MEMBANGUN KARAKTER TANGGUH DAN CERIA SEDINI MUNGKIN
DENGAN EARLY LITERACY
By Fitri D. Abassuni, Founder ZonaKata Edutainment Center
Ada apa dengan kurikulum nasional? Benarkah kurikulum nasional tidak ramah anak, kurang beres, dan bikin anak jadi robot? Robot yang stress pula.
Bapak Ibu, kurikulum nasional is FINE. Kurikulum butuh perbaikan sana sini dan akan terus begitu karena perkembangan jaman yang begitu dinamis. Fokusnya bukan di situ. Yuk kita tarik balik ke fokus utama bahwa pendidikan pertama dan utama adalah di RUMAH. Sekolah adalah mitra orang tua yang menyajikan bentuk-bentuk pendidikan pendukung bagi si Kecil. Jadi kalau ada orang tua yang serahkan sepenuhnya pendidikan anak ke sekolah, terus pake protes dan kritisi tiada henti, yang perlu dididik lebih dulu memang orang tuanya.
Dalam perspektif pembangunan karakter, 5 tahun pertama dalam kehidupan si Kecil pada dasarnya berisi tentang penanaman nilai dan penciptaan kebiasaan perilaku. Ayah dan Ibu adalah CONTOH dan MENTOR utama si Kecil. Mulai dari kemandirian mengurus diri sendiri, toilet training, hingga keterampilan sosial dalam bentuk sikap menghargai orang lain, antri, bergiliran, dan berbagi. Maka jika ada anak umur 3 tahun yang belum terlatih pipis di toilet dan terus-terusan masih pake diapers, ada anak umur 4 tahun belum bisa pakai baju dan celana sendiri, ada anak umur 5 tahun makannya masih disuapin, ada anak usia 6 tahun masih belum ngerti caranya berteman..... ini hasil didikan siapa ya? Yang begini ini jelas saja tidak bisa bersekolah. Jangankan usia 5 tahun, umur 7 tahun pun pasti masih bermasalah di SD yang punya aturan dan sistem yang "kurang menyenangkan" bagi mereka karena dalam otoritas rumah semua masih serba dilayani, serba nyaman dan serba "suka2 gue". Maka masuklah peran lembaga pra-sekolah yang membantu orang tua untuk mendidik siKecil beradaptasi dengan otoritas di luar orang tua dalam suasana yang "harus" menyenangkan. Lembaga ini berperan sebagai "rumah kedua" bagi si Kecil untuk belajar hal-hal baru sembari membangun karakter positifnya. Lantas apakah anak-anak yang orang tuanya sudah mampu mendidik si Kecil secara "all out" tak lagi perlu bersekolah di usianya yang masih dini tadi? Jawabannya kembali berupa pertanyaan seberapa berani dan perlukah sang ibu dan ayah menguji daya survival hasil didikan mereka dalam heterogenitas tanpa otoritas mereka sedini mungkin. Semakin dini si Kecil teruji, semakin tercermati kekurangan yang ada, semakin besar kesempatan orang tua memperbaiki keadaan, semakin baik daya adaptasi siKecil, semakin tangguh ia berkembang dalam heterogenitas. Atmosfir dan kondisi mendidik jadi progressive dan kondusif. Orang tua tak menggerutu dan menyalahkan sana sini namun terus sibuk bercermin memperbaiki diri. Otomatis akan menjadi teladan bagi siKecil untuk tidak gampang menyalahkan keadaan dan atau orang lain. Si Kecil pun bisa menikmati proses tumbuh kembangnya menjadi jiwa-jiwa yang tangguh.
Kaitannya dengan usia yang masih dini menjadi sangat erat. Karena pendidikan pertama dan utama itu RUMAH, maka si Kecil seharusnya sudah mendapatkan segala bentuk pendidikan karakter dan keterampilan yang mengarahkan anak jadi mandiri, empatik, gemar belajar, dan lain-lain sedini mungkin dari orang tuanya. Sekolah melengkapi dan mendukung. Jangan dibalik. Bagi ibu-ibu yang tidak punya waktu banyak ataupun kebanyakan waktu, bisa belajar banyak tentang pendidikan usia dini di lembaga-lembaga yang memang handal bukan abal-abal.
