PENGELOLAAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT HUTAN LARANGAN ADAT KENAGARIAN RUMBIO
Haryati Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau Pekanbaru 28293
Abstrack Have been conducted by a research to know management of local wisdom of indigenous peoples in forest ban. This research was conducted at Custom Prohibition Forest Lake Village V Village Sibolga Rumbio District Kampar Kampar regency. The method used are survey methods and methods of Focus Group Discussion (FGD). Data collected included primary data. Primary data was done by using personal interviews, in-depth interviews (in-depth interviews), and direct observation of indigenous forest restrictions relating to the existence of local wisdom. The parameters of this research are internal and external conditions customary forest ban rumbio. The results of experimental indicate that the indigenous peoples are able to organize themselves according to their needs and interests and to revamp the organizational structure as deemed unable to function properly.
Key words :local wisdom, indigenous people, custom prohibition forest, Rumbio Pendahuluan
Hutan adalah salah satu jenis sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bagi masyarakat pedesaan, hutan sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi penting, yaitu sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat dalam kehidupan mereka dan kawasan hutan sangat baik untuk dijadikan lahan pertanian baik pertanian pangan maupun perkebunan.
Hutan Larangan Adat Rumbio merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang merupakan cultural identity bangsa yang terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis, Sehingga hutan larangan adat dapat dimanfaatkan sebagai salah satu aset budaya bangsa. Pada masa kini eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat.. Hal ini terjadi dikarenakan adanya peningkatan intentitas kerusakan sumber daya alam khususnya, akibat berbagai faktor perilaku manusia dan derasnya arus pandangan global. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya. Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya, dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumberdaya alamnya. Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah yang merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya yang berbeda-beda,
sehingga
pengalamannya
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidup
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial (Andi M. Akhmar & Syarifudin, 2007). Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa
kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma, tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal menjadi seperti religi yang
mendominasi manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan Ilmu, berupa sumbangan teoritis dalam menambah dan memperkaya kajian sosiologi masyarakat kehutanan, khususnya kajian kearifan lokal dan pola interaksi antara masyarakat dalam mengembangkan sumberdaya alam dan lingkungan hutan larangan adat Rumbio.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Hutan Larangan Adat Dusun V Danau Siboghia Desa Rumbio Kecamatan Kampar Kabupaten Kampar pada 08 November 2012. Metode yang digunakan adalah metode survey dan metode Focus Group Discussion (FGD) yang diawali dengan pemaparan dan diskusi berlanjut pada pertanyaan. Parameter yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi biofisik (fisiografi lahan, karakteristik flora dan fauna biodiversitas), sistem pertanian disekitar hutan / agroforestry dsb. 2. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat dikenagarian Rumbio. 3. Bagaimana pengelolaan (perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan penegakan hukum adat) oleh masyarakat adat. 4. Bagaimana bentuk kelembagaan (institusi, tata aturan) adat dikenagarian Rumbio dalam mendukung pengelolaan hutan. 5. Apa permasalahan, tantangan, ancaman yang muncul dalam pengelolaan hutan adat kenagarian Rumbio. 6. Bagaimanakah upaya yang harus dilakukan saat ini dan dimasa yag akan datang dalam pelestarian hutan adat kenagarian Rumbio. 7. Bagaimanakah tingkat keberlanjutan hutan adat kenagarian Rumbio dimasa yang akan datang, sehubungan dengan banyaknya permasalahan.
Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer. Data primer dilakukan dengan teknik personal interview, wawancara mendalam (in-depth interview), dan
observasi langsung terhadap hutan larangan adat yang berkaitan dengan eksistensi kearifan lokal.
Hasil Pembahasan
Kondisi Biofisik (Fisiografi Lahan, Karakteristik Flora dan Fauna Biodiversitas), Sistem Pertanian Disekitar Hutan. Hutan Larangan Adat Kenagarian Rumbio adalah pusaka tinggi masyarakat adat Kenagarian Rumbio. Secara administratif, kawasan hutan ini terletak di empat desa yakni Rumbio, Padang Mutung, Pulau Sarak, Koto Tibun, semuanya di wilayah Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Hutan larangan adat Rumbio saat ini berada pada kawasan seluas ±570 Ha yang kondisinya masih sangat asri, terutama masih terpeliharanya berbagai jenis flora dan fauna yang khas di daerah ini. Kekayaan alam tersebut di dukung oleh adanya serasah-serasah daun yang mampu meningkatkan kandungan unsure hara tanah dan efektivitas potensi tanah. Sebagian besar lahan hutan larangan adat masih berupa lahan gambut. Gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka yang ada di hutan Rumbio. Limin (1998) menyatakan pelapukan bahan organik (tanah gambut) tersebut menghasilkan hara bagi tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam organik yang berpengaruh lebih kuat dan dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman. Sebagai hutan primer, hutan larangan Rumbio memiliki vegetasi yang asli dan beragam diantaranya akar kepala batu, kempas tolang (Koompassia malccensis), pohon tampui (Baccaurea sp), pasak bumi (Eurycomma longifolia), meranti (Shorea sp), keranji (Dipterocarpus sp), kulin, cikubin, beringin, bunga malang, akar lembujo, akar kerbau, akar tampak, pohon sialang, cempedak hutan, mata enggrang, akar kempas, gaharu, dan petai (Parkia speciosa). Sedangkan fauna di kawasan ini di antaranya harimau rumbio, beruang, monyet cingkuak, tapir, rusa, babi, kancil, cigak, unko, trenggiling, burung onggang, elang, burung murai, ayam hutan, burung serindit, burung beo, dan burung tiung.
