BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dengan kejadian banyak angka kematian bayi akibat gangguan nafas yang dialami bayi di Indonesia sangat banyak sekali terjadi gangguan nafas pada bayi ini bias terjadi dikarenakan beberapa sebab yaitu obstruksi jalan nafas oleh lender atau susu ,gangguan saraf pusat , gangguan metabolic , dan imunitas pusat pernafasan ,dan masih banyak lagi penyebab gangguan nafas . Kematian bayi akibat gangguan nafas masih belum mendapatkan perawatan yang eksklusif yang pelayanan kesehatannya berada di pedesaan atau pelosok , dikarenakan fasilitas dan tenaga kesehatan yang kurang sehingga mengakibatkan kematian janin yang meningkat . Gangguan nafas ini prognosisnya dalam jangka panjang untuk semua bayi ,beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang baik (perawatan intensif) bayi yang hidup masih mempunyai kepandaian dan keadaan neurologis yang sama di bandingkan dengan bayi yang lahir secara premature dan normal kelaian pada paru dan saraf mungkin disebabkan karena penyakitnya sendiri yang berat atau kurang sempurnanya perawatan diantaranya karena pemberian O2 tinggi secara terus-menerus . Pada bayi premature serangan gangguan nafas dapat terjadi apabila bayi tersebut terkena serangan apnu yang abnormal lebih dari 20 detik serta di sertai adanya sianosis dan brakikardi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sindrom gangguan pernafasan neonatus? 2. Apa tanda dan gejala sindrom gangguan pernafasan neonatus? 3. Apa penyebab sindrom gangguan pernafasan neonatus ? 4. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang pada sindrom gangguan pernafasan neonatus? 5. Bagaimana penanganan pada sindrom gangguan pernafasan neonatus ?
BAB II
1
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sindrom Gangguan Pernafasan Pernafasan Neonatus
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas ( Respiratory Respiratory Distress Syndrome/RDS) Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Penyakit ini menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi prematur dapat disebabkan karena kekurangan surfaktan. Surfaktan dihasilkan oleh sel-sel di dalam alveoli dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan dihasilkan oleh paru-paru yang matang, yaitu pada kehamilan 34-37 minggu. Kekurangan surfaktan ini menyebabkan kegagalan pengembangan kapasitas residu fungsional dan kecenderungan paru-paru untuk mengalami atelektasis, ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi, hipoksemia, hiperkarbia yang dapat menyebabkan asidosis respiratorik. Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperkapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi. RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah pula kejadian RDS atau sindrome gangguan napas. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur). Insidens pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan sering lebih terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan (Nelson, 1999). Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang
2
menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya : Ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.
B.
Tanda dan Gejala Sindrom Gangguan Pernafasan Neonatus
Tanda dan gejala sindrom gangguan pernapasan sering disertai riwayat asfiksia pada waktu lahir atau gawat janin pada akhir kehamilan. Adapun tanda dan gejalanya adalah :
Timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
Pernapasan cepat/hiperkapnea atau dispnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit
C.
Retraksi interkostal, epigastrium atau suprasternal pada inspirasi
Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen
Grunting (terdengar seperti suara rintihan) pada saat ekspirasi
Takikardia yaitu nadi 170 kali/menit
Penyebab Kelainan Sindrom Gangguan Pernafasan Neonatus
Sindrom gangguan pernapasan dapat disebabkan karena :
Obstruksi saluran pernapasan bagian atas (atresia esofagus, atresia koana bilateral)
Kelainan parenkim paru (penyakit membran hialin, perdarahan paru-paru)
Kelainan di luar paru (pneumotoraks, hernia diafragmatika) Terjadinya RDS ( Respiratory Distress Syndrome) dapat disebabkan pula
akibat adanya cedera secara langsung (direct ) maupun tidak langsung (indircect ). Secara langsung, cedera yang terjadi langsung mengenai area paru-paru. Sedangkan secara tidak langsung, cedera terjadi di tempat lain di tubuh dan mediator kimia yang dikeluarkan selama cedera masuk melalui aliran darah ke paru-paru. Secara indirect sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian RDS, insiden sepsis menyebabkan RDS berkisar antara 30-50%. Secara direct, aspirasi dapat menyebabkan teradinya RDS. Aspirasi cairan lambung menduduki tempat
3
kedua sebagai faktor risiko RDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH yang tinggi dapat menyerang langsung epitel pada paru . Faktor resiko terjadinya ALI & ARDS
Di rect I njury
I ndirect I njury
Aspirasi
Sepsis
Menghirup zat toksik
Trauma non torak
Pneumonia
Bypass jantung paru
Luka memar di paru
Pankreatitis yang parah Embolisme Disseminated intravascular coagulation (DIC)
* (Bakowitz et al., 2012; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014; Tabrani, 1996)
D.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sindrom Gangguan Pernafasan Neonatus
1. Riwayat penyakit
Pengkajian terhadap riwayat kehamilan dapat memberikan informasi yang jelas terhadap penyebab timbulnya gangguan.