Maka ketika usia si Kecil di atas 4 tahun, wajar jika anak sudah bisa mandiri proporsional seusianya dan terampil berinteraksi sosial. Dimana media ujinya, di sekolah. Cek hasil didikan bapak ibu, survive-kah mereka di dalam heterogenitas tanpa otoritas bapak ibu? Kalau ternyata belum survive, banyak pilihan selain menyalahkan dan menggerutu tentang sistem otoritas di luar Bapak Ibu.
BELAJAR ITU BERMAIN - BERMAIN ITU BELAJAR
Pada prinsipnya, usia pra sekolah adalah usia dimana anak membutuhkan stimulasi yang mampu melatih dan meningkatkan rentang konsentrasi. Dengan rentang konsentrasi yang semakin panjang, si Kecil akan memiliki kemampuan yang baik untuk fokus pada satu jenis aktivitas dari awal hingga akhir sebelum ia berpindah pada aktivitas lainnya. Rentang konsentrasi yang panjang akan mempermudah si Kecil untuk menyerap pembelajaran dalam setiap aktivitas yang dilakukannya. Sebaliknya, dengan rentang konsentrasi yang pendek, siKecil akan kesulitan untuk menerima utuh konsep pembelajaran yang terkandung dalam aktivitas-aktivitasnya. Si Kecil yang dengan cepat sekali berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain tanpa pernah menyelesaikan aktivitasnya menunjukkan bahwa rentang konsentrasinya memang masih pendek. Melatih rentang konsentrasi ini bisa dilakukan sedini mungkin dengan cara yang PAS dan MENYENANGKAN.
Propaganda yang begitu popular tapi rancu di masyarakat adalah "Masa anak-anak adalah masa bermain" sehingga "anak2 yang bersekolah terlalu dini akan kehilangan masa bermain". Kerancuan bermula dari pemahaman bahwa "bermain itu bukan belajar" dan sebaliknya "kalo belajar jangan bermain". Duduk manis, tangan dilipat, mendengarkan Bu Guru, tidak ada yang boleh bicara. Sangat konvensional. Benar-benar gambaran sekolah negri era 70-80an. Mari kita telisik lebih rinci inti kesalahkaprahannya.
Duduk manis, mendengarkan Bu Guru sebenarnya adalah cara Bu Guru menanamkan nilai "hargai orang lain ketika sedang berbicara dengan cara mendengarkan". Ini tentang karakter. Namun, yang terjadi belakangan, pendidikan seperti ini seringkali disampaikan bukan dengan ketegasan dan kasih sayang, tapi dengan kejudesan dan kegalauan Bu Guru.
Apa Bu guru salah? Tidak bisa disalahkan juga. Karena memang pembekalan dan pelatihan jadi guru tidak spektakuler benar. Apalagi guru-guru yang ada di pelosok negri. Untungnya guru-guru yang bertugas di pelosok negri berhadapan dengan murid-murid yang terbilang "lebih sopan", "lebih santun" dan "lebih bisa menghargai orang lain" ketimbang yg ada di kota sehingga Bu Guru tak perlu mengeluarkan jurus "galak" untuk mengajarkan karakter.
Maka pada prinsipnya, pendidikan karakter berupa pembiasaan budaya tertib dan menghargai orang lain tak harus diselenggarakan dalam suasana yang kaku. Pembiasaan ini tetap bisa berlangsung dalam suasana bermain yang menyenangkan bagi si Kecil. Dalam suasana ini, proses pembelajaran justru akan lebih efektif berlangsung dengan output yang lebih menggembirakan semua pihak.
Lantas, siapa sebenarnya yang sepakat dengan paham "bermain itu gak belajar", "belajar bukan bermain"? Jawabannya ternyata orang tua. Karena ketika mereka melihat anaknya di kelas tidak pegang alat tulis dan buku, mereka akan protes "di sekolah kok gak belajar sih?" Atau ketika pulang sekolah tanya ke anak,"tadi belajar apa?" dan si anak jawab,"bukan belajar, main". Maka semakin lengkaplah dikotomi belajar dan bermain. Belajar bukan bermain dan bermain bukan belajar.
