Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Meredam Risiko Bencana :
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah PENULIS : Sunarja, Wasingatu Zakiyah, Rinto Andriono, Eko Budi Marwanto, Didik S. Mulyana. PENYUNTING : Valentina Sri Wijiyati ILUSTRATOR DAN PERANCANG SAMPUL : Feriawan Agung Nugroho DESAIN ISI : Ulya F. Himawan ILUSTRASI FOTO : IDEA Yogyakarta CETAKAN : Mei 2010 DITERBITKAN OLEH : IDEA (Institute for Development and Economics Analysis) Yogyakarta Jalan Kaliurang km. 5 Gang Tejomoyo CT III / 3 Yogyakarta 55281 Telp. / fax : +62 274 583900 INDONESIA E-mail :
[email protected] Alamat situs : www.ideajogja.or.id DALAM KERJASAMA DENGAN: Force of Nature (FON) 23, Lorong Tanjung 5/4D, 46000 Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan, Malaysia Telp. (+603) 7960 0366 Fax (+603) 7960 1366 E-mail :
[email protected] http://www.forceofnature.org/ DICETAK OLEH : Nindya Grafika, Yogyakarta. Gagasan dalam buku ini tidak mencerminkan pendapat Force of Nature (FON).
SEKAPUR SIRIH ‘Bencana membawa berkah’ ‘di sini tidak ada pemerintah’ ‘Rehab rekon yes, korupsi no’ ‘Ya Allah, kami berserah padaMu’ Optimis, nyinyir, menggugat, pasrah. Tulisan yang terpampang di reruntuhan rumah itu mewakili perasaan warga Bantul saat itu. Ya, gempa 27 Mei 2006 membuat warga berani berbicara, pun melalui bahasa tulis. Seiring dengan upaya evakuasi korban selama 1 minggu lebih, Pemerintahan mulai bergerak. Kapasitas sumber daya yang ada dikerahkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Serta-merta Kabupaten Bantul melakukan perubahan APBD dalam pos dana tak terduga dari Rp 4 miliar menjadi Rp 50 miliar. Dalam kondisi darurat perubahan APBD dilakukan. Dengan alasan kedaruratan, perubahan APBD yang tidak partisipatif segera dilakukan. Meski tidak bisa menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada, namun itulah upaya optimal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Ada yang hilang ketika perencanaan dan penganggaran yang ada belum mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi warga. Padahal kami sadar betul bahwa sumber daya inilah yang dimiliki oleh warga untuk dikelola oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan warga. Berangkat dari peristiwa itu, beberapa kawan termasuk IDEA berikhtiar untuk mendorong Pengurangan Risiko Bencana (PRB) untuk diperhatikan dalam proses perencanaan dan penganggaran. PRB, upaya yang dilakukan dalam waktu bahkan ketika tidak terjadi bencana. Upaya mendorong integrasi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan dan penganggaran dilakukan terus-menerus melalui berbagai kegiatan bersama masyarakat maupun pemerintah daerah. Proses belajar IDEA tidak terlepas dari dukungan kawankawan yang lebih dulu banyak belajar dan melakukan advokasi pengurangan risiko bencana. Adalah temanteman dari DREAM (Disaster Research, Education, and Management) atau Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta yang selama ini menjadi tempat bertanya ketika IDEA berproses mendorong PRB dalam perencanaan dan penganggaran. Harus diakui juga kawan-kawan dari OXFAM-GB selalu mempermudah proses belajar IDEA dalam isu ini. Kawah candradimuka kami adalah kelompokkelompok masyarakat di Kabupaten Kulon Progo (JMKP-Jaringan Masyarakat Kulon Progo), Kabupaten Bantul (JARAK-Jaringan Rakyat Bantul) dan Kabupaten Gunungkidul (JKPGK-Jaringan Kelompok
iv
Perempuan Gunungkidul). Kelompok-kelompok inilah yang selama ini berupaya membuat pemetaan risiko dan mengupayakannya diakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan di daerah yang mengarusutamakan PRB. Bahkan Pemetaan Risiko oleh JARAK-Bantul berhasil diakomodasi dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Perubahan (RPJMDP) Kabupaten Bantul. Pemerintah desa, pemerintah daerah, dan DPRD selama ini menjadi pihak yang selalu mengawal usulan warga dalam proses perencanaan dan penganggaran. Penerimaan yang baik atas hal baru ini menjadi gairah tersendiri bagi IDEA untuk terus bersemangat mendorong proses ini. Bahkan Pak Setyoso, yang masih menjabat Kepala BAPPEDA Provinsi DIY ketika draft buku ini disusun, bersedia memberikan pengantar atas buku ini. Disadari bahwa PRB adalah hal baru dalam proses pembangunan sehingga upaya mengarusutamakan gagasan ini dalam perencanaan dan penganggaran tidak semudah membalik telapak tangan. Metode / alat untuk memadukan PRB dalam perencanaan dan penganggaran perlu disediakan. Buku ini menjadi bagian dari upaya menyediakan alat untuk mendorong integrasi PRB dalam perencanaan penganggaran. Upaya Sunarja (Koordinator Divisi Risk Sensitive Budget Advocacy), Rinto Andriono (yang masih menjabat Direktur IDEA ketika draft buku ini disusun), Didik S. Mulyana, Eko Budi Marwanto, dan saya sendiri (Wasingatu Zakiyah) untuk menuliskan sebagian pengalaman dalam melakukan integrasi PRB dalam
v
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
perencanaan dan penganggaran yang pro-poor serta tanggap dan adil gender adalah sumbangan kecil untuk mempermudah langkah dan cara warga maupun pemerintah dalam melaksanakan perencanaan dan penganggaran. Agar pengalaman yang kami bagikan semakin mudah dibaca, Valentina Sri Wijiyati menyunting tulisan yang berserak. Penampilan buku ini dirapikan oleh Ulya F. Himawan dan Feriawan yang memberikan ilustrasinya. Peran seluruh kawan IDEA yang menjadi tulang punggung pembelajaran bersama warga menjadi akar proses penulisan pengalaman ini. Terima kasih kepada teman-teman pengampu utama pengorganisasian komunitas: Hernindya Wisnuadji, Yemmestri Enita, Triwahyuni Suci Wulandari, Isnawati, juga kepada teman-teman di Administrasi-Keuangan: Tiem F.Usman, M. Inwanuddin, dan Anis Nuria Perwitasari serta seluruh Keluarga Besar IDEA yang telah memudahkan proses pengguliran gagasan ini hingga sampai ke tangan Anda. Seluruh proses ini dilakukan IDEA dengan dukungan dari FON (Force of Nature) Malaysia yang peduli atas gagasan yang sedang kami dorong. Elaine, terima kasih atas dukungan selama ini, Cik! Semoga buku panduan sederhana ini bisa menjadi oase kecil untuk membantu upaya menyelamatkan rakyat dari risiko yang lebih besar. Yogyakarta, 13 Mei 2010
Wasingatu Zakiyah Direktur IDEA
vi
PENGANTAR BENCANA ALAM baik yang berskala kecil maupun yang berskala besar bisa datang setiap saat, di mana saja, dan bisa menimpa siapa saja. Hanya saja tingkat risiko yang diterima tergantung pada besarnya ancaman dan tinggi rendahnya kerentanan serta kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah. Keberadaan pulau-pulau di wilayah Indonesia yang berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik dan menyebabkan Indonesia memiliki kerawanan terhadap berbagai jenis bencana (multihazard) telah lama diketahui. Namun perhatian yang lebih memadai pada kerawanan bencana baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi beberapa bencana alam katastropik secara beturut-turut di Indonesia.
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Kebijakan pembangunan di Indonesia yang sebelumnya kurang berwawasan kebencanaan pelan-pelan mulai berubah. Penanganan bencana yang sebelumnya cenderung responsif dan spontan, kini mulai bergerak ke arah preventif dan berfokus pada kesiap-siagaan. Pada saat ini sudah banyak kebijakan pemerintah atau produk hukum yang mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007 yang diundangkan melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2006; mitigasi dan penanggulangan bencana telah manjadi salah satu dari 9 prioritas pembangunan nasional. Kebijakan yang kemudian muncul adalah diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebelumnya, Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bersama Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) untuk tahun 2006 – 2010. Selanjutnya pada tahun 2008 muncul PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana, dan Perpes Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Itu adalah bukti
viii
bahwa pemerintah telah mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya-upaya penanggulangan bencana. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pada tahun 2006 dikejutkan dengan terjadinya gempa bumi besar, turut berbenah dan mulai mengimplementasikan strategi-strategi pengurangan risiko bencana dalam perumusan dan pelaksanaan program serta kegiatan pembangunannya. Bahkan karena keberhasilannya menangani bencana yang terjadi secara cepat, cermat dan akurat, Provinsi DIY telah menjadi pilot project untuk kebijakan pengurangan risiko bencana yang selanjutnya akan dijadikan dasar implementasi kebijakan penanganan bencana di seluruh Indonesia. Salah satu elemen penting dalam manajemen penanggulangan bencana adalah aspek perencanaan dan anggaran. Perencanaan penanggulangan bencana terutama dalam pengurangan risiko bencana apabila tidak didukung mekanisme penganggaran yang baik akan menimbulkan permasalahan yang besar. Hal ini bisa dimengerti karena pekerjaan penganggulangan bencana yang paling banyak justru pada saat tidak terjadi bencana atau tidak sebatas emergency response saja. Selama ini masih dijumpai beberapa permasalahan yang ditemui dalam integrasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada perencanaan dan penganggaran. Permasalahan tersebut antara lain masih kurangnya keterpaduan antara perencanaan dengan penganggaran PRB, relevansi program atau kegiatan yang kurang responsif dengan permasalahan dan/atau kurang relevan dengan peluang yang
ix
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
dihadapi, konsistensi dan sinkronisasi program masih relatif lemah baik secara vertikal maupun horizontal serta kadang-kadang masih dijumpai beberapa program atau kegiatan tumpang tindih antar SKPD dan bahkan saling meniadakan. Melihat hal tersebut, Pemerintah Provinsi DIY dalam hal ini BAPPEDA Provinsi DIY sudah melakukan beberapa upaya agar terwujud sinergi yang baik dalam proses perencanaan pembangunan terkait dengan PRB. Kesadaran kebencanaan masyarakat Provinsi DIY pun semakin meningkat dengan adanya berbagai macam program dan kegiatan kebencanaan. Masyarakat menjadi lebih kritis, peduli, dan mempunyai ketertarikan lebih mengenai kondisi kebencanaan DIY yang nampak dari banyaknya pertanyaan yang terekam dalam berbagai media cetak dan elektronik. Selain itu, dalam penanganan PRB pemerintah juga telah mengedepankan pengarusutamaan gender dan pemulihan pasca bencana dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan mengedepankan partisipasi masyarakat. Diterbitkannya buku Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dalam Perencanaan dan Penganggaran diharapkan dapat menjadi kontribusi yang mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul di masyarakat tentang aspek penanggulangan bencana, yaitu perencanaan dan penganggaran upaya pengurangan risiko bencana. Selain itu, terbitnya buku ini diharapkan dapat membantu perumusan dan implementasi kegiatan pengurangan risiko bencana mulai dari lingkup desa, kabupaten / kota hingga provinsi.
x
Semoga buku ini dapat memenuhi maksud dan tujuan penyusun serta dapat membantu masyarakat dalam bertransformasi menjadi masyarakat siaga bencana. Yogyakarta, 12 Maret 2009
Ir. Setyoso Hardjowisastro, M.Si. Kepala BAPPEDA Provinsi DIY
xi
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
DAFTAR ISI Sekapur Sirih ~ iii Kata Pengantar ~ vii Daftar Isi ~ xii Daftar Box ~ xiiI Daftar Bagan ~ xiiI Daftar Tabel ~ xiV Daftar Diagram ~ xx Daftar Akronim ~ xxii Bab I Analisis PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah ~ 1 Bab II Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah ~ 17 Bab III Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan dan Penganggaran Publik ~ 47 Bab IV Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB ~ 75 Bab V Analisis APBD Dengan Perspektif PRB ~ 93 Bibliografi ~ 135 Lampiran A Analisis APBD Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008 Dengan Pendekatan Sensitif PRB ~ 141
xii
Lampiran B Analisis APBD Kabupaten Bantul Tahun 2008 Dengan Perspektif PRB ~ 173 Lampiran C Analisis APBD Kabupaten Kulon Progo 2008 Dengan Perspektif PRB ~ 219 ***
DAFTAR BOX Box 1.1. Box 2.1.
Cerita Pembangunan Yang Belum Berperspektif PRB ~ 6 Pelaksanaan Implementasi Strategi PRB di Kabupaten Bantul ~ 42 ***
DAFTAR BAGAN Bagan 1.1. Advokasi terpadu ~ 14 Bagan 2.1. Pembangunan dan Risiko Bencana ~ 25 Bagan 2.2. Pendekatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran ~ 31 Bagan 2.3. Alur Perencanaan dan Penganggaran Dalam Kaitannya Dengan PRB ~ 45 Bagan 2.4. Rencana Kerja dan Pendanaan ~ 46 Bagan 3.1. Alur Pemetaan Masalah dan Kebutuhan Warga ~ 50 Bagan 3.2. Tahapan Penyusunan APBD ~ 69
xiii
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Bagan 5.1. Struktur anggaran menurut Permendagri No.13 tahun 2006 ~ 104 Bagan 5.2. Hierarki dokumen perencanaan pembangunan daerah dan pusat serta hubungan antar dokumen menurut UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional ~ 126 ***
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Kebijakan Penganggaran yang Berkontribusi pada Kerentanan ~ 29 Tabel 2.2. Peraturan yang Terkait dengan Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah ~ 34 Tabel 2.3. Dokumen Legal Penanggulangan Bencana Versus Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran ~ 35 Tabel 2.4. Jenis dan Sumber Pendanaan bagi Penanggulangan Bencana ~ 38 Tabel 2.5. Aras Strategi Integrasi ~ 44 Tabel 3.1. Peta Potensi Ancaman Bencana di Kabupaten Bantul ~ 51 Tabel 3.2. Tabel Pemeringkatan Risiko Multihazard ~ 56 Tabel 3.3 Indikator untuk menentukan Pagu Indikatif Kecamatan ~ 60
xiv
Tabel 3.4. Contoh tahapan advokasi kebijakan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan oleh CBOs ~ 66 Tabel 4.1. Alat analisis integrasi perspektif PRB dalam RPJMD ~ 87 Tabel 5.1. Peraturan-perundangan tentang mekanisme penganggaran terkait dengan PRB ~ 94 Tabel 5.2. Alat identifikasi jenis dan prosentase komponen pendapatan daerah ~ 105 Tabel 5.3. Alat identifikasi jenis dan karakter komponen PAD ~ 106 Tabel 5.4. Alat identifikasi kesesuaian alokasi belanja dengan norma alokasi anggaran, selama tahun n-2 s.d. tahun n ~ 108 Tabel 5.5. Alat identifikasi pemenuhan prinsip realisasi progresif dalam tahun anggaran n-2 s.d. tahun anggaran n ~ 111 Tabel 5.6. Alat identifikasi kegiatan dan anggaran dengan perspektif PRB ~ 113 Tabel 5.7. Alat identifikasi anggaran dan pengaruhnya terhadap aspek PRB untuk kelompok rentan ~ 115 Tabel 5.8. Alat identifikasi item kegiatan untuk masing-masing kelompok warga menurut tingkat kesejahteraan dan pengaruhnya terhadap aspek PRB ~ 117 Tabel 5.9. Alat identifikasi item kegiatan menurut Urusan Pemerintah Daerah dan pengaruhnya terhadap aspek PRB ~ 119 Tabel 5.10. Alat identifikasi item kegiatan serta anggaran untuk kelompok perempuan menurut tipe anggarannya ~ 121
xv
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel 5.11. Alat identifikasi anggaran untuk perempuan menurut sensitivitas gendernya ~ 123 Tabel 5.12. Alat identifikasi hasil MUSRENBANG menurut penerima manfaat gender marginal ~ 124 Tabel 5.13. Alat identifikasi tingkat partisipasi masing-masing kelompok gender dalam proses penganggaran ~ 129 Tabel 5.14. Alat identifikasi tingkat partisipasi warga dalam proses penganggaran, menurut tingkat kesejahteraan ~ 130 Tabel 5.15. Alat identifikasi komposisi laki-laki dan perempuan dalam MUSRENBANG menurut peran dan fungsi ~ 131 Tabel 5.16. Alat identifikasi tingkat aksesibilitas dokumen perencanaan dan penganggaran ~ 133 Tabel A.1. Perbandingan pendapatan APBD Gunungkidul 2006 - 2008 ~ 143 Tabel A.2. Daftar Sumber-sumber Terbesar PAD Kabupaten Gunungkidul 2006 – 2008 ~ 144 Tabel A.3. Dana Perimbangan Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 dan 2008 ~ 146 Tabel A.4. Rasio belanja pendidikan terhadap total belanja APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008 ~ 150 Tabel A.5. Bantuan pendidikan untuk masyarakat Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 dan 2008 ~ 152 Tabel A.6. Bantuan PAUD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008 ~ 153
xvi
Tabel A.7. Perbandingan beasiswa Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 dan 2007 ~ 153 Tabel A.8. Alokasi anggaran pendidikan murah Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 ~ 154 Tabel A.9. Perbandingan belanja Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2005 s.d. 2008 ~ 155 Tabel A.10. Program Pencegahan dan Penanggulangan penyakit menular dalam APBD Gunungkidul tahun 2008 ~ 156 Tabel A.11. Bantuan sosial dan organisasi untuk kelompok perempuan dan anak Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 s.d. 2008 ~ 158 Tabel A.12. Program dan kegiatan pemberdayaan perempuan Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 ~ 159 Tabel A.13. Belanja Dinas Pertanian Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 s.d. 2008 ~ 162 Tabel A.14. Program peningkatan ketahanan pangan Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 ~ 163 Tabel A.15. Beberapa program di sektor peternakan yang ada dalam APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 terkait dengan wabah penyakit menular dari peternakan ~ 164 Tabel A.16. Alokasi Dana Desa tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul ~ 165
xvii
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel A.17. Belanja bantuan sosial Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk panti asuhan dan SLB serta penderita cacat dan trauma tahun 2007 dan 2008 ~ 167 Tabel A.18. Beberapa program kebencanaan di Kesbanglinmas Kabupaten Gunungkidul yang bisa diakses oleh warga secara langsung pada tahun 2008 ~ 170 Tabel B.1. Kerusakan rumah di tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Bantul akibat gempa bumi 27 Mei 2006 ~ 179 Tabel B.2. Matriks Analisis Kapasitas dan Kerentanan dalam RPJMD Perubahan ~ 180 Tabel B.3. Data jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bantul tahun 2005 s.d. 2007 ~ 183 Tabel B.4. Kebijakan sensitif PRB dalam urusan wajib / urusan pilihan Pemerintah Kabupaten Bantul ~ 186 Tabel B.5. Matriks Rencana Anggaran untuk PRB Kabupaten Bantul ~ 190 Tabel B.6. Pemetaan ancaman bencana di Kabupaten Bantul ~ 192 Tabel B.7. Perbandingan pendapatan APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan tahun 2008 ~ 196 Tabel B.8. Daftar Sumber-sumber Terbesar PAD Kabupaten Bantul tahun 2008 ~ 197 Tabel B.9. Perbandingan Belanja ABPD Bantul 2007 dan 2008 ~ 200 Tabel B.10. Belanja Bantuan Sosial dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 ~ 202
xviii
Tabel B.11. Belanja untuk Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 ~ 204 Tabel B.12. Anggaran Pendidikan dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008 ~ 208 Tabel B.13. Anggaran Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008 ~ 210 Tabel B.14. Anggaran Pengelolaan Hutan dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 ~ 213 Tabel B.15. Anggaran Infrastruktur dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008 ~ 215 Tabel B.16. Anggaran untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 ~ 217 Tabel C.1. Profil pendidikan warga Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 ~ 227 Tabel C.2. Angka putus sekolah menurut tingkat di Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 ~ 227 Tabel C.3. AKB dan AKI Kabupaten Kulon Progo tahun 2000 s.d. 2006 ~ 228 Tabel C.4. Status gizi balita di Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 - 2006 ~ 229 Tabel C.5. Jumlah rumah tangga dipantau PHBS yang telah melaksanakan PHBS di Kabupaten Kulonprogo Tahun 20042006 ~ 230 Tabel C.6. Kajian kerentanan pangan menurut lokasi sawah di Kabupaten Kulon Progo tahun 2004-2006 ~ 232 Tabel C.7. Ringkasan APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 235
xix
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel C.8. Pendapatan Dinas Kesehatan dan RSUD di Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 238 Tabel C.9. Pendapatan Asli Daerah yang Dikelola oleh BPKD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan tahun 2008 ~ 240 Tabel C.10. Anggaran belanja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 243 Tabel C.11. Anggaran Belanja Kantor Pengelonaan Dampak Lingkungan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 245 Tabel C.12. Anggaran Belanja Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 247 Tabel C.13. Anggaran Belanja Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 249 Tabel C.14. Anggaran Belanja Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertambangan tahun 2007 dan 2008 ~ 252 Tabel C.15. Anggaran Belanja Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 ~ 254 ***
DAFTAR DIAGRAM Diagram A.1. Rasio Jumlah Penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 menurut jenis kelamin ~ 157
xx
Diagram A.2. Anggaran bantuan sosial untuk pengurangan kemiskinan Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 s.d. 2008 ~ 161 Diagram A.3. Perbandingan jumlah panti asuhan dan jumlah anak asuh di Kabupaten Gunungkidul tahun 2004 s.d. 2005 ~167 Diagram A.4. Jumlah Desa Rawan Bencana tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul ~ 169 Diagram B.1. Jumlah Sekolah di Kabupaten Bantul tahun 2007 ~ 207 Diagram B.2. Jumlah anak sekolah di Kabupaten Bantul tahun 2006 ~ 207 Diagram B.3. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2006 ~ 209 Diagram B.4. Luas Lahan Hutan di Kabupaten Bantul Tahun 2006 ~ 212 Diagram B.5. Jumlah Penambangan Galian C Tahun 2006 ~ 214 Diagram C.1. Data kejadian tiga bencana tersering di Kabupaten Kulon Progo tahun 20062008 ~ 226 Diagram C.2. Data jumlah pasien PUSKESMAS dan RSUD di Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 s.d. 2007 ~ 237 Diagram C.3. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku di Kabupaten Kulon Progo tahun 2004 - 2007 ~ 247 Diagram C.4. Jumlah Produksi Padi di Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 - 2007 ~ 248 Diagram C.5. Data panjang jalan menurut kondisi jalan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 ~ 253 ***
xxi
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
DAFTAR AKRONIM ADD AKB AKI AMDAL APBD APBN APE ASI ATK BAPPEDA BAPPENAS BAU BKK BM BNPB BOP BPBD BPD BPD
xxii
: Alokasi Dana Desa : angka kematian bayi : angka kematian ibu : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Alat Permainan Edukatif : Air Susu Ibu : Alat Tulis Kantor : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional : Belanja Administrasi Umum : Badan Kesejahteraan Keluarga : Belanja Modal : Badan Nasional Penanggulangan Bencana : Belanja Operasional Pembangunan : Badan Penanggulangan Bencana Daerah : Badan Permusyawaratan Desa : Bank Pembangunan Daerah
BPK BPKD
: Badan Pemeriksa Keuangan : Badan Pengelolaan Keuangan Daerah CBO : Community Base Organization CSO : Civil Society Organization DAK : Dana Alokasi Khusus DAS : Daerah Aliran Sungai DAU : Dana Alokasi Umum DBD : demam berdarah dengue DFID : The Department for International Development DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta DOEN : Daftar Obat Esensial Nasional DPA : Dokumen Pelaksanaan Anggaran dpl : di atas permukaan laut DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPU : Dinas Pekerjaan Umum FEMA : The Federal Emergency Management Agency FKKP : Forum Komunikasi kader POSYANDU Gakin : keluarga miskin HAM : Hak Asasi Manusia HDI : Human Development Index HIMPAUDI : Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia HIV / AIDS : Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome HUT : Hari Ulang Tahun
xxiii
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
IDEA IDT IFRC IMB Inpres IPM ISPA kamling KB KDH KDRT Kepmendagri Kesbanglinmas kh KIE KK KLB KPP KS KUA KUPK KUPP
xxiv
: Institute for Development and Economic Analysis : Inpres Desa Tertinggal : International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies : Ijin Mendirikan Bangunan : Instruksi Presiden : Indeks Pembangunan Manusia : Infeksi Saluran Pernafasan Atas : keamanan lingkungan : Keluarga Berencana : Kepala Daerah : Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Keputusan Menteri Dalam Negeri : Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat : kelahiran hidup : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi : Kepala Keluarga : Kejadian Luar Biasa : Kantor Pemberdayaan Perempuan : Keluarga Sejahtera : Kebijakan Umum Anggaran : Kredit Usaha Peningkatan Kesejahteraan : Kelompok Usaha Pemuda
Produktif : kecelakaan laut : lanjut usia : Perlindungan Masyarakat : Lembaga Swadaya Masyarakat MA : Madrasah Aliyah MI : Madrasah Ibtidaiyah Monev : monitoring dan evaluasi MTs : Madrasah Tsanawiyah MUSRENBANG : Musyawarah Perencanaan Pembangunan MUSRENBANGCAM : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan MUSRENBANGDES : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa MUSRENBANGKAB : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten n.a. : not available NGO : non-governmental organization PAD : Pendapatan Asli Daerah Parpol : partai politik PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini PB : Penanggulangan Bencana PBB : Pajak Bumi dan Bangunan PBP : Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PDAM : Perusahaan Air Minum Daerah PE : peranakan Etawa Laka laut Lansia Linmas LSM
xxv
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pemkab PEMP Perda Perdes Permendagri Perpres PERSIBA PHBS PKB PKBM PKK PKL PLH PLN PMT PMTAS PNPM PNS POLINDES POLRI POSYANDU PP PPA
xxvi
: Pemerintah Kabupaten : Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir : Peraturan Daerah : Peraturan Desa : Peraturan Menteri Dalam Negeri : Peraturan Presiden : Persatuan Sepak Bola Bantul : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat : Pajak Kendaraan Bermotor : Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga : Pedagang Kaki Lima : Pemeliharaan / Pengelolaan Lingkungan Hidup : Perusahaan Listrik Negara : Pemberian Makanan Tambahan : Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat : Pegawai Negeri Sipil : Pondok Bersalin Desa : Kepolisian Republik Indonesia : Pos Pelayanan Terpadu : Peraturan Pemerintah : Prioritas dan Plafon Anggaran
PPAS PPh PPJU PRB PSMB PU PUG PUSKESDES PUSKESMAS PUSLING PUSTU RABK RAD RAPBD Raperda RAN RB RD Renja Renstra K/L RKA RKPD RPJM RPJMD
: Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara : Pajak Penghasilan : Pajak Penerangan Jalan Umum : Pengurangan Risiko Bencana : Pusat Studi Manajemen Bencana : Pekerjaan Umum : Pengarusutamaan gender : Pusat Kesehatan Desa : Pusat Kesehatan Masyarakat : PUSKESMAS Keliling : PUSKESMAS Pembantu : Rencana Anggaran Belanja Kegiatan : Rencana Aksi Daerah : Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah : Rancangan Peraturan Daerah : Rencana Aksi Nasional : Rumah Bersalin : Rencana Daerah : Rencana Kerja : Rencana Strategis : Rencana Kerja dan Anggaran : Rencana Kerja Pemerintah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
xxvii
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
RPJMN RPJPD RSUD RT RTM RTRW RW Saprodi SAR Satlak PB Satpol PP SD SDA SDM Sekwan SKPD SKTM SLB SMA SMART SMK SMP SOTK SPPL
xxviii
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah : Rumah Sakit Umum Daerah : Rukun Tetangga : Rumah Tangga Miskin : Rencana Tata Ruang Wilayah : Rukun Warga : sarana produksi : Search and Rescue : Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana : Satuan Polisi Pamong Praja : Sekolah Dasar : Sumber Daya Alam : Sumber daya manusia : Sekretariat Dewan : Satuan Kerja Pemerintah Daerah : Surat Keterangan Tidak Mampu : Sekolah Luar Biasa : Sekolah Menengah Atas : Specific, Measurable, Achievable, Realistic, and Time Bounded : Sekolah Menengah Kejuruan : Sekolah Menengah Pertama : Sistem Organisasi dan Teknis Kepegawaian : Standar Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup
SPPN Surkesnas SWOT SWP TAGANA TBC TK TKP TNI TOT Tupoksi UEP UHH UKL / UPL UNAS UPN US$ USGS UU vs WHO WKDH
: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional : survey kesehatan nasional : Strength, Weakness, Opportunity, and Threat : Satuan Wilayah Pengembangan : Taruna Tanggap Bencana : Tuberculosis : Taman Kanak-kanak : Tindak Kekerasan terhadap Perempuan : Tentara Nasional Indonesia : Training of trainers : tugas pokok dan fungsi : Usaha Ekonomi Produktif : Umur Harapan Hidup Waktu Lahir : Upaya Kelola Lingkungan / Upaya Pemantauan Lingkungan : Ujian Nasional : Universitas Pembangunan Nasional : United States dollar : United States Geological Survey : Undang-undang : versus : World Health Organization : Wakil Kepala Daerah ***
xxix
BAB I ANALISIS PRB DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
IFRC menyatakan bahwa bencana alam menewaskan rata-rata lebih dari 56.000 orang setiap tahun sejak tahun 1988. Sejak itu, bencana alam memengaruhi 171 juta orang secara langsung dalam bentuk kerusakan rumah, aset, hasil panen, ternak, dan infrastruktur. Belum terhitung jumlah orang yang terkena dampak tidak langsung berupa kenaikan harga dan kehilangan pekerjaan karena perekonomian yang memburuk pasca bencana. Rata-rata kerugian ekonomi global karena bencana antara tahun 1988 -1997 mencapai jumlah US$ 62 miliar di mana US$ 26 miliar merupakan kerugian di Eropa dan Amerika Serikat sedangkan US$ 34 miliar merupakan kerugian di Asia. Negara-negara berkembang adalah pihak yang paling terpukul karena bencana. Data IFRC menyebutkan bahwa pada periode yang sama, rata-rata 88% kematian penduduk karena bencana alam terjadi di negara-negara berkembang.
2
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
Gempa bumi dan tsunami meluluh-lantakkan sebagian besar wilayah dan komunitas di pesisir Samudra Hindia pada 26 Desember 2004. Bencana ini telah menyadarkan banyak pihak bahwa ancaman yang ada di bumi ini bisa berubah menjadi bencana dahsyat jika manusia tidak mampu mengelola kerentanan dan kapasitasnya. Ancaman yang berasal dari proses geologis seperti gunung berapi, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor, serta ancaman yang berasal dari proses hidro-meteorologis seperti kekeringan, banjir, dan angin puting beliung semakin sering terjadi. Belum lagi ancaman yang berasal dari proses biologis, lingkungan, dan kondisi sosial kita. Eksploitasi sumber daya alam, pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali, minimnya pengetahuan, ketidaksetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki, kemiskinan, dan terbatasnya infrastruktur adalah beberapa contoh kerentanan yang ada. Pertemuan kedua unsur inilah yang memunculkan bencana. Sudah banyak bencana yang menimbulkan banyak korban manusia dan harta-benda serta mengakibatkan berbagai kerusakan infrastruktur untuk layanan publik. Ketika gempa bumi melanda Wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006, tidak kurang dari 20.225 rumah roboh diterjang getaran dengan kekuatan 5,9 skala Richter. Menurut data Departemen Sosial Republik Indonesia pada 1 Juni 2006 pukul 07.00 WIB (http://id.wikipedia. org/wiki/Gempa_bumi_Yogyakarta_Mei_2006) tidak kurang dari 6.234 jiwa korban jiwa jatuh. Banyak penduduk menjadi korban karena tertimpa reruntuhan bangunan. Sebelum gempa bumi 27 Mei 2006 tersebut, penduduk Yogyakarta dan sekitarnya
3
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
tidak pernah mendapatkan informasi yang memadai bahwa wilayah mereka dilewati oleh Sesar Opak yang berpotensi menimbulkan gempa bumi. Selain kualitas bangunan yang tidak memadai, minimnya pengetahuan penduduk mengenai prosedur menghadapi gempa bumi juga memicu jatuhnya lebih banyak korban jiwa. Beberapa contoh kerentanan itulah yang membuat gempa bumi dengan kekuatan 5,9 skala Richter menjadi bencana bagi penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Menurut BAPPENAS, kerugian akibat gempa bumi 27 Mei 2006 di DIY dan Jawa Tengah diperkirakan mencapai Rp 29,2 triliun. Padahal USGS menyatakan, ”Setiap US$ 1 belanja publik untuk mitigasi dan kesiap-siagaan bencana dapat menyelamatkan US$ 7 dari kerusakan akibat bencana.” Sementara FEMA menghitung, “Setiap US$ 1 dana publik yang dibelanjakan untuk mitigasi dan kesiap-siagaan bencana akan menyelamatkan dana sebesar US$ 2 untuk respon keadaan darurat.” Dengan data dan nalar ini, jelas bahwa pemangku kepentingan perlu mengintegrasikan perspektif PRB dalam perencanaan dan penganggaran. Tanpa perspektif PRB, proses perencanaan yang seharusnya merupakan agenda minimalisasi risiko bencana justru akan berbalik meningkatkan risiko bagi pemangku kepentingan. UU No. 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa MUSRENBANG diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dan mengikutsertakan masyarakat. Namun nyatanya pemerintah daerah belum mengikutsertakan masyarakat secara luas dalam menyusun perencanaan pembangunan
4
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
melalui MUSRENBANG. BPD dan kepala dusun dianggap sebagai perwakilan masyarakat; Ketua PKK sudah dianggap mewakili kelompok perempuan. Padahal mereka tidak melakukan penjaringan aspirasi masyarakat sebelum MUSRENBANG dan juga tidak melakukan sosialisasi hasil MUSRENBANG. Penyusunan rencana pembangunan tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat, namun berdasarkan asumsi partisipan MUSRENBANG dan pengambil kebijakan di tingkat desa maupun kabupaten. Perencanaan pembangunan yang tidak partisipatif dan tidak mempertimbangankan kearifan lokal membuat pembangunan tidak menjawab kebutuhan masyarakat atau bahkan merugikan masyarakat. Selain harus partisipatif, perencanaan dan penganggaran juga harus berperspektif PRB. Dengan pembangunan yang berperspektif PRB, pemangku kepentingan bisa memperpanjang usia infrastruktur, melindungi manusia penerima manfaat infrastruktur, serta melindungi sumber daya alam di sekitar infrastruktur. Proyek pembangunan yang berperspektif PRB bisa jadi membutuhkan alokasi anggaran yang lebih besar, namun nilai manfaatnya pun lebih besar dan lebih bertahan lama. Dalam jangka panjang, pembangunan dengan perspektif PRB mampu menghemat anggaran belanja negara, karena risiko yang terjadi akan makin kecil sehingga biaya yang diperlukan untuk menanggulanginya juga makin kecil.
5
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Box 1.1.
Pembangunan Yang Belum Berperspektif PRB Foto: Dok. IDEA
Papan Nama Salah Satu Proyek Pembangunan di Desa Wonolelo
Desa Wonolelo adalah salah satu desa di Kecamatan Pleret yang berada di sisi timur wilayah Kabupaten Bantul. Secara geografis, kondisinya hampir serupa dengan wilayah Kabupaten Gunungkidul di mana sebagian wilayahnya merupakan perbukitan yang berpotensi longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Beberapa mata air yang ada di lereng perbukitan dimanfaatkan oleh warga untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dengan membangun pipa saluran air yang dikelola secara berkelompok. Ketiadaan saluran irigasi membuat pola pertanian setempat mengandalkan datangnya air hujan. Hasil pertanian tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga ditopang oleh usaha-usaha rumah tangga, baik berdagang di pasar, usaha mebel, usaha makanan olahan kulit lembu, maupun bekerja di sektor bangunan. Gempa bumi 27 Mei 2006 menghancurkan berbagai infrastruktur dan sumber-sumber penghidupan warga, serta merenggut banyak jiwa. Pemulihan infrastruktur dan ekonomi didukung oleh pihak pemerintah maupun lembagalembaga non pemerintah. Salah satu program pembangunan infrastruktur oleh pemerintah adalah rehabilitasi sarana transportasi. Jalan yang menghubungkan Desa Wonolelo dengan Desa Terong di Kecamatan Dlingo sebenarnya sudah mengalami kerusakan sejak sebelum terjadinya gempa bumi.
6
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
Foto: Dok. IDEA
Longsor di Desa Wonolelo Pasca gempa bumi, kondisi ruas jalan tersebut semakin parah. Menurut cerita salah satu warga Desa Wonolelo, dahulu jalan tersebut merupakan jalur perekonomian bagi warga Kecamatan Dlingo di Kabupaten Bantul dan Kecamatan Patuk di Kabupaten Gunungkidul untuk menjual hasil bumi ke Pasar Imogiri di Kabupaten Bantul. Namun dengan berkembangnya sarana transportasi dan tumbuhnya pusatpusat perekonomian baru, semakin banyak pula alternatif pasar untuk menjual hasil bumi warga. Kecenderungan generasi muda untuk mencari pekerjaan di kota dan mulai meninggalkan sektor pertanian juga berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat ke pusat-pusat perekonomian. Hal inilah yang menyebabkan tidak terpeliharanya jalan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut. Dengan alokasi anggaran dari Pemerintah Kabupaten Bantul, maka dilaksanakanlah proyek pembangunan Jalan Wonolelo - Terong pada tahun 2007. Walau rehabilitasi jalan tersebut sebenarnya pernah diusulkan Warga Wonolelo beberapa tahun yang lalu, namun akhirnya proses pembangunan di tahun 2007 ini tidak melibatkan masyarakat setempat selain keterlibatan sebagian warga sebagai pekerja. Walaupun tidak ada sosialisasi dengan memadai kepada masyarakat, namun setelah masyarakat mengetahui ada proyek rehabilitasi jalan tersebut, masyarakat sungguh
7
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
gembira. Persoalan dan kekecewaan warga muncul setelah warga mengetahui bahwa kemudian terjadi kerusakan lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Kerusakan lahan pertanian dan perkebunan disebabkan oleh ketiadaan perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat sejak awal. Proyek rehabilitasi jalan tersebut juga tidak memperhitungkan akibat yang mungkin terjadi. Pembangunan jalan di daerah perbukitan ini seharusnya disertai dengan pembangunan talud jalan yang dapat menopang tanah di pinggir jalan agar tidak longsor. Namun karena pembangunan jalan tidak disertai dengan pembangunan talud jalan yang memadai, tanah serta bebatuan di tebing yang dikeruk di sisi jalan tersebut longsor. Longsoran inilah yang kemudian merusak tanaman serta lahan pertanian dan perkebunan warga setempat. Menurut perhitungan warga, kerugian karena kerusakan lahan pertanian dan perkebunan akibat tanah longsor tersebut mencapai Rp 200.000.000,00. Ini adalah satu bukti bahwa perencanaan pembangunan yang tidak partisipatif dan tidak berperspektif pengurangan risiko bencana berpotensi mendatangkan bencana baru. Meskipun masyarakat korban telah mengupayakan ganti rugi, namun yang mereka diperoleh tidak sepadan dengan kerugian yang mereka alami.
