20
MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN DALAM PERSALINAN
OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM DUNIA KEBIDANAN
Disusun Oleh Kelompok 15 :
Dara Dewanti
P3.73.24.2.15.011
Dealla Nurmala
P3.73.24.2.15.012
Kelas II A
PRODI D-III KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
Jl. Arteri Jorr Jati Warna, Kec. Pondok Melati, Bekasi
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt atas taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kesehatan masyarakat tentang Obat-Obat yang Digunakan dalam Dunia Kebidanan. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas Asuhan Kebidanan dalam Persalinan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Bekasi, September 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KataPengantar i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lidokain
2.1.1 Pengertian Lidokain 4
2.1.2 Farmakokinetik 4
2.1.3 Farmakodinamik 5
2.1.4 Interaksi Obat 9
2.1.5 Dosis………………………………………………………………………..9
2.1.6 Sediaan……………………………………………………………………...9
2.1.7 Cara Pemberian…………………………………………………………….10
2.1.8 Cara Penyimpanan …………………………………………………...……10
2.2 Oksitosin
2.2.1 Pengertian Oksitosin 11
2.2.2 Farmakokinetik 11
2.2.3 Farmakodinamik 11
2.2.4 Interaksi obat 15
2.2.5 Dosis……………………………………………………………………….15
2.2.6 Sediaan………………………………………………………………….…16
2.2.7 Cara Pemberian……………………………………………………………16
2.2.8 Cara Penyimpanan…………………………………………………………16
2.3 Methergin
2.3.1 Pengertian Methylergometrine 16
2.3.2 Farmakokinetik 17
2.3.3 Farmakodinamik 17
2.3.4 Interaksi Obat 18
2.3.5 Dosis…………………………….…………………………………………18
2.3.6 Sediaan…………………………………………………………………….19
2.3.7 Cara Pemberian……………………………………………………………19
2.3.8 Cara Penyimpanan………………………………………………………...19
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan 20
DAFTAR PUSTAKA 21
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dahulu praktik kebidanan terutama dikaitkan dengan ibu hamil yang sehat dan berisiko rendah dalam menghadapi kelahiran bayi yang normal. Namun demikian, dalam beberapa tahun terkahir ini terus terjadi peningkatan jumlah ibu hamil dengan kelainan medis yang sudah dideritanya dan komplikasi serius kehamilan yang memperlihatkan hasil akhir kehamilan yang baik dibawah perawatan medis. Sehingga bidan akan turut andil dalam pemberian obat dan semakin banyak jenisnya kepada pasien yang keadaannya memerlukan pemantauan ketat.
Praktik kebidanan bersifat dinamis dan terus berkembang sehingga bidan mempunyai peranan yang semakin penting dalam tatalaksana obat selama kehamilan, persalinan dan periode postnatal. Tanggung jawab tersebut meliputi pemberian obat, pemantauan keadaan ibu, janin serta neonatus untuk menemukan tanda-tanda bahaya dan preskripsi obat-obat tertentu sesuai dengan protokol. Dengan demikian, bdan harus memahami kerja, efek samping, peringatan, kontraindikasi untuk obat-obat yang digunakan pada kehamilan, persalinan dan postnatal. Oleh karena itu, penulis akan membahas obat-obatan dalam dunia kebidanan khususnya untuk asuhan kebidanan masa persalinan dengan mengkaji sisi farmakokinetik, farmakodinamik, interaksi obat, interaksi farmakokinetik dari setiap obat.
Rumusan Masalah
Apa pengertian lidokain ?
Bagaimana farmakokinetik dari lidokain ?
Bagaimana farmakodinamik dari lidokain ?
Bagaimana interaksi obat dari lidokain ?
Berapa dosis lidokain ?
Apa saja sediaan lidokain ?
Bagaimana cara pemberian lidokain ?
Bagaimana cara penyimpanan lidokain ?
Apa pengertian oksitosin sintosinon ?
Bagaimana farmakokinetik dari oksitosin sintosinon ?
Bagaimana farmakodinamik darioksitosin sintosinon ?
Bagaimana interaksi obat dari oksitosin sintosinon ?
Berapa dosis oksitosin sintosinon ?
Apa saja sediaan oksitosin sintosinon ?
Bagaimana cara pemberian oksitosin sintosinon ?
Bagaimana cara penyimpanan oksitosin sintosinon ?