Di sisi lain, proses pendidikan yang berkesinambungan seringkali tak berlangsung PAS. Pengerucutan makna berujung kesalahkaprahan arah dan bentuk pendidikan. Early Literacy yang prinsipnya adalah 1 set sistem edukasi karakter berbasis literasi, secara serampangan dikerucutkan menjadi "kursus calistung". Walhasil, dimulailah babak propaganda "lebih penting belajar bisa antri dan buang sampah pada tempatnya daripada belajar baca di usia dini". Semakin seru, para "pakar" parenting dan praktisi dan pemegang kebijakan pendidikan pun sibuk propaganda "mental hectic karena calistung di usia dini", sibuk membanding-bandingkan kondisi pendidikan nasional dengan sistem pendidikan di Amerika, Australia, Finlandia, and so on and so forth. Sekilas, "bener ning ora pener". Benar tapi kurang PAS karena penuh bias. Rancu karena campur aduk mana final output mana entitas proses. Jadi tambah seru karena ibu-ibu yang anaknya belum bisa baca di usia 5 tahun langsung adopsi dalil "karakter jauh lebih penting, nanti juga bisa baca sendiri". Padahal sebenarnya hanya menghibur diri saja karena belum menemukan bagaimana cara yang PAS buat anaknya agar bisa baca lebih dini. Ujung-ujungnya nyerempet ke bersekolah jangan terlalu dini karena bisa sebabkan kejenuhan pada anak. Di situ-situ saja putarannya.
Lantas bagaimana sih sebenarnya proses pendidikan yang berkesinambungan itu? Pendidikan usia dini jelas memegang peranan penting. Early Literacy adalah model edukasi yang mempersiapkan BALITA untuk siap berurusan dengan segala bentuk aktivitas yg berhubungan dengan SIMBOL-SIMBOL BERMAKNA di pendidikan dasar. Pemaparan warna, bentuk, simbol-simbol aksara dan angka serta berbagai kosa kata yang dimulai sedini mungkin, sedari penginderaan bayi mulai aktif berfungsi. Itulah Early Literacy. Mengajarkan BALITA berkspresi tentang yang dirasakan ketika mengindera sesuatu, itu Early Literacy. Outputnya apa, si Kecil jadi gemar dan antusias belajar, rasa ingin tahunya tinggi, punya kemampuan beralasan dan berargumentasi. Bisa baca, berhitung dan menulis .....JELAS! Karena prinsipnya, membaca itu hanyalah proses merangkai dan membunyikan simbol-simbol saja. Maka sesuatu hal yang sangat wajar ketika Inggris menetapkan 5 Tahun sebagai usia wajib SD karena Early Literacy diterapkan dengan baik dan berkelanjutan di kelas 1, 2 dan 3 Sekolah Dasar. Itu kan Inggris....lha Indonesia bisa nggak? Jauh LEBIH BISA! Sadarilah bahwa anak-anak BALITA Indonesia jauh lebih cerdas. Mental Block anak-anak Indonesia yang paling utama itu, satu: INFERIOR. Siapa yg ciptakan? Sebaiknya kita lebih sering bercermin.
Maka apa yang terjadi ketika anak mendapatkan Early Literacy yang baik sedini mungkin dan berkesinambungan dengan pendidikan dasar yang baik? Mental block hilang, karakter positif terbangun dan berkembang, prestasi melesat, hidup penuh KECERIAAN karena wawasan luas dan banyak teman. Mereka tak akan pernah kehilangan masa bermain karena mereka mampu menemukan kesenangan dan ciptakan permainan seru saat belajar dan mampu menyerap segala bentuk pembelajaran dalam setiap aktivitas bermain mereka. BERMAIN dan BELAJAR itu satu kesatuan, bukan dualisme. Tak hanya teori karena bukti empirik sudah terlalu banyak.
