MAKALAH BAHASA INDONESIA “WACANA”
OLEH KELOMPOK 5:
ANDI AKBAR TANJUNG
201310100311057
AMI PRIANI
201310100311032
FIFI SOFIANA PUTRI
201310100311038
KINANTI AYU PARAMITHA
201310100311028
AYUNINGTYAS R.
201310100311009
PUTRI SRI AYU
201310100311060
MELYAYU WANDIRA
201310100311016
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS 2014
KATA PENGANTAR
Terlebih dahulu kami mengucapkan Puji Syukur kepada Allah SWT, Tuhan Alam Semesta, Tuhan yang telah mengajarkan apa yang tidak diketahui oleh manusia, dan Tuhan yang menggenggam nyawa setiap insan di dunia. Selawat dan Taslim tak lupa kami haturkan kepada Baginda Rasulullha SAW, seorang Rasul yang diutus kepermukaan bumi ini untuk menjadi pengajar bagi setiap manusia yang tidak tahu, menjadi pembela bagi setiap manusia yang tertindas, dan sebagai penunjuk bagi setiap manusia yang tersesat. Kami menyusun Makalah Bahasa Indonesia ini, dengan judul “Wacana”, guna menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampuh untuk mata kuliah Bahasa Indonesia, Drs. Sudjalil, M.Pd. Dalam penyusunan makalah ini tentunya kami mengalami banyak kesulitan mulai dari kesulitan mencari sumber refrensi yang benar-benar tepat dengan kebutuhan kami, sampai dengan kesulitan-kesulitan lainnya. Namun semua kesulitan itu menjadi tidak berarti lagi, tatkala kami membangun kerjasama kelompok yang baik, dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak lainnya. Maka dari itu kami juga mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Pada akhirnya kami berharap dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua dan utamanya kepada kami, sehingga dapat menambah wawasan kita khususnya dalam bidang Bahasa Indonesia.
Malang, April 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1 A.
Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................................................. 1
C.
Tujuan Penulisan .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3 A.
Pengertian Wacana ................................................................................................................. 3
B.
Koherensi dan Kohesi ............................................................................................................ 4
C.
Konteks Wacana .................................................................................................................... 9 1.
Berbahasa sebagai Tindakan .............................................................................................. 9
2.
Tindak Tutur dalam Konteks ........................................................................................... 11
3.
Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan............................................................... 14
4.
Skemata dan Topik Wacana ............................................................................................. 17
D.
Jenis-jenis Wacana ............................................................................................................... 21 1.
Berdasarkan Jenis Media yang Digunakan ...................................................................... 21
2.
Berdasarkan Sifatnya ....................................................................................................... 21
3.
Berdasarkan Segi Penutur (Jumlah Penutur).................................................................... 22
4.
Berdasarkan Cara Pemaparannya ..................................................................................... 22
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 24 A.
Kesimpulan .......................................................................................................................... 24
B.
Saran..................................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................................25
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana kita dituntut untuk bisa menjalani keseharian dengan cepat, tepat, dan sosialis, sudah barang tentunya semua itu membutuhkan komunikasi yang juga sekaligus menunjukkan kalau manusia itu merupakan makhluk sosial. Makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain, dan untuk menunjukkan itu, maka komunikasi tentunya menempati tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi tentunya dibutuhkan banyak aspek untuk bisa menciptakan suatu sistem atau tataran komunikasi yang baik. Agar pesan yang akan disampaikan bisa diterima dengan jelas dan baik oleh lawan bicara kita. Hal tersebut diantaranya adalah bahasa. Di dalam bahasa ada banyak aspek lagi yang perlu kita pahami agar komunikasi bisa tersampaikan sesuai dengan yang kita harapkan. Dan media untuk menyampaikan pesan dalam berbahasa pun itu ada banyak jenisnya, mulai dari puisi, novel, lagu, dan wacana. Penyampaian pesan ataupun argumen dalam bentuk puisi, novel, dan lagu merupakan cara penyampaian pesan yang dapat dilakukan tanpa menggunakan tata bahasa yang baku, karena semua itu merupakan karya sastra. Namun, berbeda dengan puisi, novel, dan lagu, wacana merupakan media penyampaian pesan atau argumen yang memiliki aturannya tersendiri karena wacana masuk sebagai golongan karya ilmiah yang memiliki aturan baku. Oleh karena itu, pada makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan mengenai cara penyampaian pesan ataupun argumen melalui wacana. Baik itu dari peneganalan wacana, sistem penulisan wacana, maupun sampai kepada macam-macam wacana itu sendiri.
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin kami pecahkan yaitu, bagaimana cara penyampaian pesan atau argumen melalui media wacana yang sesuia dengan aturan baku kepenulisan.
1
C. Tujuan Penulisan Merujuk kepada rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin kami capai adalah untuk mengetahui cara penyampaian pesan atau argumen melalui media wacana yang sesuai dengan aturan baku kepenulisan.
2
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Wacana Bahasa tidak boleh ditafsirkan sebagai satuan-satuan yang terpisah-pisah. Satuansatuan bahasa –morfem, kata, kelompok kata, klausa, kalimat- bukanlah satuan-satuan yang terpisah-pisah, melainkan bagian dari bahasa sebagai suatu sistem simbolik yang digunakan untuk berkomunikasi di dalam konteks sosial. Penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks sosial itulah yang disebut dengan istilah Wacana, sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut analisis wacana. Perhatikan perkataan “pengunaan bahasa” dalam definisi singkat wacana di atas. Perkataan “pengunaan bahasa” mengandung pengertian bahwa wacana itu bukanlah pertama-tama persoalan bentuk bahasa, melainkan persoalan fungsi (pengunaan) bentuk bahasa tersebut dalam kegiatan berbahasa. Hendaknya dipahami bahwa bentuk bahasa merupakan perhatian utama tatabahasa (gramatika); berbeda dengan tatabahasa, analisa wacana terutama memperhatikan fungsi bahasa. Tatabahasa akan menerangkan kedua kalimat berikut: a. Dian melamar Ayu kemarin pagi. b. Ayu dilamar (oleh) Dian kemarin pagi. Sebagai dua bentuk kalimat yang berbeda, yaitu bentuk aktif dan pasif; sedangkan analisis wacana akan menerangkan bahwa kedua bentuk kalimat tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, kalimat (a.) akan lebih tepat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Apa yang dilakukan Dian kemarin pagi?” daripada kalimat (b.), sedangkan kalimat (b.) akan lebih tepat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Ayu dilamar siapa kemarin pagi?” daripada kalimat (a.). Selain itu perhatikan pula perkataan “untuk berkomunikasi dalam konteks sosial” dalam definisi di atas. Perkataan tersebut menerangkan lebih lanjut bahwa penggunaan bahasa itu tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam suatu konteks tertentu. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berkomunikasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda, misalnya konteks rumah tangga, konteks kelas, konteks pemerintahan desa, dan lain sebagainya.
