SISTEM EKONOMI MENURUT
ABU UBAID
DISUSUN UNTUK TUGAS MATA KULIAH
PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO
Pengampu : M. Ridho.H, M.E.I.
Disusun Oleh:
Ferdiansyah
NIM : 01011141234
UNIVERSITAS NASIONAL PASIM BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
ιϕκ
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada seluruh umat manusia khususnya
kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini. Shalawat dan
salam semoga senantiasa dikaruniakan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para
Nabi dan Rasul yang telah membawa umat manusia dari kegelapan menuju cahaya
yang terang benderang, dan juga keluarga beliau, sahabat, serta para
pengikutnya yang senantiasa istiqomah menjalankan syariat islam hingga
akhir zaman. Adapun dengan terselesainya Tugas Makalah ini yang berjudul
"SISTEM EKONOMI MENURUT ABU UBAID" dapat penulis selesaikan dengan baik.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah turut membantu terselesainya tugas makalah ini.
Namun saya sebagai penulis makalah ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangannya. Oleh karena itu besar harapan penulis atas kritik dan
saran yang membangun.
Akhir kata, saya berharap semoga tujuan pembuatan makalah ini dapat
tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Semoga juga pembahasan yang penulis
buat ini bermanfaat bagi para pembaca dan mampu menambah wawasan untuk
pengetahuan.
Bogor, 15 Desember 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulis 2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Biografi Abu Ubaid 3
B. Karya Abu Ubaid 4
C. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid 5
C.1. Filosofi Hukum Dari Sisi Ekonomi 5
C.2. Sumber Penerimaan Keuangan Publik 7
C.1.a. Shadaqoh/Zakat 9
C.1.b. Fa'i 10
C.3. Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik 12
C.4. Kepemilikan: Pandangan Kebijakan Perbaikan Pretanian 14
C.4.a. Iqtha' 15
C.4.b. Ihya' al-Mawat 16
C.4.c. Hima(Perlindungan) 17
C.5. Fungsi Uang 18
C.5.a. Fungsi asli 22
C.5.b. Fungsi Turunan 23
C.6. Zakat 24
C.6.a. Hubungan antara Zakat dan Politik 24
C.6.b. Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat 27
C.6.c. Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat 30
C.6.d Pertimbangan Kebutuhan 33
C.7. Ekspor Impor 34
C.7.a. Tidak Adanya Nol Tarif 34
C.7.b Cukai Bahan Makanan pokok 36
C.7.c. Ada Batas Tertentu untuk Cukai 36
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN 38
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perekonomian merupakan salah satu hal yang penting untuk kehidupan
manusia, dan perkembangan ekonomi pun sangat beragam dari zaman
Rasulullah hingga sekarang, pada zaman Rasulullah perekonomian memegang
teguh pada syariat Islam, segala sesuatunya di atur oleh Islam dengan
landasannya adalah Al Qur'an dan As Sunnah yang di pimpin dan di awasi
oleh seorang Kholifah. Pada zaman Daulah Khilafah perekonomian penduduk
hingga Negara sangat sejahtera, makmur dan tentram dalam menjalani
kehidupan, karena hukum-hukum islam benar-benar di tegakkan secara
keseluruhan. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan zaman modern
yang sekarang ini sedang terjadi. Karena, pada masa sekarang ini
perkenomian tidak lagi menggunakan sistem islam melainkan sistem ekonomi
liberal-kapitalis yang dimana pemilik modal-lah yang menjadi
penguasanya, sehingga aturan dan hukum pun tidak benar-benar di tegakkan
karena landasan ekonomi liberal-kapitalis memberikan keleluasaan pada
pemilik modal untuk mengelola barang public dan pelayanan umum
sebagaimana mengelola perusahaan yang bertujuan mengejar dan menumpuk
keuntungan sebanyak-banyaknya dan pemerintah pun tidak boleh ikut campur
dalam urusan tersebut. Hal ini tentu sangat berdampak pada pertumbuhan
perekonomian Negara bahkan masyarakat kecil pun terkena imbasnya. Dengan
adanya hal ini penulis mencoba memberi gambaran bagaimana tentang aturan
Islam dalam perekomonian, sehingga dapat mensejahterakan seluruh tatanan
masyarakatnya, maka penulis mengambil tema
"SISTEM EKONOMI MENURUT ABU UBAID"
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latarbelakang di atas dapat di munculkan
beberapa hal menarik diantaranya bahwa tanpa aturan islam, perekonomian
masyarakat tidak akan pernah sejahtera yang di akibatkan oleh tatanan
ekonomi yang salah dan lebih cenderung individualisme karena faktor
liberalism-kapitalism, dan bagaimana menurut pandangan islam tentang
tatanan ekonomi yang benar dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
C. TUJUAN PENULIS
Tujuan penulis mengenai makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan untuk mengetahui
tentang tatanan ekonomi dalam islam menurut salah satu tokoh islam
yaitu Abu Ubaid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI ABU UBAID
Nama lengkap Abu Ubaid, yang dikenal sebagai bapak ekonomi islam
pertama adalah al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi
al-Baghdadi. dilahirkan pada 154 H di Harrah, Khurasan (disebelah barat
Laut Afghanistan). setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota
kelahirannya karena perkembangan mazhab hanafi, pada usia 20 tahun, Abu
Ubaid pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti kufah, basrah,
dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata
bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Thabit
ibn Nasr ibn Malik, gubernur Thughur pada masa pemerintahan khalifah
Harun al Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi(hakim) di Tarsus
hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis Kitab Al Amwal ini tinggal di
Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H setelah berhaji ia menetap di
Mekkah sampai wafatnya pada tahun 224 H.
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqh
(fuqaha) terkemuka pada masa hidupnya. Selama menjabat qadi di tarsus, ia
sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta
menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukan terhadap
kata-kata dari bahasa Paris ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu
Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam kitab Al-Amwal,
tampaknya pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn
Amr Al-Awza'i, serta ulama suriah lainnya pada masa ia menjadi qadi di
tarsus. Hal ini antara lain dapat ditelusuri dari pengamatan yang
dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer, politik, dan fiscal
yang dihadapi pemerintah daerah tarsus.