Apa pengertian methylergometrine (methergin)?
Bagaimana farmakokinetik dari methylergometrine (methergin)?
Bagaimana farmakodinamik dari methylergometrine (methergin)?
Bagaimana interaksi obat dari methylergometrine (methergin)?
Berapa dosis methylergometrine (methergin) ?
Apa saja sediaan methylergometrine (methergin) ?
Bagaimana cara pemberian methylergometrine (methergin) ?
Bagaimana cara penyimpanan methylergometrine (methergin) ?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian lidokain
Untuk mengetahui farmakokinetik dari lidokain
Untuk mengetahui farmakodinamik dari lidokain
Untuk mengetahui interaksi obat dari lidokain
Untuk mengetahui dosis dari lidokain
Untuk mengetahui sediaan lidokain
Untuk mengetahui cara pemberian lidokain
Untuk mengetahui cara penyimpanan lidokain
Untuk mengetahui pengertian oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui farmakokinetik dari oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui farmakodinamik darioksitosin sintosinon
Untuk mengetahui interaksi obat dari oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui dosis dari oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui sediaan oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui cara pemberian oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui cara penyimpanan oksitosin sintosinon
Untuk mengetahui pengertian methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui farmakokinetik dari methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui farmakodinamik dari methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui interaksi obat dari methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui dosis dari methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui sediaan methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui cara pemberian methylergometrine (methergin)
Untuk mengetahui cara penyimpanan methylergometrine (methergin)
BAB II
PEMBAHASAN
Lidokain
Pengertian Lidokain
Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia lokal) dan blok saraf. Bidan di Inggris boleh menggunakan larutan obat anestesia ini hingga konsentrasi 1% untuk memberikan anelgesia perineum sebelum melakukan episiotomi dan perbaikan perineum (Tiran, 2006). Lidocaine adalah obat anastesi lokal yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa sakit pada tubuh, (Alodokter, 2015).
Farmakokinetik (absorbsi, distribusi, biotransformasi/metabolisme, ekskresi/eliminasi)
Lidokain cepat diserap dari tempat suntikan, saluran cerna serta dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasenta fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu, (Syarif dan Sunaryo, 2012). Sekitar 70% (55-95%) lidokain dalam plasma terikat protein, hampir semuanya dengan alfa 1 – acid glycoprotein. Distribusi berlangsung cepat, volume distribusi adalah 1 liter per kilogram; volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Tidak ada lidokain yang diekskresi secara utuh dalam urin, (Bangun, 2012).
Jalur metabolik utama lidokain di dalam hepar (retikulum endoplasma), mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed function oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia, 75% dari xilidid aka diekskresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi 2-6 dimetil-anilin (Syarif dan Sunaryo, 2012). Lidokain dimetabolisme di dalam hati ibu hamil, janin atau neonatus menjadi metabolit aktif. Meskipun lama kerja dan waktu paruh lignokain atau lidokain relatif singkat (82 menit pada ibu hamil dan 95 menit pada neonatus), metabolitnya tetap diekskresikan oleh neonatus selama 36-48 jam sesudah kelahirannya, periode waktu untuk ekskresi obat ini bergantung pada cara pemberiannya. Metabolit ini bertanggung jawab atas beberapa efek toksik yang ditimbulkan oleh lignokain (Kuhnert, 1993).
Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek merugikan, efek tak terduga)
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Komunikasi dalam sistem saraf dan aktifitas mekanis dalam otot bergantung pada eksitabilitas-elektris membran sel jaringan. Timbulnya impuls saraf bergantung pada produksi potensial aksi dalam membran sel pada akson neuron. Kerja utama obat anestesi lokal adalah untuk mengurangi kemampuan saraf dalam menghantarkan potensial aksi dan impuls saraf (Jordan, 2004).
Pada saat istirahat, membran sel saraf dan otot berada dalam keadaan terpolarisasi (atau bermuatan). Kalau suatu potensial aksi dipicu, saraf tersebut akan mengalami depolarisasi atau (melepaskan muatannya) lewat influksi ion natrium yang cepat, kejadian ini akan diikuti oleh peristiwa repolarisasi (pemuatan kembali) karena terjadinya efluksi ion kalium. Obat anestesi lokal mencegah influksi ion natrium yang cepat dengan menyekat saluran natrium dalam membran sel saraf. Keadaan ini akan menghambat pembentukan potensial aksi dan mencegah transmisi impuls serta sinyal disepanjang akson dan menyekat fungsi syaraf yang normal (Jordan, 2004).
