Disusun Oleh: Hafas Furkani NIM : 140603189
Dosen Pembimbing:
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH S1 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH 2018
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah untuk tugas mata kuliah Manajemen Sumber Daya Insani yang berjudul “Praktik Sumber Daya Insani Dalam Mendukung Sistem Kerja Bersinergi Tinggi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu memotivasi dan memberi masukan-masukan yang bermanfaat sehingga Penulis dapat membuat makalah ini dengan baik. Khususnya, Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak selaku dosen mata kuliah Manajemen Sumber Daya Insani yang telah memberi tugas makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca khususnya serta rekan-rekan mahasiswa pada umumnya.
Banda Aceh, 05 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................................................ i Daftar Isi ...................................................................................................................................................... ii BAB I Pendahuluan .................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalahan ........................................................................................................................... 1 BAB II Pembahasan ................................................................................................................................... 3
A. Pengertian Manajemen Sumber Daya Insani...................................................................................... 3 B. Membangun Sumber Daya Insani Dalam Lembaga Keuangan Syariah ........................................... 4 C. Manfaat Sumber Daya Insani ............................................................................................................. 4 D. Sifat Yang Harus Dimiliki Sumber Daya Insani ................................................................................ 4 E. Tiga Perangkat Pendukung Sumber Daya Insani ............................................................................... 4 F. Kakteristik Sumber Daya Insani Yang Diilhami Dari Sifat Nabi SAW ............................................. 4 BAB III Penutup ......................................................................................................................................... 7
Kesimpulan ................................................................................................................................................. 10
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Wadiah
Secara etimologi wadi’ah ( ) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan. Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikatagorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus berupa harta atau tidak. Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau memberikan, juga diartikan i’tha’u al -mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut sebagai ma wudi’a ‘inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu minhu dzalika al-malliyakuna wadi’ah ‘indi yang berarti aku menerima harta tersebut darinya. Sedangkan Al-Qur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ahli fikih. Pertama, ulama Mazhab Hanafi mendifinisikan wadi’ah dengan, “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.” Misalnya, seseorang berkata kepada orang lain, “Saya titipkan tas saya ini kepada Anda,” lalu orang itu menjawab, “Saya terima.” Maka sempurnalah akad wadi’ah. Atau seseorang menitipkan buku kepada orang lain dengan mengatakan, “Saya titipkan buku saya ini kepada Anda,” lalu orang yang dititipi diam saja (tanda setuju). Kedua, ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali (jumhur ulama) mendefinisikan wadi’ah dengan “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta ter tentu dengan cara tertentu.” Secara harfiah, Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang. Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan oleh bank. Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah wadi’ah yad ad dhamanah (titipan tentang resiko ganti rugi). Oleh sebab itu, wadi’ah yang oleh para ahli fiqih disifati dengan yad Al-Amanah (titipan murni tanpa ganti rugi) dimodifikasi dalam bentuk yad ad dhamanah (dengan resiko ganti rugi). Konsekuensinya adalah jika uang itu dikelola pihak BMI dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Di samping itu, atas kehendak BMI sendiri, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan pemilik uang, dapat memberikan semacam bonus kepada para nasabah wadi’ah. Dalam hal ini praktek wadi’ah di BMI sejalan dengan pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki.
B. Macam-macam Wadiah 1. Wadi’ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak yang menerima titipan, sehingga dengan demikian pihak yang menerima titipan tidak bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang yang dititipkan. Penerima titipan hanya punya kewajiban mengembalikan barang yang dititipkan pada saat diminta oleh pihak yang menitipkan secara apa adanya.
Skema wadi’ah yad Amanah 1 Titip Barang NASABAH
BANK
Muwaddi’
Mustawda’
(penitip)
(Penyimpan) 2 Beban Biaya Penitipan
Keterangan : Dengan konsep wadi’ah yad Amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.
Karakteristik Wadi’ah yad Amanah sebagai berikut : a. Barang yang dititipkan oleh nasabah tidak boleh di manfaatkan oleh pihak penerima titipan. Penerima titipan dilarang untuk memanfaatkan barang titipan. b. Penerima titipan berfungsi sebagai penerima amanah yang harus menjaga dan memelihara barang titipan, sehingga perlu menyediakan tempat yang aman dan petugas yang menjaganya. c. Penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya atas barang yang dititipkan, hal ini karena penerima titipan perlu menyediakan tempat untuk menyimpan dan membayar biaya gaji pegawai untuk menjaga barang titipan, sehingga boleh meminta imbalan jasa.
2. Wadi’ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang yang dapat dipergunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan. Sehingga pihak penerima titipan bertaggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang sebagai akibat dari penggunaan atas suatu barang, seperti risiko kerusakan dan sebagainya. Tentu saja penerima titipan wajib menegmbalikan barang yang dititipkan pada saat diminta oleh pihak yang menitipkan.
Skema Wadi’ah yad Dhamanah
Keterangan : Dengan konsep wadi’ah yad Dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentunya pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Karakteristik Wadi’ah yad Dhamanah sebagai berikut : a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan. b. Penerima titipan sebagai pemegang amanah. Meskipun harta yang dititipkan boleh dimanfaatkan, namun penerima titipan harus memanfaatkan harta titipan yang dapat menghasilkan keuntungan. c. Bank mendapat manfaat atas harta yang dititipkan, oleh karena itu penerima titipan boleh memberikan bonus. Bonus sifatnya tidak mengikat, sehingga dapat diberikan atau tidak. Besarnya bonus tergantung pada pihak penerima titipan. Bonus tidak boleh diperjanjikan pada saat kontrak, karena bukan merupakan kewajiban bagi penerima titipan d. Dalam aplikasi bank syariah, produk yang sesuai dengan akad wadi’ah yad Dhamanah adalah simpanan giro dan tabungan C. Rukun Wadiah
Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat 1. 2. 3. 4.
Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan). Wadii’ ( Orang yang dititipi barang). Wadi’ah ( Barang yang dititipkan). Shighot ( Ijab dan qobul).
D. Syarat-Syarat Wadi’ah
Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkandan syarat orang yang dititipi.
a. Syarat-Syarat Untuk Benda Yang Dititipkan Syarat-syarat benda yang dititipkan sebagai berikut : 1. Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah. 2. Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang
mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing
yang bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
b. Syarat- Syarat Sighat Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada Anda”. Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah). Seseorang mengatakan, “Berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab: “Saya berikan mobil ini kepada Anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadi’ah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat adalah “titipan”. Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang menaruh sepeda motor di hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apa pun. Perbuatan tersebut menunjukan penitipan (wadi’ah). Demikian pula qabul kadang-kadang dengan lafal yang tegas ( sharih), seperti: “Saya terima” dan adakalanya dengan dilalah (penunjukan), misalnya sikap diam ketika barang ditaruh di hadapannya.
c. Syarat orang yang menitipkan ( Al- Mudi’ ) 1. Berakal, Dengan demikian, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang belum berakal. 2. Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian menurut Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh masih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiah baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya atau washiy-nya.
d. Syarat orang yang dititipi ( Al- Muda’ ) Syarat orang yang dititipi (muda’ ) adalah sebagai berikut : 1. Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
2. Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz. 3. Malikiyyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
E. Landasan Hukum Wadiah
Landasan syariah dan ketentuan tentang sertifikat wadiah bank Indonesia diatur dalam fatwa dewan syariah nasional nomor 36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadiah bank Indonesia tanggal 23 oktober 2002, dimana dalam fatwa tersebut sebagau landasan syariah (himpunan fatwa, edisi kedua, hal 233-236) adalah sebagai berikut: Landasan Hukum dari Al Quran:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”
F. Hukum menerima benda titipan
Hukum menerima benda titipan ada empat macamyaitu sunat, haram, wajib dan makruh. Secara lengkap akandijelaskan sebagai berikut: a. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda benda yang dititipkan kepadanya. Wadiah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al quran, tolong menolong secara umum hukumnya sunat. Hal ini dianggap sunat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas untuk menerima titipan.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda benda tersebut. c. Haram, apabila seseorang tidak kuasa atau tidak sanggup memelihara benda benda titipan. Bagi orang seperti itu diharamkan menerima benda benda titipn, sebab dengan menerima benda benda titipsn, berarti memberi kesempatan (peluang) kerusakan atau hilangnya benda benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan. d. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuann ya maka bagi orang seperti ini makruh hukumnya menerima benda benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda benda titipan atau menghilangkannya
G. Batasan-Batasan Dalam Menjaga Wadi`Ah (Titipan)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti alwadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. 1. Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukan seperti halnya tradisi masyarakat. 2. Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. 3. Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang
tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang. Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima). 4. Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang
bertentangan
dengan
penjagaan
barang,
diantara
bentuk
taqshir
ialah
menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan).
H. Aplikasi Dalam Perbankan 1. Aplikasi Wadiah Yad Amanah
Dalam perbankan syariah wadiah yad amanah di aplikasikan untuk penitipan barang-barang berharga dan membebankan fee atas penitipan barang tersebut. Adapun beberapa barang yang bisa dititipkan antara lain: a. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut. b. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll) c. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang) 2. Aplikasi Wadiah Yad Dhamanah
Dalam perbankan syariah akad wadiah yad dhamanah di aplikasikan kedalam dua jenis produk, yaitu: a. Giro
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsipMudharabah dan Wadi’ah.
Giro Wadiah Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasar akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah yad dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadiah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut. Dalam kaitannya dengan produk giro. Bank syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memeberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan dan memenfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkenankan memberikan insensif berupa bonusndengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya. Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa giro wadiah mempunyai beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. Bersifat titipan. 2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan 3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.
b.
Tabungan Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasar prinsip-prinsip syariah.Berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
Tabungan Wadiah Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasar akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiapsaat jika pemiliknya menghendaki, berkaitan dengan produk tabungan wadiah, bank syariah menggunakan akad wadiah yad dhamanah. Dalam hal ini, setiap nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak seba gai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang tersebut, sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebutnserta mengembalikannya kapan saja pemiliknya menhendaki, di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut. Mengingat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hukum sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberi bonus kepada pemilik harta titipan sela tidak disyaratkan di muka. Dengan kata lain, pemberian bonusnmerupakan kebijakan bank syariah semata dan bersifat sukarela. Dari pembahasan di atas dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum dari tabungan wadiah tersebut sebagai berikut: 1. Bersifat simpanan, 2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan, dan 3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.
BAB III Kesimpulan
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya. Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitabkitab fiqih. Wadi’ah per bankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.