Karya Abu Ubaid yang fenomenal adalah, yang dianggap lebih kaya
dibanding Kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal fokus pada
masalah Keuangan Publik (Public Finance) meskipun mayoritas membahas
permasalahan administrasi pemerintahan. Pada masa Abu Ubaid pertanian
adalah sektor terbaik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar dan
sumber utama pendapatan Negara.[[1]]
B. KARYA ABU UBAID
Dalam setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid
membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat
malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu
lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Hasil
karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira'ah, fikih,
syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal
dalam bidang fikih. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya
yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya
dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku
ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari
Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi'in tentang masalah
ekonomi[[2]]. Dalam bukunya tersebut Abu Ubaid tidak hanya mengungkapkan
pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat
oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum,
serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara
komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada
bidang administrasi pemerintahan. kitab ini juga memuat sejarah ekonomi
Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan
tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai
permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip
pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering
mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama
madzhab Syafi'i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[[3]]
C PANDANGAN EKONOMI ABU UBAID
C.1 Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka
akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama.
Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada
kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia
memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik
dan Negara. Jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan
publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti
Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya
sering kali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan
(dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara
alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada
ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak
berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid
berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara
ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan
kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak
ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas Imam dalam memutuskan,
untuk kepentingan publik, seperti membagi tanah taklukan pada para
penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau
lokal adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah
mengungkap alokasi dari khams, ia menyebutkan bahwa imam yang adil
dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila
mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abu Ubaid
dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan
negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa
untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan
untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.[[4]]
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah
dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara
kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern
disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga
memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim yang
lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau
biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat
dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar
serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan
hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek
muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai
ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa
pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di
sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya
secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan
terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta
terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak
merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah Umar ataupun ia
melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya
berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid
mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau
periode tidak dapat dielakkan. Namun, betapapun keberagaman tersebut
terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan
melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.[[5]]
C.2 Sumber Penerimaan Keuangan Publik
Kitab al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian sekitar keuangan
publik (public finance), analisis yang ia titik beratkan adalah pada
praktek yang dilakukan Rasulullah dan Khalifaur Rasyidin, terutama
Umar bin Khattab sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan
publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal. Baitul Mal
setelah perang badar menurut pendapat yang diunggulkan (Qaul Rajih),
karena pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang
(ghanimah) yang banyak dan pada waktu itu tempat penyimpanan kekayaan
negara seperti ghanimah, shadaqah dan fa'i adalah mesjid.
Setelah melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber
penerimaan keuangan publik pun bertambah, seperti kharaj,
'ursy dan khumus. Mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam, namun
yang perlu diketahui bahwa dalam Kitab al-Amwal banyak harta yang
diserahkan kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin.
Pertama adalah fa'i, yaitu berupa harta benda dan tanah yang
mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah
firman Allah dalam surah al-Hasyr : 6, yang artinya:
"Dan apa saja harta rampasan perang (fa'i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu
kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta
pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap
siapa yang dikehendaki-Nya".
Kedua adalah harta shafi yang Rasulullah saw pilih
dari ghanimah yang diberikan kaum muslimin sebelum harta itu
dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah
saw,"Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi".
Ketiga, adalah harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi. Menurut
hadits yang diriwayatkan dari Abi 'Aliyah, ia berkata: "Rasulullah saw
mengumpulkan ghanimah dan beliau dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh
Nabi menempatkannya bagian untuk Ka'bah, bagian untuk Baitullah,
kemudian membagi sisa 1/5, untuk Nabi satu bagian, ahli kerabat satu
bagian, anak yatim satu bagian, orang miskin satu bagian dan ibnu
sabil satu bagian. Abi 'Aliyah berkata yang Nabi jadikan satu bagian
untuk Ka'bah adalah bagian Allah."[[6]]
Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar
bin-Khattab, ada tiga harta yang masuk dalam keuangan publik,
yaitu: shadaqoh, fa'i dan khumus.
a. Shadaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shadaqoh wajib yang disebut zakat harta seperti
zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-
buahan. Di mana dari zakat harta ini dialokasikan untuk delapan
golongan yang Allah sebutkan dalam Al-quran, tidak seorang pun berhak
atas zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap
harta apabila telah mencapai nisab dan haul[[7]] untuk dikeluarkan
zakatnya.
Mengenai shadaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua
Hijriyah, ayat-ayat Al-quran yang berhubungan dengan hal ini seperti:
"…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat ……" (Q.S. Al-Baqarah :
43)
"…… dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka ……" (Q.S. At-Taubah : 103)
"…… dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (hendak
dikeluarkan zakatnya) …… (Q.S. Al- An'am : 141)
Abu Ubaid dalam mendeskripsikan permasalahan sekitar sumber
keuangan publik memang begitu luas dan mendalam. Namun, penulis dalam
hal ini hanya mengutip sebagaian kecil saja dari pemikiran beliau pada
permasalahn sekitar penerimaan keuangan Negara.
Namun yang perlu diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang
disepakati (tidak ada ikhtilaf), yaitu apabila seseorang memiliki
harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor
unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kambing. Konsekuensinya, bila
seseorang memiliki salah satu di atas dari awal haul sampai akhir,
maka ia wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam
Malik dan penduduk Madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal
harta.[[8]]
b. Fa'i
Fa'i menurut bahasa adalah ar-Rujuu' berarti kembali, sedang
menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab
dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu
berakhir, disebut fa'i karena Allah mengembalikan harta tersebut
kepada kaum muslimin. Sedang menurut versi Abu Ubaid adalah sesuatu
yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka,
yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa'i
digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan
umat.[[9]] Bagian-bagian fa'i adalah:
Kharaj
Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah
taklukan kaum muslimin dengan jalan damai yang pemilknya
menawarkan untuk mengolah tanah itu sebagai pengganti sewa tanah
dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah
kharajnya setengah dari hasil produksi.
