MAKALAH PENGAWASAN MUTU DAN UNDANG-UNDANG PANGAN
Undang-undang pangan no. 18 tahun 2012 Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengawasan Mutu dan Undangundang Pangan
Oleh Kelompok 2 Qisthy Adillah
240210120006
Mashita Andhani
240210120012
Fineri Dwi Tami
240210120017
Tania Amalina A
240210120024
Hilmi Harosilia
240210120030
Hafizha M Putri
240210120037
Vania Deborauli S
240210120044
Florin Kosalim
240210120050
Syeira Afuza
240210120057
Desrizal Ahmad
240210120064
UNIVERSITAS PADJAJARAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN JATINANGOR 2014
BAB I PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari - hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari - hari. Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan dan keamanan pasokan pangan bagi Indonesia yang antara lain dapat dicapainya swasembada pangan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai. Selain itu ketahanan pangan dapat dicirikan juga dengan berkurangnya ketergantungan terhadap impor. Berbagai kebijakan pangan telah diupayakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Namun, kebijakan tersebut belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya rakyat kecil seperti petani, dan lain-lain. Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk member perlindungan kepada konsumen dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, dan telah diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hokum yang berlaku (FAO/WHO, 2003). Menurut UU No 7 tahun 1996 pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah : 1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;
2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan 3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
BAB II ISI 2.1
Pasal 67 – 76 ; Keamanan Pangan
2.1.1
Pasal 67 – 69 UU No. 18 Tahun 2012 Pasal ini berkaitan dengan kemanan pangan. Pasal ini berisi tentang tujuan
adanya keamanan pangan dan definisi keamanan pangan menurut UndangUndang. Berikut adalah isi dari pasal tersebut : 1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. 2) Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan adalah sebuah tanggung jawab yang mengikat semua pihak, dari petani hingga konsumen yang menyiapkan makanan. Jika tanggung jawab ini diabaikan maka resiko yang akan dihadapi adalah keracunan yang dapat menyebabkan kematian (Dwiari, 2008). Bahaya kemanan pangan, seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut, terdiri dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Menurut Dewanti dan Hariyadi (2011), yang termasuk ke dalam cemaran biologis adalah virus, bakteri, protozoa, dan parasit; cemaran kimia termasuk mikotoksin yang berasal dari kapang, pestisida yang menempel pada bahan pangan, dan bahan kimia terlarut yang dilarang digunakan dalam bahan pangan; sedangkan yang termasuk dalam cemaran benda lain yang dapat mengganggu berarti benda asing seperti kaca, kayu, batu, logam, serangga, tulang, plastik, dan lainnya. Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 18 Tahun 2012 masih berkaitan dengan kemanan pangan, dimana kedua pasal tersebut berisi tentang bagaimana penyelenggaraan keamanan pangan menurut Undang-Undang. Berikut adalah isi dari Pasal 68 : 1) Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
menjamin
terwujudnya
penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan. 3) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan. 5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). Berikut adalah isi dari Pasal 69 : Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui : a. b. c. d. e. f. g.
Sanitasi Pangan; Pengaturan terhadap bahan tambahan pangan; Pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik; Pengaturan terhadap Iradiasi Pangan; Pengaturan standar Kemasan Pangan; Pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan Jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. Pasal 68 menyebutkan bahwa dalam penerapan keamanan pangan harus
diawasi oleh pemerintah terkait, dan penerapan ini berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Penerapan keamanan pangan di industri pangan Indonesia dilakukan sesuai dengan poin-poin yang telah disebutkan dalam Pasal 69 UU No.18 Tahun 2012, dimana setiap poin dalam Pasal 69 akan dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya.
2.1.2
Pasal 70 – 72 UU No. 18 Tahun 2012 Pasal ini berisi tentang poin (a) dalam Pasal 69, yaitu tentang Sanitasi
Pangan. Pasal ini menyebutkan tentang tujuan adanya sanitasi pangan dan penerapan sanitasi pangan tersebut. Berikut adalah isi dari Pasal 70 : 1) Sanitasi Pangan dilakukan agar Pangan aman untuk dikonsumsi.
2) Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan. 3) Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan standar Keamanan Pangan. Menurut Sofiah dan Sukarminah (2011), pengertian sanitasi dalam industri pangan mencakup kebiasaan, sikap hidup dan tindak aseptik dan bersih terhadap benda termasuk manusia yang akan kontak langsung dan tidak langsung dengan produk pangan. Keadaan aseptik yaitu kondisi yang tidak menghendaki adanya mikroba, sedangkan keadaan bersih yaitu kondisi tidak adanya kotoran. Proses produksi pangan secara garis besar meliputi tahapan pencucian, perlakuan pendahuluan (pengupasan, pemotongan, perendaman, dan lainnya), perlakuan lanjutan (pengeringan, pembekuan, pengalengan, dan lainnya), dan pengemasan. Tahapan sanitasi pangan dalam setiap proses produksi pangan dapat dilakukan dengan sanitasi terhadap ruangan dan lingkungan produksi, peralatan pengolahan, bahan baku, air, dan pekerja yang menangani produksi pangan tersebut. Salah satu tindakan dalam melakukan sanitasi pangan adalah dengan menggunakan alat-alat yang telah dibersihkan dengan desinfektan, air yang digunakan bebas dari mikroorganisme, pekerja yang menggunakan kelengkapan seperti sarung tangan, penutup rambut dan baju yang bersih agar mikroorganisme dari pekerja tidak mencemari pangan tersebut. Sama halnya dalam penyimpanan pangan, tahapan sanitasi diterapkan dengan memperhatikan kebersihan dari kemasan yang digunakan untuk menyimpan pangan, kebersihan ruangan tempat penyimpanan pangan tersebut. Hal ini juga berlaku dalam pengangkutan dan peredaran pangan, yang pada intinya adalah agar pangan tersebut tetap terjaga kualitasnya dan bebas dari mikroorganisme kontaminan. Pasal 71 – 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang peraturan terhadap penyelenggara sanitasi pangan dan sanksi yang dikenakan jika peraturan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan Undang-Undang. Berikut adalah isi dari Pasal 71 : 1) Setiap Orang yang terlibat dalam rantai Pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada Pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan sehingga Keamanan Pangan terjamin.
2) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan wajib: a. memenuhi Persyaratan Sanitasi; dan b. menjamin Keamanan Pangan dan/atau keselamatan manusia. 3) Ketentuan mengenai Persyaratan Sanitasi dan jaminan Keamanan Pangan dan/atau keselamatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berikut adalah isi dari Pasal 72 : 1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif. 2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Denda; b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. Penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. Ganti rugi; dan/atau e. Pencabutan izin. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2.1.3
Pasal 73 – 76 UU No. 18 Tahun 2012 Pasal 73 dan Pasal 74 berkaitan dengan pengaturan bahan tambahan
pangan yang digunakan dalam proses produksi pangan. Pasal 73 berisi tentang definisi dari bahan tambahan pangan, yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi dan/atau bentuk pangan. Beberapa jenis bahan tambahan pangan adalah sebagai berikut (Dwiari, 2008) :
Pemanis buatan sakarin, siklamat. Pengatur keasaman asam sitrat, asam malat. Pewarna pewarna alami dan pewarna sintetik. Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa Monosodium glutamat. Pengawet asam sorbat, asam benzoat. Antioksidan BHA (butilhidroksianisol) Antikempal, dan lainnya. Bahan tambahan pangan dalam penggunaannya harus diperhatikan, oleh
karena itu, dalam Pasal 74 disebutkan sebagai berikut :
1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan. 2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. Bahan tambahan pangan hanya dibenarkan penggunaannya jika diperlukan untuk mempertahankan nilai gizi makanan, mempertahankan mutu atau kestabilan makanan, untuk keperluan proses produksi makanan dan membuat makanan menjadi lebih menarik. Bahan tambahan pangan tidak dibenarkan jika digunakan untuk maksud menyembunyikan cara pengolahan yang tidak baik, menipu konsumen dengan memberi kesan baik pada makanan yang dibuat dari bahan yang kurang baik mutunya, dan mengakibatkan penurunan nilai gizi pada makanan (Dwiari, 2008). Oleh karena itu, penggunaan bahan tambahan pangan diatur dalam Pasal 75 sebagai berikut : 1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan : a. Bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; dan/atau b. Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan. 2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 76 berisi tentang sanksi yang dikenakan kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan tentang bahan tambahan pangan tersebut : 1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. Denda; b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. Penarikan pangan dari peredaran oleh produsen; d. Ganti rugi; dan/atau e. Pencabutan izin.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2.2
Pasal 86-94 ; Jaminan Keamanan dan Mutu Pangan Jaminan mutu adalah seluruh perencanaan dan kegiatan sistematik yang
