1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Amphibi adalah kelompok terkecil di antara vertebrata dengan jumlah hanya 3000 spesies. Seperti ikan dan reptil, amfibi adalah hewan berdarah dingin sehingga dapat dikatakan bahwa amfibi tidak dapat mengatur suhu badannya sendiri. Untuk itu amfibi memerlukan matahari untuk menghangatkan badannya. Awalnya amfibi mengawali hidup diperairan dan melakukan pernapasan menggunakan insang. Seiring dengan pertumbuhannya paru-paru dan kakinya berkembang dan amfibi pun dapat berjalan di atas daratan (Ville,1999). Amphibi dijumpai diseluruh dunia kecuali di daerah kutub. Mereka menempati sejumlah habitat yang berbeda-beda seperti hutan hujan, kolam dan danau. Umumnya amfibhi memerlukan tempat yang lembab. Kebanyakan orang sulit membedakan anggota dari kelas amphibi yaitu antara katak dan kodok. Maka dari itulah kita perlu mengenal lebih jauh lagi mengenai anggota dari kelas amphibia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini antara lain sebagai berikut: 1. bagaimana ciri umum dari Kelas Amphibia?, 2. bagaimana klasifikasi Kelas Amphibia?, 3. bagaimana struktur morfologi dan anatomi Kelas Amphibia? dan 4. bagaimana ciri khusus dari Kelas Amphibia? 1.3 Tujuan Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
untuk mengetahui ciri umum dari Kelas Amphibia, untuk mengetahui klasifikasi Kelas Amphibia, untuk mengetahui struktur morfologi dan anatomi Kelas Amphibia, dan untuk mengetahui ciri khusus dari Kelas Amphibia. 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ciri Umum Kelas Amphibia
2
Ada sekitar 3000 spesies amphibia hidup di dunia, yang dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu Anura (katak dan kodok). Caudata atau Urodela (salamander) dan Gymnophiona atau Apoda (Caecilia). Hanya ada sekitar 60 spesies Caecilia dan sekitar 200 jenis salamander, jadi sebagian besar bangsa amphibia terdiri atas katak dan kodok. Terminologi “amphibia” diterapkan pada anggota kelas ini karena sebagian besar hewan menghabiskan tahap awal siklus kehidupannya di dalam air, dari bentuk larva berupa kecebong yang bernapas dengan insang luar kemudian larva mengalami metamorfosis menjadi anak katak dengan alat pernapasan berupa paru-paru. Kehidupan demikian ini tidak mutlak untuk semua amphibi, ada beberapa yang tidak pernah meninggalkan air dan yang lainnya ada yang tidak pernah masuk ke dalam air pada tahap tertentu dari siklus kehidupannya. Ada juga yang tidak punya paru-paru sampai dewasa dan bernapas melalui kulit, karenanya kulit tersebut selalu basah dan glandular (Sukiya, 2001: 33). Kelompok amphibia adalah vertebrata yang hadir pertama kali hidup di darat. Pada dasarnya mereka memiliki pentadaktil (lima ujung jari-jari kaki), meskipun jumlah jari kakinya dapat saja berkurang. Seperti ikan dan reptil, maka amphibi adalah ektoterm atau perubahan suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan. Pada kebanyakan amphibia meninggalkan telur-telurnnya dalam kolam dan di aliran-aliran air dan tidak seekorpun dapat berjalan di tanah begitu menetas, sedikit spesies yang hidup jauh dari air. 2.2 Klasifikasi Amphibia Klasifikasi dari kelas Amphibia terdiri dari 6 ordo dengan 2 ordo terbesar yaitu ordo Anura dan ordo Caudata atau Urodela. Klasifikasi kelas Amphibia dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Amphibia. Kelas Subkelas Superordo Ordo Ordo
2
AMPHIBIA Apsidospondyli Labirinthodonta Temnospondyli Anthracosauria
3
Superordo Ordo Ordo Familia
Subkelas Ordo Ordo Ordo Familia Ordo Familia Sumber: Sukiya, 2001: 34.