Efek Samping Obat
Efek sampingnya adalah menyekat saluran ion natrium pada semua jaringan penghantar impuls yaitu sistem saraf pusat (SSP), jantung dan sistem kardiovaskuler, sistem saraf perifer, sistem saraf simpatik, otot polos-uterus, kandung kemih, usus dan otot skelet (Jordan, 2004).
Eksitasi dan Inhibisi SSP
Pada SSP, saluran ion natrium dalam neuron penghambat (inhibitor) lebih mudah disekat daripada saluran ion natrium dalam neuron pemicu (eksitatorik). Karena itu, respons SSP terhadap obat anestesi lokal akan melewati beberapa tahap mulai dari eksitasi hingga inhibisi dan depresi seperti telinga yag berdenging (tinitus), perasaan yang aneh dalam mulut, kebingungan atau agitasi, penglihatan kabur, menggigil, keadaan gelisah, euforia, gemeteran, mual, tremor, konvulsi, depresi pernafasan, koma dan kematian. Pada pemberian intravena yang tidak disengaja, respons awal terhadap obat anestesi lokal biasanya berupa eksitasi, kegelisahan, tremor, dan bahkan konvulsi (Hughes, 1992). Eksitasi paradoksal ini akan diikuti oleh depresi SSP khususnya depresi pernafasan. Namun demikian, jika pemberian sistemik lidokain atau bupivikain berlangsung cepat, respons eksitasinya tidak terlihat. Sebaliknya, ibu hamil yang mengalami hal tersebut hanya memperlihatkan depresi SSP dan respiratory arrest yang mendadak, (Jordan, 2004).
Blok Saraf Simpatik
Konsekuensi blok saraf simpatik adalah penurunan tekanan darah maternal, kegagalan thermoregulasi maternal dan neonatal, kehilangan refleks asfiksia neonatal.
Obat anestesi lokal menghambat fungsi saraf simpatik. Saraf ini mengendalikan diameter pembuluh darah dan dengan demikian akan mempengaruhi suatu aspek yang penting dalam pengaturan tekanan darah (total tahanan perifer). Dengan terganggunya aktivitas saraf simpatik, pembuluh darah akan berdilatasi sehingga terjadi penurunan tekanan darah dan ketidakmampuan untuk melakukan vasokontriksi sebagai reaksi terhadap ligkungan yang sejuk. Ibu hamil dapat mengeluh kedinginan, menggigil tanpa terkendali atau sebaliknya dapat mengalami pireksia. Demikian pula, neonatus akan rentan terhadap hawa dingin(Howell, 1995a; Reynolds et a, 1996; El-Refaey et al, 2000).
Berkaitan dengan terapi analgesia epidural, keadaan piraksia (suhu tubuh > 98oC) ditemukan pada 16,6% (120/724) ibu melahirkan yang sehat (n = 1218). Bayi mereka lebih cenderung mengalami konvulsi atau hipotonia dan memerlukan resusitasi (Lieberman et al, 2000). Demam materal intrapartum dapat menimbulkan suhu tubuh yang lebih tinggi lagi pada janin (lebih tinggi 0,5-0,90C), dalam keadaan ketika janin juga sedang menderita gangguan iskemia, derajat pireksia ini dapat meningkatkan derajat kerusakan neurologis (Jordan, 2004).
Pada saat dilahirkan, neonatus akan bergantung pada respons refleksnya sendiri terhadap asfiksia dengan menarik nafas pertama, dan refleks ini bergantung pada aktivitas sistem saraf simpatiknya. Dengan pemberian obat anestesi lokal pada ibu, respons refleks neonatus terhadap kelahirannya dapat tertekan sehingga diperlukan pemeriksaan yang lebih cermat dan mungkin tindakan yang segera oleh bidan (Jordan, 2004).
Hipotensi
Obat anestesi lokal menghambat sistem saraf simpatik yang betanggung jawab untuk mempertahankan kontriksi arteriole dan tekanan darah serta frekuensi jantung dalam batas yang normal. Karena itu, obat ini dapat berpotensi mengganggu sistem kardiovaskuler dengan menimbulkan hipotensi, bradikardia dan bahkan henti jantung. Hipotensi maternal yang signifikan secara klinik yaitu penurunan tekanan darah sistolik pra-anestesi sebesar 20-30% atau tekanan darah sistolik dibawah 100mmHg, terjadi 5-15% proses melahirkan dengan pemberian anestesi epidural dan 5-82% proses melahirkan dengan anestesi spinal (Hollmen, 1993; Shennan et al, 1995).