Selama ini perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah untuk kebencanaan masih sebatas alokasi dana tak terduga. Anggaran tersebut digunakan untuk penanganan tanggap darurat pasca terjadi bencana. Kebijakan ini menunjukkan bahwa penanganan bencana masih sebatas pada penanganan pasca bencana. Paradigma penanggulangan bencana yang hanya bertumpu pada penanganan pasca bencana semakin lama terbukti tidak mampu menjawab persoalan-persoalan di seputar penanggulangan bencana. Kita sering mendengar atau
8
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
melihat tayangan media massa di mana diberitakan bahwa pemerintah daerah setempat sudah tidak memiliki anggaran untuk merespon bencana terjadi, terutama jika bencana tersebut terjadi pada akhir tahun anggaran. Akhirnya komunitas-komunitas yang terkena dampak bencana tersebut mengalami dampak lanjutan keterbatasan anggaran dan keterbatasan pengelolaan bantuan tanggap darurat. Dampak yang terjadi misalnya naiknya angka kesakitan di komunitas yang terkena dampak terutama kelompok rentan (balita, anak-anak, lansia, dll). Dampak lanjutan yang lain adalah munculnya potensi konflik terkait dengan pengelolaan pendistribusian bantuan baik; konflik bisa terjadi antara pemberi bantuan dengan penerima bantuan maupun antar penerima bantuan. Gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 yang juga meluluhlantakkan Pantai Barat Sumatera, disusul gempa bumi 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah telah membuka kesadaran banyak pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembagalembaga non pemerintah akan pentingnya PRB. Kesadaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tentang pentingnya upaya-upaya PRB diwujudkan dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang terkait dengan kebencanaan, seperti UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penganggulangan Bencana, PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana, dan Perpes Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB serta diterbitkannya
9
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
RAN PRB. Menyusul keluarnya beberapa kebijakan pemerintah pusat tersebut, beberapa pemerintah daerah menyusun RAD PRB serta pembentukan BPBD. Selain didorong oleh pengalaman dua bencana besar yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda, kebijakan pemerintah daerah untuk menyusun RAD PRB serta membentuk BPBD juga semakin meluas dengan adanya kebijakan pemerintah pusat serta adanya dorongan dan dukungan dari lembagalembaga non pemerintah dan berbagai kelompok masyarakat. Keempat faktor itulah yang kemudian mengubah paradigma penanggulangan bencana dari tanggap darurat (emergency respon) menjadi PRB (preparedness). Harus diakui bahwa perubahan paradigma tersebut belum terjadi secara menyeluruh dalam semua lapisan aparatur pemerintah maupun masyarakat. Banyak pihak meyakini bahwa pembentukan lembaga yang khusus menangani bencana diperlukan agar upaya-upaya penanggulangan bencana bisa semakin baik. Keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa Satlak PB baru akan berfungsi sesudah terjadi bencana. Jika ada lembaga khusus, maka lembaga tersebut akan menyusun program dan kegiatan yang terkait dengan PRB. Lembaga tersebut juga akan mendapatkan alokasi anggaran tersendiri untuk melaksanakan kegiatannya. Gagasan ini masih menemui kompleksitas dalam penerapannya. Di satu sisi pasal 12 ayat 2b UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat eselon IIa. Padahal dalam praktek tata pemerintahan daerah hanya ada seorang pejabat setingkat eselon Ila di
10
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
kabupaten. Kompleksitas ini membuat pembentukan BPBD masih menjadi perdebatan bagi beberapa pemerintah daerah sampai saat ini. Dari perbincangan dengan beberapa aparatur di beberapa daerah, ada dua opsi terkait dengan lembaga penanggulangan bencana. Opsi yang pertama adalah pembentukan lembaga tersendiri (BPBD) atau mengoptimalkan status lembaga yang sudah ada. Sebagai contoh, di Provinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah dibentuk BPBD, namun di Kabupaten Bantul pilihan yang semula diambil adalah menaikkan status Kantor Kesbanglinmas menjadi dinas tersendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Bantul mengambil opsi membentuk BPBD melalui Peraturan Bupati No. 51 Tahun 2009. Sayangnya ada kekhawatiran bahwa pilihan ini diambil dengan dorongan kuat untuk mendapatkan alokasi dana penanggulangan bencana sebesar Rp 14 miliar dari BNPB. Tentu saja karena BNPB bisa mengalokasikan dana hanya melalui BPBD dan bukan melalui dinas lain. Kekhawatiran ini diperkuat oleh pilihan bentuk peraturan yang diambil. Peraturan bupati yang bisa lebih cepat dan mudah diinisiasi daripada peraturan daerah yang dipilih. Terkait dengan opsi-opsi ini, yang lebih penting bagi aparatur pemerintah daerah : lembaga yang menangani penanggulangan bencana bisa setara dengan dinas-dinas yang lain, sehingga ia mempunyai kewenangan untuk menyusun program dan mendapatkan alokasi anggaran dari APBD. Berbicara tentang bencana, tingkat risikonya sangat ditentukan oleh tingkat kerentanan dan kapasitas yang ada di masing-masing wilayah. Di daerah yang tingkat
11
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
kerentanannya tinggi, risikonya juga lebih tinggi. Di sisi masyarakat sendiri, masyarakat miskin dan perempuan serta anak-anak masuk dalam kategori kelompok rentan. Dengan demikian, berbicara tentang perspektif PRB dalam kebijakan perencanaan dan penganggaran, sekaligus juga bicara tentang perspektif pengurangan kemiskinan dan keadilan gender dalam perencanaan dan penganggaran. Apabila perspektif pengurangan kemiskinan dan keadilan gender masih menjadi persoalan bagi aparatur pemerintah daerah, maka integrasi PRB dalam perencanaan dan penganggaran daerah juga menjadi persoalan. Harus diakui bahwa hal ini menjadi salah satu kerentanan pemerintah daerah dalam perencanaan dan penganggaran yang responsif PRB. Hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah terkait dengan upaya-upaya penanggulangan bencana adalah mengimplementasikan perencanaan dan penganggaran PRB. Kenyataannya masih ada beberapa aparat pemerintah daerah yang justru merasakan kebingungan atas penerapan perspektif PRB dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Hal ini terjadi salah satunya karena perspektif lain seperti keadilan gender dan pengurangan kemiskinan juga harus menjadi perspektif dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Ini adalah permasalahan “menjahit” perspektif satu dengan perspektif yang lainnya untuk menjadi perspektif dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Diharapkan akhirnya ada kesepahaman bahwa kesemua isu pokok tersebut bisa menjadi perspektif dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Di sisi lain, dokumen perencanaan pembangunan
12
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
daerah, baik itu RAD PRB maupun RPJMD mestinya dijabarkan dalam program dan kegiatan yang tertuang dalam setiap penyusunan APBD. Namun sampai saat ini masih belum ada kesamaan pemaknaan pengintegrasian PRB dalam perencanaan dan penganggaran. Sebagai contoh, program penghijauan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan mereka katakan sebagai program untuk PRB. Padahal, untuk menilai satu program merupakan jabaran perspektif PRB atau bukan maka harus dilihat terlebih dahulu peta ancaman yang ada serta lokasi serta luasan cakupan lahan program reboisasi tersebut. Program reboisasi belum tentu berdampak positif dalam PRB. Logika yang sama berlaku pula untuk program-program pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Pembangunan jalan sejajar garis pantai yang mempunyai potensi ancaman tsunami bukan merupakan langkah PRB. Pembangunan jalan yang sejajar dengan garis pantai justru meningkatkan kerentanan. Lain halnya apabila pembuatan jalan arahnya menjauhi pantai; selain bisa dimanfaatkan untuk transportasi umum, jalan tersebut sekaligus berfungsi sebagai jalur evakuasi. Untuk mendorong terwujudnya perencanaan dan penganggaran daerah yang responsif PRB, masih banyak hal yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik masyarakat, lembaga-lembaga non pemerintah serta pemerintah sendiri. Penerapan perencanaan dan penganggaran daerah yang responsif PRB juga masih berhadapan dengan berbagai kendala, mulai dari kendala di sisi kebijakan, persepsi, sampai ke sikap dan perilaku masing-masing aktor serta kompleksitas proses perencanaan dan penganggaran.
13
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Diperlukan sinkronisasi antara pembenahan kebijakan, penyamaan persepsi, serta perbaikan sikap dan perilaku masing-masing aktor terhadap substansi PRB. Selanjutnya proses perencanaan dan penganggaran perlu diupayakan secara sungguh-sungguh melibatkan berbagai unsur masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah adanya ruang dan mekanisme bagi masyarakat dan lembaga-lembaga non pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap proses perencanaan dan penganggaran serta mengevaluasi penggunaan anggaran publik. Bagan 1.1. Advokasi terpadu
Sumber: diolah dari “Merubah Kebijakan Publik,’ 2000, halaman 39.
14
Analisis PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
Tanpa itu semua maka proses penganggaran sebagai satu kelanjutan proses perencanaan tidak akan optimal. Alokasi anggaran yang berlebih pada pospos yang meningkatkan kerentanan sangat mungkin terjadi. Sangat mungkin juga proses penganggaran hanya memperbanyak penyediaan dana untuk penanganan kedaruratan tanpa mengalokasikan anggaran untuk upaya-upaya pelemahan ancaman dan peningkatan kapasitas. Merujuk buku ‘Merubah Kebijakan Publik” (Topatimasang, dkk., 2000), analisis kebijakan merupakan salah satu metode advokasi yang berada pada level menengah sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut ini: Analisis perencanaan dan penganggaran menjadi bagian penting dalam advokasi level menengah. Proses ini dapat memperkuat proses pengorganisasian dan kampanye yang berada pada level dasar. Selain itu, hasil analisis merupakan bahan lobi dan negosiasi untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Dalam ruang-ruang inilah keberadaan buku ini menjadi penting sebagai bacaan dan alat bantu bagi CBO, CSO, serta aparatur pemerintah daerah. []
15
BAB II INTEGRASI PRB DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
TIDAK KURANG dari 83% wilayah Indonesia diperkirakan merupakan daerah dengan risiko bencana yang tinggi. Indonesia terletak pada persimpangan empat lempeng tektonik sehingga berisiko tinggi terhadap gempa bumi dan tsunami. Indonesia termasuk dalam jalur Pacific Ring of Fire dengan lebih dari 500 gunung berapi tersebar di wilayahnya. Kita ketahui 128 di antaranya adalah gunung berapi yang masih aktif. Selain itu, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, gagal panen, wabah penyakit, dan kelaparan juga kian besar dampaknya di Indonesia. Sejumlah 383 kabupaten/kota dari 440 kabupaten/ kota di Indonesia adalah kawasan dengan kerentanan yang cukup tinggi dengan faktor kerentanan berupa sebaran penduduk yang tidak merata dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi di kota-kota besar. Kota-kota besar yang kepadatan penduduknya tinggi justru memiliki tingkat kerentanan bencana yang tinggi dengan kualitas bangunan dan infrastruktur yang tidak sesuai dengan tingkat ancaman yang ada. Dan yang membuat situasi ini semakin buruk, 98% dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia adalah penduduk yang belum memiliki kesadaran tentang PRB. Ancaman bencana yang sama memiliki dampak bencana yang berbeda pada orang yang berbeda. Pada umumnya, kaum yang lemahlah yang merasakan penderitaan paling berat akibat bencana. Mereka adalah anak-anak, lansia, perempuan, difabel, dan orang miskin. Dari 238,452 juta jiwa populasi penduduk Indonesia, terdapat 15% yang masih berada di bawah
18
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
garis kemiskinan yang ditandai dengan kemampuan konsumsi kurang dari Rp 166.697,00 per kapita per bulan dengan akses terbatas terhadap layanan dasar. Dengan kondisi kemiskinan di atas, kurang lebih 34 juta keluarga di Indonesia berada dalam kondisi rentan terhadap bencana karena kemiskinan. 2.1. Bencana Dan Pembangunan Di Daerah Studi tentang bencana diwarnai oleh hadirnya dua paradigma utama yaitu paradigma perilaku dan paradigma struktural1. Paradigma pertama mendominasi studi bencana pada era 1950-an yang dicirikan oleh pendekatan teknokratis yang antara lain nampak dalam dominasi disiplin ilmu geologi, morfologi, dan seismologi yang mengunggulkan monitoring dan prediksi bahaya. Paradigma hazardcentered ini menyatu dalam wacana kapitalis modern, yang nampak dari cara pandang bahwa alam adalah bagian terpisah dari manusia dan merupakan komoditi yang bisa dikelola dengan pendekatan pengetahuan dan administrasi modern. Karena bencana banyak terjadi di negara berkembang, maka bencana dianggap sebagai bagian kehidupan yang tidak modern yang berujung pada kerentanan dan bahaya. Pendekatan ini juga sejalan dan bergandengan dengan penanganan bencana melalui organisasi dan pendekatan militeristik. 1 Keith Smith, 1999, sebagaimana dikutip dalam Hilhorst, D, “Unlocking Disaster Paradigms : An Actor-oriented Focus on Disaster Response”, Abstract submitted for session 3 of The Disaster Research and Social Crisis, Network Panels of the 6th European Sociological Conference, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-papers/session3/Hilhorst_III_Original.pdf
19
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Selain paradigma perilaku di atas, studi tentang bencana juga diwarnai dengan paradigma struktural yang muncul menjelang era 1980-an, di mana kajian antropologi, sosiologi, dan geografi menyajikan tantangan terhadap pendekatan hazard-centered yang sangat teknokratis ini. Tantangan ini nampak dalam paper yang ditulis oleh Kenneth Hewitt pada tahun 1983. Dalam papernya yang radikal dengan judul “Interpretations of the Calamity from the Viewpoint of Human Ecology”, ia memaparkan bahwa bencana bukan hanya dihasilkan oleh proses geomorfologi saja. Terutama di negara sedang berkembang, faktor struktural seperti meningkatnya kemiskinan, jeratan utang hingga ke persoalan perubahan sosial, mempengaruhi kerentanan manusia dan masyarakat terhadap bencana. Pengantar terhadap kerentanan sosial menjadi jantung pemahaman atas bencana. Inilah yang kemudian memunculkan pemahaman atas keterkaitan antara bahaya dan kerentananan, yang kemudian muncul dalam formula yang sangat terkenal saat ini, Bencana = Ancaman + Kerentanan2. Seiring dengan hadirnya paradigma baru ini, beberapa perspektif baru juga menjadi bagian kajian dan kerja tentang bencana. Salah satunya adalah kajian dimensi gender dalam bencana dan sekaligus juga integrasi perspektif ini dalam kerja penanggulangan bencana. Kehidupan perempuan, seperti halnya laki-laki, diwarnai baik oleh relasi gender dalam konteks budaya tertentu maupun oleh banyak hal lain mulai dari usia, kapasitas fisik, etnik, ras, kondisi, dan status ekonomi, serta banyak hal 2
20
Blaikie, et.al, 1993, sebagaimana dikutip dalam paper yang sama.
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
yang lain. Studi bencana dengan perspektif gender menegaskan bahwa perempuan cenderung menjadi lebih rentan karena ketidakadilan gender memang ada di mana-mana. Dinamika kehidupan keseharian perempuan bisa meningkatkan keterpaparan dalam semua bentuk terhadap kondisi yang tidak aman dan kejadian bahaya. Perempuan juga cenderung memiliki kuasa yang lebih kecil dalam pengambilan putusan di level keluarga, sebagaimana mereka juga relatif tidak terepresentasikan dalam pengambilan putusan politik di tingkat publik. Ketika suara mereka tidak didengar, kebutuhan mereka dalam jangka menengah maupun jangka panjang menjadi tidak diperhatikan. Beberapa kecenderungan perubahan di tingkat masyarakat juga mempengaruhi perempuan. Hal ini bisa dilihat dalam kebijakan privatisasi layanan publik dan juga dalam meningkatnya angka kemiskinan yang berarti juga meningkatnya jumlah perempuan miskin, dan juga berarti menjadi lebih rentan terhadap bencana3. Dalam studi penelusuran perspektif gender dalam penanganan bencana, Enarson dan Meyreles mengatakan, bahwa di seluruh dunia, baik dalam tataran paradigma dan teori, metodologi, dan juga pemilihan populasi dalam studi bencana, cara pandang yang dipakai didominasi oleh cara pandang laki-laki. Perubahan cara pandang dengan menjadikan perspektif gender sebagai pijakan mulai nampak dalam studi bencana dalam dua dasawarsa terakhir. Pada awalnya, studi ini antara lain diwarnai oleh isu 3 Enarson, et.al, (2003), “Working with Women at Risk : Practical Guidelines for Assessing Local Disaster Risk”, International Hurricane Center, Florida International University, June, sebagaimana dimuat dalam http://www.gdnonline.org/resources/WorkingwithWomenEnglish.pdf
21
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
perbedaan sosial dan kesehatan, serta tanggung jawab perempuan dan korelasinya dengan tingginya angka kematian perempuan dalam bencana. Dalam deretan ini, juga nampak kajian terhadap hambatan budaya yang menghalangi akses perempuan pada bantuan dalam masyarakat patriarkis seperti ditunjukkan oleh pengalaman Asia Selatan hingga pengalaman perempuan pekerja sosial dalam lingkungan yang bias gender di Amerika Serikat. Dalam penelusurannya, Enarson & Meyreles juga menunjukkan bahwa studi tentang gender dan bencana memandang gender sebagai konstruk sosial, menekankan perbedaan kuasa di antara laki-laki dan perempuan, serta merefleksikan pendekatan kerentanan sosial dalam mengkaji bencana. Sayangnya, beberapa studi ini gagal membuat analisis yang sistematis dalam mengkaji keterkaitan antara gender dengan kelas, kasta, ras, etnis, umur, dan kemampuan fisik4. Dalam salah satu policy brief DFID yang berjudul “Disaster Risk Reduction : A Development Concern” terungkap pandangan bahwa dalam skala yang besar, bencana adalah konsekuensi logis kegagalan pembangunan yang meningkatkan kerentanan. Kegagalan pembangunan dapat dijumpai dalam semua level, mulai dari tingkat lokal dan nasional, hingga institusi di tingkat global yang sangat dipengaruhi oleh negara-negara adidaya. Dalam policy brief tersebut terurai bahwa proses pembangunan bisa 4 Enarson, E & Meyreles, L, “International Perspectives on Gender and Disaster : Differences and Possibilities”, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-papers/session2/Enarson_Meyreles_II_Original.pdf
22
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
meningkatkan keterpaparan terhadap bahaya. Pertumbuhan kawasan urban yang sangat cepat dan tidak terkelola dengan baik, misalnya, bisa memicu tingginya kerentanan terhadap bahaya seperti banjir dan juga gempa bumi. Kemiskinan yang akut di kawasan urban membuat banyak keluarga tidak bisa membangun rumah yang aman terhadap bahaya karena keterdesakan ekonomi dan lemahnya daya dukung lingkungan. Kemiskinan dan keterpinggiran dalam proses kebijakan juga meningkatkan kerentanan karena banyak kebijakan tidak memperhitungkan kondisi dan kebutuhan orang miskin. Dalam situasi yang sama, lemahnya skema proteksi sosial oleh negara di satu sisi serta menurunnya mekanisme pengamanan informal di sisi yang lain membuat kerentanan semakin meningkat. Inilah potret-potret semakin banyaknya kegagalan pembangunan yang berkorelasi positif dengan peningkatan keterpaparan terhadap bahaya5. Bencana merupakan dampak potensi ancaman yang menjadi nyata dan menimpa masyarakat sehingga muncul kematian, kerusakan dan kerugian jiwa maupun harta. Dampak bencana ditentukan oleh tingkat kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana itu sendiri. Kerentanan merupakan dimensi manusia terhadap bencana. Untuk memahami aspekaspek yang membuat masyarakat rentan terhadap bencana, seseorang harus melihat aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, politik serta faktor-faktor psikologis yang membentuk kehidupan masyarakat 5 Disaster Risk Reduction as Development Concern, DFID, Policy Brief, 2004, sebagaimana dimuat dalam http://www.dfid.gov.uk/pubs/files/ disaster-risk-reduction.pdf
23
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
dan menyusun lingkungan di mana masyarakat berada. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh John Twigg, kerentanan pada dasarnya socially constructed6. Oleh karena itu, bencana yang sama memiliki dampak yang berbeda pada orang yang berbeda. Penelitian-penelitian menyebutkan bahwa pada umumnya kaum yang lemahlah yang merasakan penderitaan paling berat akibat bencana. Mereka adalah anak-anak, lansia, perempuan, difabel, orang miskin, dan mereka yang dipinggirkan secara politik, suku, ras, atau kasta. Kerentanan bencana sekelompok masyarakat bisa berada di level yang tinggi. Tapi mengapa bisa begitu? Hal ini bisa jadi karena pemiskinan dan proses demografi seperti pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan migrasi. Bisa jadi juga karena masalah ekonomi, hukum, dan politik yang menghilangkan hak seseorang atas tanah. Atau juga karena kegagalan penegakan aturan untuk melindungi daerah-daerah konservasi. Yang jelas, ini terjadi karena negara dan institusi masyarakat sipil gagal dalam melindungi masyarakat. Sedemikian tingginya keterkaitan antara pembangunan dan kerawanan di dunia ketiga, bencana sering disebut sebagai ’unsolved problem of development’ atau bahkan secara lebih tajam bencana disebut sebagai ’development failure’.7 Diagram berikut ini menunjukkan bahwa bencana tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan. 6 John Twigg 2001, Physician, Heal Thyself? The Politics of Disaster Mitigation, Benfield Greig Hazard Research Center, University College London. 7
24
Ibid.
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
Bagan 2.1. Pembangunan dan Risiko Bencana
Kebijakan penganggaran adalah kebijakan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan terutama di negara berkembang. Kebijakan penganggaran yang memiliki fungsi alokasi sekaligus fungsi politis turut membentuk distribusi sumber-sumber daya publik di daerah yang dapat memiliki dua dampak sekaligus bagi warga, yaitu dampak insentif dan disinsentif bagi warga dengan kapasitas politik yang berbedabeda. Intervensi kebijakan penganggaran, terutama di daerah-daerah pasca otonomi daerah di Indonesia, turut membentuk kerentanan dan kapasitas warga terhadap bencana karena sebagaimana terpapar pada model di atas, kebijakan pembangunan tidak dapat dilepaskan dari dampaknya terhadap risiko bencana.
25
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
2.2. Kebijakan Anggaran Kebencanaan di Daerah ”Setiap US$ 1 belanja publik untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dapat menyelamatkan US$ 7 dari kerusakan akibat bencana.” United States Geological Survey (USGS)
“Setiap US$ 1 dana publik yang dibelanjakan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana akan menyelamatkan dana sebesar US$ 2 untuk respon keadaan darurat.” The Federal Emergency Management Agency (FEMA)
Kebijakan anggaran memiliki fungsi-fungsi alokasi sumber daya publik, stabilisasi krisis, redistribusi kesejahteraan untuk mengurangi kesenjangan, kontrol untuk melindungi hak-hak warga, politik untuk mensegregasi kepentingan-kepentingan stakeholder di wilayah publik, dan fungsi pengelolaan serta pengawasan bagi birokrasi. Bila fungsi-fungsi di atas dapat berjalan secara optimal, kebijakan APBD akan mampu berkontribusi dalam PRB di daerah. Namun fakta-fakta menunjukkan bahwa kebijakan APBD belum berfungsi memadai sehingga PRB juga belum terkelola dengan baik di daerah. Salah satu contoh, kebijakan pemungutan retribusi pemerintah daerah dapat berperan dalam mengurangi kerentanan. Kebijakan retribusi IMB, retribusi galian-C, atau retribusi
26
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
ijin usaha. Bila dijalankan dengan orientasi PRB yang tegas, retribusi-retribusi ini akan dapat berkontribusi dalam pengurangan kerentanan. Dengan mekanisme retribusi IMB, pemerintah dapat menegakkan building code sehingga rumah-rumah dan fasilitas umum yang dibangun dapat mengurangi risiko jatuhnya korban bila terjadi bencana. Melalui mekanisme retribusi galian-C, pemerintah daerah dapat meregulasi eksplorasi DAS yang aman bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan retribusi ijin usaha, seharusnya pemerintah dapat melindungi warga dari ancaman degradasi lingkungan karena pencemaran atau karena bencana-bencana yang disebabkan oleh industri. Sayangnya, dalam prakteknya sekarang pajak dan retribusi tersebut hanya dipandang sebagai income-generating untuk menyumbang PAD saja. Ringkasnya, kebijakan pendapatan masih belum mempertimbangkan aspek risiko. Selain aspek pendapatan, kebijakan anggaran daerah memiliki aspek belanja dan pembiayaan. Pada sisi belanja, kebijakan anggaran dapat mengalokasikan belanja-belanja publik yang dapat mengurangi ancaman dan meningkatkan kapasitas warga terhadap bencana. Pengalaman warga korban bencana tanah longsor 2008 di Karanganyar menunjukkan bahwa warga di daerah rawan bencana tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk hidup berdampingan dengan ancaman. Tanda-tanda yang ditangkap oleh warga yang muncul sebelum bencana terjadi seharusnya dapat menyelamatkan warga dari kerugian jiwa yang lebih besar. Sayangnya, serangkaian peristiwa seperti hujan berkepanjangan, longsor-longsor kecil, dan bukit yang mengeluarkan air keruh tidak dipahami warga
27
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
sebagai pertanda bahwa mereka harus mengungsi. Dengan menilik UU Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi dan keterampilan terkait penanggulangan bencana, dapat disimpulkan bahwa pemerintah lalai memberikan informasi dan abai untuk mengalokasikan anggaran yang memadai bagi peningkatkan pemahaman warga terhadap risiko bencana. Kebijakan belanja anggaran pembangunan fisik untuk fasilitas-fasilitas umum seharusnya cukup aman untuk dapat menjadi shelter bagi warga ketika terjadi bencana. Namun pengalaman gempa bumi di Indonesia menunjukkan bahwa fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah dan PUSKESMAS tidak cukup memadai untuk menjadi tempat perlindungan yang aman bagi warga saat terjadi bencana. Alokasi belanja anggaran untuk PRB di daerah-daerah rawan bencana lebih banyak terpusat pada pengurangan ancaman, yang berarti alokasi belanjanya lebih banyak untuk pembangunan sarana-sarana fisik seperti tanggul, dam, sabo, dan lain sebagainya. Sementara variabel risiko bencana lainnya seperti kerentanan justru dibiarkan. Bahkan beberapa proyek pembangunan justru meningkatkan kerentanan warga. Contohnya adalah pembangunan jembatan di Kulonprogo yang berimplikasi pada berubahnya pola aliran sungai sehingga berdampak pada kekeringan saluran irigasi. Atau proyek ‘semenisasi’ telaga di Gunung Kidul yang berdampak lebih cepatnya penyusutan volume air telaga di musim kemarau. Aspek kapasitas warga adalah aspek yang selalu
28
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
terlupakan dalam kebijakan belanja anggaran daerah. Pemerintah daerah hampir tidak memiliki program yang memadai untuk meningkatkan kapasitas warga terhadap bencana. Aspek kapasitas ini meliputi kelembagaan sosial yang kuat, pemahaman yang memadai atas PRB serta modal-modal sosial lain yang dapat terkelola dengan baik melalui program-program pemerintah. Contoh konflik-konflik horizontal pada saat pelaksanaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi rumah paska gempa di Bantul dan paska tsunami di Aceh menunjukkan bahwa program pemulihan pasca bencana bisa menimbulkan dua dampak sekaligus; berkurangnya kerentanan warga karena meningkatnya daya tahan rumah terhadap gempa maupun berkurangnya kapasitas warga karena konflik horizontal. Tabel 2.1. Kebijakan Penganggaran yang Berkontribusi pada Kerentanan
Pendapatan
Komponen APBD
Kerentanan
Kapasitas
1. Retribusi pelayanan kesehatan, retribusi PKL, dan retribusi pasar merupakan penyokong terbesar PAD, mengurangi akses orang miskin terhadap layanan dan sumber daya publik. 2. Retribusi ijin usaha yang murah bagi perusahaan ekstraktif meningkatkan kerentanan warga karena kelestarian lingkungan terganggu. 3. Kebijakan pajak galian-C dan retribusi IMB hanya untuk income generating bukan sebagai mekanisme kontrol untuk mengurangi kerentanan.
1. Retribusi pelayanan kesehatan, PKL dan pasar merupakan penyokong terbesar PAD, sumber pendapatan ini mengurangi kesejahteraan orang miskin dan meningkatkan kerentanan orang miskin. 2. Bila retribusi terkait ijin usaha dan ekstraksi sumber daya alam disertai kontrol yang memadai maka item-item pendapatan tersebut dapat mengurangi risiko bencana.
29
Meredam Risiko Bencana
Pembiayaan
Belanja
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
30
1. Rendahnya partisipasi warga dalam kebijakan belanja menimbulkan kerentanan karena akses dan kontrol warga terhadap sumber daya publik rendah. 2. Kecenderungan pendekatan penanganan bencana yang reaktif (melalui alokasi dana tak tersangka) membuat akuntabilitas dana kebencanaan rendah. 3. Beberapa proyek penanggulangan bencana dalam dana tak tersangka justru bukan untuk kedaruratan namun sengaja dimasukkan dalam pos dana tak tersangka agar tidak memerlukan tender dalam pengadaan barang dan jasanya. 4. Proyek-proyek pembangunan fisik dibangun tanpa analisis risiko bencana yang memadai sehingga meningkatkan ancaman warga. 5. Kebijakan belanja meningkatkan disparitas kesejahteraan warga sehingga menimbulkan ancaman bencana sosial. 6. Belanja aparat dalam pos anggaran untuk PRB sangat tinggi hingga 70%-80%.
1. Tidak ada program yang memadai untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan warga dalam menghadapi bencana. 2. Tidak ada program bagi warga untuk memetakan ancaman di sekitarnya. 3. SKPD-SKPD belum menggunakan perspektif PRB dalam Renja SKPD
1. Dana utang luar negeri menjadi alternatif yang digemari oleh pemerintah daerah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. 2. Investasi yang merugikan daerah dapat meningkatkan kerentanan.
1. Kebijakan pembiayaan tidak dimanfaatkan untuk menyiapkan dana cadangan yang akumulatif sehingga pemerintah daerah dapat memiliki sumber pendanaan yang memadai bila terjadi bencana.
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
2.3. Politik Anggaran Daerah dan PRB Dana publik dalam APBD adalah sumber daya publik yang terbatas jumlahnya. Keterbatasan ini menimbulkan kelangkaan sehingga dibutuhkan kuasa (power) untuk mengaksesnya. Sistem dan kebijakan penganggaran daerah di Indonesia diatur oleh UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003. Dalam sistem ini diakui ada empat pendekatan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Keempat pendekatan itu adalah pendekatan politik, pendekatan birokrasi, pendekatan teknokratis, dan pendekatan partisipatif Bagan 2.2. Pendekatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran
Aktor -Aktor Pendekatan Politik (KDH, DPRD, Parpol, dll)
Aktor -Aktor Pendekatan Partisipatif (Warga, CSO, NGO, dll)
Dokumen Perencanaan Strategis dan APBD
Aktor -Aktor Pendekatan Teknokratik (BAPPEDA & SKPD lain)
Aktor -Aktor Pendekatan Birokratik (Top-Down)
31
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pendekatan politik diwakili oleh mekanisme pemilihan kepala daerah dan DPRD yang langsung. Dalam pendekatan ini, kepala daerah dan DPRD memiliki kewenangan yang kuat menentukan arah kebijakan anggaran. Pendekatan birokrasi atau pendekatan top-down dan bottom-up terwujud dalam keharusan pemerintah daerah mengacu pada kebijakan pemerintah pusat, sebagaimana SKPD harus mengacu pada kebijakan bupati sebagai kepala daerah. Pendekatan teknokratis diwakili oleh kewenangan BAPPEDA untuk menyusun kebijakan perencanaan pembangunan daerah atau juga nampak dalam kewenangan SKPD untuk menyusun rencana strategis SKPD. Yang terakhir adalah pendekatan partisipatif yang diwakili oleh keberadaan MUSRENBANG dari tingkat desa hingga kabupaten. Pada prakteknya, keempat pendekatan ini sering saling meniadakan. Dengan tingkat kuasa yang berbeda, maka akses dan kontrol masing-masing aktor dari keempat pendekatan terhadap sumber-sumber dana publik dalam APBD pun berbeda. Pendekatan partisipatif biasanya menjadi pendekatan yang paling terpinggirkan dalam penentuan arah kebijakan APBD. Ketika setiap risiko bencana terdistribusikan secara berbeda di dalam masyarakat dan kerentanan merupakan sebuah konsep yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor itu adalah akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya publik. Perbedaan akses dan kontrol terhadap sumbersumber daya publik ini turut membentuk ketahanan sebelum terjadi bencana dan pasca bencana.
32
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
Perempuan, lansia, masyarakat adat, anak-anak, dan gender minoritas lainnya adalah bagian masyarakat yang memiliki akses dan kontrol terlemah terhadap sumber-sumber daya publik. Kerentanan mereka terhadap bencana pun semakin tinggi. Minusnya keterlibatan mereka dalam penentuan kebijakan penganggaran akan mengakibatkan kebijakan pemungutan dan belanja publik justru meningkatkan kerentanan kaum lemah terhadap bencana. 2.4. Tantangan Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Di Daerah Implementasi integrasi PRB dalam perencanaan dan penganggaran masih memiliki tantangan. Hal ini terutama karena masih banyak sekali peraturan penanggulangan bencana dan perencanaan pembangunan serta penganggaran yang harus disinergikan.
33
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel 2.2. Peraturan yang Terkait dengan Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah Penanggulangan Bencana
Perencanaan Pembangunan
Penganggaran
Kelembagaan
Tata Ruang
UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara
UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
• PP 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan PB • PP 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana • Perpres 8 Tahun 2008 tentang Badan Penanggulangan Bencana Nasional
• PP 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
• PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
• PP 38 Tahun 2005 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota • PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat daerah
• PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional
• Peraturan Daerah Struktur Organisasi dan Tata Kerja
• Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah
• Draft Peraturan Pedoman PRB • Draft Peraturan Pembentukan BPBD
Peraturan-Peraturan Daerah Penanggulangan Bencana misalnya tentang BPBD
• Peraturan Daerah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. • Peraturan Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah • Peraturan Daerah Rencana Kerja Pemerintah Daerah
• Permendagri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah • Permendagri 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
• Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah • Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi daerah
Selain itu, ada inkonsistensi antar produk-produk hukum kebencanaan, perencanaan pembangunan dan penganggaran. Aturan-aturan turunan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga belum lengkap diterbitkan. Matriks di bawah ini menunjukkan gambaran ketidakharmonisan antar dokumen-dokumen legal ini.
34
Struktur APBD tidak siap mengadopsi dana siap pakai.
Perpres No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Penanggulangan Bencana Nasional
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Struktur APBD tidak siap mengadopsi dana siap pakai serta dana kontinjensi. Dana berpola hibah memiliki akuntabilitas yang lemah.
Ada perbedaan antara RD PB dengan RAD PRB yang sudah ada.
PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan PB
Ada perbedaan antara kebutuhan dana cadangan bencana dengan prinsip anggaran kinerja.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
Upaya PRB belum sinergis dengan dokumen perencanaan daerah.
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Struktur APBD tidak siap mengadopsi dana siap pakai serta dana kontinjensi. Dana berpola hibah memiliki akuntabilitas yang lemah.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No. 59 Tahun 2007
Tabel 2.3. Dokumen Legal Penanggulangan Bencana Versus Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran
Aturan ini tidak cukup memberi ruang dalam urusan dan struktur pemerintah daerah untuk BPBD.
PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
35
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Berdasarkan pasal 9 UU PB No. 24 Tahun 2007, wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan kebijakan penanggulangan bencana di wilayahnya yang selaras dengan kebijakan pembangunan daerah. Penetapan kebijakan ini juga meliputi pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsurunsur penanggulangan bencana. Namun masalahnya adalah sebagian besar daerah belum memiliki kesadaran yang memadai untuk mengarusutamakan PRB dalam kebijakan perencanaan pembangunannya, selain belum adanya keharmonisan rujukan legal integrasi PRB dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Sementara itu, sebagai rujukan dalam mengarusutamakan PRB, pemerintah daerah memerlukan peta risiko bencana yang terdiri dari peta ancaman, peta kerentanan, dan peta kapasitas. Hasil amatan menunjukkan bahwa sangat sedikit daerah yang memiliki peta yang memadai. Beberapa daerah bencana dengan asistensi teknis dari NGO internasional telah merumuskan RADPRB. Namun, rencana tersebut memiliki perbedaan dengan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Bencana. Laporan dari daerah-daerah itu juga menyatakan bahwa RPJMD dan RKPD belum cukup terinspirasi oleh RAD PRB. Alasannya adalah karena RAD PRB tidak memiliki legalitas yang memadai untuk dirujuk meskipun dokumen ini sah dan memadai sebagai dokumen rencana multipihak daerah untuk PRB. PRB juga belum menjadi arus utama dalam
36
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
penganggaran di tingkat SKPD. Artinya, kebijakan pendapatan dan belanja SKPD yang bertangung jawab atas urusan-urusan sektoral tertentu belum memiliki nuansa PRB. Selain disebabkan oleh tingkat pemahaman tentang PRB yang belum memadai, salah satu faktor utama adalah orientasi strategis kebijakan program SKPD belum sensitif PRB. SKPDSKPD menganggap bahwa urusan PRB adalah urusan SKPD khusus untuk kedaruratan seperti Satpol PP atau Kesbanglinmas. Dalam tataran yang lebih spesifik, urusan PRB tidak terakomodasi secara memadai dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Aturan-aturan ini tidak memasukkan secara khusus urusan PRB sebagai salah satu urusan wajib daerah. Hal ini membuat pemerintah daerah kesulitan untuk menjalankan salah satu amanat UU No. 24 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang akan menjadi badan yang secara spesifik mengampu urusan kebencanaan di daerah. Pendek kata, PRB tidak ada dalam urusan wajib pemerintah daerah dan BPBD tidak dikenal dalam organisasi perangkat daerah. PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana mengamanatkan jenis dan sumber pendanaan penanggulangan bencana di Indonesia. Peraturan ini mendefinisikan dana penanggulangan bencana sebagai dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, tanggap darurat, dan atau pasca bencana. Dana penanggulangan bencana pada tahap
37
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
prabencana dialokasikan untuk kegiatan dalam situasi tidak terjadi bencana dan terdapat potensi terjadinya bencana. Sementara itu, dana penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tabel 2.4. Jenis dan Sumber Pendanaan bagi Penanggulangan Bencana No. 1
2
38
Jenis Dana Kontinjensi Bencana
Sumber APBN
Dana PB
APBN / APBD
Deskripsi • Dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan bencana tertentu yang disediakan untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana. • Dana PB yang telah dialokasikan dalam APBN atau APBD untuk masingmasing instansi / lembaga terkait (pasal 15 PP 22/08). Dana PB yang telah dialokasikan dalam APBN atau APBD untuk masing-masing instansi / lembaga terkait (pasal 15 PP 22/08).
Problem PP 22/2007 tidak mengatur dengan tegas pencairan, pengelolaan dan pertangungjawaban dana ini. Bila dana ini dilaksanakan dengan skema yang mirip dana dekonsentrasi maka akuntabilitasnya akan buruk.
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
3
Dana Siap Pakai
APBN / APBD
Dana yang harus selalu tersedia dan dicadangkan oleh pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan waktu tanggap darurat berakhir. Dana ini disediakan dan ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat. Pemerintah daerah dapat menyediakan dana siap pakai dalam anggaran penanggulangan bencana yang berasal dari APBD yang ditempatkan dalam anggaran BPBD.
Pencairan dana, penggunaan dana, audit, dan pertanggungjawaban keuangannya belum jelas, terlebih yg menyangkut pengadaan barang dan jasa (procurement). Pembelanjaan dana ini tidak memiliki nomenklatur yang jelas; satu-satunya rekening yang tersedia adalah rekening dana tak terduga yang akuntabilitasnya rendah dan sarat dengan beban politis. Bila dana ini dicairkan dalam keadaan darurat maka prosedurnya rumit dan lama. Dana siap pakai yang bersumber dari APBD belum ada aturannya, item anggaran ini dikhawatirkan menimbulkan kerentanan karena alokasinya mengurangi anggaran kesejahteraan sosial.
39
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
3
Dana Bantuan Sosial Berpola Hibah
APBN
Dana yang disediakan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai bantuan penanganan pasca bencana. Untuk memperoleh dana ini, pemerintah daerah mengajukan permohonan tertulis kepada pemerintah pusat melalui BNPB
Pengalaman menunjukkan akuntabilitas dana ini buruk karena masalah misalokasi dan vested-interest birokrasi yang menyalurkan dana ini.
Skema pendanaan di atas memiliki masalah tersendiri untuk tiap-tiap fase kebencanaan. Pada fase tiada bencana, dana kontinjensi yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan bencana tertentu akan memiliki masalah akuntabilitas yang tinggi bila skema pengelolaannya mirip dana tak tersangka. Dana ini merupakan dana pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui mekanisme tugas pembantuan sehingga pengawasan dan pertanggungjawaban dana ini langsung kepada pemerintah pusat. Dengan intensitas pengawasan yang rendah dan volume dana yang tidak terlalu besar bagi pemerintah pusat maka dana ini tidak akan mendapatkan perhatian yang memadai dalam pengawasan. Problem-problem ketidakcocokan proyek dana kontinjensi dengan kebutuhan warga
40
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
juga akan muncul karena mekanisme partisipasi dalam pelaksanaan program ini terkendala oleh jenjang struktur dan jarak yang signifikan. Masalah lain dari dana ini adalah ketidakmampuannya untuk steril dari vested-interest penguasa daerah. Pada fase respon kedaruratan, dana siap pakai memiliki masalah berupa ketiadaan nomenklatur anggaran pembelanjaan dana ini. Ketiadaan nomenklatur ini membuat dana siap pakai hanya bisa dikeluarkan melalui rekening belanja tak terduga yang akuntabilitasnya rendah karena pengadaan barang dan jasanya dilakukan tanpa melalui tender sesuai Perpres No. 80 Tahun 2003. Pencairan dana untuk rekening dana tak terduga pun akan makan waktu lama karena BPBD harus meminta ijin pencairan ke Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah dan kemudian Kepala Daerah harus mendapatkan ijin dari DPRD untuk mencairkan dana ini. 2.5. Strategi Pengarusutamaan PRB dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran UU PB No. 24 Tahun 2007 telah disahkan. Peraturanperaturan baru sebagai turunan UU ini pun sudah mulai disiapkan. UU PB ini merupakan adopsi dari Hyogo Framework of Action (HFA), sebuah konsensus internasional tentang strategi penanggulangan bencana. Sebagai sebuah konsensus internasional, HFA bersifat universal dan layak diadopsi oleh semua negara. Namun sayangnya HFA memiliki kelemahan karena bersifat top-down dan akan membutuhkan banyak penyesuaian untuk implementasinya. Salah satu tantangannya adalah membangun
41
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
sinergi substansi HFA dengan sistem dan kebijakan penganggaran di Indonesia. Berikut ini adalah contoh pelaksanaan implementasi strategi PRB di daerah. Box 2.1. Pelaksanaan Implementasi Strategi PRB Di Kabupaten Bantul 16 Des 2009 Bantul Rawan Bencana, Bantul Akan Bentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah Letak Kabupaten Bantul yang rawan terhadap ancaman bencana memang menjadi perhatian khusus. Setelah bencana gempa bumi di tahun 2006 semua menjadi sadar bahwa diperlukan manajemen bencana yang baik agar bisa meminimalkan jumlah korban. Untuk itu sudah saatnya diperlukan suatu Badan khusus di Bantul yang menangani penanggulangan bencana sehingga semua bisa terkoordinir dengan baik seandainya ada bencana. Demikian hal yang mengemuka dalam sosialisasi dan orientasi Percepatan Pembentukan BPBD Kabupaten Bantul yang diselenggarakan di Grand Palace Hotel, Rabu (16/12). Acara ini diikuti oleh berbagai Dinas/Instansi, LSM, serta elemen masyarakat lainnya. Bayangkan dengan bencana gempa 5,9 SR saja ribuan masyarakat Bantul yang menjadi korban sekaligus menghancurkan bangunan-bangunan rumah dan fasilitas umum dan pemerintahan. Sedangkan di Jepang belum lama ini ada gempa 7,5 SR namun jumlah korban hanya 4 orang. Hali ini menunjukkan bahwa kesiapansiagaan kita menghadapi bencana masih sangat kurang, tutur Sekda Bantul, Drs.Gendut Sudarto, Kd Bsc, MMA
42
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
saat menjadi salah satu narasumber dalam acara tersebut. Untuk itu Sekda menegaskan bahwa Kabupaten Bantul berusaha melakukan pengurangan resiko bencana. Diantaranya dengan melakukan revisi terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD) 2006-2010 dengan mengadopsi pokok-pokok pikiran mengenai Pengurangan Resiko Bencana. Perubahan RPJMD Kabupaten Bantul memuat analisis kawasan rawan bencana. Dalam perubahan RPJMD terdapat tambahan misi yaitu mempercepat pemulihan kondisi, budaya ekonomi melalui pengembangan ekonomi lokal berwawasan lingkungan yang tangguh pasca gempa bumi 27 Mei 2006 serta mewujudkan ketahanan Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam menghadapi resiko bencana, kata Gendut Sudarto. Gendut menambahkan bahwa langkah-langkah Pengurangan Resiko Bencana ( PRB) yang sudah dilakukan diantaranya pemasangan sirine ( EWS) di sepanjang pesisir selatan, pembuatan peta bahaya, sosialisasi di tingkat komunitas, sosialisasi di sekolah, memfasilitasi masyarakat menyusun SOP desa, RT dan Keluarga, membentuk kelompok-kelompok PRB di masyarakat, membuat jalur evakuasi bersama masyarakat, pemasangan rambu-rambu petunjuk arah evakuasi, tsunami drill, penguatan Kelembagaan BPBD. Kepala Kesbangpol Linmas Kabupaten Bantul, Jundan SH menggarisbawahi segera dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BPBD). Sudah saatnya dibentuk di Kabupaten Bantul, mengingat peta tingkat kerawanan bencana di Bantul sangat tinggi, ada 9 jenis macam bencana yang siap terjadi di Bantul. Sehingga perlu persiapan guna menanggulanginya, katanya.
43
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Sementara itu Assek I Sukardiyono, SH dalam paparanya tentang pembentukan kelembagaan BPBD menjelaskan bahwa lembaga ini perlu dibentuk di daerah sesuai dengan penjelasan peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun 2008, yang mensyaratkan bahwa suatu daerah diharapkan membentuk BPBD apabila minimal sudah pernah terjadi musibah bencana yang skalanya nasional. (nurcholis) http://www.google.co.id/#q=%27Perubahan+RPJM D+Bantul+pengurangan+risiko+bencana&hl=id&sta rt=0&sa=N&fp=c1d3b844b1f09bcd
Tabel 2.5. Aras Strategi Integrasi PRB dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Aras Sistemik
Prosedural
Kelembagaan
Perilaku
44
Definisi Strategi yang mencakup dan terkait dengan hal-hal yang strategis yang mengubah cara kerja sistem secara keseluruhan; contohnya dibuatnya kebijakan-kebijakan baru yang menjamin PRB dalam kebijakan publik di daerah atau dibuatnya perencanaan untuk PRB. Strategi yang terkait dengan tata cara, mekanisme, dan prosedur pelaksanaan kebijakan publik di daerah agar lebih sensitif PRB. Contohnya adalah pembuatan Renja SKPD yang sensitif PRB atau MUSRENBANG yang memetakan risiko bencana sebagai salah satu basis informasinya. Strategi yang terkait dengan struktur pemerintahan daerah, seperti perubahan tugas pokok dan fungsi SKPD agar lebih sensitif PRB. Strategi yang terkait dengan perubahan perilaku stakeholder dalam meningkatkan sesitivitas terhadap PRB; misalnya peningkatan kapasitas penentu kebijakan terkait dengan PRB.
Integrasi PRB Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Daerah
Bagan 2.3. Alur Perencanaan dan Penganggaran Dalam Kaitannya Dengan PRB
Sinergisitas UU No. 24 Tahun 2007 dengan sistem dan kebijakan penganggaran di Indonesia sangatlah penting. Terutama untuk menjamin adanya pengarusutamaan PRB dalam kebijakan penganggaran di Indonesia dan juga untuk menjamin berjalannya RAD PRB dapat terdanai dengan baik oleh anggaran publik di daerah. Secara ideal, sinergisitas UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional akan nampak pada bagan di atas. Sedangkan pada bagan di bawah ini digambarkan format ideal sinergisitas PRB dalam urusan wajib dan urusan pilihan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
45
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Bagan 2.4. Rencana Kerja dan Pendanaan
46
BAB III PEMETAAN RISIKO BENCANA UNTUK PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PUBLIK
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
1. Proses Pemetaan Masalah dan Kebutuhan Oleh Masyarakat DALAM tataran yang ideal, proses pemetaan ancaman, kerentanan, dan kapasitas dilakukan bersama dengan warga. Mengapa demikian? Wargalah yang akan berhadapan langsung dengan bencana ketika bencana datang. Wargalah pihak yang paling dekat dan bisa menyelesaikan masalah sendiri pada saat bencana datang. Warga jugalah yang mampu melakukan antisipasi agar risiko bencana bisa diredam.
Pemetaan masalah dan kebutuhan oleh masyarakat; warga melakukan diskusi pemetaan ancaman (foto atas), dan hasil pemetaan ancaman oleh warga (foto bawah).
48
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
Untuk melakukan pemetaan masalah warga, perlu diperhatikan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemetaan. Warga masyarakat terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di dalamnya juga tercakup kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan difabel yang perlu mendapat perhatian khusus. Pemetaan masalah dan kebutuhan warga dibedakan menjadi dua yaitu: a. pemetaan spasial atau pemetaan berdasarkan geografis kewilayahan misal berdasarkan RT / RW, dusun, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau pulau. b. pemetaan sektoral berdasarkan sektor pembangunan seperti perekonomian, pertanian, kesehatan, atau pendidikan. Kedua pemetaan tersebut bisa dipadukan dengan mempertemukan warga berdasarkan cakupan geografis tertentu lalu memetakan masalah dan kebutuhan mereka dalam kelompok sektoral. Dengan pemetaan ini diharapkan : a. warga memiliki peta ancaman yang ada termasuk masalah hak dasar yang dihadapi warga b. warga memiliki peta kerentanan dan kapasitas yang dimiliki warga serta pemerintah c. warga mengetahui pilihan upaya yang bisa dilakukan warga dan pilihan upaya yang bisa dilakukan negara d. warga menemukan rekomendasi untuk perencanaan dan penganggaran terkait dengan pengurangan risiko bencana.
49
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Bagan 3.1. Alur Pemetaan Masalah dan Kebutuhan Pemenuhan Hak Dasar Warga
50
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
Memetakan permasalahan dan kebutuhan warga bukan merupakan hal baru bagi warga. Hal ini bisa dimengerti karena dalam forum-forum warga untuk membahas program pembangunan dusun terlebih dahulu dilakukan pemetaan permasalahan dan kebutuhan. Namun di banyak tempat, pemetaan secara terstruktur terkait dengan kebencanaan merupakan hal yang baru bagi warga. Kejadian bencana gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006 telah menyadarkan masyarakat terhadap potensi ancaman yang ada di wilayah mereka. Hal inilah yang mendorong warga untuk mengetahui potensi ancaman yang ada di wilayah mereka. Pemetaan potensi ancaman, risiko, kerentanan, dan kapasitas merupakan langkah awal untuk melakukan upayaupaya pengurangan risiko bencana. Tabel 3.1. Peta Potensi Ancaman Bencana di Kabupaten Bantul No.
Jenis Ancaman
1
Gempa bumi
Penyebab
Pergeseran lempeng bumi.
Risiko yang ditimbulkan a. Terjadinya longsor. b. Robohnya rumah. c. Kematian, dan kerugian lain.
Wilayah yang rentan
17 Kecamatan
51
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
2
3
4
5
6
52
a. Penggundulan hutan b. Pembuangan sampah ke sungai c. Buruknya saluran air d. Pendangkalan sungai
a. Rusaknya bangunan. b. Rusaknya jembatan. c. Lumpuhnya fasilitas umum.
Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, Kecamatan Srandakan, Kecamatan Imogiri.
Kekeringan
a. Musim kemarau panjang. b. Penggundulan hutan.
Kerusakan ekonomi (pertanian lumpuh) dan kekurangan air bersih.
Kecamatan Piyungan, Kecamatan Pleret, Kecamatan Dlingo, Kecamatan Pundong, Kecamatan Imogiri.
Angin ribut
Perbedaan suhu dan tekanan di udara.
Kerusakan bangunan dan robohnya pepohonan.
17 kecamatan
a. Kerusakan lahan pertanian. b. Kerusakan perkebunan. c. Kerusakan bangunan d. Jatuhnya korban manusia.
Kecamatan Piyungan, Kecamatan Dlingo, Kecamatan Pleret, Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Pundong.
Kerusakan lahan pertanian. a. Kerusakan perumahan b. Jatuhnya korban manusia.
17 kecamatan
Banjir
Tanah longsor
Kebakaran
a. Hujan deras di wilayah perbukitan. b. Tidak cukup tanaman penyangga. c. Daerah penambangan yang tidak dikelola dengan baik. a. Cuaca kering musim kemarau. b. Hubungan pendek arus listrik. c. Pembakaran lahan tebu.
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
7
8
Erosi sungai
a. Tidak ada talud b. Tidak ada tanaman pelindung, c. Adanya penambangan pasir yang tidak terkendali.
Luas lahan pertanian berkurang, sektor pertanian merugi.
Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Jetis, Kecamatan Srandakan, Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Pajangan.
Tsunami
1. Struktur kawasan pantai yang datar. 2. Wilayah Kabupaten Bantul yg rawan gempa
Jatuhnya banyak korban manusia, juga bangunan dan infrastruktur rusak.
Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, dan Kecamatan Srandakan.
Kerusakan ekologi
Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, dan Kecamatan Srandakan.
Jatuhnya korban jiwa manusia.
17 kecamatan
Kerugian negara, terkikisnya solidaritas dan rasa saling percaya antar warga.
17 kecamatan
9
Abrasi pantai
Gelombang Laut Selatan
10
KLB / penyakit menular
Wabah dan dampak bencana alam. Pendataan dan pendistribusian bantuan yang tidak tepat sasaran, terjadinya korupsi bantuan untuk korban bencana alam.
11
Konflik sosial
53
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pengalaman masyarakat yang terdeskripsikan di atas dapat kita maknai sebagai kepedulian masyarakat untuk merespon bencana. Paparan di atas menunjukkan kepada kita, bahwa sejak lama masyarakat sudah cukup memahami persoalan kebencanaan, namun selama ini mereka seolah melupakan bahwa potensi ancaman tersebut bisa sewaktu-waktu berubah menjadi bencana. Dan dalam pendekatan berbasis hak asasi manusia di mana negara menjadi pemangku kewajiban penghormatan, perlindungan, pemenuhan, serta pemajuan hak asasi manusia, kebijakan negara memegang peranan penting dalam memunculkan kecenderungan masyarakat yang lupa pada ancaman bencana yang ada. Dengan demikian, jika ada pihak yang memerlukan pemetaan akurat dan obyektif atas persoalan kebencanaan, hendaknya mereka melakukan pemetaan secara partisipatif. Mengapa demikian? Masyarakat adalah pihak yang paling dekat dengan keadaan dan kondisi alam serta segala kemungkinan yang ada di wilayah permukiman mereka. Selain itu, masyarakat juga memahami potensi alam yang ada di sekelilingnya dengan beragam peruntukannya. Mereka juga memahami wilayah mana yang bisa dioptimalkan untuk kepentingan konservasi, ekonomi, sosial, permukiman, serta pembangunan infrastruktur lainnya. Dan ketika bencana terjadi, maka masyarakat di wilayah tersebut yang mengalami dampak langsung bencana.
54
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
2. Penilaian Untuk Memprioritaskan Tindakan Dengan alur pemetaan di atas diharapkan pemangku kepentingan di suatu wilayah maupun di suatu sektor bisa mendapatkan gambaran atas beragam ancaman yang dihadapi. Beragamnya ancaman ini tentu memerlukan penanganan yang spesifik, bertahap, dan menyeluruh dengan skala prioritas dalam penanganannya. Pada akhirnya diharapkan agar pada satu waktu tertentu nanti ancaman yang ada dapat diredam. Upaya peredaman dampak ancaman ini terkait dan perlu mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang ada, misalnya saja keterbatasan alokasi anggaran yang tersedia. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya dan beragamnya ancaman yang ada, maka kita perlu membuat penilaian agar kita bisa memprioritaskan tindakan-tindakan untuk peredaman dampak ancaman. Berikut ini alat bantu sederhana yang akan membantu kita dalam memprioritaskan tindakan peredaman dampak ancaman (Paripurno, 2006).
55
56
1
2
3
No Ancaman Frekuensi
4
5
Potensi Risiko Menurut Subyek dan Sektor Terpapar Total Ekonomi Sosial budaya Infrastruktur Tata Nilai Pemerintahan Nilai Kepemilikan Aset Kesehatan Pendidikan Ekonomi Kelompok Kelompok Kaya Miskin 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Luas Dampak Alam Manusia L P
Tabel 3.2. Tabel Pemeringkatan Risiko Multihazard
Meredam Risiko Bencana
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
3. Alur Perencanaan Penganggaran
Pembangunan
dan
Sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, penyusunan rencana pembangunan dilakukan melalui MUSRENBANG yang melibatkan berbagai pihak. MUSRENBANG dilakukan mulai dari tingkat pemerintah desa di mana sebelumnya dilakukan langkah persiapan yang disebut dengan musyawarah tingkat dusun. Keterlibatan masyarakat dalam MUSRENBANG diharapkan akan menghasilkan perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, perencanaan pembangunan tingkat desa juga harus mengacu pada perencanaan pembangunan pemerintah daerah. Perencanaan pembangunan daerah dibagi dalam tiga jenjang. Yang pertama adalah RPJPD yang merupakan perencanaan pembangunan dalam waktu 20 tahun. Yang kedua, RPJMD yang merupakan perencanaan pembangunan dalam jangka waktu 5 tahun. Yang ketiga adalah rencana pembangunan tahunan yang merupakan perencanaan program, kegiatan, dan anggaran untuk satu tahun. Perencanaan pembangunan tahunan inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi APBD. APBD memuat program, kegiatan, dan alokasi anggaran masing-masing SKPD serta instansi vertikal lainnya.
57
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
4. Mengoptimalkan Sumber Daya untuk Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Perencanaan Pemetaan risiko bencana sangat penting untuk menjadi dasar kebijakan lembaga perencana (BAPPEDA / BAPPENAS) untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada. Upaya ini perlu dilakukan untuk melakukan redistribusi atas sumber daya yang terbatas yang dimiliki oleh suatu daerah / negara. Beberapa metode yang bisa digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya adalah: a. Menggunakan indikator risiko dalam pengalokasian anggaran pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) serta dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten. Pemerintah pusat memiliki kewenangan atas sumber daya yang memadai untuk didistribusikan kepada daerah. Sumber daya itulah yang seharusnya terdistribusi secara adil sehingga kesenjangan antar wilayah bisa dikurangi untuk kemudian ditiadakan. Demikian halnya dengan pemerintah provinsi. Sumber daya yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan didistribusikan kepada pemerintah kabupaten / kota sudah selayaknya ditata dengan menggunakan indikator risiko. Daerah yang memiliki risiko lebih besar seharusnya menerima sumber daya
58
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
yang memadai untuk mengejar kapasitas dan kemajuan daerah lain yang memiliki risiko yang lebih kecil. Kebijakan ini sangat diperlukan mengingat selama ini sumber daya yang ada tidak didistribusikan berdasarkan indikator tertentu. Pun indikator risiko yang terdapat di suatu daerah. Konsep dumta, kependekan dari didum rata (Bahasa Jawa, terjemahan = dibagi rata) masih saja diberlakukan. Akibatnya, kesenjangan spasial antara daerah yang satu dengan daerah yang lain terutama kesenjangan antara daerah yang berisiko tinggi dengan yang daerah yang berisiko rendah, semakin melebar. b. Menggunakan indikator risiko untuk pagu indikatif kecamatan dan pagu indikatif SKPD untuk kecamatan. Pagu indikatif kecamatan sangat berguna bagi pemerintah kabupaten / kota untuk mendistribusikan sumber daya yang ada secara lebih adil dengan indikator tertentu. Kegunaan pagu indikatif kecamatan juga dirasakan oleh pemerintah suatu kecamatan untuk mengukur besaran dana yang akan dialokasikan ke kecamatan yang bersangkutan. Indikator yang dapat digunakan untuk mendistribusikan sumber daya secara lebih adil salah satunya adalah risiko bencana yang ada di suatu wilayah. Berikut ini adalah contoh kebijakan kabupaten yang telah menerapkan
59
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
risiko bencana sebagai salah satu indikator untuk menetapkan pagu indikatif kecamatan. Adalah Kabupaten Gunungkidul di Provinsi DIY yang mencoba mendistribusikan sumber dayanya ke kecamatan berdasarkan risiko bencana yang ada di masing-masing wilayah kecamatan. Dengan menggunakan variabel ‘wilayah bencana’, total dana yang akan dilokasikan ke kecamatan akan dikalikan dengan angka bobot yang diberlakukan untuk kecamatan itu. Pembobotan inilah yang akan dijadikan angka pengali untuk melihat suatu wilayah berisiko tinggi atau tidak. Tabel 3.3. Indikator untuk menentukan Pagu Indikatif Kecamatan ANGKA NO VARIABEL BOBOT BOBOT 1 Luas Wilayah 14 0.13333 2 Jumlah Desa 13 0.12381 3 Jumlah Dusun 12 0.11429 4 Jumlah Penduduk 11 0.10476 5 Jumlah RTM 10 0.09524 6 PDRB Total Berlaku 9 0.08571 7 PDRB Total Konstan 8 0.07619 8 Pertumbuhan PDRB 7 0.06667 Berlaku 9 Pertumbuhan PDRB 6 0.05714 Konstan 10 Indeks Ketimpangan 5 0.04762 11 Status Kecamatan 4 0.03810 (Tertinggal / Tdk Tertinggal)
60
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
12 13 14
Jumlah Sarana Kesehatan Wilayah Bencana Blockgrant Program Jumlah
3
0.02857
2 1
0.01905 0.00952
105
1.00000
Meski memiliki bobot yang kecil, namun pemerintah daerah mulai memerhatikan risiko bencana yang ada di suatu wilayah dalam mendistribusikan sumber daya yang dikelolanya. 5. Advokasi Pemenuhan Hak Dasar Melalui Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebenarnya telah mengatur partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat pemerintah daerah (kabupaten / kota). Begitu juga Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan MUSRENBANG; dokumen ini pun membahas partisipasi warga. Telah ditegaskan bahwa pelaksanaan MUSRENBANG dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap persiapan ini diselenggarakan musyawarah atau rembug warga mulai dari tingkat RT / RW dengan melibatkan berbagai kelompok dan organisasi masyarakat yang ada. Jadwal MUSRENBANGDES harus diumumkan secara terbuka dan pemerintah
61
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
desa harus mengedarkan undangan selambatlambatnya tujuh hari sebelum hari pelaksanaan MUSRENBANGDES. Warga yang tidak mendapatkan undangan bisa mendaftarkan diri sebagai partisipan MUSRENBANGDES. Sayangnya selama ini proses MUSRENBANGDES tidak banyak berbicara dalam dan tentang konteks PRB. Hal ini bisa dipahami karena UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur substansi PRB dalam proses MUSRENBANG. Begitu pula dalam SEB Kepala BAPPENAS / Mendagri yang menjadi pedoman teknis MUSRENBANG; tidak ada keharusan MUSRENBANG membahas PRB. Titik kritis proses perencanaan pembangunan selama ini adalah tidak adanya pembahasan tentang anggaran. Selama ini proses perencanaan dan penganggaran diperlakukan sebagai dua proses yang terpisah. Keduanya belum diperlakukan sebagai satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Padahal hasil-hasil perencanaanlah yang kemudian diadopsi dalam pengalokasian belanja. Kalaupun saat ini dibuat RAN PRB dan banyak RAD PRB, banyak pengalaman menunjukkan bahwa kedua dokumen ini sama sekali tidak terkait dengan proses perencanaan organik. Proses penganggarannya pun terpisah. Yang memprihatinkan, proses penyusunan kedua dokumen ini sebagian besar sama sekali tidak partisipatif. Kedua dokumen di banyak daerah disusun tanpa melibatkan warga. Akibatnya, tidak ada sensitivitas pemerintah dan warga atas PRB dalam perencanaan dan penganggaran apalagi jika lebih jauh dikaitkan dengan pemenuhan hak dasar warga dan keadilan gender. Hal ini meningkatkan
62
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
kerentanan di perempuan).
masyarakat
(terutama
bagi
Pengalaman yang ada menunjukkan bahwa banyak warga masyarakat tidak mengetahui waktu penyelenggaraan MUSRENBANG. Sebagian masyarakat bahkan tidak tahu sama sekali tentang MUSRENBANG. Kalau toh kepala dusun terlibat dalam MUSRENBANGDES, banyak di antara mereka yang tidak paham tentang hal-hal yang harus disampaikan dalam MUSRENBANGDES tersebut. Hal ini terjadi karena sebelumnya tidak ada musyawarah tingkat RT/RW untuk menyusun dan menentukan prioritas kebutuhan. Hasil pelaksanaan MUSRENBANGDES yang tidak melibatkan unsur-unsur masyarakat ini akhirnya menjadi perencanaan dan penganggaran yang tidak didasari oleh kebutuhan masyarakat. Yang diperoleh akhirnya hanyalah perencanaan dan penganggaran yang disusun berdasarkan asumsi pemangku kebijakan pemerintahan desa yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin. APBD merupakan dokumen tahunan perencanaan pembangunan di daerah, namun proses penyusunannya tidak jarang mengesampingkan peran-peran nyata masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak jarang hanya dilakukan dalam taraf yang paling minimal. Ia dilakukan sekadar untuk melengkapi persyaratan minimal yang diatur oleh kebijakan nasional. Kondisi seperti ini mendorong banyak pihak untuk
63
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
mendesakkan kepada pemerintah daerah dan DPRD agar partisipasi masyarakat diakomodasi dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Ruang ini sudah mulai dibuka oleh beberapa pemerintah daerah, kendati belum menjadi model perencanaan dan penganggaran di seluruh dusun dan desa di suatu daerah. Ketika ruang partisipasi untuk masyarakat akhirnya sudah terbuka, tidak banyak yang bisa dilakukan warga masyarakat terutama mereka yang berkemampuan ekonomi lemah, berpendidikan rendah, memiliki akses informasi yang minim, dan hanya memiliki relasi yang masih lemah dengan stakeholder di tingkat desa. Forum-forum warga yang membahas persoalan-persoalan yang ada di wilayah warga, yang juga memetakan kebutuhan penyelesaian masalah dan pengorganisasian masyarakat, kiranya menjadi salah satu upaya antisipasi. Upaya ini bisa dilakukan dengan pengorganisasian masyarakat yang dilakukan secara intens, salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh IDEA Yogyakarta. Setahap demi setahap masyarakat mampu melakukan advokasi untuk perencanaan dan penganggaran yang makin berpihak pada pemenuhan hak warga miskin. Hasil pemetaan masalah dan kebutuhan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam forum-forum warga merupakan aspirasi yang harus didengarkan oleh pengambil kebijakan. Dengan demikian pemenuhan hak warga akan menjadi nafas program pemerintah desa maupun kabupaten / kota. Salah satu cara yang bisa
64
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
ditempuh warga untuk mengupayakan hal ini adalah dengan terlibat dalam MUSRENBANG. Hal ini bisa dipahami karena MUSRENBANG merupakan mekanisme organik untuk menyusun perencanaan dan penganggaran. Namun pada kenyataannya masih banyak pelaksanaan MUSRENBANG yang belum melibatkan masyarakat secara luas. Karena inilah semua pemangku kepentingan perlu mengupayakan agar kelompokkelompok masyarakat bisa terlibat dalam MUSRENBANG mulai dari forum warga tingkat dusun, MUSRENBANGDES, MUSRENBANGCAM, sampai MUSRENBANGKAB. Selain itu, masih ada mekanisme yang juga bisa digunakan agar pemenuhan hak warga masyarakat bisa dimasukkan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Cara itu adalah : mengkomunikasikan masalah dan kebutuhan warga kepada para pengambil kebijakan melalui dialog-dialog dengan pengambil kebijakan dan memasukkan gagasan-gagasan itu dalam dengar pendapat publik pembahasan APBD.
Dialog: warga Kabupaten Gunungkidul melakukan dialog dengan BAPPEDA
65
66
INDIKATOR
TUJUAN
Tahapan Kegiatan
1. Terpetakannya permasalahan warga (dalam kerangka PRB : dimulai dari peta ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko yang dihadapi). 2. Terpetakannya akar penyebab masalah dan dampak.
Memetakan permasalahan dan kebutuhan pemenuhan hak dasar serta menentukan prioritasnya untuk merumuskan strategi advokasi.
Forum warga
1. Adanya kesamaan tujuan. 2. Adanya keterpaduan dan kesepakatan peta masalah dan kebutuhan pemanuhan hak warga serta peta pemangku kepentingan.
Menggalang gerakan advokasi bersama.
Petemuan Jaringan antar CBOs
1. Adanya kesepakatan waktu dan tempat pertemuan antara warga dengan penentu kebijakan daerah.
Menyampaikan peta masalah dan kebutuhan pemenuhan hak dasar warga untuk memengaruhi kebijakan perencanaan dan penganggaran daerah.
Lobi/Dialog/ Hearing dengan Pengambil Kebijakan
1. Mendapatkan dokumen perencanaan dan penganggaran (APBD)
Mereview dan memastikan diakomodasi atau tidaknya usulan warga dalam perencanaan dan penganggaran.
Monitoring dan Evaluasi
1. Adanya rumusan permasalahan dan kebutuhan pemenuhan hak dasar yang belum diakomodasi dalam perencanaan dan penganggaran pada tahun yang bersangkutan.
Forum Warga dan Pertemuan Jaringan antar CBOs Menyusun rekomendasi dan rencana kegiatan ke depan.
Tabel 3.4. Contoh tahapan advokasi kebijakan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan oleh CBOs
Meredam Risiko Bencana
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
KELUARAN (OUTPUT)
3. Adanya kesepakaan untuk prioritas kebutuhan pemenuhan hak dasar. 4. Adanya rumusan strategi advokasi bersama. 5. Adanya rumusan rencana aksi.
Adanya rencana aksi bersama untuk advokasi kebijakan perencanaan dan penganggaran daerah.
3. Adanya rumusan kebutuhan pemenuhan hak dasar. 4. Adanya rumusan prioritas kebutuhan pemenuhan hak dasar. 5. Terpetakannya para pemangku kepentingan. 6. danya rumusan strategi advokasi.
Setiap CBO memiliki peta masalah (berupa peta risiko yang didasari oleh peta ancaman, kerentanan, dan kapasitas), peta kebutuhan pemenuhan hak dasar, serta strategi advokasi.
2. Tersampaikannya rumusan permasalahan dan kebutuhan pemenuhan hak dasar warga kepada pengambil kebijakan. 3. Ada tanggapan, jawaban dari penentu kebijakan yang akan mengakomodasi usulan warga. Adanya komitmen pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) untuk mengakomodasi kebutuhan pemenuhan hak dasar warga dalam perencanaan dan penganggaran. Mengetahui dan menilai tingkat akomodasi perencanaan dan penganggaran atas pemenuhan hak dasar masyarakat miskin.
2. Adanya hasil analisis APBD dan kesimpulan atas hasil analisis tersebut.
Jaringan CBO mempunyai agenda kelanjutan strategi advokasi.
3. Adanya rencana aksi advokasi.
2. Adanya strategi advokasi bersama.
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
67
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Berdasarkan pengalaman selama ini, upaya memasukkan kebutuhan pemenuhan hak dasar warga dalam kebijakan perencanaan dan penganggaran justru lebih efektif dilakukan melalui dialog maupun dengar pendapat (hearing) dengan pengambil kebijakan. Berbagai peta permasalahan dan kebutuhan pemenuhan hak dasar yang disampaikan oleh warga dalam dialog menjadi masukan bagi eksekutif dalam forum SKPD dan akan menjadi masukan bagi legislatif dalam pembahasan RAPBD. Dalam hal ini warga perlu memerhatikan jadwal penyusunan APBD, sehingga upaya yang dilakukan oleh warga bisa sesuai dengan tahapan penyusunan APBD. Apabila upaya warga tidak sesuai dengan tahapan penganggaran, usulan warga tidak bisa dimasukkan dalam pembahasan APBD yang sedang berjalan. Peluang yang tersisa adalah mendesakkan usulan dalam perubahan APBD yang dilakukan pada Bulan September-Oktober setiap tahunnya.
68
2010
2009
2008
Tahun
Pelaksanaan
Pengesahan
Penyusunan
Pertanggungjawaban Perencanaan
Penyusunan Pengesahan Pelaksanaan
Pertanggungjawaban Perencanaan
Pelaksanaan
Tahapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
Bulan 4
5
6
7
Bagan 3.2. Tahapan Penyusunan APBD 8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
69
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
6. Integrasi PRB dalam RPJMD Kabupaten Bantul Penyandingan 2 (dua) dokumen, yaitu hasil pemetaan kerentanan dan risiko yang dilakukan oleh masyarakat dengan perencanaan pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, dapat memperlihatkan bahwa kebijakan perencanaan pembangunan belum mengintegrasikan pengurangan risiko bencana. Kejadian bencana gempa bumi pada 27 Mei 2006 telah menyadarkan masyarakat akan pentingnya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Diharapkan adanya program-program pengurangan risiko bencana dalam kebijakan perencanaan pembangunan daerah akan mengurangi risiko yang akan diterima atas berbagai ancaman yang berpotensi menimbulkan bencana. Hal ini karena masyarakat mengetahui bahwa selama ini pemerintah daerah belum mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam program dan kegiatan pemerintah daerah. Bahkan seperti yang dirasakan oleh masyarakat penyintas gempabumi, respon pemerintah daerah dalam masa tanggap darurat masih jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat penyintas. Ini adalah bukti bahwa bahkan ketika paradigma pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana masih sebatas penanganan tanggap darurat, dalam penanganan tanggap darurat pun belum mempunyai kesiapan yang memadai dari sisi sumber daya maupun sumber dananya.
70
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
Seperti yang ditunjukkan oleh banyak pengalaman, kesadaran akan perlu dan pentingnya upaya-upaya penanggulangan bencana muncul kembali setelah bencana menimbulkan korban dan kerugian. Di tingkat pemerintah daerah sendiri terbukti bahwa selama ini pemerintah daerah tidak pernah mengalokasikan anggarannya untuk program-program penanggulangan bencana. Akibatnya, sewaktu terjadi bencana alokasi anggaran maupun sumber daya yang tersedia tidak mencukupi. Di tingkat masyarakat sendiri ada kecenderungan bahwa masyarakat semakin lupa kearifan-kearifan lokal terkait dengan penanggulangan bencana. dalam kerangka pendekatan berbasis hak, kebijakan negara membawa pengaruh bermakna atas munculnya kecenderungan ini. Masyarakat dan pemerintah daerah seolah melupakan bahwa bencana bisa datang sewaktu-waktu. Pengalaman ini mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian akibat bencana gempa bumi. Keterbatasan sarana dan prasarana di bidang kesehatan dan tidak memadainya ketersediaan serta kapasitas sumber daya memperburuk kondisi penyintas bencana gempa bumi. Upaya memetakan potensi ancaman, risiko, kapasitas dan kerentanan merupakan hal baru bagi masyarakat. Di banyak pengalaman, pemetaan seperti ini belum pernah terlintas di benak masyarakat pada waktu-waktu sebelumnya. Namun pengalaman bencana gempa bumi telah menumbuhkan semangat kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan pemetaan potensi
71
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
ancaman, risiko, kepasitas, dan kerentanan sebagai langkah awal untuk menyusun upayaupaya pengurangan risiko bencana. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, yang bertanggung jawab atas penanggulangan bencana di tingkat daerah adalah pemerintah daerah dan masyarakat. Terkait dengan hak masyarakat dan kewajiban negara, pemerintah daerah sebagai representasi Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi masyarakat, termasuk melindungi dari berbagai potensi ancaman. Kewajiban ini bisa diwujudkan antara lain dengan mengintegrasikan program-program pengurangan risiko bencana maupun penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Belum adanya integrasi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah inilah yang kemudian menumbuhkan semangat beberapa kelompok masyarakat untuk mendorong pemerintah daerah segera memasukkan unsur-unsur pengurangan risiko bencana dalam RPJMD. Hasil analisis RPJMD dan pemetaan ancaman, risiko, kapasitas, dan kerentanan serta peta kebutuhan untuk mengurangi risiko atas potensi ancaman inilah yang menjadi bahan dialog dengan pemerintah daerah yang dalam hal ini biasanya direpresentasikan oleh BAPPEDA. Bagi kelompokkelompok masyarakat, khususnya yang selama ini belajar bersama IDEA, mengajukan permohonan dialog dengan BAPPEDA pun masih merupakan pengalaman baru. Namun karena langkah ini dipetakan strategis untuk mendorong adanya
72
Pemetaan Risiko Bencana Untuk Perencanaan Dan Penganggaran Publik
perubahan kebijakan penanggulangan bencana, masyarakat tetap bersemangat untuk berdialog dengan BAPPEDA Kabupaten Bantul. Rencana kelompok-kelompok masyarakat khususnya di Kabupaten Bantul yang akan mengadakan dialog dengan BAPPEDA Kabupaten Bantul terkait dengan pengurangan risiko bencana disambut baik oleh pihak BAPPEDA. Secara kebetulan Pemerintah Kabupaten Bantul juga mempunyai rencana untuk melakukan perubahan RPJMD Tahun 2005 – 2010. Sekretaris BAPPEDA Kabupaten Bantul yang menanggapi aspirasi yang disampaikan oleh beberapa perwakilan masyarakat berkomitmen untuk mengakomodasi harapan masyarakat dan memasukkannya dalam perubahan RPJMD Kabupaten Bantul. Beberapa usulan masyarakat menjadi pengayaan bagi BAPPEDA Kabupaten Bantul yang akan menyusun Perubahan RPJMD dengan memasukkan unsur pengurangan risiko bencana. Pada tanggal 5 Mei 2008, RPJMD Perubahan Kabupaten Bantul disahkan melalui Perda Kabupaten Bantul Nomor 25 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 15 Tahun 2005 tentang RPJMD Kabupaten Bantul Tahun 2006 – 2010. Dokumen RPJMD Perubahan Kabupaten Bantul 2008 telah memasukkan peta daerah rawan bencana. Hanya saja, peta daerah rawan bencana ini masih sebatas pada peta ancaman yang berpotensi risiko yang dianggap cukup besar, yaitu gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan ancaman di daerah Pantai Selatan. Sedangkan beberapa potensi ancaman lain
73
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
yang juga dipetakan oleh masyarakat seperti angin puting-beliung, kekeringan, abrasi, kebakaran, dan konflik sosial, tidak dimasukkan dalam RPJMD Perubahan Kabupaten Bantul 2008. Terkait dengan kebijakan penanggulangan bencana, dalam RPJMD Perubahan Kabupaten Bantul 2008 ditetapkan bahwa sampai dengan Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Bantul lebih fokus dalam upaya-upaya pemulihan kondisi pasca gempa bumi. Pemulihan ini mencakup pemulihan sektor sosial, budaya, dan ekonomi serta mewujudkan ketahanan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana. Salah satu karakteristik yang akan dicapai adalah proses perencanaan dan pembangunan di Kabupaten Bantul yang berbasis pengurangan risiko bencana. Hal ini dikedepankan sebagai antisipasi agar bencana gempa bumi ---dan juga ancaman bencana lain--- yang menelan korban ribuan jiwa tidak terulang lagi di kemudian hari. Kebijakan penanggulangan bencana dalam RPJMD Perubahan Kabupaten Bantul 2008 perlu ditindaklanjuti dengan perencanaan program, kegiatan serta penganggaran. Untuk itu perlu adanya pengawalan oleh masyarakat dalam perencanaan tahunan melalui MUSRENBANG tingkat desa sampai tingkat kabupaten. Hal ini dperlukan untuk memastikan implementasi atas kebijakan penanggulangan bencana yang terintegrasi dalam perencanaan pembangunan. []
74
BAB IV ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DENGAN PERSPEKTIF PRB
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Dokumen perencanaan pembangunan diatur dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam hierarki dokumen perencanaan pembangunan, RPJMD merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah yang disusun berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJMN. RPJMD ini memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan program SKPD, kebijakan umum dan program lintas SKPD, dan program kewilayahan disertai rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi serta pendanaan yang bersifat indikatif. Adapun penyusunan RPJMD ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan Penyiapan ini dilakukan oleh Kepala BAPPEDA. Rencana awal rencana pembangunan merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan Daerah b. Penyiapan rancangan rencana kerja Kepala SKPD menyiapkan rancangan Renstra SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman pada rancangan awal RPJMD. Renstra SKPD ini ditetapkan dengan peraturan pimpinan SKPD setelah disesuaikan
76
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
dengan RPJMD. Kemudian Kepala BAPPEDA menyusun rancangan RPJMD dengan menggunakan rancangan Renstra SKPD dan berpedoman RPJPD. c. MUSRENBANG MUSRENBANG di daerah dilaksanakan dalam rangka penyusunan RPJMD yang diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara daerah dan mengikutsertakan masyarakat serta diselenggarakan oleh Kepala BAPPEDA. Pelaksanaan MUSRENBANG Jangka Menengah ini dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah pelantikan Kepala Daerah. d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunanan Di daerah, penyusunan rancangan akhir RPJMD dilakukan Kepala BAPPEDA berdasarkan hasil MUSRENBANG Jangka Menengah Daerah. RPJMD ini ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pelantikan Kepala Daerah. RPJM Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang disebut dengan Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun. Mengenai sistematika penulisan RPJMD, kita akan mengacu pada Perubahan RPJMD Tahun 2008 - 2010 Kabupaten Bantul sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No. 25 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah/ Kabupaten Bantul No. 15 Tahun 2005 tentang RPJMD Kabupaten Bantul Tahun 2006-2010 yang disusun dengan sistematika sebagai berikut:
77
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang penyusunan Perubahan RPJMD, maksud dan tujuan penyusunan, landasan normatif penyusunan, hubungan Perubahan RPJMD dengan dokumen perencanaan lainnya, dan sistematika penulisan. BAB II GAMBARAN UMUM DAN KONDISI DAERAH Bab ini menguraikan statistik dan gambaran umum kondisi daerah saat ini dengan maksud menginformasikan keadaan daerah pada berbagai bidang dan aspek kehidupan sosial ekonomi daerah. Kondisi inilah yang akan diintervensi melalui berbagai kebijakan dan program daerah dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam tradisi penyusunan rencana pembangunan berwawasan waktu tiga tahun, statistik kondisi umum daerah yang disajikan dalam bab ini antara lain adalah: 1. Kondisi geografis; 2. Perekonomian daerah, seperti PDRB; sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, sektor kelautan, industri dan perdagangan, potensi sektor unggulan daerah yang dapat dikembangkan dalam rangka memacu laju produksi lokal dan menciptakan lapangan kerja baru, keberadaan sektor informal dan kandungan potensi sumber daya daerah; 3. Sosial budaya daerah, seperti kependudukan dan lapangan kerja utama masyarakat, angka kemiskinan, tingkat pengangguran, angka
78
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
4.
5.
6. 7.
partisipasi kasar dan angka partisipasi murni pendidikan dasar dan menengah dan tingkat ratarata pendapatan masyarakat; Prasarana dan sarana daerah, seperti pola-pola penataan ruang, tingkat kerusakan lingkungan hidup, kondisi jalan dan jembatan, irigasi, perhubungan, cipta karya; Pemerintahan umum, seperti pelayanan catatan sipil, perijinan, pemadam kebakaran, pasar tradisional, ketentraman dan ketertiban umum, PDAM, pelayanan dari kecamatan dan kelurahan/ desa, dan kondisi pelayanan umum pemerintahan lainnya kepada masyarakat setempat; Hasil analisis kewilayahan, seperti potensi dan kendala di Satuan Wilayah Pengembangan (SWP); Analisis ancaman bencana, seperti ancaman bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami. BAB III VISI DAN MISI
Bab ini dimulai dengan penjelasan visi dan diturunkan (diderivasi) menjadi misi kemudian dilanjutkan dengan menjabarkan tujuan masingmasing misi. BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH Dalam bab ini diuraikan mengenai analisis lingkungan strategis, faktor-faktor penentu keberhasilan, langkah-langkah strategs, dan analisis skala prioritas serta strategi (cara mencapai tujuan
79
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
dan sasaran) pembangunan daerah yang dituangkan dalam bentuk kebijakan. BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Bab ini menjelaskan kecenderungan kenaikan dan penurunan pendapatan asli daerah, baik pajak maupun retribusi daerah, termasuk bagian daerah dari laba perusahaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah serta bagian penerimaan daerah yang bersumber dari dana perimbangan serta polapola alokasi belanja untuk setiap bidang pemerintahan dalam serial waktu (time series) sebagai dasar analisis dalam penentuan kecenderungan pola pengelolaan keuangan. BAB VI KEBIJAKAN UMUM Dalam bab ini diuraikan kebijakan umum pembangunan daerah. Selanjutnya ditetapkan prioritas pembangunan daerah dan program serta kegiatannya dalam rangka mengubah kondisi pasca gempa ke arah kondisi yang diinginkan dalam tiga tahun mendatang. BAB VII PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN DAERAH Bab ini memuat uraian tentang program dan kegiatan pembangunan daerah yang selanjutnya dituangkan ke dalam matriks indikasi rencana program dan kegiatan, baik yang akan dibiayai dari
80
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
sumber APBD Kabupaten maupun yang akan dibiayai dari sumber APBD Provinsi dan APBN, sesuai batas kapasitas lokal. BAB VIII PENUTUP Bab ini memuat penjelasan tentang metode pelaksanaan tahunan atas Perubahan RPJMD, mekanisme perencanaan partisipatif secara berjenjang serta evaluasi kinerja dan penyusunan laporan pelaksanaan atas kinerja tahunan dan lima tahunan dengan mengacu pada aturan perundangan yang berlaku dan arahan kebijakan nasional.
Mengkritisi: Warga melakukan analisis terhadap RPJMD Kabupaten Bantul, guna mengkritisi hal-hal yang dianggap tidak berpihak terhadap pemenuhan hak warga.
81
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Selain itu juga dijelaskan kaidah pelaksanaan yang mencakup kejelasan mengenai penjabaran isi Perubahan RPJMD ke dalam Renstra SKPD, Renja SKPD, dan penyusunan RKPD melalui rangkaian forum perencanaan partisipatif serta proses dan mekanisme penyusunan laporan kinerja tahunan. Sebagaimana kita ketahui bersama, dokumen RPJMD merupakan dokumen perencanaan pembangunan 5 tahunan yang harus dijadikan acuan oleh pemerintah kabupaten kota untuk menyusun APBD di setiap tahunnya. Dokumen RPJMD yang penting untuk diperhatikan dalam upaya analisis meliputi isi dokumen RPJMD tentang: 1. Gambaran umum dan kondisi daerah 2. Visi dan misi
82
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
3. 4. 5. 6. 7.
Strategi pembangunan daerah Arah kebijakan keuangan daerah Kebijakan umum Program dan kegiatan pembangunan daerah Kaidah pelaksanaan yang mencakup kejelasan mengenai penjabaran isi Perubahan RPJMD ke dalam Renstra SKPD, Renja SKPD, dan penyusunan RKPD melalui rangkaian forum perencanaan partisipatif serta proses dan mekanisme penyusunan laporan kinerja tahunan.
Analisis RPJMD bisa dilakukan oleh siapa saja, baik secara individu, kelembagaan, maupun dilakukan bersama-sama dengan kelompok masyarakat yang telah terorganisasi. Kelebihan proses analisis yang dilakukan bersama masyarakat adalah ruang untuk melakukan pengecekan silang (cross check) terhadap gambaran umum kondisi wilayah yang dimiliki oleh masyarakat dengan gambaran umum kondisi wilayah yang ada dalam dokumen RPJMD. Selanjutnya pelaksanaan teknis dalam melakukan analisis RPJMD ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan pertemuan untuk persiapan analisis Forum ini membahas ketersediaan materi yang akan dianalisis, alat analisis, alokasi waktu untuk melakukan analisis, alur forum analisis, kebutuhan ATK, estimasi kebutuhan penggandaan materi yang akan dianalisis, kebutuhan makan-minum, pihak-pihak yang menjadi partisipan, waktu dan tempat pelaksanaan analisis, Rencana Anggaran
83
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Belanja Kegiatan (RABK), dan pembagian peran. 2. Pertemuan warga untuk melakukan analisis RPJMD Dalam forum analisis ini, yang perlu dilakukan adalah : menyampaikan maksud dan tujuan forum kepada partisipan, menyampaikan dan menyepakati alur dan waktu analisis, menyampaikan tawaran alat analisis dan mendiskusikan serta menyepakati alat analisis, membagi kelompok untuk melakukan analisis, presentasi kelompok, dan penajaman hasil rumusan kelompok. 3. Menyusun hasil analisis Berdasarkan seluruh hasil pembacaan dan pengkritisan dokumen RPJMD ini, kemudian dilakukan penulisan ulang dengan tidak mengubah substansi hasil yang disepakati bersama. Hasil ini disusun secara utuh sebagai dokumen hasil analisis bersama untuk ditindaklanjuti. 4. Membuat kesimpulan. Setelah isi dokumen RPJMD tersebut dibandingkan dengan kondisi wilayah menurut pemetaan warga, proses selanjutnya adalah perumusan kesimpulan. Kesimpulan itulah yang merupakan hasil analisis yang selanjutnya menjadi bahan untuk menyusun rekomendasi. Komponen penting yang perlu untuk dianalisis adalah: 1. Gambaran umum dan kondisi daerah vs Peta Ancaman, Risiko, dan Kerentanan yang dimiliki oleh masyarakat dan atau pihak lain.
84
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
2. Gambaran umum dan kondisi daerah vs Strategi pembangunan daerah 3. Gambaran umum dan kondisi daerah vs Arah kebijakan keuangan daerah 4. Gambaran umum dan kondisi daerah vs Kebijakan umum 5. Gambaran umum dan kondisi daerah vs Program dan kegiatan pembangunan daerah 6. Arah kebijakan keuangan daerah vs Program dan kegiatan pembangunan daerah 7. Kebijakan umum vs Program dan kegiatan pembangunan daerah Manfaat analisis RPJMD Mungkin beberapa orang di antara kita bertanya tentang argumen yang membuat analisis RPJMD penting untuk dilakukan. Ada beberapa manfaat
85
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
analisis RPJMD dan di antaranya adalah : 1. RPJMD merupakan dokumen rencana pembangunan jangka menengah (5 tahun) dan menjadi salah satu dasar pemerintah kabupaten dalam menyusun APBD. 2. RPJMD merupakan dokumen yang di dalamnya memuat visi dan misi kepala daerah terpilih saat kampanye pemilihan kepala daerah yang harus dilaksanakan secara konsisten dan dijabarkan dalam program-program APBD selama 5 tahun. 3. RPJMD merupakan dokumen yang berisikan gambaran umum daerah dan kondisi daerah yang meliputi : gambaran geografis daerah, tingkat kemiskinan, potensi masyarakat di berbagai sektor, tingkat pengangguran, lapangan pekerjaan, partisipasi masyarakat, pendidikan dasar masyarakat, sektor informal, pendapatan rata-rata masyarakat, kondisi sarana dan prasarana (irigasi, jalan, jembatan, dll), pelayanan catatan sipil, perijinan, pemadam kebakaran, pasar tradisional, ketentraman dan ketertiban umum, PDAM, pelayanan kecamatan dan kelurahan / desa, dan kondisi pelayanan umum pemerintahan lainnya kepada masyarakat setempat, dll. 4. RPJMD merupakan dokumen yang secara umum mencerminkan relasi antara masyarakat dan pemerintah. 5. RPJMD merupakan dokumen yang berisikan strategi pembangunan daerah, kondisi keuangan daerah dalam melaksanakan pembangunan, prioritas pembangunan dan kegiatan daerah.
86
2.
1.
3.
2.
1.
No
A. Aspek Ketersediaan Dokumen PRB Sudahkah daerah memiliki Rencana Penanggulangan Bencana Daerah? Sudahkah Rencana Tata Ruang dan Wilayah mengintegrasikan peta risiko bencana? Sudahkah daerah memiliki Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana? B. Aspek Latar Belakang Penyusunan RPJMD Sudahkah Maksud dan Tujuan Penyusunan RPJMD mengakomodasi tujuan PRB? Sudahkah Landasan Normatif Penyusunan RPJMD mencantumkan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan aturan-aturan turunannya?
Sudah / Ya / Ada
Belum / Tidak / Tidak ada
Rekomendasi
Tabel 4.1. Alat analisis integrasi perspektif PRB dalam RPJMD
Pertanyaan
Keterangan
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
87
88
Sudahkah RPJMD mencantumkan Profil Ancaman Bencana Daerah? Sudahkah profil perekonomian, profil sosial budaya, profil sarana dan prasarana, profil pemerintahan umum, dan analisis kewilayahan mengidentifikasi aset-aset penghidupan berisiko? Sudahkah profil perekonomian, profil sosial budaya, profil sarana dan prasarana, profil pemerintahan umum, dan analisis kewilayahan mengidentifikasi daya tahan terhadap bencana? D. Aspek Isu dan Permasalahan Strategis
1.
3.
2.
Sudahkah dokumen RPJMD menjelaskan hubungan RPJMD dengan dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah? C. Aspek Keterpaduan Perencanaan
3.
Lihat Bab II Gambaran Umum Kondisi Daerah!
Lihat Bab II Gambaran Umum Kondisi Daerah!
Meredam Risiko Bencana
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Sudahkah rumusan visi kepala daerah telah SMART dan memperhitungkan aspek PRB? Sudahkah rincian misi pembangunan mencantumkan aspek PRB? Adakah agenda program jelas, terarah, dan berorientasi pada PRB? F. Aspek Strategi Pembangunan daerah
Sudahkah risiko bencana menjadi bagian yang teridentifikasi dalam SWOT daerah? G. Aspek Kebijakan Keuangan Daerah
Sudahkah rencana tindak prioritas pengelolaan keuangan 5 tahun ke depan merencanakan anggaran PRB?
1.
1.
1.
3.
2.
Sudahkah dokumen RPJMD memuat analisis dan rumusan yang jelas tentang masalah PRB di daerah? E. Aspek Visi, Misi, dan Program
1.
Lihat Bab V Arah Kebijakan Keuangan Daerah!
Lihat Bab IV Strategi Pembangunan Daerah!
Lihat Bab III Visi dan Misi!
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
89
90
3.
2.
1.
3.
2.
H. Aspek Kebijakan Umum Pembangunan Sudahkah arah kebijakan pembangunan sektoral memperhatikan peta risiko bencana? Sudahkah arah kebijakan pembangunan spasial memperhatikan peta risiko bencana? Adakah rencana pengembangan kelembagaan untuk mengakomodasi fungsi PRB?
Sudahkah arah pengelolaan Pendapatan Daerah menghindari kebijakan pendapatan yang meningkatkan kerentanan? Sudahkah arah pengelolaan Belanja Daerah berupaya memenuhi kebutuhan untuk mencegah ancaman, melemahkan ancaman, dan melindungi aset penghidupan yang berisiko?
Meredam Risiko Bencana
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
5.
4.
3.
2.
1.
I. Aspek Program Pembangunan Daerah Sudahkah program-program terkait fungsi dan urusan wajib pemerintah daerah mengambil peran yang memadai dalam siklus bencana yang mungkin terjadi? Sudahkah kebutuhan melemahkan ancaman berdasarkan peta risiko bencana diakomodasi? Sudahkah kebutuhan mencegah ancaman berdasarkan peta risiko bencana diakomodasi? Sudahkah kebutuhan melindungi asetaset penghidupan berisiko berdasarkan peta risiko bencana diakomodasi? Sudahkah pelembagaan penanggulangan bencana diakomodasi?
Analisis Perencanaan Pembangunan Dengan Perspektif PRB
91
BAB V ANALISIS APBD DENGAN PERSPEKTIF PRB
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Kebencanaan dan penganggaran menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Anggaran menjadi materi krusial dalam PRB. Dalam konteks dana publik yang dikelola oleh negara maka APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten / Kota adalah sumber dana yang perlu dikelola agar agendaagenda terkait dengan PRB dapat diimplementasikan. Mekanisme penganggaran terkait dengan PRB sebenarnya telah ditegaskan dalam aturan yang ada, antara lain sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut ini. Tabel 5.1. Peraturan-perundangan tentang mekanisme penganggaran terkait dengan PRB Isu Aturan Isi Dana UU Pendapatan dana darurat darurat No.32/2004 sebagaimana dimaksud pada ayat APBN pasal 164 (1) merupakan bantuan Pemerintah untuk (3) dari APBN kepada pemerintah Pemda daerah untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD UU Besarnya alokasi dana darurat No.32/2004 ditetapkan oleh Menteri Keuangan pasal 165 dengan memperhatikan (2) pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Menteri teknis terkait UU Tata cara pengelolaan dan No.32/2004 pertanggungjawaban penggunaan pasal 165 dana darurat diatur dalam Peraturan (3) Pemerintah. UU Pemerintah dapat mengalokasikan No.32/2004 dana darurat kepada daerah pasal 166 yang dinyatakan mengalami krisis (1) keuangan daerah, yang tidak mampu diatasi sendiri, sehingga mengancam keberadaannya sebagai daerah otonom. UU Tata cara pengajuan permohonan, No.32/2004 evaluasi oleh Pemerintah, dan pasal 166 pengalokasian dana darurat diatur (2) dalam Peraturan Pemerintah.
94
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
Bantuan pemerintah
UU No.32/2004 pasal164 (3)
Pendapatan dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan Pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD. Dana siap UU Dana siap pakai sebagaimana pakai untuk No.24/2007 dimaksud pada ayat (1) disediakan BNPB pasal 62 (2) oleh Pemerintah dalam anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). APBD UU Pengalokasian dana penanggulangan No.24/2007 bencana dalam anggaran pendapatan pasal 8 (d) belanja daerah yang memadai. Sumber : UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2007, diolah.
Dari beberapa pos anggaran yang memungkinkan dikelola untuk kebencanaan, APBD merupakan suatu pos dana yang akan digunakan untuk penanganan kebencanaan. Dalam rangka itulah, menyusun APBD yang responsif PRB menjadi hal penting. APBD merupakan cermin komitmen pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya. Dengan APBD kita bisa melihat seberapa besar komitmen pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya keuangan yang dimilikinya untuk kepentingan publik. Nalarnya : ketika warga sudah menyumbang ke negara melalui pajak dan retribusi dan negara sudah diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam maka warga harus mendapatkan layanan publik yang optimal. APBD mencerminkan pendekatan pemerintah daerah, sekadar menjadi penyedia layanan publik (atau memfasilitasi penyediaan layanan publik) atau sudah melangkah maju ke arah pemenuhan hak warga yang tidak bisa ditunda lagi berdasar prinsip :
95
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
a. kesetaraan (tanpa membedakan mereka yang berada di istana atau daerah terpencil; dalam hal ini maka daerah yang memiliki akses minim atas layanan hak dasar harus mendapat prioritas), b. ketidakterpisahan (tidak ada prioritas dalam memenuhi hak warga karena pada dasarnya semua penting sebagai satu kesatuan, namun hal ini masih sulit dilaksanakan karena keterbatasan anggaran; karenanya ada prioritas), c. standar kinerja (pelaksanaan dan kinerja layanan harus dapat diukur dengan standar tertentu), d. partisipasi (ada keterlibatan warga dalam setiap proses), e. pemberdayaan (program yang dibuat bukan dalam kerangka melemahkan posisi warga yang lemah namun untuk meningkatkan kapasitas warga), f. akuntabilitas (menggunakan fasilitas hukum untuk menuntut hak warga dan mendorong pelaksana kebijakan untuk membuat program yang akuntabel). APBD bisa memperlihatkan sikap yang diambil oleh pemerintah daerah terhadap hak asasi manusia; di satu sisi menghormati, melindungi, menjamin, atau sudah memenuhi (lihat Konvensi Wina 1993!) atau sebaliknya mengabaikan dan mengancam hak asasi manusia. Apabila ditilik dari fungsinya maka APBD berfungsi antar lain : a. mengatur alokasi sumber daya untuk belanja program dan kegiatan sebagai bentuk layanan publik serta belanja aparatur yang menjalankan fungsi sebagai pelayan masyarakat. Fungsi ini seharusnya menghasilkan suatu keadilan antara belanja yang diperuntukkan bagi
96
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
warga dan belanja untuk aparatur. b. fungsi distribusi, yaitu menciptakan pemerataan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelas sosial, dan antar sektor. Dengan fungsi ini diharapkan tidak ada lagi kesenjangan (gap) yang lebar antara satu daerah dengan lainnya serta sektor yang satu dengan lainnya, termasuk gender gap (kesenjangan berdasarkan gender). c. fungsi stabilisasi, di mana APBD dapat menjadi alat negara untuk membawa keadaan-keadaan ekstrem (bencana, krisis, konflik) menuju keadaan yang lebih setimbang. Dengan fungsi ini maka masa tanggap darurat suatu bencana yang kemungkinan akan datang dapat ditanggulangi. d. menjadi pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada periode yang akan datang. Pedoman ini disesuaikan dengan Sistem Organisasi dan Teknis Kepegawaian (SOTK). e. alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Fungsi ini dapat dijalankan apabila ruang akses informasi atas anggaran bagi warga telah dibuka oleh pemerintah. f. alat penilai kinerja pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program yang direncanakan. Penilaian ini adalah penilaian yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah secara internal melalui monitoring dan evaluasi maupun oleh DPRD dalam melaksanakan fungsi kontrol, namun juga dilakukan oleh warga sebagai pengguna layanan dan penerima manfaat.
97
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
APBD; Warga Kabupaten Gunungkidul membaca APBD.
Dengan fungsi-fungsi tersebut maka APBD harus menerapkan prinsip-prinsip universal yang mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi itu. Prinsip anggaran yang perlu dipahami oleh pemerintah, DPRD maupun warga meliputi : a. Prinsip keadilan yang bermakna : anggaran perlu mengedepankan keadilan alokasi untuk warga dan aparatur. Selama ini alokasi yang timpang antara warga dan aparatur menjadi salah satu penyebab fungsi alokasi secara adil tidak berjalan. b. Prinsip transparansi; prinsip ini ada untuk mendorong dokumen anggaran tidak hanya menjadi konsumsi aparatur saja tetapi dapat dioptimalkan untuk diketahui dan dengan mudah diakses oleh seluruh pemangku kepentingan. c. Prinsip partisipasi, di mana setiap orang yang menjadi pemangku kepentingan bisa terlibat dalam pengambilan keputusan tentang anggaran. d. Prinsip akuntabilitas/pertanggunggugatan (politik, sosial, ekonomi, lingkungan, dll.) yang
98
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
e.
f.
g.
h.
mengandung makna : apabila anggaran tidak dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dalam menaikkan kapasitas warga di sektor politik, ekonomi, sosial, lingkungan, dll. maka anggaran telah gagal melaksanakan misinya. Pemerintah dan DPRD sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengelolaan anggaran harus menjelaskan hal ini kepada warga. Juga bila kinerjanya tidak sesuai dengan target. Prinsip efisiensi; prinsip ini hadir untuk mendorong semua pihak terutama pelaksana program untuk tidak menjadikan APBD sebagai ajang bagi-bagi uang atau sekedar melaksanakan tugas. Efisiensi juga dituntut dalam pengelolaan program. Hal ini berkaitan erat dengan kemungkinan / keharusan memotong anggaran-anggaran yang boros atau anggaran rangkap / berganda (double budget) untuk aparatur serta melakukan realokasi ke program dan kegiatan untuk publik. Prinsip inklusivitas; di mana anggaran secara optimal berupaya mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan seluruh pemangku kepentingan, melampaui sekat-sekat sosial, tidak eksklusif bagi pemangku kepentingan tertentu. Prinsip keberpihakan terhadap kelompok rentan yaitu prinsip yang mengharuskan anggaran menempatkan kelompok rentan sebagai penerima manfaat yang diprioritaskan. Tentu saja prioritas ini dicerminkan oleh besaran alokasi anggaran dan kesegeraan pengalokasiannya. Prinsip keadilan gender yang mengharuskan kegiatan dalam APBD bersifat mendorong kesetaraan dan keadilan gender. Program dan
99
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
kegiatan yang bias gender ataupun buta gender harus dihapus dan diganti dengan kegiatan yang lebih responsif gender. i. Prinsip PRB, di mana anggaran seharusnya bersifat melemahkan ancaman, mengurangi kerentanan, dan meningkatkan kapasitas warga serta pemerintah. Sifat ini harus tercermin dalam struktur APBD dan proses perencanaanpenyusunannya.
ANALISIS STRUKTUR APBD DENGAN PERSPEKTIF HAK DALAM KONTEKS PRB Struktur APBD sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan. A. Pendapatan Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006, pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Meskipun menggali pendapatan adalah hak daerah, batasan mengenai sumber yang boleh digali untuk menjadi pendapatan perlu pertimbangan khusus. Konteks PRB perlu menjadi pertimbangan sehingga kebijakan pendapatan: a. mengoptimalkan potensi keuangan daerah. b. memungut pajak dan retribusi dengan tidak membebani rakyat. c. memasukkan semua penerimaan ke kas daerah, meniadakan catatan di luar neraca
100
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
sehingga tidak ada dana non-budgeter. d. tidak menggali sumber pendapatan dari obyek yang menguatkan ancaman dan meningkatkan kerentanan warga (misalnya retribusi tambang galian C) tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya. e. sensitif terhadap kondisi warga pasca bencana (misal: pasca gempa maka pemerintah daerah tidak menargetkan pendapatan dari retribusi IMB). B. Belanja Komponen belanja dalam anggaran publik seharusnya mencerminkan hal-hal berikut ini : a. alokasi belanja yang adil dan proporsional (antara belanja publik dan belanja aparat ) serta efisien dengan keberpihakan kepada kepentingan rakyat (terutama dalam pemenuhan hak-hak warga) b. alokasi yang berpihak kepada kelompok rentan / terpinggirkan (perempuan, anak, difabel, …) baik berupa pengarusutamaan, alokasi spesifik, maupun tindakan afirmatif (affirmative action) c. alokasi yang berprinsip ‘hadap masalah’, bukan alokasi yang dibuat berdasarkan dugaan d. alokasi bertujuan memenuhi hak warga dan atau berimplikasi positif pada pemenuhan hak warga (bukan misalnya untuk belanja-belanja seperti bantuan untuk klub sepak bola) e. alokasi memperhatikan jaminan sosial warga (misalnya jaminan kesehatan warga miskin, jaminan untuk korban KDRT, HIV/AIDS, pengidap kusta, anak jalanan, dll.)
101
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
f. alokasi belanja tidak meningkatkan kerentanan warga dan menguatkan ancaman (misalnya anggaran khusus untuk penggusuran PKL, belanja modal untuk bangunan yang bersifat mercusuar, belanja kampanye pupuk / obat-obatan kimia bagi petani, ...). Perlu diperhatikan belanja bagi program-program yang lebih ramah lingkungan (dalam arti mendukung kelestarian lingkungan hidup dan daya dukungnya terhadap kehidupan), meningkatkan kapasitas warga, mengurangi kerentanan, dan melemahkan ancaman. C. Pembiayaan Komponen pembiayaan yang sensitif hak warga dan berperspektif PRB memiliki penciri sbb. : a. Pembiayaan ditetapkan secara transparan dan partisipatif. b. Pembiayaan memperhitungkan potensi daerah secara komprehensif. c. Pembiayaan tidak mengorbankan rakyat, apalagi kelompok rentan, baik sekarang maupun di waktu yang akan datang. d. Perlu dipikirkan pembiayaan untuk bencana yang secara akumulatif dapat dicadangkan. Adapun item-item yang perlu disiapkan untuk analisis anggaran antara lain adalah : a. dokumen-dokumen penganggaran daerah (KUA, PPA, APBD, RKA/DPA SKPD) b. instrumen-instrumen perlindungan hak warga dan peraturan perundangan yang relevan c. catatan capaian / indikator-indikator
102
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
pembangunan dan kinerja yang ditargetkan d. monografi, data pilah, serta rencana tata ruang dan tata wilayah e. alat analisis sesuai dengan perspektif yang akan digunakan (misalnya : keadilan gender, pro-poor atau PRB) f. serta dokumen-dokumen lain (daftar hadir dan notulensi atau rekam proses setiap forum perencanaan – penganggaran) yang mendukung analisis yang dilakukan. Sesuai dengan struktur APBD, maka ada analisis struktur anggaran yang mencakup analisis pendapatan, analisis belanja, dan analisis pembiayaan. Berikut ini diuraikan beberapa item pokok analisis struktur anggaran.
103
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
1. ANALISIS PENDAPATAN DAERAH Struktur APBD telah mengalami beberapa kali perubahan dalam beberapa tahun terakhir; sejak Kepmendagri No. 29 Tahun 2003 berubah menjadi Permendagri No.13 Tahun 2006. Struktur terkini sesudah perubahan yang terakhir dapat dilihat dalam bagan berikut ini : Bagan 5.1. Struktur anggaran menurut Permendagri No.13 Tahun 2006
Pembacaan dan analisis atas komponen pendapatan dalam APBD antara lain mencakup hal-hal berikut ini : a. Jenis, besaran, dan prosentase masing-masing komponen pendapatan. (1) Komponen mana yang menjadi penyumbang terbesar pendapatan daerah?
104
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
(2) Bagaimana korelasi proporsi komponen pendapatan daerah dengan otonomi daerah dan desentralisasi? Sudahkah proporsi komponen pendapatan daerah mencerminkan perwujudan otonomi daerah dan desentralisasi? Tabel 5.2. Alat identifikasi jenis dan prosentase komponen pendapatan daerah Jenis pendapatan Jumlah Prosentase Keterangan (Rp) terhadap total pendapatan daerah Pendapatan asli daerah Dana Perimbangan Lain-lain pendapatan yang sah
b. Jenis, besaran, dan prosentase komponen PAD (Pendapatan Asli Daerah) (1) Komponen mana yang menjadi penyumbang terbesar PAD? (2) Sektor dan kelompok masyarakat yang mana yang menjadi penyumbang-penyumbang terbesar PAD? Bagaimana korelasinya dengan gender minoritas? Berapa kali warga membayar dan adakah masalah dalam prosesnya?
105
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel 5.3. Alat identifikasi jenis dan karakter komponen PAD Jenis PAD
Jumlah (Rp)
Prosentase atas total PAD
Siapa penyumbangnya? Kebanyakan laki-laki atau perempuan?
Berapa kali warga membayar dan adakah masalah dalam proses pembayarannya?
Keterangan
c. Korelasi komponen penyumbang terbesar PAD dengan pemenuhan hak-hak dasar warga. Sudahkah penggalian PAD mendorong pemenuhan hak dasar warga (bukan sebatas ‘penyediaan layanan dasar bagi warga’)? Atau justru penggalian PAD memperburuk upaya pemenuhan hak dasar warga (misal : sektor layanan dasar warga dijadikan sumber PAD, mengejar peningkatan PAD dengan tidak mengendalikan eksploitasi sumber daya alam, menjadikan kelompok rentan sebagai sumber PAD, …)? d. Kecenderungan penggalian pendapatan daerah. Bagaimana perbandingan jenis, besaran, dan prosentase pendapatan daerah serta PAD tahun berjalan dengan tahun-tahun sebelumnya? Kecenderungan apa yang diperlihatkan?
106
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
e. Korelasi antara potensi PAD dengan realisasi PAD (1) Bagaimana perbandingan realisasi PAD dengan potensi yang ada? (2) Adakah indikasi mark- down?
2. ANALISIS BELANJA DAERAH Sesuai dengan Permendagri No.13 Tahun 2006, komponen belanja merupakan refleksi kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Hal-hal yang perlu dicermati terkait dengan komponen belanja : a. Kesesuaian dengan peraturan-perundangan Adakah alokasi belanja yang menyalahi peraturanperundangan yang ada?
107
108
Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (1) dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% APBN dan 20 % APBD (sudah di-veto oleh Mahkamah Konstitusi) Anggaran kesehatan yang disarankan WHO adalah 15 % PDRB daerah
Norma (Aturan dan anjuran)
Nominal belanja (B) dalam Rp
Tahun n-2 Prosentase terhadap total belanja (PTB)
Realisasi anggaran Tahun n-1 Sesuai B PTB S/TS norma / tidak sesuai norma (S/TS) B
Tahun n PTB S/TS
Tabel 5.4. Alat identifikasi kesesuaian alokasi belanja dengan norma alokasi anggaran, selama tahun n-2 s.d. tahun n
Meredam Risiko Bencana
Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Keputusan Menteri Dalam Negeri No.132 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, BAB III pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa: “Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing‑masing Provinsi, Kabupaten, dan Kota sekurang‑kurangnya sebesar 5 % (lima persen) APBD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.”
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
109
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
b. Pemenuhan prinsip realisasi progresif (progressive realization). (1) Adakah kenaikan besaran alokasi belanja untuk pemenuhan hak dasar warga? (2) Jika ada kenaikan besaran alokasi belanja, bagaimana korelasi kenaikan besaran alokasi tersebut dengan kenaikan inflasi (kurang dari besaran kenaikan inflasi, hanya menyesuaikan dengan besaran kenaikan inflasi, atau sudah lebih besar daripada besaran kenaikan inflasi sehingga ada kenaikan riil besaran alokasi belanja)?
110
Kegiatan
Kenaikan / penurunan alokasi anggaran (A) dalam %
Tingkat inflasi (I) dalam %
Tahun n-2
Perbandingan A terhadap I (<, =, >)
Kenaikan / penurunan alokasi anggaran (A) dalam %
Tingkat inflasi (I) dalam %
Tahun n-1 Perbandingan A terhadap I (<, =, >)
Realisasi anggaran
Kenaikan / penurunan alokasi anggaran (A) dalam %
Tingkat inflasi (I) dalam %
Tahun n Perbandingan A terhadap I (<, =, >)
Memenuhi / tidak memenuhi prinsip realisasi progresif
Keterangan
Tabel 5.5. Alat identifikasi pemenuhan prinsip realisasi progresif dalam tahun anggaran n-2 s.d. tahun anggaran n
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
111
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
c. Pemenuhan prinsip penggunaan sebesarbesarnya atas sumber daya yang tersedia (full use of maximum available resource). (1) Sudahkah pemerintah menggunakan sumber daya keuangan daerah yang tersedia sebesarbesarnya bagi pemenuhan hak dasar warga? (2) Bagaimana proporsi alokasi belanja untuk aparat dan belanja untuk publik (untuk pemenuhan hak dasar warga)? Adilkah proporsi itu? Adakah alokasi belanja (aparat) yang mengalami mark-up? Adakah alokasi belanja yang penting bagi pemenuhan hak warga (terutama kelompok rentan) namun minim besarannya ? (3) Adakah pos belanja yang besar namun minim kemanfaatannya bagi pemenuhan hak warga (terutama kelompok rentan)? Adakah belanja-belanja yang berupa pemborosan? Adakah belanja-belanja yang berupa belanja mercusuar? (4) Adakah belanja-belanja yang berindikasi / rawan korupsi? d. Identifikasi kegiatan dan anggaran dengan perspektif PRB. Dengan melihat aspek PRB baik dari sisi warga maupun pemerintah dan aspek pembanguan fisik, non fisik dan tata sosial kemasyarakatan maka kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang direncanakan-dianggarkan mempunyai risiko tinggi untuk warga maupun pemerintah.
112
Fisik : a. ........... b. ........... c. ........... dst. Non-Fisik a. ........... b. ........... c. ........... dst. Tata Sosial a. ............ b. ............ c. ............ dst Total
Aspek pembangunan dan item kegiatan
Besaran anggaran dan pengaruh item kegiatan terhadap aspek PRB Hazard Vulnerability Capacity (ancaman) (kerentanan) (kapasitas) Item Item Item anggaran Item anggaran Item Item anggaran anggaran yang yang anggaran anggaran yang yang mengurangi meningkatkan yang yang melemahkan menguatkan kerentanan kerentanan menurunkan meningkatkan ancaman ancaman (Rp) (Rp) kapasitas (Rp) kapasitas (Rp) (Rp) (Rp)
Tabel 5.6. Alat identifikasi kegiatan dan anggaran dengan perspektif PRB
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
113
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
e. Identifikasi kegiatan dan anggaran dari aspek PRB dan kelompok rentan / minoritas. Pemetaan ini penting untuk mengukur apakah penerima manfaatnya sudah merata bagi kelompok minoritas yang ada. Berdasarkan aspek pengurangan risiko bencana, kegiatan yang terkait dengan meningkatkan risiko dengan cara memperbesar ancaman, menambah kerentanan dan mengurangi kapasitas maupun sebaliknya perlu dilihat kegiatan dan alokasi anggarannya.
114
Masyarakat miskin : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Perempuan : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Anak : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Lansia : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Difabel : a. ............. b. ............ c. ............ dst. TOTAL
Item kegiatan pembangunan menurut penerima manfaat di kelompok rentan / minoritas
Besaran anggaran dan sifat intervensinya atas aspek PRB Hazard Vulnerability Capacity (ancaman) (kerentanan) (kapasitas) Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran yang yang menguatkan yang melemahkan yang meningkatkan yang mengurangi yang menuunkan mening-katkan ancaman ancaman kerentanan (Rp) kerentanan (Rp) kapasitas (Rp) kapasitas (Rp) (Rp) (Rp)
Tabel 5.7. Alat identifikasi anggaran dan pengaruhnya terhadap aspek PRB untuk kelompok rentan
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
115
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
f. Identifikasi kegiatan dan anggaran berdasarkan aspek-aspek PRB serta identifikasi kelompok masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan Matriks berikut ini digunakan untuk melihat lebih jauh besaran alokasi anggaran yang diterima oleh kelompok penduduk prasejahtera (dulu disebut penduduk miskin). Alokasi anggaran ini dilihat dari kegiatan yang mendorong pelemahan ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas. Perlu dilihat item kegiatan yang ada dan besaran alokasinya.
116
Penduduk pra-sejahtera : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Penduduk mendekati sejahtera : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Penduduk sejahtera : a. ............. b. ............ c. ............ dst. TOTAL
Item kegiatan pembangunan untuk penerima manfaat kelompok warga menurut tingkat kesejahteraan
Besaran anggaran item kegiatan dan pengaruhnya atas aspek PRB Hazard Vulnerability Capacity (ancaman) (kerentanan) (kapasitas) Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran yang yang yang yang yang yang menguatkan melemahkan meningkatkan mengurangi menurunkan meningkatkan ancaman ancaman kerentanan kerentanan kapasitas (Rp) kapasitas (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
Tabel 5.8. Alat identifikasi item kegiatan untuk masing-masing kelompok warga menurut tingkat kesejahteraan dan pengaruhnya terhadap aspek PRB
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
117
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
g. Identifikasi kegiatan dan anggaran berdasarkan aspek-aspek PRB dan urusan pemerintah daerah. Tujuan identifikasi ini adalah untuk mengukur apakah setiap SKPD terkait dengan urusan pemerintah daerah telah memperhatikan aspek PRB. Urusan pemerintah daerah ini terkait dengan urusan wajib dan pilihan. Perlu dilihat jenis kegiatan dan alokasi anggaran di setiap item di samping ini.
118
Pelayanan Umum : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Ketertiban & Ketentraman : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Ekonomi : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Lingkungan Hidup : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Perumahan & Fasilitas Umum : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Kesehatan : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Pariwisata : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Pendidikan : a. ............. b. ............ c. ............ dst. Perlindungan Sosial : a. ............. b. ............ c. ............ dst. TOTAL
Item kegiatan pembangunan menurut Urusan Pemerintah Daerah
Besaran anggaran item kegiatan dan pengaruhnya atas aspek PRB Hazard Vulnerability Capacity (ancaman) (kerentanan) (kapasitas) Item anggaran yang Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran Item anggaran menguatkan ancaman yang melemahkan yang yang yang yang (Rp) ancaman meningkatkan mengurangi menurunkan meningkatkan (Rp) kerentanan (Rp) kerentanan (Rp) kapasitas (Rp) kapasitas (Rp)
Tabel 5.9. Alat identifikasi item kegiatan menurut Urusan Pemerintah Daerah dan pengaruhnya terhadap aspek PRB
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
119
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
h. Identifikasi kegiatan dan anggaran untuk kelompok perempuan (women budget) dari aspek wilayah kerja dan kategorisasi anggaran khusus, anggaran afirmatif, dan anggaran berupa pengarusutamaan. Proses ini bertujuan memetakan kegiatan dan anggaran berdasarkan wilayah kerja perempuan untuk melihat dan memilah wilayah paid work (kerja yang disertai imbalan jasa) dan un-paid work (kerja yang tidak disertai imbalan jasa).
120
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
Tabel 5.10. Alat identifikasi item kegiatanserta anggaran untuk kelompok perempuan menurut tipe anggarannya Item kegiatan dan anggaran menurut tipe anggaran untuk perempuan Anggaran afirmatif Pengarusutamaan Anggaran spesifik (peningkatan (kegiatan dan alokasi Wilayah (anggaran khusus kuantitas di semua sektor yang kerja untuk kelompok perempuan berdampak kepada perempuan perempuan) penerima manfaat) perempuan) Besaran Besaran Besaran Item Item Item anggaran anggaran anggaran kegiatan kegiatan kegiatan (Rp) (Rp) (Rp) Reproduktif a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... dst. dst. dst. dst. dst. dst. a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... Domestik b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... (kerja c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... rumahan dst. dst. dst. dst. dst. dst. seperti memasak, mencuci, dll) Produktif a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... (kerja yang b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... menghac. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... silkan uang) dst. dst. dst. dst. dst. dst. Komunitas a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... (kerja / b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... pertemuan c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... di dst. dst. dst. dst. dst. dst. masyarakat) Politik a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... a. ..... (kegiatan b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... b. ..... politik) c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... c. ..... dst. dst. dst. dst. dst. dst. TOTAL
121
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Mengapa matriks di sampig penting untuk dipetakan? Dalam bencana, kita mengenal pemisahan kerja antara laki-laki dan perempuan baik dalam fase preparedness (kesiapsiagaan), mitigasi, respon kedaruratan (emergency response), rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kondisi ini membuat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan serta kelompok rentan lainnya juga tidak seimbang. Atas dasar itulah kegiatan dan anggaran yang dialokasi untuk masing-masing ranah perlu dilihat. i. Identifikasi kegiatan dan anggaran untuk kelompok perempuan (women budget) dari aspek kategori sensitivitas gender. Tujuannya adalah untuk melihat lebih jauh kategori sensitivitas gender kegiatan yang dilakukan dan alokasi anggarannya. Adakah alokasi anggaran yang bias gender (misal: KB hanya untuk perempuan, target akseptornya hanya perempuan) atau bahkan buta gender / gender blind (misal: pembelian sepeda yang sering digunakan oleh laki-laki untuk kader POSYANDU yang kebanyakan perempuan)?
122
Anggaran spesifik (anggaran khusus untuk kelompok perempuan) Anggaran afirmatif (peningkatan kuantitas perempuan penerima manfaat) Pengarusutamaan (kegiatan dan alokasi di semua sektor yang berdampak kepada perempuan) TOTAL
Tipe anggaran untuk kelompok perempuan
a. ............ b. ............ c. ............ dst.
a. ............ b. ............ c. ............ dst.
a. ........ b. ....... c. ......... dst.
a. ............ b. ............ c. ............ dst.
a. ........ b. ........ c. ......... dst.
a. ........ b. ........ c. ......... dst.
a. ........ b. ........ c. ......... dst.
a. ........... b. .......... c. ............ dst.
Item kegiatan dan anggaran menurut kategori sensitivitas gender Buta gender Bias gender Netral gender Responsif gender Item Besaran Item Besaran Item Besaran Item Besaran kegiatan anggaran kegiatan anggaran kegiatan anggaran kegiatan anggaran (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) a. ............ a. ............ a. ........ a. ............ a. ........ a. ........ a. ........ a. ........... b. ............ b. ............ b. ....... b. ............ b. ........ b. ........ b. ........ b. .......... c. ............ c. ............ c. ......... c. ............ c. ......... c. ......... c. ......... c. ............ dst. dst. dst. dst. dst. dst. dst. dst. a. ............ a. ............ a. ........ a. ............ a. ........ a. ........ a. ........ a. ........... b. ............ b. ............ b. ....... b. ............ b. ........ b. ........ b. ........ b. .......... c. ............ c. ............ c. ......... c. ............ c. ......... c. ......... c. ......... c. ............ dst. dst. dst. dst. dst. dst. dst. dst.
Tabel 5.11. Alat identifikasi anggaran untuk perempuan menurut sensitivitas gendernya
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
123
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
j. Mengidentifikasi output / hasil MUSRENBANG yang penerima manfaatnya spesifik kelompok gender marginal (perempuan, anak, difabel, lansia, kelompok masyarakat miskin). Tabel 5.12. Alat identifikasi hasil MUSRENBANG menurut penerima manfaat gender marginal
MUSRENBANG adalah wilayah perencanaan yang tak terpisah dari penganggaran. Kelurahan : .................................. Kabupaten/Kota : .................................. No
Program
Anggaran menurut penerima manfaat (Rp) Kelompok PereAnak Difabel Lansia masyampuan rakat miskin
Keterangan
TOTAL
3. ANALISIS PEMBIAYAAN DAERAH Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan / atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang sedang berjalan maupun pada tahuntahun anggaran berikutnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dan didentifikasi dalam analisis pembiayaan antara lain : a. Jenis, sumber, besaran, dan prosentase pembiayaan keuangan daerah terhadap komponen-komponen struktur anggaran.
124
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
b. Korelasi antara jenis-sumber pembiayaan keuangan daerah dengan promosi hak asasi manusia. c. Ada tidaknya utang luar negeri yang memungkinkan daerah terjerat utang. d. Ada tidaknya investasi yang justru merugikan pemangku kepentingan anggaran (terutama warga yang menjadi subyek pemenuhan hak melalui anggaran) ANALISIS PROSES PENGANGGARAN DAERAH Selain analisis struktur anggaran, analisis anggaran juga harus menganalisis proses penganggarannya. Sebagaimana diketahui, keterlibatan warga negara dalam setiap proses pembangunan dijamin oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No. 11 Tahun 2005. Ratifikasi ini menjamin hak setiap orang untuk bisa terlibat, mengusulkan, dan mendapatkan informasi tentang pembangunan termasuk di dalamnya informasi tentang peta bencana. Dalam penanganan bencana, proses perencanaan dan penganggaran menjadi indikator penting terkait dengan posisi penanganan bencana dalam perencanaan dan penganggaran terhadap penerapan prinsip-prinsip PRB. UU No. 25 Tahun 2005 tentang Perencanaan Pembangunan telah mengatur proses perencanaan “organik” yang selama ini dilakukan. Sayangnya proses ini tidak banyak berbicara mengenai konteks PRB.
125
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Bagan 5.2 . Hierarki dokumen perencanaan pembangunan daerah dan pusat serta hubungan antar dokumen menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional
Sumber : Belajar Analisis dan Advokasi Anggaran : Modul Fasilitator, IDEA, 2006, halaman 112
126
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
Proses “organik” lain yang dilalui warga adalah MUSRENBANG. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 yang diturunkan dalam PP No. 58 Tahun 2005 Proses MUSRENBANG tidak disyaratkan untuk membahas PRB. Begitu pula dalam SKB BAPPENAS yang secara detail menjadi pedoman teknis MUSRENBANG. Tidak ada persyaratan MUSRENBANG harus membahas PRB. Titik kritis dua proses perencanaan itu adalah tidak adanya pembahasan tentang anggaran. Selama ini proses perencanaan dan penganggaran dianggap sebagai suatu proses yang terpisah. Meskipun hasilhasil perencanaan itulah yang kemudian diadopsi untuk melihat pengalokasian belanja. Kalaupun saat ini dibuat Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah tentang Penanggulangan Bencana, kedua proses ini sama sekali tidak terkait dengan proses perencanaan organik yang selama ini ada. Proses penganggaranpun juga terpisah. Apalagi proses ini sama sekali tidak melibatkan warga secara partisipatif. Akibatnya, sensitivitas pemerintah dan warga terhadap PRB dalam perencanaan dan penganggaran yang sensitif hak dasar warga dan responsif gender tidak ada. Hal ini meningkatkan kerentanan di masyarakat (terutama perempuan). Pengalaman yang ada selama ini menunjukkan adanya masalah dalam proses integrasi perencanaan pasca bencana dengan perencanaan organik. Perencanaan penanggulangan bencana seringkali meninggalkan proses perencanaan yang ada. Kita tidak perlu mengulang pengalaman dalam proses penanggulangan kemiskinan. Dalam proses penanggulangan kemiskinan ada PNPM yang mempunyai proses perencanaan tersendiri yang berbeda dari proses perencanaan warga melalui
127
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
MUSRENBANG. Akibatnya, proses perencanaan melalui PNPM justru melemahkan proses perencanaan organik melalui MUSRENBANG. Padahal, dalam komunitas internasional ada kesepakatan berupa lima prioritas aksi dalam Kerangka Kerja Aksi Hyogo (2005 -1015) yaitu : 1. Memastikan PRB sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat 2. Mengidentifikasi, mengkaji, dan memonitor risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini 3. Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat 4. Meredam faktor-faktor risiko yang mendasari 5. Memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif di semua tingkatan Kembali ke proses perencanaan pembangunan, perencanaan menjadi bagian proses lain dalam perencanaan pembangunan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Seperti ditegaskan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan partisipatif berada dalam posisi sebagaimana digambarkan dalam Bagan 2.2. Pendekatan Dalam Perencanaan dan Penganggaran. MUSRENBANG adalah upaya melakukan perencanaan partisipatif. Pendekatan ini perlu terus didorong untuk mengatasi ‘tidak nyambung’nya hasil proses partisipatif dengan hasil perencanaan teknokratis. Upaya menghubungkan dua wilayah dan pendekatan perencanaan ini menjadi penting adanya. Analisis proses perencanaan ini digunakan untuk menilai posisi proses perencanaan terhadap aspek
128
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas serta pelibatan kelompok rentan dalam setiap prosesnya. Aspek akuntabilitas di sini juga mencakup kualitas pembahasan (substansi masalah dan kebutuhan) dan hasil pembahasan (rumusan strategi) yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Item-item yang menjadi cakupan analisis proses penganggaran a.l. : a. Partisipasi kelompok gender marginal dan kelompok masyarakat miskin Kuantitas kehadiran menjadi salah satu item yang harus kita lihat dalam forum-forum perencanaan pembangunan. Dengan melihat komposisi dan jumlah pelibat inilah kita bisa melihat ke arah mana perencanaan yang dilakukan. Tabel 5.13. Alat identifikasi tingkat partisipasi masing-masing kelompok gender dalam proses penganggaran Kelompok gender
a. Perempuan b. Laki-laki a. Kelompok masyarakat miskin / prasejahtera b. Kelompok kaya (sejahtera) Difabel Perempuan kepala keluarga
Tingkat partisipasi (nominal / N dan prosentase / P) menurut proses penganggaran Peren- Penyu- Penge- PelakPertanggungcanaan sunan sahan sanaan jawaban N P N P N P N P N P
129
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
b. Kelompok pelibat dalam wilayah geografis tertentu berdasarkan tingkat kesejahteraan Selain partisipasi dalam MUSRENBANG, partisipasi secara penuh dan berkualitas dalam penganggaran perlu dilihat. Terkait dengan hal ini, maka selain melihat partisipasi berdasarkan jenis kelamin (lakilaki dan perempuan), perlu juga melihat pelibat berdasarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tabel 5.14. Alat identifikasi tingkat partisipasi warga dalam proses penganggaran, menurut tingkat kesejahteraan
Proses Penganggaran
Perencanaan
Penyusunan APBD
Pengesahan APBD
130
MUSRENBANGDES MUSRENBANGCAM MUSRENBANGKAB Forum SKPD Penyusunan KUA Perumusan PPAS Penyusunan RPA SKPD Pembahasan dengan DPRD Verifikasi Gubernur Perubahan oleh KDH
Tingkat partisipasi (nominal / N dan prosentase /P ) menurut kategori warga Penduduk Penduduk Penduduk pramendekati sejahtera sejahtera sejahtera N P N P N P
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
Pelaksanaan APBD
Implementasi Program Perubahan APBD
Pertanggungjawaban APBD
e. Mengukur partisipasi perempuan dan laki-laki dalam MUSRENBANG. Tabel 5.15. Alat identifikasi komposisi laki-laki dan perempuan dalam MUSRENBANG menurut peran dan fungsi Partisipan No
Panitia
Panitia
Delegasi
pengarah pelaksana
Kelurahan/
Tim
Tim
perencana pelaksana monitoring
desa P
L
P
L
P
L
Tim
P
L
P
L
kegiatan
evaluasi
P
P
L
L
131
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
f. Keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas anggaran daerah perlu dilihat secara utuh. Melihat dan menilai transparansi dan akuntabilitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya memberikan masukan atas anggaran. Transparansi dan akuntabilitas bukan hanya berlaku untuk dokumen perencanaan-penganggaran dan substansinya, namun juga mengenai prosesnya. Terkait dengan transparansi dan akuntabilitas, kita juga perlu bicara mengenai laporan pertanggungjawaban KDH serta hasil audit BPK atas laporan keuangan suatu daerah. Pada dasarnya, jika kita bicara tentang anggaran daerah dan segala alokasinya, realisasi anggaranlah yang semestinya kita perhatikan. Percuma saja suatu daerah memiliki struktur anggaran yang sensitif hak warga dan berperspektif PRB namun realisasinya tidak seindah rencananya. g. Tingkat aksesibilitas dokumen anggaran daerah; mudah-sulitnya dokumen anggaran didapatkan / diakses oleh warga juga perlu ditilik. Jika dokumen anggaran sulit diakses, apa saja kendala yang ada? Bagaimana upaya antisipasinya?
132
Jenis dokumen perencanaan dan penganggaran
Mudah diakses
Sulit diakses
Kendala sulitnya mengakses dokumen
Rekomendasi
Tabel 5.16. Alat identifikasi tingkat aksesibilitas dokumen perencanaan dan penganggaran
Analisis APBD Dengan Perspektif PRB
133
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Dalam perkembangan terkini, Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan berlakunya undang-undang ini sejak 30 April 2010, tidak ada dalih lagi bagi instansi pemerintah yang termasuk badan publik untuk membatasi aksesibilitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Namun, hampir pasti berlakunya undang-undang ini tidak serta-merta membuat dokumen kebijakan perencanaan dan penganggaran bisa dengan mudah diakses oleh warga. Dengan kenyataan seperti ini, analisis aksesibilitas dokumen perencanaan dan penganggaran masih tetap relevan dilakukan dalam analisis anggaran. Kiranya, pokok-pokok inilah yang perlu ditilik dalam analisis APBD. Dengan melihat pokok-pokok di atas, kita dapat menilai suatu APBD responsif PRB atau tidak. Satu hal yang perlu dicatat, dalam implementasi analisis terkadang tidak mudah mengakses dan mendapatkan semua dokumen perencanaan dan penganggaran sebagaimana dipaparkan di atas. Yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan analisis berdasarkan dokumen yang bisa diperoleh. []
134
BIBLIOGRAFI BPS, BAPPENAS, UNDP, (2004), Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2004 : Ekonomi Dari Demokrasi, Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta : BPS – BAPPENAS – UNDP. Enarson, et.al, (2003), Working with Women at Risk : Practical Guidelines for Assessing Local Disaster Risk. International Hurricane Center, Florida International University, June, sebagaimana dimuat dalam http://www.gdnonline.org/ resources/WorkingwithWomenEnglish.pdf Enarson, E & Meyreles, L, International Perspectives on Gender and Disaster : Differences and Possibilities, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/ murcia-papers/session2/Enarson_Meyreles_ II_Original.pdf
135
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Hilhorst, D, Unlocking Disaster Paradigms : An Actororiented Focus on Disaster Respons, Abstract submitted for session 3 of The Disaster Research and Social Crisis, Network Panels of the 6th European Sociological Conference, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murciapapers/session3/Hilhorst_III_Original.pdf Kompas (2004), ‘Depkes Minta Anggaran Kesehatan Naik’.25 Mei. Sebagaimana dimuat dalam h t t p : // w w w 2 . k o m p a s . c o m / k o m p a s cetak/0405/25/humaniora/1041162.htm, diakses pada hari Jumat, 3 April 2009, pukul 15.09 WIB. Paripurno, Eko Teguh (2006), Pengkajian Risiko Bencana. Yogyakarta : PSMB UPN Veteran Yogyakarta. Toppatimasang, Roem (2000), Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta : INSIST Twigg, John (2001), Physician, Heal Thyself? The Politics of Disaster Mitigation. London : Benfield Greig Hazard Research Center, University College London. World Bank, Preliminary Damage and Loss Assessment : Executive Summary, sebagaimana dimuat dalam siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/ R e s o u r c e s / 2 2 6 2 7 1-1 1 5 0 1 9 6 5 8 4 7 1 8 / ExeSumBhs.pdf diakses pada hari Kamis, 12 Maret 2009 pukul 13.25 WIB. ______, (2004), Disaster Risk Reduction as Development Concern, DFID, Policy Brief,
136
sebagaimana dimuat dalam http://www.dfid. gov.uk/pubs/files/disaster-risk-reduction.pdf ______, (2006), Gunungkidul Dalam Angka tahun 2005, Wonosari : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan BPS Kabupaten Gunungkidul. ______, (2006), Kulon Progo Dalam Angka 2005, Wates : kerja sama Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kulon Progo. ______, (2006), RAN PRB 2006 – 2010. Jakarta : kerja sama antara Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. ______, (2008), Draft 2 Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Gunungkidul tahun 2009 – 2012. Wonosari : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Gunungkidul. ______, (2009) Bantul Rawan Bencana, Bantul Akan Bentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah, sebagaimana dimuat dalam http:// www.google.co.id/#q=%27Perubahan+RPJM D+Bantul+pengurangan+risiko+bencana&hl=i d&start=0&sa=N&fp=c1d3b844b1f09bcd ______, Daftar Negara Menurut Jumlah Penduduk, sebagaimana dimuat dalam http:// id.wikipedia.or g /wiki/Daf t ar_ negar a _ menurut_jumlah_penduduk diakses pada 23 Februari 2009, pukul 11.37 WIB
137
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
______, Draft Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Kulonprogo tahun 2008-2013. ______, Gempa Bumi Yogyakarta Mei 2006, sebagaimana dimuat dalam http:// i d .w i k i p e d i a . o r g / w i k i /G e m p a _ b u m i _ Yogyakarta_Mei_2006 diakses pada 23 Februari 2009, pukul 11.30 WIB. ______, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah ______, Neraca Pemerintah Kabupaten Bantul per 31 Desember 2006 dan 2005, sebagaimana dimuat dalam http://www.laporankeuangan. co.id/pdf/kabbantul2006.pdf diakses pada tanggal 4 Maret 2009, pukul 15.12 WIB ______, Pencapaian Program Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, sebagaimana dimuat dalam h t t p : // w w w. k u l o n p r o g o . g o . i d /m a i n . php?what=html/profil/kesehatan diakses pada hari Kamis, 12 Maret 2009 pukul 13.53 WIB ______, Peraturan Bupati Bantul No. 15 tahun 2007 tentang Penjabaran APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 ______, Peraturan Bupati Gunungkidul no.03 tahun 2006 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Gunungkidul tahun anggaran 2006
138
______, Peraturan Bupati Kulon Progo no. 8 tahun 2007 tentang Penjabaran APBD Kabupaten Kulonprogo tahun 2007 ______, Peraturan Bupati Kulon Progo no. 53 tahun 2007 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kulonprogo Tahun Anggaran 2008 ______, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No. 25 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 15 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bantul Tahun 2006 – 2010, sebagaimana dimuat dalam http://hukum.bantulkab.go.id/dl_dok. php?node=86 diakses pada hari Kamis, 5 Maret 2009, pukul 11.46 WIB ______, Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul no.1 tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja tahun anggaran 2007 ______, Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul no. 1 tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Gunungkidul tahun anggaran 2008 ______, Peraturan Pemerintah no. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ______, Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
139
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
______, Rancangan Peraturan Bupati Bantul No. ... tahun 2007 tentang Penjabaran APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 ______, Rekam Proses Focus Group Discussion (FGD) JARAK Bantul, 8 November 2008, tidak diterbitkan. ______, Rekam proses pertemuan-pertemuan jaringan kelompok masyarakat mitra IDEA di Kabupaten Bantul tahun 2007-2008, tidak diterbitkan. ______, Rekonstruksi Aceh-Nias Masuki Tahapan Peralihan --Rencana Aksi Rekonstruksi 2007-2009 diluncurkan bersama Pelaku Rekonstruksi, sebagaimana dimuat dalam e-aceh-nias.org/general_page/download_ article.aspx?page=news&id=153 diakses pada Minggu, 8 Maret 2009, pukul 22.36 WIB ______, UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara ______, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ______, UU No. 24 tahun Penanggulangan Bencana
2007
tentang
______, UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ______, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
140
LAMPIRAN A ANALISIS APBD KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2008 DENGAN PENDEKATAN SENSITIF PRB
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
I. PENDAHULUAN Dokumen APBD sebagai salah satu representasi adanya kehidupan demokrasi, tampaknya harus benar-benar diperhatikan ketersediaan dan kualitasnya. Salah satu alasannya adalah karena dokumen APBD menjadi alat ukur kualitas demokrasi suatu pemerintahan. Dilihat dari ketersediaannya, dokumen-dokumen anggaran di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah relatif mudah untuk didapatkan. Namun ada satu hal yang menjadi catatan khusus atas ketersediaannya. Dokumen anggaran yang masih berupa rancangan ternyata tidak dengan mudah dapat diakses, juga laporan pertanggungjawaban realisasi APBD. Sekilas terlihat adanya ‘larangan’ kedua jenis dokumen tersebut disebarkan ke wilayah publik. Lalu, jika kedua jenis dokumen tersebut sulit untuk diakses, bagaimana masyarakat akan dengan komprehensif mengontrol dan memberikan balikan (feed back) atas APBD? Meskipun telah ada forum-forum dengar pendapat publik (public hearing) yang dilakukan oleh pemerintah; tetapi, dokumen yang ada memuat keterangan yang bersifat gelondongan dan pemerintah tidak cukup komunikatif menanggapi balikan dari masyarakat. APBD Gunungkidul 2008 telah menggunakan format sesuai dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah dan Permendagri No. 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007. APBD Gunungkidul 2008 ditetapkan tanggal 28 Februari 2008. Asumsi yang muncul : kecuali anggaran yang rutin harus dikeluarkan seperti gaji aparatur, selama 2 bulan program-program yang dirancang belum bisa dieksekusi.
142
Lampiran
a. ANALISIS PENDAPATAN DAERAH Komponen pendapatan terdiri dari 5 bagian yaitu bagian sisa tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain penerimaan yang sah. Pendapatan menjadi tolok ukur seberapa besar suatu daerah akan dapat mengalokasikan belanjanya. Tabel A.1. Perbandingan pendapatan APBD Gunungkidul 2006 - 2008 APBD APBD KOMPONEN APBD PENDAPATAN GUNUNGKIDUL GUNUNGKIDUL GUNUNGKIDUL 2007 2008 2006 (Rp) (Rp) (Rp) PENDAPATAN 25.485.903.150 27.473.888.570 25.239.545.458 ASLI DAERAH DANA 490.535.621.940 529.089.447.170 586.697.618.097 PERIMBANGAN LAIN-LAIN 1.600.000.000 16.989.098.300 38.718.181.000 PENDAPATAN YANG SAH TOTAL 517.621.525.090 573.552.434.040 650.655.344.555 PENDAPATAN
Sumber : APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH: Retribusi kesehatan masih menjadi juara PAD merupakan sumber pendapatan yang digali dari potensi SDA dan masyarakat di wilayah masingmasing. Meskipun rata-rata PAD hanya memberikan kontribusi sebesar 4,7 % total pendapatan daerah, namun Gunungkidul tetap saja menjadikan pelayanan masyarakat sebagai sumber potensial PAD. Padahal PAD
143
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi (lihat pasal 3 Undang-Undang nomor 33 tahun 2004!). Namun apa jadinya kalau hal ini diartikan sebagai kesempatan dalam menggali sebanyakbanyaknya uang masyarakat agar dapat melaksanakan otonomi. Tidak ada batasan untuk sumber yang digali, ia berupa sumber yang terkait dengan pelayanan dasar warga atau bukan. Daftar juara PAD di bawah ini memperlihatkan betapa orang sakit masih menjadi juara penyumbang PAD. Selain orang sakit, yang banyak mengakses PUSKESMAS dan RSUD adalah perempuan dan anak. Merekalah aset daerah untuk mendongkrak pendapatan daerah, bahkan targetnya meningkat dari tahun sebelumnya. Tabel A.2. Daftar Sumber-sumber Terbesar PAD Kabupaten Gunungkidul 2006 - 2008 Sumber PAD Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 (Rp) (Rp) (Rp) Retribusi 6.873.750.000 8.107.970.000 9.622.147.008 Pelayanan kesehatan PUSKESMAS dan RSUD Retribusi jasa usaha potong hewan Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU)
4.280.562.500
4.182.330.000
7.935.000.000
2.745.707.800
3.500.000.000
4.000.000.000
Sumber : APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008
144
Lampiran
Catatan: Pajak penambangan galian C untuk batu kapur (baik oleh perusahaan, perajin, rekanan) ditarget Rp 280.000.000,00. Dari perspektif PRB, pendapatan ini perlu diperhatikan supaya pendapatan yang dihimpun tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Target lain adalah Rp 100.000.000,00 dari retribusi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Sebagai suatu ijin, tentu diharapkan IMB bisa dipakai dalam pengendalian sehingga di daerah rawan bencana tidak akan dibangun bangunan. IMB bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas warga dan pemerintah dalam mendorong dibangunnya bangunan di tempat yang aman, bukan di tempat yang rawan bencana. Pengambil kebijakan juga perlu memperhatikan unsur subsidi untuk mendorong pengajuan ijin bagi kelompok masyarakat tidak mampu. 2. DANA PERIMBANGAN DAERAH : BUKTI MASIH SENTRALISTIKNYA DISTRIBUSI ANGGARAN Dana perimbangan menjadi sangat berarti bagi daerah karena prosentasenya yang cukup besar dibanding pendapatan lainnya. Prosentase dana perimbangan telah ditentukan dengan jelas dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tujuan adanya dana perimbangan menurut Undangundang 33 adalah mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antarpemerintah daerah. Di balik semuanya, disparitas yang cukup besar antara dana perimbangan dengan PAD memunculkan kekhawatiran adanya resentralisasi dan keinginan pusat untuk menguasai lebih banyak hasil penggalian potensi daerah.
145
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel A.3. Dana Perimbangan Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 dan 2008 Komponen dana Besaran di tahun Besaran di tahun perimbangan 2007 (Rp) 2008 (Rp) Dana bagi hasil 20.071.447.170 21.422.868.097 Dana Alokasi Umum 459.851.000.000 504.395.750.000 (DAU) Dana Alokasi Khusus 49.167.000.000 60.879.000.000 (DAK) Total 529.089.447.170 586.697.618.097
Sumber : APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2007-2008 II. ANALISIS BELANJA DAERAH : ANGGARAN UNTUK PEMENUHAN HAK DASAR WARGA DALAM PERSPEKTIF PRB Kebijakan anggaran adalah instrumen penting yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan kewajiban negara (state obligation). Kebijakan anggaran adalah ranah strategis untuk mengukur seberapa jauh pemenuhan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi warga negara tercapai. Ada 2 (dua) prinsip pemenuhan hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah yaitu realisasi progresif (progressive realization) dan penggunaan sebesar-besarnya sumber daya yang tersedia (full use of maximum available resource). Prinsip realisasi progresif dimaknai sebagai kewajiban pemerintah untuk secara terus-menerus meningkatkan pemenuhan hak dasar rakyat. Perwujudannya dalam kebijakan anggaran berupa kewajiban pemerintah untuk terus-menerus meningkatkan besaran anggaran yang
146
Lampiran
dialokasikan untuk kesejahteraan sosial. Kenaikan ini merupakan kenaikan riil, bukan kenaikan yang hanya menyesuaikan inflasi. Sedangkan prinsip penggunaan sebesar-besarnya sumber daya yang tersedia memiliki makna kewajiban bagi pemerintah untuk menggunakan semaksimal mungkin sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya untuk pemenuhan hak asasi rakyat. Realisasinya dalam kebijakan anggaran adalah kewajiban bagi pemerintah untuk semaksimal mungkin menggunakan sumber pendapatan anggaran pemerintah bagi pembelanjaan terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia seperti pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan, dan lain-lain. Apabila melihat Konvensi Wina 1993, pemerintah harus mengambil sikap dalam melaksanakan program pembangunan. Negara mengambil sikap sekadar menghormati, melindungi, memfasilitasi, ataukah sudah memenuhi hak-hak warga negara. Pendekatan yang diambil juga harus menegaskan bahwa program yang dibuat bukan sekadar berdasarkan kebutuhan tetapi merupakan layanan publik yang harus dilakukan sebagai hak warga negara yang tak dapat ditunda pelaksanaannya. Layanan ini perlu memperhatikan kesetaraan, ketidakterpisahan, standar kinerja, partisipasi, pemberdayaan , dan akuntabilitas. Dalam konteks PRB, Kabupaten Gunungkidul telah membuat Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana 2009 - 2012. RAD ini memetakan ancaman bencana yang ada di Gunungkidul yaitu: 1. Banjir Potensi banjir di Kabupaten Gunungkidul terjadi pada lahan sempadan sungai seperti Sungai Oya dan beberapa wilayah lain pada posisi yang lebih rendah.
147
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
2. Tanah longsor berada di Kecamatan Patuk, Kecamatan Gedangsari, Kecamatan Ngawen, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Nglipar, dan beberapa di Kecamatan Purwosari. 3. Kekeringan yang diakibatkan oleh telaga tidak mampu menampung air hujan, penguapan sangat tinggi akibat kurang vegetasi, dan kebocoran telaga melalui ponor atau lubang di permukaan. Terdapat 31 (tiga puluh satu) telaga yang tersebar di Kecamatan Panggang, Kecamatan Saptosari, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Tepus, Kecamatan Girisubo, Kecamatan Rongkop, hingga Kecamatan Ponjong. 4. Gempa bumi Sebagian besar Pulau Jawa atau tepatnya di Samudra Hindia terdapat zona subduksi (tumbukan) Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Jalur itu membentang mulai dari bagian barat sampai bagian timur Pulau Jawa dan setiap saat mengalami pergerakan ke arah utara. Sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul rawan gempa bumi tektonik. Pola patahan ini mengarah ke timur laut-barat daya. Beberapa wilayah yang berada pada jalur sesar / patahan yang mengarah ke timur laut-barat daya anatar lain adalah Kecamatan Panggang, Kecamatan Purwosari, Kecamatan Patuk, Kecamatan Gedangsari, Kecamatan Nglipar, Kecamatan Semin, dan sebagian Kecamatan Playen. 5. Tsunami dan gelombang pasang mengancam daerah-daerah di sebelah selatan yaitu Pantai Ngobaran, Pantai Ngrenehan, Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Drini, Pantai Krakal, Pantai Sundak,
148
Lampiran
Pantai Siung, Pantai Wediombo, Pantai Ngungap, dan Pantai Sadeng, 6. Angin puting beliung Angin puting beliung biasanya terjadi pada musim hujan. Angin puting beliung terjadi karena perbedaan tekanan udara yang sangat ekstrim. Bencana ini pernah terjadi di Kabupaten Gunungkidul dan mengakibatkan 360 rumah rusak. Terakhir, bencana ini terjadi di Kecamatan Wonosari (Desa Gari dan Desa Karangtengah) 7. Kebakaran Bencana kebakaran di Kabupaten Gunungkidul umumnya terjadi di pemukiman padat penduduk. Kerawanan akan bertambah ketika terjadi musim kering yang panjang. 8. Epidemi, wabah, dan kejadian luar biasa Ancaman yang sampai saat ini harus diwaspadai adalah demam berdarah, malaria, dan flu burung. Kondisi lingkungan yang buruk, perubahan iklim, makanan yang tidak bergizi, dan pola hidup masyarakat yang salah merupakan beberapa faktor yang memicu terjadinya bencana ini. Berdasarkan pendekatan hak dasar dengan beragam aspek dan unsur dasar yang harus dipenuhi, ulasan di bawah ini akan melihat apakah Pemerintah Daerah Gunungkidul telah membuat program pembangunan untuk memenuhi hak-hak warganya.
149
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
1. PENDIDIKAN Pendidikan merupakan salah satu hak dasar warga yang harus dipenuhi. Komitmen pemerintah daerah dalam memenuhi hak dasar di bidang pendidikan dapat dilihat dari besarnya alokasi anggaran untuk pendidikan. Tabel berikut memperlihatkan alokasi angggaran pendidikan Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 s.d. 2008. Tabel A.4. Rasio belanja pendidikan terhadap total belanja APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008 Besaran pada Besaran pada Besaran pada tahun Item tahun 2006 tahun 2007 2008 Total Rp. Rp. Rp belanja 518.924.017.026,80 580.853.590.753,00 688.458.132.979,08 daerah
Anggaran Rp. Rp. Rp pendidikan 155.799.316.391,00 261.980.945.129,00 295.824.213.457,74 Rasio anggaran pendidikan terhadap 30,02% 45,10% 42,97% total belanja daerah Belanja non Rp n.a. n.a. kedinasan 22.841.672.500,00 pendidikan Rasio belanja non kedinasan pendidikan 4,40% n.a. n.a. terhadap total belanja daerah Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008
150
Lampiran
Dari tahun 2006 ke Tahun 2007 terdapat kenaikan sebesar Rp 106.181.628.738,00; kenaikan yang relatif besar secara kuantitatif. Dari sisi prosentase belanja, terdapat kenaikan lebih dari 15 %. Jika mengacu pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, direkomendasikan 20% APBD dialokasikan untuk belanja pendidikan non kedinasan. Untuk format APBD menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 harus dilihat dan dipilah kembali anggaran yang diperuntukkan bagi dinas dan anggaran yang dipergunakan untuk belanja non kedinasan. Kategori belanja langsung dan tidak langsung hanya diperuntukkan bagi belanja dinas dan belanja program. Dalam belanja program masih banyak belanja yang akhirnya dibayarkan kepada aparatur (pegawai honorer maupun PNS). Pada tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengalokasikan beberapa program pendidikan masyarakat yang lebih beragam daripada tahun sebelumnya. Tabel di bawah ini menunjukkan ragam anggaran yang diprogramkan untuk masyarakat.
151
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel A.5. Bantuan pendidikan untuk masyarakat Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 dan 2008 Bantuan kepada badan / lembaga / ORMAS / swasta
Frekuensi
Satuan penerima manfaat
Kelompok usaha pemuda produktif (KUPP)
18
kecamatan
45.000.000
45.000.000
Kelompok seni pemuda
18
kecamatan
27.000.000
36.000.000
Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM)
51
PKBM
153.000.000
260.000.000
Besaran pada tahun 2007 (Rp)
TK swasta
100
TK
1.500.000.000
Alat permainan edukatif (APE) untuk TK
100
TK
150.000.000
Besaran pada tahun 2008 (Rp)
100.000.000
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008
Istilah “Bantuan” dalam APBD perlu ditinjau kembali karena istilah itu tidak menunjukkan bahwa APBD adalah hak masyarakat. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa fungsi pemerintah adalah sebagai pengelola anggaran milik masyarakat. Apalagi dalam hal pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggung jawab pemerintah.
152
Lampiran
Tabel A.6. Bantuan PAUD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008 Besaran di tahun 2006 (Rp)
Besaran di tahun 2007 (Rp)
Pengembangan lembaga PAUD
54.000.000
180.000.000
180.000.000
Forum komunikasi PAUD
2.400.000
10.000.000
5.000.000
HIMPAUDI
-
-
5.000.000
Stimulan rintisan PAUD
-
-
45.000.000
Insentif pendidik PAUD
-
-
22.500.000
APE PAUD
-
-
7.000.000
Program
Besaran di tahun 2008 (Rp)
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008
Dalam tahun 2008, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul lebih berani membuat keragaman alokasi untuk bantuan kemasyarakatan. Tabel A.7. Perbandingan beasiswa Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 dan 2007 Program
Besaran di tahun 2006 (Rp)
Besaran di tahun 2007 (Rp)
Beasiswa SMA/SMK/MA
117.000.000
Retrieval SMA/SMK/MA
175.000.000
312.000.000 200.000.000
Beasiswa transisi SMP/MTs
-
Beasiswa prestasi SMP/MTs
315.000.000
600.000.000 315.000.000
Beasiswa bakat prestasi SD/MI
450.000.000
450.000.000
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2007
153
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Terdapat perubahan nama kegiatan untuk beasiswa pada tahun sebelumnya 2006-2007, pada tahun 2008 nama kegiatan berubah menjadi pendidikan murah yaitu: Tabel A.8. Alokasi anggaran pendidikan murah Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 Alokasi tahun Kegiatan 2008 (Rp) Pendidikan murah SD/MI (43.890 siswa) 3.950.100.000 Pendidikan murah SMP/MTs (21.945 3.950.100.000 siswa) Pendidikan murah SMA/MA (13.300 3.990.000.000 siswa) Bantuan bakat prestasi SMP/MTs 150.000.000 Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
2. KESEHATAN Pagu anggaran kesehatan yang disarankan WHO adalah 5 % PDRB daerah. Kecenderungan yang ada di Gunungkidul, terdapat kenaikan belanja kesehatan dari tahun ke tahun, baik secara kuantitatif maupun dalam prosentase atas APBD dan PDRB. Kenaikan anggaran kesehatan pada tahun 2007 juga diikuti dengan peniadaan pungutan retribusi PUSKESMAS kepada warga yang memeriksakan kesehatan di PUSKESMAS.
154
Lampiran
Tabel A.9. Perbandingan belanja Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2005 s.d. 2008 Besaran Tahun 2005
Besaran Tahun 2006
Besaran Tahun 2007
Besaran Tahun 2008
Rp 17.167.173.126,00
Rp 34.567.244.026,00
Rp 55.383.121.211,00
Rp 51.230.154.000,00
Rasio anggaran kesehatan terhadap total belanja daerah
4,7%
4,7%
9,53%
Prosentase anggaran kesehatan atas PDRB Kabupaten Gunungkidul tahun 2005*
0,45%
0,90%
1,44%
Item Total anggaran kesehatan
7,44%
1,32%
*PDRB Kabupaten Gunungkidul tahun 2005 Rp 385.3621.000.000,00. Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2005-2008
Beberapa program kesehatan untuk masyarakat juga mengalami peningkatan. Sayangnya program POSYANDU sebagai layanan terpadu yang paling dekat dengan masyarakat tidak terlihat jelas dalam program di tahun 2007. Pada tahun 2008 kegiatan pengembangan POSYANDU telah diprogramkan. Dalam tahun 2007 layanan penanganan gizi burukpun beragam, mulai dari pengiriman rujukan Rp 10 juta, intervensi gizi buruk Rp 20 juta, makanan pendamping ASI bayi gakin Rp 269 juta, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan balita gizi buruk Rp 297.540.000,00 sampai pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) lebih dari 1 miliar. Sayangnya, pada tahun 2008
155
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
keragaman program berkurang hanya dengan kudapan PMTAS sebesar Rp 2.336.250.000,00. Dalam konteks pengurangan risiko bencana, Dinas kesehatan telah mengantisipasi beberapa kemungkinan KLB yang terjadi di Gunungkidul dalam program PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR. Tabel A.10. Program Pencegahan dan Penanggulangan penyakit menular dalam APBD Gunungkidul tahun 2008 ITEM KEGIATAN ALOKASI (Rp) Peningkatan imunisasi 35.815.000 Penanggulangan wabah Penanggulangan TBC
34.387.500 134.387.000
Pengendalian penyakit malaria
11.931.000
Pengendalian penyakit kusta Pengendalian penyakit deman berdarah Pencegahan dan penanggulangan flu burung Penanggulangan penyakit cacingan
21.855.000
Pengendalian penyakit diare
173.540.000 13.712.500 4.130.000 35.330.000
Pengendalian penyakit ISPA 2.120.000 Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
3. Anggaran untuk kelompok perempuan Anggaran untuk kelompok perempuan diulas dalam bahasan tersendiri karena kelompok perempuan seringkali menjadi warga kelas 2 dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Padahal perempuan kebanyakan bekerja dengan berbagai urusan di beberapa wilayah,
156
Lampiran
mulai urusan terkait dengan reproduksi (melahirkan, menyusui), juga wilayah produksi dan sosial. Sayangnya seringkali keterlibatan perempuan di wilayah produksi banyak didominasi oleh pekerjaan domestik yang tidak terukur dengan uang. Diagram A.1. Rasio jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 menurut jenis kelamin
Sumber : Kab. Gunungkidul dalam angka tahun 2008.
Terkait dengan anggaran untuk kelompok perempuan, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, BAB 111 pasal 9 ayat 1 telah menegaskan bahwa : “Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing‑masing Provinsi, Kabupaten, dan Kota sekurang‑kurangnya minimal sebesar 5 % (lima persen) APBD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.”
157
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Anggaran yang penerima manfaatnya kelompok perempuan telah tersebar dalam beberapa program. Bagian ini akan memberikan gambaran anggaran yang spesifik untuk kelompok perempuan (termasuk anakanak). Tabel A.11. Bantuan sosial dan organisasi untuk kelompok perempuan dan anak Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 s.d. 2008 Besaran Besaran Besaran anggaran anggaran anggaran KEGIATAN tahun 2006 tahun 2007 tahun 2008 (Rp) (Rp) (Rp) Pendampingan korban kekerasan perempuan dan 5.000.000 10.000.000 10.000.000 anak Pendampingan 5.000.000 10.000.000 10.000.000 korban KDRT Forum penanganan 10.000.000 korban kekerasan PKK (kecamatan 70.500.000 115.640.000 117.640.000 dan kabupaten) Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2006-2008
158
Lampiran
Tabel A.12. Program dan kegiatan pemberdayaan perempuan Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 Item anggaran Program Keserasian Kebijakan Peningkatan kualitas anak dan perempuan Sosialisasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan Pemantapan jaringan kerja pemberdayaan perempuan Program Penguatan kelembagaan PUG dan Anak
Besaran anggaran (Rp) 134.955.000 18.760.000 76.950.000
Pengembangan materi dan pelaksanaan KIE tentang kesetaraan gender
16.475.000
Penguatan kelembagaan PUG dan Anak
60.475.000
Program Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan Pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan TOT SDM pelayanan dan pendampingan korban KDRT Penyusunan sistem perlindungan bagi permpuan Sosialisasi dan advokasi kebijakan perlindungan TKP Sosialisasi sistem pencatatan dan pelaporan KDRT Fasilitasi upaya perlindungan perempuan terhadap kekerasan Program Peningkatan peran-serta dan kesetaraan gender dalam pembangunan
Pembinaan organisasi perempuan Pendidikan dan pelatihan peningkatan peran-serta dan kesetaraan Bimbingan manajemen usaha bagi perempuan
134.170.000 16.675.000 22.285.000 29.755.000 8840.000 39.860.000 16.755.000 66.340.000 30.630.000 15.230.000 20.480.000
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
159
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
4. ANGGARAN UNTUK PENGURANGAN KEMISKINAN Indeks kemiskinan Kabupaten Gunungkidul menurut data Human Development Index UNDP-BAPPENASBPS tahun 2004 menempati urutan ketiga setelah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Namun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gunungkidul menempati urutan terakhir di antara kabupaten dan kota lain di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan bahkan menempati peringkat ke-140 di antara kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Melihat data statistik tersebut, sudah saatnya peningkatan anggaran ditujukan untuk pengurangan kemiskinan. Jika Pemkab Gunungkidul hanya memiliki program pengurangan kemiskinan tanpa peningkatan anggaran dari tahun sebelumnya, tidak ada signifikansinya bagi pengurangan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul. Diagram di bawah ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2006 ke 2007 untuk anggaran beberapa program pengurangan kemiskinan yang dapat diakses oleh masyarakat. Dari diagram itu terbaca pelayanan SKTM dan usaha ekonomi produktif untuk keluarga miskin mengalami peningkatan, tetapi pendampingan kelompok masyarakat IDT dan premi asuransi gakin tidak mengalami peningkatan.
160
Lampiran
Diagram A.2. Anggaran bantuan sosial untuk pengurangan kemiskinan Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 s.d. 2008
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 20062008, diolah
5. PERTANIAN DAN PETERNAKAN Peran utama penyangga perekonomian Kabupaten Gunungkidul adalah pertanian lahan tandus dan peternakan. Kontribusi sektor ini mencapai 35,9% PDRB Kabupaten Gunungkidul dan menyerap 38 % tenaga kerja. Sayangnya, urusan pertanian dan peternakan menjadi urusan pilihan di daerah ini. Prosentase belanja sektor ini dibanding belanja APBD secara keseluruhan hanya mencapai 2%, angka yang jauh dari cukup untuk sektor yang diandalkan warga menjadi sumber penghasilan utama.
161
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel A.13. Belanja Dinas Pertanian Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 s.d. 2008 Besaran anggaran Besaran anggaran ITEM BELANJA tahun 2007 (Rp) tahun 2008 (Rp) Total belanja 11.619.920.110 10.999.386.380 Belanja langsung 9.001.841.100 (untuk pelaksanaan 7.276.441.500 program) Belanja tidak langsung 4.343.478.610 1.997.545.280 (untuk belanja gaji) Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2007-2008
Terdapat perbaikan alokasi anggaran, di mana anggaran untuk program-program yang ditujukan kepada masyarakat meningkat dan ada penurunan alokasi untuk belanja tidak langsung. Di bawah ini beberapa program yang ditujukan untuk masyarakat, mulai dari program pelatihan, kelembagaan petani, pembangunan lumbung pangan sampai penyediaan saprodi serta bibit unggul pertanian dan perkebunan. Program dan kegiatan ini untuk mengatasi persoalan kekeringan yang melanda Kabupaten Gunungkidul. Anggaran untuk mengatasi persoalan rawan pangan pun telah dialokasikan.
162
Lampiran
Tabel A.14. Program peningkatan ketahanan pangan Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 ALOKASI ITEM KEGIATAN ANGGARAN (Rp) Penanganan daerah rawan pangan 68.070.000 Penyusunan data base potensi 147.480.000 produksi pangan Pengembangan intensifikasi padi dan 253.905.000 polowijo Pengembagan diversifikasi tanaman 101.200.000 Pengembangan pertanian lahan 2.572.950.000 kering Pengembangan lumbung pangan desa 223.635.000 Pengembangan pembibitan 584.472.500 Pengembangan sistem informasi 25.790.000 pasar Peningkatan produksi perkebunan136.405.000 pertanian Monev dan pelaporan 16.015.000 Pendampingan pengelolaan lahan dan 104.600.000 air TOTAL 4.317.052.500 Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
163
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Sedangkan untuk Dinas Peternakan kemungkinan penyebaran penyakit menular yang dibawa oleh hewan diatasi dengan beberapa program seperi berikut : Tabel A.15. Beberapa program di sektor peternakan yang ada dalam APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008 terkait dengan wabah penyakit menular dari peternakan ITEM KEGIATAN ALOKASI ANGGARAN (Rp) Pendataan masalah peternakan 27.800.000 Pencegahan penyakit menular ternak 15.425.000 Pengawasan perdagangan ternak antar 2.290.000 daerah Pengawasan (surveillance) penyakit 11.150.000 hewan Pelayanan laboratorium kesehatan 25.433.500 hewan Pengembangan pelayanan kesehatan 11.500.000 hewan terpadu Penanggulangan penyakit menular ternak 17.485.000 Pembuatan peta penyakit ternak 4.320.000 Sosialisasi penyakit ternak 20.120.000 Pembinaan dan pengawasan kesehatan 36.600.000 masyarakat Pengawasan pemotongan hewan qurban 20.215.000 TOTAL 192.338.500 Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
164
Lampiran
6. Alokasi Dana Desa dan beberapa anggaran yang masuk ke desa Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa pasal 68 bagian C menyebutkan bahwa sumber pendapatan bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa ditetapkan secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD). Apabila kita telusuri lebih lanjut dalam APBD Gunungkidul, terdapat kenaikan Alokasi Dana Desa dari tahun 2006 sebesar Rp 10 Miliar menjadi Rp 16 Miliar pada tahun 2007. dalam tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Gunungkidul masih mengalokasikan dana untuk ADD sebsar 16 M Peruntukan Alokasi Dana Desa bisa dilihat dalam Peraturan Bupati Gunungkidul tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa. Tabel A.16. Alokasi Dana Desa tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul PROGRAM dan KEGIATAN ALOKASI ANGGARAN (Rp) Bagi hasil ke desa bagi hasil pajak ke desa 1.155.697.200 bagi hasil retribusi ke pemerintah 858.000.000 desa kompensasi kepala desa 75.000.000 Bantuan keuangan ke desa Bantuan untuk perangkat desa 54.000.000 yang tidak punya pelungguh Bantuan untuk kepala desa yang 50.000.000 diberhentikan dengan hormat (berlanjut)
165
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
(lanjutan)
Bantuan untuk perangkat desa yang diberhentikan dengan hormat Uang duka kepala desa dan perangkat desa Biaya pemilihan kepala desa Biaya pemilihan dukuh Biaya pengisian jabatan perangkat desa Biaya pelantikan kepala desa Alokasi Dana Desa (ADD) Pembangunan kantor desa Dana untuk perangkat desa purna tugas Tunjangan perangkat desa
40.000.000 50.000.000 75.000.000 70.000.000 105.000.000 20.000.000 16.000.000.000 1.200.000.000 258.000.000 14.941.800.000
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
7. Kelompok rentan (difabel dan yatim piatu) Sebagai bagian masyarakat, penduduk difabel adalah kelompok yang sering dilupakan dalam proses penganggaran daerah. Meskipun jumlah penduduk difabel relatif tidak banyak dibandingkan dengan warga non difabel, namun keberadaan mereka tidak bisa diabaikan. Jumlah warga difabel di Propinsi DIY mencapai 3.102.530 jiwa (1,27% jumlah penduduk Provinsi DIY). Data terakhir menunjukkan warga difabel di Provinsi DIY mencapai 5%, di Gunungkidul terdapat 1.564 anak difabel dan 4.778 difabel (BPS Kabupaten Gunungkidul, 2005). Jumlah tersebut nampaknya belum berimplikasi positif dalam kebijakan anggaran. Selain difabel, kelompok yang perlu mendapat perhatian adalah yatim/piatu/yatim-piatu. Dari data BPS 2005, jumlah anak asuh cenderung mengalami kenaikan sementara jumlah panti asuhan yang menampung terbatas.
166
Lampiran
Diagram A.3. Perbandingan jumlah panti asuhan dan jumlah anak asuh di Kabupaten Gunungkidul tahun 2004 s.d. 2005
Sumber : Profil Kab. Gunungkidul tahun 2005, BPS Kab. Gunngkidul
Untuk kondisi di atas, respon yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul melalui anggaran dengan bantuan sosial adalah : Tabel A.17. Belanja bantuan sosial Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk panti asuhan dan SLB serta difabel dan penyandang trauma tahun 2007 dan 2008 Kegiatan / bantuan Besaran Besaran sosial anggaran anggaran tahun 2007 2008 (Rp) (Rp) Panti asuhan dan SLB 120.000.000 120.000.000 Penderita cacat dan 43.500.000 20.000.000 trauma Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2007-2008
Dana untuk difabel (dokumen anggaran masih memakai istilah ‘penyandang cacat’) dan penderita trauma mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
167
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
8. Dana Kebencanaan Bencana alam adalah suatu kejadian luar biasa yang perlu perhatian khusus. Kejadian ini tidak diinginkan, namun apabila sudah datang, tidak ada yang dapat menolak. Ada beberapa yang datangnya tidak dapat diprediksi seperti gempa bumi tetapi ada bencana alam yang setiap tahun melanda suatu wilayah misalnya kekeringan. Melihat kenyataan yang terkadang tidak dapat diprediksi, maka kesiapan untuk meminimalkan risiko amat penting dilakukan. Salah satunya adalah mempersiapkan anggaran untuk meminimalkan risiko tersebut. Kabupaten Gunungkidul adalah salah-satu daerah yang rawan bencana. Data di bawah ini (halaman baliknya, Diagram A.4.) menunjukkan beberapa bencana yang melanda Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2005 berdasarkan kejadian. Menurut data ini, kekeringan menempati posisi teratas diikuti oleh bencana lainnya, kemudian banjir, angin topan, tanah longsor, dan kebakaran.
168
Lampiran
Diagram A.4. Jumlah Desa Rawan Bencana tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul JUMLAH DESA RAWAN BENCANA 144 150 100
54
49
38
50 0
Kekeringan Gempa Angin Tanah Bumi Ribut/TopanLongsor
22
Banjir
Sumber : Kantor Kesbang dan Linmas Kab. Gunungkidul, 2008.
Beberapa program antisipatif untuk mengatasi kekeringan, seperti pembangunan sumur pompa air, dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu Dinas Pertanian juga mempersiapkan lumbung padi untuk mengatasi rawan pangan akibat kekeringan. Selain program antisipatif, terdapat beberapa program yang sifatnya kuratif seperti santunan, bantuan penyelamatan, dan lainnya. Namun, kesiaan untuk program kuratif ini lebih banyak ditujukan untuk bencana laut. Untuk bencana lain nampaknya belum ada persiapan yang berarti.
169
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel A.18. Beberapa program kebencanaan di Kesbanglinmas Kabupaten Gunungkidul yang bisa diakses oleh warga secara langsung pada tahun 2008 Alokasi Kegiatan bantuan sosial anggaran kemasyarakatan (Rp)
Linmas inti kecamatan 27.000.000 Linmas inti desa 107.600.000 Pelaksanaan HUT linmas 10.000.000 Santunan korban bencana alam 100.000.000 PBP kecamatan 18.000.000 Ormas 60.000.000 Pencarian, penyelamatan, evaluasi 12.000.000 korban Penguburan mayat korban laka laut 3.000.000 Uang duka korban laka laut bagi 10.000.000 wisatawan Pengiriman korban laka laut wisatawan 5.000.000 Korban PKB 2.500.000 Untuk LSM 15.000.000 Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Gunungkidul tahun 2008
Untuk kegiatan yang bersifat insidental, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah mengalokasikan dana tak terduga sebesar Rp 3.500.000.000,00 yang dapat digunakan untuk keperluan belanja kebencanaan.
170
Lampiran
IV. PENUTUP Dokumen Penjabaran APBD Gunungkidul 2008 perlu diapresiasi karena mudah dibaca. Penjelasan yang detail dari setiap program memudahkan warga untuk mengetahui manfaat dan lokasi penerima manfaat program. Alokasi kebencanaan telah tersebar di beberapa SKPD yang ada. Sayangnya beberapa bencana seperti angin puting beliung kurang mendapat respon, begitu juga kekeringan. Respon untuk bencana kekeringan selama ini hanya dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Dinas PU dengan pengedropan air minum. Dalam kasus kekeringan, terdapat banyak aset masyarakat yang hilang sehingga respon yang lebih serius perlu dilakukan oleh semua dinas yang ada. []
171
LAMPIRAN B ANALISIS APBD KABUPATEN BANTUL TAHUN 2008 DENGAN PERSPEKTIF PRB
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
I. Pengantar Satu tahun setelah gempa bumi, telah banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah maupun lembaga dalam dan luar negeri untuk melakukan upayaupaya rehabilitasi dan rekonstruksi di Kabupaten Bantul. Sekalipun banyak menyisakan persoalan di tingkat warga, upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dikatakan selesai. Namun kita tetap tidak bisa menutup mata bahwa masih ada keluarga miskin yang tercecer dari pendataan penerima dana rehabilitasirekonstruksi. Berbagai permasalahan dalam distribusi dana rehabilitasi-rekonstruksi ada dalam hampir setiap tahap, mulai dari tahap pendataan yang tidak tepat sampai pada pemotongan dana yang harus diterima oleh masyarakat, mendapatkan respon dari pemerintah daerah. Strategi yang dipilih oleh pemerintah daerah adalah dengan mengadakan agenda rekonsiliasi yang dianggarkan dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 sebesar Rp 10.000.000.000,00. Dengan rekonsiliasi ini diharapkan semua warga Kabupaten Bantul bisa melupakan dan mengakhiri konflik yang pernah terjadi akibat pengelolaan dana rehabilitasi-rekonstruksi. Secara geografis, Kabupaten Bantul memiliki karakter yang khas. Di bagian tengah terdapat dataran yang cukup potensial untuk pertanian irigasi. Sedangkan bagian barat dan timur merupakan daerah pegunungan yang mempunyai potensi kekeringan pada setiap datangnya musim kemarau. Di bagian selatan terdapat kawasan pantai yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata dan penghasil ikan laut. Dengan melihat kondisi wilayah seperti itu, Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang rawan terhadap berbagai bencana alam. Bencana
174
Lampiran
kekeringan dan tanah longsor berpotensi terjadi pada daerah pegunungan terutama di bagian timur yang merupakan perbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul. Bencana Banjir juga menjadi ancaman bagi warga Bantul, terutama yang tinggal di daerah aliran Sungai Opak dan Sungai Progo. Selain itu, gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 bisa terulang setiap saat dan ada kemungkinan terjadi tsunami yang akan mengancam masyarakat yang tinggal di daerah pantai pada khususnya. Pengalaman gempa bumi 27 Mei 2006 telah membuka mata berbagai pihak, baik masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah untuk menyusun program dan kegiatan yang berkaitan dengan upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Dorongan dari kelompok masyarakat dan lembaga non pemerintah telah menyemangati pemerintah untuk merevisi RPJMD dengan memasukkan program-program pengurangan risiko bencana. Namun begitu, komitmen pemerintah untuk memasukkan pengurangan risiko bencana dalam RPJMD perlu kita lihat realisasinya dalam penyusunan APBD. Apakah pemerintah daerah secara khusus telah mengalokasikan anggarannya untuk program pengurangan risiko bencana? Sudahkah pengurangan risiko bencana menjadi perspektif bagi setiap SKPD dalam penyusunan penganggaran? Komitmen pemerintah daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana dapat kita lihat melalui penganggaran. Kebanyakan pemerintah daerah berupaya menaikkan PAD dari tahun ke tahun. Di satu sisi peningkatan PAD akan meningkatkan belanja untuk pembangunan, namun di sisi lain peningkatan PAD justru berpeluang meningkatkan kerentanan karena membebani masyarakat atau dampaknya bisa
175
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
meningkatkan ancaman. Peningkatan pajak untuk ijin penambangan galian C, apabila tidak terkendali dan tidak diawasi, berpotensi mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Begitu juga dengan sisi belanja di APBD, kita bisa melihat apakah belanja langsung dalam APBD lebih banyak digunakan untuk program dan kegiatan yang bisa mendukung pengurangan risiko bencana atau justru berpotensi meningkatkan risiko bencana. Berdasarkan data dari Badan Kesejahteraan Keluarga (BKK) Kabupaten Bantul, jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bantul pada tahun 2004 adalah 38.000 keluarga dengan 94.997 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2004 mencapai 806.539 jiwa. Dalam data pada tahun 2006, jumlah keluarga miskin meningkat menjadi 79.357 keluarga dengan 288.035 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2006 mencapai 817.086 jiwa di mana 415.533 jiwa perempuan dan 401.553 jiwa laki-laki. Dengan demikian jumlah penduduk perempuan dan laki-laki berselisih dengan jumlah perempuan lebih banyak 13.980 jiwa daripada jumlah penduduk laki-laki. Sesuai dengan Inpres no. 9 tahun 2000 tentang PUG, Pemerintah Kabupaten Bantul seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan kaum perempuan. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Yang Responsif PRB Terjadinya bencana gempa bumi 27 Mei 2006 telah mendorong Pemerintah Kabupaten Bantul untuk melakukan revisi RPJMD. Hal ini karena bencana gempa bumi tersebut telah mengakibatkan berubahnya asumsi dasar, yaitu pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan
176
Lampiran
dan tingkat pengangguran. Tujuan RPJMD Perubahan ini adalah : menyediakan acuan resmi bagi seluruh jajaran pemerintah daerah dan DPRD dalam menentukan prioritas program dan kegiatan tahunan yang mengacu pada risiko bencana, pemulihan kondisi umum dan percepatan pembangunan yang akan dibiayai dari APBD Kabupaten Bantul, APBD Provinsi DIY, dan APBN. Kemudian juga menyediakan satu tolok ukur untuk mengukur dan melakukan evaluasi kinerja setiap satuan kerja daerah gempa. Dengan demikian UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah no. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana menjadi landasan dalam penyusunan RPJMD Perubahan. Gambaran Umum Kondisi Wilayah Rawan Bencana di Kabupaten Bantul Analisis wilayah rawan bencana merupakan sebuah gambaran umum kondisi daerah, namun apa yang tersaji belum merupakan analisis yang mendalam. Dari sisi jenis ancaman bencana, RPJMD Perubahan ini hanya mencantumkan ancaman bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami. Pemetaan daerah rawan bencana tidak menyebutkan adanya ancaman bencana kekeringan, namun dalam pemetaan wilayah disebutkan bahwa karakteristik wilayah perbukitan rawan terhadap kekeringan dan tanah longsor. Pemetaan daerah rawan bencana masih menggunakan pendekatan wilayah kecamatan dan belum memperlihatkan prediksi mengenai subyek yang terancam, jumlah subyek yang
177
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
terancam, dan prediksi kerugian bila terjadi bencana. Seperti yang tertulis dalam RPJMD Perubahan, ancaman bencana tanah longsor berpotensi terjadi di Kecamatan Pleret, Kecamatan Imogiri, Kecamatan Piyungan, dan Kecamatan Dlingo, namun belum dijelaskan secara spesifik dusun atau desa yang dimaksud. Toh tidak mungkin seluruh dusun dan desa dalam satu kecamatan berpotensi terjadi tanah longsor. Diiperlukan pemetaan wilayah rawan bencana secara lebih detail agar lebih memudahkan perencanaan dan penganggarannya. Berdasarkan tipologi wilayah, Kabupaten Bantul merupakan daerah yang rawan ancaman gempa bumi karena sebagian wilayahnya dilewati jalur sesar. Jalur sesar tersebut melewati 8 (delapan) kecamatan, yaitu Kecamatan Jetis, Kecamatan Pleret, Kecamatan Kretek, Kecamatan Pundong, Kecamatan Dlingo, Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Piyungan, dan Kecamatan Imogiri. Berdasarkan pengalaman gempa 27 Mei 2006, di antara kedelapan kecamatan tersebut Kecamatan Jetis mempunyai risiko lebih tinggi, baik kerusakan sarana / prasarana maupun korban jiwa. Sedangkan wilayah yang tidak dilalui jalur sesar namun mempunyai jumlah korban sedang adalah Kecamatan Bambanglipuro. Kecamatan Srandakan, Kecamatan Sanden, Kecamatan Pandak, Kecamatan Pajangan, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Sedayu, dan Kecamatan Sewon merupakan daerah yang tidak dilalui jalur sesar dan mempunyai tingkat ancaman rendah. Tipologi wilayah tersebut menjadi acuan bagi penyusunan perencanaan kawasan perumahan dan permukiman dengan memperhatikan zona rawan bencana.
178
Lampiran
Tabel B.1. Kerusakan rumah di tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Bantul akibat gempa bumi 27 Mei 2006 No. Nama Jumlah Jumlah Jumlah kecamatan rumah rumah rumah rusak total rusak rusak (unit) berat ringan (unit) (unit) 1 Dlingo 1.377 3.380 4,720 2 Piyungan 5.514 4.801 3.135 3 Pleret 8.139 2.322 1.438 4 Banguntapan 5.557 8.232 7.452 5 Bantul 4.708 7.338 3.301 6 Imogiri 5.664 5.354 11.781 7 Jetis 11.356 2.610 664 8 Sewon 8.281 8.496 6.004 9 Bambanglipuro 6.587 2.732 816 10 Pundong 6,793 1.903 500 11 Kretek 1.121 4.665 2.486 12 Kasihan 1.790 4.657 11.946 13 Pajangan 1.228 2.216 2.610 14 Pandak 2.966 5.760 4.069 15 Sanden 97 2.052 4.650 16 Srandakan 342 3.054 3.506 17 Sedayu 243 1.800 4.591 JUMLAH 71.763 71.372 73.669 Sumber : BAPPEDA Kabupaten Bantul, 2006 sebagaimana dikutip dalam tabel 27 Bab II Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bantul no.25 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul no.15 tahun 2005 tentang RPJMD Kabupaten Bantul tahun 2006 – 2010.
Selain kerusakan rumah penduduk, terjadi juga kerusakan sarana umum, seperti sekolah, sarana kesehatan, bangunan gedung kantor, sarana tansportasi, dan sarana irigasi. Taksiran kerugian akibat gempa bumi 27 Mei 2006 mencapai Rp 1.188.660.323.770,00. Pada tahun 2007, proses rehabilitasi dan rekonstruksi kerusakan tersebut sebagian besar sudah selesai dengan dukungan dana dari APBN dan lembaga internasional.
179
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Analisis Kapasitas dan Kerentanan di Kabupaten Bantul Dengan melihat pengalaman gempa bumi 27 Mei 2006 dan hasil pemetaan daerah rawan bencana, maka kemudian muncul analisis kapasitas dan kerentanan. Analisis kapasitas dan kerentanan ini mencakup kapasitas dan kerentanan pemerintah maupun masyarakat. Beberapa item analisis ini merupakan hasil analisis masyarakat.
Kerentanan
Tabel B.2. Matriks Analisis Kapasitas dan Kerentanan dalam RPJMD Perubahan Kabupaten bantul 2006-2010
180
Pemerintah 1. Belum ada Perda tentang Penanggulangan Bencana. 2. Implementasi RTRW kurang tegas. 3. Belum ada lembaga struktural yang secara khusus menangani bencana. 4. Mekanisme penanggulangan bencana belum optimal. 5. Pemerintah kurang memberdayakan personel LINMAS. 6. Jumlah personel dan peralatan SAR kurang memadai. 7. Data monografi wilayah belum lengkap memuat informasi PRB. 8. Belum ada Perda IMB yang berbasis PRB. 9. Pemahaman mitigasi belum optimal. 10. Fasilitas rawat inap belum merata di semua PUSKESMAS. 11. Besaran anggaran berbasis PRB belum mencukupi. 12. Sistem peringatan dini kurang handal.
Masyarakat 1. Aset yang dimiliki bernilai kecil. 2. Lahan terfragmentasi menjadi petak-petak sempit. 3. Struktur investasi dan usaha mudah goyah. 4. Ada kecemburuan sosial yang laten, sehingga warga mudah terprovokasi. 5. Munculnya ”budaya manja” dan menunggu bantuan. 6. Pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian akan lingkungan hidup dan kebencanaan masih relatif rendah. 7. Kurang siap tanggap bencana. 8. Permukiman berada di pinggir pantai sehingga rawan tsunami. 9. Permukiman berada di perbukitan sehingga rawan tanah longsor. 10. Ada warga bertani di lahan pinggir sungai sehingga terancam rawan banjir. 11. Kepatuhan peraturan tata ruang belum optimal. 12. Konstruksi bangunan tidak cukup kuat. 13. Jumlah KK miskin semakin meningkat.
Kapasitas
Lampiran
Pemerintah 1. Pemerintah daerah memiliki RPJMD yang memuat aspek PRB. 2. Daerah telah memiliki Perda IMB. 3. Pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran PRB dalam APBD. 4. Pemerintah daerah mempunyai komitmen kebijakan untuk melestarikan sumber daya alam. 5. Pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk mempertahankan dan menambah ruang terbuka hijau. 6. Pemerintah daerah memiliki aset yang dapat dipergunakan untuk mengatasi bencana. 7. Pemerintah daerah telah membentuk Dinas Sosial. 8. Pemerintah daerah memiliki wewenang koordinasi antar instansi terkait dan dengan pihak swasta. 9. Pemerintah daerah memiliki jaringan hubungan dengan pemangku kepentingan terkait tingkat lokal, nasional, dan internasional. 10. Ada kebijakan pengembangan kurikulum dengan kearifan lokal 11. Ada kurikulum kebencanaan. 12. Organisasi dan SDM yang relatif sudah memadai. 13. Pemerintah daerah mempunyai Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana dan Tim Regulatory Impact Assesment (RIA). 14. Pemerintah daerah mempunyai mekanisme koordinasi untuk antisipasi terjadinya bencana.
Masyarakat 1. Budaya gotong-royong masih cukup kuat. 2. Mulai muncul kesadaran pentingnya konstruksi bangunan yang tanggap bencana. 3. Swadaya masyarakat cukup tinggi 4. Mulai muncul kesadaran pentingnya tata ruang yang tanggap bencana. 5. Mulai ada penggunaan kawasan pantai yang menyesuaikan dengan ancaman bencana. 6. Memiliki organisasi untuk antisipasi bencana, antara lain LINMAS, TAGANA (Taruna Tanggap Bencana). 7. Sudah ada lokasi dan prasarana jalan desa untuk evakuasi. 8. Mulai muncul kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang aman.
181
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Sumber : BAPPEDA Kabupaten Bantul, 2007 sebagaimana dikutip dalam Tabel 34 Bab II Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.25 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.15 Tahun 2005 tentang RPJMD Kabupaten Bantul Tahun 2006 – 2010.
Visi, Misi dan Nilai-nilai Pembangunan Kabupaten Bantul Adapun salah satu dari 3 (tiga) misi pembangunan Kabupaten Bantul adalah : mempercepat pemulihan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi melalui pengembangan ekonomi lokal berwawasan lingkungan yang tangguh pasca gempa bumi 27 Mei 2006 serta mewujudkan ketahanan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana. Misi ini dijabarkan menjadi beberapa tujuan. Pertama, meningkatkan kapasitas pemerintah dalam penyelenggaraan pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Kedua, berkurangnya kerentanan dan meningkatnya kapasitas masyarakat dalam menghadapai ancaman bencana. Ada 9 (sembilan) nilai-nilai yang diemban oleh organisasi dalam perjalanan mewujudkan visi. Salah satu nilai tersebut adalah adanya proses perencanaan dan pembangunan di Kabupaten Bantul berbasis pengurangan risiko bencana. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar korban ribuan jiwa dalam bencana gempa bumi tidak terulang lagi di kemudian hari. Strategi Pembangunan Daerah Kabupaten Bantul Untuk mencapai keberhasilan tujuan tersebut, disusunlah langkah-langkah strategis. Ada 15 (lima belas) langkah strategis, termasuk melanjutkan langkah-
182
Lampiran
langkah strategis yang telah ditempuh pada tahuntahun sebelumnya. Di antara 15 (lima belas) langkah strategis tersebut, 3 (tiga) di antaranya adalah penguatan informasi dalam rangka peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tidak membebani masyarakat, penguatan kebijakan penanggulangan risiko bencana, dan langkah strategis ke-15 adalah menegaskan bahwa keempatbelas langkah penguatan tersebut tidak terlepas dari kebijakan penanggulangan / pengurangan risiko bencana. Kelimabelas langkah strategis tersebut telah memperlihatkan bahwa pengurangan risiko bencana telah menjadi perspektif dalam mencapai visi dan misi Pemerintah Kabupaten Bantul. Prioritas sasaran pembangunan di Kabupaten Bantul yang pertama adalah menurunkan angka kemiskinan yang jumlahnya meningkat akibat gempa bumi. Tabel B.3. Data jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bantul tahun 2005 s.d. 2007 No.
KECAMATAN
KATEGORI STATUS KELUARGA MisMisMisMiMiskin kin kin skin kin SeSeSekali kali kali 2005 2006 2007 1.498 91 2.652 1 1.931 9 1.625 169 1.773 2 1.474 0 1.870 120 2.415 140 2.282 44 3.199 252 6.128 290 4.742 68 1.894 44 3.453 0 3.269 0 4.427 327 4.438 538 3.738 40 2.443 143 6.856 214 6.253 268 2.860 167 3.795 119 3.298 120 3.353 114 4.422 340 4.355 244 1.399 29 5.267 339 3.854 64 2.481 0 2.907 8 2.305 7 3.436 66 3.757 0 3.780 0 Miskin
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kretek Sanden Srandakan Pandak Bambanglipuro Pundong Imogiri Dlingo Jetis Bantul Pajangan Sedayu
183
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
13 14 15 16 17
Kasihan Sewon Piyungan Pleret Banguntapan
JUMLAH
4.342 2.922 3.228 4.341 7.201
47.201
218 122 263 80 2.376 2.376
5.979 8.386 4.515 4.422 7.522
78.687
60 131 136 317 76
2.711
5.304 6.310 3.601 4.427 5.189
66.412
29 221 33 22 6
1.177
Sumber : Badan Kesejahteraan Keluarga Kabupaten Bantul, 2005-2007 sebagaimana dikutip dalam Tabel 15 Bab II Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.25 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.15 Tahun 2005 tentang RPJMD Kabupaten Bantul tahun 2006 – 2010.
KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL A. PENDAPATAN Melihat perkembangan pendapatan Kabupaten Bantul mulai tahun 2003 s.d. 2007 ada peningkatan pendapatan rata-rata 30,9% setiap tahun. Peningkatan PAD Kabupaten Bantul rata-rata naik 1% setiap tahun. Realisasi pendapatan Kabupaten Bantul pada tahun 2003 mencapai Rp 389.393.986.778,40 dan pada tahun 2007 mencapai Rp 729.695.294.807,62. Pendapatan pada tahun 2010 ditargetkan naik menjadi Rp 923.709.207.184,73 dari pendapatan pada tahun 2007 sebesar Rp 693.827.536.928,60. Sedangkan dengan total belanja pada tahun 2010 diprediksikan mencapai Rp 967.131.011.058,00. Sedangkan PAD diproyeksikan naik dari Rp 46.240.676.769,60 pada tahun 2007 naik menjadi Rp 55.602.904.368,73 pada tahun 2010. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pendapatan dalam APBD Kabupaten Bantul sampai dengan tahun 2010 masih mempunyai ketergantungan yang cukup besar, mencapai 77,21%, kepada pemerintah pusat .
184
Lampiran
B. BELANJA Membaca data belanja Kabupaten Bantul, ada satu pertanyaan; pada tahun 2003 belanja pembangunan mencapai Rp 285.388.241.888,00 namun pada tahun 2007 belanja ini hanya Rp 227.507.024.354,00. Belanja rutin pada tahun 2003 hanya Rp 107.292.124.620,95, namun pada tahun 2007 naik menjadi Rp 452.136.990.538,06. Anggaran belanja pembangunan naik cukup signifikan hanya pada tahun 2006, mencapai Rp 426.793.361.322,79 dari realisasi belanja sebesar Rp 629. 980.742.020,84. Hal ini karena dalam perubahan anggaran tahun 2006 Pemerintah Daerah meningkatkan belanja pembanguan dalam upaya rehabilitasi pasca gempa bumi. Bahkan dalam prediksi anggaran tahun 2010, belanja langsung yang dulu disebut belanja pembangunan hanya naik menjadi Rp 299.355.443.910,83. Berarti dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun, belanja langsung hanya mengalami kenaikan Rp 13.967.202.002,83. Hal yang berbeda terjadi dengan belanja tidak langsung atau belanja rutin yang pada tahun 2003 besarnya Rp 107.292.124.620,95 dan pada tahun 2010 diprediksikan mencapai Rp 667.775.567.147,17. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH Secara khusus pengurangan risiko bencana belum menjadi urusan wajib. Namun ada urusan wajib yang sudah memasukkan kebijakan yang beorientasi pengurangan risiko bencana.
185
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel B.4. Kebijakan sensitif PRB dalam urusan wajib / urusan pilihan Pemerintah Kabupaten Bantul URUSAN FUNGSI URUSAN WAJIB PILIHAN Pelayanan Perencanaan Umum Pembangunan Otonomi daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi keuangan Daerah, perangkat daerah Kepegawaian, dan Persandian
Ketertiban dan Ketentraman
Ekonomi
Statistik Kearsipan Komunikasi dan Informatika Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
-
Perhubungan Ketenagakerjaan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Pertanian Kehutanan Energi dan Sumber daya Mineral Kelautan dan Perikanan Perdagangan Industri
Penanaman Modal Ketahanan Pangan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
-
Ketransmigrasian
186
Lampiran
KEBIJAKAN SENSITIF PRB
SASARAN
-
-
Pembentukan dan penataan kelembangaan pemerintah daerah dalam kerangka reformasi birokrasi dan pengurangan risiko bencana.
Terwujudnya mekanisme pemerintahan dan pembangunan yang berbasis pada sistem akuntabilitas kinerja yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dan PRB. -
Meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat terhadap kejadian luar biasa maupun bencana.
-
1. Meningkatnya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat terhadap kejadian luar biasa maupun bencana 2. Meningkatnya saranaprasarana yang dibutuhkan dalam penanggulangan KLB dan bencana. -
-
-
-
-
-
-
187
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Lingkungan Hidup
Penataan Ruang
-
Perumahan dan Fasiitas Umum
Lingkungan Hidup Pertanahan Pekerjaan Umum Perumahan
-
Kesehatan
Kesehatan
-
KB dan KS Kebudayaan
-
Pendidikan
-
Kepemudaan dan Olah Raga Perpustakaan Kependudukan dan Catatan Sipil Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sosial
-
Pariwisata dan Budaya Pendidikan
Perlindungan Sosial
188
-
Lampiran
1. Penataan ruang berbasis PRB. 2. Penataan kawasan permukiman di wilayah rawan bencana dan kawasan terpadu pusat desa pertumbuhan. Peningkatan kesiapsiagaan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penanggulangan KLB dan bencana. -
Tersusunnya rencana tata ruang yang berbasis PRB.
Tersedianya akses informasi tentang tata ruang berbasis PRB bagi masyarakat. Meningkatnya kesiapsiagaan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penanggulangan KLB dan bencana. -
Pengembangan dan penguatan kurikulum yang berbasis kompetensi dan bermuatan lokal dengan berorientasi life skill, kewirausahaan dan kebencanaan. -
Meningkatnya pengetahuan tentang mitigasi bencana.
-
-
-
-
-
-
-
Dirangkum dari BAB VII Program Pembangunan Daerah. Sumber : Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 25 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 15 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Baerah (RPJMD) Kabupaten Bantul tahun 2006 – 2010.
189
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel B.5 Matriks Rencana Anggaran untuk PRB Kabupaten Bantul PROGRAM TARGET KINERJA Program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah dan wakil kepala daerah, Sekwan, dan DPRD. Program pencegahan dini penanggulangan korban bencana Program pengembangan Kampung Kerajinan Gabusan, Tembi, dan Manding. Program upaya kesehatan masyarakat Program perbaikan gizi masyarakat Program pengembangan lingkungan sehat Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana PUSKESMAS/PUSTU dan jaringannya Program pembangunan pusatpusat pelayanan kesehatan Program pengelolaan kekayaan budaya Program peningkatan pengetahuan mitigasi bencana Program penguatan kelembagaan organisasi wanita Program peningkatan partisipasi perempuan dan kesetaraan gender dalam pembangunan.
190
Terwujudnya mekanisme pemerintah dan pembangunan yang berbasis pada sistem akuntabilitas kinerja yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dan PRB. Meningkatnya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi kejadian luas biasa dan bencana Meningkatnya sarana dan prasarana di Kawasan Gabusan, Tembi, dan Manding. Meningkatnya kualitas pelayanan dan derajat kesehatan masyarakat. Berkurangnya angka masyarakat kurang gizi. Meningkatnya kualitas lingkungan hidup masyarakat. Terkendalinya berbagai jenis penyakit menular di masyarakat. Meningkatnya sarana dan prasarana kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Berkembangnya seni dan budaya lokal sehingga mampu membentuk masyarakat yang berkarakter kuat. Meningkatnya pengetahuan pendidik dan anak didik dalam mitigasi bencana. Menguatnya kelembagaan oganisasi kewanitaan sebagai motor penggerak pembangunan. Meningkatnya partisipasi perempuan dalam pembangunan.
Lampiran
2008 23.587.419.225
ANGGARAN (Rp) 2009 25.946.161.148
2010 28.540.777.262
185.136.175.000
19.649.792.500
21.614.771.750
4.150.000.000
4.565.000.000
5.021.500.000
2.005.613.500
2.206.174.850
82.195.300
90.414.830
125.730.000
138.303.000
1.753.719.700
1.929.091.670
2.122.000.837
5.893.646.000
6.483.010.600
7.131.311.660
9.885.000
10.873.500
11.960.850
32.350.000
35.585.000
39.143.500
100.000.000
110.000.000
121.000.000
159.000.000
174.900.000
192.390.000
22.000.000
24.200.000
26.620.000
191
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel di atas, bersumber dari : Matriks Program dan Kegiatan RPJMD Pasca Gempa Kabupaten Bantul tahun 2008 – 2010, dalam Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.25 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.15 Tahun 2005 tentang RPJMD Kabupaten Bantul Tahun 2006 – 2010, diolah.
Peta Ancaman Kabupaten Bantul Ada yang berpendapat bahwa pilihan memetakan ancaman merupakan hal yang ditabukan, karena ada kekhawatiran bahwa yang telah dipetakan tersebut benar-benar akan terjadi. Namun terjadinya gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006 yang sebelumnya tidak pernah diprediksikan telah mengubah paradigma masyarakat. Saat ini masyarakat sudah mau diajak untuk memetakan ancaman yang ada di wilayahnya. Hasil pemetaan ini diharapkan akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran yang mempertimbangkan peta ancaman tersebut. Sedangkan di sisi masyarakat diharapkan ada upaya-upaya kesiapsiagaan atas berbagai ancaman yang berpotensi terjadi di wilayahnya. Adapun hasil pemetaan ancaman yang dilakukan lewat pertemuan jaringan antar kelompok masyarakat adalah sebagai berikut: Tabel B.6. Pemetaan ancaman bencana di Kabupaten Bantul No. Jenis Penyebab Risiko yang Wilayah Ancaditimbulkan man 1 Gempa Retakan bumi Memicu 17 kecamatan Bumi longsor, rumah roboh, kematian, dan kerugian lain.
192
Lampiran
2
Banjir
Hutan gundul, sampah, saluran air buruk, sungai dangkal, dll.
Bangunan rusak, jembatan rusak, dan faslilitas umum lumpuh.
3
Kekeringan
Musim kemarau panjang, penggundulan hutan.
Ekonomi (pertanian lumpuh), kurang air bersih.
4
Angin ribut
Perbedaan panas bumi.
5
Tanah longsor
Hujan deras di wilayah perbukitan, tidak banyak tanaman penyangga, daerah penambangan.
Kerusakan bangunan dan pepohonan, mengancam nyawa. Kerusakan lahan pertanian, perkebunan masyarakat, kerusakan bangunan, korban manusia.
6
Kebakaran
Kemarau, listrik, bakar lahan tebu.
Lahan, perumahan, manusia.
Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, Kecamatan Srandakan, Kecamatan Imogiri. Kecamatan Piyungan, Kecamatan Pleret, Kecamatan Dlingo, Kecamatan Pundong, Kecamatan Imogiri. 17 kecamatan
Kecamatan Piyungan, Kecamatan Dlingo, Kecamatan Pleret, Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Pundong. 17 kecamatan
193
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
7
Abrasi sungai
Tidak ada talud, tanaman, penambangan pasir.
Pertanian merugi, lahan berkurang.
8
Tsunami
Kawasan pantai yang datar, Wilayah Kabupaten Bantul yg rawan gempa.
9
Abrasi pantai
Gelombang pantai selatan.
Banyak korban manusia, bangunan dan infrastruktur rusak. Kerusakan ekologi.
10
KLB / penyakit menular
11
Konflik sosial
Wabah, dampak bencana alam lainnya. Pendataan dan distribusi bantuan yang kurang tepat sasaran, korupsi.
Nyawa manusia. Kerugian negara, solidaritas warga terkikis.
Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Jetis, Kecamatan Srandakan, Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Pajangan. Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, dan Kecamatan Srandakan. Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, dan Kecamatan Srandakan. 17 kecamatan
17 kecamatan
Sumber : Rekam proses pertemuan-pertemuan jaringan kelompok masyarakat di Kabupaten Bantul tahun 20072008, diolah.
194
Lampiran
II. Analisis Pendapatan Kabupaten Bantul tahun 2008 1. Pendapatan Asli Daerah meningkat, beban masyarakat semakin berat. Di antara 4 kabupaten dan 1 kota di Provinsi DIY, Kabupaten Bantul merupakan salah satu daerah tingkat II yang lebih awal menetapkan dokumen APBD 2008. APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 disahkan pada tanggal 19 Desember 2007. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 juga mengalami defisit. Bahkan ada kenaikan defisit sebesar Rp 23.024.433.312,35 atau 111,82% karena APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 mengalami defisit Rp 20.590.158.510,00 dan APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 mengalami defisit Rp 43.614.591.822,35. Secara keseluruhan APBD Kabupaten Bantul mengalami kenaikan dari Rp 676.894.054.613,00 pada tahun 2007 menjadi Rp 763.396.038.995,00 pada tahun 2008. Sedangkan untuk PAD (Pendapatan Asli Daerah) ada peningkatan hampir Rp 6 miliar, dari Rp 42.781.035.860,00 menjadi Rp 48.406.061.665,00 pada tahun 2008. Dengan peningkatan PAD, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul diharapkan mampu membiayai anggaran pembangunan daerah. Hanya saja upaya peningkatan PAD terkadang justru menambah kerentanan warga. Seharusnya lembaga atau dinas yang mengemban fungsi pelayanan hak dasar masyarakat tidak dijadikan sumber PAD. Begitu juga pengelolaan sumber daya alam yang ada. Sumber daya alam seharusnya tidak dieksploitasi secara besarbesaran untuk menaikkan PAD karena eksploitasi yang tidak terkendali dampaknya justru kerusakan lingkungan yang akan menambah kerentanan warga sekitar.
195
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel B.7. Perbandingan pendapatan APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan tahun 2008 KOMPONEN Besaran tahun Besaran tahun PENDAPATAN 2007 (Rp) 2008 (Rp) PENDAPATAN ASLI 42.781.035.860 48.406.061.665 DAERAH DANA PERIMBANGAN 593.244.921.429 665.573.038.600 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG 40.868.097.324 48.416.938.730 SAH TOTAL PENDAPATAN 676.894.054.613 763.396.038.995 Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan tahun 2008.
2. PAD Kabupaten Bantul tahun 2008 : Retribusi Pelayanan Kesehatan masih menjadi juara konributor PAD Kesehatan merupakan hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintah merupakan representasi negara), sehingga orang sakit akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. Sungguh merupakan kontradiksi dan ironi ketika masyarakat melakukan pemulihan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan setelah terpuruk akibat gempa, pemerintah daerah justru menaikkan tarif retribusi pelayanan kesehatan. Dalam kondisi warga yang belum pulih dan stabil, seharusnya pemerintah tidak menambah beban warga. Kenaikan tarif retribusi pelayanan kesehatan dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi akan menambah kerentanan masyarakat. Secara keseluruhan PAD Kabupaten Bantul tahun 2008 mengalami kenaikan Rp 5.629.025.805,65 atau 13,16%. Ia naik dari Rp 42.777.035.860,00 pada tahun
196
Lampiran
2007 menjadi Rp 48.406.061.665,65 pada tahun 2008. kontribusi Pendapatan Asli Daerah paling tinggi masih dari retribusi RSUD sebesar Rp 20 miliar, kemudian disusul Pajak Penerangan Jalan Umum sebesar Rp 8,1 miliar, Bunga Deposito Rp 5,5 miliar, penyertaan modal di BPD (Bank Pembangunan Daerah) Rp 3 miliar, dan Retribusi PUSKESMAS hampir Rp 2 miliar. Apabila melihat PAD yang dihasilkan dari RSUD dan PUSKESMAS masih menduduki peringkat pertama, berarti orang miskin yang sakit masih merupakan penyumbang PAD tertinggi dalam APBD. Ternyata pilihan kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul adalah mengandalkan retribusi pelayanan kesehatan dengan menargetkan kenaikan hasil retribusi pelayanan kesehatan dari Rp 18.131.809.000,00 pada tahun 2007 menjadi Rp 22.740.760.000,00 pada tahun 2008. Tabel B.8. Daftar Sumber-sumber Terbesar PAD Kabupaten Bantul tahun 2008 Sumber Besaran Tahun Besaran Tahun Besaran Tahun PAD 2006 (Rp) 2007 (Rp) 2008 (Rp) Retribusi Pelayanan kesehatan 15.682.736.550 18.131.809.000 22.740.760.000 PUSKESMAS dan RSUD Pajak Penerangan 7.500.000.000 8.100.000.000 Jalan Umum 8.000.000.000 Retribusi Tempat Rekreasi & Olahraga Retribusi pelayanan pasar
2.625.000.000
1.600.000.000
n.a
n.a
1.042.431.300
197
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pajak Panambangan Galian golongan C
n.a
n.a
150.000.000
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2006, 2007 dan tahun 2008.
III. Analisa Belanja Kabupaten Bantul 2008 Sebagaimana diuraikan dalam Bagian III Lampiran A, kebijakan anggaran merupakan ekspresi komitmen negara atas pemenuhan hak asasi manusia. Dan untuk Kabupaten Bantul, PRB menjadi satu perspektif yang harus diintegrasikan mengingat pada tahun 2008 Kabupaten Bantul masih berada dalam kondisi pasca gempa. Selain itu, setiap tahun wilayah tertentu Kabupaten Bantul mengalami kekeringan. Angin topan dan tsunami juga menjadi bencana yang potensial terjadi. Oleh karena itu, mempersiapkan segala kemungkinan sebelum bencana datang, pada saat bencana, dan pasca bencana menjadi suatu perspektif yang harus ada dalam penganggaran. Hal ini juga sejalan dengan Hyogo Framework dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007. Pasal 5 dan pasal 8 Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab atas penjaminan dan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum, perlindungan masyarakat dari dampak bencana, PRB dan pemaduan PRB dalam program pembangunan, serta pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam APBD yang
198
Lampiran
memadai. Berkaitan dengan PRB, pemerintah pusat juga telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) yang mengamanatkan agar setiap pemerintah daerah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD). Gagasan dalam UU No.24 Tahun 2007 telah dijabarkan dalam PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan PB, PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana, serta Perpres No. 8 Tahun 2008 tentang BNPB. Pengalokasian anggaran juga harus memperhatikan pasal 26 UU tersebut yang menyaratkan bahwa masyarakat berhak a.l. mendapatkan perlindungan sosial, pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan untuk penanggulangan bencana, mendapat informasi dan berperan dalam perencanaan. Bencana yang perlu ditanggulangi bukan hanya bencana yang disebabkan oleh alam tetapi juga akibat ulah manusia termasuk bencana yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Perspektif ini harus dipadukan dengan perspektif keadilan gender. Harus dipahami bahwa paparan risiko bencana akan berbeda-beda sesuai kondisi masing-masing kelompok warga. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kelompok perempuan, anakanak, lansia, dan difabel menjadi kelompok yang sangat rentan. Kerentanan yang tinggi dan kebutuhan akan peningkatan kapasitas harus direspon oleh anggaran untuk mengurangi risiko bencana yang lebih besar. Dengan pendekatan hak dasar berperspektif pengurangan risiko bencana yang responsif gender, ulasan di bawah ini akan melihat apakah Pemerintah
199
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Daerah Kabupaten Bantul telah menyusun program pembangunan untuk memenuhi hak-hak warganya dengan memperhatikan pengurangan risiko bencana dan responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan. Total belanja APBD Kabupaten Bantul mengalami peningkatan dari Rp 687.480.213.123,00 pada tahun 2007 menjadi Rp 807.010.630.818,00 pada tahun 2008. Ini berarti ada kenaikan belanja sebesar 109.530.417.695,00 atau naik 15,7%. Kenaikan belanja ini terdiri dari kenaikan belanja tidak langsung sebesar 13,6% dan kenaikan belanja langsung sebesar 20,7%. Secara keseluruhan, belanja tidak langsung mencapai 69,05% total belanja, sedangkan belanja langsung hanya 30,96% total belanja. Namun dari total belanja langsung sebesar Rp 249.793.484.923,00, sebesar 16% nya dialokasikan untuk belanja pegawai. Apabila dihitung secara keseluruhan, anggaran untuk belanja pegawai mencapai Rp 516.352.315.360,00 atau 64% total APBD. Apabila dilihat secara sekilas, kenaikan anggaran untuk belanja pegawai seimbang dengan kenaikan anggaran untuk program dan bantuan sosial yang penerima manfaatnya adalah masyarakat. Namun untuk melihat sejauh mana dampak program tersebut bagi masyarakat, kita masih perlu melihat detail kegiatan dalam setiap SKPD. Tabel B.9. Perbandingan Belanja ABPD Bantul 2007 dan 2008 ITEM BELANJA
Besaran di tahun Besaran di tahun 2007 (Rp) 2008 (Rp)
BELANJA TIDAK LANGSUNG Belanja Pegawai Belanja Bantuan Keuangan Belanja Bantuan Sosial
200
431.528.139.145 476.290.260.560 21.394.968.135 23.496.316.135 34.713.642.450 54.904.104.400
Lampiran
Belanja Bunga Belanja Bagi Hasil
120.145.200 120.145.200 988.422.600 1.406.319.600
Belanja Tak Terduga BELANJA LANGSUNG
2.000.000.000 1.000.000.000
Belanja Pegawai
35.117.621.390
Belanja Barang dan Jasa
76.100.524.988 102.204.232.323
Belanja Modal
95.733.927.600 107.527.197.800
TOTAL BELANJA
40.062.054.800
697.480.213.123 807.010.630.818
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan tahun 2008.
III.1. Anggaran untuk perempuan masih minim. Data jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. Berbagai jenis usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh kelompok perempuan cukup tersebar di Kabupaten Bantul, terutama pada sektor pedagangan dan kerajinan. Melihat kenyataan seperti ini sudah seharusnya Pemerintah Kabupaten Bantul lebih memperhatikan usaha produktif yang digeluti kaum perempuan agar ekonomi keluarga bisa segera bangkit setelah terpuruk akibat bencana gempa bumi. Secara umum perempuan lebih rentan terhadap risiko bencana daripada laki-laki. Hal ini diperparah oleh banyaknya perencanaan dan pembangunan sarana pelayanan publik yang belum sensitif pada kebutuhan difabel perempuan yang hamil.
201
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel B.10. Belanja Bantuan Sosial dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 No. JENIS BANTUAN Besaran KETERANGAN anggaran (Rp) 1 Bantuan 10.000.000.000 Alokasi belanja Penguatan Modal ini tidak Usaha spesifik untuk kelompok usaha perempuan. 2 Bantuan 25.000.000 penguatan kelembagaan organisasi wanita 3 Pinjaman bergilir 100.000.000 UEP bagi KUPK 4 Bantuan stimulan 75.000.000 UEP bagi kelompok dasawisma 5 Bantuan modal 20.000.000 kepada pedagang kecil 6 Bantuan bergulir 649.593.400 Secara umum, bagi pedagang jumlah pasar perempuan pedagang pasar lebih banyak daripada laki-laki pedagang pasar. 7 Bantuan untuk 9.000.000.000 PERSIBA 8 Bantuan 10.000.000.000 Belanja rekonsiliasi dialokasikan untuk biaya pentas seni di desa dan kampung. 9 Bantuan stimulan 1.000.000.000 kantor olah raga
202
Lampiran
10
11
Bantuan untuk POSYANDU
2.307.900.000
Belanja dialokasikan untuk 1.095 POSYANDU
Penguatan modal 210.000.000 kerja bagi keluarga penambang pasir Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2008.
Dari tabel di atas, APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 tidak secara spesifik mengalokasikan anggaran bantuan modal usaha bagi perempuan. Perlu dipertanyakan juga apakah anggaran Rp 9.000.000.000,00 untuk PERSIBA memang lebih penting daripada kebutuhan peningkatan usaha bagi kelompok perempuan. Kita bisa membandingkan, anggaran untuk stimulan usaha ekonomi perempuan kelompok dasa wisma hanya Rp 75.000.000,00 di mana jumlah dasa wisma di Kabupaten Bantul bisa lebih dari 10.000 kelompok. Sedangkan PERSIBA yang mendapatkan anggaran Rp 9.000.000.000,00 hanya beberapa puluh orang yang akan menikmatinya. Bantuan untuk POSYANDU sebesar Rp 2.307.900.000,00 sedangkan jumlah POSYANDU di Kabupaten Bantul pada tahun 2006 ada 1.095 buah. Dengan besaran anggaran itu, setiap POSYANDU akan mendapatkan Rp 2.100.000,00 / tahun. Secara umum kondisi perempuan lebih rentan daripada laki-laki, sehingga perlu upaya-upaya peningkatan kapasitas kaum perempuan agar kerentanan bisa diminimalkan. SKPD yang bertanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan adalah Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana (BKK – PP - KB). Berkaitan dengan pemberdayaan
203
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
perempuan dalam pengurangan risiko bencana, lembaga ini belum mempunyai kegiatan dan alokasi anggaran yang bermakna. Pemberdayaan perempuan seharusnya bisa menyentuh bidang ekonomi dan kesehatan. Dalam kerangka pengurangan risiko bencana, kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas perempuan perlu lebih diperhatikan. Untuk itu diperlukan programprogram peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk menghadapi datangnya bencana lewat pelatihanpelatihan kepada kelompok-kelompok perempuan. APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 ini sama sekali belum mengalokasikan anggaran untuk peningkatan kapasitas perempuan dalam pengurangan risiko bencana. Tabel B.11. Belanja untuk Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 No.
JENIS BANTUAN
1
Program Peningkatan Kualitas Hidup dan perlindungan perempuan
2
Program Peningkatan Peran serta dan Kesetaraan gender dalam pembangunan Program Kesehatan reproduksi Program Keluarga Berencana
3 4
Besaran anggaran (Rp) 74.500.000
KETERANGAN Belanja ini dialokasikan untuk pendampingan dan perlindungan korban KDRT.
22.500.000
11.500.000 275.288.000
Belanja ini dialokasikan untuk honor nara sumber.
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2008.
204
Lampiran
III.2. Anggaran Pendidikan Kabupaten Bantul tahun 2008 Amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah pemerintah harus mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN / APBD sebesar tidak kurang dari 20% total anggaran di luar belanja pegawai. Anggaran pendidikan Kabupaten Bantul tahun 2008 mencapai Rp 365.790.268.900,00 atau 45,33% total belanja APBD. Namun belanja langsungnya hanya mencapai Rp 50.562.515.900,00 atau 6,27% belanja APBD. Dengan demikian 39% anggaran APBD untuk pendidikan digunakan untuk gaji pegawai. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengusulkan bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan 20% sudah mencakup gaji pegawai tentunya akan mengancam hak anak-anak keluarga tidak mampu atas pendidikan. Kenyataannya gaji untuk pegawai melebihi 20%, sehingga agar proses belajar tetap berjalan, pihak sekolah menarik biaya pendidikan dari siswa. Dengan porsi anggaran cukup besar dan didukung dana BOS, pemerintah belum mampu mewujudkan sekolah gratis. Bagaimana bila anggaran pendidikan dikurangi dan sekolah tidak mendapatkan dana BOS lagi? Data jumlah sekolah di Kabupaten Bantul mulai dari SD sampai SLTA negeri dan swasta pada tahun 2006 mencapai 650 sekolah. Apabila dirata-rata berarti setiap sekolah hanya akan memperoleh anggaran sebesar Rp 77.788.486,00 untuk anggaran pendidikan selama 1 tahun. Ada perbedaan antara anggaran pendidikan Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008. APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 mengalokasikan anggaran untuk bantuan bagi siswa miskin berprestasi sebesar Rp 900 juta, namun menganggarkan pembelian buku
205
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
paket dan banyak anggaran yang dialokasikan pada rehabilitasi gedung. Sedangkan dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 tidak ada anggaran untuk pembelian buku paket namun anggaran untuk pembangunan gedung meningkat. Mungkin alokasi pembangunan gedung sekolah tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi mengingat telah banyak pihak yang berpartisipasi dalam pembangunan gedung sekolah pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Jangan sampai gedung yang telah dibangun dengan anggaran dari pihak lain (pemerintah pusat dan lembaga non pemerintah) dianggarkan kembali dalam APBD. Sedangkan anggaran beasiswa untuk siswa miskin berprestasi masih sama dengan anggaran tahun 2007. Apabila Rp 900 juta tersebut hanya digunakan untuk siswa berprestasi dari keluarga miskin, bagaimana dengan siswa tidak berprestasi dari keluarga miskin? Jumlah siswa dari keluarga miskin yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi jauh lebih banyak yang tidak berprestasi. Sekolah dengan SPP gratis ternyata bukan berarti pendidikan gratis. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua siswa di luar SPP justru jauh lebih besar jumlahnya daripada SPP itu sendiri. Mengingat Kabupaten Bantul merupakan daerah yang mempunyai beberapa potensi ancaman bencana, seperti gempa bumi, angin topan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan, maka kesadaran atas kondisi ini perlu ditanamkan sejak anak-anak. Diharapkan anak-anak bisa mulai mengenal ancaman bencana yang mungkin terjadi, bagaimana cara melemahkan ancamannya, dan bagaimana penanggulangannya. Untuk itu perlu ada kurikulum tentang pengurangan risiko bencana untuk SD sampai SLTA. Sayangnya kebutuhan ini belum terjawab dalam anggaran di Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul tahun 2008.
206
Lampiran
Diagram B.1. Jumlah sekolah di Kabupaten Bantul tahun 2007
Sumber : Kabupaten Bantul Dalam Angka Tahun 2008. Diagram B.2 Jumlah anak sekolah di Kabupaten Bantul tahun 2006
Sumber : BPS dan Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul 2007.
207
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel B.12. Anggaran Pendidikan dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008 Item anggaran Anggaran Pendidikan Belanja pendidikan non kedinasan Penambahan gizi anak sekolah Program Wajib Belajar 9 tahun Biaya operasional sekolah TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK Program Pendidikan Usia Dini Rehabilitasi sedang / berat ruang sekolah Rehab Gedung sekolah SD dan SMP (DAK) Pengadaan buku kepustakaan matematika serta bahasa dan sastra Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di SD/MI Beasiswa bagi siswa miskin yang berprestasi Penyelenggaraan Pendidikan SMP Penyelenggaraan ujian nasional SD/MI Penyelenggaraan Pendidikan SMA N dan Swasta Penyelenggaran pendidikan SMK N dan swasta Program Pendidikan non Formal Sukses ujian nasional Program Pendidikan Usia Dini di DPU
Besaran anggaran (Rp) APBD 2007 323.861.168.000 29.764.765.000
APBD 2008 365.790.268.900 43.135.756.900
290.016.000 12.920.017.000 17.200.000.000
36.511.268.500 119.670.000
22.348.345.000 995.135.500 900.000.00
9.228.150.000 900.000.000
-
4.363.128.000
-
59.895.000
-
1.201.775.000
-
943.982.000
-
90.000.000
-
539.016.000 1.429.896.000
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2008.
208
Lampiran
III.3 Anggaran Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2008 Komitmen pemerintah daerah untuk meringankan biaya kesehatan hanya dilakukan pada tahun 2007, yaitu dengan meniadakan retribusi pelayanan kesehatan di PUSKESMAS. Dengan merencanakan kenaikan retribusi di bidang kesehatan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan, berarti biaya pelayanan kesehatan justru meningkat. Peningkatan ini mencakup juga peningkatan biaya pelayanan kesehatan di RSU yang ditargetkan mencapai Rp 20 miliar. Waktu 2 tahun setelah gempa bumi yang hampir meratakan seluruh wilayah Kabupaten Bantul, kiranya belum cukup bagi semua lapisan masyarakat untuk kembali pada perekonomian sebelum terjadi gempa bumi. Diagram B.3. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2006
Sumber : Laporan Data Base Profil Daerah Kabupaten Bantul tahun 2007 (BAPPEDA KAB. BANTUL 2007)
209
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Di sisi belanja, pengembalian retribusi PUSKESMAS dikembalikan untuk program upaya kesehatan masyarakat yang di antaranya untuk peningkatan mutu pelayanan PUSKESMAS. Apabila selama ini pelayanan di PUSKESMAS belum bisa optimal (seperti : obat yang selalu sama walau keluhan pasien berbeda dan waktu pendaftaran pasien yang sangat terbatas), untuk tahun ini bisa semakin baik. Ada indikasi bahwa kenaikan retribusi atau biaya pelayanan kesehatan diupayakan diimbangi dengan peningkatan pelayanan bagi pasien. Begitu juga dengan peningkatan target pendapatan di RSUD bisa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Seperti halnya di bidang pendidikan, pembangunan infrastruktur di bidang kesehatan seperti rehabilitasi PUSKESMAS dan PUSTU sebagian sudah ditangani oleh pihak-pihak lain di luar pemerintah daerah, seperti lembaga non pemerintah, pemerintah negara-negara sahabat, dan lainnya. Selain itu, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi-rekonstruksi non perumahan termasuk pembangunan infrastruktur di bidang kesehatan. Hal inilah yang perlu pencermatan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih alokasi anggaran. Tabel B.13. Anggaran Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008 Item anggaran Besaran tahun Besaran tahun 2007 (Rp) 2008 (Rp) Total anggaran kesehatan 42.105.604.750 48.504.933.125 Rahab berat / ringan 2.380.000.000 PUSKESMAS Pengembangan PUSKESMAS 7.356.330.000 / PUSTU Pembangunan PUSKESDES di 960.000.000 6 desa
210
Lampiran
POSYANDU Program Kesehatan Anak Sekolah Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan lansia Rehabilitasi PUSKESMAS (lewat DPU) Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul 2008.
8.395.000 86.130.000 17.455.000 5.893.646.000 tahun 2007 dan
III.4 Pengurangan Risiko Bencana dimulai dari Pengelolaan Lingkungan yang Baik. Mengingat wilayah sebelah timur Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang berupa lahan miring, daerah itu sangat potensial untuk pengembangan lahan hutan. Menurut data dan kenyataan di lapangan, daerah yang mempunyai derajat kemiringan lebih tinggi lebih rawan terhadap bencana kekeringan dan tanah longsor. Daerah lahan miring juga identik dengan daerah miskin dibanding dengan daerah datar. Menurut data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul tahun 2006, hutan negara di Kabupaten Bantul luasnya mencapai 1.052,6 hektar dan terdapat di Kecamatan Dlingo. Sedangkan hutan rakyat yang tersebar di beberapa kecamatan lain mencapai 8.000 hektar lebih. Satu-satunya lokasi hutan negara ada di Kecamatan Dlingo, namun kecamatan ini juga sekaligus merupakan daerah rawan kekeringan dan tanah longsor. Sesuai dengan pembagian tanggung jawab antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten, reboisasi hutan negara menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Dalam kerangka ini, pemerintah kabupaten bertanggung jawab atas kegiatan penghijauan hutan milik rakyat.
211
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Diagram B.4. Luas Lahan Hutan di Kabupaten Bantul Tahun 2006
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Bantul 2007
Apabila menengok APBD Kabupaten Bantul 2007, di sana tidak dialokasikan anggaran untuk reboisasi hutan rakyat. Sedangkan dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 alokasi untuk penyediaan bibit tanaman hanya Rp 20.400.000,00 untuk luas lahan 8.000 ha lebih. Mengingat keberadanan hutan sangat diperlukan dalam pengurangan risiko bencana kekeringan, tanah longsor, dan banjir, seyogyanya pemerintah Kabupaten Bantul serius dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan rakyat sebenarnya tidak terlalu membebani anggaran daerah, karena dikelola bersama masyarakat. Selain anggaran untuk memberikan bantuan bibit atau pupuk, yang tidak kalah penting adalah anggaran untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan tentang fungsi dan cara pengelolaan hutan kepada masyarakat pengelola hutan pada khususnya.
212
Lampiran
Tabel B.14. Anggaran Pengelolaan Hutan dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 Jenis bantuan Besaran Keterangan anggaran (Rp) Belanja Pegawai 14.055.766.000 Program Peningkatan 5.946.740.000 Tidak ada Produksi Pertanian / bantuan Perkebunan langsung yang diterima masyarakat. Program Rehabilitasi 70.000.000 Alokasi untuk Hutan dan Lahan pengadaan bibit besarnya Rp 20,4 juta. Program Pemanfaatan 20.000.000 Anggaran Potensi Sumber Daya digunakan untuk Hutan pembelian proyektor. Program Pembinaan 4.000.000 Anggaran dan Penertiban digunakan untuk Industri Hasil Hutan penyusunan raperda. Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2008.
Beralih ke pertambangan, menurut data Dinas Pengairan Kabupaten Bantul tahun 2005, jumlah penambang pasir mencapai 1.193 orang tersebar di 4 (empat) kecamatan. Pada tahun 2007, jumlah penambang pasir sudah meningkat tajam. Hal ini dikarenakan kebutuhan pasir untuk membangun rumah bagi masyarakat Kabupaten Bantul juga meningkat tajam setelah banyak rumah dan bangunan hancur akibat gempa bumi. Kebutuhan yang cukup tinggi ini cepat ditangkap oleh banyak warga dengan beramai-ramai menggali pasir di bantaran dan daerah aliran sungai. Dampak penambangan pasir yang tidak terkendali ini
213
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
adalah rusaknya daerah aliran sungai. Mengingat adanya kerusakan yang serius akibat aktivitas penambangan pasir tersebut, seharusnya pemerintah daerah segera mengambil sikap, dari pada pemerintah dan pemangku kepentingan lain harus menanggung biaya jauh lebih banyak untuk penanggulangan bencananya nanti. Anggaran bantuan modal kerja bagi penambang pasir sebesar Rp 210.000.000,00 dalam APBD Kabupaten Bantul 2008 masih sangat jauh dari kecukupan kebutuhan. Hal ini sangat terasa mengingat jumlah penambang pasir setelah gempa bumi meningkat tajam dari tahun 2005. Diagram B.5. Jumlah Penambangan Galian C Tahun 2006
Sumber data: BAPPEDA Kabupaten Bantul tahun 2007
Bantul mempunyai dua aliran sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Oya dan Sungai Opak. Yang juga tidak boleh lepas dari perhatian, batas barat wilayah Kabupaten Bantul adalah Sungai Progo. Keberadaan sungai-sungai ini tentunya menjadi peluang sekaligus ancaman. Merosotnya fungsi hutan akibat berkurangnya pepohonan di daerah tangkapan air dan banyaknya
214
Lampiran
aktivitas penambangan galian C akan meningkatkan potensi terjadinya bencana banjir. Untuk itu, selain upayaupaya menyelamatkan hutan dan pengaturan aktivitas penambangan, perlu adanya pembangunan tanggul di sisi sungai yang mempunyai potensi banjir. Dalam RPJMD memang belum ada pemetaan secara detail tentang titiktitik rawan bajir. Hal ini membuat penganggaran juga belum mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan banjir. Tabel B.15. Anggaran Infrastruktur dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008 Item anggaran Besaran Besaran anggaran tahun anggaran 2007 (Rp) tahun 2008 (Rp) Belanja modal 19.679.600.000 pengadaan konstruksi jalan Program rehabilitasi 25.618.425.500 jalan dan jembatan Pengadaan konstruksi 2.110.000.000 jaringan irigasi Pembanguan drainase/ 2.950.455.000 gorong-gorong Pengadaan konstruksi 1.890.000.000 tanggul Program pembangunan 226.960.000 talud / bronjong Pembangunan sarana6.018.677.500 prasarana air bersih pedesaan Pemeliharaan sarana3.129.000.000 prasaranan air minum Pengadaan konstruksi 5.952.583.600 jaringan air bersih / minum Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2007 dan 2008.
215
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Kawasan Pantai Kabupaten Bantul : wilayah yang kaya aset wisata dan ekonomi namun rawan bencana. Sepanjang wilayah bagian selatan Kabupaten Bantul merupakan daerah pantai yang cukup potensial untuk pengembangan wisata dan pengembangan produksi ikan laut. Mengingat daerah pantai mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap ancaman tsunami dan gelombang pasang, kiranya wilayah ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Kabupaten Bantul. Apabila terjadi tsunami tentunya bencana itu akan mengancam banyak pihak, mulai dari penduduk lokal sampai pendatang atau wisatawan. Di sepanjang pantai yang menjadi obyek wisata ada pedagang, pemilik penginapan, petani lahan pasir pantai, dan nelayan. Menurut data Dinas Peternakan dan Kelautan Kabupaten Bantul, pada tahun 2006 terdapat 386 nelayan. Namun sampai dengan saat ini belum ada program maupun kegiatan serta penganggaran yang mendukung pengurangan risiko bencana. Pengalaman gempa bumi 27 Mei 2006 sekalipun tidak berpotensi tsunami, ternyata belum menjadi pelajaran bagi pemerintah. Penggunaan dana tak tersangka untuk penataan dan pembangunan di Mancingan, Parangtritis kiranya bukan langkah yang tepat untuk mengurangi risiko bencana. Kenyataan yang terjadi justru kebijakan itu banyak menimbulkan kerentanan banyak pihak terutama orang-orang yang sebelumnya mengais rejeki di wilayah tersebut. Upaya mengurangi kerentanan terhadap penyebaran HIV/AIDS bukan dengan melakukan penggusuran tanpa memberikan solusi yang mendidik bagi masyarakat.
216
Lampiran
Tabel B.16 Anggaran untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam APBD Kabupaten Bantul tahun 2008 PROGRAM / KEGIATAN Besaran anggaran (Rp) Program Pemberdayaan Ekonomi 15.000.000 Masyarakat Pesisir Program Pemberdayaan 18.157.500 Masyarakat Dalam Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan Pembangunan Pasar Ikan 597.630.000 Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Bantul tahun 2008.
IV. Penutup Mengakses APBD Kabupaten Bantul sudah bukan hal yang sulit, sekalipun tidak serta-merta dapat dikatakan mudah. Hubungan dan komunikasi yang baik dengan anggota legislatif merupakan salah satu strategi untuk bisa mendapatkan dokumen APBD. Sayangnya, sekalipun beberapa program dan kegiatan yang tercantum sudah ada penjelasannya, namun masih banyak hal yang tidak disertai dengan penjelasan. Dari tahun ke tahun, jumlah anggaran dalam APBD selalu meningkat. Peningkatan pendapatan selalu diikuti dengan kenaikan belanja dan kenaikan pembiayaan. Adanya revisi RPJMD Kabupaten Bantul tahun 2006 – 2010 yang memasukkan unsur Pengurangan Risiko Bencana masih belum terlihat secara jelas dalam APBD 2008. Program-program pembangunan fisik masih mendominasi alokasi anggaran yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Apabila PRB dijadikan
217
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
perspektif penyusunan program setiap SKPD, seharusnya sudah mulai terlihat program-program yang mendukung pengurangan risiko bencana, baik dalam program peningkatan infrastruktur maupun program peningkatan kapasitas masyarakat. Masih ada pertanyaan yang tertinggal; sejauh mana komitmen aparatur pemerintah daerah terhadap penyusunan program-program yang responsif PRB? Seberapa jauh kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk mengintegrasikan PRB dalam perencanaan dan penganggaran daerah? Jawaban dua pertanyaan ini akan bisa kita lihat dalam perencanaan dan penganggaran untuk tahun anggaran 2009. []
218
LAMPIRAN C ANALISIS APBD KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2008 DENGAN PERSPEKTIF PRB
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai risiko tinggi terhadap bencana. Risiko berasal dari berbagai ancaman alam maupun non alam mulai dari ancaman gempa bumi, tsunami, abrasi pantai / sungai, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, KLB penyakit, sampai konflik sosial. Terjadinya gempa bumi yang diikuti dengan tsunami di Nias (Sumatera Utara) dan Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban tewas dan hilang tidak kurang dari 165.708 jiwa. Kerugian akibat gempa bumi dan tsunami ini diperkirakan mencapai Rp 41 triliun (setara US$ 4.747 juta berdasarkan harga konstan tahun 2006). Lewat dua tahun kemudian tepatnya pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gempa bumi ini merenggut korban tewas tidak kurang dari 5.749 jiwa1. Belum lagi kejadian beberapa bencana alam seperti letusan gunung berapi, banjir, maupun tanah longsor yang juga menelan korban jiwa dan infrastruktur yang tidak sedikit. Terjadinya berbagai bencana tersebut telah menyadarkan berbagai pihak dan mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Disahkannya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, RAN PRB, PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga 1
220
RAN PRB 2006-2009
Lampiran
Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana, dan Perpes No. 8 Tahun 2008 tentang BNPB telah ditindaklanjuti oleh beberapa pemerintah daerah dengan penyusunan RAD PRB dan penyiapan kelembagaan (BPBD). Terlepas dari masih belum adanya sinkronisasi antar kebijakan, respon pemerintah daerah ini merupakan bukti bahwa masalah kebencanaan sudah mulai diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah. Pergeseran paradigma penanggulanan bencana dari respon kedaruratan (emergency respon) menjadi kesiapsiagaan (preparedness) sudah mulai nampak. Namun sudahkah pergeseran ini nampak dan diaplikasikan dalam program kegiatan dan penganggaran pemerintah daerah? Di sinilah diperlukan analisis dokumen penganggaran daerah. Dalam dokumen penganggaran itulah bisa diketahui program dan kegiatan pemerintah daerah sudah mengarusutamakan PRB atau belum. Upaya PRB bisa diintregasikan dalam program-program tiap-tiap SKPD sesuai dengan tupoksinya. Pilihan ini membuat pemerintah daerah tidak perlu membuat alokasi anggaran secara khusus untuk kegiatan yang berlabel frase pengurangan risiko bencana. Dalam analisis ini kita akan melihat Pemerintah Kabupaten Kulon Progo sudah mempunyai program dan kegiatan yang mengarusutamakan pengurangan risiko bencana atau belum. Kita akan melihat ada tidaknya serta besaran alokasi anggaran untuk pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Kita perlu mengingat bahwa Kabupaten Kulon Progo mempunyai potensi ancaman yang cukup besar, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan KLB penyakit. Bahkan pada awal musim penghujan
221
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
tahun 2008 ini sudah terjadi tanah longsor di wilayah Kecamatan Kokap. II. POTENSI ANCAMAN DAN KERENTANAN A. Potensi Ancaman Kabupaten Kulon Progo yang memiliki daerah pegunungan dan daerah pantai tentunya tidak bisa lepas dari berbagai potensi ancaman bencana, baik ancaman alam maupun non alam. Penyusunan program kegiatan dan penganggaran daerah tentunya harus mempertimbangkan potensi ancaman tersebut. Perencanaan pembangunan dan penganggaran harus berperspektif pengurangan risiko bencana. Untuk itu akan kita lihat APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2008 sudah sensitif PRB atau belum. Terkait dengan kebencanaan, dalam draf Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Kulon Progo tahun 2008-2013 telah terpetakan berbagai potensi ancaman yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Peta ancaman yang ada di Kabupaten Kulon Progo antara lain : 1. Gempa bumi Daerah rawan gempa bumi di Kabupaten Kulon Progo adalah wilayah selatan atau wilayah pantai. Sebagaimana nampak sesudah gempa bumi tahun 2006, kerusakan paling parah di Kabupaten Kulon Progo terjadi di daerah dekat pantai. 2. Banjir
Wilayah Kabupaten Kulon Progo dilalui oleh tiga sungai besar beserta anak-anak sungainya yaitu Sungai Bogowonto di bagian barat, Sungai 222
Lampiran
Serang di bagian tengah, dan Sungai Progo di bagian timur. Secara keseluruhan ada 37 (tiga puluh tujuh) sungai serta sembilan danau dan mata air. Bencana banjir yang pernah terjadi di Kabupaten Kulon Progo menggenangi 5 wilayah kecamatan (Temon, Panjatan, Wates, sebagian Pengasih, dan Galur) selama 1 – 7 hari dengan tinggi genangan 0,5 m –1,5 m. 3. Tanah longsor Berbeda dengan wilayah selatan yang datar, wilayah utara Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah pegunungan yang disebut dengan Perbukitan Menoreh. Daerah tersebut rawan tanah longsor. Terutama di Kecamatan Kokap dan Kecamatan Kalibawang, tanah longsor terjadi hampir setiap musim penghujan, meski tidak selalu membawa korban manusia. Selain di dua kecamatan tersebut, potensi tanah longsor juga ada di Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Nanggulan, dan Kecamatan Pengasih. 4. Kekeringan
Perbukitan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo juga merupakan daerah rawan kekeringan di musim kemarau. Kekeringan terjadi terutama karena rusaknya daerah tangkapan air sehingga air hujan yang diharapkan bisa menjadi air tanah tidak dapat diserap dan air langsung mengalir menuju sungai. Kekeringan juga disebabkan oleh belum optimalnya 223
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
infrastruktur pengairan serta terbatasnya potensi air tanah karena kondisi geologis. Dampak kekeringan yang terjadi pada waktu yang cukup lama tidak hanya berakibat pada pusonya lahan pertanian warga. Kekeringan juga mengakibatkan menurunnya tingkat kesehatan penduduk, baik karena minimnya air baku, maupun karena penggunaan air yang tidak higienis. 5. Kebakaran Kebakaran yang cukup besar memang belum pernah terjadi di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Namun ancaman kebakaran harus juga diwaspadai, baik kebakaran hutan maupun kebakaran perumahan. Kebakaran biasanya terjadi karena faktor manusia dan jaringan listrik. 6. Epidemi Dilihat dari penyebaran kasus, ternyata masih ada beberapa daerah rawan diare terutama di musim penghujan. Daerah rawan ini mencakup wilayah sepanjang jalur pantai selatan, mulai Desa Jangkaran hingga Desa Trisik, termasuk Desa Bugel dan Desa Karangsewu. Sedangkan pada musim kering, daerah rawan epidemi diare berada pada wilayah sulit air Perbukitan Menoreh seperti Kecamatan Kalibawang serta sebagian Kecamatan Samigaluh dan Kecamatan Kokap. 7. Gelombang pasang dan tsunami Kabupaten Kulon Progo yang terletak di Jawa tengah bagian selatan, termasuk daerah yang
224
Lampiran
rawan tsunami. Wilayah yang rawan terletak di daerah selatan sejajar dengan garis pantai. Wilayah pantai sampai sejauh 3 km dari pantai umumnya memiliki topografi yang datar dengan ketinggian kurang dari 10 m dpl. Wilayah ini meliputi Kecamatan Galur, Kecamatan Panjatan, Kecamatan Wates, dan Kecamatan Temon. 8. Kegagalan teknologi Gagalnya suatu sistem teknologi yang mengakibatkan terjadinya malapetaka teknologi (technological disaster) bersumber pada kesalahan sistem (system error) yang bersumber pada desain sistem yang tidak sesuai dengan kondisi di mana sistem itu bekerja. Hal tersebut sangat mungkin terjadi di Kabupaten Kulon Progo dan menjadi bencana yang mengakibatkan kerugian jiwa seperti kecelakaan transportasi maupun kecelakaan kerja dalam industri. 9. Konflik sosial Konflik sosial dapat terjadi apabila interaksi keragaman kondisi sosial masyarakat tidak bertumpu pada sikap menghargai HAM. Dalam kondisi itu, orang atau kelompok orang tidak saling toleran, tidak saling menghormati budaya dan keyakinan masing-masing, tidak bisa menghargai pendapat orang lain, dan tidak ada rasa saling tolong-menolong. Selain itu kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran dalam memberikan bantuan kepada masyarakat juga berpotensi memicu konflik di antara masyarakat.
225
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Diagram C.1. Data kejadian tiga bencana tersering di Kabupaten Kulon Progo tahun 2006-2008 DATA KEJADIAN BENCANA KAB KULONPROGO 277
300 250
201
200
Tanah Longsor
150 100 50 0
Banjir 75
71
63 6
7
2.006
2007
Angin ribut 20
25
2.008
Sumber : Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Kulon Progo tahun 2008
B. Kerentanan a.Pendidikan Profil pendidikan Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 yang menggambarkan tingkat pendidikan warga Kabupaten Kulon Progo dapat dilihat dalam diagram di bawah ini (halaman berikutnya).
226
Lampiran
Tabel C.1. Profil pendidikan warga Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 Status pendidikan Rasio kelompok penduduk terhadap total penduduk Kabupaten Kulon Progo (%) Tidak / belum sekolah 25,53 Tidak / belum tamat SD 10,36 Tamat SD 23,66 Tamat SLTP 14,75 Tamat SMU 8,29 Tamat D1 dan D2 1,91 Tamat D3/ sarjana muda 1,54 Tamat S1 1,53 Sumber : Draf RAD PRB Kabupaten Kulon Progo 2008-2013 Tabel C.2. Angka putus sekolah menurut tingkat di Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 Angka putus sekolah Besaran pada tahun 2006 (%) menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Kulon Progo Angka putus sekolah untuk 0,16 SD dan MI Angka putus sekolah untuk 0,20 SLTP dan MTs Angka putus sekolah untuk 1,23 SMA dan MA Sumber : Draf RAD PRB Kabupaten Kulon Progo 2008-2013
Selain data di atas, di Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 jumlah penduduk buta huruf tercatat 3.450 orang. Dari profil pendidikan tahun 2006 di atas dapat dilihat bahwa lebih dari 50% penduduk Kabupaten Kulon Progo tidak/belum sekolah dan tamat SD. Kondisi ini membuat kerentanan semakin tinggi. Mengapa rendahnya pendidikan membuat kerentanan meningkat? Hal ini terjadi
227
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
terkait kurangnya kemampuan memahami informasi serta kurang dapat mengakses informasi dengan baik pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. b. Kesehatan Pembangunan kesehatan lebih diarahkan pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat biasanya dilihat dari beberapa indikator antara lain: b.1 Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (UHH) Umur harapan hidup berdasarkan survey kesehatan nasional (Surkesnas) pada tahun 2001 di Kabupaten Kulon Progo mencapai 70 tahun untuk laki-laki dan 72 tahun untuk perempuan. b.2 Angka kematian bayi dan angka kematian ibu Tabel C.3 AKB dan AKI Kabupaten Kulon Progo tahun 2000 s.d. 2006 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005
AKB (per 1.000 kelahiran hidup) 18,78 13,14 14,21 12,06 7,15 11,80
AKI (per 100.000 kelahiran hidup) 151,00 109,56 252,18 237,70 75,26 3 ibu bersalin dan 2 ibu nifas*
2006
14,26
1 ibu hamil dan 5 ibu bersalin*
Keterangan * Belum tersedia data AKI per 100.000 kelahiran hidup. * Belum tersedia data AKI per 100.000 kelahiran hidup.
Sumber : http://www.kulonprogo.go.id/main.php?what=html/profil/ kesehatan, diakses pada hari Kamis, 12 Maret 2009 pukul 13.53 WIB.
228
Lampiran
b.3 Status gizi Tabel C.4. Status gizi balita di Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 - 2006 Indikator status gizi balita
Besaran pada tahun 2003
Jumlah Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
210
%
Besaran pada tahun 2004
Jumlah
%
Besaran pada tahun 2005
Jumlah
%
1,08
194
1,29
204
1,13
2.609 13,36
2.046
13,65
2.092
16.521 84,59
12.600 84,09
192
0,98
145
0,97
Besaran pada tahun 2006
Jumlah
% 1,24
<2
11,62
2.458 11,68
<16
15.538 86,29
18.088 85,96
>80
172
0,96
260
Besaran target tahun 2007 (%)
236
1,12
<2
Sumber: http://www.kulonprogo.go.id/main.php?what=html/profil/ kesehatan1, diakses pada hari Kamis, 12 Maret 2009 pukul 14.16 WIB
b.4 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Untuk meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat, Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2004 telah membina 83,76 % Desa PHBS dan pada tahun 2005 84,88 Desa. Jumlah KK yang dipantau mencapai jumlah 4.207 KK (tahun 2005 ) dan 4.390 KK (tahun 2006) dengan jumlah rumah tangga yang berperilaku sehat sebanyak 32,03 %.
229
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel C.5. Jumlah rumah tangga dipantau PHBS yang telah melaksanakan PHBS di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2004- 2006 Indikator PHBS 2004 2005 2006 (%) (%) (%) Desa dibina PHBS 83,76 84,88 85,09 RT dipantau 9,00 4,00 5,00 RT berperilaku 31,22* 32,03* 37,53* sehat * = dari Rumah Tangga (RT) yang dipantau Sumber: Draf RAD PRB Kabupaten Kulon Progo 2008-2013
c. Faktor sosial Di satu sisi sebagian besar masyarakat Kabupaten Kulon Progo mengandalkan sektor pertanian. Hal ini terlihat pada pemanfaatan hasil hutan, perkebunan, pekarangan dan sawah ( di mana luasan garapan sawah relatif sempit ), peternakan, serta perikanan. Dari 103.450 rumah tangga yang ada, 80.685 ( 77,99 % ) rumah tangga merupakan rumah tangga pertanian, di mana 70.995 ( 87,99% ) tinggal di daerah pedesaan. Ironisnya meski kehidupan keluarga-keluarga tersebut mengandalkan hasil pertanian namun ternyata masih banyak keluarga yang mendapatkan jatah beras miskin. Ada 42.345 keluarga yang menjadi penerima beras miskin. Ternyata hasil pertanian belum mampu membuat keluarga – keluarga di Kulon Progo menikmati hidup yang lebih baik. Dalam kondisi terjadi bencana hampir pasti akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan terutama beras sebagai makanan pokok.
230
Lampiran
Di sisi yang lain, dari hasil pendataan keluarga tahun 2007, tercatat 200.049 orang perempuan, 56.955 orang lansia, dan 34.015 anak-anak (umur 0 s.d.6 tahun). Kondisi struktur usia penduduk seperti ini akan menimbulkan permasalahan kalau sejak awal tidak dilakukan advokasi dan KIE yang berkaitan dengan bencana dan penanggulangan bencana. Permasalahan yang biasa terjadi antara lain terkait dengan evakuasi, penempatan pengungsi di barak, cara memperlakukan pengungsi (khususnya anak-anak), pemeliharaan kesehatan pengungsi, serta kebutuhan nutrisi. Selain itu, modal sosial yang ada, baik itu yang bersifat kelembagaan maupun yang tergabung dalam jejaring, belum memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kemungkinan terjadinya bencana. d. Faktor keuangan Sektor pertanian tidak lagi menarik bagi kaum muda. Mereka yang sudah selesai sekolah sangat sedikit jumlahnya yang mau mencari penghasilan di sektor pertanian. Mereka terobsesi bekerja di industri dengan gaji yang besar. Banyak di antara mereka yang merasa lebih baik menganggur dari pada harus memilih pekerjaan selain yang mereka inginkan. Sampai saat ini, jumlah pencari kerja di Kabupaten Kulon Progo mencapai 4.966 orang. Padahal pencari kerja tahun lalu yang belum mendapatkan pekerjaan ada 4.709 orang, sehingga jumlah keseluruhan pencari ada 9.675 orang.
231
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Jumlah penggangguran yang cukup banyak ini akan menimbulkan masalah kalau tidak ada terapi yang dapat menyalurkan energi/potensi mereka. Terapi sosial diperlukan agar para pencari kerja ini tidak terjebak pada sikap dan perilaku yang tidak menguntungkan secara ekonomi maupun sosial. e. Pangan dan obat Kerentanan pangan Berdasarkan data tahun 2005-2006 Kabupaten Kulon Progo dengan luas wilayah 58.627,54 ha mempunyai lahan kritis seluas 8.541 ha dan sawah seluas 10.833 ha. Sawah seluas itu dapat menghasilkan produksi padi sebanyak 95.982,10 ton per tahun. Sedangkan jumlah penduduk tercatat 463.733 jiwa. Tabel C.6 Kajian kerentanan pangan menurut lokasi sawah di Kabupaten Kulon Progo tahun 2004-2006 Jenis Lokasi kerentanan Akibat Cara kerentanan kerentanan mengurangi kerentanan Letak Kecamatan Sawah Pemeliharaan sawah di Panjatan, sering kondisi alamiah dataran Kecamatan dilanda sungai dan rendah Temon, bencana saluran irigasi. (cekungan) Kecamatan banjir pada Galur, Kecamatan saat musim Lendah, dan hujan. Kecamatan Wates.
232
Lampiran
Letak sawah di dataran tinggi
Kecamatan Kokap, Sawah Penambahan Kecamatan kekurangan dan Pengasih, air pada pengelolaan Kecamatan saat terjadi distribusi Girimulyo, musim debit air dari Kecamatan kemarau bendungan. Nanggulan, panjang. Kecamatan Kalibawang, dan Kecamatan Samigaluh. Sumber : Draf RAD PRB Kabupaten Kulon Progo 2008 - 2013
Selain peta di atas, ada data juga mengenai warga di 88 (delapan puluh delapan) desa di Kabupaten Kulon Progo yang tidak lagi mempunyai lumbung. Ditengarai, yang menyebabkan kondisi ini adalah banyaknya alat pemroses padi. Langkah yang diperkirakan bisa mengurangi kerentanan adalah penggalakan kembali lumbung padi di masyarakat.
Kerentanan obat Mencermati situasi yang ada, kerentanan penyediaan obat-obatan di Kabupaten Kulon Progo terjadi jika : a. Terjadi lonjakan kasus / penderita akibat kejadian luar biasa / bencana melebihi 10% dari situasi normal. Aspek ini menjadi bagian kerentanan karena perencanaan obat hanya memberi estimasi lonjakan kasus sebesar 10%. b. Korban bencana membutuhkan obat nonDOEN dan ini menjadi sulit dipenuhi karena penyediaan obat memperhatikan DOEN.
233
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kerentanan dan perlu mendapat perhatian antara lain : 1. Penyediaan dana penyediaan obat di Kabupaten Kulon Progo untuk tahun 2007 kurang lebih Rp 1.500,00 per jiwa per tahun. Angka ini masih di bawah standar karena Departemen Kesehatan menetapkan standar Rp 5.000,00 / jiwa / tahun. 2. Kabupaten Kulon Progo belum memiliki Kendaraan (Mobil) Unit Distribusi Obat dan Perbekalan Kesehatan yang memenuhi standar dan mampu memberikan perlindungan obat selama dalam perjalanan distribusi. 3. Pengelolaan obat di Kabupaten Kulon Progo belum didukung Sistem Manajemen Informasi Obat berbasis komputer. Selama ini pengelolaan obat di Kabupaten Kulon Progo masih dilakukan dengan cara manual sehingga menjadi lambat dan tak efisien waktu serta tenaga. f. Kelembagaan Penanganan bencana di Kabupaten Kulon Progo dikoordinasikan melalui suatu instansi ad-hoc di tingkat kabupaten yaitu Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak - PB) dengan Unit Pelaksana yang ada di 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Untuk penanganan fase tanggap darurat tanah longsor dan banjir, pengalaman personel yang cukup dan prosedur tetap yang sudah dibuat membuat tingkat
234
Lampiran
keberhasilannya tinggi. Namun dengan bentuk adhoc, rangkap jabatan di Satlak - PB kadang-kadang menyebabkan tidak optimalnya hasil kerja aparat. Hal ini terjadi karena terbaginya beban serta tugas kerja formal dan ad-hoc, sehingga personel yang ada tidak dapat fokus menangani penanggulangan bencana saja. Selain itu, kemampuan anggaran keuangan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang terbatas membuat belum semua bencana yang dilaporkan bisa langsung ditangani dengan baik. III. ANALISIS PENDAPATAN Sebagaimana yang terjadi di banyak daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah mengalami kenaikan setiap tahunnya. Apabila dibandingkan antara tahun 2007 dengan tahun 2008, pendapatan daerah secara keseluruhan mengalami kenaikan Rp 36.005.226.887,00 atau naik 7,22%. Sedangkan pendapatan asli daerah mengalami peningkatan 9,23%, dari Rp 33.129.459.851,00 pada tahun 2007 menjadi Rp 36.188.575.484,00 pada tahun 2008. Tabel C.7. Ringkasan APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 Item-item anggaran PENDAPATAN
Besaran pada tahun 2007 (Rp) 498.642.700.897
Besaran pada tahun 2008 (Rp) 534.647.927.784
Pendapatan Asli Daerah
33.129.459.851
36.188.575.484
1. Hasil pajak daerah
3.136.805.000
3.607.348.900
235
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
2. Hasil retribusi daerah 3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah
19.148.106.600
22.069.418.800
4.269.533.851
4.944.262.000
4. Lain-lain PAD yang sah
6.575.014.385
5.567.545.784
Dana Perimbangan
434.959.708.746
475.090.690.000
1. Bagi hasil pajak / bukan pajak
18.080.798.746
19.295.910.000
2. DAU
374.760.000.000
403.656.780.000
3. DAK
42.119.000.000
52.138.000.000
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
30.553.442.300
23.368.662.300
BELANJA Belanja tidak langsung
523.362.175.519 317.787.732.456
565.532.614.587 360.532.614.587
Belanja Langsung
205.574.444.060
204.830.378.500
PEMBIAYAAN DAERAH 1. Penerimaan Pembiayaan Daerah 2. Pengeluaran Pembiayaan Daerah
24.719.475.622
30.884.686.803
30.680.475.622
38.518.686.803
23.365.638.229
7.634.000.000
Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
1. Kenaikan pendapatan sektor kesehatan berpotensi meningkatkan kerentanan masyarakat. Tidak sedikit pemerintah daerah, termasuk Kabupaten Kulon Progo, yang mengandalkan pendapatan asli daerah dari sektor kesehatan. Hampir setiap tahun pemerintah daerah selalu menargetkan kenaikan PAD dari sektor kesehatan, baik yang terkumpul dari retribusi pelayanan
236
Lampiran
kesehatan di RSUD maupun retribusi pelayanan kesehatan di PUSKESMAS. Apabila melihat pendapatan dari retribusi kesehatan PUSKESMAS di Kabupaten Kulon Progo, angka di tahun 2008 mengalami kenaikan 4,73% dari angka pada tahun 2007. Retribusi pelayanan kesehatan di RSUD mengalami kenaikan 16,32% dari Rp 16.360.518.600,00 pada tahun 2007 naik menjadi Rp 19.029.970.250,00 pada tahun 2008. Diagram C.2. Data jumlah pasien PUSKESMAS dan RSUD di Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 s.d. 2007
Sumber : Kulon Progo Dalam Angka tahun 2008
Terjadinya kenaikan retribusi pelayanan kesehatan di PUSKESMAS dan RSUD ini tentunya bisa menambah beban masyarakat karena ongkos kesehatan semakin mahal. Dengan bertambahnya biaya kesehatan, mereka yang sakit akan mengurangi anggaran untuk kebutuhan yang lain, sehingga kemudian ada kebutuhan lain yang tidak bisa terpenuhi dengan optimal. Apalagi pada umumnya layanan di PUSKESMAS dan RSUD lebih banyak digunakan
237
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
oleh pasien dari kelompok masyarakat ekonomi lemah. Hal ini karena adanya persepsi masyarakat bahwa biaya pengobatan di PUSKESMAS dan RSUD lebih murah daripada biaya pengobatan di rumah sakit swasta atau dokter praktek. Persepsi ini tentu terlepas dari masih banyaknya keluhan pasien atas pelayanan di RSUD yang belum bisa memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien. Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada retribusi ijin praktek dokter yang mencapai 122% dan retribusi ijin pengelolaan Rumah Bersalin yang mengalami kenaikan 200%. Meningkatnya pendapatan dari dua sumber ini bisa berdampak positif bagi masyarakat dengan semakin banyaknya tempattempat pelayanan kesehatan, sehingga akses warga ke tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin dekat. Namun meningkatnya retribusi untuk ijin praktek dokter dan rumah bersalin akan diikuti dengan kenaikan biaya pelayanan kesehatan. Akhirnya, lagi-lagi beban masyarakat miskin yang semakin berat. Tabel C.8. Pendapatan Dinas Kesehatan dan RSUD di Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 SUMBER PENDAPATAN Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Tempat Parkir Retribusi Ijin Praktek Dokter Retribusi Ijin Balai Pengobatan / Klinik
238
Besaran pada tahun 2007 (Rp)
Besaran pada tahun 2008 (Rp)
Kenaikan (penurunan) % 4,73
325.291.550
340.689.450
240.000
264.000
6.250.000
13.875.000
122,00
1.250.000
6.250.000
400,00
10,00
Lampiran
Retribusi Ijin Pengelolaan RB Retribusi Ijin Usaha Toko Obat
2.000.000
6.000.000
200,00
1.125.000
1.275.000
13,33
Lain-lain pendapatan yang sah Retribusi pelayanan kesehatan RSUD Retribusi pemakaian kekayaan RSUD Retribusi parkir TOTAL
10.000.000
1.030.000
(89,70)
16.360.518.600
19.029.970.250
16,32
3.000.000
4.548.000
51,60
6.000.000 16.715.675.150
8.400.000 19.412.301.700
40,00 16,13
Sumber : Dokumen APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
Selain pendapatan dari sektor kesehatan, Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2008 juga mempunyai pendapatan asli daerah yang dikelola oleh Badan Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain bagi hasil pajak dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, pendapatan terbesar setelah retribusi kesehatan yang langsung dikelola oleh pemerintah daerah adalah Bunga Bank/Deposito, Hasil Penyertaan Modal, dan Pajak Penerangan Jalan Umum.
239
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel C.9. Pendapatan Asli Daerah yang Dikelola oleh BPKD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan tahun 2008. Komponen Besaran pada Besaran pada KETERPAD tahun 2007 tahun 2008 ANGAN (Rp) (Rp) Pajak hotel 3.000.000 3.600.000 Pajak restoran 47.795.000 50.525.000 Pajak hiburan 10.200.000 10.500.000 Pajak reklame 298.000.000 351.197.500 Pajak 2.600.000.000 2.989.320.000 penerangan jalan umum Pajak 168.000.000 192.351.400 penambangan Galian C Pajak Parkir 9.810.000 9.855.000 Hasil 4.269.533.869 4.944.262.000 Hasil pengelolaan Penyertaan kekayaan modal daerah Lain-lain PAD 6.105.104.000 4.860.274.000 Bunga Bank / Deposito Bagi Hasil 17.600.537.196 18.918.390.000 PBB, PPh Pajak Bagi hasil 15.928.312.300 16.428.312.300 PKB, pajak pajak dari bahan provinsi bakar, air permukaan Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
240
Lampiran
IV. ANALISIS BELANJA Pengurangan risiko bencana menjadi satu perspektif yang harus dipertimbangkan mengingat pada tahun 2008 sebagian wilayah Kabupaten Kulon Progo dalam kondisi pasca gempa 27 Mei 2006. Ancaman gempa bumi yang kemungkinan diikuti dengan gelombang tsunami berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Kulon Progo karena seluruh bagian selatan wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah pantai selatan. Potensi ancaman yang lainnya adalah kekeringan, tanah longsor, banjir, KLB (DBD dan malaria) yang sering terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, mengantisipasi segala kemungkinan sebelum bencana datang, pada saat bencana, dan pasca bencana menjadi suatu perspektif yang harus ada dalam setiap penganggaran. Bencana yang perlu dipahami bukan hanya bencana yang disebabkan oleh alam tetapi juga bencana oleh ulah manusia termasuk bencana yang diakibatkan oleh proses pembangunan dan kegagalan teknologi. Melihat kondisi geografis Kabupaten Kulon Progo, banyak potensi bencana yang terjadi karena ulah manusia, seperti penebangan hutan yang tidak terkendali dan penambangan bahan galian golongan C yang tidak memperhitungan timbulnya kerusakan lingkungan. Munculnya rencana proyek penambangan pasir besi di sepanjang pesisir Kulon Progo juga harus menjadi perhatian berbagai pihak. Harus diupayakan jangan sampai proyek besar yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat justru menimbulkan bencana.
241
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Anggaran untuk PRB 1. Kenaikan pendapatan tidak diikuti oleh kenaikan belanja untuk pelayanan kesehatan. Kenaikan pendapatan asli daerah dari retribusi pelayanan kesehatan yang mengalami kenaikan 4,73% pada tahun 2008 dibanding dengan pendapatan pada tahun 2007 ternyata tidak diikuti kenaikan pada sisi belanjanya. Alokasi anggaran belanja kesehatan pada tahun 2008 justru mengalami penurunan 5,46% dibanding tahun 2007. Penurunan alokasi belanja 4,73% ini ternyata justru disertai kenaikan belanja rutin pegawai sebesar 23,20% atau hampir sebesar Rp 4 miliar. Anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit menular seperti DBD, diare, ISPA, HIV/AIDS, dan flu burung ada sedikit kenaikan. Namun perlu diperhatikan bahwa permasalahan penyakit menular masih menjadi permasalahan yang harus ditangani secara serius karena sebagian besar wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah perbukitan yang setiap musim kemarau kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Alokasi anggaran yang mengalami kenaikan secara signifikan hanya program perbaikan gizi masyarakat yang dikhususnya untuk anak-anak sekolah. Alokasi anggaran pada tahun 2008 mengalami kenaikan 170,11%. Berdasarkan alokasi ini, setiap anak akan mendapat alokasi anggaran untuk perbaikan gizi sebesar Rp 1.560,00 setiap minggu atau Rp 6.242,00 setiap bulan. Namun alokasi anggaran perbaikan gizi balita justru tidak ada dalam APBD tahun 2008 ini. Padahal anggaran untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita sangat diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh masih sangat diharapkannya alokasi anggaran tersebut oleh kader POSYANDU yang selama ini menyediakan
242
Lampiran
PMT dengan dana yang sangat terbatas dan dilakukan secara swadaya. Upaya untuk meningkatkan kinerja 954 POSYANDU yang ada di Kabupaten Kulon Progo dengan melakukan montoring dan evaluasi belum diikuti dengan alokasi anggaran untuk mendukung perbaikan kinerja kegiatan POSYANDU. Tabel C.10. Anggaran belanja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008. Besaran Besaran KETERANGAN anggaran pada anggaran pada / kenaikan atau Item anggaran tahun 2007 tahun 2008 (penurunan) (Rp) (Rp) dalam % Total belanja 44.148.833.334 41.738.253.791 (5,46) dinas Belanja Tidak 16.159.261.624 19.908.768.991 23,20 Langsung Belanja Langsung 27.989.571.710 21.829.484.800 (22,01) Program obat dan perbekalan 533.286.600 715.000.000 34,07 kesehatan Program Upaya Kesehatan 66.773.950 116.692.000 74,75 Masyarakat Program 170,11 Perbaikan Gizi 249.608.050 674.204.000 PMT untuk 9.000 Masyarakat siswa SD / MI Program 8,94 pencegahan dan DBD, diare, ISPA, 730.517.350 795.821.000 penanggulangan HIV/AIDS, flu penyakit menular burung (28,92) Pengadaan Alokasi sarana dan 23.524.173.900 16.720.901.000 digunakan untuk prasarana meningkatkan PUSKESMAS kualitas pelayanan. Peningkatan Pelayanan 46.152.900 55.000.000 19,17 Kesehatan Balita
243
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Alokasi ditujukan untuk peningkatan kinerja 954 POSYANDU. Alokasi Pengembangan pada Obat Asli 10.000.000 ditujukan terpetakannya Indonesia jamu gendong. Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 Monitoring dan evaluasi
-
10.000.000
2. Anggaran untuk pengelolaan lingkungan masih minim Pengurangan risiko bencana bisa dimulai dari penataan lingkungan yang baik. Hal ini terutama karena bencana tanah longsor, banjir, kekeringan, dan KLB penyakit salah satu penyebabnya adalah tidak adanya penataan lingkungan yang baik. APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2008 belum memperlihatkan adanya alokasi anggaran yang mencukupi untuk pengelolaan lingkungan yang baik. Anggaran terbesar digunakan untuk lomba evaluasi PLH padahal kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam PLH biasanya terbatas untuk kepentingan lomba. Anggaran untuk penerbitan dokumen AMDAL justru mengalami penurunan cukup drastis dari tahun sebelumnya. Padahal dokumen AMDAL ini cukup penting sebagai dasar untuk pengelolaan lingkungan yang baik. Dalam kenyataan di lapangan, banyak terjadi dokumen AMDAL belum diterbitkan namun pembangunan sudah dimulai. Permasalahan kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih sampai saat ini masih dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah bagian utara Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah perbukitan. Wilayah ini mencakup Kecamatan Kokap dan Kecamatan Girimulyo.
244
Lampiran
Upaya-upaya untuk mengurangi kesulitan air ini ternyata tidak diprogramkan di tahun 2008. Kegiatan pengedropan air bersih hanya bisa menyelesaikan masalah sesaat, namun tidak bisa mengatasi akar masalah yang akan terulang lagi pada musim-musim kemarau berikutnya. Upaya-upaya pelestarian sumber air cukup penting, karena dampak kekeringan akan menambah beban dan pengeluaran keluarga. Kekeringan bahkan akan mengurangi aset yang dimiliki warga karena mereka harus menjual aset (hewan ternak atau hasil bumi seperti kayu) untuk membeli air. Tabel C.11. Anggaran Belanja Kantor Pengelonaan Dampak Lingkungan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 Item Besaran Besaran KETERAanggaran anggaran di anggaran di NGAN tahun 2007 tahun 2008 (Rp) (Rp) Total belanja 1.853.927.990 2.007.641.810 SKPD Belanja Tidak 553.381.910 553.381.910 Langsung Belanja 1.300.546.080 1.454.259.900 Langsung Program 1.088.617.600 183.000.000 Ada 250 pengendalian dokumen pencemaran UK / UPL, dan AMDAL, SPPL perusakan LH yang disahkan (2007) Program 33.181.000 993.900.000 Penerima Konservasi manfaat SDA langsungnya adalah calon peserta evaluasi PLH.
245
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Program pengelolaan ruang terbuka hijau
9.803.000
25.000.000
Akan diterbitkan Perbup tentang Penetapan kawasan RTH. Perlindungan 116.000.000 - Alokasi dan anggaran Konservasi digunakan SDA untuk perlindungan mata air. Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
3. Peringatan dini dan penanggulangan bencana belum menjadi perhatian pemerintah Selain Satlak, Kantor Kesbanglinmas mempunyai peran yang cukup vital dalam penanggulangan bencana. Pemberdayaan masyarakat seharusnya bisa diterjemahkan menjadi pemberdayaan atau peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dan melindungi diri dari ancaman bencana. Begitu juga dengan perlindungan masyarakat, tidak hanya memberikan perlindungan dari ancaman tindak kriminal dan konflik sosial, namun juga perlindungan dari ancaman bencana alam. Dengan anggaran untuk pencegahan dini dan penanggulangan korban bencana alam yang hanya Rp 88.234.500,00 berarti perencanaan program kegiatan belum mengedepankan perlindungan masyarakat terhadap bencana. Bagaimana uang sebesar itu bisa digunakan untuk pencegahan dini dan penanggulangan korban bencana alam di seluruh kabupaten yang menghadapi potensi ancaman gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, tanah longsor, dan kekeringan?
246
Lampiran
Tabel C.12. Anggaran Belanja Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 Item anggaran Besaran Besaran anggaran anggaran pada pada tahun 2008 tahun 2007 (Rp) (Rp) Total belanja SKPD 1.325.873.886 1.730.561.073 Belanja Tidak Langsung 925.261576 1.048.393.673 Belanja Langsung 400.612.250 682.167.400 Program peningkatan 85.053.600 231.067.000 keamanan dan kenyataan lingkungan Pencegahan dini dan 120.007.100 88.234.500 penanggulangan korban bencana alam Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
4. Mencegah kerawanan pangan : dari sektor perikanan dan kelautan diperluas ke sektor pertanian dan peternakan. Diagram C.3. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku di Kabupaten Kulon Progo tahun 2004-2007
Sumber : Kulon Progo Dalam Angka 2008
247
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Potensi sumber penghasilan terbesar Kabupaten Kulon Progo ada di sektor pertanian, baik pertanian irigasi di wilayah selatan maupun pertanian non irigasi di wilayah utara yang berupa daerah perbukitan. Dalam Kulon Progo Dalam Angka 2005, hasil sensus tahun 2003 menunjukkan penduduk Kabupaten Kulon Progo mayoritas masih berusaha di sektor pertanian. Sebanyak 103.450 rumah tangga (77,99%) merupakan rumah tangga pertanian di mana 87,99% di antaranya merupakan rumah tangga pertanian daerah pedesaan. Data pada tahun 2005, luas lahan pertanian irigasi seluas 3.451 ha, sedangkan luas lahan kering 47.741 ha. Diagram C.4. Jumlah Produksi Padi di Kabupaten Kulon Progo tahun 2003-2007
Sumber : Kulon Progo Dalam Angka tahun 2008
Dalam program dan kegiatan Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2008 ini muncul beberapa program kegiatan yang mengarah pada pengembangan dan peningkatan budi daya
248
Lampiran
pertanian dan peternakan. Program baru ini mencakup pengembangan data pertanian serta peningkatan produksi hasil peternakan dengan kegiatan vaksinasi dan pembinaan. Juga upaya-upaya peningkatan pemasaran hasil pertanian dan perkebunan serta peningkatan ketahanan pangan merupakan program-program yang belum ada pada tahun 2007. Pergeseran program kegiatan yang dapat dilihat dari tahun 2007 ke tahun 2008 adalah bahwa pada tahun 2007 lebih konsentrasi pada sektor perikanan dan hasil laut, namun pada tahun 2008 lebih konsentrasi pada sektor pertanian dan peternakan. Upaya pemerintah daerah untuk konsentrasi di bidang pertanian dan peternakan diharapkan bisa meningkatkan ekonomi masyarakat, sehingga tidak akan ada kerawanan pangan bagi penduduk Kabupaten Kulon Progo. Tabel C.13. Anggaran Belanja Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 Item anggaran Besaran Besaran KETEanggaran di anggaran di RANGAN tahun 2007 tahun 2008 (Rp) (Rp) Total belanja 3.488.607.500 19.188.592.507 SKPD Belanja Tidak 10.796.047.757 Langsung Belanja 3.488.607.500 8.086.763.092 Langsung Pemberdayaan 34.640.000 Anggaran ekonomi digunakan masyarakat untuk pesisir sosialisasi program PEMP. Peningkatan 147.883.750 kesejahteraan petani
249
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pengembangan budi daya perikanan Pengembangan perikanan tangkap
262.707.000
-
3.191.260.500
-
Peningkatan ketahanan pangan pertanian / perkebunan Peningkatan pemasaran hasil produksi pertanian / perkebunan
-
887.074.400
-
4.729.454.000
Pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak
-
293.022.100
Peningkatan produksi hasil peternakan
-
362.526.500
Alokasi anggaran digunakan untuk pengadaan konstruksi bangunan dan motor tempel. -
Alokasi anggaran digunakan untuk pengadaan alat pertanian dan peternakan untuk pembibitan. Alokasi anggaran diguanakn untuk penyelenggaraan vaksinasi. Pembinaan kelompok ternak kambing PE -
Pengembangan 108.189.200 data pertanian Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
250
Lampiran
5. Eksploitasi tambang tanpa reklamasi Wilayah Kabupaten Kulon Progo memang tidak mempunyai daerah pertambangan yang besar. Namun dalam PAD Kabupaten Kulon Progo masih ada komponen penerimaan pajak pengambilan bahan galian golongan C yang terdiri dari : batu kapur, batu belah, batu split, pasir bahan bangunan, pasir urug, pasir batu bangunan, tanah urug, dan abu bumi. Sampai dengan tahun 2008, secara kelembagaan sektor pertambangan belum menjadi satu SKPD tersendiri, sektor pertambangan masih menjadi satu SKPD dengan perindustrian, perdagangan, dan koperasi di Dinas Disperindagkoptam (Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Pertambangan). Dari alokasi anggaran sebesar Rp 3.972.662.692,00 yang ada di SKPD ini, tidak ada alokasi anggaran yang berkaitan dengan urusan pertambangan. Padahal dilihat dari sisi pendapatan, pajak pengambilan bahan galian golongan C ditargetkan memberikan kontribusi sebesar Rp 192.351.400,00 pada tahun anggaran 2008. Penambangan pasir untuk bahan bangunan di Sungai Progo sebenarnya merupakan permasalahan serius yang harus segera ditangani. Pemetaan permasalahan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat menyebutkan bahwa pengambilan pasir untuk bahan bangunan di Sungai Progo akan mengancam lahan pertanian di sekitar sungai. Perlu ada intervensi dari pemerintah daerah untuk mengendalikan atau mengatur penambangan pasir di Sungai Progo serta memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan.
251
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Tabel C.14. Anggaran Belanja Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertambangan tahun 2007 dan 2008 Item anggaran Besaran Besaran anggaran anggaran di di tahun 2008 (Rp) tahun 2007 (Rp) Belanja 3.420.666.702 3.972.662.692 Belanja Tidak 2.530.274.402 2.980.418.892 Langsung Belanja Langsung 890.392.300 992.243.800 Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
6. Pengurangan risiko bencana perlu dukungan pembangunan fisik Kenaikan pendapatan dan belanja daerah belum tentu diikuti kenaikan anggaran belanja bagi tiap-tiap SKPD. Sebagai contoh, anggaran belanja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kulon Progo tahun 2008 justru mengalami penurunan sebesar 8,71% dibanding tahun 2007. Penurunan alokasi anggaran yang cukup tajam ada pada item pembangunan jalan dan jembatan yang mengalami penurunan sampai 79,81%. Kemungkinan alasannya adalah pembangunan sarana dan prasarana fisik telah banyak dilakukan pada tahun 2007, sehingga pada tahun 2008 lebih banyak dibutuhkan anggaran untuk biaya pemeliharaan. Hal ini sejalan dengan adanya alokasi anggaran untuk pemeliharaan jalan dan jembatan yang mengalami kenaikan 22,12% dari tahun 2007. Upaya pengurangan risiko bencana oleh Pemerintah Daerah bukan berarti setiap SKPD harus membuat program kegiatan untuk pengurangan risiko bencana. Upaya PRB bisa diintegrasikan di dalam program dan kegiatan masing-masing SKPD sesuai dengan tupoksinya.
252
Lampiran
Hal yang sama bisa dilakukan atas program dan kegiatan di Dinas Pekerjaan Umum yang mengurusi pembangunan fis. Perlu dicermati perencanaan pembangunan jalan dan jembatan sudah memperhitungkan aspek pengurangan risiko bencana atau belum. Sebagi contoh, jalan di wilayah rawan bencana bisa didesain sebagai jalur evakuasi selain fungsi utamanya sebagai jalan umum. Diagram C.5. Data panjang jalan menurut kondisi jalan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2007
Sumber : Kulon Progo Dalam Angka tahun 2008
Sebagaimana diuraikan di atas, program kegiatan di Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2008 lebih menitik-beratkan di sektor pertanian dan peternakan. Upaya peningkatan di sektor pertanian seharusnya didukung dengan pembangunan jaringan irigasi karena ketersediaan jaringan irigasi akan mendukung keberhasilan usaha di sektor pertanian. Tetapi melihat program kegiatan serta alokasi anggaran di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kulon Progo tahun 2008, alokasi anggaran untuk pengembangan dan
253
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
pengelolaan jaringan irigasi justru mengalami penurunan 15,54% dibanding alokasi anggaran tahun 2007. Yang perlu dicatat, pada tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Kulon Progo mulai memperhatikan masalah persampahan. Di tahun 2007 tidak ada alokasi anggaran untuk pengelolaan persampahan, namun di tahun 2008 ada alokasi anggaran untuk pengelolaan persampahan sebesar Rp 1.166.035.500,00. Adanya alokasi anggaran ini diharapkan bisa menyelesaikan masalah persampahan sehingga tidak mengakibatkan bencana. Munculnya wabah penyakit dan bencana banjir juga turut disebabkan oleh pengelolaan sampah yang tidak baik. Tabel C.15. Anggaran Belanja Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008 Item Besaran Besaran Kenaikan / anggaran anggaran pada anggaran pada (penurunan) tahun 2007 tahun 2008 dalam % (Rp) (Rp) Total belanja 49.614.534.723 45.292.298.118 (8,71) SKPD Belanja Tidak 5.812.212.144 6.440.453.188 10,80 Langsung Belanja 43.802.322.579 38.851.744.930 (11,30) Langsung Pembangunan 3.921.878.800 791.775.500 (79,81) jalan dan jembatan Pembangunan 2.691.323.790 2.122.623.560 (21,13) saluran drainase / goronggorong Pemeliharaan 14.591.548.110 17.820.605.170 22,12 jalan dan jembatan Pengem5.446.820.950 4.600.013.000 (15,54) bangan dan pengelolaan jaringan irigasi
254
Lampiran
Pembangunan infrastruktur pedesaan Pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH) Pengelolaan persampahan
6.089.272.300
6.455.500.000
399.054.000
617.149.000
-
1.166.035.500
(6) 54,65
Sumber : Dokumen Penjabaran APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 dan 2008
V. KESIMPULAN Dalam tahun anggaran 2008, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo masih mengandalkan retribusi pelayanan kesehatan sebagai kontributor terbesar PAD. Kenaikan pendapatan dari retribusi pelayanan kesehatan yang mencapai hampir Rp 2 miliar ditargetkan dengan menaikkan tarif retribusi pelayanan kesehatan di RSUD dan PUSKESMAS. Selain itu ada kenaikan yang cukup signifikan juga untuk retribusi lainnya seperti retribusi ijin praktek dokter. Kenaikan tarif retribusi pelayanan kesehatan tentunya akan menambah beban masyarakat miskin. Fasilitas ASKESKIN belum bisa menjamin semua keluarga miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai secara gratis. Sering muncul keluhan dari keluarga pasien miskin, pelayanan bagi pemegang kartu ASKESKIN “dinomor-duakan”, dilayani tidak seperti pasien yang membayar secara penuh. APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2008 memperlihatkan bahwa program dan kegiatannya tidak hanya sekadar “copy paste” program dan kegiatan tahun 2007. Beberapa SKPD menyusun program dan kegiatan yang belum diprogramkan pada tahun sebelumnya. Yang
255
Meredam Risiko Bencana Upaya Integrasi PRB Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah
masih perlu dicermati, program-program dan kegiatan yang dialokasikan dalam APBD tersebut benar-benar merupakan usulan dari masyarakat atau semuanya merupakan inisiatif SKPD yang bersangkutan. Berkaitan dengan PRB, APBD Kabupaten Kulon Progo tahun 2008 belum memperlihatkan program, kegiatan, dan penganggaran yang sensitif terhadap PRB. Seperti terlihat dalam anggaran Kantor Kesbanglinmas yang tupoksinya sangat dekat dengan urusan perlindungan masyarakat dari ancaman bencana. Alokasi anggaran untuk peringatan dini dan perlindungan korban bencana alam hanya sebesar Rp 88 juta. Bagaimana mungkin dengan anggaran sebesar itu Pemda bisa melakukan upaya-upaya untuk peningatan dini dan perlindungan korban bencana untuk warga satu kabupaten yang menghadapi beragam potensi bencana? Begitu juga dengan SKPD-SKPD lain yang terkait dengan dengan urusan kebencanaan, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Sosial, dan yang lainnya. Program dan kegiatan SKPD-SKPD tersebut kebanyakan belum sensitif PRB. Kalau toh sudah ada program dan kegiatannya, alokasi anggarannya masih sangat minim. RAD PRB yang sekarang ini baru disusun diharapkan bisa menjadi acuan bagi tiap-tiap SKPD untuk menyusun program kegiatan yang sensitif PRB. Melakukan upayaupaya pengurangan risiko bencana tidak berarti harus menyusun program kegiatan dan penganggaran secara khusus. Yang lebih penting, tiap-tap SKPD mempunyai kapasitas untuk menyusun program kegiatan yang berperspektif PRB. Jangan sampai pemerintah daerah beralasan anggaran daerah terbatas sehingga pemerintah tidak melakukan perencanaan-penganggaran yang sensitif PRB. Yang juga perlu dipikirkan adalah mengupayakan
256
Lampiran
pemeritah daerah mampu mengalokasikan anggaran tak terduga untuk kebencanaan dan menyusun rencana darurat (contingency plan). Pengurangan risiko bencana bisa terwujud apabila diawali dengan komitmen yang kemudian didukung dengan adanya kebijakan, kelembagaan, dan anggaran yang mencukupi. []
257
Sekilas tentang Penulis dan Penyunting
SUNARJA
Empat tahun terakhir bergulat dengan isu pengurangan risiko bencana dalam perencanaan dan penganggaran. Sejak tahun 2007 dipercaya sebagai Koordinator Divisi Risk Sensitive Budget Advocacy IDEA. Sejak 2003 bersama dengan IDEA mengorganisasi kelompok miskin dan perempuan untuk meningkat kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran. Sebelumnya, laki-laki kelahiran Sleman tahun 1966 ini berproses bersama LESAN (Lembaga Studi Kesehatan), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Budaya. Silakan menghubungi beliau di
[email protected]
Sekilas tentang Penulis dan Penyunting
Beberapa tahun terahir tulisannya tentang pengurangan risiko bencana dalam perencanaan penganggaran dirujuk oleh banyak pihak. Mantan Direktur IDEA periode 2007-2010 dan salah satu fellow Ashoka 2005 ini adalah salah satu pendiri IDEA (ketika membentuk yayasan maupun ketika berubah menjadi perhimpunan). Laki-laki kelahiran Purbalingga tahun 1974 ini aktif sebagai Dewan Etik GERAK Indonesia, salah satu jejaring organisasi anti korupsi di Indonesia. Alamat rinto.
[email protected] adalah salah satu persinggahan maya yang dimilikinya.
RINTO ANDRIONO
Sekilas tentang Penulis dan Penyunting
WASINGATU ZAKIYAH
Sejak tahun 2004 ia bergabung dengan IDEA dan bergelut dengan isu anggaran yang tanggap dan adil gender. Saat ini ia dipercaya oleh anggota Perhimpunan IDEA sebagai Direktur IDEA periode 20102013. Sebelumnya, perempuan kelahiran Blitar tahun 1976 ini bergabung dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2000 dan menjadi pendiri Indonesia Court Monitoring (ICM). Pasca gempa tahun 2006 perempuan yang akrab dipanggil Zaki ini tertarik melakukan penelusuran dana bencana. Akun
[email protected] menjadi salah satu ruang maya tempatnya berbagi gagasan.
Sekilas tentang Penulis dan Penyunting
Akrab dipanggil dengan inisial EBM. Sejak tahun 2002 ia bekerja bersama IDEA saat menjadi Koordinator LBM (Lembaga Budaya Masyarakat). Pernah juga dipercaya sebagai Koordinator Community Organizer IDEA setelah sebelumnya bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan WALHI. Laki-laki kelahiran Bantul tahun 1968 ini diakui piawai melakukan lobi dan negosiasi dengan para pengambil kebijakan. Pasca gempa 2006, EBM telaten melakukan pemetaan risiko bersama komunitas rentan. Anda dapat berkorespondensi dan berbagi gagasan dengannya melalui
[email protected].
EKO BUDI MARWANTO
Sekilas tentang Penulis dan Penyunting
DIDIK SRI MULYANA
Sejak tahun 2000 ia menggeluti isu resolusi konflik dan pengurangan risiko bencana. Sebelum bergabung dengan IDEA untuk memperkuat advokasi di isu PRB sejak tahun 2008, ia berproses bersama DREAM/ PSMB-UPN sejak tahun 2004. Pengalaman mengelola konflik digeluti saat masih bergabung dengan Yayasan Sosial Soegijopranoto (YSS) Keuskupan Semarang (19982000). Laki-laki kelahiran Grobogan tahun 1975 ini sampai sekarang masih bersetia dengan isu pengurangan risiko bencana dan good governance. Anda bisa menghubunginya di
[email protected]
Sekilas tentang Penulis dan Penyunting
Penikmat dunia suntingmenyunting ini bergabung dengan IDEA sejak Oktober 2004. Anak desa kelahiran Sleman, 1977, yang beruntung bisa mengecap kesempatan belajar di International Human Rights Training Program (IHRTP) Equitas (2008), juga menimba wawasan tentang isu audit hutang (2008) dan isu perubahan iklim (2009) bersama Jubilee South Asia Pacific Movement on Debt and Development (JS-APMDD). Baru saja ia belajar dalam Women’s Interfaith Journey bersama Henry Martin Institute (2009). Dikenal dengan kepedulian atas pengendalian tembakau terkait dengan hak asasi manusia, saat ini ia mengampu Divisi Advokasi Anggaran untuk Pemenuhan Hak EKOSOB di IDEA. Setelah Menjaring Uang Rakyat : Ragam Advokasi Anggaran di Indonesia (2006, disunting bersama A.An’am Tamrin), buku ini menjadi buku terbitan IDEA yang kedua yang turut disuntingnya. Anda bisa berbagi gagasan dengannya melalui
[email protected].
VALENTINA SRI WIJIYATI
IDEA YOGYAKARTA
MISI
VISI
PRINSIPPRINSIP YANG DIANUT
IDEA didirikan pada 20 Mei 1995 dan berbadan hukum pada 22 April 2004 (Akta No: 25/2004 Notaris Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Yogyakarta). Sesuai mandatnya, Perhimpunan IDEA didirikan sebagai bagian upaya mendorong pelembagaan mekanisme politik dan kebijakan publik yang menghormati hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB). Mendorong proses-proses politik yang demokratis untuk pemenuhan hak-hak EKOSOB rakyat melalui perubahan kebijakan, penguatan basis masyarakat, dan penguatan kesadaran publik.
Terwujudnya kedaulatan rakyat di ranah publik yang ditandai oleh pemenuhan hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat. Akuntabilitas, responsiveness, transparansi, partisipasi, fairness, proses demokratis, afirmatif.
IDEA dimandatkan untuk mendorong penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya oleh negara melalui kebijakan anggaran publik, khususnya anggaran daerah. Keadilan, kesetaraan dan keadilan gender, keberagaman (pluralisme), nir-kekerasan, imparsial, dan keberlanjutan.
(a). Pengorganisasian kelompok masyarakat miskin dan perempuan (b). Pendidikan dan penguatan kapasitas kelompok masyarakat miskin dan perempuan serta pihak yang memiliki kemendesakan dalam layanan dasar. (c). Riset dan/atau analisis kebijakan (d). Mengembangkan dan/atau melibatkan diri dalam jaringan (e). Memengaruhi perubahan kebijakan (lobi, kampanye, dan melibatkan diri secara langsung)
MANDAT
NILAI-NILAI YANG DIANUT LAYANAN YANG DIAMPU
ALAMAT Jl. Kaliurang Km 5 Gang Tejomoyo CT III/3 Yogyakarta 55281 Indonesia Telp. / fax. +62-274-583900 Email:
[email protected] www.ideajogja.or.id