Jizyah
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh
seorang non-muslim khusunya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan
jiwa, properti, ibadah dan harta merdeka atau budak yang tinggal
di wilayah pemerintahan Islam. Pada masa Rasullah, ketika
memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman
besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah:
1 dinar atau
30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi' [sapi umur 1 tahun]
40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinah
Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5
bila menggunakan biaya.[[10]]
Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu penduduk
Najran yang beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan
hilang setelah masuk Islam. Persamaan antara kharaj dan jizyah
merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan dibelanjakan berdasarkan
penggunaan harta fa'i, perbedaannya jizyah itu atas kepala dan
kharaj atas tanah, jizyah gugur saat masuk Islam, dan kharaj
tidak.
Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi,
rikaz, dan luqathah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan
bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan
itu ghanimah, sesuai dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat 41.
Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui penambangan dan
harta yang terpendam (rikaz). Ketiga, khumus pada harta yang
dipendam hal, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari as'sya'abi
dimana seorang laki-laki menemukan 1000 dinar yang dipendam di
luar kota, kemudian datang kepadanya Umar, dan Umar mengambil 1/5
dari harta itu sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan pada orang
yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum
muslimin. Namun yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan
bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar kepada harta benda yang
dipendam. Pertama, bahwa harta itu diambil khumusnya dan sisanya
diberikan kepada yang menemukannya. Kedua, yang menemukan tidak
diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul
Mal. Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang menemukan
dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.[[11]]
'usyr
Al-'usyr merupakan jama' dari kata 'usyrun yaitu satu bagian
dari sepuluh. Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian,
pertama 'usyr zakat yaitu sesuatu yang diambil pada zakat
tanaman dan buah-buahan (Q.S. Al-An'am : 141).[[12]] Kedua,
'usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang
melintas untuk perniagaan.[[13]]
C.3 Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan memegang erat kaitannya antara
penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk kepentingan publik.
Begitu pula Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal nya begitu jelas dan
transparan dalam membahas masalah keuangan publik terkait sekitar
masalah penerimaan dan pembelanjaan.
Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi orang yang
berhak atas kekayaan publik. Dengan menukil pendapat Umar sebagaimana
diriwayatkan dari Aslam, ia berkata,"Telah berkata Umar ra bahwa tidak
seirang muslim kecuali hak atas harta menerima atau menolak, setelah
itu Umar membacakan surah (al-Hasyr : 7-10) dan berkata Umar: ayat ini
memuat semuanya (manusia) dan tidak tersisa seorang muslim kecuali ia
mendapat hak akan harta itu (harta fa'i). Menurut riwayat Ibnu Syibah
bahwa ketika Umar membentuk dewan membagi para istri Rasulullah saw
yang dinikahi 12.000 dirham, bagian juwairiyah dan shafiyah 6.000
dirham (karena keduanya fa'i dari Allah untuk Rasul-Nya) kaum
muhajirin syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan kaum anshar yang
syahid 4.000 dirham."[[14]]
Selanjutnya, bahwa zakat diambil dari mereka yang kaya dan
dikembalikan kepada mereka yang membutuhkan, yaitu delapan golongan
yang disebut dalam al-Qur'an. Bagaimanpun pendistribusian harta dalam
Islam itu sangat penting dimana Rasulullah telah memberi batasan,
yaitu seseorang yang memikul tanggungan (hidup) kaumnya, seseorang
yang tertimpa musibah besar dan memusnahkan harta bendanya dan
seseorang yang tertimpa kemiskinan.
Abu Ubaid pun mengkhususkan bab tersendiri mengenai persamaan
manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya adalah
komentar Abu Bakar ra, ketika datang kepadanya harta (fa'i/ghanimah)
ia menjadikan (bagian) manusia sama, dan berkata: "Aku menginginkan
terhindar dari meminta-minta dan memurnikan perjuangan (jihad) ku
bersama Rasulullah saw, kelebihan mereka adalah di sisi Allah, adapun
dalam hidup ini persamaan adalah hal yang baik."[[15]]
Dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khumus (khumus
ghanimah, khumus, barang tambang dan rikaz serta khumus lainnya)
adalah ketentuan dari Rasulullah saw dan pendistribusiannya kapan dan
untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah. Karena dana-dana
publik merupakan kekayaan publik, maka dialokasikan untuk
kesejahteraan publik seperti kesejahteraan anak-anak, korban bencana,
santunan dan lainnya.
C.4 Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.[[16]]
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan
kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara
implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari
tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau
diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian,
maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak.
Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur
selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan
dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk
dalam hima (tanah pribadi), pribadi dengan maksud untuk direklamasi
jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang
lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada
saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering
atau rawa-rawa.
Tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang
terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu
meninggalkannya begitu saja. Setelah itu, jika tidak diberdayakan atau
ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air
tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka
untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain. Jadi, menurut
Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput
penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti
pada hima (tanah pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam
kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid
adalah terdiri dari :
a. Iqtha',
Yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang
rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang
lainnya. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa
yang bisa dijadikan iqtha' dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap
daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan
penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala
negara.
Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak
digarap) tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki
orang Islam maupun kafir. Umar ra mengirim surat kepada Abu
Musa,"Jika tanah itu bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku
akan meng-'iqtha tanah itu baginya". Di sini jelas bahwa 'iqtha itu
terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah, jika
keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan
kepada kepala Negara.
Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasulullah meng-'iqtha-
kan tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami
melihat tanah itu pernah Rasulullah 'iqtha-kan kepada kaum Anshar
untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan,
maka Rasullah meng-'iqtha-kan kepada Zubair.