Obat anestesi lokal yang menimbulkan vasodilatasi dapat mengurangi kemampuan pembuluh darah untuk melakkan vasokontriksi sebagai respons terhadap pendarahan. Karena itu, pendarahan yang tidak begitu berat sekalipun dapat terjadi hipotensi dan kemungkinan terjadinya kehilangan darah postpartum akan semakin meningkat (Beische et.al, 1997). Namun, untuk tindakan seksio Caesarea, jumlah darah yang hilang lebih sedikit daripada tindakan bedah dengan anestesi umum (Lertakyamanee et al, 1999). Setiap keadaan hipotensi maternal harus segera diketahui karena aliran darah ke daam uterus dan demikian pula oksigenasi janin akan berkurang dalam kaitannya secara langsung dengan tekanan darah maternal. Dengan mengorbankan pasokan darah ke dalam plasenta, keadaan hipotensi maternal dapat menyebabkan asidosis fetal dan menekan sistem saraf pusat neonatus (Roberts et al, 1995). Secara klinik mungkin sulit untuk mengaitkan abnormalitas frekuensi detak jantung janin dengan kerja langsung obat tersebut, kendati asidosis fetal pada saat seksio Caesarea merupakan komplikasi obat anestesi lokal yang sudah diakui (Steer, 1995).
Depresi Otot Polos
Kontraksi uterus, usus, dan kandung kemih akan tertekan oleh kerja obat-obat anestesi lokal. Inhibisi kandung kemih biasanya menimbulkan retensi urine tetapi sebaliknya inkontensia urine dan feses mungkin saja terjadi (Karch, 1992). Anelgesia epidural akan disertai dengan peningkatan risiko retensi urine postpartum (Olofsoon et al, 1997). Masalah yang potensial dalam jangka pendek dan jangka panjang yang timbul akibat katerisasi urine yang berkali-kali tidak boleh diremehin (Mander, 1994).
Obat-obat anestesi lokal memperpanjang masa persalinan dengan menimbulkan relaksasi otot-otot dasar panggul, mengurangi refleks 'mengejan', mengurangi upaya ibu untuk mendorong bayinya lahir, bekerja langsung pada otot rahim dengan menurunkan tonus otot, mengurangi pelepasan oksitosin secara pulsatile dari kelenjar hipofisis posterior (Jordan, 2004).
Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot, skeletal (trigger-point injeksi), anestesi, lokal adalah miotoksik (bupivacaine >lidocaine > procaine). Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine (Samodro, Sutiyono, dan Satoto, 2011).
Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolysis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural (Samodro, Sutiyono, dan Satoto, 2011).
c) Indikasi
Local anesthica untuk penjahitan episiotomi dan laserasi
d) Kontraindikasi
Ibu dengan Hypotensi
Interaksi Obat (makan minum, polypharmacy)
Efek obat anestesi lokal yang tidak diinginkan dapat ditingkatkan oleh penggunaan antagonis H2 (simetidin), obat-obat anti aritmia dan preparat depresan sistem saraf pusat lainnya yang meliputi alkohol serta proklorperazin (Malseed et al, 1995). Simetidin dan propranolol dapat meningkatkan toksisitas lidokain. Konsumsi alkohol yang teratur akan meningkatkan risiko kegagalan terapeutik (Stockley, 1999). Benzodiazepin dapat mempengaruhi klirens obat anestesi lokal. Peningkatan konsentrasi bupivikain (tetapi bukan lignokain atau lidokain) pernah dilaporkan pada pasien yang menggunakan diazepam (Stockley, 1999). Preparat antidepresan trisiklik dan fenotiazin (misalnya proklorperazin) meningkatkan risiko blok jantug, khusunya jika digunakan epinefrin atau adrenalin (Jordan,2004).