3
Makna konteks dalam kaintanya dengan wacana adalah bahwa konteks itu memberikan kerangka makna dan keutuhan wacana. Wacana lisan berikut ini akan tamak masuk akal jika konteksnya adalah suatu tempat di Jakata. A: Mobil saya mogok, mas. B: Mau didorong, ya, Pak? Namun, akan kurang masuk akal kalau konteksnya adalah suatu tempat pemukiman di Amerika Serikat. Sesuai dengan konteks budaya di sana, wacana yang lebih masuk akal adal sebagai berikut. A: Excuse me, my car stalled. B: The garage is three blocks down this road. Selain terdiri atas unsur fungsi dan konteks, tentu saja wacana juga terdiri atas unsurunsur kebahasaan. Dari segi tekahir ini, wacana sering didefinisikan sebagai satuan bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Aspek “lebih besar dari kalimat” ini juga perlu diperhatikan karena memang, dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, jarang kita menggunakan hanaya sebuah kalimat; paling tidak, kita menggunakan beberapa kalimat. Malahan kalimat yang digunakan bisa banyak sekali, misalnya dalam bercakapcakap, berpidato, dsb. Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa yang menyebabkan serangkaian kalimat menjadi wacana bukanlah jumlanya yang banyak, melainkan adanya kesatuan makna yang mengikat berbagai kalimat yang digunakan. B. Koherensi dan Kohesi Sudah dikemukakan di atas bahwa wacana bukanlah semata-mata rangkaian kalimat. Agar menjadi wacana, rangkaian kalimat itu haruslah mampu menghubung-hubungkan makna dari kalimat-kalimat (bagian-bagian teks) tersebut, sehingga membentuk kesatuan makna yang terpadu. Hubungan-hubungan yang menghubungkan makna bagian wacana itulah yang disebut dengan koherensi. Koherensi merupakan syarat mutlak wacana; tanpa koherensi, tidak ada wacana. Koherensi sebagai hubungan kemaknaan sering sudah jelas dengan sendirinya bagi para peserta komunikasi. Namun, tidak jarang pula hubungan makna wacana itu tidak tampak jelas, terutama dalam wacana yang mengandung hubungan-hubungan makna yang kompleks seperti pidato ilmuah atau makalah ilmiah. Ketidakjelasan hubungan makna itu
4
tentu saja dapat mendatangkan kebingungan pada pihak pembaca (pendengar). Dalam keadaan yang demikian para pembaca (pendengar) akan banyak tertolong jika penulis (pembicara). Secara lebih eksplisit memberi petunjuk kepada pembaca (pendengar) tentang hubungan-hubungan makna (koherensi) wacana, dengan memanfaatkan sarana-sarana kebahasaan, baik yang berupa sarana-sarana ketatabahasaan (gramatikal) maupun makna kata-kata (lesikal). Sebagai contoh, dengan menggunakan sarana gramatikal konjungsi, misalnya konjungtor karena atau karena itu, seperti pada contoh berikut: a. Ahmad tidak pernah berhenti belajar, karena ia mempunyai cita-cita yang tinggi. b. Ahmad mempunyai cita-cita yang tinggi. Karena itu, ia tidak pernah berhenti belajar. Penulis (pembicara) secraa eksplisit menyatakan hubungan sebab-akibat yang, menghubungkan kedua klausa dan kalimat tersebut. Dalam peristilahan teknis, hubungan gramatikal dan/atau leksikal antar berbagai bagian wacana (teks) itu disebut kohesi. Kohesi merupakan penanda lahiriah koherensi sekaligus salah satu sarana untuk menciptakan koherensi wacana. 1. Sarana-sarana Kohesi Sekarang, marilah kita menelaah sarana-sarana kohesi yang sering digunakan dalam wacana. Beberapa saran kohesi sudah dibicarakan pada bab-bab terdahulu yang membahas kalimat efektif dan paragraf. Dari bahasan-bahasan tersebut, pokok bahsan tentang penekanan dan paralelisme merupakan pokok bahasan yang sangat relevan dengan konsep kohesi wacana. a.
Penekanan, Paralelisme, dan Elipsi Dari sudut pandang wacana, penekanan merupakan upaya pembicara/penulis
untuk memberitahu pembaca (pendengar) tentang bagan teks yang dianggap lebih penting atau yang ditonjolkan sebagai pusat atau topik pembicaraan. Penekanan membantu menciptakan keutuhan wacana karena dengan demikian pembicaraan mendapat pusat yang mempersatukan berbagai bagian teks. Penekanan dapat dilakukan di antaranya dengan menggunakan partikel –lah, pola inversi, dan struktur topik-komen. Kata-kata yang dicetak miring pada contoh-contoh berikut memperoleh tekanan khusus sehingga menjadi menonjol dan menarik perhatian. a. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut, yakinlah saya akan keadilan Tuhan.
5
b. Berdatanganlah para undangan memenuhi ruangan pertemuan. c. Mahasiswa yang berprestasi itu namanya adalah Ahmad. Agak mirip dengan penekanan, paralelisme juga mengandung upaya penonjolan; namun, yang ditonjolakn dalam paralelisme bukanlah unsur teks yang menjadi pusat, melainkan keteraturan atau keterstrukturan teks. Dengan mengulang-ulang pola kalimat /klausa /frasa yang sama, paralelisme menimbulkan kesan terstruktur dan dengan demikian kesan kepaduan wacana. Dalam penggalan puisi berikut, walaupun berbagai gagasan “berhamburan” dan ditulis secara “serampangan”, tetap dapat dirasakan adanya penstrukturan (dan tentu saja irama) berkat teknik peralelisme: Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu? (Sutradji Calzoum Bachri, “(Ah!)”) Dengan mengulang-ulang pola “siapa ... yang paling ...” penyair menciptakan keteraturan, keterpaduan, dan irama. Selain pengulangan struktur sintaksis, dapat juga dilakukan pengulangan kata/kelompok kata (repetisi) maupun pengulangan bunyi (asonansi, aliterasi). Dari segi tertentu, elipsis merupakan kebalikan dari paralelisme. Kalau dalam paralelisme
dilakukan
pengulangan-pengulangan
struktur
kalimat
sehingga
keterstrukturan wacan ditonjolkan, maka dalam elipsis justru dilakukan pelesapan atau penghilangan bagian kalimat/wacana, sehingga ada kesan meminimalkan kestrukturan tersebut. Walaupun demikian, elipsis tetap merupakan sarana kohesi karena bagian yang dilesapkan/dihilangkan itu sebenarnya dapat dicari pada, dan memang merujuk ke, bagian kalimat sebelumnya. Dengan demikian, elipsis menghubungkn bagian kalimat dengan bagian kalimat yang lain. Dalam wacana lisan, pelesapan merupakan praktik, yang umum, karena bagian yang dilesapkan itu sudah diketahui oleh kedua pihak yang berkomunikasi, misalnya pada pasangan tanya-jawab berikut. a. Siapa yang meminjam buku? b. Ø Andi. (Ø=Yang meminjam buku [adalah])