Dari Muhammad bin Ubaidillah as-Tsaqafi keluar, disebutkan
orang Nafi' Abu Abdillah. Ia berkata kepada Umar ra, "Sebelum kami
memiliki tanah di Basrah yang tidak termasuk tanah kharaj dan tidak
merugikan seseorang dari kaum muslimin. Jika engkau memandang perlu
meng-'iqtha-kan, maka aku lakukan, aku hanya mengambil satu petakan
untuk perlu meng-'iqtha-kan, maka lakukanlah, aku hanya mengambil
satu petakan untuk kudaku saja". Lalu Umar menulis surat kepada Abu
Musa al-Asy'ari, "Jika tanah itu seperti yang diceritakan maka
petakanlah baginya."
Dari penjelasan di atas, mengenai 'iqtha hendaknya pemerintah
menurut Abu Ubaid tidak meng-'iqtha tanah kharaj. Alasannya karena
tanah kharaj adalah tanah yang produktif memberikan hasil dan
menambah devisa negara. Dan di sisi lain dengan mempetakan tanah
bukan kharaj dapat memberikan manfaat untuk bagi para pengembalaan
hewan ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi
hewan yang sama pentingnya dengan masalah pertanian.
b. Ihya' al-Mawat
Yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak
terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan
membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali
benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara
berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan
manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
Mengenai ihya al-Mawat ini, Abu Ubaid membagi menjadi tiga
macam:
Seseorang datang ke tanah tersebut lalu mengelola dan
mendiaminya, kemudian datang orang lain yang mempebaharui
tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola
oleh orang sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang itu disebut
al-irrqi al-Zhalim; perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan
ingin memilikinya. Adapun yang berhak atas tanah itu adalah yang
mengelola lebih awal, seperti hadis riwayat Abu Hisyam, Rasullah
saw bersabda, "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka
tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zhalim".
Kepala negara meng-'iqtha-kan kepada seseorang tanah mati dan
tanah itu menjadi milik penerima iqtha', kemudian orang itu
menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan mendiaminya sehingga
datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka
tanah ini tidak ada yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu
Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang
telah memperoleh tanah iqtha' pada masa Rasullah. Kemudian
ditelantarkan sampai pada masa kekhalifahan Umar ra, dan tanah
itu digarap oleh orang lain, dengan berkata: "Kalau bukan 'iqtha
dari Rasullah aku tidak akan memberimu sedikitpun".
Jika seseorang membangun tembok tanah apakah dengan 'iqtha dari
pemerintah atau tidak kemudian meninggalkannya pada waktu yang
lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata: "Pada sebagian
hadist dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang
orang lain utnuk mendiami tempat tersebut". Maka dari
ketentuan Umar ini mengandung arti, jika telah melewati masa
tiga tahun dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang
memutuskan dan dibolehkan bagi kepala Negara untuk menyerahkan
kepala yang lain, yang mampu dan bisa menempatinya.
c. Hima (perlindungan)
Yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara
untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini
adalah tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, namun
dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil yang ada pada tanah
tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah, "Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang
lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput".[[17]] .
C.5 Fungsi Uang.[[18]]
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang –yang tidak mempunyai
nilai intrinsik– sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of
exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).
Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid
terhadap teori ekonomi mengenai yang logam. Ia merujuk pada kegunaan
umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan
komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian
komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal
tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang
yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya.
Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store
of 'value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya
fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum
tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan
pengukuran yang digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban
finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang
juga merupakan ciri khusus dari Kitab al Amwal di antara buku-buku
lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha khalifah Abdul
Malik bin Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang
yang ada dalam sirkulasi.
Penerapannya Saat ini
Ketika pemerintahan kita mengatakan bahwa negara sedang kekurangan
dana. Sepintas penulis berpikir kasar mengapa pemerintah tidak
mencetak uang sebanyak mungkin? Setelah menelaah, ternyata tentu tidak
semudah itu. Inflasi akan menjadi alasan utama masalah ini. Lalu
bagaimana sebenarnya mekanisme penerbitan uang? Kita tahu bahwa
penerbit uang dilakukan oleh Bank Indonesia bukan pemerintah, lalu
bagaimana mengontrolnya?
Kisah penerbitan uang memiliki sejarahnya sendiri. Sebelum sistem
uang sebagai alat tukar menukar ini diberlakukan, kita mengenal sistem
barter. Hanya pertukaran antara barang dengan barang. Asal saling
menguntungkan, transaksi bisa dilakukan. Tak jarang nilai pertukaran
yang terjadi sebenarnya tidak fair namun tetap dilaksanakan karena
urgensi kebutuhan yang harus segera terpenuhi.
Setelah peradaban semakin maju, manusia mulai mengenal emas dan
memanfaatkannya sebagai standar kekayaan. Emas juga kemudian menjadi
alat tukar karena nilainya yang diakui secara global. Emas disini
berupa perhiasan atau produk-produk lainnya hasil buatan dari emas.
Semakin lama orang mulai menyadari perhiasan semacam ini tidak praktis
digunakan dalam transaksi. Dari sini orang mulai berinisiatif membuat
uang. Awalnya uang koin yang juga terbuat dari emas dan nilai nya
bergantung pada nilai emas itu sendiri. Contohnya di Arab yang
mengenal uang dinar. Kemudian untuk membentuk nilai uang dalam ukuran
yang lebih kecil digunakanlah koin yang terbuat dari logam lain,
semisal logam perak yang paling banyak digunakan.
Seiring kemajuan zaman, manusia mulai memikirkan alat tukar yang
lebih praktis. Tidak perlu harus dari emas namun nilainya tetap
berpatokan pada emas. Muncullah uang kertas dan uang koin yang tidak
terbuat dari emas atau perak. Namun uang tersebut dicetak dengan
berpatokan pada nilai emas atau perak. Jadi untuk menerbitkan sejumlah
uang maka penerbit uang harus mengkompensasikannya dengan emas.