Salientia Proanura Anura (katak dan kodok) Ada 17 familia: Pipidae, Discoglossidae, Rhinophrynidae, Pelobatidae, Leptodactylidae, Bufonidae, Rhinodermatidae, Dendrobatidae, Atelopidae, Hylidae, Centrolenidae, Heleophrynidae, Pseudidae, Ranidae, Rhacophoridae, Microhylidae, Phrynomeridae. Lepospondyli Aistopoda Nectridia Caudata atau Urodela Ada 8 familia: Hynobiidae, Cryptobranchidae, Ambystomidae, Salamandridae, Amphiunidae, Plethodontidae, Proteidae, Sirenidae. Gymnophiona atau Apoda Caeciliidae
2.3 Struktur Anatomi dan Morfologi Kelas Amphibia 1. Sistem Rangka Amphibi mempunyai tengkorak yang tebal dan luas secara proporsional, kebalikan dari ikan. Tengkorak amphibia modern mempunyai tulang-tulang premaksila, nasal, frontal, parietal dan skuamosa. Kebanyakan permukaan dorsal dari tubuh Anura tidak seluruhnya tertutup tulang. Bagian dari kondrokranium masih belum mengeras, hanya daerah oksipital dan eksoksipitalnya mengeras, dan masing-masing memiliki kondila bertemu dengan vertebra pertama. Tidak ada langit-langit palatum sekunder pada amfibi, akibatnya nares internal lebih maju di dalam langit-langit mulut. Di bagian ventral otak ditutupi oleh tulang dermal yang dinamakan parasfenoid. Gigi ada pada premaksila, maksila, palatine, vomer, parasfenoid dan tulang dental. Ada beberapa amfibi yang sama sekali tidak memiliki gigi atau gigi pada rahang bawah mereduksi (Sukiya, 2001: 34).
4
Jumlah vertebra atau ruas tulang belakang pada amfibi bervariasi dari 10 ruas pada Salientia sampai 200 pada Gymnophiona. Tengkorak bersendi dengan tulang tengkuk, jumlah vertebra kaudal bervariasi. Pada Salientia ada satu elemen vertebra yang mengalami elongasi (memanjang) dinamakan urostile memanjang dari sakrum ke ujung posterior pelvis.
Gambar 2.1 Sistem Rangka pada katak dan bagian-bagiannya Sumber: Storer, et al., 1983 Bangsa amphibia merupakan vertebra yang pertama mempunyai sternum (tulang dada) tetapi perkembangannya kurang sempurna. Tulang iga hanya pendek dan kurang berkembang sehingga tidak berhubungan dengan sternum seperti yang terjadi pada reptil, burung atau pada mamal. Sebagian besar amfibi mempunyai 2 pasang tungkai dengan 4 jari kaki pada kaki depan dan 5 jari pada kaki belakang. Jumlah jari mungkin ada yang berkurang sebanyak 2 buah. Tungkai belakang berkurang seperti pada salamander dan pasangan tungkai tidak ada pada Caecillia. Tungkai biasanya tidak mempunyai kuku, tetapi ada semacam tanduk pada jari-jarinya (Sukiya, 2001: 35). 2. Sistem Otot Sistem otot pada amphibi, seperti sistem-sistem organ yang lain, sebagai transisi antara ikan dan reptil. Sistem otot pada ikan terpusat pada gerakan tubuh ke lateral, membuka dan menutup mulut serta gill apertura (operculum atau
5
penutup lubang celah insang) dan gerakan sirip yang relatif sederhana. Kebutuhan hidup di darat mengubah susunan ini. Sistem otot aksial pada amfibi masih metamerik seperti pada ikan, tetapi tampak tanda-tanda perbedaan. Sekat horisontal membagi otot dorsal dan ventral. Bagian dari sistem otot epaksial dorsal mempengaruhi gerakan kepala. Otot ventral adalah menjadi bukti dalam pembagian otot-otot setiap segmen tubuh amfibi (Sukiya, 2001: 36). Selanjutnya, otot hipaksial terlepas atau terbagi dalam lapisan-lapisan kemudian membentuk otot-otot oblique eksternal, oblique internal dan otot tranversus, sedangkan otot dermal sangat kurang. Berbagai macam gerakan pada amfibi yaitu berenang, berjalan, meloncact atau memanjat, melibatkan perkembangan berbagai tipe otot. Beberapa diantaranya terletak dalam tungkai itu sendiri dan berupa otot-otot intrinsik.
