MAKALAH SISTEMATIKA TUMBUHAN I IDENTIFIKASI IDENTIFIKASI LICHEN MELALUI ANALISIS KIMIAWI
DISUSUN OLEH: Sutan Syahir (H1041151009)
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2017
0
DAFTAR ISI .................................................................................................. 3 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................
1.1
.................................................................................................... ........ 3 Latar Belakang ............................................................................................
1.2
.............................................................................................. 3 Rumusan Masalah ...............................................................................................
1.3
................................................................................................................. ..... 4 Tujuan ............................................................................................................
BAB II TINJAU PUSTAKA .............................................................................................. 5 2.1
Tumbuhan Lumut ( Bryophyta) Bryophyta) ........................................................................... 5
2.2
Klasifikasi Tumbuhan Lumut ( Bryophyta Bryophyta)) ......................................................... 5
2.3
.............................................................................................. 9 Metabolit Skunder ...............................................................................................
2.4
Manfaat dan Potensi Tumbuhan Lumut ........................................................ ........................................................... ... 10
BAB III METODE PEMBAHASAN ............................................................................... 12 3.1
........................................................................... ................ 12 Bentuk dan Metode Penulisan...........................................................
3.2
............................................................................................... ..................................... 12 Obyek Penulisan ..........................................................
3.3
Pengumpulan Data....................................................... ............................................................................................ ..................................... 12
............................................................................................... 13 BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................
2.5
Tumbuhan Lumut ( Bryophyta) Bryophyta) ......................................................................... 13
2.6
................................................................................................ ..................................... 13 Kemataksonomi ...........................................................
2.7
.................................. 14 Identifikasi Bryophyta Identifikasi Bryophyta Berdasarkan Berdasarkan Metabolit sekunder ..................................
........................................................................................................... ................................................. 21 BAB V PENUTUP .......................................................... ................................................................................................................... ... 21 Kesimpulan ................................................................................................................
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Identifikasi Bryophyta Berdasarkan Komponen Metabolit Sekunder ”. Makalah ini berisikan tentang informasi spesies Bryophyta yang diklasifikasikan berdasarkan analisis metabilit skunder. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang spesies Bryophyta yang ditemukan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai se gala usaha kita. Amin.
Pontianak, 17 Juni 2017
Penyusun
2
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Lumut merupakan tumbuhan pertama yang tumbuh ketika awal suksesi pada
lahan yang rusak atau daerah dengan sedikit nutrisi. Keanekaragaman jenis tumbuhan lumut dapat dilihat melalui ciri morfologi dan kandungan senyawa metabolit sekunder. Morfologi tumbuhan mempelajari bentuk dan susunan tubuh tumbuhan (Tjitrosoepomo, 1986). Morfologi tumbuhan tidak hanya menguraikan bentuk dan susunan tubuh tumbuhan saja, tetapi j uga berfungsi untuk menentukan apakah fungsi masing-masing bagian itu dalam kehidupan tumbuhan dan selanjutnya juga berusaha mengetahui dari mana asal bentuk dan susunan tubuh tersebut. Selain itu morfologi harus pula dapat memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa bagian-bagian tubuh tumbuhan mempunyai bentuk dan susunan yang beraneka ragam itu (Tjitrosoepomo, 1986). Keanekaragaman jenis lumut yang dilihat berdasarkan ciri kandungan senyawa metabolit sekunder dapat digunakan sebagai penjelasan atau untuk penegasan dalam mempelajari taksonomi tumbuhan dan ada kalanya dapat juga digunakan sebagai alat koreksi dalam usaha penataan suatu sistem klasifikasi (Sutarjadi, 1980). Takhtajan (1973) berpendapat pula bahwa hadir tidaknya metabolit sekunder yang khas, perbandingan ciri-ciri struktur dan lintas biosintesis senyawa tersebut dapat digunakan sebagai ciri taksonomi ketika ciri taksonomi yang lain sukar digunakan untuk pemindahan status taksonomi antara dua familia atau dua genus yang berhubungan. Penelitian kandungan senyawa kimia terhadap semua jenis lumut yang tumbuh di Indonesia, terlebih apabila dikaitkan dengan status taksonomi dan hubungan kekerabatannya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang peluang pengembangan tumbuhan lumut lebih lanjut di Indonesia. 1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa ciri-ciri tumbuhan lumut Bryophyta? 2. Bagaimana cara penggolongan Bryophyta berdasarkan komponen metabolit
sekunder?
3
1.3
Tujuan Tujuan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui ciri-ciri tumbuhan lumut ( Bryophyta) 2. Mengetahui cara penggolongan Bryophyta berdasarkan komponen metabolit sekunder?