6
Dalam wacana tulis, pelesapan bagian klausa terjadi pada kalimat majemuk yang mengandung unsur yang sama. Misalnya: a. Semua anggota kelompok pergi ke perpustakaan, tetapi ketuanya tidak Ø. Ø = pergi ke perpustakaan) b. Setelah Ø menghabiskan tehnya, kemudian kakek berjalan-jalan menghirup udara segar pagi hari. Ø = kakek) Namun, pelesapan menjadi mengacaukan jika subjek yang dilesapkan tidak sama dengan subjek kalimat/klausa sebelumnya atau sesudahnya, misalnya: a. *Setelah Ø dibahas seharian, mereka mengesahkan rancangan itu. b. *Karena Ø bertindak tidak disiplin, atasan memecat karyawan itu. b. Konjungsi Konjungsi merupakan cara lain
lagi untuk menciptakan kohesi. Konjungsi
terutama berfungsi untuk menghubungkan bagian-bagian teks baik berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat, sehingga membentuk satu kesatuan. Dilihat dari segi fungsinya, konjungsi dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Konjungsi
Koordinatif,
adalah
penghubung
yang
digunakan
untuk
penambahan, pemilihan, dan perlawanan, dan yang sering digunakan adalah “dan”, “atau”, “tetapi”, dan “sedangkan”. Contoh: a. Dia lulus Ujian Nasional dan orang tuanya pun bahagia. b. Pejabat behagia dengan uang korupsi sedangkan masyarakat menderita kelaparan. 2. Konjungsi Korelatif, merupakan jenis konjungsi yang berbeda dengan Kojungsi
Koordinatif,
yang
dimana
pada
Konjungsi
Korelatif tidak
menggunakan kata/ frasa tunggal, melainkan berupa pasangan frasa, misalnya “baik..... maupun...”, tidak hanya... tetapi juga...”, demikian... sehingga..”, dan “jangankan.... pun...”. Contoh: a. Reo belajar demikian rajin, sehingga dia bisa lulus Ujian Nasional. b. Akbar tidak hanya bisa Bahasa Arab, tetapi juga bisa Bahasa Inggris. 3. Konjungsi Subordinatif, merupakan penghubung yang digunakan pada awal subordinatif (anak kalimat) dan berfungsi untuk menghubungkan anak kalimat itu dengan induk kalimatnya, misalnya “katika” (hubungan waktu), “jika”
7
(hubungan syarat), “meskipun” (hubungan konsesif), dan “karena” (hubungan sebab). Contoh: a. Ami terlihat cantik karena dia memakai hijab. b. Dimas terlihat bahagia meskipun dia banyak masalah. 4. Konjungsi Antarkalimat, berfungsi untuk menghubungkan satu kalimat dengan
kalimat
lain
yang
telah
disebutkan,
misalnya
“selain
itu”
(penambahan), “sesudah itu” (urutan waktu), “sebaliknya” (kebalikan), dan “oleh karena itu (akibat)”. Contoh: a. Akbar sarapan pagi bersama keluarganya. Sesudah itu, Akbar berangkat sekolah. b. Fadhil rajin mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, dia bisa lulus Ujian Nasional. c.
Refrensi, Subtitusi, dan Deiksis Refrensi (pengacuan), subtitusi (penggantian), dan deiksis (penunjukan/ pengacuan) sebagai sarana kohesi berhubungan dengan hal-ihwal pengacuan, yaitu penggunaan sarana-sarana bahasa yang digunakan untuk menunjuk/mengacu ke bagian teks yang lain, terutama yang sebelumnya. Deiksis digunakan untuk menunjuk kata-kata tertentu seperti “saya”, “di sini”, “sekarang”, “nanti”, dan lain-lain yang maknanya sangat bergantung pada konteks kalimat. Adapun subtitusi berfungsi untuk mengadakan refrensi tersebut, yaitu dengan cara menggantinya, misalnya, “Amir” yang kemudian digantikan dengan pronomina (kata ganti) “dia”.
d. Leksikal (Semantik) Pengulangan bagian teks tidak hanya dilakukan dengan mengulang struktur sintaksis, kata-kata, maupun bunyi. Dapat pula dilakukan pengulangan makna, sehingga walaupun kata-kata yang digunakan berbeda dengan kata-kata yang digunakan sebelumnya, namun karena ada aspek makna tertentu yang diulang, maka hubungan leksikal (semantik) juga merupakan upaya untuk menghubungkan bagian-bagian teks. Ada beberapa sarana yang dapat digunakan untuk membuat hubungan leksikal, di antaranya, sinonim, hiponim, antonim, dan kolokasi.
8
C. Konteks Wacana Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa untuk membuat maupun memahami wacana diperlukan pemahaman tentang konteks wacana. Hal ini akan diuraikan dengan menempatkan penggunan bahasa dalam konteks tindakan manusia yang berpusat pada individu. Setelah itu, penggunaan bahasa kemudian ditempatkan dalam konteks yang lebih luas sambil mencatat faktor-faktor konteks yang paling penting. 1. Berbahasa sebagai Tindakan a. Tindak Tutur Seperti sudah dikemukakan pada awal penjelasan, analisis wacana memusatkan perhatian pada fungsi Bahasa, yaitu penggunaan bentuk-bentuk Bahasa di dalam situasi komunikasi. Karena penggunaan bahasa diberi perhatian utama, maka konsekuensinya adalah bahasa diletakkan dalam konteks tindakan manusia. Inilah gagasan pokok dari teori tindak tutur (speech act theory). Teori ini menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari tindakan manusia dan berbahasa tidak lain adalah melakukan tindakan tertentu dengan menggunakan bahasa. Sebagai contoh, dengan menggucapkan kalimat “Ali lapar“ yang ditunjukkan kepada ibunya, seorang anak kecil yang bernama Ali sebenarnya sedang melakukan suatu tindakan, yang sangat mungkin berupa tindakan meminta makan. Demikianlah fungsi Bahasa terletak pada penggunaan bentuk-bentuk Bahasa dalam kerangka manusia. Tidakan yang dilakukan dengan mengucapkan ungkapan Bahasa pernah dianalisis menjadi beberapa lapis tindakan. Pertama-tama, si pembicara melakukan tindakan lokusi atau tindakan proposisi, yakni tindakan mengucapkan kata-kata bermakna. Dengan mengucapkan kalimat “Ali lapar“, si pembicara menggunakan kata “Ali“ untuk mengadakan referensi pada dirinya dan kata “lapar“ sebagai predikatnya. Pengucapan kalimat tersebut selanjutnya oleh si pembicara digunakan untuk melakukan tindakan meminta makan kepada ibunya. Ini disebut tindak ilokusi. Selain itu, dengan tindakan meminta itu ia juga sedang berusaha menimbulkan perubahan pada ibunya (pendengar) agar ia mengambilkan makanan untuknya. Ini disebut tindak perlokusi.