Hal ini sejalan dengan Koentjaraningrat (1990) yang mengemukakan bahwa adapun daerah hutan yang biasa paling digemari sebagai daerah untuk membuka ladang, adalah daerah hutan rimba primer, karena daerah hutan serupa itu tidak membutuhkan tenaga extra untuk membersihkan belukar bawah yang tebal. Masyarakat adat Rumbio memiliki sistem pertanian yang cukup baik dan kondusif, yaitu perkebunan karet dan sawah. Menurut Rifai (Responden), bahwa sebagian besar lahan hutan larangan adat banyak diambil alih oleh penduduk setempat sebagai perluasan lahan perkebunan karet akibat kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Dikenagarian Rumbio. Rafai menjelaskan bahwa mayoritas kondisi sosial ekonomi masyarakat adat Rumbio hampir 90% memanfaatkan perkebunan karet dan kelapa sawit disekitar hutan adat Rumbio untuk mencukupi kebutuhan ekonomi dan sosialnya. Selain itu, nyaris 10% minoritas pedagang dan pegawai yang hanya diduduki oleh masyarakat adat kelas atas seperti tertera pada diagram dibawah ini. Kondisi Sosial Ekonomi 10% KARET & SAWIT 90%
PEDAGANG & PEGAWAI
Dalam bidang sosial hasil hutan digunakan untuk pembangunan masjid, surau, rumah, jembatan, sekolah. Sedangkan dibidang ekonomi, perkebunan karet dan sawah yang menjadi komoditas utama dalam sektor pendapatan, selain itu sumber air bersih juga merupakan aset ekonomi masyarakat setempat.
Pengelolaan (Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian, Pengawasan dan Penegakan Hukum Adat) Oleh Masyarakat Adat.
Datuk Ulak Simano menjelaskan, bahwa hutan adat Rumbio sebenanrnya sudah ada sejak zaman prasejarah dengan cara konvensional (tradisional) dan hidup nomaden. Dalam pengelolaan hutan adat, masyarakat adat telah memiliki berbagai perencanaan untuk kemajuan kawasan hutan larangan adat tersebut. Diantaranya adalah membuat parit dan penanaman pohon aren yang digunakan sebagai pembatas hutan dan pemukiman penduduk. Derasnya arus globalisasi saat ini menyebabkan sebagian lahan dari ulayat Rumbio dikelola menjadi ladang, sawah dan perkebunan karet. Sedangkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat digunakan sebagai lahan pertanian, sumber air bersih, serta mata pencaharian penduduk. Untuk mengantisipasi derasnya globalisasi akan menipisnya kawasan hutan adat, maka pada tahun 2004 pemerintah memberikan wewenang kepada masyarakat setempat untuk mengawasi hutan larangan adat. Adanya posko penjagaan yang dibangun oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kondisi hutan. Dalam pengendalian dan pengawasan hutan adat, ninik mamak kenagariaan Rumbio mengeluarkan Peraturan Adat Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rimba Larangan Adat yang berfungsi untuk menjaga kestabilan lokalitas hutan adat dari masyarakat liar dan menjadikan peraturan adat tersebut sebagai landasan hukum tertulis. Gambar 1. Skema Pengelolaan Kearifan Lokal Masyarakat Hutan Larangan Adat Kenagarian Rumbio RUMAH
RUMAH
RUMAH
J
RUMAH
SAWAH
A
SAWAH
KOLAM
L
KOLAM
KARET
A
KARET
HUTAN
N
HUTAN
KARET
SAWIT
Berdasarkan gambar 1 tersebut, lokasi hutan terletak di ujung pemukiman penduduk, dan diapit oleh pertanian atau perkebunan. Hal ini bertujuan agar hewanhewan buas tidak mengganggu komoditas kehidupan masyarakat adat. Didalam pemanfaatan hutan masyarakat telah mempunyai rambu-rambu yaitu aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat didalam pemanfaatan hutan, baik dalam memanfaatkan kayu, pengaturan berburu, dan lain-lain.