4
BAB II TINJAU PUSTAKA
2.1
Tumbuhan Lumut (Bryophyta)
Lumut merupakan tumbuhan yang termasuk dalam divisio Bryophyta. Tumbuhan ini belum menunjukkan diferensiasi tegas antara organ penyerap hara dan organ fotosintetik namun belum memiliki akar dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini juga belum memiliki pembuluh sejati (Arnold, 2008). Lumut merupakan tumbuhan yang berukuran lebih kecil dari 1 mm hingga beberapa cm tingginya. Pertumbuhannya mendatar (flat) di atas tanah, batuan atau menempel di pohon. Sebagian besar lumut mempunyai batang dan daun. Kelompok tumbuhan ini memiliki klorofil sehingga dapat melakukan fotosintesis untuk memperoleh makanannya sendiri. Semua lumut memperbanyak diri dengan spora, fragmentasi, dan struktur khusus yang disebut gemmae (kuncup). Siklus hidupnya kelompok tumbuhan ini mempunyai dua generasi yaitu generasi gametofit dan generasi sporofit. Generasi gametofit meliputi rhizoid, batang dan daun. Bagian ujung batang biasanya akan dihasilkan archegonium (alat perkembangan betina) dan antheredium (alat perkembangbiakan jantan). Apabila telah terjadi pembuahan maka terbentuklah zygote yang akan membelah dan kemudian berkembang membentuk seta, kapsul (peristome, annulus, operculum) dan calyptra yang sering disebut sebagai generasi sporofit (Windadri, 2004). Pada semua tumbuhan yang tergolong dalam Bryophyta terdapat kesamaan bentuk dan susunan gametangiumnya (baik mikrogametangium = anteredium, maupun makrogametangium = arkegonium) (Tjitrosoepomo, 1986). Kebanyakan Bryophyta terlihat tanpa kutikula yang dalam tumbuhan berpembuluh erat dengan hubungannya dengan adanya stomata yaitu lubang khusus yang berfungsi dalam pertukaran gas (Muzayyinah, 2005). 2.2
Klasifikasi Tumbuhan Lumut (Bryophyta)
Menurut Conard dan Redfearn, Bryophyta terdiri atas 3 kelas yaitu: 1. Anthocerotae/Anthocerotopsida (Lumut Tanduk) 2. Hepaticae/Hepaticopsida (Lumut Hati)
5
3. Musci/Bryopsida (Lumut Sejati)
(Damayanti, 2006).
Penjelasan singkat mengenai ciri-ciri yang dimiliki masing-masing kelas : 1. Anthocerotae/Anthocerotopsida (Lumut Tanduk)
Anthocerotae merupakan kelompok terkecil dari divisi Bryophyta. Lumut ini memiliki kurang dari 100 jenis di seluruh dunia yang terbagi ke dalam 8-9 genus (Damayanti, 2006). Diduga tumbuhan ini berkerabat dekat dengan Chlorophyta, tidak memiliki sel pengangkut, tetapi memiliki stomata (Muzayyinah, 2005). Beberapa anggotanya yang umum dijumpai di daerah tropis adalah Anthoceros, Dendroceros, Folioceros, Megaceros, Notothylas dan Phaeoceros (Hasan dan Ariyanti, 2004). Struktur tubuhnya tidak memiliki daun dan batang. Gametofitnya berupa talus tanpa tulang daun, berbentuk pipih dorsoventral. Sel-selnya memiliki kloroplas yang besar dengan atau tanpa pyrenoid . Badan lumut melekat dengan bantuan rhizoid yang biasanya terdiri atas satu sel. Organ reproduksinya (arkegonium dan antheridium) berada di dalam talus (tenggelam) (Damayanti, 2006). Lumut tanduk biasanya tumbuh di tempat yang agak terbuka di tanah atau batu di tepi sungai atau tepi jalan (Hasan dan Ariyanti, 2004). Contoh jenis lumut yang termasuk dalam kelas Anthocerotae dapat dilihat pada Gambar 1.
