syekh „Abdul Majid. Beliau menceritakan masa tersebut dengan berkata: Aku senantiasa mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi
7
Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, Relasi Gender menurut Tafsir AsySya‟rawi, h. 22
5
di masa kecilku. Saya belajar membaca dan menulis serta menghafal al-Qur‟an di Kuttab. Al-Qur‟an adalah jalanku dan sebagai perantara untuk belajar membaca, menulis dan berbicara yang baik. Aku sangat mengagumi guruku, dan aku takut dengan tongkat beliau ketika aku belum bisa menghafal dan berbicara dengan baik. Orang tuaku pernah berkata kepada beliau: “Pukul dan patahkan tulang rusuknya jika dia mengabaikan tugasnya”.8
Pendidikan Pada tahun 1926, Syekh Asy-Sya‟râwi terdaftar di Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar, Zaqaziq. Sejak beliau kecil, sudah tampak kecerdasannya dalam menghafal sya'ir dan pepatah arab dari sebuah perkataan dan hikmah, kemudian mendapatkan ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1923 M. Dan memasuki Madrasah Tsanawiyah, bertambahlah minatnya dalam syair dan sastra, dan beliau telah mendapatkan tempat khusus di antara rekan-rekannya, serta terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi ketua perkumpulan sastrawan di Zaqaziq. Dan bersamanya pada waktu itu Dr. Muhammad Abdul Mun‟im Khafaji,
penyair
Thahir
Abu
Fasya,
Prof.
Khalid
Muhammad Khalid, Dr. Ahmad Haikal dan Dr. Hassan
8
Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 7
6
Gad.9 Mereka semua adalah guru sekaligus rekan sesama kaum muda yang gandrung dengan sastra Arab. Mereka memperlihatkan kepadanya apa yang mereka tulis. Hal itulah yang menjadi titik perubahan kehidupan Syaikh asySya‟râwî.10 Setelah menyelesaikan studinya di sekolah tingkat atas, beliau melanjutkan studinya di fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar, Kairo. Beliau menyelesaikan S1 pada tahun 1941.11 Sementara pada jenjang Doktoral berhasil diselesaikannya pada tahun 1943 dan memperoleh gelar „Alamiyyat dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab.12
Pekerjaan Asy-Sya‟râwî mengawali profesinya dengan menjadi seorang tenaga pengajar di Sekolah Thantha al-Azhar. Kemudian, beliau pindah mengajar di sekolah Az-Zaqaqiq. Pada tahun 1950 ia diutus ke Arab Saudi untuk menjadi dosen di Fak. Syariah Universitas Ummul Qurra, Mekkah Mukarramah. Pada tahun 1960, beliau dan semua pengajar di al-Azhar yang berada di Saudi di tarik kembali ke Mesir, karena terjadi perselisihan antara Jamal Abdul Naser, 9
Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 7 http://www.muslimedianews.com/2014/01/biografi-syaikh-m-mutawalliasy-syarawi.html#ixzz3T1M4EePk, diakses pada tanggal 1 Maret 2015 11 Herry Muhammad , dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 275 12 Faizah Ali Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 145 10
7
Presiden Mesir kala itu dengan Raja Su‟ud. Sekembalinya dari Arab Saudi, pada tahun 1962, ia ditunjuk sebagai direktur dakwah di Departemen Agama, merangkap sebagai pengawas bagi pengajaran bahasa Arab di al-Azhar serta menjadi ketua di kantor Syekh Hasan Ma‟mun, Syekh Masjid al-Azhar.13 Bersama rombongan yang beliau pimpin, oleh pihak al-Azhar Asy-Sya‟râwî diutus ke Aljazair untuk berdakwah. Ketika sampai di Aljazair, ia menyaksikan fenomena yang tidak baik, yaitu akan dijadikannya bahasa Prancis sebagai bahasa resmi negara menggantikan bahasa Arab, bahasa asli Aljazair. Maka beliau menggunakan kesempatan tersebut untuk mengingatkan masyarakat Aljazair akan pentingnya kembali kepada bahasa Arab sebagai salah satu identitas negara Islam. Usaha tersebut mendapatkan respon yang positif dari penduduk Aljazair. Setelah kembali ke Mesir, beliau ditunjuk sebagai Ketua Departemen Agama cabang Propinsi Gharbiyyah. Pada Tahun 1970, ia kembali diminta oleh kerajaan Saudi untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz.14 Pada bulan November 1976, Perdana Menteri Sayyid Mamduh Salim memilih anggota kementeriannya, Syekh
13
Herry Muhammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h.