Pengkajian mengenai riwayat pengobatan dan transfusi.
Pengkajian terhadap faktor risiko.
2. Pemeriksaan fisik
Peningkatan HR & RR serta fase lanjut ditemukan adanya hipotensi dan penurunan CO.
Pasien menangis lemah.
Adanya dyspnea, takipnea, penggunaaan otot tambahan pernapasan yang semakin meningkat dengan keparahan penyakit.
Sianosis akibat hipoksemia.
Ditemukan suaran napas tambahan crackles sebagai perkembangan kondisi gagal napas.
Pada kondisi paling parah dapat terjadi penurunan kesadaran dan multiple organ dysfunction syndrome (MODS) termasuk penurunan
4
keluaran urin (output), melemahnya motilitas lambung, dan gangguan koagulasi. 3. Pemeriksaan diagnostik
Hasil pemeriksaan yang menunjukan kriteria diagnosa RDS yaitu (Urden et al., 2006): 1. Serangan akut, 2. Pada ALI ( Acute Lung Injury) rasio antara tekanan parsial oksigen (PaO2) dengan fraksi inspirasi oksigen (FiO2 ) < 300 mmHg sedangkan pada RDS ( Respiratory Distress Syndome) rasio antara tekanan parsial oksigen (PaO2) dengan fraksi inspirasi oksigen (FiO2 ) < 200 mmHg. 3. Pada pemeriksaan rontgen dada atau radiografi terlihat adanya infiltrat bilateral 4. Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) < 18 mmHg atau tidak adanya indikasi hipertensi atrium kiri
AGD
Tanda
awal (early) : adanya hiperventilasi namun pada
fase awal menunjukkan kondisi alkalosis, hal tersebut karena CO2 yang larut dalam plasma sehingga belum ditemukan kondisi asidosis. Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan ventilasi mekanis, pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring dengan pulse oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.
X-ray
hasil pemeriksaan X-Ray paru pada fase awal masih
terlihat normal, hal ini disebabkan karena perubahan pada paru
5
belum terjadi dalam 24 jam pertama dan pada fase lanjut pada hasil X-Ray ditemukan bilateral infiltrate yang menutupi lapang paru.
Pemeriksaan laboratorium penyebabnya.
hasilnya tergantung dari faktor
Pada RDS disertai infeksi dapat ditemukan
peningkatan sel darah putih. Trombositopenia dapat ditemukan pada
pasien
sepsis
dengan
adanya koagulasi
intravaskular
diseminata (DIC). Hemoglobin (Hb) harus selalu dipantau sebab jika terjadi anemia kandungan oksigen dalam darah menurun sebagai akibat efek pemberian intervensi ventilasi mekanik dan PEEP ( Positive End-Expiratory Pressure).
Bronkoskopi
dapat
dipertimbangkan
untuk
mengevaluasi
kemungkinan infeksi, perdarahan alveolar, atau pneumonia pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral.
Pemeriksaan kultur sputum Intrapulmonary shunt measurement : intrapulmonary shunt ≥ 15 % menandakan
hipoksemia
berat
dan
mengancam
kehidupan.
Pemeriksaan ini dilihat dari rasio PaO2 /FiO2 .