a
b
Gambar 1. Contoh jenis lumut Anthocerotae: a. Anthoceros punctatus Lac. b. Anthoceros formosae Lac. (Glime, 2007). 2. Hepaticae/Hepaticopsida (Lumut Hati)
Kelompok ini sering disebut lumut hati yang memiliki anggota sekitar 5000 jenis. Struktur tubuhnya ada dua macam bentuk, ada yang memiliki daun dan ada yang memiliki talus. Kelompok yang memiliki daun disebut lumut hati berdaun,
6
sedangkan kelompok dengan struktur talus disebut lumut hati bertalus (Damayanti, 2006). Umumnya lumut hati tumbuh merayap, tegak atau ada beberapa jenis yang menggantung. Lumut hati melekat pada substrat dengan struktur menyerupai akar disebut rhizoid . Rhizoid ini hanya terdiri satu sel, jarang sekali bersel banyak (Hasan dan Ariyanti, 2004). Talus masih berbentuk lembaran, tumbuh secara epifit, bisa tegak ke atas, menjuntai ke bawah, menempel atau merayap di permukaan substrat (Damayanti, 2006). Talus yang tebal terdiri dari sekitar 30 sel dan bagian yang tipis bisa 10 sel, bagian dorsal kaya akan klorofil dan tebal, bagian ventral tidak berwarna (Muzayyinah, 2005). a. Lumut Hati Berdaun Lumut hati berdaun lebih banyak ditemukan di alam dibandingkan dengan lumut hati bertalus. Umumnya lumut hati berdaun dijumpai sebagai epifit di batang dan cabang-cabang pohon di tempat-tempat yang tinggi. Beberapa lumut hati berdaun tumbuh menempel pada daun-daun (epifit) di hutan hujan basah dataran rendah (Hasan dan Ariyanti, 2004). Lumut ini memiliki rhizoid yang terdiri atas 1 sel (uniseluler), berfungsi sebagai alat untuk melekatkan diri pada substrat. Beberapa spesies memiliki 2-3 baris daun yang melekat pada batang, terbagi atas dua baris daun dorsal (lobe), satu baris daun ventral (under leaf ) yang biasanya memiliki ukuran lebih kecil daripada daun dorsal, atau bahkan tidak ada (Damayanti, 2006; Hasan dan Ariyanti, 2004). Pada beberapa spesies, daunnya memiliki modifikasi membentuk cuping
yang
disebut
lobul . Lobul adalah
perluasan
daun
yang
bisa
menangkap/menampung air yang berada di bagian ventral (Dama yanti, 2006). Pada lumut hati, sel-sel daun dapat mengalami penebalan pada sudutnya, yang disebut trigon. Sel-sel lumut hati memiliki banyak kloroplas. Selain itu, terdapat badan minyak (oil body) yang berfungsi untuk melindungi sel dari kekeringan. Jika dalam keadaan kering, badan minyak ini akan pecah. Jumlah dan bentuk badan minyak ini sangat penting untuk identifikasi yang berguna dalam taksonomi. Pada beberapa spesies, terdapat sel yang memiliki badan minyak yang besar, tanpa kloroplas, sel ini disebut oselli. Sel ini ukurannya lebih besar
7
dibanding sel daun lainnya (Damayanti, 2006). Contoh jenis lumut hati berdaun dapat dilihat pada Gambar 2. b
a
Gambar 2. Contoh jenis lumut hati berdaun: a. Geocalyx graveolens Vaxlar. b. Diplophyllum albicans Lac. (Lind, 2008). b. Lumut Hati Bertalus Kelompok ini melekat dan membentuk hamparan pada permukaan substrat dengan percabangan menggarpu. Talusnya melekat dengan bantuan rhizoid (Damayanti, 2006). Bagian permukaan talus yang berhubungan langsung dengan substrat disebut ventral, sedangkan permukaan lainnya disebut dorsal. Pada bagian permukan ventral, selain dijumpai rhizoid uniseluller yang halus, pada beberapa lumut hati ini juga dijumpai sisik-sisik dalam satu, dua, atau empat baris berwarna ungu tua sampai hitam atau tidak berwarna (Sofa, 2008). Contoh jenis lumut hati bertalus dapat dilihat pada Gambar 3 a
b
Gambar 3. Contoh jenis lumut hati bertalus: a. Marchantia sp. b. Riccia crystallina L.emend.Raddi (Heino, 2008)
8
3.
Musci/Bryopsida (Lumut Sejati)
Kelompok ini memiliki anggota lebih banyak daripada kelas lainnya. Diperkirakan terdapat sekitar 8000 jenis dalam 900 marga. Lumut sejati mempunyai struktur gametofit dan sporofit lebih kompleks dibandingkan dengan kelompok lainnya (Hasan dan Ariyanti, 2004). Lumut sejati tumbuh di tempattempat yang lembab dan ternaungi, melekat pada substrat dengan rhizoid multiseluler. Lumut ini merupakan tumbuhan yang kosmopolitan, dapat tumbuh di berbagai tempat, misalnya menempel pada pohon, tunggul kayu, batu, tanah, tembok, bata, dan hampir semua tempat (Damayanti, 2006). Lumut sejati dapat dengan mudah dibedakan dengan lumut hati berdaun dari susunan daunnya yang spiral dan bentuk sporofitnya. Selain itu, kelompok ini lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan anggota lumut hati (Damayanti, 2006). Contoh jenis lumut daun dapat dili hat pada Gambar 4. a
b
Gambar 4. Contoh jenis lumut daun: a. Polytrichum commune Mýrhaddur. b. Sphagnum teres Bleytuburi. (Kops, 2008)
2.3
Metabolit Skunder
Metabolit sekunder didefinisikan sebagai suatu senyawa yang hanya ditemukan secara terbatas pada kelompok tumbuhan tertentu, atau ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari kelompok tumbuhan yang lain, dan tidak merupakan sumber makanan yang penting bagi herbivora (Wibowo, 2008). Metabolit sekunder merupakan sumber utama senyawa obat. Sekitar 60% penduduk dunia menggunakan tumbuhan untuk pengobatan (Setyawan, 2002). Proses ini dimulai dengan fotosintesis dan berakhir dengan terbentuknya senyawasenyawa kimia metabolit sekunder (Setyawan, 1996).