Maka bersegeralah kita memperbaharui paradigma dan memperluas wawasan. Early Literacy yang diselaraskan dengan konsep ORANG TUA adalah PENDIDIK pertama dan utama niscaya akan menghilangkan segala bentuk ketakutan akan terciptanya robot-robot stres hasil pendidikan. Modali si Kecil dengan persenjataan dan perbekalan yang memadai untuk mengeksplorasi dunia dalam kemandirian dan keceriaan. Teruslah luangkan waktu dan energi untuk mendampingi si Kecil menemukan DIRInya dalam luasnya dunia karena luasnya wawasan dan pemikirannya. Beri ia kebebasan menjadi DIRInya dan lepaskan ia dari segala bentuk kekhawatiran yang bersumber dari EGO orang tua. Dunia luar memang begitu mengerikan bagi yang tak terbiasa untuk tangguh dan strategik menyiasati keadaan. Namun, sangkar emas tak akan pernah mampu menciptakan jiwa-jiwa tangguh yang bahagia karena tak mengerti apa arti kebebasan dan kebahagiaan yg sebenarnya.....
KENALI ANAK-ANAK KITA, OPTIMALKAN POTENSI MEREKA
Yang mudah dulu, terus bertahap ke yang lebih sulit hingga yang paling sulit. Diulang-ulang. Practice makes perfect. Begitulah model pembelajaran yang PAS untuk para pembelajar kebanyakan. Kecerdasan normatif rata-rata. Namun, ternyata Tuhan itu memang senang dengan keberagaman supaya dunia penuh warna. Maka Dia ciptakan anak-anak tipe pembelajar dengan gaya dan proses berpikir yang berkebalikan dari anak-anak normatif rata-rata. Lagi-lagi tentang tipe pembelajar dengan kecerdasan superior hingga very superior. Tipe ini sangat "nyaman" berpikir dengan kompleksitas tinggi dalam rangka mencari gambaran utuh sebuah konsep. Sering terlihat seperti "beruang bingung" jika sedang dalam proses simplifikasi masalah utk temukan inti hingga berujung di solusi. Jadi kalau normatifnya anak-anak belajar baca dari huruf dulu baru ke suku kata hingga kata, anak-anak dengan kecerdasan Superior hingga Very Superior akan lebih "click" jika langsung dipaparkan dengan kata utuh untuk kemudian dikenalkan pada logika bunyi simbol dengan cara memecah kata menjadi suku kata hingga huruf.
Mereka tak akan pernah "nyaman" memulai pembelajaran dari sesuatu yg tak mereka ketahui makna dan fungsinya. Lantas apa yg terjadi ketika mereka bersekolah di sekolah-sekolah formal konvensional tanpa mengadopsi gaya dan proses berpikir mereka? Menjadi "underachiever" dan atau "biang kerok kerusuhan" karena bosan tingkat dewa harus berurusan dengan sesuatu yang "gak jelas" intinya buat mereka. Sederhana bagi pembelajar normatif bisa jadi sangat "ruwet" bagi S/VS. Sebaliknya, kompleks bagi si normatif terlihat begitu sederhana bagi si (Very) Superior.
Jadi, supaya "survive" di dunia normatif gimana? Berikan mereka strategi untuk "menyiasati" dengan tetap mengikuti gaya berpikir mereka. Butuh "tutor" yg CERMAT dong untuk bantu dampingi mereka? JELAS! Orang tua anak-anak dengan kecerdasan Superior hingga Very Superior harus belajar lebih banyak untuk bisa mendampingi anak-anak mereka agar potensi anak-anak bisa terasah dengan optimal dengan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap sistem pendidikan yang berlaku normatif.
ZonaKata EduTainmentCenter hadir di Pontianak untuk memberi solusi pendidikan bagi anak-anak usia pra sekolah dan sekolah dasar melalui program Early Literacy. Sebagai sebuah Edutainment Center, ZonaKata menyajikan bentuk pendidikan dalam atmosfir yang menghibur dan menyenangkan. Customized Thematic Program menjadi pilihan model pembelajaran yang diterapkan karena ZonaKata meyakini setiap anak itu unik dengan kebutuhan dan minat masing-masing yang berbeda. Mungkin serupa, tapi tetap tidak sama. Mau lihat dan terlibat langsung di serunya berproses menjadi Happy Survivors? Segera bergabung di ZonaKata Edutainment Center, Jl. Pulau We 178 Pontianak. Telp. 0561-6655742. #ZonaKata Educate