9
b. Klasifikasi Tindak Tutur Ada berapa banyakah jumlah tindak tutur itu? Para ahli ternyata mempunyai beberapa pendapat tentang jumlah tindak tutur. Untuk keperluan pembahasan ini, akan diperkenalkan satu model klasifikasi yang berasal dari keputusan awal tentang teori tindak tutur. Menurut klasifikasi ini, tindak tutur dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu (1) tindak direktif, (2) tindak komisif, (3) tindak respresentatif, (4) tindak deklaratif, dan (5) tindak ekspresif. Tindak direktif adalah penggunaan Bahasa untuk mengarahkan orang lain; dengan kata lain, membuat orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perintah dan permohonan termasuk ke dalam tindakan direktif. Perbedaan di Antara keduanya terletak dlam jenis hubungan kedua peserta komunikasi. Selain itu, perbedaan berbagai macam tindakan direktif juga ditentukan berdasarkan tingkat kelangsunganya. Perhatikan contohcontoh berikut: a.
Ambilkan aku sepidol.
b.
Tolong ambilkan aku spidol.
c.
Bolehkan saya ambilkan spidol?
d.
Ada spidol? Adakah kamu punya spidol?
Tentu saja, cara menyatakan direktif dapat berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Tindak komisif adalah penggunaan Bahasa untuk menyatakan janji melakukan tindakan atau penolakan melakukan tindakan. Seperti halnya direktif, komisif juga dapar diungkapkan dengan cara berbeda-beda dalam hal kekuatannya (kepastiannya). Bandingkanlah contoh-contoh kalimat berikut: a. Mungkin besok saya akan melakukan hal itu. b. Jangan cemas, saya pasti akan melakukan hal itu. c. Saya bersumpah besok saya akan melakukan hal itu. Tindak representatif adalah penggunaan Bahasa untuk menyatakan fakta. Cirinya adalah dapat dikenai benar-salah. Namun, dalam representatif juga ada variasi dalam hal kekuatannya, misalnya dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Perhatikanlah contohcontoh berikut: a. Barangkali dia ada di kampus.. b. Tampaknya sekarang hujan di luar.
10
c. Sudah pasti dia sekarang bermain musik di studio. Tindak deklaratif adalah penggunaan bahasa untuk mengubah atau menciptakan suatu keadaan, seperti menyatakan bersalah (oleh hakim), menikahkan (oleh penghulu), meresmikan penggunaan bangunan, dan sebagainya. Tentu ada persyaratan tentang peran dari orang yang mengucapkannya. Inilah beberapa contoh dekoratif: a. Dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. b. Dengan ini kami nyatakan seminar nasional ... secara resmi dibuka. c. Dengan ini kami angkat Saudara sebagai kepala bagian ... Tindak ekspresif adalah pengguanaan bahasa untuk mengungkapkan perasaan pembicara. Suka dan tidak suka merupakan ungkapan perasaan yang utama. Klasifikasi tindak tutur di atas hendaknya tidak dipahami sebagai klasifikasi yang sempurna, karena masih ada klasifikasi-klasifikasi lain lagi. Sebagai contoh, dalam bidang pengajaran bahasa, telah dikembangkan salah satu klasifikasi tindak tutur yang sangat terperinci untuk keperluan pengembangan silabus (yang dikenal dengan nama silabus nasional-fungsional). Walaupun demikian, untuk tujuan pembahasan ini kiranya klasifikasi di atas merupan ilustrasi yang baik tentang berbagai macam tindakan yang dilakukan dengan berbahasa.
2. Tindak Tutur dalam Konteks a. Peristiwa Tutur Dalam konteks yang lebih luas, yaitu komunikasi yang sebenarnya, penggunaan bahasa seringkali tidak hanya terdiri atas satu tindak tutur, namun melibatkan juga tindak tutur yang lain. Tindak tutur-tindak tutur tersebut membentuk suatu struktur penggunaan bahasa yang lebih besar yang disebut peristiwa tutur (speech event). Dengan kata lain, tindak tutur dapat dilihat sebagai bagian dari suatu peristiwa tutur, dan suatu peristiwa tutur dapat meliputi beberapa tindak tutur. Berkenalan, misalnya, merupan suatu peristiwa tutur yang terdiri atas tindak tutur memperkenalkan nama, bertanya tentang pekerjaan, dan sebagainya. Contoh lain peristiwa tutur adalah memberikan nasihat melalui radio, yang mungkin terdiri atas pembukaan, identifikasi partisipan, pernyataan masalah, negosiasi simptom, diagnosis, nasihat, negosiasi nasihat, penerimaan nasihat,
11
dan penutup. Demikianlah, konsep peristiwa tutur yang dapat dilihat sebagai kelanjutan dari konsep tindak tutur dengan ruang lingkup yang lebih luas. Salah satu manfaat dari konsep peristiwa tutur adalah pengakuan akan pentingnya konteks komunikasi dan konteks situasional (sosial-budaya) yang lebih luas. Pengakuan akan pentingnya konteks mengeimplikasikan bahwa makna suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh niat tindakan pembicara (penulis) seperti tampaknya yang ditegaskan oleh teori tindak tutur, melainkan juga dioengaruhi oleh penafsiran lawan bicara (pendengar, pembaca) dan unsur-unsur konteks lainnya. Uraian ringkas tentang peristiwa tutur ini mengisyaratkan bahwa pemahaman penggunaan bahasa (wacana) memerlukan pengetahuan tentang faktor-faktor situasional maupun kebahasaan yang membangun konteks komunikasi. Oleh karena itulah, uraian selanjutnya akan diarahkan pada unsur-unsur konteks. b. Unsur-unsur Konteks Konteks meliputi apa saja yang ada bersama-sama dengan teks (context = con 'bersama-sama', text 'teks' ), baik yang ada sebelum teks maupun sesudahnya. Dengan demikian, konteks meliputi baik unsur-unsur situasional nonbahasa maupun unsur-unsur tekstual (berhubungan dengan bahasa). Kedudukan sosial orang yang berbicara dan waktu pembicaraan, misalnya, adalah faktor situasional nonkebahasaan, sedangkan bahasa resmi atau bahasa santai (tidak resmi) yang digunakannya faktor kebahasaan. Faktor-faktor tersebut disebut konteks karena memang sungguh-sungguh hadir bersama teks dan mempengaruhi makna dan penafsiran teks. Pentingnya konteks dapat dilihat pada contoh yang diberikan dalam tatabahasa Baku Bahasa Indonesia tentang perbedaan makna ungkapan "Nurdin memang pemberani" yang diungkapkan pada konteks yang berbeda. Pada konteks pertama kata "pemberani" mengandung pengertian yang sebenarnya, yaitu 'orang yang tak gentar'; namun pada konteks kedua kata tersebut mengandung pengertian yang sebaliknya, yaitu 'penakut' atau 'pemalu'. a. Konteks 1 Pembicara: Seorang anggota regu kamping Pendengar: Anggota-anggota kamping yang lain Tempat: Sebuah hutan yang lebat
12
Waktu: Sore Hari Situasi/peristiwa: regu itu telah lama mencari jalan ke lereng sebuah bukit tempat berkemah. Mereka sekarang harus menempuh hutan yang lebat. Mula-mula mereka ragu-ragu, tetapi pemimpin regu itu laju maju dan mendahului kawan-kawannya menebas kayu-kayuan untuk membuat jalan. Seorang anggota regu berkata, "Nurdin memang pemberani." b. Konteks 2 Pembicara: Seorang siswa SMU Pendengar: Kawan-kawannya sekelas Tempat: Halaman sekolah Waktu: Sesuai pelajaran pertama Situasi/peristiwa: Sekelompok siswa laki-laki sedang mengusik kawan-kawannya siswa perempuan, kecuali Nurdin yang tinggal diam, tidak mau ikut-ikutan. Semua siswa lakilaki di situ menggodanya agar dia mencubit lengan siswa perempuan, tetapi Nurdin tetap diam. Seorang siswa laki-laki lalu berseru, "Nurdin memang pemberani!" Mengingat pentingnya faktor-faktor kontekstual dalam pemahaman wacana, berikut ini didaftarkan dan diulas sepintas faktor-faktor atau unsur-unsur konteks yang paling penting. Latar (atau Setting) merupakan unsur konteks yang penting, yang meliputi baik faktor tempat, waktu, situasi, peristiwa atau kejadian, maupun latar psikologis (misalnya ketegangan atau kecurigaan). Unsur konteks yang paling penting adalah partisipan atau peserta komunikasi, yang meliputi baik pengirim pesan (adresser) maupun penerima pesan (adressee) serta hubungan di antara keduanya. Addresser mungkin sama dengan pembicara, tapi mungkin juga berbeda. Juru bicara, misalnya, adalah pembicara, namun bukan addresser(pengirim pesan); boleh jadi ia mengemukakan sesuatu karena tugas saja dan tidak sesuai dengan isi hatinya. Demikian juga, addressee mungkin sama pendengar atau audiens, tetapi mungkin juga berbeda. Para peserta komunikasi, khususnya pembicara, mempunyai maksud dan tujuan (Ends). Tujuan itu mempengaruhi penggunaan bahasanya. Tujuan dapat meliputi tujuan perantara maupun tujuan akhir.