9
Senyawa sekunder mempunyai sifat : 1. Hanya dapat dibentuk oleh spesies tertentu. 2. Pembentukannya dipengaruhi lingkungan fisik dan kimia. 3. Strukturnya mirip antara satu dengan lainnya. 4. Fungsinya dalam sel seolah-olah tidak penting (Setyawan, 1996). Metabolit sekunder biasanya diperoleh dari proses samping sebagai sampah dan tidak memiliki fungsi khusus dalam metabolisme. Secara ekologi, matabolit sekunder sangat penting sebagai alelopati, feromon, pertahanan dari herbivora atau mikroba dan lain-lain. Hingga kini telah diidentifikasi lebih dari 30.000 senyawa sekunder. Kebanyakan spesies tidak memiliki struktur khusus, karena mensintesis senyawa metabolit sekunder dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai aroma bunga atau tanggapan terhadap lingkungan seperti patogen dan herbivora (Setyawan, 1999). Penelitian bahan alam terdiri dari beberapa tahap, yaitu mulai dari tahap ekstraksi, fraksinasi dengan metode kromatografi sampai diperoleh senyawa murni, identifikasi unsur dari senyawa murni yang diperoleh dengan metode spektroskopi, dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi, baik dari senyawa murni ataupun ekstrak kasar. Setelah struktur molekulnya diketahui dilanjutkan dengan modifikasi struktur untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan kestabilan yang diinginkan (Husna, 2008). 2.4 Manfaat dan Potensi Tumbuhan Lumut
Lumut dapat digunakan sebagai bahan untuk hiasan rumah tangga, obatobatan, bahan untuk ilmu pengetahuan dan sebagai indikator biologi untuk mengetahui degradasi lingkungan. Beberapa contoh lumut yang dapat digunakan tersebut adalah Calymperes, Campylopus dan Sphagnum (Damayanti, 2006). Sphagnum mengandung zat Sphagnol digunakan untuk perawatan bisul dan gigitan nyamuk (Glime, 2007). Kegunaan secara tradisional dari lumut adalah untuk penyembuhan penyakit jantung, radang, demam, penyakit kurap, diuretik, obat pencuci perut, obat pembedahan dan luka, masalah pencernaan, infeksi, penyakit paru-paru, masalah kulit, penyakit tumor dan sebagai filter serta sebagai agen pembersih untuk
10
mengurangi polusi udara. Lumut, terutama lumut hati, mempunyai bau khas, yang memberi kesan komponen aromatik seperti fenol (Glime, 2007). Beberapa contoh tumbuhan lumu yang digunakan sebagai bahan obat-obatan antara lain adalah Ceratodon purpureus (Hedw.) Brid. dan Bryum argenteum Silfurhnokki. Kedua jenis lumut tersebut digunakan untuk penyembuhan infeksi jamur pada kuda. Beberapa penyembuhan digunakan sebagai antileukemia dan antikanker (Glime, 2007). Para ahli sudah mulai banyak meneliti komposisi zat yang dikandung lumut, beberapa di antaranya mengandung antibiotik dan zat lain yang berkhasiat obat (Damayanti, 2006). Lumut juga berpotensi sebagai pestisida dan fungisida yang dapat membunuh serangga dan jamur. Potensi lumut yang lain yaitu sebagai bahan obat-obatan untuk mengobati gatal-gatal dan penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. Lumut mempunyai banyak komponen
yang sangat berguna, termasuk
oligosakarida, polisakarida, alkohol, asam amino, asam lemak, komponen alifatik, fenilquinon, senyawa aromatik dan alifatik (Glime, 2007; Hasan dan Ariyanti, 2004). Secara ekologi Bryophyta merupakan tumbuhan perintis dalam menciptakan habitat primer dan sekunder setelah adanya perusakan lingkungan. Bryophyta merupakan rumah bagi invertebrata, sebagai material pembuatan sarang burung serta memiliki peran yang penting dalam menjaga porositas tanah dan mengatur tingkat kelembaban ekosistem, karena kemampuannya dalam menahan dan menyerap air (Damayanti, 2006). Bryophyta dapat digunakan sebagai indikator pencemaran udara. Jika udara sudah penuh dengan polutan, lumut tidak dapat tumbuh dengan baik bahkan dapat mati (Damayanti, 2006). Selain sebagai indikator lingkungan, keberadaan lumut di dalam hutan hujan tropis sangat memegang peranan penting sebagai tempat tumbuh organisme seperti serangga dan waduk air hujan (Hasan dan Ariyanti, 2004).
11
BAB III METODE PEMBAHASAN 3.1
Bentuk dan Metode Penulisan
Bentuk penulisan yang digunakan adalah deskriptif. Deskriptif adalah uraian, paparan atau keterangan. Tujuan penelitian deskriptif adalah mengetahui paparan, uraian terhadap suatu kasus yang sedang diteliti. Dengan mengetahui paparan ini maka diharapkan penulis dapat menganalisis dan memecahkan suatu masalah secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang didapat di suatu daerah tertentu. 3.2
Obyek Penulisan
Penulisan ini mengambil obyek Keanekaragaman Bryophyta Berdasarkan Morfologi Dan Senyawa Metabolit Sekunder 3.3
Pengumpulan Data
Data dan informasi yang berkaitan dengan penulisan ini diperoleh dengan cara sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dilakukan dengan cara mempelajari berbagai buku literatur serta tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan ditulis. b. Studi Dokumenter 1) Teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen 2) Dokumen dipilih dan dihimpun berdasarkan tujuan dan fokus penulisan. 3) Dokumentasi data lapangan dan data laboratorium sebagai acuan.