Dosis Lidokain
Dosis yang biasa digunakan sebelum tindakan episotomi :
Lidocain HCL 1% injeksi tiap ml mengandung 10 mg lidocain HCL
Lidocain HCL 2% injeksi tiap ml mengandung 20 mg lidocain HCL
Sediaan Lidokain
Vial 0.2 mg/mL
Ampul 5 ml lidokain 2%
Cara Pemberian Lidokain
Berikan anestesia lokal secara dini agar obat tersebut memiliki cukup waktu untuk memberikan efek sebelum episiotomi dilakukan. Episiotomi adalah tindakan yang menimbulkan rasa sakit dan menggunakan anestesia lokal adalah bagian dari asuhan sayang ibu.
Jelaskan kepada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu dia untuk merasa rileks.
Hisap 10 ml larutan lidokain 1% tanpa epinefrin ke dalam tabung suntik steril ukuran 10 ml (tabung suntik lebih besar boleh digunakan, jika diperlukan). Jika lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian lidokain 2% dengan 1 bagian cairan garam fisiologis atau air distilasi steril, sebagai contoh larutkan 5 ml lidokain dalam 5 ml cairan garam fisiologis atau air steril.
Pastikan bahwa tabung suntik memiliki jarum ukuran 22 dan panjang 4 cm (jarum yang lebih panjang boleh digunakan, jika diperlukan).
Letakkan dua jari ke dalam vagina di antara kepala bayi dan perineum.
Masukkan jarum di tengah fourchette dan arahkan jarum sepanjang tempat yang akan di episiotomi.
Aspirasi (tarik batang penghisap) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan suntikkan lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi jarum dan tusukkan kembali.
Alasan: Ibu bisa mengalami kejang dan bisa terjadi kematian jika lidokain disuntikkan ke dalam pembuluh darah.
Tarik jarum perlahan-lahan sambil menyuntikkan maksimum 10 ml lidokain.
Tarik jarum bila sudah kembali ke titik asal jarum suntik ditusukkan. Kulit melembung karena anestesia bisa terlihat dan dipalpasi pada perineum di sepanjang garis yang akan dilakukan episiotomi.
Cara Penyimpanan Lidokain
Simpan pada suhu kamar (25-30oC) dan tempat kering. Hindarkan dari cahaya.
Oksitosin (Syntosinon)
Pengertian Oksitosin
Oksitosin adalah hormon yang disekresikan oleh lobus posterior kelenjar hipofisis dan menimbulkan stimulasi (yaitu, kontraksi) pada miometrium uteri. Oksitosin juga menyebabkan ejeksi ASI dari alveoli mammae ke dalam duktus laktiferus pada saat bayi menyusu. Oksitosin sintetik (Syntocinon) dapat disuntikan secara intravena untuk menginduksi atau menguatkan persalinan atau secara intramuskuler atau intravena untuk menimbulkan kontraksi otot rahim sesudah plasenta dilahirkan dan untuk mengendalikan perdarahan postpartum. Oksitosin sintetik dapat pula digabungkan dengan ergometron untuk memproduksi syntometrine (Tiran, 2006). Oksitosin (Syntocinon) dibuat untuk reproduksi bangunan dan kerja hormon yang alami. Sekresi oksitosin endogenus tidak disupresi oleh mekanisme umpan balik yang negatif. Sintosinon artifisial tidak akan mensupresi pelepasan oksitosin endogenus (Jordan, 2004).
Farmakokinetik (absorbsi, distribusi, biotransformasi/metabolisme, ekskresi/eliminasi)
Oksitosin memberikan hasil baik pada pemberian parenteral. Oksitosin diabsorpsi dengan cepat melalui mukosa mulut dan bukal, sehingga memungkinkan oksitosin diberikan sebagai tablet isap. Oksitosin tidak dapat diberikan per oral karena akan dirusak lambung dan usus. Cara pemberian nasal atau tablet isap dicadangkan untuk penggunaan pasca persalinan. Waktu paruh oksitosin sangat singkat antara 3-5 menit (Syarif dan Muchtar, 2012). Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit sesudah pemberiannya (Clayworth, 2000). Oksitosin dengan cepat dieliminasi lewat hati, ginjal, dan enzim plasenta. Oksitosin akan dimetabolisasi dengan cepat dan diekskresikan dalam hati (Kee dan Hayes, 1996).
Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek merugikan, efek tak terduga)
Mekanisme Kerja
Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan secara intramuskular timbul 3-5 menit, waktu untuk mencapai puncak konsentrasi belum diketahui dan lama kerjanya adalah 2-3 jam. Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan secara intravena terjadi segera, waktu untuk mencapai puncak konsentrasiya tidak diketahui dan lama kerjanya adalah 20 menit. Obat diberikan secara intravena untuk mengiduksi kehamilan atau mempercepat persalinan.