Gambar 2.2 Sistem Otot pada katak Sumber: Kardog, 1998 3. Sistem Sirkulasi Sebagian besar amphibi mempunyai problem untuk mengisi jantung yang menerima darah oksi dari paru-paru dan darah deoksi yang tidak mengandung oksigen dari tubuh. Untuk mencegah banyaknya pencampuran dua jenis darah tersebut, bahwa amfibi telah mengembangkan ke arah sistem sirkulasi transisional. Jantung mempunyai sekat interatrial, kantong ventrikular dan
6
pembagian konus arteriosus dalam pembuluh sistemik dan pembuluh pulmonari. Darah dari tubuh masuk ke atrium kanan dari sinus venosus kemudian masuk ke sisi kanan ventrikel dan dari sini dipompa ke paru-paru. Darah yang mengandung oksigen dari paru-paru masuk ke atrium kiri lewat vena pulmonalis kemudian menuju sisi kiri ventrikel untuk selanjutnya dipompa menuju ke seluruh tubuh. Beberapa pengecualian terjadi pada salamander yang tidak mempunyai paru-paru, di mana celah interatrial tidak lengkap dan vena pulmonalis tidak ada (Sukiya, 2001: 37). Kebanyakan pada amphibi pasangan arkus aorta pertama, kedua dan kelima hilang. Arkus aorta ketiga pada sisi dasar karotid internal, dan arkus aorta keempat merupakan sistem arkus yang menuju ke posterior berupa dorsal aorta. Bagian proksimal dari pasangan keenam arkus aorta cabang dari arteri pulmokutaneus, membawa darah ke paru-paru dan ke kulit dimana aerasi terjadi. Sistem venosus pada amfibi sangat mirip pada ikan paru-paru, kecuali pada vena abdominal masuk sistem portal hepatik ke sinus venosus.
Gambar 2.3 Sistem Sirkulasi pada katak Sumber: Campbell, 2000 4. Sistem Pencernaan Katak air butuh sedikit kelenjar oral, karena makanan mereka berada di air sehingga tidak memerlukan banyak kelenjar mukus di mulut. Kelenjar-kelenjar ini banyak terdapat pada katak (frog) dan kodok (toad) darat, khususnya pada lidahnya, yang digunakan untuk menangkap mangsa.
7
Amfibi darat juga memiliki kelenjar intermaksilari pada dinding mulutnya. Ada beberapa amphibia yang lidahnya tidak dapat bergerak, tetapi sebagian besar bangsa amphibia mempunyai lidah yang dapat dijulurkan keluar (Protrusible tongue) serta pada katak dan kodok lidah digulung ke belakang bila tidak digunakan. Esofagus pendek dapat dibedakan dari lambung. Usus menunjukkan berbagai variasi. Pada Caecillia menunjukkan ada gulungan kecil dan tidak dibedakan antara usus kecil dan usus besar, pada katak dan kodok terdapat usus yang relatif panjang, menggulung yang membuka ke kloaka (Sukiya, 2001: 38).
Gambar 2.4 Organ dan saluran pencernaan katak Sumber: Miller dan Harley, 1999 5. Sistem Pernapasan Selama tahap larva, sebagian amfibi bernapas dengan insang. Insang ini bertipe eksternal. Struktur insang luar adalah filamenous, tertutup epitelium bersilia, umumnya mereduksi selama metamorfosis. Pada beberapa amfibi berekor, insang luar akan terus ada selama hidupnya. Umumnya pada larva akuatik, kadar hemoglobin lebih rendah sebagai akibat sedikitnya sirkulasi eritrosit sehingga insang lebih efisien karena secara umum aktivitas di lingkungan air lebih sedikit dibandingkan di daratan. Struktur paru-paru pada amfibi yang hidup di air, pada permukaan dalam dari paru-paru lembut tetapi sebagian besar dinding paru-paru pada katak dan
8
kodok berisi lipatan alveoli sehingga meningkatkan permukaan pernapasan. Beberapa amfibi dari ordo Caudata memiliki trakhea pendek, disokong oleh kartilago yang terbagi dalam dua cabang yang membuka ke arah paru-paru. Ujung dari trakhea atas diperluas, khususnya pada katak dan kodok untuk membentuk larink atau voice box (sakus vocalis= kotak suara) dimana pita suara berada. Pertemuan antara faring dan laring disebut glotis. Pada umumnya udara dipompa ke dalam paru-paru melalui proses yang sederhana. Sebagian besar amfibi bernapas melalui kulit, sehingga kelembaban kulit harus tetap dijaga (Sukiya, 2001: 39). Kulit amphibia sangat tipis dan hanya terdiri dari 5-8 sel, banyak mengandung kelenjar mukosa sehingga selalu basah dan kaya kapiler darah yang merupakan
lanjutan dari arteri kutanea, memungkinkan Amphibia untuk
melakukan pernapasan kulit. Pernapasan kulit terjadi baik di darat maupun di air. Urodela akuatik memperoleh ¾ kebutuhan oksigennya melalui pernapasan kulit, katak pohon ¼ dan katak darat 1/3. Sebagian besar (hampir 90%) pengeluaran CO2 pada amphibia dilakukan melalui kulit (Tenzer, et al., 2014). Amfibi darat dalam menjaga kelembaban dibantu dengan adanya sejumlah kelenjar mukus yang didistribusikan di permukaan tubuhnya. Tetapi pada salamander ketika dewasa akan mendapatkan oksigen melalui kulit dan epitelium oral.
Gambar 2.5 Sistem Pernapasan pada Amfibi (katak) Sumber: Campbell, 2000 6. Sistem Urogenital Pada amfibi berekor, ginjalnya berstruktur elongasi seperti pada Elasmobranchii tetapi pada jenis Anura ada tendensi menjadi pendek. Pembuluh arfinefrik (hanya melakukan transpor sperma) amfibi jantan berupa genital ekskretori.
9
Bangsa amfibi memiliki kandung kemih yang merupakan hasil dari perluasan ujung pembuluh arkinefrik distal melewati pembuluh ginjal menuju kloaka, kemudian menuju ke penampung urine. Pada amfibi darat, air dari urine yang terkum[ul diserap kembali pada waktu tertentu untuk mengimbangi kelembaban kulit yang berkurang. Amfibi yang banyak menghabiskan waktu di dalam tanah seperti spadefoot toad (Scaphious), dapat menyerap air dari tanah selama tekanan osmotik cairan tubuh lebih tinggi daripada tegangan air dalam tanah (Sukiya, 2001: 40). Indung telur pada amfibi berpasangan dan berisi rongga yang di dalamnya berisi getah bening. Oviduk juga berpasangan meskipun di daerah distal menyatu. Pada ujung distal masing-masing oviduk diperluas ke uterus membentuk struktur ovidak sebagai tempat penyimpanan ova secara temporer sebelum dikeluarkan. Kelenjar yang mengeluarkan jelli untuk melumuri telur-telur biasanya berada di dalam ovidak (Sukiya, 2001: 41). Testis berpasangan dan berhubungan langsung dengan tubulus mesonefrik ke kloaka, tidak ada organ kopulasi spesial. Pada kodok terdapat struktur yang disebut organ Bidder terletak di anterior setiap testis.