12
BAB IV PEMBAHASAN 2.5 Tumbuhan Lumut (Bryophyta) Lumut merupakan tumbuhan yang termasuk dalam divisio Bryophyta.
Tumbuhan ini belum menunjukkan diferensiasi tegas antara organ penyerap hara dan organ fotosintetik namun belum memiliki akar dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini juga belum memiliki pembuluh sejati (Arnold, 2008). Lumut merupakan tumbuhan yang berukuran lebih kecil dari 1 mm hingga beberapa cm tingginya. Pertumbuhannya mendatar (flat) di atas tanah, batuan atau menempel di pohon. Sebagian besar lumut mempunyai batang dan daun. Kelompok tumbuhan ini memiliki klorofil sehingga dapat melakukan fotosintesis untuk memperoleh makanannya sendiri. Semua lumut memperbanyak diri dengan spora, fragmentasi, dan struktur khusus yang disebut gemmae (kuncup). Siklus hidupnya kelompok tumbuhan ini mempunyai dua generasi yaitu generasi gametofit dan generasi sporofit. Generasi gametofit meliputi rhizoid, batang dan daun. Bagian ujung batang biasanya akan dihasilkan archegonium (alat perkembangan betina) dan antheredium (alat perkembangbiakan jantan). Apabila telah terjadi pembuahan maka terbentuklah zygote yang akan membelah dan kemudian berkembang membentuk seta, kapsul (peristome, annulus, operculum) dan calyptra yang sering disebut sebagai generasi sporofit (Windadri, 2004). Pada semua tumbuhan yang tergolong dalam Bryophyta terdapat kesamaan bentuk dan susunan gametangiumnya (baik mikrogametangium = anteredium, maupun makrogametangium = arkegonium) (Tjitrosoepomo, 1986). Kebanyakan Bryophyta terlihat tanpa kutikula yang dalam tumbuhan berpembuluh erat dengan hubungannya dengan adanya stomata yaitu lubang khusus yang berfungsi dalam pertukaran gas (Muzayyinah, 2005). 2.6 Kemataksonomi
Kemajuan dalam ilmu kimia semakin banyak mengungkapkan kandungan senyawa kimia apa saja yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan atau organ-
13
organnya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya usaha agar klasifikasi tumbuhan didasarkan pula atas kesamaan atau kekerabatan kandungan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Inilah yang merupakan awal dan landasan bagi terciptanya
suatu
sistem
klasifikasi
yang
dinamakan
kemotaksonomi.
Kemotaksonomi sering disebut juga sistematika biokimiawi yang didefinisikan sebagai aplikasi data kimiawi untuk memecahkan masalah-masalah taksonomi (Harborne, 1987). Kandungan kimia yang terdapat dalam suatu suku tumbuhan dapat mempunyai beberapa arti. Pertama adalah golongan kandungan kimia selalu terdapat pada setiap tumbuhan dari suku tersebut, tetapi tidak khas atau terdapat juga pada suku lain. Kedua adalah golongan kandungan kimia yang khas hanya terdapat pada suku tersebut. Ketiga adalah golongan kandungan kimia yang dikandung oleh tumbuhan lain sesuku tetapi terdapat dalam tumbuhan dari suku lain. Adapun yang terakhir adalah kandungan kimia yang khas hanya terdapat dalam satu tumbuhan dan tidak ditemukan dalam tumbuhan lain baik sesuku maupun tidak sesuku. Di samping itu terdapat pula kandungan kimia yang tersebar luas dalam berbagai tumbuhan yang tidak memberi arti yang besar dalam pendekatan kemotaksonomi (Pramono, 1988). Kemotaksonomi berkembang pesat sejalan dengan penemuan baru dalam metode kimia, khususnya kromatografi (Harborne, 1987). Kemotaksonomi dapat menggunakan berbagai macam senyawa metabolit sekunder, seperti flavanoid (fenol), terpen, alkaloid, lignan, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, getah, suberin, resin, karotenoid dan lain-lain, namun golongan senyawa yang paling sering digunakan adalah fenol, alkaloid, terpenoid dan asam amino non-protein yang memiliki bermacam fungsi. Ciri kimia memiliki kelebihan daripada ciri morfologi dan anatomi, karena bahan yang dianalisis tidak harus segar dan lengkap. Bahan kering dan remuk sekalipun dapat dianalisis dan ditempatkan secara tepat dalam sistem klasifikasi, selama tidak ada kontaminasi mikrobia atau bahan lain. Spesimen herbarium berumur ratusan tahun tetap dapat diuji kandungan metabolit sekundernya dengan tepat (Harborne, 1987). 2.7 Identifikasi Bryophyta Berdasarkan Metabolit sekunder
14
Cara identifikasi tumbuhan lumut ( Bryophyta) berdasarkan kandungan metabolit sekunder terdiri beberapa tahap antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Ekstraksi Ekstraksi
adalah
pengambilan
bahan
aktif
dari
tumbuhan
dengan
menggunakan pelarut tertentu. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Tumbuhan dapat dikeringkan sebelum diekstraksi. Pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus dikeringkan secepat-cepatnya, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan aliran udara yang baik. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis. Analisis flavanoid, alkaloid, kuinon dan terpenoid telah dilakukan dengan berhasil pada herbarium yang telah disimpan bertahun-tahun (Harborne, 1987). Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan bahan air tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Pada umumnya jaringan tumbuhan harus dimatikan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis. Memasukkan jaringan daun segar atau bunga yang telah dipotong potong ke dalam etanol mendidih adalah suatu cara yang baik untuk mencapai tujuan itu. Alkohol adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Selanjutnya bahan dapat dimaserasi dalam suatu bejana, lalu disaring (Harborne, 1987). Metode dasar ekstraksi yang digunakan antara lain ekstraksi menggunakan pelarut organik seperti maserasi, perkolasi dan sokletasi, dan ekstraksi menggunakan air seperti infusa dan decocta. Pemilihan metode ekstraksi ini berdasarkan atas kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang baik. Pemilihan proses ekstraksi sangat penting mengingat komposisi kandungan kimia yang cukup kompleks dari material sehingga tergantung pada tujuan ekstraksi, penyari bersifat non polar digunakan untuk menyari zat-zat yang bersifat non polar. Sebaliknya penyari bersifat polar untuk menyari zat-zat yang bersifat polar sehingga diharapkan semua zat yang diinginkan dalam bahan alam tersari sempurna sesuai penyari yang digunakan. Pemilihan metode ekstraksi yang kurang tepat akan menyebabkan proses isolasi senyawa akan mengalami
15
kegagalan sehingga senyawa yang diinginkan tidak dapat tersari secara memuaskan dari matriks (Rakhmawati, 2006). Maserasi adalah cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Dinda, 2008). Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien (Dinda, 2008). Soxhletasi merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). Keuntungan Soxhletasi adalah dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, digunakan pelarut yang lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur (Dinda, 2008). Kerugian Soxhletasi adalah karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas, jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya dan bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah kondensor perlu
16
berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang efektif (Dinda, 2008). Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut, misalnya heksan :diklormetan = 1 :1, atau pelarut yang diasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di dalam wadah (Dinda, 2008). 2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Menurut Rohman (2007), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dekembangkan oleh Izmaillof dan Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plastik. Prinsip KLT yaitu perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semangkin ukuran rata-rata partikel fase diam semangkin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semangkin baik kinerja KLT dala hal efisiensi dan resolusinya (Gritter,1991). Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitisi pada pengembangan secara menurut (descending) (Rohman, 2007). Kromatografi adalah metode pemisahan fisiokimia (Stahl, 1985). Pemisahan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan sifat fisik campuran, yaitu kecenderungan molekul zat untuk menguap, larut dalam cairan dan terserap butir butir zat padat yang halus dengan permukaan luas. Hasil dari analisa kromatografi adalah terbentuknya daerah pemisahan pada fase diam yang berupa plat silika gel. Proses analisa ini disebut proses analisa kromatografi, karena pemisahan tiap komponennya dapat dilihat dari perbedaan warna komponen-komponen dari suatu zat yang dianalisa (Edward, 1991). Kromatografi lapis tipis bekerja berdasarkan pada distribusi fase cair-padat. Sebagai fase padat atau absorbannya berupa lapis tipis bubur alumina atau silika
17
gel yang menempel pada permukaaan selembar lempengan kaca atau selembar plastik kaku, sedangkan sebagai fase cairnya adalah eluen yang digunakan untuk membawa zat yang dianalisis bergerak melalui zat padat. Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan metode ini adalah memberikan pemisahan yang sangat baik, cepat serta menggunakan alat-alat yang sederhana (Hosttman, 1995). KLT dilakukan dengan cara pengembangan naik di dalam suatu bejana yang dindingnya dilapisi kertas saring sehingga atmosfer di dalam bejana jenuh dengan fase pelarut (Harborne, 1987). Keuntungan dari Kromatografi lapis tipis adalah peralatan yang diperlukan sedikit, murah, sederhana, waktu analisis cepat dan daya pemisahan cukup baik serta pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit (Gritter, et al., 1991). 3. Identifikasi Senyawa Nuclear Magnetik R esonance Spektometri Nuclear Magnetik Resonance (NMR) merupakan alat yang
berguna pada penentuan struktur molekul organik. Spektroskopi resonansi magnet inti (1H-NMR) didasarkan pada pengukuran absorbsi radiasi ele ktromagnetik pada daerah frekuensi radio 4-600 MHz atau panjang gelombang 75-0,5 m, oleh partikel (inti atom) yang berputar di dalam medan magnet. Teknik ini memberikan informasi mengenai beberapa jenis atom hidrogen dalam molekul. Struktur NMR memberikan informsi mengenai lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap otom hidrogen (Harborne JB, 1987). Larutan cuplikan dalam pelarut lebam ditempatkan di antara kutub magnet yang kuat, dan proton mengalami pergeseran kimia yang berlainan sesuai dengan lingkungan molekulnya di dalam molekul. Kemudian diukur dengan radar NMR, biasanya tetrametisilan (TMS), yaitu senyawa lebam yang ditambahkan ke dalam larutan cuplikan tanpa ada kemungkinan terjadi reaksi kimia. Adapun pelarut yang biasanya digunakan yaitu karbontetraklorida, deuteroloroform, deuteriumoksida, dan deuteroaseton (Khopkar, 2003). 4.
Taksonomi Numerik dan Hubungan Kekerabatan
Taksonomi numerik adalah ilmu pengetahuan empirik yang berguna untuk memantapkan kedudukan taksa dan menyusun klasifikasi berdasarkan hubungan
18
fenetik melalui pelaksanaan metodologi secara bertahap. Taksonomi tidak hanya mengandalkan sifat dari sumber-sumber tertentu saja, data-data yang diperoleh dari cabang botani yang berbeda-beda diberi nilai yang sama (Shukla dan Misra, 1982). Posisi atau kedudukan dasar dari taksonomi berdasarkan angka dirangkum dalam keikutsertaan satu prinsip (Sneath dan Sokal, 1973). Unsur dasar sistematika biologi adalah spesimen individual pada waktu tertentu dalam siklus hidupnya. Individu-individu tersebut merupakan unit dasar dan biasanya berupa jenis (unit taksonomi dengan nama binomial). Dalam taksonomi numerik taksa terbawah adalah satuan taksonomi operasional (Operational Taxonomy Unit = OTUs). Unit ini dapat mewakili genus atau jenis. Untuk mengestimasi kemiripan di antara dua OTUs, data disusun dalam bentuk matriks n x t, di mana ”t” merupakan jumlah OTUs yang dioperasikan dan ”n” merupakan jumlah input yang digunakan. Karakter-karakter OTUs yang diperkirakan memiliki persamaan secara kuantitatif disebut koefisien similaritas. Koefisien similaritas dikelompokkan menjadi: a. Koefisien jarak: jarak antara OTUs dalam suatu ruang tertentu dengan berbagai cara. b. Koefisien asosiasi: bagian dari dua kolom data dari dua OTUs yang diperbandingkan. c. Koefisien korelasi: estimasi yang proporsional dan bebas antara pasangan pasangan vektor OTUs. d. Koefisien similaritas-probabilitas: mengukur homogenitas sistem dengan statistik yang membagi kelompok OTUs menjadi beberapa bagian atau sebagian (Shukla dan Misra, 1982). Pengoperasian dari taksonomi berdasar pada angka dan dicatat kemiripan dalam penghitungannnya dan organisasi taksa berdasar pada kemiripan utama, yang pada umumnya dibuat tentang taksa (seperti pemberian keterangan tentang filogeni, pilihan dari tokoh-tokoh, dan lain-lain) (S neath dan Sokal, 1973). Taksonomi pada umumnya dapat dibuat setelah diketahui taksonnya, di mana takso tidak dapat diketahui sebelum kemiripan-kemiripan di antara jenis-jenis dapat diketahui. Beberapa langkah telah menjadi efek kombinasi dalam metode-
19
metode yang pasti, atau proses yang diulang-ulang untuk kedua kalinya dalam beberapa kelas (Sneath dan Sokal, 1973). Dendogram filogeni dapat dibuat dengan metode koefisien asosiasi. Di mana indeks similaritas ditentukan dengan rumus (Sneath dan Sokal, 1973): IS = m/n X 100%
Dengan : m = jumlah sifat yang berpasangan (++/--) µ = jumlah sifat yang tidak berpasangan (+-/-+) n = m+ µ Is = indeks similaritas Tingkatan persamaan harga-harga koefisien assosiasi ditentukan dengan analisis
klaster.
Pada
metoda
ini
unit
operasional
taksonomi
(OTUs)
dikelompokkan berdasarkan kemiripannya, kemudian disusun dalam suatu dendogram hierarki taksonomi (Pielou, 1984).
20
BAB V PENUTUP Kesimpulan
Adapaun kesimpulan yang dapat dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Lumut merupakan tumbuhan yang termasuk dalam divisio Bryophyta. Tumbuhan ini belum menunjukkan diferensiasi tegas antara organ penyerap hara dan organ fotosintetik namun belum memiliki akar dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini juga belum memiliki pembuluh sejati 2. Cara pengelompokan Bryophyta antara lain uji Ekstraksi, uji Komatografi Lapis Tipis (KLT), Identifikasi Senyawa ( Nuclear Magnetik Resonance), Taksonomi Numerik dan Hubungan Kekerabatan
21
DAFTAR PUSTAKA
Arnold,
2008, Tumbuhan Lumut (Bryophyta), http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://arnold040993.files.word press.com/2009/02/275pxmoss_life_cycle.jpg&imgrefurl=http://arnold0 40993.wordpress.com/2009/02/18/lumutbryophyta/&usg=__h8I0LKp9v XG73_hADy61lazGA=&h=414&w=275&sz=46&hl=id&start=6&um=1 &tbnid=llvqUomor2NbwM:&tbnh=125&tbnw=83&prev=/images%3Fq %3Dsiklus%2Bhidup%2Btumbuhan%2Blumut%26hl%3Did%26sa%3D N%26um%3D1, diakses pada tanggal 17 Juni 2017.
Damayanti, L, 2006, Koleksi Bryopyta Taman Lumut Kebun Raya Cibodas, Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas. Dinda.
2008. Ekstraksi. http :// www. Medicafarma.blogspot.com/2008/11/ekstraksi.html [13 Desember 2008].
Edward I. J, 1991, Dasar-Dasar Kromatografi Cair (Diterjemahkan oleh Kosasih Padma Winata), Penerbit ITB, Bandung. Glime, J. M, 2007, Bryophyte Ecology, Volume 1, Physiological Ecology. Gramedia, Jakarta. Gritter. R., Bobbitt. J dan Schwarting A, 1991, Pengantar Kromatografi (Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata), Penerbit ITB, Bandung. Harborne, J.B, 1987, Metode Fitokimia.(Penerjemah K.Padmawinata dan I, Soediro. Penyunting S.Niksolihin), Penerbit ITB, Bandung. Hasan, M. dan Ariyanti. S, 2004, Mengenal Bryophyta Taman Nasional Gunung Gede Pangrago Volume 1, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangarago, Cibodas. Husna, Z, 2008, Kandungan Kimia Minyak Atsiri Pandanus amaryllifolius Roxb. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/kimia/kandungan-kimia-minyakatsiri-tumbuhan-pandanus-amaryllifolius-roxb, diaksies tanggal 17 Juni 2017. Kops, J, 2008, Musci. www.meemelink.com/prints%20pages/prints.musci.htm, diakses pada tanggal 17 JUni 2017. Lind. J, 2008, Medlemmarnas bilsidor, www. hallandsbotan. org/bildsidor/2008_ oktober.html, diaksese pada tanggal 17 Juni 2017.
22
Muzayyinah, 2005, Keanekaragaman Tumbuhan Berpembuluh. Surakarta, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret. Pramono, S. 1988, Identifikasi Kandungan Kimia Tanaman Obat Melalui Pendekatan Kemotaksonomi Kaempferia galanga L [Laporan], Lembaga Penelitian UGM, Yogyakarta. Rakhmawati, R. 2006, Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Bioaktif Daun Laban (Vitex pubescens Vahl.) Asal Kawasan Hutan Kalimantan Barat , Tesis, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rohman, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Setyawan, A.D, 1996, Kekerabatan Berdasarkan Sifat-Sifat Morfologi, Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri pada Anggota Familia Zingiberaceae, Skripsi, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta. Setyawan, A.D, 1999, Distribusi dan Kemelimpahan Rubus di Gunung Lawu , BioSMART 1 (2): 35-41 Setyawan, A.D, 2002, Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale). Berdasarkan Kandungan Kimia Minyak Atsiri, BioSMART 4 (2) : 4854. Shukla, P. dan S.P. Misra, 1982, An Introduction to Taxonomy of Angiosperms, Vikas Publishing House, PVT.LTD, New Delhi. Sofa.
2008, Taksonomi Tumbuhan Rendah. http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/taksonomi-tumbuhan-rendah, diakses pada tanggal 17 Juni 2017.
Sokal, R.R. dan P.H.A. Sneath, 1963, Principles of Numerical Taxonomy, W.H. Freeman & Co, San Francisco. Stahl,
E. 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi (Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro), Penerbit ITB, Bandung.
Sutarjadi, 1980, Fraxinus griffithi Clark : Penelitian Taksonomi (Terjemahan dari Drugs analysis by Chromatography and Microscopy ), Penerbit ITB, Bandung. Takhtajan, A, 1973, The Chemical Approach to Plant Classification with Special Reference The Higher of Magnoliophyta dalam Nobel Symposia, Medicine and natural Science Chemistry in Botanical Classification, Amliqvist & Wiksell, Uppsula Swedia.
23
Tjitrosoepomo, Gembong, 1986, Taksonomi Tumbuhan Bryophyta. UMG, Yogyakarta. Wibowo, A, 2008, Studi Eksplorasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Biota Laut, http://ferry-atsiri.blogspot.com/2008_04_01_archive.html, diakses pada tanggal 17 Juni 2017. Windadri, F.I, 2004, Pengumpulan Data Taksonomi Lumut (Bryophyta), Dalam Rugayah, Elizabeth A. Widjaja dan Praptiwi (Editor), Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora, Pusat Penelitian BiologiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor :
24