14
Herry Muhammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h.
275 275
8
Asy-Sya‟râwi ditugaskan untuk Departemen (urusan) Wakaf dan Urusan al-Azhar sampai bulan Oktober 1978. Setelah meninggalkan pengaruh yang bagus bagi kehidupan ekonomi
di
Mesir,
beliaulah
yang
pertama
kali
mengeluarkan keputusan menteri tentang pembuatan bank Islam pertama di Mesir yaitu Bank Faisal, dan ini merupakan wewenang Menteri Ekonomi dan Keuangan Dr. Hamid Sayih pada masa ini yang diserahkan kepadanya dan disetujui oleh anggota parlemen Mesir.15
Keluarga Setelah menikah, Asy-Sya‟râwî dikaruniai tiga orang putra dan dua orang putri, di antararanya: Sami, Abdul Rahim, Ahmad, Fathimah dan Shalihah. Baginya, faktor utama keberhasilan pernikahannya adalah ikhtiar dan kerelaan antara suami dan istri. Tentang pendidikan anak, beliau berkata: ”Faktor terpenting dalam sebuah pendidikan adalah suri tauladan. Jika suri tauladan itu baik, maka akan dicontoh oleh anak, jika buruk maka itu akan banyak merusak pendidikan. Seorang anak wajib dididik dengan baik. Seorang anak, jika tidak bergerak kemampuannya dan bersiap untuk menerima dan menampung sesuatu di sekitarnya, artinya, apabila tidak siap telinganya untuk mendengar, kedua matanya untuk melihat, hidungnya untuk 15
http://www.egyguys.com/. Diakses pada tanggal 1 Maret 2015.
9
mencium, dan ujung-ujung jarinya untuk menyentuh, kita wajib menjaga seluruh kemampuannya dengan tingkah laku kita yang mendidik bersamanya dan di depannya. Oleh karena itu, kita harus menjaga telinganya dari setiap perkataan yang jelek, dan menjaga matanya dari setiap pemandangan yang merusak.16
Wafat Pada pagi Rabu 17 Juni 1998 M/22 Shafar 1419 H, Syaikh asy-Sya‟râwî kembali ke haribaan Ilahi, dalam usia 87 tahun. Saat pemakamannya, ratusan ribu orang memadati kuburnya di Kampung Daqadus, sebagai penghormatan terakhir bagi „allamah besar ini.17
Karya-karya Syekh
Muhammad
Mutawalli
Asy-Sya‟râwî
mempunyai banyak karya. Dan yang paling popular adalah Tafsîr Asy-Sya‟râwî. Adapun karya-karya beliau, antara lain sebagai berikut: a. Al-Isrâ‟ wa al-Mi‟râj. b. Asrâr Bism Allâh ar-Rahmân ar-Rahîm. c. Al-Islâm wa al-Fikr wa al-Ma‟âshî. d. Al-Islâm wa al-Mar‟ah, „Aqîdah wa Manhaj. 16
Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 11 http://www.muslimedianews.com/2014/01/biografi-syaikh-m-mutawalliasy-syarawi.html#ixzz3T1M4EePk, diakses pada tanggal 1 Maret 2015 17
10
e. Asy-Syûrâ wa at-Tasyrî‟fi al-Islâm. f.
Ash-Shalâtu wa Arkan al Islâm.
g. Ath-Tharîq ila Allah. h. Al-Fatâwâ. i.
Labaik Allahumma labaik.
j.
100 Su‟âl wa Jawâb fi al-Fiqh al-Islâmî.
k. Al-Mar‟ah kamâ Arâdahâ Allah. l.