Sehingga nilai uang saat itu masih ditopang oleh emas. Satu catatan
yang menarik bahwa selama dunia menggunakan emas dan perak sebagai
mata uang praktis tidak terjadi masalah moneter utamanya terkait
inflasi.
Pada permulaan abad 20, ekonomi dunia semakin bertumbuh. Setiap
negara memiliki mata uangnya masing-masing namun semuanya hampir
seragam berpatokan pada emas. Amerika Serikat yang memiliki industri
paling mapan sekaligus pemenang Perang Dunia menjadi acuan penetapan
nilai tukar mata uang negara-negara di dunia.
Pada tahun 1944, ditahun dimana sistem Bretton Woods mulai
disepakati, tercapai konsensus penetapan 35 dolar Amerika Serikat
setara dengan satu ounce emas. Sehingga jika pemerintah ingin mencetak
35 dolar maka, pemerintah harus menyerahkan 1 troy ounce emas. Nilai
mata uang sebenarnya cukup stabil pada era ini sampai pada tahun 1971
ketika Amerika mengalami masalah finansial yang serius. Saat itu,
Amerika mengalami kekurangan uang karena harus menghadapi perang
dingin, membiayai perang di Vietnam dan mendukung sekutunya Israel di
Timur Tengah. Di tahun itu, harga resmi emas masih 38 dolar per ons.
Karena membutuhkan uang dalam jumlah besar, Presiden Nixon pun
mengambil jalan pintas dengan keluar dari sistem Bretton Woods.
Amerika Serikat pun tak lagi mematok dolarnya dengan emas. Kebijakan
yang juga akhirnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebelumnya kita juga mematok
rupiah dengan emas. Jadi jika ingin menerbitkan sejumlah uang maka
pemerintah harus menyerahkan emas dengan nilai yang setara kepada Bank
Indonesia.
Namun untuk saat ini, negara kita juga tak lagi menjalankan sistem
Bretton Woods dalam penerbitan uangnya. Jadi, nilai rupiah kini tak
lagi ditopang oleh emas. Jika ingin menambah peredaran uang dengan
menerbitkan uang baru, maka pemerintah harus menerbitkan surat utang
yang akan dijual kepada Bank Indonesia. BI akan membeli surat utang
tersebut dengan uang yang baru ia terbitkan. Hanya saja surat utang
tersebut tidak berisi kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan
pengembalian uang kepada BI. Surat utang itu hanya berisi komitmen
bahwa pemerintah dapat menjaga stabilitas ekonomi sebagai akibat dari
penerbitan uang tersebut.
Begitulah kira-kira mekanisme sederhana penerbitan uang baru di
Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Jika kita kaitkan dengan
pemikiran Abu Ubaid tentang masalah uang, dimana ia merujuk pada
kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding
dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan
sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena
dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai
barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang
lainnya. Sangat disayangkan karena untuk saat ini indonesia tidak
menggunakan pemikiran tersebut. Penulis menganggap bahwa ini
menunjukkan betapa masih rapuhnya keadaan ini, terlebih lagi karena
negara kita masih harus mengikuti kebijakan dari Amerika terkait
masalah ini.
Jika membahas masalah fungsi uang, Abu Ubaid mengatakan bahwa uang
memiliki dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik–
sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of exchange). Begitu pula di
Indonesia, mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk
pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan
dengan cara barter. Namun di Indonesia, lebih rincinya uang yang
dibedakan dalam dua kategori fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi
turunan.
a. Fungsi asli
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai
satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
Sebagai Alat Tukar
Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange
yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan
pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup
menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan
pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran
uang.
Sebagai Satuan Hitung
Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account)
karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai
macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya
kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga
dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk
harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk
memperlancar pertukaran.
Sebagai Penyimpan Nilai
Uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena
dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang
ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima
sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang
dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan
membeli barang dan jasa di masa mendatang.
b. Fungsi Turunan
Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang
disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain:
Uang sebagai alat pembayaran yang sah
Kebutuhan manusia akan barang dan jasa yang semakin
bertambah dan beragam tidak dapat dipenuhi melalui cara tukar-
menukar atau barter. Guna mempermudah dalam mendapatkan barang
dan jasa yang diperlukan, manusia memerlukan alat pembayaran
yang dapat diterima semua orang, yaitu uang.
Uang sebagai alat pembayaran utang
Uang dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa
yang akan datang.
Uang sebagai alat penimbun kekayaan
Sebagian orang biasanya tidak menghabiskan semua uang yang
dimilikinya untuk keperluan konsumsi. Ada sebagian uang yang
disisihkan dan ditabung untuk keperluan di masa datang.
Uang sebagai alat pemindah kekayaan
Seseorang yang hendak pindah dari suatu tempat ke tempat
lain dapat memindahkan kekayaannya yang berupa tanah dan
bangunan rumah ke dalam bentuk uang dengan cara menjualnya. Di
tempat yang baru dia dapat membeli rumah yang baru dengan
menggunakan uang hasil penjualan rumah yang lama.
Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi
Apabila nilai uang stabil orang lebih bergairah dalam
melakukan investasi. Dengan adanya kegiatan investasi, kegiatan
ekonomi akan semakin meningkat.
C.6 Zakat
a. Hubungan antara Zakat dan Politik (Kekuasaan)[[19]]
Menurut Ugi (2004), karakter politis zakat adalah karakter yang
menjadikan zakat sebagai institusi keuangan publik. Namun, ia
merupakan institusi keuangan publik yang khas karena ia memiliki
karakter religius. Meskipun pada masa Nabi, kedua karakteristik
zakat itu disatukan, namun setelah Nabi wafat, ada fenomena di mana
keduanya diperlakukan secara terpisah. Adalah peran Abu Bakar yang
menjelaskan kedua karakteristik zakat dan meskipun melalui usahanya
karakteristik religius dan polisi zakat ditetapkan.[[20]]
Masalah apakah zakat dibayarkan kepada pemerintah dan bukan
kepada Nabi, muncul pada masa khalifah Abu Bakar ketika beberapa
kabilah Arab menolak membayarkan zakatnya setelah wafatnya Nabi.