o
300 = normal
o
200 = intrapulmonary shunt (15 – 20 %)
o
< 200 = intrapulmonary shunt > 20 %
Echocardiography (untuk menapis penyebab edema dari edema pulmonal)
Keterangan :
1. FiO2 dan PaO2. FiO2 adalah fraksi atau konsentrasi oksigen dalam udara yang diberikan kepada pasien. Sedangkan PaO2 adalah tekanan parsial oksigen yaitu perbedaan konsentrasi antara oksigen di alveolus dan membran. 2. I:E Ratio Perbandingan antara waktu inspirasi dan ekspirasi. Nilai normal 1:2. 3. Volume Tidal. Jumlah udara yang keluar masuk paru dalam satu kali nafas, atau sama dengan jumlah udara yang diberikan ventilator
6
dalam satu kali nafas. Nilai normal 10 – 15 ml per kgBB untuk dewasa dan 6-8 ml per kgBB untuk anak. 4. Minute Volume. Jumlah udara yang keluar masuk dalam satu menit, atau jumlah udara yang diberikan ventilator dalam satu menit. Nilainya = volume tidal x RR. 5. PEEP dan CPAP. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi digunakan untuk mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah terjadiya kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. 6. Pressure atau Volume Limit. Batas atas tekanan atau volume yang diberikan pada pasien. Volume limit yang terlalu tinggi dapat berakibat trauma paru. *( Bakowitz et al., 2012; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014; Tabrani, 1996)
E.
Klasifikasi Sindrom Gangguan Pernapasan
Sindrom gangguan pernapasan terbagi menjadi tiga yaitu : 1. Gangguan napas berat Dikatakan gangguan napas berat apabila : Frekuensi napas dari 60 kali/menit dengan sianosis sentral dan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi 2. Gangguan napas sedang Dikatakan gangguan napas sedang apabila : Pemeriksaan dengan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi tetapi tanpa sianosis sentral 3. Gangguan napas ringan Dikatakan gangguan napas ringan apabila : Frekuensi napas 60-90 kali/menit tanda tarikan dinding tanpa merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih
7
komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya. CPAP sebaiknya dimulai lebih awal pada bayi dengan RDS. Indikasi memulai CPAP apabila score downes >6 saat lahir. F.
Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surf aktan. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional /kapasitas residu funsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein yang terdiri dari fosfolipid seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan apoprotein (protein surfaktan; PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epithelial alveolar tipe II yang semakin banyak jumlahnya seiring dengan umur kehamilan yang bertambah. Komponen-komponen ini selanjutnya disimpan di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk mengurangi tegangan permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur kehamilan 34 minggu. Surfaktan menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan
atau
ketidakmatangan
fungsi
surfaktan
menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin
sedikit
membuka
alveolinya.
8
Ketidakmampuan
mempertahankan
pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelaktasis sehingga menyebabkan peningkatan gagal napas. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale. Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anareobik. RDS atau sindrom gangguan pernapasan adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan. Perjalanan dari ALI & ARDS dijelaskan dalam 3 fase, yaitu :
E xsudative Phase Fase ini terjadi dalam 72 jam pertama setelah gangguan awal. Mediator kimia akibat injury dilepaskan kedalam kapiler paru yang hasilnya akan meningkatkan permeabilitas membran kapiler, yang mengakibatkan terjadinya shift cairan ke interstitial.
Kerusakan kapiler paru juga menyebabkan
perkembangan mikrotrombi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Cairan yang terus masuk ke dalam interstitial mengakibatkan limfatik tidak mampu untuk memindahkan cairan tersebut yang akibatnya akan semakin meningkatnya edema interstitial. Selanjutnya edema akan menyebabkan penekanan pada alveolus yang cairan akan masuk pula kedalam alveolus, dan terjadilah edema pada alveolus. Edema alveolus menyebabkan pembengkakan pada sel epitel alveolus dan semakin terjadi peningkatan cairan di alveolus. Selanjutnya sel epitel akan mengalami kerusakan dan kemudian akan mengganggu produksi surfaktan.
9
Kerusakan sel epitel dan penurunan produksi surfaktan selanjutnya akan mengakibatkan alveolus kolaps dan terjadi hipoksemia. Peningkatan kerja pernapasan terjadi karena adanya peningkatan resistensi jalan napas, menurunnya
FRC
( Functional
Residual
Capacity)
dan
menurunnya
compliance paru akibat atelektasis dan penekanan pada jalan napas yang selanjutnya membuat pasien kelelahan. Hipertensi pulmonalis dapat terjadi karena kerusakan pada kapiler pulmonalis dan terbentuknya mikrotrombi yang semakin
meningkatkan
“dead
space” pada
alveolus
yang
semakin
memperburuk kondisi hipoksemia serta meningkatkan afterload pada ventrikel kanan yang dapat menurunkan cardiac output (CO)
F ibropoliferative Phase Fase ini dimulai sebagai gangguan penyembuhan di paru-paru. Pada alveolus akan terbentuk jaringan fibrosa. Alveolus akan membesar dan mempunyai bentuk yang tidak teratur karena terbentuknya jaringan parut yang selanjutkan akan menjadi kaku sehinggasemakin meningkatkan hipertensi pulmonalis dan memperparah hipoksemia.