Mu‟jizat al-Qur‟ân.
m. Min Faidl al-Qur‟ân. n. Nadharât hi al-Qur‟ân. o. „Ala Mâidah al-Fikr al-Islâmi. p. Qadlâ‟ wa Qadr. q. Hâdzâ Huwa al-Islâm. r.
Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur‟ân al-Karîm.18
s. Qashash al-Qur‟an.
2. Gambaran Umum Tafsîr Asy-Sya’râwî Tafsir ini pertama kali diterbitkan oleh majalah alLiwâ‟ al-Islâmî, Kairo mulai tahun 1986 – 1989 M, yang dikenal memiliki corak tarbawî (pendidikan) dan ishlahî (perbaikan). Sejak awal, kitab ini tidak pernah dinamai dengan “kitab tafsir” akan tetapi beliau memberi judul “Khawâthir
18
asy-Sya‟râwî”
Asy-Sya‟râwî, Qashash al-Qur‟ân, h. 16
11
(renungan-renungan
asy-
Sya‟râwî).19 Hal ini sebagaimana yang beliau sampaikan di muqaddimah20 di dalam tafsirnya:
“Hasil renungan saya terhadap al-Qur‟an bukan berarti tafsiran terhadap al-Qur‟an, melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seseorang mukmin pada saat membaca al-Qur‟an. Seandainya al-Qur‟an memungkinkan untuk ditafsirkan, pastilah Rasulullah adalah yang paling berhak untuk menafsirkannya, karena kepada beliau lah al-Qur‟an diturunkan dan langsung berinteraksi dalam kehidupannya. . . ..” Asy-Sya‟râwî
menamakan
kitabnya
dengan
Khawâthir asy-Sya‟râwî dengan maksud menjelaskan isi ayat-ayat al-Qur‟ân yang telah beliau pahami kepada orang lain. Beliau menggunakan istilah khawâthir, itu karena apa yang dipahami itu boleh jadi benar dan boleh jadi salah.21 Kitab ini pada mulanya bukan sengaja untuk disusun sebagai sebuah karya kitab tafsir yang dibukukan sebagaimana kitab tafsir al-Qur‟an yang lainnya, melainkan sebuah dokumentasi yang ditulis dari sebuah rekaman 19 A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir (Kumpulan Kitabkitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), (Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an, 2013), h. 219 20 Muhammad Mutawalli asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, (tk: Akhbâr alYaum, 1991), Jilid. 1, h. 9 21 Alî Ayâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhun wa Manhajuhum, (Teheran: Muassasah ath-Thabâ‟ah wa an-Nasyr Wizârah ats-Tsiqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt), h. 268
12
ceramah yang disampaikan oleh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟râwî. Sebelum menjadi sebuah kitab tafsir, ceramah-ceramah tersebut terlebih dahulu didokumentasikan di dalam sebuah majalah al-Liwa‟ al-Islami.22 Kitab ini merupakan hasil kolaborasi kreasi yang di buat oleh murid asy-Sya‟râwî yakni Muhammad asSinrawi, Abd al-Waris ad-Dasuqi dari kumpulan pidatopidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya‟rawi. Sementara itu, hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab tafsir asy-Sya‟râwî di-takhrij oleh Ahmad Umar Hasyim23. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbar al-Yaum Idarah al-Kutub wa al-Maktabah pada tahun 1991 (yaitu tujuh tahun sebelum al-Sya‟rawi meninggal dunia). Dengan demikian, tafsir al-Sya‟rawi ini merupakan kumpulan hasil-hasil pidato atau ceramah al-Sya‟rawi yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-muridnya. Tafsir ini merupakan golongan tafsir bi al-lisan atau tafsir shauti (hasil pidato atau ceramah yang kemudian dibukukan).24
22
http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-syarawi.html , diakses pada tanggal 17 Maret 2015 23 Ahmad Umar Hasyim merupakan professor hadith dan ulum hadith di Universiti al-Azhar, Mesir. Beliau juga merupakan ahli Majma‟ al-Buhuth alIslamiyyah(Akademi Penyelidikan Islam) dan bekas ahli parlimen Mesir. Beliau dilahirkan pada 6 Februari 1941 di kampung Bani Amir, Zaqaziq, Mesir. Lihat http://zulhusnimatresat.blogspot.com/2013/07/syeikh-prof-dr-ahmad-umarhasyim.html , diakses pada tanggal 18 Maret 2015 24 http://www.iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=3&id=199, diakses pada tanggal 16 Maret 15
13
Kitab tafsir ini menurut Alî Ayâzî ada sekitar 29 jilid.25 Sedangkan yang sementara diketahui oleh penulis dalam versi “pdf” yang terdiri dari 2 file, antara lain:
1. File pertama ada 24 jilid yang meliputi pembahasan mulai dari QS. Al-Fatihah [1] sampai dengan QS. Al-Jumu‟ah [62].
2. File kedua terdiri atas 1 jilid, yakni juz 30 (QS. AnNaba‟ [78] sampai dengan QS. An-Nas [114]). Metodologi Tafsîr Asy-Sya’râwî Mengamati metode penulisan tafsir asy-Sya‟râwî ini, dari sisi urutan penafsirannya yang dimulai dari surat alFatihah dan diakhiri dengan surat an-Nâs, maka bisa dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan metodologi tahlîlî.26 Tafsir asy-Sya‟râwî dimulai dengan pendahuluan sebanyak 29 halaman, termasuk di dalamnya penjelasan tentang arti Isti‟adzah, kemudian menafsirkan surat alFatihah mulai dari basmalah dan seterusnya. Di dalam menafsirkan ayat, beliau mengawali dengan menjelaskan makna
dan
hikmah
ayat
25
tersebut
disertai
dengan
Alî Ayâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhun wa Manhajuhum, h. 268 Menurut al-Farmawi metode penafsiran tahlili adalah suatu metode mmenafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Lihat Departemen Agama RI, Mukadimah alQur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h. 70 26
14
penjelasan-penjelasan lainnya yang sekiranya memiliki keterkaitan dengannya. Beliau juga mengambil ayat-ayat lain yang berkaitan dengan ayat yang dimaksud. Oleh karena itu, sebagaimana yang katakan oleh A. Husnul Hakim, bahwasanya tafsir asy-Sya‟râwî ini dikategorikan dengan tafsîr bi al-ma‟tsûr.27 Hal ini senada dengan apa yang paparkan oleh Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy bahwa tafsir asy-Sya‟râwî termasuk dalam ciri tafsîr bi al-ma‟tsûr.28 Adapun penulis sendiri menganggap bahwa tafsir ini termasuk dalam aliran tafsîr bi ar-ra‟yi29. Hal ini karena penulis memahami dari penjelasan-penjelasan beliau banyak menggunakan logika-logika yang mudah diterima oleh kalangan umum, yang semuanya itu tetap beliau sandarkan kepada sumber-sumber yang telah ditetapkan.30
27
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir (Kumpulan Kitabkitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer),h. 222. Tafsir bi alma‟tsur adalah tafsir yang disusun berdasarkan riwayat-riwayat sepert dari nash alQur‟an, hadits Rosulullah, ucapan sahabat dan tokoh tabi‟in. Lihat Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 53 28 Faizah Ali Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 153 29 Tafsîr bi ar-Ra‟yi adalah penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali terlebih dahulu bahasa arab dari berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta mempertimbangkan asbâb annuzûl ,dan lain-lain sarana yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), cet. 2, h. 351 30 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Adz-Dzahabi yang dikutip oleh Anshori, LAL, bahwa sumber-sumber tersebut antara lain: (1) Tafsir dengan merujuk kepada Al-Qur‟an itu sendiri; (2) Tafsir dengan mengutip dari Rasulullah SAW. serta menjaga dan menghindari hadits dha‟if dan maudhu‟; (3) Tafsir dengan
15
Sebagaimana ketika beliau menjelaskan basmalah dan hamdalah pada surat al-Fatihah. Hal ini dapat diketahui ketika beliau mengkaitkan basmalah dengan ayat pertama dari QS. „Alaq. Beliau fokus pada kata اقرأ. Ketika Jibril berkata kepada Nabi “. . ”اقرأ, Nabi menjawab “ ”ما أنا بقارئsebanyak tiga kali. Sehingga, musuh islam mempertanyakan hal tersebut “Bagaimana Allah menyuruh membaca iqra‟, sedangkan rasul-Nya sendiri tidak bisa membaca?. Di sinilah Asy-Sya‟râwî berkomentar, bahwa dalam hal ini Allah berbicara berdasarkan kekuasaan-Nya, menciptakan segala sesuatu hanya dengan “kun”, maka jadilah ia. Sementara Rasulullah sendiri berbicara berbicara sesuai
dengan
kapasitasnya
sebagai
manusia
yang
mengakui ketidak sanggupannya membaca satu kalimat pun. Akan tetapi atas Qudrat Allah-lah yang akan mengangkat Nabi yang ummi ini menjadi guru bagi semua umat manusia sampai hari kiamat. Dalam banyak hal, manusia berguru kepada manusia lain yang lebih tahu, sedangkan Rasul langsung diajar oleh Allah supaya menjadi maha guru bagi umat manusia.31
mengambil penafsiran sahabat yang shahih; (4) Tafsir dengan mendasarkan kepada bahasa Arab , karena al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Arab; (5) Tafsir yang dihasilkan harus sesuai dengan makna dzahir kalam dan sesuai dengan kekuatan hukum. Lihat Anshori LAL, ULUMUL QUR‟AN Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 188 31 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 41
16
Dalam hal lain misalkan, ketika Asy-Sya‟âwî menjelaskan alhamdulillah, mengapa kita harus memujiNya??. Beliau menjelaskan bahwa sebelum menciptakan kita, terlebih dahulu Allah menciptakan baginya nikmatnikmat yang mengharuskannya untuk memuji-Nya. Allah menciptakan langit, bumi, air, angin serta makanan pokok sampai hari kiamat. Bahkan sebelum Allah menciptakan Nabi Adam, terlebih dahulu Allah menciptakan surga, yang mana beliau hidup di dalamnya tanpa ada kesulitan dan kesusahan. Segala fasilitas telah dipersiapkan sebelum ia diciptakan. Ketika Adam dan Hawa turun ke bumi, segala fasilitas juga sudah disediakan terlebih dahulu. Seandainya nikmat tersebut ada setelah wujudnya manusia, pastilah mereka akan binasa karena menunggu datangnya nikmat.32 Inilah sebagian dari beberapa penjelasan asy-Sya‟râwî yang menurut penulis sesuai dengan logika dan mudah diterima di kalangan masyarakat. Orientasi asy-Sya‟râwî dalam menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Khalid Abdurrahman
Al-„Ak yang dikutip oleh Anshori LAL,
bahwa cara kerja tafsîr bi ar-ra‟yi berorientasi untuk: 1. Menyingkap dan menapakkan makna-makna yang logis yang terkandung dalam nash al-Qur‟an.
32
Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 56
17
2. Mengungkap rahasia yang terdapat dalam al-Qur‟an sesuai dengan kemampuan manusia. 3. Mengungkapkan maksud-maksud ayat dan orientasiorientasinya. 4. Menjelaskan di mana saja ibarat-ibarat yang ada dalam kisah-kidah
al-Qur‟an
dan
menjelaskan
kandungan nasihatnya. 5. Menampakkan
kebesaran
al-Qur‟an
dan
kemukjizatan balâghah al-Qur‟an.33
Terkait dengan penafsiran ayat-ayat tentang akidah, beliau mengikuti pemikiran mufassir terdahulu, seperti Muhammad „Abduh, Rasyid Ridho, dan Sayyid Quthub.34 Dalam hal ini,
beliau membahas secara terperinci dan
mendetail dengan argumen yang rasional dan ilmiah agar akidah kaum mukmin lebih mantab, dan mengajak orang selain mereka untuk masuk dalam agama Islam.
Corak Tafsir Sebagaimana yang telah disebukan di atas, bahwa tafsir Asy-Sya‟âwî ini bercorak tarbawi35 (pendidikan). Hal
33 Anshori LAL, ULUMUL QUR‟AN Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 190 34 Alî Ayâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhun wa Manhajuhum, h. 271 35 Tafsir Tarbawi merupakan ijtihad akademisi tafsir, berupaya mendekati alQur‟an melalui sudut pandang pendidikan, baik dari segi teoritik maupun praktik. Ijtihad ini diharapkan dapat mewacanakan sebuah paradigma tentang konsep
18
ini bisa diketahui ketika beliau menjelaskan basmalah, beliau mengajak pembaca untuk memahami makna yang lebih dalam yang terkandung di dalam basmalah dan mengajak untuk senantiasa mengawali segala perbuatan dengan basmalah. Begitu juga ketika menjelaskan ayat kedua,
beliau
menerangkan
rahasia-rahasia
yang
terkandung di dalam hamdalah serta mengajak untuk senaniasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, dan seterusnya.
pendidikan yang dilandaskan kepada kitab suci dan mampu untuk diimplementasikan sebagai nilai-nilai dasar dalam pendidikan. Lihat Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan al-Qur‟an Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2008), cet. I, h. 8.
19
Tafsir QS. Al-Fatihah [1]: 1-7
Menurut Asy-Sya‟âwî, al-Qur‟an semenjak diturunkan diiringi dengan basmalah. Jadi ketika memulai membaca al-Qur‟an, hendaklah dimulai dengan basmalah. Hal ini sangat erat kaitannya dengan basmalah yang terdapat dalam wahyu yang pertama kali diturunkan, yaitu QS. Al-„Alaq [96]: 1.36 Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tafsir ini adalah bercorak tarbawi. Hal ini dapat diketahui dari: 1. Asy-Sya‟âwî mengajak pembaca (tafsir) untuk mengawali bacaan al-Qur‟an dengan bismillah. Hal ini karena Allah yang telah menurunkannya dan mempermudah manusia untuk membacanya.37 2. Bukan hanya itu, beliau juga mengajak pembaca untuk mengawali segala aktivitas dengan membaca bismillah. Hal ini karena: a. Untuk memulyakan pemberian (nikmat)-Nya.38 b. Allah telah menundukkan alam raya ini bagi manusia dan memberikan kepadanya petunjuk untuk mengelolahnya.39 c. Seolah-olah manusia menempatkan Allah di sampingnya sebagai penolong. d. Allah adalah al-Ism al-Jami‟ li Shifât al-Kamâl, sebuah nama yang harus ada karena di dalamnya terhimpun sifat-sifat yang sempurna. Semua aktifitas berkaitan dengan sifat-sifat Allah. (asmaul husna). 36
Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 41 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 41 38 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 43 39 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 43 37
20
Seandainya Allah tidak mengajarkan bismillah, pasti ia akan membuat sifat yang sesuai dengan aktifitas manusia.40 e. Ketika manusia tidak mengawali perbuatannya dengan bismillah, maka ia akan memperoleh balasan yang bersifat materi (di dunia) saja. Akan tetapi ketika diawali dengan bismillah, maka ia akan memperoleh balasan baik di dunia maupun di akhirat.41 f. Bismillah dapat mencegah manusia dari segala perbuatan yang dimurkai oleh Allah.42 g. Ketika manusia mengawali membaca al-Qur‟an dengan bismillah, berarti ia beriman kepada Allah, berjanji akan taat kepada-Nya dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya.43 Bagaimana mungkin seseorang mulai membaca alQur‟an dengan bismillah, sedangkan ia telah banyak berbuat salah dan maksiat??? . . . . Asy-Sya‟âwî memberikan jawaban bahwasanya Allah tidak membiarkan hambanya tenggelam dalam perbuatan maksiat bahkan pintu taubat tetap ia buka. Dia mengharap agar ia segera bertaubat dan kembali kepadaNya. Yakinlah bahwa rahmat Allah lebih luas dari pada dosa makhluknya.44 Kata ar-Rahmah, ar-Rahmân dan ar-Rahîm menurut Asy-Sya‟âwî berasal dari kata ar-Rahim yaitu tempat janin di dalam perut ibunya. Di dalamnya, Allah menyediakan 40
Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 46 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 46 42 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 47 43 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 47 44 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 48 41
21
rizki bagi janin tanpa harus berusaha agar ia dapat tumbuh dengan sempurna. Kasih sayang Allah kepada manusia oleh AsySya‟râwî diibaratkan seperti kasih sayang ibu terhadap anaknya. Ibu senantiasa memaafkan kesalahan anaknya dan merasa senang ketika melihat ia sadar dan berbuat baik. Begitu juga Allah, Dia sangat sayang dan Pemberi rizki. Terkadang manusia berbuat kesalahan, namun Dia tidak langsung mencabut nikmat-Nya dan menghukumnya. Bahkan lebih dari itu, Dia tetap membuka pintu rahmat setiap saat.45 Asy-Sya‟râwî menjelaskan bahwa ar-Rahmân dan ar-Rahîm adalah bentuk shighat mubâlaghah46. Sifat arRahmân adalah kasih sayang-Nya yang berlaku di dunia yang mencakup seluruh manusia. Sedangkan di akhirat kelak Allah hanya bersifat ar-Rahîm terhadap kaum mukmin saja yang jumlahnya sedikit. Dari sini timbul pertanyaan, di mana letak shighat mubâlaghah??.... Beliau menegaskan bahwa mubâlaghah di sini bermakna kekekalan mendapat nikmat, yaitu nikmat di akhirat lebih besar dan lebih banyak dari pada di dunia. Seolah-olah mubâlaghah di dunia dengan umumnya nikmat untuk semua makhluk. Sedangkan mubâlaghah di akhirat berarti kekhususan dan kekekalan nikmat khusus bagi mukmin saja.47
45
Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 48 Al-Mubâlaghah merupakan gaya bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu yang berlebih-lebihan mengenai jumlahnya, ukurannya atau sifatnya, baik masih dalam batas yang diterima adat kebiasaan atau akal maupun di luar kebiasaan atau akal. Lihat D. Hidayat, Al-Balâghah li al-Jamî‟ wa asy-Syawâhid min Kalâm alBadî‟, (Jakarta: Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur‟ani, 2002), 160 47 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 50 46
22
Pada ayat ini, asy-Sya‟râwî baru menjelaskan tentang makna dan hikmah dari surat al-Fatihah. Menurut beliau, al-Fatihah adalah ummul kitâb, tidak sah shalat tanpanya. Seseorang boleh tidak membaca ayat al-Qur‟an pada setiap rakaat, akan tetapi jika tidak membaca al-Fatihah pada setiap rakaat, batal shalatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat.48 Dalam ayat ini, asy-Sya‟râwî menerangkan tentang hakikat pengulangan kata. Menurut beliau, sebenarnya tidak ada pengulangan kata dalam al-Qur‟an, kalaupun ada pasti ada perbedaan di antaranya. Sebagaimana yang terdapat dalam lafaz Allah, ar-Rahmân dan ar-Rahîm.49 Menurut asy-Sya‟râwî, terdapat perbedaan makna lafaz jalajah antara yang terdapat dalam bismillâh dan alhamdulillâh. Pada lafaz bismillâh adalah permohonan pertolongan seorang hamba atas sesuatu yang ia tidak kuasa untuk melakukannya. Sedangkan pada lafaz alhamdulillâh adalah untuk memuji-Nya atas apa yang telah dilakukanNya.50 Rahasia Allah mengajarkan ungkapan syukur dalam dua kata الحمد هللmenurut asy-Sya‟âwî yaitu: 1. Seandainya kata tersebut tidak diajarkan oleh Allah, niscaya manusia kesulitan untuk menemukan redaksi yang cocok untuk memuji-Nya51. 2. Mudah diucapkan oleh semua lapisan tingkatan keilmuan manusia. 52 48
Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 51 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 51 50 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 52 51 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 55 52 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 55 49
23
Beberapa hal yang mengharuskan seseorang untuk senantiasa memuji-Nya: 1. Allah menciptakan nikmat sebelum menciptakan manusia (yang diberi nikmat).53 2. Allah menyediakan segala sesuatu di alam raya ini yang dapat digunakan manusia tanpa harus berusaha terlebih dahulu.54 3. Allah telah menurunkan manhaj-Nya supaya manusia tahu jalan yang baik dan menjauhi jalan yang buruk.55 4. Allah senantiasa memberi dan tidak pernah meminta.56 5. Keberadaan Allah yang wâjib al-wujûd. Seandainya tidak ada keadilan Allah, tentu manusia akan berbuat dzalim seenaknya di muka bumi ini.57 C.
Penutup Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟râwî merupakan salah satu ulama‟ abad modern yang memiliki pengetahuan yang luas dan senantiasa mencurahkan tenaganya untuk berdakwah. Beliau bukanlah seorang mufassir yang menulis kitab tafsir, akan tetapi beliau adalah seorang dai yang mampu menyampaikan dan mengungkapkan makna yang terkandung di dalam al-Qur‟an secara baik dan mendalam. 53
Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 56 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 57 55 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 58 56 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 59 57 Asy-Sya‟râwî, Tafsîr asy-Sya‟râwî, jilid 1, h. 61 54
24
2. Tafsir Asy-Sya‟râwî merupakan salah satu kitab tafsir abad modern menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara berurutan, yaitu mulai dari QS. Al-Fatihah sampai dengan QS. An-Nas (tahlili). Tafsir ini menggunakan pendekatan bir ra‟yi, dengan pertimbangan pendapat mufassir lebih dominan dari pada penjelasan-penjelasan yang ma‟tsur.
3. Dalam menyajikan isi al-Qur‟an, asy-Sya‟râwî lebih banyak menggunakan argumen-argumen yang logis, sistematis dan sesuai dengan perkembangan zaman serta menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.
4. Dari berbagai penjelasannya, asy-Sya‟rawi mencoba untuk mempertemukan antara perbuatan yang berorientasi kepada dunia dengan orientasi akhirat.
5. Berawal
dari
seorang
dai,
asy-Sya‟râwî
ingin
menyampaikan kepada masyarakat terkait hikmah-hikmah yang terdapat dalam al-Qur‟an, mengajak mereka untuk melakukan nilai-nilai yang diajarkan oleh al-Qur‟an dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Wallahu A‟lam
25
DAFTAR PUSTAKA Asy-Sya‟râwî, Muhammad Mutawalli, Qashash al-Qur‟ân, Kairo: Al-Maktabah At-Taufîqiyah, tt ___________, Tafsîr asy-Sya‟râwî, tk: Akhbâr al-Yaum, 1991 Ayâzî, Alî, Al-Mufassirûn Hayâtuhun wa Manhajuhum, Teheran: Muassasah ath-Thabâ‟ah wa an-Nasyr Wizârah ats-Tsiqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2008 Hidayat, D., Al-Balâghah li al-Jamî‟ wa asy-Syawâhid min Kalâm alBadî‟, Jakarta: Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur‟ani, 2002 IMZI, A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an, 2013 Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, Relasi Gender menurut Tafsir AsySya‟rawi, Jakarta: Teraju, 2004 LAL, Anshori, ULUMUL QUR‟AN Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013 Muhammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006 Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan al-Qur‟an Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Teras, 2008 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2, Jakarta: Letera Hati, 2011 Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur‟an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014 Syibromalisi, Faizah Ali, dkk, Membahas Kitab Tafsir KlasikModern, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011 26
http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-syarawi.html http://www.egyguys.com/ http://www.iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=3&id=199 http://www.muslimedianews.com/2014/01/biografi-syaikh-mmutawalli-asy-syarawi.html#ixzz3T1M4EePk http://www.muslimedianews.com/2014/01/biografi-syaikh-mmutawalli-asy-syarawi.html#ixzz3T1M4EePk http://zulhusnimatresat.blogspot.com/2013/07/syeikh-prof-dr-ahmadumar-hasyim.html
27
28