Qardhawi (2004) menyebutkan bahwa alasan mereka menolak membayar
zakat setelah Nabi wafat karena mereka menganggap perjanjian mereka
dengan Nabi tentang kewajiban syahadat, shalat dan zakat telah batal
dengan wafatnya orang yang dalam perjanjian. Hal itu disebabkan
sikap kabilah-kabilah itu bermacam-macam. Di antaranya ada yang
megakui nabi-nabi palsu, ada yang tidak mengakui syariat Islam dan
menghindari kewajiban shalat dan zakat semuanya, ada pula yang
mengakui shalat dan sayriat-syariat Islam lainnya tetapi masih ragu-
ragu menerima zakat. Hal tersebut di atas dikarenakan mereka baru
memeluk Islam dan masih terpengaruh oleh kehidupan badui mereka,
bukan karena belum mengerti zakat. Atas dasar itu, Imam Abu Sulaiman
Khattabi dan lainnya menggolongkan mereka "pembangkang" bukan
"murtad", walaupun mereka juga tidak mengakui zakat itu wajib
setelah Nabi wafat.[[21]]
Ugi (2004) menyebutkan bahwa ketika Umar keberatan dengan
keputusan Abu Bakar, dia tidak berdebat dengan Abu Bakar atas dasar
kekaburan posisi zakat, karena karakter zakat, paling tidak sebagai
institusi keagamaan, telah dipahami oleh mayoritas sahabat selama
masa kehidupan Nabi. Persoalan yang tidak disetujui Umar
sesungguhnya adalah kebijakan Abu Bakar untuk memerangi orang-orang
yang tidak mau membayar zakat. Namun ketika Abu Bakar menjelaskan
pandangannya, ketidaksetujuan Umar sebelumnya, kemudian sirna.
Abu Ubaid (Ugi, 2004) menjelaskan berkaitan dengan pengumpulan
zakat, hak pemerintah untuk melaksanakan kekuatan politisnya,
bagaimanapun juga, hanya terbatas pada bentuk kekayaan yang tampak
(amwal zahiriyah) dan tidak pada kekayaan yang tidak tampak (amwal
batiniyah). Selanjutnya Ugi (2004) menyebutkan bahwa bentuk harta
yang tidak tampak (amwal batiniyah) merupakan jenis harta yang mudah
disembunyikan oleh pemiliknya, yang pada masa Abu Bakar termasuk
uang yakni emas dan perak. Sejauh berkaitan dengan harta yang
tersembunyi, pemerintah tidak memiliki hak politik untuk memaksa
orang membayar jenis kekayaan ini. Karena berkebalikan dengan harta
yang tampak yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis,
harta tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.
Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid berkaitan dengan harta
tersembunyi, tidak ada riwayat apakah Nabi dan Khalifah setelahnya
menerapkan kekuasaan politik terhadapnya atau tidak.
Sunnah telah membedakan antara keduanya. Tidaklah kalian
melihat bahwa Nabi kadang mengirim pengumpu zakat (mushaddiq) ke
(para pemilik) binatang ternak dan mengambil darinya baik dengan
rela (rida) atau terpaksa (kurh). Hal yang sama juga dilakukan oleh
para pemimpin negara setelah beliau. Dan atas dasar ini, Abu Bakar
memerangi mereka yang tidak mau (membayar) zakat binatang ternak.
Tidak ada pentunjuk bahwa Nabi dan khalifah-khalifah setelahnya
memaksa orang membayar zakat uang (sadaqat al-samit). Sebaliknya,
mereka (masyarakat muslim) lebih membayarnya tanpa paksaan,
sebagaimana ia diamanahkan kepada mereka untuk membayarnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami dengan cukup jelas
bahwa zakat memiliki 2 (dua) karakter yang berbeda. Karakter politis
zakat, menjadi alasan pemerintah atau penguasa politik dalam
melakukan upaya untuk menjamin zakat dapat dijalankan dengan baik,
khususnya pada harta yang tampak (amwal zahiriyah). Sedangkan
karakter religius zakat lebih memberikan penekanan kepada kesadaran
dari masing-masing individu muslim untuk membayar zakat dari
hartanya yang tidak tampak (amwal batiniyah).
Pemerintah tidak memiliki otoritas untuk memaksa para muzakki
agar membayar zakat atas segala jenis harta yang tidak tampak (amwal
batihiyah). Abu Bakar dalam hal ini memiliki peran yang sangat
penting dalam menjaga karakter zakat, khususnya karakter politisnya.
Abu Bakar telah mengambil keputusan yang tepat dalam hal memerangi
para pembangkang zakat. Jika Abu Bakar tidak memerangi para
pembangkang zakat, maka karakter politis zakat akan punah, sehingga
zakat hanya dipandang sebagai sebuah kewajiban invidivu dan
penyalurannya dapat dilakukan secara invidivu juga.
b. Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat
Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana pemerintah
bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik
zakat yang pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai
menghilang secara perlahan namun pasti. Pada saat ini, banyak umat
muslim yang tidak membayarkan zakatnya kepada pemerintah atau
pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal tersebut telah
terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman bin Affan
kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat itu,
umat muslim mulai berselisih pendapat perihal pembayaran zakat
kepada pemerintah. Sebagian ada yang tetap membayarkannya kepada
pemerintah dan sebagian lainnya membagikannya sendiri kepada para
mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal halaman 562, Abu Ubaid
meriwayatkan:
عن إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن ابن يسرين قال : كانت الصدقة ترفع أو
تدفع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، أو من أمر به، وإلى أبي بكر أو من
أمر به، أو إلى عمر، أو من أمر به، وإلى عثمان أو من أمر به، فلما قتل
عثمان اختلفوا، فكان منهم من يدفها إليهم، ومنهم من يقسمها وكان ممن
يدفعها اليهم ابن عمر.
Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat)
dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau
utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau
kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar bin Khattab atau
kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya
Umar bin Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman bin
Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya
Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan
diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah
atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap
membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.
Adiwarman (2004) meyebutkan bahwa dalam karyanya Kitab al-
Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara
(pemerintah), yakni fa'i, khums dan shadaqah, termasuk zakat yang
merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan
mendistribusikannya kepada masyarakat.
Ugi (2004) menyebutkan bahwa setelah khalifah keempat, situasi
diperburuk oleh berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah
sekarang tidak memiliki komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu,
berkaitan dengan masalah pembayaran zakat kepada pemerintah, Abu
Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab Al-Amwal dengan
judul "Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan Pendapat di
Kalangan Ulama tentang Masalah ini."
Dalam hal ini Ibn Umar dipandang sebagai rujukan untuk
memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan pada
saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan kepemimpinan
antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu'awiyah
sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam
menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.
Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal
perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang (pembayaran) zakat. Dia
menjawab, "Bayarkan kepada pengumpul zakat ('umal)", tetapi mereka
menjawab "Kadang orang-orang Syam (yakni pendukung Mua'wiyah)
berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni pendukung Ali) berkuasa."
Dia (yakni Ibn Umar) menjawab: "Bayarkan kepada mayoritasnya".
Namun dalam kasus lain, Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid
dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar memberikan jawaban yang berbeda pula
perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Saya berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya:
"Apakah kami harus membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk
untuk kami ('ummalina). Dia (Ibn Umar menjawab: "Ya". Kemudian dia
(orang yang bertanya itu) mengatakan: "Para kolektor yang ditunjuk
untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan: "Ziyad
(bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim
(untuk mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab:
"Jangan membayarkan zakatmu kepada non-Muslim".
Pada awalnya Ibn Umar secara tegas menetapkan bahwa zakat harus
dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di samping hal tersebut
dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah memiliki
kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang
mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu
sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah.
Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan
pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah,
pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim.
Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk
mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada
para petugas non-muslim.
Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada
saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi
keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan
petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang
dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai
institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini
karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan
kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di
pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas
sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya
kepada pihak yang membutuhkannya.
Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi)
kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq) sehingga
dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang mana akan
memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan
hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus,
sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara
individual tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak
terkontrol dan tidak merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan
sulit untuk dicapai.
c. Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, pengelolaan zakat
dilakukan dengan menunjuk seorang utusan yang dipercaya oleh beliau
untuk mengambil zakat pada suatu suku atau daerah tertentu.
Rasulullah SAW pernah mengutus Mu'az bin bin Jabal untuk berdakwah
ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi
(syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu'az
disamping sebagai seorang da'i, dia juga bertugas sebagai seorang
petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.
Abu Ubaid dalam karyanya Kitab Al-Amwal halaman 493,
menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan praktek penarikan zakat
pada masa Rasulullah saw. Abu Ubaid menyebutkan:
حدثنا أبو الأسود عن ابن لهيعة عن خَالد بن يزيد عن يحيى بن عبد الله بن
صيفي عن أبي معبد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ،
حين بعثه إلى اليمن قال إنيى أبعثك إلى أهل كتاب فادعهم إلى شهادة أن
لا إله إلا الله. فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم خمس صلوات في كل
يوم وليلة، فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم صدقة أموالهم . فإن
أقرّوا بذلك فخذ مهم واتق كرائم أموالهم، وإياك ودعوة المظلوم، فإنه ليس
لها دون الله حجاب.
Sedangkan dalam riwayat lain, Abu Ubaid mengutip pada halaman
493:
فأعلم أن الله قد افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.
Dalam hadits yang dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah
saw mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah,
akan tetapi ia (Mu'az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para
penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian
menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).
Kata "تؤخذ " (tu`khadzu) pada hadits di atas berarti "diambil",
hal ini menegaskan kembali bahwasanya zakat itu tidak dibayarkan
akan tetapi diambil dari para muslim yang tergolong wajib zakat
(kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman). Sedangkan pada kata "فترد"
(fa turaddu) yang berarti "lalu dikembalikan", hal tersebut
menerangkan bahwa zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya)
di antara mereka (penduduk Yaman) disalurkan atau didistribusikan
kembali kepada golongan fakir-miskin di antara mereka (penduduk
Yaman) pula.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan
penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada.
Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat
tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas
masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu'az yang
mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian
menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan
pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai
daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah
komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa
penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan
bermasyarakat. Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami
imam terdahulu, yaitu:
Al-Amwal hal. 596:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di
sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa
Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada
Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak
menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika
kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali
menolaknya dan berkata, ?Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor
upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang
kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan
mereka juga. Muadz menjawab, "Kalau saya menjumpai orang miskin di
sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun
kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada
Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz
mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga
dikembalikan Umar. Muadz berkata, ?Saya tidak menjumpai seorang pun
yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut. (Al-Qaradhawi,
1995)
Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana
zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain
dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus)
zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam
mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang
mengalami kekurangan zakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem
dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh
Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu
penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang
mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan
penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara
daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.
d. Pertimbangan Kebutuhan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar
seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju
dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara
delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan
suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi
Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar
seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari
kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid
tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham
(harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang
ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap
bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib
zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap
orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan
sosio-ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu
kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak
terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat,
kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia
mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara
umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut
kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia
secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah
menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang
dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam.[[22]]
C.7 Ekspor Impor
Pemikiran Abu Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada
tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan
internasional, cukai bahan makanan pokok lebih murah, dan ada batas
tertentu untuk dikenakan cukai.
a. Tidak Adanya Nol Tarif
Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan
telah dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa
pengecualian. Sebab, kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang
dagangan impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri
mereka. Dari Abdurrahman bin Maqil, ia berkata, "Saya pernah
bertanya kepada Ziyad bin Hudair, Siapakah yang telah kalian pungut
cukai barang impornya? Ia berkata, "Kami tidak pernah mengenakan
cukai atas Muslim dan Mua-hid. Saya bertanya, Lantas, siapakah orang
yang telah engkau kenakan cukai atasnya? Ia berkata, "Kami
mengenakan cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka
telah memungut barang impor kami apabila kami masuk dan mendatangi
negeri mereka".
Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah,
dimana beliau mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti
Tsaqif, Bahrain, Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah memeluk
agama Islam. Isi surat tersebut adalah "Binatang ternak mereka tidak
boleh diambil dan barang dagangan impor mereka tidak boleh dipungut
cukai atasnya".
Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk surat kepada Adi bin
Arthaah yang isinya adalah "Biarkanlah bayaran fidyah manusia.
Biarkanlah bayaran makan kepada ummat manusia. Hilangkanlah bayaran
cukai barang impor atas ummat manusia. Sebab, ia bukanlah cukai
barang impor. Akan tetapi ia merupakan salah satu bentuk merugikan
orang lain". Sebagaimana firman Allah, "Dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di
bumi dengan berbuat kerusakan." (QS. Hud:85)
Dari uraian di atas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai
merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman
jahiliah. Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan
pengutusan Rasulullah dan agama Islam. Lalu, datanglah kewajiban
membayar zakat sebanyak seperempat dari usyur (2.5%). Dari Ziyad bin
Hudair, ia berkata, "Saya telah dilantik Umar menjadi petugas bea
cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor
dari para pedagang kafir harbi sebanyak usyur (10%), barang impor
pedagang ahli dzimmah sebanyak setengah dari usyur (5%), dan barang
impor pedagang kaum muslimin seperempat dari usyur (2.5%)".
b. Cukai Bahan Makanan Pokok
Untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan pokok,
cukai yang dikenakan bukan 10% tetapi 5% dengan tujuan agar barang
impor berupa makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah sebagai
pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari
ayahnya, ia berkata, "Umar telah memungut cukai dari kalangan
pedagang luar; masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan
bayaran cukai sebanyak setengah dari usyur (5%). Hal ini bertujuan
supaya barang impor terus berdatangan ke negeri madinah. Dan dia
telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak usyur
(10%)".
c. Ada Batas Tertentu untuk Cukai
Yang menarik, tidak semua barang dagangan dipungut cukainya.
Ada batas-batas tertentu dimana kalau kurang dari batas tersebut,
maka cukai tidak akan dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi
(dia adalah petugas cukai di perbatasan Mesir pada saat itu) bahwa
Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya, yang isinya
adalah:
"Barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli zimmah, maka
pu-ngutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua
puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila
kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar
kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila barang
dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau
memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat pembayaran cukai
kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap diberlakukan
sehingga sampai satu tahun".
Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus dirharn
di dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq, Sufyan
telah menggugurkan kewajiban membayar cukai apabila barang impor
ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirharn. Menurut Abu Ubaid,
seratus dirharn inilah ketentuan kadar terendah pengumpulan cukai
atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.[[23]]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa menurut Abu Ubaid fungsi
uang tidak mempunyai nilai intrinsic sebagai standar dari nilai
pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran
(medium of exchange). Ia merujuk pada kegunaan umum dan relative
konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Hal
ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang yang dimana fungsi
uang merupakan sebagai media pertukaran yang sah dan di terima oleh
masyarakat.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid merefleksikan perlunya memelihara dan
mempertahankan hak dan kewajiban masyarakat, menjadikan keadilan sebagai
prinsip utama dalam menjalankan roda kebijakan pemerintah, serta
menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu
Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan
jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah
masyarakat muslim. Abu Ubaid mengatakan bahwa penerimaan negara (fai',
khumus, shadaqah dan zakat) wajib dikelola negara dan mengalokasikannya
kepada masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, DR. Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga
Kontenporer. Jakarta:Gramata Publishing. 2010.
Al Qasim, Abu Ubaid. Kitab al Amwal, Beirut: Dar al Fikr. 1988.
Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM IPB
dalamshariaeconomicforum, 2012.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta:Karim
Business Consulting. 2001.
Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
2004, 2006, 2008.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN Jogja, Ekonomi
Islam, Jakarta: RajaWali Press. 2009.
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz Zakat).
Jakarta:Pustaka Litera AntarNusa. 2004.
Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi
Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan Pertama. Yogyakarta:Pusat Studi Zakat
(PSZ). 2004
Sukarno Wibowo, S.E., M.M dan Dedi Supriadi, M.Ag., Ekonomi Mikro Islam,
Bandung: Pustaka Setia 2013.
-----------------------
[1] Sukarno Wibowo, S.E., M.M dan Dedi Supriadi, M.Ag., Ekonomi Mikro
Islam, hal 104
[2] P3EI dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[3] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004
[4] Ibid. Hal. 273
[5] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 251-253
[6] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam. Kitab al-Amwal. Beirut:t.p., 1989, hal.
19
[7] Ibid. Hal. 20-21.
[8] Ibid. Hal. 414.
[9] Ibid. Hal. 23.
[10] Ibid hal. 31-32.
[11] Ibid. Hal. 353.
[12] Ibid. Hal. 243.
[13] Ibid. Hal. 23.
[14] Ibid. Hal. 237
[15] Ibid. Hal. 277.
[16] Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit. Hal. 255-256
[17] DR. Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa
Klasik Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2010, hal. 152-154
[18] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 279-280
[19] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2006.
[20] Ugi Suharto. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan
Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan Pertama. Pusat Studi Zakat
(PSZ).Yogyakarta.
[21] Yusuf Qardhawi. 2004. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz
Zakat). Pustaka Litera AntarNusa. Jakarta.
[22] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 278-279.
[23] Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM
IPB dalamshariaeconomicforum, 2012.