Kerja Oksitosin yang lain meliputi : kontraksi tuba uterine untuk membantu pengangkutan sperma, peranan neurotransmitter yang lain dalam sistem saraf pusat. Oksitosin disintesiskan dalam hipotalamus, kelenjar gonad, plasenta dan uterus. Mulai dari usia kehamilan 32 minggu dan selanjutnya, konsentrasi oksitosin dan demikian pula aktivitas uterus akan lebih tinggi pada malam harinya (Hirst et al,1993)
Efek Samping
Bila oksitosin sintetik diberikan, kerja fisiologis hormon ini akan berambah sehingga dapat menimbulkan efek samping yang potensial berbahaya. Efek samping tersebut yaitu stimulasi berlebih pada uterus, kontraksi pembuluh darah tali pusat, kerja antidiuretika, kerja pada pembuluh darah (kontraksi dan dilatasi), mual, reaksi hipersensitivitas (Jordan, 2004).
Stimulasi berlebih pada uterus
Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot rahim terhadap oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat (Graves, 1996). Bila dilakukan pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan kontraksi otot polos rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri persalinan semakin hebat (Olah da Gee, 1996). Peguatan persalinan dengan oksitosin membawa risiko hiperstimulasi uterus, karena beberapa individu hipersensitif terhadap oksitosin, pemberian infus oksitosin selalu mengandung bahaya kontraksi uterus tetanik atau spasmodk sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah (BNF, 2000).
Pemberian oksitosin akan mengganggu masuknya kepala janin ke dalam serviks (Allman et al, 1996). Jika serviks tidak melunak atau mengalami dilatasi, proses persalinan tidak dapat berlangsung dan dalam keadaan ini kontraksi uterus yang keras, lama serta kuat dapat menimbulkan konsekuensi yang serius diantaranya :
Trauma pada neonatus dan ibu
Jika bayi dipaksa lahir melewati serviks yang masih belum berdilatasi secara lengkap, jaringan lunak ibu dapat mengalami laserasi (luka yang disebabkan oleh robekan, bukan bentuk yang teratur seperti sayatan bedah) yang luas.
Ruptura Uteri
Kemungkinan terjadinya ruptura uteri lebih kecil pada ibu yang multipara kendati peristiwa tersebut pernah terjadi. Pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi pada ibu hamil dengan risiko ruptura uteri yang tinggi seperti misalnya grande multipara, kehamilan kembar dan polihidramnion atau pada ibu hamil dengan sikatriks pada rahimnya (BNF, 2000).
Perdarahan Postpartum
Keadaan ini sudah pernah terjadi, tetapi mungkin berkaitan dengan komplikasi obstetrol atau ruptura uteri dan bukan karena hiperstimulasi uterus (Reynolds et al, 1996).
Hematoma Pelvik
Hematoma adalah didapatkannya gumpalan darah sebagai akibat cidera atau robeknya pembuluh darah wanita hamil aterm tanpa cidera mutlak pada lapisan jaringan luar. Keadaan ini dapat terjadi karena kontraksi yang kuat. Jika hematomanya luas, deplesi faktor-faktor pembekuan dapat terjadi sehingga timbul koagulopati intravaskuler diseminata, kegagalan koagulasi dan perdarahan.
Solusio Plasenta
Terlepasnya sebagian atau seluruh perukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desibua endometrium sebelum waktunya yaitu anak lahir. Solusio plasenta berkaitan dengan kontraksi uterus yang kuat dan turut terlibat dalam peristiwa kematian Ibu.
Emboli Cairan Amnion
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh rposes persalinan yang sulit, khususnya jika di dalam caoran amnion terlihat noda-noda mekonium atau bila sudah terjadi kematian janin in utero.
Hipoksia Fetal
Pada saat kontraksi uterus terjadi kompresi pembuluh darah yang mengganggu pengangkutan oksigen ke dalam uterus, plasenta dan janin. Normalnya, oksigenasi akan pulih kembali setelah terjadi relaksasi uteru dan pemulihan keadaan ini mencegah penumpukan asam laktat. Akan tetapi, jika uterus mengalami stimulasi yang berlebihan dan relaksasinya terlalu singkat, maka akan terjadi hipoksia serta asidosis pada janin (Kulb, 1990).