13
Untuk mengemukakan maksud atau tujuan itu, peserta komunikasi melakukan serangkaian tindakan (Act sequences), khususnya tindak tutur, yaitu mengucapkan kalimat-kalimat atau tutura-tuturan yang bermakna. Tindakan disini meliputi bentukbentuk pesan seperti surat keputusan, pembicara telepon, atau sms maupun isi pesan, yaitu topic-topik pembicaraan. Tindak tutur yang dilakukan tentunya menggunakan kode tertentu yang dipahami bersama-sama oleh peserta komunikasi. Kode merupakan system lambing yang digunakan untuk menyampaikan pesan, baik lambing verbal (bahasa) maupun non verbal (misalnya isyarat). Erat dengan kode alah gaya atau variasi penggunaan kode tersebut untuk berbagai situasu nada resmi, gurauan, cemooh, dan sebagainya. Ini pernah disebut kunci (Key) untuk memahami makna. Yang juga erat dengan kode adalah genre, yaitu konvensi-konvensi tertentu dalam menggunakan bahasa sesuai dengan konteks, misalnya ada genre karangan ilmiah, ada pula genre karya sastra; karya sastra selanjutnya mengenal genre puisi dan prosa fiksi dan dan drama; lebih lanjut puisi sendiri mengenal genre seperti sonata, pantun, atau ode. Seperti genre mengandung kaidah atau kode menjadi kunci pemahaman. Yang juga mempengruhi komunikasi adalah saluran, yaitu penggunaan alat-alat tertentu untuk mengemas pesan (Instrumentalities). Kita mengenal pembicaraan langsung, pembicaraan memalui telefon, khotbah memalui televise, dan sebagainya. Akhirnya perlu diperhatikan juga adanya norma-norma social yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa (Norms). Yang paling relvan dengan penggunaan bahsa adalah norma-norma mengenai interaksi social serta norma-norma penafsiran.
3. Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan a. Prinsip Kerja-sama Salah satu aspek dari penggunaan bahasa sebagai gejala sosial adalah bahwa para peserta komunikasi harus bekerja sama agar percakapan dapat dilangsungkan. Kalau kita mengamati percakapan yang lancar, kita dapat mengamati bahwa tuturan-tuturan atau kalimat-kalimat yang diucapkan para peserta percakapan itu saling berhubungan. Kesalinghubungan di antara tuturan itu menunjukkan bahwa para peserta percakapan itu saling menyepakati tujuan atau arah tertentu dari percakapan mereka sehingga tuturan-
14
tuturan seolah-olah berjalan pada jalur yang jelas. Inilah yang kemudian disebut dengan Prinsip kerja sama (cooperative principle). Kerja sama merupakan suatu dasar atau prinsip yang disepakati oleh para peserta komunikasi, sehingga kalimat-kalimat yang diucapkan oleh kedua belah pihak membentuk satu kesatuan. Prinsip kerja sama meliputi kaidah-kaidah (yang juga disebut maksim) yang berhubungan dengan kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Maksim kuantitas menyatakan bahwa pembicara harus berbicara sebanyak yang diperlukan, jangan terlalu banyak (“royal”) atau terlalu sedikit (“pelit”). Maksim kualitas menyatakan bahwa pembicara harus mengemukakan sesuatu yang benar, dengan kata lain harus berkata dengan jujur, dan menghindari ungkapan-ungkapan yang tidak mempunyai dasar. Maksim hubungan (relasi) menyatakan bahwa “melantur”. Akhirnya, maksim cara menyatakan bahwa pembicara hendaknya berbicara dengan jelas dan teratur dan menghindari kekaburan dan makna ganda (ambiguitas). b. Implikatur konvensional dan Implikatur Percakapan Yang menarik perhatian dalam penggunaan bahasa adalah bahwa kadang-kadang, malahan sering, makna yang dimaksudkan oleh pembicara berbeda dengan makna lahiriah kalimat yang diucapkan. Dengan kata lain, apa yang dimaksudkan oleh si pembicara itu tersirat saja di dalam perkataannya. Inilah yang disebut dengan implikatur. Implikatur meliputi 2 macam yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional adalah makna tersirat yang dikemukakan dengan bersandar pada konvensi-konvensi tentang penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa pada konteks dan sesuai dengan tujuan tertentu. Konvensi-konvensi ini di antaranya meliputi entailment (implikasi logis), metafora konvensional, dan presupposisi (pengandaian). Konsep-konsep ini dapat dipahami dengan menelaah contoh-contoh dialog berikut. A: Ali itu aktif, lho, di Senat Mahasiswa B: Wah, kalai begitu ia benar-benar mahasiswa ideal, ya. Dari perkataan si B, kita dapat menyimpulkan (menarik implikatur) bahwa si B mempunyai anggapan tertentu tentang mahasiswa ideal, yaitu bahwa menjadi mahasiswa ideal itu haruslah aktif dalam organisasi intrakampus. Walaupun anggapan itu tidak dikatakan secara eksplisit pada kalimat yang diucapkan B, anggapan tersebut sudah implicit di dalam perkataannya.