diperlukan untuk memberikan suatu keyakinan yang memadai bahwa suatu barang/jasa akan memenuhi persyaratan mutu. Pada pasal 86 berisi tentang penetapan standar keamanan pangan dan mutu pangan yang dibuat oleh pemerintah. Setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan melalui penerapan system jaminan keamanan pangan dan mutu pangan. Pemerintah dan/atau lembaga akan memberikan sertifikat kepada pengusaha yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis pangan dan/atau skala usaha yang dibuat. Ketentuan mengenai standar keamanan pangan dan mutu pangan sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Pada pasal 87 berisi tentang sebelum pangan diedarkan ke konsumen, Pemerintah mengharuskan produsen untuk menguji produknya di laboratorium yang sudah ditunjuk oleh dan/atau yang memperoleh akreditasi dari Pemerintah. Pengujian tersebut untuk mengetahui apakah pangan tersebut mengandung zat berbahaya atau tidak. Ketentuan mengenai persyaratan pengujian laboratorium sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada pasal 88 berisi tentang petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku pangan di bidang pangan segar harus memenuhi persyaratan keamanan pangan dan mutu pangan segar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha pangan segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal keamanan pangan dan mutu pangan dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis pangan segar serta jenis dan/atau skala usaha dan ketentuan ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintahan. Pada pasal 89 berisi tentang setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang
tercantum dalam label kemasan pangan. Ketidaksesuaian isi produk dengan label kemasannya dapat dinamakan penipuan konsumen. Pada pasal 90 berisi tentang setiap orang dilarang mengedarkan pangan tercemar berupa mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan, mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai, diproduksi dengan cara yang dilarang dan/atau sudah kadaluwarsa. Larangan-larang tersebut dibuat agar tidak membahayakan konsumen ketika mengkonsumsi pangan tersebut. Pada pasal 91 berisi tentang setiap pangan olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, pelaku usaha pangan wajib memiliki izin edar dikecualikan terhadap pangan olahan tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Pada pasal 92 berisi tentang perlakuan pengawasan dan pencegahan secara berkala terhadap kadar atau kandungan cemaran pada pangan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Pengawasan tersebut dilakukan agar konsumen tidak tertipu dan sakit. Pengawasan tersebut sudah ada dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 93 berisi tentang setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan. Pada pasal 94 berisi tentang terkena sanksi akibat melanggar pemenuhan standar mutu pangan, label kemasan pangan, pangan tercemar, dan impor pangan. Sanksi yang diberikan pada pelanggaran diatas yaitu berupa sanksi administratif. Sanksi administratif berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau pengedaran, penarikan pangan dari peredaran oleh produsen, ganti rugi dan/atau pencabutan izin. 2.3
Pasal 108 ; Pengawasan Pangan Oleh Lembaga Pemerintah Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah untuk memberi perlindungan kepada konsumen
dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, serta telah diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hukum yang berlaku. Berdasarkan UU no.18 tahun 2012 pasal 108 ayat 2, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi ketersedian makanan pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Akan tetapi, masih terdapat masyarakat di Indonesia yang sulit untuk mendapatkan makanan pokok. Kesulitan untuk mendapatkan makanan pokok umumnya disebabkan oleh masalah ekonomi sehingga masyarakat tidak mampu untuk membeli makanan pokok tersebut. Masyarakat
yang
tidak
mampu
untuk
membeli
makanan
pokok
menyiasatinya dengan mengganti makanan pokok tersebut dengan bahan pangan lain. Contohnya, umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, akan tetapi bagi masyarakat yang tidak mampu membeli beras akan mengganti beras tersebut dengan singkong. Kandungan gizi pada beras berbeda dengan kandungan gizi pada singkong. Perbedaan kandungan gizi tersebut akan berdamapk pada kecukupan gizi yang diperoleh masyarakat. Pemerintah telah mengadakan program Beras Miskin (Raskin) bagi masyarakat yang tidak mampu membeli beras. Pada kenyataannya, kualitas beras Raskin tersebut berbeda dengan kualitas beras yang berada di pasaran. Kualitas beras Raskin dapat dikatakan lebih buruk daripada beras biasa. Perbedaan kualitas tersebut tidak sesuai dengan UU no.18 tahun 2012 pasal 108 ayat 2, dimana pemerintah harus memenuhi persyaratan mutu pangan. Oleh karena itu, pemerintah sehasrusnya dapat menyediakan beras Raskin dengan mutu yang baik. Indonesia dapat dikatakan menganut sistem Multiple Agency System (sistem berbagai
lembaga)
dalam
pengorganisasian
pengawasan
mutu
pangan.
Pengawasan dilakukan secara sektoral dan terpecah-pecah oleh lembaga-lembaga nasional, provinsi, dan daerah/lokal seperti Departemen Kesehatan (Depkes), Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Deperin), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Pemerintah Daerah (Pemda).
Undang-undang nomor 18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 3 menyatakan pelaku pengawasan terhadap pangan olahan dan pangan segar dibedakan. Pengawasan terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan olahan dilakukan oleh lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan segar dilakukan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan. Multiple Agency System ini memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari sistem ini antara lain: a. Ketidakjelasan tentang ranah wewenang lembaga pengawas, sehingga dapat menimbulkan kebingungan dan kinerja yang tidak efisisen. b. Perbedaan tingkat keahlian dan sumber daya yang dapat menimbulkan perbedaan implementasi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pengawasan. c. Tidak konsinstennya lembaga pengawasdan dapat menimbulkan pengaturan yang berlebihan (over regulation) dan duplikasi pengaturan. Kekurangan dari multiple agency system tersebut dapat menyebabkan penurunan keyakinan konsumen akan kredibilitas sistem yang ada. Lembaga pemerintah juga berkewajiban unuk mengadakan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap proses produksi pangan sampai produk tersebut diterima oleh konsumen. Hal ini juga diatur dalam UU no. 18 tahun 2012 pasal 108 ayat 4. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat produsenprodusen yang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelanggaran tersebut dapat disebabkan oleh lembaga pemerintah yang belum maksimal dalam melaksanakan tugas pengawasannya yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Seharusnya lembaga pengawasan pemerintah dapat melakasanakan tugasnya dengan baik, sehingga produk pangan yang diterima oleh masyarakat aman untuk dikonsumsi. 2.4
Studi Kasus Zat Kimia masih Ditemukan dalam Makanan Anak MASALAH keracunan makanan tampaknya sudah langganan di Indonesia.
Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya pun cukup
tinggi. Dan, dari seluruh kasus keracunan makanan yang ada, semua bersumber pada pengolahan makanan tidak higienis. Ironisnya makanan tidak higienis ini banyak dijual di kantin sekolah. Masalah keamanan pangan, menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Sampurno, menjadi isu strategis saat ini. "Industri rumah tangga di bidang pangan (IRTP) berjumlah lebih dari 500 ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, pada saat yang sama IRTP juga mempunyai potensi kerawanan keamanan pangan terutama dalam kebersihan sarana, pemilihan bahan, proses pengolahan, dan monitoring mutu produk di peredaran," jelasnya. Demikian juga makanan jajanan (street food) dan jajanan anak sekolah, kata Sampurno, perlu mendapat perhatian serius dan konsisten dari semua pihak. "Terutama adanya fenomena penggunaan bahan-bahan kimia yang dilarang dalam makanan. Perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif kepada IRTP dan pembuat makanan jajanan terhadap pemasok bahan kimia." Menurutnya, sumber terbesar keracunan makanan yang terjadi di Indonesia berada pada usaha jasa boga atau katering untuk karyawan maupun jajanan anak sekolah. "Pembinaan dan pengawasan usaha jasa boga dan jajanan anak sekolah ini ada pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Meski demikian, lanjutnya, Badan POM tetap melakukan proaktif menjalin kerja sama dengan mitra terkait. "Berdasarkan hasil pengujian laboratorium Badan POM sebagian besar kasus keracunan makanan akibat makanan telah terkontaminasi mikroba patogen Staphyllococcus areus." Hal ini mengindikasikan adanya masalah kebersihan dan proses memasak makanan yang tidak higienis. Sedangkan dari uji sampling jajanan sekolah dari Banda Aceh sampai Jayapura ditemukan makanan mengandung formalin dan boraks pada bakso dan mi untuk pengenyal dan pengawet serta Rhodamin B pada sirup es mambo atau pewarna merah pada es. Penyuluhan
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Tuti Lukman Sutrisno mengemukakan belum semua sekolah mendapat penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat. "Sebab, saya pernah menanyakan kepada penjaga kantin sekolah, mereka belum pernah didatangi petugas kesehatan untuk mendapatkan penyuluhan tentang makanan yang aman untuk anak-anak." Bahkan, kata Tuti, beberapa kantin sekolah yang menyediakan jajanan anak sekolah sama sekali tidak layak dan tidak aman untuk dikonsumsi anak-anak. "Pihak sekolah pun harus ikut bertanggung jawab dalam pengadaan jajanan anak sekolah. Karena sekolah yang mengizinkan penjual itu berjualan di sekitar sekolah." Seperti diketahui, Rhodamin B biasa digunakan untuk pewarna tekstil dan masuk ke dalam golongan pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan. Demikian
juga
produk
jajanan
mengandung
mikroba
salmonela
yang
menyebabkan tifus. Menurut Sampurno, penanganan makanan jajanan anak sekolah ini harus melibatkan pihak sekolah untuk melakukan pembinaan kepada para penjaja makanan yang ada di sekitar sekolah maupun kantin. Sampurno meminta pihak sekolah harus mewaspadai donasi dan promosi makanan yang dilakukan di sekolah-sekolah. "Makanan yang didonasikan ke sekolah bila tidak diatur dan dilakukan pengawasan dengan baik dapat menimbulkan masalah dan risiko pada anak-anak sekolah." Sehubungan dengan hal itu Badan POM telah menyampaikan pedoman pemberian pangan untuk konsumsi anak sekolah kepada gubernur di seluruh Indonesia. Sedangkan industri makanan di dalam negeri dengan teknologi modern juga tumbuh pesat dengan dukungan basis sumber daya nasional. "Untuk bersaing di pasar ekspor, aspek mutu dan keamanan produk harus dijaga konsisten untuk selalu memenuhi standar internasional terkini." Anggota DPR dari Komisi IX Achmad Affandy menilai bahwa pemantauan terhadap makanan yang ditambah dengan zat kimia tidak tuntas. "Dulu pernah ada pemeriksaan terhadap bahan pembuat tahu Kediri. Hasil pemeriksaan POM mengandung formalin. Pengusaha tahu Kediri jera dan tidak lagi menambahkan
formalin. Akan tetapi, setelah beberapa bulan kemudian dilakukan lagi dengan alasan usahanya bisa rugi." Menurut Sampurno, perbuatan pengusaha itu jelas merugikan masyarakat apalagi menambahkan zat kimia terlarang pada makanan yang cukup khas di kotanya. Sampurno menjelaskan program pengawasan keamanan pangan Badan POM pada tahun mendatang difokuskan untuk menyelesaikan dan menyusun berbagai standar bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN). "Terutama menyangkut bahan tambahan pangan pengemulsi, pemantap, pengatur keasaman, pengental, antioksidan, pemutih, pematang tepung dan sebagainya." Demikian pula berbagai peraturan pangan yang saat ini sudah dalam proses, lanjutnya, perlu diselesaikan segera. Misalnya, peraturan persyaratan penggunaan pengawet dalam produk pangan, persyaratan penggunaan pewarna, persyaratan penggunaan bahan baku, persyaratan penggunaan cemaran logam, dan batas maksimum aflatoksin dalam produk pangan. Sering kali anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena warnanya yang menarik, rasanya yang menggugah selera, dan harganya terjangkau. Makanan ringan, sirup, bakso, mi ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan seharihari di sekolah. Bahkan tak terbendung lagi berapa uang jajan dihabiskan untuk membeli makanan yang kurang memenuhi standar gizi ini. Bahan tambahan Menurut Ketua Patpi (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia) Cabang DKI Jaya DR Ir RD Esti Widjajanti, makanan semakin enak biasanya ditambah dengan bahan tambahan makanan (BTM). "Produsen makanan rumah tangga akan berusaha menampilkan makanan semenarik mungkin baik dari penampakan, aroma, dan tekstur. Akan tetapi, acap kali faktor gizi, higienis dan keamanan pangan justru diabaikan." Faktanya produksi pangan olahan untuk tujuan komersial penggunaan bahan tambahan kimia sebagai bahan pengawet tidak mungkin dihindari, terutama industri makanan rumah tangga.
Tujuan penggunaan bahan pengawet ini adalah untuk menghambat atau menghentikan aktivitas mikroba (bakteri, kapang, khamir). "Akhir tujuannya dapat meningkatkan daya simpan suatu produk olahan, meningkatkan cita rasa, warna, menstabilkan, memperbaiki tekstur, sebagai zat pengental/penstabil, antilengket, mencegah perubahan warna, memperkaya vitamin, mineral, dan sebagainya." Menurutnya, pemberian bahan tambahan tersebut tidak merusak nilai gizi makanan itu, asalkan tidak kedaluwarsa. Biasanya kalau masa kedaluwarsanya sudah ditentukan, maka empat bulan menjelang kedaluwarsa makanan itu mengalami perubahan. Penggunaan zat pengawet sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang telah ditentukan. Jenis zat pengawet ada dua, yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik, misalnya garam, gula, lada, dan asam cuka. Sedangkan jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis pengawet yang diizinkan dalam buah-buahan olahan demi menjaga kesehatan konsumen. Menurut Esti, pewarna, pengawet, atau penguat rasa alamiah sangat sulit dilakukan di Indonesia karena harganya cukup mahal. "Apalagi dijual untuk konsumsi anak sekolah, industri rumah tangga lebih menyukai bahan kimia. Kalau zat pewarna jelas warnanya lebih ngejreng dibandingkan dengan pewarna dari Angkak. Warnanya kurang menarik dan mahal harganya." Demikian juga dengan pemanis buatan, seperti aspartam jauh lebih disukai produsen karena hanya satu tetes saja, kata Esti, sudah cukup manis dibandingkan gula asli dari tebu. Sedangkan penguat rasa MSG, lanjutnya, kalau di luar negeri dipakai penguat rasa dari tumbuhan. Harganya memang mahal dibandingkan MSG hasil fermentasi, seperti yang dipakai di Indonesia. "Tentu saja masyarakat harus hatihati mengonsumsi makanan dan minuman yang masih rendah keamanannya. Jangankan jajanan sekolah, pembuatan tempe saja sekarang ini masih kurang higienis, khususnya sanitasinya. Bagaimana tempe kita bisa diekspor," kata Esti yang juga Kepala Bidang Teknologi Pangan dan Nutrisi BPPT ini.
Untuk mengantisipasi dampak keracunan dan meningkatkan keamanan pangan, rencana Badan POM ke depan, menurut Sampurno, akan membentuk Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan di Indonesia (National Center Food Safety Alert and Respons). Pada 2005 nanti Badan POM akan menerapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada industri pangan dan system food star pada industri rumah tangga pangan. "Rencana ke depan Badan POM akan melaksanakan sistem standardisasi produk pangan dan bahan berbahaya, membangun networking dengan berbagai instansi berkaitan dengan mutu dan keamanan jajanan anak sekolah." Dan tak kalah penting, lanjut Sampurno, Badan POM perlu meningkatkan koordinasi lintas sektor tentang pengelolaan dan pengamanan bahan kimia. Sumber : Media Indonesia (8 Desember 2004) Keamanan pangan dan pengawasan mutu pangan di Indnesia masih belum diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Masih banyak sekali produsen makanan, prngimpor, maupun produsen kecil yang menjual makanan yang masih belum peduli terhadap keamanan pangan, hal ini disebabkan karena kurang tegasnya penegakan hukum tentang pengawasan mutu dan keamanan pangan di Indonesia, serta kepedulian terhadap kesehatan konsumen. Kasus – kasus mengenai pelanggaran terhadap undang –undang pangan masih terus terjadi. Kasus yang paling sering terjadi adalah mengenai penambahan bahan kimia berbahaya dalam makanan. Beberapa contoh kasus pelanggaran terhadap undang – undang pangan adalah penggunkaan pengawet berlebih di atas ambang batas pada pembuatan baso, penambahan boraks untuk membantu mengentalkan baso, penambahan melamin pada susu balita, pedagang es menambahkan pewarna tekstil pada produk dagangannya, dan lain – lain. Hal ini dapat terjadi karena pengawasan pemerintah terhadap pangan masih sangat rendah dan kesadaran masyarakat akan keamanan pangan masih sangat rendah. Hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan keamanan pangan di Indonesia adalah dengan meningkatkan taraf ekonomi penduduk Indonesia, memberikan penyuluhan mengenai keamanan pangan dan cara memproduksi produk yang aman, pembelian bahan – bahan kimia berbahaya yang biasa
ditambahkan ke pangan harus menggunakan surat dari lembaga tertentu, pemerintah melakukan pengawasan mutu terhadap produsen pangan dan penjual bahan pangan secara berkala untuk menjaga mutu pangan yang dihasilkan, dan memberikan sanksi yang berat bagi pelanggar undang – undang pangan.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pasal 67 – 69 UU No. 18 Tahun 2012 berkaitan dengan kemanan pangan. Pasal ini berisi tentang tujuan adanya keamanan pangan dan definisi
keamanan pangan menurut Undang-Undang. Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 18 Tahun 2012 masih berkaitan dengan kemanan pangan, dimana kedua pasal tersebut berisi tentang bagaimana
penyelenggaraan keamanan pangan menurut Undang-Undang. Pasal 70 – 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang Sanitasi Pangan. Pasal ini menyebutkan tentang tujuan adanya sanitasi pangan dan penerapan sanitasi
pangan tersebut. Pasal 71 – 72 UU No. 18 Tahun 2012 berisi tentang peraturan terhadap penyelenggara sanitasi pangan dan sanksi yang dikenakan jika peraturan
tersebut tidak dilakukan sesuai dengan Undang-Undang. Pasal 73 dan Pasal 74 berkaitan dengan pengaturan bahan tambahan pangan
yang digunakan dalam proses produksi pangan. Pasal 73 berisi tentang definisi dari bahan tambahan pangan, yaitu bahan yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi dan/atau bentuk pangan. Pasal 86 berisi tentang penetapan standar keamanan pangan dan mutu pangan
yang dibuat oleh pemerintah. Pasal 87 berisi tentang sebelum pangan diedarkan ke konsumen. Pasal 88 berisi tentang petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku pangan di bidang pangan segar harus memenuhi persyaratan keamanan pangan dan
mutu pangan segar. Pasal 89 berisi tentang setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang tercantum dalam
label kemasan pangan. Pasal 90 berisi tentang setiap orang dilarang mengedarkan pangan tercemar berupa
mengandung
bahan
beracun,
berbahaya,
atau
yang
dapat
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan, mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau
hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai, diproduksi dengan cara
yang dilarang dan/atau sudah kadaluwarsa. Pasal 91 berisi tentang setiap pangan olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, pelaku usaha pangan wajib memiliki izin edar dikecualikan terhadap pangan olahan tertentu
yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Pasal 92 berisi tentang perlakuan pengawasan dan pencegahan secara berkala terhadap kadar atau kandungan cemaran pada pangan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah. Pasal 93 berisi tentang setiap orang yang mengimpor pangan untuk
diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan. Pasal 94 berisi tentang terkena sanksi akibat melanggar pemenuhan standar
mutu pangan, label kemasan pangan, pangan tercemar, dan impor pangan. Undang-undang nomor18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 2 menyatakan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi ketersedian makanan pokok yang
aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Undang-undang nomor 18 tahun 2012 Pasal 108 ayat 3 menyatakan pelaku pengawasan terhadap pangan olahan dan pangan segar dibedakan.
3.2 Saran Pengawasan terhadap kemanan, mutu, dan gizi pangan segar dilakukan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan. Multiple Agency System ini memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari multiple agency system tersebut dapat menyebabkan penurunan keyakinan konsumen akan kredibilitas sistem yang ada. Lembaga pemerintah juga berkewajiban unuk mengadakan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap proses produksi pangan sampai produk tersebut diterima oleh konsumen. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat produsen-produsen yang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelanggaran tersebut dapat disebabkan oleh lembaga pemerintah yang belum maksimal dalam melaksanakan tugas pengawasannya yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Seharusnya lembaga pengawasan pemerintah dapat melakasanakan tugasnya dengan baik, sehingga produk pangan yang diterima oleh masyarakat aman untuk dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA Dwiari, S., dkk. 2008. Teknologi Pangan Jilid I untuk SMK. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Dewanti, R. dan Hariyadi. 2011. Sistem Manajemen Keamanan Pangan Industri Jasa Boga. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 67 – 76. Sofiah, B.D., dan E. Sukarminah. 2011. Sanitasi dan Keamanan Pangan. Departemen Jatinangor.
Teknologi
Industri
Pangan,
Universitas
Padjadjaran,