Indikasi
Sebagai stimulan uterus pada :
Induksi partus aterm.
Inertia uteri (atonia uteri) atau hipotoni uteri.
Perdarahan post-partum.
Abortus inkompletus kehamilan setelah 20 minggu.
Kontraindikasi
Toksemia, disproporsi sevalopelvik, distres janin, hipersensitivitas, persalinan nonvaginal yang telah diantisipasi, kehamilan (intranasal), Disproporsi sefalopelvik, Malpresentasi, Plasenta previa, Jaringan ikat pada uterus akibat sectio caesarea.
Interaksi obat (makan minum, polypharmacy)
Jika oksitosin diberikan bersama preparat vasokonstriktor lainnya, maka akan terdapat bahaya peningkat TD yang dapat menyebabkan serangan stroke. Keadaan ini dapat terjadi jika adrenalin (epinefrin) ditambahkan dengan obat anestesi lokal. Estrogen akan memperkuat kontraksi uterus oleh oksitosin. Progestin akan melemahkan kontraksi uterus oleh oksitosin.
Dosis
Injeksi intravena :
Induksi partus : mula-mula 0.5 miliunit/menit; dapat ditambah 1 – 2 miliunit/menit tiap 30 – 40 menit sampai kontraksi uterus optimal (3 – 4 kali kontraksi tiap 10 menit).
Induksi partus aterm : 8 – 10 miliunit/menit sudah cukup.
Infus :
Mencegah atoni atau perdarahan post-partum : 20 – 40 miliunit/mL dalam larutan elektrolit dengan kecepatan 40 miliunit/menit.
2.2.6 Sediaan
a) Larutan injeksi 10 miliunit/mL
b) Ampul 1 mL.
2.2.7 Cara Pemberian
IM: mula = 3 – 5 menit.
P = TD
L = 2 – 3 jam
IV: mula = segera.
P = TD
L = 1 jam
IN: mula = beberapa menit.
P = TD
L = 20 menit
2.2.8 Cara Penyimpanan
a) Suhu di bawah 25 0C
b) Sebaiknya 2 – 10 0C
c) Terlindung dari sinar langsung.
Methergin
Pengertian Methylergometrine atau Methergin
Methylergometrine (Methergin) merupakan obat golongan alkaloid ergot semi sintetis yang mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Methergin tersedia dalam bentuk tablet dan suntikan. Obat ini bekerja pada otot polos rahim secara langsung meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme kontraksi rahim. Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan mengontrol perdarahan rahim setelah melahirkan (post partum). Methergin bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit setelah diminum.
Farmakokinetik Methylergometerine (absorbsi, distribusi, biotransformasi/ metabolisme, ekskresi/ eliminasi)
Absorsi methergin baik pada pemberian melalui oral maupun intramuscular adalah cepat, kadar maksimum dalam plasma di capai setelah 30 menit absorpsinya menjadi lebih lambat pada gastrointestinal perperium, kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 3 jam. Pada pemberian secara oral, bioavailabilitasnya kurang lebih 60% volume distribusinya rendah (0,5 liter/kg).
Biotransformasi methergin di dalam hati. Ekskresi atau Eliminasinya melalui hati dan ginjal serta terjadi dua tahap, waktu paruh yang lama adalah 0,5 sampai 2 jam. Pada pemberian melalui oral hanya 3 % zat asal dapat ditemukan pada urine, hal ini menunjukkan metabolism yang ekstensif. Kerja methergin terjadi dalam waktu 30-60 detik setelah penyuntikan i.v, 2-5 menit setelah penyuntikan i.m, dan 5-10 menit setelah pemberian peroral dan bertahan selama 4-6 jam.
Farmakodinamik Methylergometerine
Mekanisme Kerja Methylergometerine
Mempengaruhi otot uterus berkontraksi terus-menerus sehingga memperpendek kala III.
Menstimulasi otot-otot polos terutama dari pembuluh darah perifer dan rahim.