15
Perhatikan juga dialog singkat berikut. A: Siapa sih si Ali itu? B: Itu, bintang yang tengah bersinar di kampus kita. Kata-kata “bintang yang tengah bersinar” adalah ungkapan metaforis yang relative sudah konvensional. Dengan mengetahui makna metafora tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Ali adalah orang yang terkenal karena prestasi baiknya di kampus dan bukan terkenal karena kenakalannya. Kesimpulan tersebut disimpulkan berdasarkan pengetahuan kita akan metafora yang di gunakan. Akhirnya, perhatikanlah dialog berikut. Guru: Anak-anak, coba belajar berbicara tentang orang miskin. Anak: Aku adalah orang miskin dan hidup di lingkungan orang miskin. Pembantuku orang miskin; kalau bekerja ia selalu memakai sepatu but yang butut. Sopir pribadi ayahku juga orang miskin; memang ia kelihatan seperti orang kaya kalau sedang membawa mobil. Demikian juga petugas satpam yang menjaga rumahku adalah orang miskin; ia sering diberi uang oleh Ayah. Anda mungkin tersenyum membaca jawaban anak orang kaya di atas. Walaupun ia mengatakan dirinya orang miskin, anda pasti berkesimpulan bahwa ia sebenarnya (anak) orang kaya, karena mempunyai pembantu, tukang kebun, sopir pribadi, dan satpam yang menjaga rumah adalah petunjuk bahwa seseorang itu orang kaya. Berbeda dengan implikatur-implikatur di atas, implikatur percakapan merupakan kesimpulan yang dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah percakapan. Implikatur percakapan dapat diterangkan sebagai hasil dari pelanggaran terhadap sebagian prinsip kerja sama di atas. Perhatikanlah perkataan seorang ibu pada anaknya seperti digambarkan berikut. Anak: (berlonjak-lonjak di atas tempat tidur yang baru saja dirapikan ibunya dan ibunya sudah sangat kelelahan) Ibu: (dengan marah yang ditahan) waduh bagusnya anak ibu ini. Ayo teruskan lonjak-lonjak, biar tempat tidurnya tambah rapi. Jelaslah bahwa si ibu tidak sedang memuji anaknya walaupun kata-kata yang diucapkannya kata-kata pujian. Yang ingin disampaikan justru sebaliknya, yaitu celaan dan perintah agar anak itu segera menghentikan perbuatannya. Perhatikan bahwa
16
implikatur ini (celaan) tidak muncul karena konvensi tertentu, melainkan karena terjadi pelanggaran terhadap maksim kualitas. Menurut maksim kualitas, ibu harus berbuat jujur; namun si ibu memilih “tidak jujur”, mungkin karena si ibu tidak ingin terlalu melukai perasaan anaknya.
4. Skemata dan Topik Wacana Skemata dan Topik merupakan 2 pengertian yang sangat berbeda: skemata merupakan struktur pengetahuan yang ada pada manusia pengguna bahasa, sedangkan topic (dan konsep-konsep
berkaitan
lainnya
akan
segera
diuraikan)
merupakan
prinsip
pengorganisasian wacana yang sekaligus ada pada manusia dan juga pada wacana (teks). Walaupun demikian, kedua konsep tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, yaitu bahwa skemata merupakan prinsip yang aktif dalam diri subjek pengolahan wacana, sedangkan topic wacana merupakan prinsip yang aktif dalam diri objek, yaitu wacana (teks). a. Skemata 1) Apakah Skemata Itu? Skemata itu tersusun dari pengalaman yang digeneralisasikan. Sebagai contoh, pengalaman-pengalaman kita di masa lalu mengajarkan bahwa kita dapat membeli berbagai keperluan sehari-hari di pasar. Pengalaman juga memberitahu kita bahwa pasar itu bermacam-macam (mulai dari pasar tradisional yang buka seminggu sekali sampai pasar modern yang disebut supermarket atau hypermarket), bahwa pasar-pasar tersebut menetapkan aturan berbelanja yang berbeda, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kumpulan pengetahuan tersebut itulah yang disebut dengan skema, dalam hal ini “skema pasar” atau “skema berbelanja di pasar”. Selain mempunyai skema pasar, kita juga mempunyai macam-macam skema lain, misalnya skema berdiskusi, skema pernikahan, skema menabung di bank, dan skema beribadah. Dalam Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, skema dianalogikan dengan (naskah) pentas. Sebuah pentas dibangun oleh unsur-unsur pelaku, tindakan, latar, serta bendabenda tertentu. Unsur-unsur tersebut merupakan variabel-variabel yang dapat diberi nilai tertentu; misalnya, pelaku dapat berupa orang dewasa atau anak-anak; latar dapat berupa pasar, took atau kantor. Mirip dengan pentas, skemata juga terdiri atas variabel-variabel yang dapat diisi dengan nilai-nilai tertentu. Skema membeli, misalnya, terdiri atas
17
variable pelaku (penjual dan pembeli), variabel tempat (toko, pasar), variabel waktu (pagi, malam), variabel barang dagangan (buah-buahan, sabun cuci), variabel alat tukar (uang), dan variabel tindakan (menawar, membayar). 2) Skemata sebagai Sarana Pemahaman Wacana Bagaimanakah skema itu dimanfaatkan oleh pembaca dalam memahami wacana? para ahli analisis wacana menyimpulkan bahwa dalam memahami wacana skema diaktifkan dengan 2 cara/strategi yang berbeda namun saling melengkapi, yaitu strategi pengaktifan bawah-ke atas (buttom-up) dan atas-ke bawah (top down). Strategi bawahke atas terjadi ketika pembaca memahami makna keseluruhan wacana melalui pemahaman kalimat-kalimat yang menyusun wacana itu secara bertahap dengan menggunakan kaidah tatabahasa dan makna leksikal. Strategi ini sering kita lakukan ketika kita memasuki situasi pembicaraan tidak dari awal, tetapi langsung di tengahtengah, misalnya ketika kita terlambat. Dalam keadaan ini, secara perlahan-lahan kita menerka apa yang sedang dibicarakan. Dengan proses itulah pembaca secara perlahanlahan membangun skema untuk menafsirkan wacana yang dihadapinya. Strategi atas-ke bawah terjadi ketika pembaca memahami wacana dengan terlebih dahulu memahami makna keseluruhannya. Hal ini terjadi, misalnya, ketika judul suatu wacana sekaligus menggambarkan apa yang dituliskan. Judul yang demikian secara langsung mengaktifkan skema mental pembaca, sehingga pembaca menafsirkan bagianbagian wacana sesuai dengan skema tersebut. Pengetahuan tentang konteks wacana sekaligus membangkitkan skema mental yang ada pada diri pembaca dan hal itu digunakan dalam memahami wacana.
b. Judul, Topik, Tema, dan Tesis 1) Klarifikasi Peristilahan Pembaca dan penulis “bertemu” dalam wacana (teks). Dalam wacana tulis, penulis tidak hadir secara fisik. Penulis tentulah menulis teksnya dengan skema tertentu. Namun, berbeda dengan pembicara, penulis tidak dapat memantau reaksi pembaca maupun membantu pembaca dalam memahami teks. Akibatnya, karakteristik teks menjadi sandaran penting bagi pembaca dalam memahami teks. Dalam kaitan inilah sarana-sarana kohesi yang sudah kita bahas menjadi penting.
18
Selain sarana-sarana kohesi, judul juga dapat digunakan untuk menandai koherensi wacana secara lahirlah. Judul terutama digunakan dalam wacana tertulis seperti artikel, makalah, atau novel. Judul juga digunakan dalam wacana lisan yang bersifat resmi, misalnya pidato ilmiah. Judul berfungsi seperti label pada suatu produk yang berfungsi member identitas pada produk tersebut. Sebagaimana halnya identitas-identitas lain, judul wacana mungkin tidak benar-benar memberitahukan inti isi wacana yang diberi judul. Ini berlaku terutama untuk karya-karya sastra. Layar Terkembang, misalnya, merupakan judul novel yang tidak langsung memberitahukan isi novel tersebut, dan baru setelah selesai membacanya pembaca dapat memberikan arti kepada judul tersebut. Namun, untuk wacana-wacana nonsastra, apalagi wacana ilmiah, judul biasanya memberitahukan isi pokok wacana bersangkutan. Inti isi suatu wacana disebut topic wacana. Topik wacana adalah pokok pembicaraan yang mendasari seluruh bagian wacana dan karenanya menandai kesatuan makna wacana. Dalam buku Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, topic didefinisikan sebagai “proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan”. Proposisi bahwa perang itu kejam, misalnya, dapat diungkapkan dengan frasa “kejamnya perang” yang lebih khusus. Tentu saja topik khusus juga dapat diperinci lagi menjadi topik yang lebih khusus lagi. “kejamnya perang” dapat dikhususkan menjadi “kejamnya perang bagi Anak-anak” atau “kejamnya Perang bagi Orang yang Lemah”. Istilah lain yang berkaitan dengan topik dan sering dipertukarkan adalah tema. Dalam buku tatabahasa baku Indonesia, tema tidak diberi bahasan yang memuaskan; hanya dikatakan bahwa “tema lebih luas lingkupnya dan biasanya lebih abstrak.” Kemudian dikatakan bahwa satu tema dapat diperinci menjadi beberapa topik dan satu topik dapat diperinci lebih lanjut menjadi beberapa judul. Dalam buku tersebut sama sekali tidak diberi petunjuk bagaimana mengidentifikasi tema pada suatu karangan; hanya diberi contoh tentang tema kegiatan yang dibagi menjadi topik-topik. Penjelasan seprti itu mungkin agak membingungkan. Untuk menghindari kebingungan ini, dapat diusulkan dua jalan keluar: pertama, topik dan tema disamakan saja sebagai pokok pembicaraan; atau, kedua, kalau memang ada gunanya, tema dan topik dibedakan dengan mencari dasar pembedaan yang lebih mirip.
19
Istilah lain lagi yang berdekatan dengan topik dan tema adalah tesis. Secara etimologis kata ini mempunyai asal-usul yang sama dengan kata “tema”, yang berasal dari pengertian ‘menempatkan’. Dalam karang-mengarang, tesis adsalah suatu pendapat atau sikap yang ingin disampaikan/dipertahankan/dibuktikan oleh penulis/pembicara dalam karangannya. Tesis selalu dikaitkan dengan orang, bukan dengan karangan; kalau dikaitkan dengan karangan, tesis biasanya dikemukakan dalam karangan argumentasi. Agak berbeda dengan tesis, tema terutama digunakan untuk menyebut pendapat atau sikap yang dikemukakan dalam karangan, dan karangannya tidak terbatas pada argumentasi. Dengan demikian, tesis dan tema mempunyai pengertian yang sama, namun mempunyai penggunaan yang agak berbeda. Untuk memahami perbedaan tesis dan tema, perhatikanlah penggunaan kata “tema” dan “tesis” pada kalimat-kalimat Tanya berikut ini. (tanda bintang [*] menunjukkan bahwa kalimat tersebut kurang tepat atau kurang tegas dalam menyampaikan konsep). a. Apa tema artikel ini? b. *Apa tesis artikel ini? c. Tesis apa yang ingin dipertahankan penulis dalam artikelnya? d. *Tema apa yang ingin dipertahankan penulis dalam artikelnya? 2) Topik dan Koherensi Wacana Dari keempat konsep diatas – judul, topik, tema, tesis – konsep topik mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis wacana, karena semua konsep lain berpangkal pada konsep topik. Fungsi pokok topik dalam wacana seperti sudah dikemukakan diatas adalah menciptakan koherensi wacana, untuk menjamin bahwa wacana mempunyai kesatuan makna. Ditinjau dalam konteks komunikasi, topik merupakan pijakan bersama yang harus dijadikan pedoman oleh para peserta komunikasi. Karena semua peserta komunikasi sudah mempunyai pijakan yang sama, maka dimungkinkan bagi mereka untuk mengemukakan pendapat (tesis, tema) yang sama maupun yang berbeda. Pentingnya topik sebagai pijakan bersama terutama tampak dalam wacana lisan. Dalam wacana lisan, terutama percakapan, para peserta komunikasi sering tidak memulai dari topik yang pasti. Tidak jarang terjadi bahwa mereka mempunyai minat, perhatian, atau kepentingan yang berbeda, sehingga topik pembicaraan masih belum pasti. Dalam
20
keadaan demikian, para peserta komunikasi sering harus “bernegosiasi” dulu tentang topik pembicaraan. Setelah diperoleh “kesepakatan” tentang topik, barulah percakapan dapat dilanjutkan dengan lebih lancer. Kemungkinan lainnya adalah pembicaraan berpindah dari topik yang satu ke topik yang lain secara “marathon”, sehingga minat dan kepentingan tiap peserta percakapan terakomodasi. Dari segi koherensi wacana, gejala ini menunjukkan bahwa setiap pembicaraan harus mempunyai topik, baik yang dibicarakan itu topik tunggal dari awal sampai akhir maupun topik ganda yang dibicarakan secara bergiliran. Akhirnya perlu ditegaskan lagi bahwa topik karangan dari sudut analisis wacana merupakan gejala kontekstual, yakni konteks komunikasi, dan karenanya mempunyai kaitan-kaitan tertentu dengan unsur-unsur konteks yang sudah disebut diatas, dan seperti yang disinggung diatas, topik karangan berhubungan dengan konvensi-konvensi retorika seperti yang akan segera diuraikan berikut ini.
D. Jenis-jenis Wacana 1. Berdasarkan Jenis Media yang Digunakan. a. Wacana Tulis Wacana tulis adalah sebuah wacana yang dituangkan atau disampaikan melalui media tulis. Contohnya, koran, majalah, internet, dsb. b. Wacana Lisan Wacana lisan adalah media penyampaian wacana dengan menggunakan media berbicara atau lisan. Contohnya, pidato, ceramah, seminar, dsb. 2. Berdasarkan Sifatnya a. Wacana Transaksional Wacana Transaksional adalah jenis wacana yang dalam penyampaiannya lebih mementingkan komunikatif atau sifat penyampaian yang tidak menimbulkan komunikasi simbal balik (tanya jawab). Contoh: pidato, ceramah, makalah, cerita, tesis, dsb.
21
b. Wacana Interaksional Wacana Interaksional adalah jenis wacana yang dalam penyampaiannya lebih kepada sistem komunikasi atau dua orang atau lebih (komunikasi timbal balik). Contoh : percakapan, debat, diskusi, surat-menyurat, dsb. 3. Berdasarkan Segi Penutur (Jumlah Penutur) a. Wacana Monolog Wacana yang melibatkan seorang penutur. Dalam wacana monolog hanya terdapat peran tunggal pada diri pelaksana wacana, yaitu peran penyapa (speaker) dan pesapa (addresser), tanpa ada pergantian dari peran satu ke yang lain. Contoh: Pidato kenegaraan presiden, Pengumuman resmi pemerintah, dan Ceramah-ceramah tidak diikuti diskusi. b. Wacana Dialog Wacana dialog melibatkan dua orang penutur, yang secara pergantian atau bergiliran bisa berperan ganda, yaitu sebagai penyapa dan sebagai pesapa. c. Wacana Polilog Wacana yang melibatkan pelaku wacana lebih dari dua orang. Dalam wacana polilog ini juga terjadi pertukaran informasi karena setiap pelaku pada wacana ini memiliki peran ganda secara bergantian. 4. Berdasarkan Cara Pemaparannya a. Wacana Narasi Rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan melalui penonjolan tokoh pelaku dengan maksud memperluaspengetahuan pesapa. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui plot. Contoh: “Hafiz terkejut mendengar suara kemenakannya itu. Dengan segera ditariknya tali timba pengangkat tanah, tempat Abdullah bergantung. Ketika itu tampaklah oleh Hafiz mata air berbusa-busa naik ke atas dengan cepat, besar, dan jernih.” b. Wacana Argumentasi Karangan yang berisi pendapat yang disertai pembahasan logis dan diperkuat dengan data atau fakta sehingga pendapat itu diterima kebenarannya.
22
Contoh: “Air yang tergenang seperti di kaleng-kaleng bekas dan di selokan harus dibersihkan. Air yang tergenang itu tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi sarang nyamuk. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di genangan air tersebut.” c. Wacana Persuasi Karangan yang berisi imbauan atau ajakan kepada orang-orang tertentu, kelompok, atau masyarakat tentang sesuatu. Agar hal yang disampaikan itu dapat mempengaruhi orang lain, harus pula disertai penjelasan dan fakta. Contoh: “Penggunaan pestisida dan pupuk kimia untuk tanaman dalam jangka waktu lama tidak lagi menyuburkan tanaman dan memberantas hama. Pestisida justru dapat mencemari lingkungan dan menjadikan tanah lebih keras sehingga perlu pengolahan dengan biaya yang tinggi. Oleh sebab itu, hindarilah penggunaan pestisida secara berlebihan.” d. Wacana Eksposisi Rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran dengan cara menyampaikan uraian bagian-bagian atau detailnya. Tujuan pokoknya adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu itu supaya lebih jelas, mendalam, dan luas. Contoh: “Membaca intensif merupakan kegiatan membaca secara teliti atau membaca secara saksama bacaan berupa teks. Tujuan membaca dengan cara ini untuk mendapatkan pemahaman isi bacaan secara tepat dan rinci. Misalnya, mengetahui hal-hal yang diperlukan.” e. Wacana Deskripsi Rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Tujuan yang ingin dicapai oleh wacana deskripsi adalah tercapainya penghayatan yang agak imajinatif terhadap sesuatu, sehingga pesapa merasakan seolah-olah ia sendiri mengalami atau mengetahuinya secara langsung. Contoh: “Malam itu indah sekali. Bintang-bintang di langit berkerlap-kerlip memancarkan cahaya. Udara dingin menusuk kulit. Sesekali terdengar suara jangkrik mengusik sepinya malam.”
23
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Penyamapain pesan di era yang modern ini sudah sangat fariatif, baik itu media yang digunakan, seperti e-mail, sms, internet, dan pidato, maupun cara yang digunakan, seperti diskusi, ceramah, dsb. Cara penyampaian pesan yang sangat umum adalah melalui karya sastra seperti novel, lagu, maupun puisi. Namun, semua itu bersifat bebas karena terikat dengan dengan statusnya sebagai karya sastra atau arya yang bebas. Berbeda dengan puisi, lagu, dan novel, Wacana muncul sebagai salah satu media penyampaian pesan, pendapat, maupun argumentasi yang memiliki aturan baku yang sangat jelas dan kompleks. Wacana salah satu media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan, karena sangat fleksibel dalam kegunaannya. Dalam penggunaan wacana ada banyak jenis dan macamnya. Ketika itu ditinjau dari segi media yang digunakan, ada wacana lisan dan ada wacana tertulis, begitupun ketika wacana ditinjau dari segi cara pemamparannya, ada Narasi, Persuasi, Argumentasi, Eksposisi, dan Deskripsi. Dengan adanya berbagai macam wacana ini, membuat wacana selalu digunakan oleh banyak orang dalam penyampaian pesan atau argumen mereka. Kami berharap dengan adanya makalah yang membahas lengkap mengenai wacana ini, dapat memberikan pemahaman yang baik kepada para pembaca, sehingga bisa mengaplikasikan dan mengetahui wacana itu sendiri.
B. Saran Pada akhirnya kami akan memberikan saran, guna membangun tatanan berbahasa yang lebih baik lagi, khususnya pada bagian Wacana itu sendiri. 1. Penggunaan wacana haruslah sesuai dengan macam atau jenisnya. 2. Penggunaan wacana harus selalu disesuaikan dengan konteksnya. 3. Selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dan baik.
24
DAFTAR PUSTAKA Evandra,
Erato
Dido.
2013.
Pengertian
Wacana.
[Online].
Ditulis
http://kmbsi.blogspot.com/2013/05/makalah-pengertian-wacana.html.
dalam: Diakses
pada 17 April 2014. Hayati,
Nur.
2013.
Kohesi
dan
Koherensi.
[Online].
Ditulis
dalam:
http://dandelionidha.blogspot.com/2013/03/kohesi-dan-koherensi_1709.html. Diakses pada 17 April 2014. Mujianto, Gigit. Sudjalil. Dkk. 2013. Bahasa Indonesia untuk Karangan Ilmiah. Malang: UMM Press. ____________. 2013. Jenis Karangan/ Wacana Beserta Penjelasan dan Contohnya. [Online]. Ditulis dalam: http://faozi12.wordpress.com/2013/02/21/jenis-karanganwacana-beserta-penjelasan-dan-contohnya/. Diakses pada 17 April 2014. ____________. 2012. Pengertian Kohesi dan Koherensi. [Online]. Ditulis dalam: http://ionetwo.blogspot.com/2012/12/pengertian-kohesi-dan-koherensi.html. Diakses pada 17 April 2014.
25