Gambar 2.6 Sistem Urogenital katak Jantan dan Betina Sumber: Storer, et al., 1983
10
7. Sistem Saraf Pusat kegiatan otak berada pada bagian dorsal otak tengah, dimana sel-sel saraf terkonsentrasi di dalam tektum. Telensefalon secara alami merupakan bagian penciuman, sehingga memperluas hemisfer cerebral. Lineal body ditemukan pada semua amfibi, tapi pada Anura memiliki parietal body atau ujung organel pineal. Cerebellum pada amfibi sangat kecil yang menyebabkan amfibi bergerak lamban, kecuali pada Caecilia. Amfibi hanya memiliki 10 saraf kranial. Akar dorsal dan ventral dari saraf spinal bergabung melalui foramen invertebrata.
Gambar 2.7 Sistem saraf pada katak Sumber: Storer, et al., 1983 8. Organ Indera Organ perasa amfibi hanya terbatas pada dinding mulut dan lidah. Khoane internal, apertura nasal berfungsi sebagai penciuman dan juga saluran udara. Biasanya epitelium olfaktori lembut dan terbatas pada bagian dorsal nasal. Struktur olfaktori yang lain pada amfibi adalah organ Jacobson (organ vomeronasal). Organ tersebut menjadi alat bantu dalam merasakan makanan. Mata amfibi seperti vertebrata lain. Lensa mata tetap tidak berubah kecembungannya untuk jarak pandang yang relatif jauh. Pupil apertura vertikal, horizontal ataupun tiga hingga empat sudut. Kelopak mata bagian bawah lebih mudah bergerak dibandingkan bagian atas. Kornea mata pada amfibi rentan akan kekeringan sehingga perlu dibasahi dengan cairan yang dihasilkan kelenjar Harderian. Lecrimal atau kelenjar air mata pada amfibi, kurang bagus perkembangannya (Sukiya, 2001: 42). Parietal dan pineal body berfungsi sebagai fotoreseptor, sensitif terhadap gelombang panjang dan intensitas cahaya, berperan dalam termregulasi dan
11
orientasi arah. Alat pendengaran pada salamander tidak memiliki pendengaran tengah, sedangkan pada katak dan kodok memiliki pendengaran tengah dan gendang telinga. Suara ditransmisikan dari gendang telinga dalam melewati sebuah tulang kolumella. Di bagian ventral sakulus pada telinga dalam terdapat ventral outpocketing yang disebut lagena yang menjadi resepsi vibrasi suara (Sukiya, 2001: 43). 9. Kelenjar Endokrin Amfibi memiliki kelenjar paratiroid sebagai regulator kalsium dalam endokrin. Kelenjar adrenal, korteks dan medula bergabung (tidak terpisah seperti pada ikan). Kelenjar tiroid tidak hanya mengatur aktivitas metabolisme tubuhh tetapi juga berpengaruh dalam periode pengelupasan lapisan kulit luar (Sukiya, 2001: 43).
2.4 Ciri Khusus 1. Kulit dan kelenjar kulit Kulit amfibi sangat penting dalam respirasi dan proteksi. Kulit terjaga kelembabannya dengan adanya kelenjar mukosa. Sebagian besar amfibi memiliki kelenjar granular dan kelenjar mukus. Kelenjar granular berbeda dengan mukus karena kelenjar ini memproduksi zat obnoxious (menjijikkan) atau racun untuk melindungi dari musuh. Kelenjar racun pada katak dan kodok dapat menimbulkan iritasi pada kulit jika seseorang menyentuh binatang ini. Racun pada katak mengandung steroidal alkaloid yang berefek pada saraf dan aktivitas otot. Tipe racun pada amfibi adalah neurotoksin, halusinogen, vaskonstriktor, hemolitik, dan local irritant. Ketika beberapa spesies amfibi ditempatkan besama-sama ditempat sempit, ada spesies tertentu cepat mati karena racun yang dikeluarkan spesies yang lain (Sukiya, 2001: 44).
12
Gambar 2.8 Kulit Amfibi Sumber: Ville, et.al., 1999 Kelenjar mukus dan granular dikelompokkan sebagai kelenjar alveolar. Kelenjar alveolar adalah kelenjar yang tidak mempunyai saluran pengeluaran, tetapi produknya dikeluarkan lewat dinding selnya sendiri secara alami. Pada beberapa amfibi memiliki kelenjar alveolar tubuler yang sering ditemukan di ibu jari katak dan kodok dan terkadang juga ditemukan dibagian dadanya. Kelenjar ini fungsional selama musim reproduksi dan mengeluarkan cairan yang membantu pejantan dalam melekatkan diri ke betina selama musim kawin, bahkan pada salamander terdapat kelenjar tubular pada dagu pejantanya yang mengeluarkan cairan khhusus untuk menarik betina selama musim reproduksi (Sukiya, 2001: 44).
Gambar 2.9 Kulit Amfibi yang menampakkan kelenjar racun Sumber: Ville, et.al., 1999
13
2. Warna tubuh Amfibi sangat beraneka ragam warnanya, ada yang hijau terang, kuning, orange dan emas, sedangkan warna merah dan biru jarang ditemukan. Warna tubuh amfibi bisa disebabkan oleh pigmen atau secara struktural, atau dihasilkan keduanya. Pigmen terletak pada kromatofora di kulit. Sel-sel pigmen ini biasanya dinamakan menurut jenis pigmen yang dikandung. Melanofora mengandung pigmen cokelat dan hitam dan lipofora mengandung pigmen merah, kuning dan orange. Amfibi juga memiliki sel-sel pigmen yang disebut guanofora, semacam iridosit pada ikan, mengandung kristal guanin yang dapat memproduksi iridesen atau efek putih terang. Umumnya lipofora terletak didekat permukaan kulit, lebih ke arah dalam terdapat guanofora dan yang paling dalam terdapat melanofora (Sukiya, 2001: 45). Kromatofora bentuknya agak ameboid dengan prosesus protoplasmik meluas ke luar dari tubuh selnya ke sel lain. Pigmen dalam kromatofora mampu berpindah sehingga pigmen dapat terkonsentrasi untuk menebalkan warna atau terpencar sehingga dapat pula menipiskan warna. Pada beberapa amfibi apabila ditempatkan di lingkungan gelap maka warna kulitnya tampak bercahaya. Hal ini disebabkan karena hasil simulasi kelenjar pineal menghasilkan melatonin yang mampu mengurangi kuantitas cahaya atau sinar gelombang panjang. Kontak hormon kromatrofik hipofisislah yang
menyebabkan
perluasan
melanofora
sehingga
berkontraksi
dan
menghasilkan efek tubuh lebih bercahaya (Sukiya, 2001: 45). 3. Pergantian kulit Seluruh kulit amfibi akan terlepas secara periodik. Proses ini berlangsung dibawah kontrol hormon. Lapisan luar kulit tidak hanya satu bagian, tetapi dalam fragmen. Pengelupasan pada tiap spesies berbeda-beda. Pada katak pohon hijau, pegelupasan biasanya terjadi setiap satu bulan atau lebih (Sukiya, 2001: 45). 4. Alat gerak (appendages) Meskipun dipercaya bahwa ansestor Amfibia mempunyai dua pasang tungkai pentadaktila, ternyata dapat terjadi variasi oleh adaptasi untuk hidup di darat, air, arboreal (di atas pohon), dan di bawah tanah. Semua caecilia di daerah
14
tropis bertungkai, tubuhnya memanjang (wormlike), dan teradaptasi hidup di liang dengan cara menggali humus atau kayu-kayu yang membusuk. Sebagian besar amfibi berekor modern memiliki empat tungkai relatif lemah yang tidak cocok untuk berjalan cepat di tanah. Umumnya kaki depan memiliki 4 jari dan kaki belakang 5 jari, tetapi pada beberapa spesies terjadi penguranagan (Sukiya, 2001: 46). Secara umum, katak dan kodook memiliki jumlah jari tungkai dpan berjumlah 4 buah, tungkai belakang memanjang dan biasanya untuk melompat. Kebanyakan katak dan kodok memiliki 5 jari pada tungkai belakang dan jari tambahan sebagai prehaluk pada sisi vental. Prehaluk ini pada spedefoot (katak penggali tanah) berupa tulang-tulang yang tajam yang digunakan untuk menggali/bersembunyi, ditanah. Beberapa katak jenis aboreal mempunyai jari lebih lebar dan adesive. Ada berbagai struktur kaki belakang Anura, yaitu berselaput meluas sampai ke jari dan ada pula yang tidak meluas sampai ke jari, bahkan tidak ada selaput sama sekali. Anura tidak mampu melakukan regenerasi tungkai ataupun jari yang hilang, tetapi pada salamander mampu melakukannya (Sukiya, 2001: 46). BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat di ambil beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Ciri umum dari anggota kelas ampibi adalah sebagian besar hewan menghabiskan tahap awal siklus kehidupannya di dalam air, bernapas dengan insang luar, paru-paru dan terkadang dengan kulit. Hewan ini bersifat ektoterm. 2. Kelas amfibia dibagi menjadi 2 subkelas, yaitu subkelas Apsidospondyli dan subkelas Lepospondyli. Subkelas Apsidospondyli dibagi menjadi superordo Labirinthodonta (Ordo Temnospondyli dan Anthracosauria) dan superordo
15
Salientia (Ordo Proanura dan Anura), sedangkan subkelas Lepospondyli dibagi menjadi 3 ordo yaitu Aistopoda, Nectridia, dan Caudata/Urodela. 3. Ciri morfologi dan anatomi amfibi yaitu bernapas dengan insang sewaktu masih larva dan menggunakan kulit dan paru-paru saat dewassa, amfibi bersifat monoceus, sistem saraf berpusat pada otak tengah, organ indera perasa terbatas pada dinding mulut dan lidah, dan memiliki kelenjar paratiroid. 4. Anggota kelas amfibi memiliki ciri khusus kulit yang berperan untuk respirasi dan proteksi, warna tubuh yang beranekaragam karena adanya pigmen kulit, seluruh kulit yang dapat mengalami pergantian secara periodik, serta memiliki alat gerak yang meliputi kaki depan (4 jari) dan kaki belakang (5 jari). 3.2 Saran Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan kepada pembaca adalah: 1. Sebaiknya pembaca mencari literatur lebih banyak lagi mengenai kelas amphibia agar mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam. 2. Pembaca hendaknya lebih menghargai segala ciptaan Tuhan dengan memelihara keseimbangan makhluk hidup di alam. 15 DAFTAR RUJUKAN Campbell. 2000. Biologi Edisi Kelima Jilid Tiga. Jakarta: Erlangga. Kardog, K.V. 1998. Vertebrates: Comparative Anatomy, Function, Evolution 2nd Ed. Boston: McGraw-Hill Companies, Inc. Kastawi,Yusuf, Sri Endah Indriwati, Ibrohim, Masjhudi, Sofia Ery Rahayu. 2003. Zoologi Avertebrata. UM Press. Miller, S.A. and J.B. Harley. 1999. Zoology. Fourth Edition. Boston: McGrawHill Companies, Inc. Storer, T. I., R.L. Usinger, R.C. Stebbins and J.W. Nybakken. 1983. General Zoologi. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Sukiya. 2001. Biologi Vertebrata. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Tenzer, Amy, Umie Lestari, Nursasi Handayani, Abdul Gofur, Masjhudi, Sofia Ery Rahayu, Nuning Wulandari, Siti Imroatul Maslikah. 2014.
16
Hand Out
Struktur Perkembangan Hewan I (NBIO606). Malang:
Universitas Negeri Malang. Ville, A. Claude, Warren F. Walker, Robert D. Barnes. 1999. Zoologi Umum (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
16