Resolution Phase Fase akhir ALI ini merupakan fase pemulihan yang terjadi selama beberapa minggu. Pada fase ini terjadi perbaikan baik struktur maupun pembuluh darah dalam membentuk kembali fungsi membran kapiler dan alveolus. Struktur fibrotik yang kaku dapat dilihat pada pemeriksaan X-Ray seperti sarang madu (temuan klasik). Struktur ini merupakan bukti bahwa tubuh berusaha melakukan kompensasi. Kondisi patologis ini masih dapat kembali jika kondisi pasien membaik dan penyebabnya teratasi.Pasien pada kondisi ini membutuhkan support ventilasi jangka panjang sampai kerusakan paru teratasi. Pada fase ini baru ditemukan adanya peningkatan PCO2 yang memperlihatkan kondisi asidosis (Laycock & Rajah, 2010; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014).
G.
Penanganan pada Sindrom Ganguan Pernapasan
10
Bidan sebagai tenaga medis di lini terdepan diharapkan peka terhadap pertolongan persalinan sehingga dapat mencapai well born baby dan well health mother yang dapat dilakukan melalui tindakan diantaranya :
Melakukan pengawasan selama hamil Resiko terjadinya sindroma gawat pernafasan bisa dikurangi jika persalinan bisa ditunda sampai paru-paru bayi telah mampu menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai. Obat-obatan golongan tokolitik dapat diberikan untuk menekan kontraksi uterus, seperti β agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor, magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin. Jika kemungkinan akan terjadi persalinan prematur, maka dilakukan amniosentesis untuk mengetahui kadar surfaktan (pengukuran rasio lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function). Jika diperkirakan bahwa paru-paru bayi belum matang dan persalinan tidak dapat ditunda, maka diberikan kortikosteroid kepada ibu minimal 24 jam sebelum waktu perkiraan persalinan. Kortikosteroid akan melewati plasenta dan merangsang pembentukan surfaktan oleh paru-paru janin.
Melakukan perawatan Ibu dan janin baru lahir Setelah persalinan, kepada bayi yang menderita sindroma ringan hanya perlu diberikan oksigen. Pada sindroma yang lebih berat mungkin perlu didukung oleh ventilator dan obat surfaktan. Obat surfaktan sangat menyerupai surfaktan yang asli dan dapat diteteskan langsung ke dalam trakea bayi melalui suatu selang. Obat ini bisa memperbaiki angka kelangsungan hidup bayi dengan cara mengurangi beratnya sindroma dan resiko terjadinya komplikasi. Pengobatan bisa dilanjutkan selama beberapa hari sampai bayi mulai menghasilkan surfaktan sendiri.
Berdasarkan kriteria nilai APGAR maka perawat dapat melakukan penilaian untuk mengambil tindakan yang tepat diantaranya melakukan rujukan medik sehingga keselamatan bayi dapat ditingkatkan. Penatalaksanaan RDS atau Sindrom gangguan napas adalah sebagai berikut :
11
Bersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap lendir dan kasa steril
Pertahankan suhu tubuh bayi dengan membungkus bayi dengan kaki hangat
Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi agar bayi dapat bernafas dengan optimal
Apabila terjadi apneu lakukan nafas buatan dari mulut ke mulut (menggunakan mouth barrier )
Longgarkan pakaian bayi
Beri penjelasan pada keluarga bahwa bayi harus dirujuk ke rumah sakit
Bayi rujuk segera ke rumah sakit
Penatalaksanaan medik maka tindakan yang perlu dilakukan adalah sebagsai berikut :
Memberikan lingkungan yang optimal
Pemberian oksigen, tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis menghilang
Pemberian cairan dan elektrolit (glukosa 5% atau 10%) disesuaikan dengan berat badan (60-125
ml/kgBB/hari)
sangat
diperlukan
untuk
mempertahankan
homeostatis dan menghindarkan dehidrasi
Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder
Pemberian surfaktan sintetik, diberikan melalui sisi pada tube endotracheal dalam 2x suntikan bolus, contoh: Exosurf, Infasurf, Alveofact.
Pemberian obat golongan narkotik/benzodiazepine untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan pada bayi. Contoh: Lorazepam, Fentanyl.
Obat penenang ( sedatives) diberikan karena pasien akan memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka waktu yang lama.
