BAB VII
Kesimpulan
Perdaganagn Makassar pada abad ke 19 secara tidak langsung di pengaruhi oleh inggris yang menganut prinsip perdagangan bebas. Prinsip ini, yang telah diterapkan dalam perdagangan maritime di Asia Tenggara sebelum kedatangan bangsa Eropa, membuat pelaut dan pedagang di wilayah Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Mandar, selayar, dan Buton) bergairah menjalain hubungan dagang dengan Inggris. Sebaliknya, pemerinyah Hindia-Belanda memandang Inggris sebagai ancaman, namun tidak berdaya membendung pengaruh Negara itu. Inggris memiliki industry yang lebih maju, armada dagang yang lebih baik, dan menguasai sejumlah komoditas penting dalam perdagangan maritime di Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti candu dan tekstil dari India.
Akibat perang dengan Inggris dan pendudukan perancis, keadaan ekonomi negeri Belanda amat menyedihkan. Keadaan ini menyebabkan pemerintah Hindia-Belanda belum berhasil menguasai sepenuhnya Kepulauan Hindia-Belanda; sebagian besar masih berstatus "kerajaan sekutu". Pemerintah Hindia-Belanda pun di pakasa menerima desakan Inggris, yang tertuang dalam Takta London, untuk menerapkan perdagangan bebas serta melepaskan koloninya di semenanjung Melayu (Malaka) dan mengakui kekuasaan Inggris di wilayah melayu. Sebagai imbangannya, Inggris bersedia melepaskan Hindia-Belanda dan mengakui kekuasaan Belanda atas kepulauan tersebut.
Sesuai perjanjian, pemerintah Hindia-Belanda membuka sejumlah pelabuhannya di Hindia-Belanda bagi bangsa asing, tetapi tetap diikuti dengan sejumlah aturan yang menyimpang dari semangat perdagangan bebas. Pemerintah tetap memungut pajak perdagangan yang tinggi, melarang perdangan peralatan perang, memonopoli perdagangan rempah-rempah, candu, dan minuman keras, menetapkan bahwa semua kapal asing harus tunduk pada peraturan di bandara di bawah pengawasan pemerintah, serta menutup sejumlah pelabuhan bagi pelayaran niaga asing, seperti Ternate, Ambon, dan Banda. "poltik pintu terbuka" ini mengakibatkan pemerintah Hindia-Belanda gagal memikat pedagang asing untuk berniaga di kota-kota pelabuhannya. Pedagang dan pelaut dari wilayah jajahan pun, khusunya dari "kerajaan sekutu", lebih suka berniaga ke pelahuhan Inggris da wilayah Melayu.
Hasil penelitian menunjukkan, ada tujuh factor yang menyebabkan "politik pintu terbuka" gagal.
Pajak perdagangan sangat tinggi
Perdagangan senjata di larang, padahal banyak kerajaan local yang membutuhkan senjata untuk mempertahankan diri; pedaganag dan pelaut juga membutuhkan untuk melindungi diri dari bajak laut
Adanya monopoli atas sejumlah komoditas yang banyak di minta oleh penduduk, seperti candu dan minuman keras
Diterapkan alat pembayaran berupa mata uang tembaga dan kertas
Pemerintah terlalu memusatkan diri pada komoditas yang berlaku di Eropa dan tidak memperhatikan mata dagangan penduduk yang laris di Cina, seperti teripang, agar-agar kerang, sisik penyu, sarang burung, sirip ikan hiu, dan kayu cendana
Kemrosotan perdagangan, pada gilirannya, memudarkan semangat untuk mengembangkan modal di Makassar, dan
Monopoli yang berlebihan atas komoditas produk penduduk.
Kondisi perdagangan semakin runyam ketika penyelundupan dan ancaman bajak laut merajalela. Penyelundupan meningkat karena jalinan niaga anatar Makassar dan Singapura semakin kuat. Berdasarkan fakta pada 1847 pemerinyah Hindia-Belanda menetapkan sebagai kota pelabuhan bebas bersyarat untuk menandingi SIngapura. Dikatakan bersyarat karena pemerintah masih memungut pajak perdagangan yang tinggi, melarang perdagangan komoditas tertentu, menetapkan aturan pelayaran yang ketat, serta tidak menegakkan persaingan bebas dalam perdagangan. Semua ini berbeda dengan yang dijalankan Inggri di Singapura.
Pada era "pelabuhan bebas" itu pemerintah baru serius terlibat perdagangan tahun 1850, setelah setahun sebelumny, 1849, di adakan study oleh Van Dieman, sebagai langkah awal, pemerintah member izin kepada kapal Belanda untuk mengimpor langsung komoditas dari Belanda ka Makassar pada 1850 dan bekerja sama dengan maskapai pelayaran Cores de Vries untuk melayani angkutan di jalur yang disubsidi. Pada era "pelabuhan bebas" ini pula, sebaliknya, pengusaha Inggris dan Cina di Singapura semakin bergiat dalam perdagangan Makassar. Bahkan pedagang Inggris membantu peningkatan pelayaran niaga Makassar-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan Singapura tidak dapat dilepaskan dari peran pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan, terutama dalam perdagangan produk Cina-produk laut.
Secara umum bisa dikatan bahwa perdagangan Makassar pada era "pelabuhan bebas" maju pesat dibandingkan era sebelumnya; puncak berlangsung pada 1873. Dalam konteks ini perdagangan Makassar dapat dibagi dalam tiga periode: periode pertumbuhan yang pesat (1847-1873), periode keguncangan (1874-1891), dan periode kepincangan (1892-1906).
Perdagngan pada periode pertumbuhan yang pesat terutama dikuasai oleh pedagang dan pelaut Inggris dan Cina di Singapura, Bumiputra, dan para pedagang di Makassar (Inggris, Belanda, Cina, dan Asia Timur lainnya). Pedagang Inggris dan Cina yang berpusat di Singapura menjelajahi seluruh pelosok seluruh daerah produksi, wilayah yang sebelumnya berada dalam genggaman pedagang dan pelaut Sulawesi Selatan. Daerah yang di kunjungi perdaganag Bumiputra juga dijelajahi oleh kapal berbendera Inggris. Dalam hal ini pemerintah pusat di Batavia, NHM, serta pedagang dan pengusaha di Jawa belum menaruh perhatian.
Kendati dari segi teknologi perkaapalan pedagangan dan pelaut Bumiputra kalah bersaing, tetapi mereka tetap memegang peran penting. Ten Noord, orang yang melakukan kajian terhadap kepulauan Hindia-Belanda bagian timur, melaporkan bahwa pedagang Cina, Arab, Bugis, dan Makassar bergiat mengelola komoditas di daerah produlsi sebagai perwakilan perusahaan Inggris dan Cina di Singapura. Komoditas ini di kirim langsung ke Singapura maupun melalui Mkassar. Mereka juga menjadi perintis terbukanya pulau-pulau kecil bagi dunia luar, terutama yang belum terjangkau oleh kapal api. Salah satu dampak dari kerjasama ini adalah alih teknologi pembuatan kapal. Perahu pinis, yang hingga kini dianggap sebagai lambang kejayaan Sulawesi Selatan di laut, di contoh dari bangsa Eropa.
Perdagangan merosot ketika pemerintah berencana membatalkan kabijakan pelabuhan bebas pada 1873 dengan alasan perdagangan bebas di Makassar lebih menguntungkan Singapura. Rencana ini berhasil di tentang oleh pemerintah setempat serta kalangan pengusaha sehingga Batavia menunda rencana tersebut. Untuk membendung perdagangan Inggris dan Cina di Singapura Batavia kemudian meningkatkan modal NHM dan menambah jalur pelayaran yang di subsidi. Tujuannya jelas, yakni untuk mempersempit ruang gerak perusahaan pelayaran asing.
Usaha itu ternyata sia-sia. Pedagang Bumiputra dan Cina serta Inggris di Singapura mengalihkan pelayaran mereka di luar jalur yang dikuasai oleh pemerintah. Akibatnya jalaur perdagangan antara daerah produksi dikepulauan Hindia-Belanda bagian timur dan Singapura semakin meningkat, sementara palabuhan Makassar semakin sepi.
Keadaaan itulah yang menjadi factor utama pembentukan KPM. Setelah KPM terbentuk, hubungan langsung antara Singapura dan Kelupaluan Hindia-Belanda bagian timur pun turun drastic. Pemerintah Hindia-Belanda berhasil menyisihkan pesaingnya, perusahaan pelayaran Inggris dan Cina yang berpangkalan di Singapura, karena jalur pelayaranannya tetap yang disubsidi semakin meluas. Bahkan, dalam perkembangnnya, KPM juga di beri hak untuk beroperasi di laur jalur tetap. Pada periode KPM inilah kegiatan impor-ekspor Makassar dan Nusa Tenggara di pindahkan ke Surabaya. Kegiatan ini merupakan cerminan darai kalahnya kelompok asing dan Bumiputra yang pernah Berjaya di Makassar pada periode 1847-1873. Jalan bagi pemerintah untuk membatalkan status pelabuhan bebas bagi Makassar pun semakin lapang.
Pemerintah Hindia-Belanda sadar bahwa pedagang dan pelaut Bumiputra berpotensi emnggagalkan status pelabuhan wajib pajak Makassar. Oleh karena itu pemerintah mencoba mengatasi ancaman tersebut dengan melakukan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan sekutu, tetapi gagal. Pemerintah akhirnya mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan –kerajaan berdaulat agar rencana penetapan Makassar sebagai pelabuhan wajib pajak pada 1906 berjalan lancar.
Berdasarkan uraiaan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: pertama, pemerintah Hindia-Belanda tidak pernah membiarkan pedagang dan pengusaha asing serta pihak yang bekerjasama dengan pesaing meraih keuntungan di wilayah kekuasaannya. Kedua, pelaksanaan "politik pintu terbuka" dan kemudian "pelabuhan bebas" masih jauh dari prinsip ekonomi liberal. Ketiga, kebijkan " pelabuhan bebas" tidak di gerakkan oleh tujuan untuk menjadikan Makassar sebagai pesaing Singapura, melainkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kepentingan politik Belanda di Hindia-Belanda. Keempat, kebijakan pelabuhan bebas yang berhasil memancing pedagang asing untuk dating ke Hindia-Belanda dipindang sebagai kerugian bagi Belanada.
Bila dilihat secara lebih spesifik, kebijakan "Pergadangan bebas" Makassar dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda karena: pertama, peran penting pedagang dan pelaut di Sulawesi Selatan dalam perdaganagn diwilayah koloni. Kedua, dominasi Inggri atas sejumlah komoditas penting yang di perlukan oleh penduduk di wilayah kepulauan Hindia-Belanda. Ketiga, sukses Inggris dalam menjalin hubungan niaga dengan pedagang dan pelaut dari Sulawesi Selatan. Dalam konteks ini pemerintah Hindia-Belanda menempuh beragam cara untuk memperkuat ekonomi dan politiknya, seperti: pertama, memperbanyak pemilikankapal terutama kapal api melalui kontrak kerjasama dengan perusahaan pelayaran. Kedua, member hak instimewa kepada perusahaan tertentu. Ketiga, melancarkan ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan sekutu di Sulawesi Selatan. Jelas bahwa pemerintah Hindia-Belanda menata perdagangan Makassar lebih berdasarkan pada prinsip prinsip merkantilisme ketimbang ekonomi liberal.