BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang
Pada masa transisi manusia-manusia pada suatu institusi mengalami tekanan-tekanan, rasa takut, cemas, dan tidak percaya, yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan suatu institusi. Manusia-manusia organisasi atau para karyawan
justru
akan
meningkatkan
ikatan-ikatan
emosional
pada
kelompoknya masing-masing. Akibat yang menonjol adalah nilai-nilai perlawanan dan ikatan yang kuat pada subkultur, bukan pada keseluruhan institusi. Subkultur tersebut dapat berupa ikatan-ikatan kelompok-kelompok kerja seperti unit-unit usaha, divisi, proses bisnis, profesi, atau profesional. Transformasi nilai-nilai dalam suatu institusi tidak bisa langsung dilakukan melalui kultur organisasi itu sendiri (secara menyeluruh). Memang benar dalam kehidupan ini ada nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh seluruh manusia lintas sektoral dan lintas fungsional. Misalkan saja komitmen, loyalitas, pelayanan, mutu, keterbukaan, kemanusiaan, kejujuran, disiplin, team work, heartwork, dan tepat waktu. Dengan demikian, transformasi nilai-nilai organisasi perlu menyentuh akar budaya itu sendiri yaitu nilai-nilai subkultur.
1
2. Rumusan Masalah a. Bagaimana cara memetakan subkultur dalam organisasi ? b. Apa tantangan dalam menemukan nilai kolektif ? c. Bagaimana merajut nilai -nilai subkultur menjadi budaya korporat ? d. Apa itu budaya disiplin ? e. Bagaimana melakukan intervensi melalui Orgnizational Development ?
3. Tujuan a. Untuk mengetahui Bagaimana cara memetakan subkultur dalam
organisasi b. Untuk mengetahui Apa tantangan dalam menemukan nilai kolektif c. Untuk mengetahui Bagaimana merajut nilai -nilai subkultur menjadi
budaya korporat d. Untuk mengetahui Apa itu budaya disiplin e. Untuk
mengetahui
Bagaimana
Orgnizational Development.
2
melakukan
intervensi
melalui
BAB II PEMBAHASAN
I.
Perubahan Tidak Berbentuk Linear
Transformasi organisasi yang dilakukan dengan menyentuh nilai-nilai organisasi perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan muncul dari sisi manusia. Dalam suatu proses transformasi nilai-nilai, kita tidak hanya akan berhadapan dengan satu-dua orang atau satu-dua kelompok, melainkan puluhan kelompok. Masing-masing kelompok bisa beraksi, bukan hanya terhadap stimulus perubahan dari atasannya saja, melainkan juga terhadap respon kelompok-kelompok (subkultural) lainnya. Beberapa kelompok mendukung, tapi lainnya menolak, bahkan lainnya enggan menerima. Akibatnya, transformasi nilainilai menjadi tampak kacau dalam prosesnya, yang semula diduga akan mendukung ternyata bisa menghambat, demikian pula sebaliknya. Tadin ya diduga kelompok-kelompok akan berubah kalau mereka memperoleh informasi dari tangan pertama dan bisa memahaminya. Ternyata, mereka baru mau berubah kalau insentifnya memadai misalnya saja, kita ingin merubah budaya korupsi diantara pegawai negeri dengan membuat organisasi yang lebih ramping, proses bisnis dan pelayanan public yang computerized dan memiliki single accounting system. Dengan be gitu seluruh dana tidak resmi menjadi resmi. Hal ini bisa lebih menertibkan keadaan dan banyak uang negara yang akan terselamatkan. Karyawan dan pejabat yang sudah biasa menerima penghasilan tidak resmi tentu akan menolaknya sepanjang insentif kearah sistem baru tersebut tidak memadai.
3
II.
Memetakan Subkultur Dalam Organisasi
Dalam masa transisi, budaya perusahaan atau institusi terpecah-pecah ke dalam budaya kelompok-kelompok. Departemen keuangan seperti yang dikenal sebelum tahun 1980-an. Masing-masing direktorat memiliki subkultur sendirisendiri. Sehingga anda akan mengenal subkultur kantor pajak yang berbeda dengan subkultur ”lapangan banteng” yaitu istilah kantor pusat Departemen Keuangan yang terletak di lapangan Banteng-Jakarta Pusat. Direktorat ini punya kultur yang berbeda pula dengan kultur pada Direktorat Bea dan Cukai, kantor Perbendaharaan Negara dan seterusnya. III.
Tantangan Untuk Menemukan Nilai-Nilai Kolektif
Perbedaan bukan untuk dicemaskan, namun harus diakui dan diangkat sebagai kekayaan institusi. Hal yang perlu diwaspadai dari perbedaan dalam institusi adalah : 1. Dominasi satu subkultur : Ramuan kekuasaan dan politik organisasi yang tidak seimbang, terdapat selera di divisi sumber daya manusia dalam merekrut tenaga kerja dari profesi, universitas atau etnik tertentu. Akibatnya bisa menimbulkan sinisme dan hambatan komunikasi. 2. Subkultur yang lemah : Tidak ada aplikasi yang dapat tersalurkan dengan baik, pimpinan hanya kuat secara teknikal. Akibatnya kurang percaya diri. 3. Fragmentasi subkultur yang luas : Terlalu banyak nilai-nilai atau kelompokkelompok dengan nilai-nilai sendiri. Agak sulit menyatukan organisasi dan organisasi harus bekerja keras untuk menemukan jati diriya serta spirit kesatuan. 4. Fragmentasi subkultur yang luas : Pergantian pemimpin berkali-kali tanpa visi yang jelas dengan interest masing-masing yang berbeda. Downsizing, restructuring,
merger
yang
prosesnya
4
berlarut-larut,
lamban
yang
menghancurkan nilai-nilai lama dan tak ada yang menaruh minat terhadap rekonstruksi nilai-nilai baru. Terjadi kevakuman budaya. Tantangan terbesar seorang transformer nilai-nilai adalah mencari cara terbaik untuk menggabung-gabungkan nilai-nilai tersebut. Hal itu butuh kesabaran, ketekunan, kecerdasan, dan tentu saja intergritas. Perjalanan mulai dari melihat, percaya, bergerak, dan merumuskan nilai-nilai kolektif adalah proses yng panjang dan meletihkan, penuh dengan detail dan tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki jiwa kenegarawan yang mampu membangunnya secara utuh. Tetapi, sekali ia peroleh, dan diterima oleh critical mass, organisasi akan memberikan buah-buah yang unggul secara berkelanjutan. Ia akan sangat menetukan kinerja organisasi di masa depan, siapa pun yang memimpinnya. IV.
Memotret Subkultur
Masalah dalam memotret subkultur : 1. Orang lama dari dalam perusahaan (pejabat karir): kemungkinan besar terlihat jelas, namun bias oleh kaca mata fungsinya. 2. Orang yang sama sekali baru (biasa berkarir diluar perusahaan / institusi) : memerlukan waktu untuk mengenal betul sub-sub kultur. Kemungkinan besar menerima informasi bias dari tokoh-tokoh kunci. 3. Orang asing (stranger) : kemungkinan kurang peduli dengan subkultur. Oleh karena masalah diatas, pemimpin perubahan tidak bisa bekerja sendiri perlu dibantu oleh tim yang optimis, yang diberi wewenang untuk mengakses seluruh unit dalam perusahaan / institusi. Pemimpin sendiri harus punya waktu untuk memotret, mendengarkan, mengarahkan dan menggerakan timnya. Selain itu butuh pihak ketiga yang kredibel, ahli dan bebas dari kepentingan sehingga
5
dapat diterima oleh semua subkultur dan semua pihak bersedia menceritakan kediriannya. Terdapat beberapa alat bantu untuk memotret sub kultur, seperti : a. Bagan organisasi beserta perubahan-perubahannya dalam sepuluh tahun terakhir. b. Carrier track dari tokoh-tokoh kunci, baik formal mau pun informal c. Hubungan kerja serta proses bisnis organisasi d. Forum-forum diskusi yang melibatkan berbagai kelompok. Pemotretan dilakukan dengan beberapa observasi dan field study serta survey, wawancara mendalam, dan teknik-teknik riset. Dengan tujuan untuk memetakan dan mengambil nilai-nilai yang dianut. Dalam hal ini secara garis besar terdapat dua subkultur yaitu pertama subkultur yang jelas k ediriannya dan kedua yang kurang menonjolkan nilai-nlainya. Berbeda tipe subkultur akan berbeda pula cara perlakuannya. Yang terpenting adalah kemampuan memperoleh dan membentuk nilai-nilai positif pada masing-masing unit menurut cara masing-masing subkultur. Dengan memahami, mengakui dan menimbulkan nilai-nilai tersebut maka akan didapat unsur-unsur yang paling dalam yaitu invisible artifacts, yang merupakan nilai -nilai dasar, keyakinan, dan asumsi-asumsi yang dianut oleh subkultur-subkultur. V.
Merajut Nilai-nilai Subkultur Menjadi Budaya Korporat
Output pada pemotretan subkultur adalah sebuah dokumen yang kaya dengan informasi dan cerita yang mengandung nilai-nilai dari masing-masing subkultur.semua itu dapat digali dari berbagai sisi. Dari riset, observasi, dialog, penggalian sejarah, dan sebagainya. Masalahnya sekarang adalah bagaimana menyatukan nilai-nilai yang masih dominan dalam masing-masing silo (subkultur)?
6
Kesalahan yang sering terjadi adalah adanya deadline yang memaksa konsultan atau perumus budaya bekerja secepat mungkin, kemudian mereka menggabungkan dan menyimpulkan begitu saja masing-masing nilai tersebut ke dalam sebuah pernyataan budaya. Cara tersebut tak dianjurkan karena dapat mereduksi kekayaan korporat ke dalam selembar kertas yang tidak bermakna. Adapun cara-cara yang dapat ditempuh untuk merumuskan atau membuat suatu pernyataan budaya yaitu dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Harus dialogis. Proses penyatuan nilai dilakukan dengan melakukan cross selling, yaitu dengan cara bertukar pikiran, dimana masing-masing subkultur mempresentasikan nilainya. 2. Harus Partisipatif. Presentasi tidak dilakukan oleh pihak-pihak ketiga, melainkan oleh si pemilik kultur-kultur itu sendiri. sehingga, partisipasi dari setiap figur akan mempermudah proses penyatuan nilai itu. 3. Harus memberikan ruang terhadap “Buy-in- process”. Proses ini harus memberikan ruang kepada seluruh pihak untuk merasa memiliki dan menga kui bahwa merekalah yang membuat nilai-nilai itu. 4. Harus kaya cerita. Pernyataan budaya tidak boleh sekedar berisi kalimatkalimat normatif agar lebih bermakna. Upayakan agar penuturannya seperti bercerita sehingga dapat menjiwai dan pendengarnya akan berimajinasi tentang budaya korporatnya. 5. Harus praktis dan mampu dijabarkan kedalam elemen-elemen budaya (ritual, seremoni, simbol-simbol, dll). Pernyataan budaya harus bisa ditunjukkan atau ditirukan kedalam bentuk simbol-simbol yang mewakili organisasi tersebut. 6. Harus orisinal dan berbeda. Pernyataan budaya ini harus orisinil, agar tidak dipandang sinis oleh berbagai pihak. Dengan kata lain, harus b enar-benar unik, berasal dari proses sejarah asli institusi tersebut dan bukan merupakan plagiatisme .
7
Proses pembentukan atau perumusan budaya institusi tidak dapat dilakukan dengan jangka waktu yang singkat, karena proses tersebut bukanlah proses mudah yang bisa dikerjakan semua orang, sekalipun hal tersebut secara konseptual memang mudah dilakukan.
VI.
Visioning: Proses Menyatukan Nilai-nilai Budaya Korporat
Visioning adalah sebuah proses yang menyatukan mozaik-mozaik nilai dari masing-masing subkultur menjadi sebuah rumusan budaya yang diterima semua pihak. Proses ini dapat disebut juga sebagai “pencerahan”. Tahapan dalam proses visioning: 1. Merumuskan nilai-nilai masing-masing subkultur, Proses pada tahap ini sudah dijelaskan di muka. Kemudian, setelah proses perumusan dilakukan, Nilai-nilai yang telah dirumuskan tersebut kemudian diproses pada tahapan berikutnya. 2. Membawa nilai-nilai dari subkultur-subkultur tersebut ke dalam sebuah forum untuk merumuskan nilai-nilai bersama. Proses ini bertujuan untuk membangun trust di antara blok-blok subkultur yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara diskusi dalam sebuah forum. Adapun bahasan dalam forum tersebut antara lain adalah asal mula munculnya nilai-nilai tersebut, jati diri kelompok, simbol-simbol kelompok, kisah-kisah tentang kegagalan dan kesuksesan, dan lainnya. 3. Memperkaya nilai-nilai dan visi organisasi ke depan dan merumuskannya ke dalam strategi budaya. Setelah melalui proses kedua, nilai-nilai yang telah ada dan disepakati kemudian dikumpulkan untuk menjadikannya sebagai sebuah budaya dalam suatu organisasi. Perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai tersebut bukanlah sebuah jurang yang memisahkannya, namun dapat dipakai sebagai sebuah perekat atau bahkan penghias yang dapat mewarnai budaya korporat dalam
organisasi.
Organisasi
memerlukan 8
budaya
korporat
untuk
menjembatani keadaan sekarang dengan masa depan. Oleh karena itu, budaya korporat diperlukan oleh setiap organisasi sebagai sebuah sarana untuk menggapai visi. Tujuan akhir proses visioning tersebut adalah untuk menemukan nilai-nilai, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, pandangan-pandangan dari setiap subkultur yang dapat dipakai untuk membentuk kultur baru. Budaya koorporat tersebut adalah strategi untuk menjembatani masa depan. Proses ini disebut proses visioning yaitu pencerahan. Sebuah team yang merumuskan budaya koorporat dapat segera menganalisis dan membentuk semacam, draft budaya koorporat, hasilnya adalah memuat rumusan : a. Nilai-nilai utama serta asumsi-asumsi dasar manusia koorporat. Berisi nilai-nilai utama yang harus menjadi tuntutan bagi setiap manusia yang tergabung di institusi ini, baik sebagai karyawan biasa maupun eksekutif atau pemimpin. b. Asal mula nilai-nilai tersebut. c. Visible artifacts yang masih relevan dan harus dibentuk. d. Rekomendasi untuk menyatukan nilai-nilai tersebut, hambatanhambatan yang mungkin muncul. e. Rekomendasi tentang nilai-nilai dan kebiasaan yang harus dibuang. f.
Daftar tabu (hal-hal yang dilarang) sebagai karyawan / pimpinan di korporat.
Proses rekonstruksi masih harus berlangsung beberapa langkah lagi ke depan. Namun pada tahapan ini institusi sudah mengalami pergantian pemimpin dan hanya menghasilkan konsep saja. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diingat : a. Penggalian informasi, apapun bentuknya selalu menimbulkan ekspetasi.
9
b. Ekspetasi yang tidak segera direalisasi dapat menimbulkan kekecewaankekecewaan dan kekurang percayaan bawahan terhadap atasan. c. Penggalian tidak boleh dilakukan berulang-ulang untuk hal yang sama dalam waktu yang singkat. d. Penggalian dan visioning adalah proses yang meletihkan dan sangat menggangu ritual kerja, sehinnga pikirkan baik-baik pengorbanan dan biaya yang telah dikeluarkan. e. Pergantian pemimpin tidak boleh megabaikan proses pembentukan nilai-nilai baru yang sedang berlangsung. f.
Konsep dapat bekerja jika dijalankan. Untuk menjalankanya dibutuhkan beberapa hal seperti komitmen dari seluruh pimpinan, proses sosialisasi yag merata terhadap karyawan lama, komunikasi yang intensif terutama kedalam dan sebaginya. Meskipun tidak selalu dibutuhkan, penerapan budaya korporat baru dapat
dilakukan dengan membuat semacam kehebohan. Tujuannya adalah untuk menimbulkan perhatian seluruh lapisan insan organisasi. Misalnya diterapkan bebarengan dengan peluncuran logo baru, bentuk pelayanan baru. Semua ini harus dilakukan secara konseptual, konsisten, sistematis dan tertutup.
10
VII.
Memperkuat Budaya Baru
Mengubah budaya korporat pada dasarnya mengubah kebiasaan-kebiasaan (yaitu bagaimana pekerjaan diselessaikan)dalam suatu institusi, dan kalau berhasil menghasilkan komitmen baru, empowerment sumberdaya manusia, dan ikatan yang lebih kuat antara institusi dengan pelanggarannya (Porter dan Parker,1992). Setelah nilai-nilai baru terbentuk dan budaya korporat disepakati menjadi bagian dari strategi korporat, institusi perlu terus untuk memperkuatnya agar ia menjadi tradisi baru yang benar-benar mampu memberikan jawaban terhadap perubahan. BUDAYA DISIPLIN
Melalui studi yang mendalam Seorang ahli manajemen Jim Collins (2001), menemukan pentingnya budaya disiplin untuk meraih keunggulan dalam be rsaing. Menurutnya perusahaan-perusahaan yang bagus dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu : •
Good company (perusahaan bagus)
•
Great company (perusahaan hebat)
Seperti dapat dilihat dalam bagan 12.1 tidak semua perusahaan bagus mampu menjadi hebat. Ia bahkan menandaskan “good is the Enemy of great” dan untuk menjadi great company bukan Cuma sekedar dibutuhkan budaya korporasi atau disiplin melainkan budaya disiplin. Kebanyakan pemimpin perusahaan biasanya sudah merasa puas setelah memperoleh penghargaan sebagai good company. Pada pekerjaan yang efisien, citra perusahaan yang sangat bagus, dan eksekutif-eksekutif yang cakap. Karena
11
perusahaan-perusahaan yang lain tidak cukup bagus pada masa-masa kritis maka perusahaan-perusahaan biasanya seperti ini segera menjadi perhatian public dan wartawan. Mereka biasanya memperoleh banyak penghargaan (award), baik yang diberikan oleh lembaga-lembaga independen yang kredibel, maupun konsultan yang memungut bayaran. Award tersebut membuat CEO mereka menjadi sangat terkenal dan menghiasi surat kabar dari hari ke hari . CEO seperti ini disebut Collin sebagai celebrity. Ketenaran seorang celebrity CEO tentu saja bisa membuat citra perusahaan naik dan sangat di segani oleh para analis saham dan wartawan. Masalah utamanya ketenaran bisa membuat CEO terlalu focus “ke luar” dan membuatnya kurang sensitive terhadap hal-hal yang harus segera ditanganinya di dalam. Ketenaran seorang CEO bisa membuat para analisis sangat berhati-hati bahkan takut memberikan masukan-masukan yang kritis. Ada tiga pilar utama yang membentuk budaya disiplin, yaitu : 1.
Disipline People : Manusia yang diseleksi ditempatkan dengan baik
2.
Disipline Action : Strategi yang diimplementasikan dengan benar
3.
Disipline Thought : Mengikat kerja bukan hanya dengan disiplin, melainkan disiplin
Discipline People
Pembentukan budaya dimulai dari masnusia, bukan organisasi. Jadi, berbeda dengan organisasi birokratik yang menempatkan “manusia untuk organisasi “ maka disini organisasi di desain untuk memperoleh kebahagian-kebahagian dan bekerja Karena menyenangi pekerjaannya.
Rekrut Yang Baik, Perekrutan didasarkan pada orang yang baik bukan pada orang yang cerdas
12
dan tahu bagaimana ia bekerja dalam team yang berorientasi kedepan dan mempunyai karakter kuat.
Berikan Pengertian Yang Baik, Discipline people tidak secara otomatis diperoleh dari perekrutan yang baik, namun diberi standar kerja melalui proses orientasi.
Jalan Ritual Yang Benar, Ritual tidak hanya terjadi pada saat pengangkatan karyawan tetapi pada eveneven lain, ciptakanlah ritual yang menyentuh emosi.
Letakan Pada Kursi Yang Tepat, Orang-orang yang tepat akan berkontribusi positif dan menghargai budaya korporat jika ditempatkan pada kursi yang tepat pula.
Keluarkan Yang Dibawah Standar, Kesalahan terbesar organisasi ketika para eksekutif berani mengatakan ditempanya tidak ada eksekutif yang berhenti kalau menjadi maka budaya organisasi berubah menjadi budaya mempertahankan harmoni sosial, artinya bahwa instansi berubah menjadi kumpulan orang-orang
yang butuh
ketenangan.
Kepemimpinan Level 5 Collins menegaskan bahwa pentingnya leadership tetapi leadership bukan ditekankan pada manajerial leadership, pemimpin disebut Lincon type leader yaitu seseorang yang mempunyai keberanian menghadapi fakta-fakta ritual dengan kegigihan, pantang menyerah, memiliki panggilan profesional serta kerendahan hati strategis.
Intervensi Melalui OD (Organization Development)
Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam memperkuat buda ya korporat adalah OD atau Organization Development. Pada dasarny OD merupakan teknik yang dipakai dari ilmu perilaku(behavioral science) untuk menciptakan learning invironment melalui upaya-upayapeningkatan kepercayaan (trust), konfrontasi
13
terbuka terhadap masalah-masalah, pemberdayaan karyawan dan partisipasinya, berbagi pengetahuan dan informasidesain pekerjaan yang lebih memberikan arti, kerjasama dan kolaborasiantarkelompok serta pendayagunaan potensi manusia seutuhnya. Menurut Dalf OD menjadi alat yang dianggap penting karena penekanannya terletak pada nilai-nilai perkembangan manusia, kketerbukaan, keadilan, bebas dari tekanan- tekanan dan otonomi untuk mencapai hasil tersebut. Ada beberapa teknik yang dikembangkan dalam OD, antar lain: 1.
Intervensi kelompok Intervensi dilakukan di sela-sela program tahunan untuk “membuka mata” dan mengajak para eksekutif untuk terlibat dalam perumusan rencana yang menyenngkan. Untuk itu harus diupayakan adanya even khusus yang membentuk pengalaman emosional mereka yaitu tentang pentingnya komitmen, kemampuan beradaptasi, dan setia pada nilai-nilai yang hakiki dalam melayani dan membangun institusi. Harus diupayakan adanya kebebasan dalam banyak hal baik dalam berpakaian sampai komunikasi lintas hierarki dan divisi,dan kebebasan berfikir untuk mengasah kreativitas. Jangan biarkan dominasi oleh atasan-atasan tettentu dan jangan biarkan rasa takut menyelimuti mereka.
2.
Team building Team building adalah suatu kegiatan experiental yang didesain untuk menyelimuti cohesivennnes (daya rekat)kelompok. Nilai-nilai dasar yang dipupu dalam team dan diterima dengan menyenangkan akan membantu proses percepatan pembentukan nilai-nilai baru.
14
3.
Aktivitas-aktivias antardepartemen Budaya korporat yang hanya ditanam pada sekat-sekat yang ketat tidak akan efektif. Adara aktivitas-aktivitas antardepartemen hidup, nilai-nilai itu harus berinteraksi , dan orang-orang yang hidup dalam silonya masing-masing harus sring dipertemukan. Dalam pertemuan itu mereka harus saling berdialog tentang asalah dan bagaimana mengatasinya.
Menghadapi Pukulan Balik Budaya
Dalam mengubah budaya koorperat ada dua buah kenyataan yang harus dihadapi, yaituL; vicious circle (lingkaran setan ) dan virtuous circle (lingkaran baik). Semua pemimpin itu tentu menginginkan transformasi nilai-nilai yang ditanamkan bisa menimbulkan perubahan perilaku dan membawa kemajuan bagi kinerja organisasi (virtuous). Tetapi dalam kenyataannya banyak proses transformasi nilai yang memikul balik ke belakang. Sebagai contoh penerapan nilai-nilai kehidupan melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama bertahun-tahun di era Soeharto di Indonesia ternyata hilang begitu saja bahkan nilai-nilai itu tak ampak berbekas pada saat krisis melanda bangsa ini. Menurut teori ini, semua bisa terjadi kalau kita salah memupuk nilai-nilai tanpa memperhatikan efek formalitas/informalitas dan sentralisasi / desentralisasi penerapannya.
Viciuous circle
Viciuous circle (lingkaran setan) adalah arah gerakan/lingkaran perubhan nilai-nilai yang berakibat memukul balik ketempat semula. Pada setiap transforamasi nilai yang dijalankan selalau saja ada kemungkinan gerakan maju sekaligus pusaran-pusran gelombang. Gelombang yang bergerak seperti putaran
15
cyclone (spiral)yang agresif disebut viciuous circle, sedangkan yang berbentuk keatas seperti spiral atau memanjang atau double helix disebut virtuous circle. Ada dua hal pendekatan untuk transformasi yaitu • Formal atau informal • Sentralisasi (dikendalikan pusat dan desentralisasi( otonomi) Ada 4 jenis budaya berdasarkan formalisasi dan sentralisasi : 1. Budaya apolo, budaya yang sangat formal dan tersentralisasi, dikontrol kuat oleh hierarki. 2. Budaya zeus, Budaya yang tersentralisasi dank arena sifatnya informal maka ia membarkan dirinya dikelilingi oleh kolega-kolega yang tersusun organic. 3. Budaya Athena, Budaya yang formal dan terdesentralisir makacenderung bekerja disiplin. 4. Budaya Dionisius, Bersifat informal dan terdesentralisir, biasanya menuntut kreativitas tinggi, kerjasama tim, dan biasanya cenderung kumpulan para ahli
terdiri dari
menurut bidangnya masing-masing dan cenderung
otonom. Mengelola budaya, menurut teori ini sangat perlu memperhatikan tingkat formalitas dan cara melakukan sentralisasi. Sentralisasi akan menimbulkan masalah, dan kalau tidak dikelola dengan baik, ia justru akan menimbulkan gelombang cylone yang berbalik arah. Perubahan budaya bisa menyebabakan gelombang lingkaran setan yang memukul berbalik arah. Protes, complain, perbedaan pendapat, perlawanan dianggap sebagai kegiatan melawan Undang-Undang(formal). Sekarang ruang protes dan pembangkangan menjadi beralih ke lingkungan informal, dilakukan secara diam-diam dan terselubungbahkan tidak ada lagi pemikiran-pemikiran kritis
yang
menantang
gagasan-gagasan
16
resi
tersebut.
Pada
era
itu,
pembangkangan dianggap sebagai kegiatan subversive. Pemikiran dan nilai -nilai yang tertutupuntuk dikritisis biasanya cenderung akan mengalami pembusukan. Itulah sebabnya, penanaman nilai-nilai baru atau transformasi nilai-nilai dengan cara ini sangat tidak dianjurkan karena dapat “memukul balik” ke tempat semula, bahkan dapat menimbulkan perlawanan yang sangat dahsyat namun tidak terbuka. Virtous Circle
Kalau
terjadi
gelombang
perlawanan
tentu
Anda
membutuhka
penyelesaian, yaitu rekonsiliasi. Kebanyakan pemimpin dalam perusahaan dan lembaga resmi pemrrintahan membiarkan organisasinya tercabik-cabik dengan kultur yang cenderung kompromistis, tetapi tidak jelas kemana arahnya. Untuk itu anda perlu melakukan rekonsiliasi dan berdamai dengan berbagai pihak: dengan kelompok-kelompok penentang dan dengan masa lalu. Organisasi perlu membangun nilai-nilai baru dengan cara, yaitu melalui jalan Virtous Circle. Cara ini disebut sebagai sistem mandiri atau self-balancing dan selfconecting karena nilai-nilai dan npandangan-pandangan yang saling bertentangan (formal-informal, sentralistis-desentralistis) tetap diberi ruang untuk saling mengisi dan mengoreksi. Kelompok informal dipandang bukan sebagai sempalan yang harus dibasmi, melainkan sebagai aktivitas bernilai yang terintegrasi secara formal dalam institusi. Artinya, mereka juga berhak memperoleh penghargaan penghargaan dan imbalan-imbalan terhadap peran yang dijalankan. Pendekatan ini adalah pendekatan estetika, didasarkan kehendak hidup yang harmonis dan berirama. Artinya, transformasi nilai-nilai dilakukan dengan menyeimbangkan aturan-aturan formal dengan cara-cara tidak formal, dilengkapi dengan aktivitas-aktivitas yagn sifatnya menyenangkan, memberikan ruang untuk berinisiatif. Dengan kata lain, ada seni yang cukup tinggi untuk mengelola perubahan budaya.
17
Studi Kasus
Sejalan dengan makin meningkatnya merger dan a kuisisi, membuktikan bahwa menggabungkan dua budaya organisasi yang berbeda bukanlah pekerjaan yang mudah. Juga, banyak keuntungan yang diharapkan dari merger tersebut tidak terealisasi karena budaya organisasi dan S umber Daya Manusia yang berbeda. Menurut suatu perkiraan secara nasional, 70% dari semua kombinasi tidak mencapai sasaran keuangan yang telah ditetapkan dan hanya 15% mencapai sasaran keuangan mereka. Satu
contoh
dari
industri
pelayanan
kesehatan
mengilustrasikan
permasalahannya. Dua organisasi pelayanan kesehatan yang besar, kedua-duanya berpusat di California Selatan, telah terlibat dalam persaingan yang ketat. Homedco dan Abbey Healthcare Group memutuskan, daripada meneruskan persaingan, lebih baik mereka memperkuat posisi pasar mereka dengan penggabungan untuk menciptakan sebuah perusahaan besar menjadi Apria Healthcare Group. Bersamasama mereka merencanakan untuk memperluas pelayanan kesehatan mereka sebagai pengaruh dari perluasan pelayanan yang telah dikelola. Tiga tahun kemudian nilai persediaan dari Apria telah merosot sebesar 25%, dan penghasilan menurun. Sejauh mana kemerosotan Apria merupakan bukti yang cepat ; ketika usaha mulai mencari perusahaan lain untuk mengambil – alih perusahaan, hanya beberapa pembeli tampak tertarik. Apa yang terjadi ini terutama karena oleh masalah operasional yang disebabkan oleh merger. Masalah masalah tersebut tidak dapat diselesaikan karena konflik internal yang terjadi antara bekas eksekutif dan tenaga kerja Homedco dan Abbey Healthcare. Puncakn ya, BOD, yang bahkan terpisah dapat menerima keputusan untuk mengganti Timothy Aitken, yang semula adalah CEO Abbey Healthcare, dengan Jeremy Jones dari Homedco untuk menjabat sebagai CEO. Tampak nyata dari semula bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki budaya organisasi yang sangat berbeda. Homedco memiliki struktur yang lebih formal dengan pembuatan keputusan yang lebih terpusat, sedangkan Abbey Healthcare pembuatan
18
keputusan bersifat sangat desentralisasi dan manajer cabang mempunyai wewenang yang sangat besar. Juga, penggabungan sistem komputer dan penagihan dengan menggunakan sistem Abbey Healthcare berarti bahwa tenaga kerja yang berasal dari Homedco harus mendapatkan pelatihan, dimana hal ini tidak dapat terjadi begitu cepat. Sebagai akibatnya, banyak sekali kesalahan dalam penagihan yang menimbulkan keluhan dan telepon dari pelanggan yang tidak puas yang diterima oleh departemen pelayanan pelanggan Apria. Untuk menghemat biaya dan menghilangkan duplikasi tugas, lebih kurang 1 4% dari tenaga kerja pada perusahaan yang digabungkan tersebut kehilangan pekerjaan. Akan tetapi, jumlah terbesar dari mereka adalah tenaga kerja yang sebelumnya merupakan tenaga kerja Abbey. Untuk mereka yang masih tinggal di perusahaan, tampak bahwa kebanyakan manajer Homedco tidak terpengaruh dibandingkan dengan yang dialami manajer Abbey Healthcare. Sebagai contoh, hanya ada 6 d ari 21 manajer regional yang sebelumnya mereka bekerja untuk A bbey Healthcare, di mana dalam hal ini mengakibatkan kebanyakan perwakilan penjualan Abbey yang mempunyai kinerja yang baik memilih keluar dari perusahaan. Bahkan perubahan beberapa peraturan dasar Sumber Daya Manusia telah menimbulkan masalah. Contohnya, ketika peraturan Sumber Daya Manusia Homedco digunakan di kantor Abbey, kode yang baru dan prosedur penyimpanan data mengganggu beberapa tenaga
kerja
yang
merupakan
tenaga
kerja
Abbey
sebelumnya.
Sehingga
mengakibatkan banyak sekali dari mereka yang meninggalkan perusahaan pada tahun pertama penggabungan. Karena tingkat konflik yang sangat hebat menyebabkan tenaga kerja dari satu perusahaan menganggap mereka yang berasal dari perusahaan lain adalah “orang bodoh” dan menolak untuk membalas menelepon kembali tenaga kerja dari perusahaan lain. Akhirnya, baik Aitken maupun Jones meninggalkan perusahaan, dan tim eksekutif yang baru berjuang untuk membangun kembali Apria. Bukannya menjadi merger yang sehat, malahan menciptakan “merger dari neraka”.
19
Sayangnya, situasi ini bukanlah hal yang tabu, budaya konflik serupa juga telah melenyapkan keefektivan merger oleh perusahaan dalam bidang industri yang lain. Salah satu contoh adalah merger antara dua lembaga keuangan yaitu Society Corp. dan Key Corporation (Key Corp.). Sejak merger, perusahaan yang di gabungkan tersebut telah mengalami pertumbuhan hanya separuh dari pertumbuhan bank yang lain dalam ukuran perusahaan yang sama dan telah mengurangi tenaga kerja sebanyak 5.000 orang. Pada kasus ini, sama seperti kasus Apria, membuktikan bahwa masalah ketidakharmonisan
Sumber
Daya
Manusia
dan
budaya
organisasi
dapat
menghancurkan nilai suatu merger yang tampak logis dari perspektif bisnis strategi yang luas. Analisis Kasus
Melihat dari masalah yang terjadi di atas, salah satunya adalah mengenai penggabungan dari 2 budaya organisasi yang berbeda. Masalah tersebut sering terjadi kepada
perusahaan-perusahaan
yang
melakukan
penggabungan
atau
merger
perusahaan. Perbedaan 2 budaya menjadi satu tersebut malah membuat perusahaan memiliki penurunan dalam pasar. Oleh karena itu, seharusnya perusahaan tersebut harus menciptakan kembali suatu budaya organisasi yang etis agar perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut harus dimulai dari pimpinan (CEO) perusahaan tersebut. Pemimpin seharusnya dapat menjadi model peran yang visible yang baik, dan tidak memihak kepada perusahaannya terdahulu sebelum di merger tersebut, pimpinan harus dapat menjadi penengah dan memberikan peran yang baik di depan para karyawannya, sehinga hal tersebut dapat memberikan pesan positif bagi semua karyawannya. Kemudian pimpinan mengkomunikasikan kembali harapan harapan yang etis yaitu berupa kode etik organisasi. Kode etik tersebut tentu saja harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan yang baru yang dapat dipatuhi oleh para karyawan.
20
Pemimpin juga dapat memberikan beberapa pelatihan etis seperti seminar, loka karya dan yang lain-lain yang nantinya dapat memperkuat standar tuntutan organisasi, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan di dalam organisasi. Setelah itu, pemimpin dapat secara nyata memberikan penghargaaan kepada karyawan yang menjunjung tinggi kode etik tersebut, dan memberikan hukuman kepada karyawan yang melanggar, dengan begitu akan membuat karyawan untuk selalu menjunjung tinggi kode etik dari budaya organisasi tersebut. Terakhir pemimpin dapat mengadakan mekanisme formal di dalam organisasi yang dapat mengurusi perihal kode etik tersebut. Sehingga karyawan dapat melaporkan hal-hal yang terjadi dalam perusahaan yang melanggar kode etik tersebut dan ditindaklanjuti. Dengan beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemimpin tersebut dalam menciptakan kembali budaya organisasi, dapat membuat perusahaan tersebut berjalan kembali dengan lancar dan tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua perusahaan yang telah di merger tersebut.
21
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Transformasi nilai – nilai adalah bentuk perubahan bentuk yagn sangat sulit , butuh banyak waktu, tetapi merupakan
faktor yang sangat menentukan
keberhasilan perubahan. Transformasi nilai nilai mutlak diperlukan untuk mengubah arah sebuah institusi dalam kurun waktu yang panjang ke depan. Oleh Karena itu, proses ini hanya akan mebawa hasil kalua ada hal-hal sebagai berikut: ledership yang kuat, dukungan bawahan,
komunikasi yang jelas, komitmen
pemimpin Pada tahap pertama adalah memeperkenalkan, baik melelui pidato pemimpin yang menyampaikan visi atau pandangan kedepan, surat keputsan, memo, dan sebagainya. Selanjutnya dibangun proses kesadaran melalui dialog-dailog. Pada tahap kedua para pemimpin membantu anak buahnya dan karyawankaryawannya memahami apa yang akan terjadi kemudian dana pa saja manfaat bagi organisasi dan mereka semua jika terjadi perubahan. Tahap ketiga yaitu komitmen yang terdiri dari dua langkah yaitu instalasi dan institusionalisasi.
22
DAFTAR PUSTAKA Kasali, R. (2005). CHANGE. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
23