Pemberian obat sodium bicarbonat untuk mengatasi metabolic acidosis.
Pemberian obat golongan diuretik untuk mengurangi edema, namun perlu mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.
12
Pengobatan hanya ditujukan untuk tindakan pencegahan kondisi yang lebih parah dan mengatasi masalah yang mengancam kehidupan.
Ventilasi mekanis Tujuan pemberian terapi ini adalah memberikan dukungan ventilasi sampai integritas membran alveolokapiler kembali baik serta memelihara ventilasi adekuat dan oksigenasi selama periode kritis hipoksemia berat. Untuk membantu mengembalikan atau mencegah atelektasis, volume tidal yang dianjurkan adala 10-15 ml/kg diberikan dengan hari-hati sehingga tidak mengganggu sirkulasi secara keseluruhan.
Terapi oksigen Setelah dilakukan intubasi pasien diberikan 100% oksigen sampai keadaannya menjadi stabil dan kemudian kadar oksigen diturunkan untuk mencegah teerjadinya intoksikasi oksigen.
Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) Fungsi
penambahan
PEEP
adalah
untuk
mencegah
dan
mempertahankan alveoli kolaps pada akhir ekspirasi dan membantu perbaikan oksigenasi. Awasi potensial efek jantung karena PEEP, penambahan dan penurunan jumlah harus diatasi pada kenaikan dan penurunan 3 sampai 5 cm H2 O dan selalu pantau tekanan darah serta catat sebelum dan sesudah tiap perubahan. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi digunakan untuk mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah terjadiya kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. Nilai antara 5-15 mmHg, maksimal 12 mmHg untuk anak. Continuous positive airway pressure (CPAP) identik dengan PEEP, yaitu pemberian tekanan positif pada saluran nafas selama siklus pernafasan. Merupakan alat yang mempertahankan tekanan positif pada jalan napas neonatus saat pernapasan spontan
Nutrisi
13
o
Katabolisme protein penurunan albumin
memperburuk
sirkulasi
dan imunitas. o
Protein, karbohidrat, dan lemak diberikan sesuai dengan kebutuhan metabolik.
o
Pasien dengan ALI & ARDS biasanya membutuhkan 35 – 45 kcal/kgBB/hari.
o
Cairan tinggi karbohidrat sebaiknya dihindari untuk mencegah peningkatan jumlah CO2 .
o
Intervensi :
-
Berikan nutrisi enteral, pertimbangkan pemasangan small bowel feeding tube (untuk mengatasi gangguan motilitas)
-
Konsul dengan ahli gizi
-
Monitor albumin, kolesterol, trigliserida, dan glukosa
Pertahankan pengawasan terhadap komplikasi
Encephalopathy
Disritmia jantung
Tromboemboli vena
Perdarahan gastrointestinal
Atelectrauma
Volutrauma
Barotrauma
Oxygen toxicity
Atur posisi senyaman mungkin Positioning
perubahan posisi berkala
mencegah atelaktasis dan
memfasilitasi pengeluaran secret. Selain itu, sejumlah studi telah menunjukkan bahwa prone positioning pada pasien dengan diagnosa RDS dapat
membantu
meningkatkan
oksigenasi
yang
tentunya
akan
meningkatkan pula perfusi ke bagian paru-paru yang memiliki kerusakan, dapat meningkatkan V/Q match, dan menurunkan
intrapulmonary
shunting . Prone positioning lebih efektif jika dimulai pada fase awal pada RDS.
14
*(Bakowitz et al., 2012; Laycock & Rajah, 2010; Martin, 2011; Susanto& Sari; 2012; Urden et al., 2010; Urden et al., 2014).
H.
Cara Mencegah Terjadinya Sindrom Gangguan Pernapasan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belu sempurna. Maturasi paru dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik (Gluck, 1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan sfigomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi yang akan lahir tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari tiga berati paru-paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin. Pemberian kortikosteroid dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas. Untuk mencegah sindrom gangguan pernapasan juga dapat dilakukan dengan segera melakukan resusitasi pada bayi baru lahir, apabila bayi :
I.
Tidak bernapas sama sekali/bernapas dengan mengap-mengap
Bernapas kurang dari 20 kali/menit
Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kekauan alveolus ditandai dengan adanya jaringan fibrosis pada pemeriksaan X-ray, dyspnea, takipnea, dan crackles pada saat auskultasi.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik atau kurangnya nutrisi eksogen.
Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret dan penurunan pergerakan silia.
15
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan difusi, peningkatan sekresi, penurunan kemampuan oksigenasi yang adekuat atau kelelahan.
Kecemasan berhubungan dengan penyakit kritis dan permanent disability.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penggunaan alat monitoring invasif.
Gangguan koping keluarga berhubungan dengan penyakit kritis pada anggota keluarga. *(Urden et al., 2010; Urden et al., 2014)
J.
Intervensi Keperawatan
a. Optimalisasi oksigenasi dan ventilasi : posisikan pasien ( prone positioning ), mencegah desaturasi, dan tingkatkan batuk efektif b. Managemen kolaborasi
Mengelola terapi oksigen
Intubasi pasien
Menggunakan ventilasi mekanis
Menggunakan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP)
Pemberian obat
-
bronkodilator
-
obat penenang
-
analgesik
-
neuromuscular blocking agen
Memaksimalkan cardiac output (CO) -
preload
-
afterload
-
kontraktilitas
Posisikan pasien pada posisi prrone
Lakukan suctioning hanya jika diperlukan
Berikan istirahat dan waktu pemulihan yang memadai antar prosedur
16
Berikan nutrisi adekuat
Pertahankan pengawasan untuk komplikasi
Encephalopathy
Disritmia jantung
Tromboemboli vena
Perdarahan gastrointestinal
Atelektrauma
Oxygen toxicity
c. Kenyamanan dan dukungan
17
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas ( Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Penyakit ini menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi prematur dapat disebabkan karena kekurangan surfaktan. Surfaktan dihasilkan oleh sel-sel di dalam alveoli dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan dihasilkan oleh paru-paru yang matang, yaitu pada kehamilan 34-37 minggu. Kekurangan surfaktan ini menyebabkan kegagalan pengembangan kapasitas residu fungsional dan kecenderungan paru-paru untuk mengalami atelektasis, ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi, hipoksemia, hiperkarbia yang dapat menyebabkan asidosis respiratorik. Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperkapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi. RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah pula kejadian RDS atau sindrome gangguan napas.
B.
Saran
Saran yang dapat kami sampaikan bagi pembaca adalah diharapkan : 1.
Memberikan perawatan yang ekstensif pada bayi yang mendrita gangguan pernafasan
18
2.
Mengawasi dengan teliti bayi yang mengidap gejala-gejala gangguan nafas dengan cara mengukur frekuensi pernafasan dan nadi bayi yang di nilai secara teratur
3.
Pemberian O2 dengan cepat dan tepat dengan gejala yang ditimbulkan pada bayi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Bakowitz, M., Bruns, B., McCunn. 2012. Acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome in the injured patient . Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. Crofton, S.J.,and Douglas, A. Respiratory Diseases, 3rd ed, P.G. Publishing Pte Ltd, 1983, 403-405. Deslidel, dkk. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Flaschen, J.H. “ Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS)”, in Fishman, A.P. (ed), Pulmonary Disease and Disorders, 2nd ed, Companion Handbook, MeGraw-Hill, New York, 1993, 419-430. Kosim Soleh, dkk. 2005. Panduan Manejemen Bayi Baru Lahir Untuk Dokter, Perawat, Bidan di Rumah Sakit dan Rujukan Dasar . Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Laycock, H., Rajah, A. 2010. Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress Syndrome: A Review Article. British Journal of Medical Practitioners. Martin, GS. 2011. Fluid management in acute lung injury and ARDS. Netherlands Journal of Critical Care. Nelson Waldoe. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume I. Jakarta: EGC. Petty, T.L. “The Adult Respiratory Distress Syndrome”, in Fenley, D.C., and Lane, D.J. (ed), Medicine, Respiratory Disorders, Published by Medical Education, Ltd, 1980, 738-740. Rab, Tabrani. 1996. Prinsip Gawat Paru, edisi 2. Jakarta : EGC. Shapiro, B.A. Management of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), in Kacmarek, R.M, and Stoller, J.K. (ed), B.C. Decker Inc, Toronto, 1988, 301-304. Surasmi Astrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Susanto, Y. S., Sari, F. R. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Moewardi, Surakarta. Urden, L. D., Stacy, K. M., Lough, M.E. 2010. Critical Care Nursing: Diagnosis and Management. Elsevier.
20
Urden, L. D., Stacy, K. M., Lough, M.E. 2014. Critical Care Nursing: Diagnosis and Management. Elsevier. Wahyuni Sari. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
21