Kelembagaan (Institusi, Tata Aturan) Adat Dikenagarian Rumbio. Wilayah hutan (ulayat) Rumbio ini diprakarsai oleh 10 orang datuk dari 5 persukuan yang ada dalam adat Rumbio. 2 datuk dari suku tertua yang menjadi pucuk adat kenagarian Rumbio yaitu datuk Ulak Simano (suku mputopang) dan datuk Godang (suku domo ) sebagai penguasa inti wilayah hutan Rumbio. Datuk Ulak Simano menguasai daratan yang tidak tergenang air (“ka daghek bapucouk kayu”) sedangkan Datuk Godang menguasai sungai-sungai hingga yang ditumbuhi rerumputan (“ke lauik bebungo kaghang”). Masing-masing datuk adat kenagarian tersebut dibantu oleh malin (bidang keagamaan), panglimo/dubalang (bidang keamanan) dan monti (bidang administrasi). Kawasan Hutan Larangan Adat dikelola oleh satu organisasi yang disebut Yayasan Pelopor Sehati SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) untuk memberdayakan masyarakat dan lembaga ditingkat pedesaan agar berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan hutan dan kehutanan dengan susunan yang digambarkan sebagai berikut :
Dt. Ulak Simano bertanggungjawab kepada kepala desa karena mengingat hutan adat adalah bagian dari wilayah desa yang pengelolaannya merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi eksekutif pemerintah desa. Tatanan desa khususnya organisasi pengelola sudah harus mampu menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengelola kawasan karena masalah pengelolaan kawasan hutan tidak lagi hanya sekedar masalah lokal tetapi sudah menjadi masalah di tingkat internasional yang memberi banyak peluang bagi masyarakat pengelola hutan untuk menjalin kerjasama secara luas. Kebutuhan kerjasama ini bermuara dari aspek upaya meningkatkan pengelolaan kawasan yang tidak hanya berwujud sebagai kawasan perlindungan tetapi juga mampu berfungsi untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap desa secara umum.
Permasalahan, Tantangan, Ancaman Yang Muncul Dalam Pengelolaan Hutan Adat Kenagarian Rumbio. Illegal Logging merupakan permasalahan, tantangan dan ancaman yang muncul dalam pengelolaan hutan adat kenagarian Rumbio. Permasalahan yang ada pada hutan larangan adat dapat berasal dari masyarakat luar bahkan masyarakat yang mendominasi daerah itu sendiri. Dalam hal ini para ninik mamak menegakkan hukum adat yang telah
disepakati bersama jika ada penebangan dan pencurian batang pohon dengan diameter 80 cm, maka pelaku pelanggaran dikenakan sanksi hukuman 5 tahun penjara atau membayar denda 5 juta rupiah per batang pohon. Sehingga dengan cara seperti itu, dapat meminimalisir angka kerusakan hutan.
Upaya Yang Harus Dilakukan Saat Ini Dan Dimasa Yang Akan Datang Dalam Pelestarian Hutan Adat Kenagarian Rumbio. Syahrul menegaskan bahwa disamping eksploitasi hutan yang terjadi saat ini, upaya penjagaan dan pengawasan oleh ninik mamak beserta pemuda dan masyarakat setempat dapat menetralisir pemudaran kearifan lokal. Selain itu, pembuatan parit, penanaman pohon aren sebagai pembatas hutan dan kebun warga dimasa yang akan datang dapat memberikan kontribusi nyata dalam upaya melestarikan kawasan larangan hutan adat tersebut.
Tingkat Keberlanjutan Hutan Adat Kenagarian Rumbio Dimasa Yang Akan Datang Dilihat dari permasalahan yang muncul, hutan larangan adat Rumbio masih bisa dipertahankan bila ada kerjasama yang signifikan antara pemerintah dengan masyarakat adat setempat, dan pemerintah dapat menindaklanjuti keberlanjutan hudat adat ini secara cepat dan sigap. Setiawan (2003) bahwa perhatian yang sangat besar dari kebijakan sumberdaya tradisional dengan memelihara sumberdaya dan pembangunan berangkat dari asumsi tentang persediaan sumber daya yang tetap sebagai sebuah keyakinan. Sehingga ancaman-ancaman yang muncul dapat diatasi sesuai dengan hukum yang berlaku dan dapat memperdayakan kembali hutan larangan adat ini.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam mengelola hutan adat, masyarakat adat mampu mengorganisasikan diri sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya dan melakukan perombakan terhadap struktur organisasi ketika dipandang tidak mampu berfungsi dengan baik.
Daftar Pustaka
Andi M. Akhmar dan Syarifuddin. 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan.. Masagena Press. Makasar Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Gramedia. Jakarta Koentjaraningrat. 1990. Antropologi Sosial. Dian Rakyat Jakarta. Jakarta Limin, S. H. 1998. Residual Effect of Lime, Phospahate and Manure on Crops Commodities in Inland Peat. The University of Palangka Raya Setiawan, dkk. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan. UGM press. Yogyakarta