Pembuluh darah mengalami vasokonstraksi sehingga tekanan darah naik dan terjadi efek oksitosik pada kandungan mature
Efek Samping Methylergometerine
Efek samping yang sering terjadi dapat berupa nyeri kepala, hipertensi, ruam pada kulit, dan nyeri perut karena kontraksi rahim yang kuat;
Efek samping lain yang jarang terjadi dapat berupa penurunan kesadaran, kejang, nyeri dada, hipotensi, dan mual muntah;
Efek samping seperti syok anafilaktik sangat langka namun dapat terjadi pada pasien yang hipersensitif terhadap methergin.
c) Indikasi Methylergometerine
Penanganan aktif kala ke-3 proses kelahiran, atonia (tidak adanya tegangan atau kekuatan otot)/perdarahan rahim, perdarahan dalam masa nifas, subinvolusi (mengecilnya kembali rahim sesudah persalinan hampir seperti bentuk asal), lokiometra (pembendungan getah nifas di dalam rongga rahim).
d) Kontraindikasi Methylergometerine
Wanita hamil, belum terjadi penurunan kepala tetapi persalinan telah memasuki kala pertama dan kedua, hipertensi berat, toksemia hipertensif, penyakit sumbatan pembuluh darah, sepsis (reaksi umum disertai demam karena kegiatan bakteri, zat-zat yang dihasilkan bakteri, atau kedua-duanya), hipersensitifitas. Gangguan fungsi hati atau ginjal. Hati-hati penggunaan pada penderita hipertensi, penyakit hati, jantung, ginjal, infeksi puerpuralis dan penyakit penyumbatan pembuluh darah. Tidak dianjurkan untuk induksi partus karena masa kerja yang lama dan memberikan kontraksi uterus non fisiologik.
Interaksi Obat Methylergometerine
Makrolid, protease HIV atau penghambat transkiptase, anti jamur azole, vasokonstriktor lain atau alkaloid ergot, bromokriptin, anestesi. Obat tersebut dapat menurunkan efektivitas methergin dan dapat meningkatkan resiko efek samping methergin.
Dosis Methylergometerine
Oral : 0.2 – 0.4 mg sehari 2 – 4 kali, selama 2 hari
IV atau IM : 0.2 mg (1 mL). IM boleh diulang setelah 2 – 4 jam, bila perdarahan hebat. Pemberian IM lebih menguntungkan daripada IV karena efek samping lebih ringan.
Sediaan Methylergometerine
Tablet salut 0.125 mg dalam strip 10x10 tablet
Vial 0.2 mg/mL
Ampul 1 Ml
Penyimpanan Methylergometerine
Wadah kedap udara
Terlindung dari panas dan cahaya langsung
Pemberian Methergin
PO : 0,2-0,4 mg, setiap 6-12 jam maksimum 1 minggu
IM : 0,2 mg setelah melahirkan bahu anterior, setelah melahirkan plasenta atau post partum, ulangi setiap 2-4 jam, dosis dapat diberikan setelah parenteral.
IV : sama seperti IM tetapi perlahan-lahan selama 1 menit dengan pemantuan TD yang hati-hati.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa obat-obat yang digunakan dalam dunia kebidanan terutama dalam persalinan beberapa diantaranya adalah lidokain, oksitosin syntocinon, dan methergin. Adapun fungsi dari setiap obat-obatan tersebut berbeda-beda. Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia lokal) dan blok saraf. Salah satu fungsi lidokain adalah anestesi lokal untuk memperbaiki episiotomi dan laserasi serta blok pundedus saat proses persalinan pervaginam spontan, forsep rendah atau persalinan dengan bantuan vakum atau penjahitan episiotomi. Ositosin syntocinon merupakan obat yang digunakan untuk menginduksi persalinan serta memperbaiki motilitas otot uterus. Methergin merupakan obat untuk memperbaiki motilitas uterus dan mengontrol perdarahan. Adapun farmakokinetik, farmakodinamik, interaksi obat, serta interaksi farmakokinetik setiap obat berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC
Tiran, Denise. 2006. Kamus Saku Bidan. Jakarta : EGC
Alodokter. 2015. Pengertian Lidokain. http://www.alodokter.com/lidocaine. Diakses 7 September 2016
Bangun. 2012. Chapter II.pdf- USU Institutional Repository. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32609/4/Chapter%20II.pdf. Diakses 7 September 2016
Jordan, Sue. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC
Samodro, Ratno ; Doso Sutiyono dan Hari Hendriarto Satoto. 2011. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Vol III, No 1 (48-59).
Syarif, Amir dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Kee, Joyce.L dan Evelyn R. Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : EG. https://books.google.co.id/. Diakses 8 September 2016.
Katzung, B.G. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC