METAMORFOSIS
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Struktur Perkembangan Hewan II Yang dibina oleh Ibu Dra. Amy Tenzer, M.Si dan Ibu Nursasi Handayani, S. Si, M,Si Disusun oleh : Kelompok 8 Offering B 2016 1. Devi Septiani
NIM. 160341606082 160341606082
2. Merinda Oktaviana
NIM. 160341606002 160341606002
3. Obvious Evanggeli N.
NIM. 160341606094 160341606094
4. Syifa Nur Azizah S. H
NIM. 160341606048 160341606048
Disajikan pada, 6 Desember 2017
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Desember 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… …………………………………………………………………....... .......
ii
DAFTAR GAMBAR....................................... GAMBAR............................................................... ............................................... ................................. ..........
iv
ABSTRAK…………………………………………………………...... ABSTRAK………………………………………………………… ......…………. ………….
V
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………............. Belakang…………………………………………….............
1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………..... Masalah…………………………………….....………… …………
1
1.3 Tujuan…………..………………………………………………....
2
1.4 Manfaat …………………………………………………………...
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian metamorfosis............................. metamorfosis................................................... ...................................... ................
4
2.2 Pengertian amfibia......................... amfibia............................................... ............................................ ......................
4
2.3 Pengertian ganti kulit (molting)........................................... (molting)....................................................... ............
4
2.4 Pengertian serangga............................................ serangga.................................................................. .............................. ........
4
2.5 Pengertian hormon..................................... hormon........................................................... ................................ ..........
4
PEMBAHASAN
3.1 Proses metamorfosis pada katak ….....……………………..…… .....……………………..……... ...
5
3.2 Penyebab terjadinya metamorfosis pada amfibia....… amfibia.... …............… ............…....
8
3.3 reaksi jaringan kutub amfibia terhadap proses metamorfosis........
12
3.4 Proses-proses induksi selama metamorfosis amfibia....................
14
3.5 Proses ganti kulit dan hubungannya dengan metamorfosis serangga.............................................................................................
17
3.6 Penyebab terjadinya ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga............................................................................................
24
3.7 Faktor-faktor yang mengontrol terjadinya proses ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga........................ serangga..................................... .............
32
3.8 Mekanisme aksi hormon-hormon metamorfosis pada serangga...........................................................................................
36
ii
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan…………………………………………………………..
41
4.2 Saran……………………………………………………………….
41
DAFTAR RUJUKAN…………………………………………………………….
43
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Proses Metamorfosis M etamorfosis pada Katak............................ Katak................................................ ....................
6
Gambar 3.2 Struktur tri-iodotironin (kiri) dan tiroksin (kanan)........................ (kanan)........................
10
Gambar 3.3 Kekhususan organ selama metamorfosis katak....................... katak.............................. .......
13
Gambar 3.4 Perkembangan membran timpani sangat te rgantung pada rawan timpani ................... ......................................... ............................................ ............................................ ............................................ ........................ ..
16
Gambar 3.5 Dua stadium ganti kulit pada serangga............................................ serangga.......... ..................................
19
Gambar 3.6 “Imaginal disc”............................................................................... disc”...............................................................................
21
Gambar 3.7 Dua macam metamorfosis pada serangga....................................... serangga.......................................
23
Gambar 3.8 Percobaan menunjukkan pentingnya kelenjar protoraks dalam proses ganti kulit (molting)............................... (molting)........................................................ ............................................... ........................
26
Gambar 3.9 Diagram skematis yang menggambarkan mekanisme kontrol
28
proses ganti kulit dan metamorfosis pada ngengat tembakau............................. tembakau............................. Gambar 3.10 Metamorfosis dini yang terjadi pada ngengat ulat sutra................
30
Gambar 3.11 Nimfa normal stadium............................................ stadium.................................................................. ......................
31
Gambar 3.12 Pengaruh hormon terhadap perkembangan kulit.........................
34
Gambar 3.13 Struktur kimia hormon juvenil, ekdison, dan ekdisteron......
36
Gambar 3.14 Kromosom raksasa yang ditemukan pada kelenjar ludah larva Drodophila menunjukkan adanya beberapa “puff” seperti tampak pada stadium sebelum pembentukan pupa........................................ pupa................................................................ ..........................
38
iv
ABSTRAK
Septiani D. , Oktaviana M., Prismaji O. E. P., Hanifah S. N. A. S., S., 2017. Metamorfosis.Makalah Metamorfosis.Makalah Struktur Perkembangan Hewan, Offering B S1 Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang. Dosen Pembimbing : Dra. Amy Tenzer, M.Si. Email :
[email protected] Ibu Nursasi Handayani, S. Si, M,Si. Email :
[email protected] Kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung, hasil dari proses organogenesis ini adalah suatu individu yang dikenal sebagai larva. Larva umumnya bergerak bebas, hidup bebas dari induknya, mampu mencari makan sendiri dan bentuknya berbeda dengan bentuk dewasanya. Dari bentuk larva menjadi bentuk dewasa harus terjadi perubahan bentuk yang sangat drastis yang dikenal sebagai metamorfosis. Metamorfosis pada Amfibia selalu dikaitkan antara larva dengan perubahan lingkungan hidupnya, yaitu dari lingkungan akuatik menjadi individu terestrial. Perubahan drasmatis pada banyak bagian tubuh hewan secara bersamaan selama proses metamorfosis memberikan gambaran bahwa proses tersebut dipicu oleh satu sebab yang sama yaitu terjadinya pelepasan hormon dalam jumlah besar dari kelenjar tiroid
Kata kunci : metamorfosis, amfibia, seranga ABSTRACT
Septiani D. , Oktaviana M., Prismaji O. E. P., Hanifah S. N. A. S. 2017. Metamorphosis. Metamorphosis. Structure of Animal Development II Paper, Offering Undergraduate Biology Education B State University Of Malang. Supervising Professor: Dra. Amy Tenzer, M.Si. Email :
[email protected] Ibu Nursasi Handayani, Handayani, S. Si, M,Si. M,Si. Email :
[email protected] Animals that are experiencing growth indirectly, the result of this process of organogenesis is an individual known as larvae. Larvae generally move freely, live free from its mother, was able to feed itself and its shape is different from the form of adult life. From the form of larvae into adult form should change occurred a very drastic form known as metamorphosis. Metamorphosis in Amphibians are always associated with environmental changes between the larval life, i.e. from the individual becomes terrestrial aquatic environments. Drasmatis changes in many parts of the animal's body is simultaneously during the process of metamorphosis gives an overview of the process that is triggered by one of the same reasons, namely the occurrence of release of large amounts of hormones of the thyroid gland Keywords: insect, amphibian, metamorphosis
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Terdapat kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan langsung dan tumbuhan tidak langsung. Pada kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan langsung, hanya terjadi pertumbuhan yang pesat tanpa perubahan bentuk yang berarti. Pada kelompok hewan yang mengalami pertumbuhan tidak langsung, hasil dari proses organogenesis ini adalah suatu individu yang dikenal sebagai larva. Larva umumnya bergerak bebas, hidup bebas dari induknya, mampu mencari makan sendiri dan bentuknya berbeda dengan bentuk dewasanya. Dari bentuk larva menjadi bentuk dewasa harus terjadi perubahan bentuk yang sangat drastis yang dikenal sebagai metamorfosis. Contoh nya adalah yang terjadi pada katak (amphibia) dan kupu-kupu (insekta). Metamorfosis adalah merupakan sebuah proses perubahan secara bentuk maupun karakter dari sebuah sebuah benda yang hidup maupun mati mat i karena mengalami proses sehingga mewujudkan suatu wujud baru. Segala proses perubahan bentuk yang drastis ini membutuhkan berbagai proses yang berkaitan satu sama lain.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana proses metamorfosis pada katak? 2. Apa penyebab terjadinya metamorfosis pada amfibia? 3. Bagaimana reaksi jaringan kutub amfibia terhadap proses metamorfosis? 4. Bagaimana proses-proses induksi selama metamorfosis amfibia?
1
5. Bagaimana proses ganti kulit dan hubungannya dengan metamorfosis serangga? 6. Apa penyebab terjadinya ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga? 7. Apa faktor-faktor yang mengontrol terjadinya proses ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga? 8. Bagaimana
mekanisme
aksi
hormon-hormon
metamorfosis
pada
serangga?
1.3
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembuatan makalah adalah untuk mengetahui : 1. Proses metamorfosis pada katak 2. Penyebab terjadinya metamorfosis pada amfibia 3. Reaksi jaringan kutub amfibia terhadap proses metamorfosis 4. Proses-proses induksi selama metamorfosis amfibia 5. Proses ganti kulit dan hubungannya dengan metamorfosis serangga 6. Penyebab terjadinya ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga 7. Faktor-faktor yang mengontrol terjadinya proses ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga 8. Mekanisme aksi hormon-hormon metamorfosis pada serangga
1.4
Manfaat
Manfaat pembuatan makalah adalah dapat mengetahui: 1. Proses metamorfosis pada katak 2. Penyebab terjadinya metamorfosis pada amfibia 3. Reaksi jaringan kutub amfibia terhadap proses metamorfosis 4. Proses-proses induksi selama metamorfosis amfibia 5. Proses ganti kulit (molting) dan hubungannya dengan metamorfosis serangga 2
6. Penyebab terjadinya ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga 7. Faktor-faktor yang mengontrol terjadinya proses ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga 8. Mekanisme aksi hormon-hormon metamorfosis pada serangga
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian metamorfosis
Metamorfosis merupakan sebuah proses perubahan secara bentuk maupun karakter dari sebuah sebuah benda yang hidup maupun mati karena mengalami proses sehingga mewujudkan suatu wujud baru Dengan karakter atau sifat yang baru (Fitriyanti, tanpa tahun). 2.2 Pengertian amfibia
Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptile (Halliday dan Adler, 2000). 2.3 Pengertian ganti kulit(molting)
Molting atau sebut saja “pergantian kulit” adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga. Molting meliputi lapisan kutikula dinding dinding tubuh, tubuh, lapisan kutikula kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton (Boror, 2005). 2.4 Pengertian serangga
Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari hewan beruas (Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda. Serangga ditemukan di hampir semua lingkungan kecuali di lautan. Kajian mengenai peri kehidupan serangga disebut entomologi. dan ahli tentang ilmu serangga disebut entomologis e ntomologis (Yoxx, 2010). 2.5 Pengertian hormon
Hormon berasal dari bahasa Yunani, yaitu horman yang artinya “yang menggerakkan”, jadi hormon adalah pembawa pesan kimiawi antar sel atau antarkelompok sel. Hormon merupakan suatu kelompok heterogen pesan pesan kimia yang berperan be rperan mengkoordinasi aktifitas berbagai jaringan dalam tubuh (S.Colby.1999)
4
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Proses metamorfosis pada katak
Metamorfosis pada Amfibia selalu
dikaitkan antara larva dengan
perubahan lingkungan hidupnya, yaitu dari lingkungan akuatik menjadi individu terestrial. Sejalan dengan perubahan ini, Ordo Anura (katak dan kodok) juga mengalami perubahan jenis makanan. Berudu katak dan kodok memakan tumbuhan yang ada di perairan dengan bantuan gigi tanduk yang tumbuh di sekitar mulut. Beberapa memakan bahan organik sisa hancuran di dasar perairan dengan cara menelan lumpur dasar perairan dan sebagain lagi lebih suka memakan fitoplankton. Katak dewasa adalah karnivora yang memakan serangga, cacing, dan beberapa jenis katak memakan katak yang lebih kecil, burung, dan hewan pengerat yang dapat ditangkap dan ia telan. Perubahan pola organisasi hewan selama proses metamorfosis ada yang berjalan secara progresif dan ada pula yang regresif, sehingga berdasarkan hal ini dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu: a.
Struktur atau organ yang diperlukan selama masa larva tetap
terdapat organ lain yang memiliki struktur atau fungsi sama pada hewan dewasa atau mungkin hilang semua b.
Beberapa organ tumbuh dan berkembang selama dan setelah proses
metamorfosis c.
Organ yang ada dan berfungsi selama masa sebelum dan setelah
metamorfosis mengalami perubahan sesuai model dan kebutuhan hidup dari individu dewasa
5
Gambar 3.1 Proses Metamorfosis pada Katak Sumber: Surjono, 2001
Proses regresif selama metamorfosis berudu katak adalah sebagai berikut: a.
Ekor yang panjang dan semua strukturnya (lipatan sirip ekor)
mengalami resorpsi sampai habis b.
Insang luar juga mengalami resorpsi, penutup insang akan menutup
dan rongga peribrankria juga menghilang c.
Gigi tanduk yang ada di sekitar mulut akan mengalami penataan
kembali menjadi gigi yang terletak pada permukaan rahang, sementara bentuk mulut mengalami perubahan d.
Bumbung kloaka mengalami pemendekan dan reduksi
e.
Beberapa pembuluh darah mengalami reduksi, termasuk bagain
dari arkus aortikus Pembentukan organ baru selama metamoforsis, yaitu: 6
a.
Perkembangan
kaki
yang
sangat
progresif
terutama
pada
penambahan ukuran dan perubahan perubahan bentuk b.
Kaki depan yang tumbuh di dalam selaput operkulum memecah
dan tumbuh ke luar c.
Telinga tengah berkembang dan berhubungan dengan celah faring
pertama d.
Membran timpani tumbuh dengan baik disokong oleh rawan
timpani e.
Mata terdesak ke arah dorsal kepala dam kelopak mata tumbuh
f.
Lidah tumbuh dengan baik dari dasar mulut
g.
Organ-organ yang tetap berfungsi sebelum dan setelah masa larva
adalah kulit dan saluran pencernaan h.
Kulit berudu ditutupi oleh dua lapis epidermis yang selama proses
metamorfosis jumlah lapisan meningkat, sehingga terjadi penebalan dan permukaannya mengalami penandukan penandukan i.
Kelenjar serosa dan mukosa tumbuh pada epidermis dan tenggelam
sampai ke jaringan ikat pada lapisan dermis j.
Warna pigmen kulit mengalami perubahan, baik pola maupun
warna k.
Saluran pencernaan yang sebelumnya sangat panjang dan
melingkar pada masa larva mengalami pemendekan ke depan dan menjadi relatif lurus. Sejalan dengan proses metamorfosis yang tampak pada perubahan bentuk dan struktur morfologis, pada katak juga terjadi perubahan fisiologis. Perubahan fisiologis yaitu: a.
Sistem pencernaan
Sebagai herbivora, berudu bergigi tanduk, intestinum panjang, pankreas sebagai eksokrin. Pada waktu metamorfosis gigi tanduk tanggal. Intestinum menjadi lebih pendek karena sebagian besar sel-selnya mengalami resorbsi. Sel baru berasal dari lapisan basal menggantikan sel yang sudah degenerasi. 7
b.
Sistem integumentum
Kulit berudu terdiri dari lapisan epitel yang sederhana, tidak banyak sel yang menyusun. Setelah metamorfosis sel-sel yang menyusun kulit menjadi kompleks dan banyak jenis sel yang menyusun, diantaranya sebagai sel kelenjar. c.
Sistem pernafasan
Insang mengalami degenerasi karena pengaruh tiroksin. Sedangkan kuntum paru mengalami proliferasi dan diferensiasi membentuk alveolus. Ada kalanya saat pergantian sistem ini sebagai masa kritis bila yang mengalami regresi sudah lanjut tetapi alat baru belum berkembang. d.
Sistem ekskresi
Alat ekskresi larva semua sebagai pronefros dan mengalami degenerasi. Mesonefros berkembang menggantikan prenefros. e.
Anggota badan
Kaki terbentuk dan berkembang karena stimulasi dari tiroksin. Diferensiasi kuntum kaki dipengaruhi oleh kadar tiroksin yang tidak terlalu tinggi (UNY, 2009). Proses reduksi insang dan ekor berudu dipengaruhi oleh autolisis dari komponen jaringan organ tersebut yang dibantu oleh sel makrofag yang memakan sisa sel yang mengalami kematian. Selama proses metamorfosis berudu katak, proses penghancuran beberapa organ tubuh terjadi sangat nyata. Perubahan pada sistem pencernaan makanan mungkin mengganggu pola konsumsi berudu tersebut, sehingga katak yang baru saja megalami metamorfosis umumnya umumnya berukuran lebih kecil kecil
dibandingkan bentuk dan
ukuran berudu.
3.2 Penyebab terjadinya metamorfosis pada amfibia
Perubahan drasmatis pada banyak bagian tubuh hewan secara bersamaan selama proses metamorfosis memberikan gambaran bahwa proses tersebut dipicu oleh satu sebab yang sama yaitu terjadinya pelepasan hormon dalam 8
jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang memasuki masa metamorfosis. Hal ini dapat diketahui melalui beberapa percobaan yang dilakukan sebelumnya. Percobaan pertama dilakukan ketika Gunernatsch (1912) memberi makan berudu katak dengan serbuk kering kelenjar tiroid domba. Berudu yang diberi makan serbuk kering segera memasuki masa metamorfosis, sementara berudu lain yang diberi makan serbuk dari organ lain tidak mengalaminya. Dari percobaan ini terbukti te rbukti bahwa berudu be rudu akan bereaksi bereak si terhadap hormon kelenjar tiroid dengan mengalami metamorfosis. Percobaan yang kedua dilakukan dengan mengambil kelenjar tiroid pada berudu dengan cara operasi. Berudu yang tidak memiliki kelenjar tiroid tidak mengalami metamorfosis meskipun dapat tumbuh normal dan walaupun dipelihara lebih dari satu tahun berudu tetap tidak dapat mengalami metamorfosis. Percobaan ini membuktkan bahwa metamorfosis tidak dapat terjadi tanpa stimulus dari hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Percobaan yang ketiga dilakukan dengan memelihara berudu dan diberi makan makanan yang mengandung hormon dari kelenjar tiroid atau memlihara berudu di dalam larutan yang mengandung hormon kelenjar tiroid. Berudu yang diperlakukan dengan cara ini akan segera mengalami metamorfosis. Percobaan ini membuktikan bahwa hormon tiroid berperan penting sebagai seba gai pemicu metamorfosis, selain itu percobaan ini menunjukkan bahwa kelenjar tiroid bukanlah satu-satunya sumber pemicu terjadinya metamorfosis. Apabila suatu kelenjar tiroid direndam dalam larutan garam fisiologi, hormon dalam kelenjar tiroid akan terlarut dalam larutan garam fisiologis tersebut. Hormon ini berupa protein yang disebut gugus yodium atau iodin. Triglobulin merupakan suatu molekul yang berukuran besar dan dapat menembus dinding sel dalam proses meninggalkan kelenjar ti roid dan menuju sel target yang akan memberikan reaksi pemicu metamofosis.
9
Untuk dapat aktif, komponen yang mengandung yodium harus dilepaskan menjadi bagian yang lebih kecil. Secara kimia komponen yang lebih kecil ini merupakan gabungan dari asam amino tirosin dengan satu atau lebih gugus gugus iodin. Dua Dua yang terpenting
dari komponen komponen ini adalah tri-
iodotironin dan tiroksin. Pada tri-iodotironin terdapat tiga gugus iodin, sedangkan pada tiroksin terdapat empat gugu iodin. Tiroksin dihasilkan lebih banyak jumlahnya oleh kelenjar tiroid, tetapi tri-iodotironin tampak lebih aktif pada jaringan.
Gambar 3.2 Struktur tri-iodotironin (kiri) dan tiroksin (kanan) Sumber:Surjono, 2001
Pengujian untuk mengetahui pengaruh iodin menstimulus terjadinya metamorfosis dilakukan dengan memelihara berudu pada larutan yang mengandung iodin atau dengan menginjeksikan larutan iodin ke dalam tubuh berudu, atau dengan cara menanamkan kristal yodium pada tubuh berudu. Hasil dari pengujian diperoleh bahwa iodin mampu menstimulus terjadinya metamorfosis pada berudu pada larutan yang mengandung iodin, sekalipun dalam konsentrasi konsentrasi sangat rendah. Aktivitas atom yodium yodium dipengaruhi dipengaruhi oleh jenis asam amino tempat gugus yodium itu terikat. terikat . Hal ini dibuktikan dengan pemberian tiroksin dan di-iodotirosin. Apabila dua kelompok berudu diberi perlakuan dengan menempatkannya di dalam dua jenis larutan asam amino tersebut, dalam jumlah yodium yang sama, yodium yang terikat pada tiroksin 10
terbukti 300 kali lebih aktif dibandingkan dengan yodium yang terikat pada di-iodotirosin. Aktivitas tri-iodotironin kira-kira tiga hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan aktivitas tiroksin. Kelenjar tiroid bukanlah satu-satunya kelenjar yang berperan dalam memicu metamorfosis. Kelenjar lain yang juga sangat berperan adalah hipofisis. Hal ini dibuktikan melalui percobaan yang dilakukan dengan menghancurkan atau mengambil hipofisis dari seekor berudu. Penghancuran atau pengambilan hipofisis berudu ini ternyata membuat proses metamorfosis tidak akan terjadi, persis seperti kelenjar tiroid diambil. Pengambilan hipofisis dapat dikompensasi dengan cara mencangkokkan hipofisis dari katak dewasa dengan syarat kelenjar tiroidnya tetap berfungsi. Apabila kelenjar tiroidnya diambil, implantasi hipofisis tidak akan dapat memicu terjadinya metamorfosis. Hal ini membuktikan bahwa hipofisis tidak berperan langsung terhadap terjadinya metamorfosis, tetapi melalui stimulus ke kelenjar tiroid. Agensia yang diperlukan untuk mengaktifkan kelenjar tiroid dihasilkan pada bagian lobus anterior hipofisis yang disebut hormon tirotropik. Pada larva amfibia, hipofisi tidak memproduksi hormon tirotropik sampai saat normal untuk terjadinya proses metamorfosis. Hal ini dibuktikan dengan pengambilan kemudian
hipofisis dari berbagi stadium perkembangan berudu dan
diimplantasikan
pada
berudu
yang
telah
dihipofisektomi
sebelumnya. Hipofisis dari berudu yang siap metamorfosis atau dari katak dewasa
dapat
melakukan
kompensasi
sehingga
memicu
terjadinya
metamorfosis, sementara hipofisis dari berudu yang lebih muda tidak dapat melakukannya. Selain tiroksin, hipofisis juga mensekresikan hormon lain yang bekerja secara antagonis dengan hormon tiroksin selama masa berudu. Hormon ini memiliki struktur kimia hormon yang sangat mirip dengan prolaktin. Hormon ini menstimulus pertumbuhan dan mencegah terjadinya metamorfosis.
11
Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari penyebab proses terjadinya metamorfosis pada amfibia adalah proses metamorfosis dimulai apabila bagian anterior hipofisis memproduksi hormon tirotropik sampai mencapai kadar
tertentu,
sehingga
dapat
menstimulus
kelenjar
tiroid
untuk
mensekresikan hormonnya, terutama tiroksin. Konsentrasi tiroksin yang meningkat akan menutupi aktivitas hormon yang mirip prolaktin dan memengaruhi jaringan secara langsung. Hal ini menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis sel target dan juga memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel lain.
3.3 Reaksi jaringan kutub amfibia terhadap proses metamorfosis
Penyebab terjadinya proses metamorfosis itu adalah hadirnya hormonhormon kelenjar tiroid. Misalnya, bagaimana hanya sel-sel tertentu yang mengalami degenerasi sedangkan bakal kaki depan dan belakang malah tumbuh, suatu sistem yang bekerja secara antagonis. Apakah tidak mungkin hasil penghancuran sel-sel yang mengalami kematian pada reduksi ekor, insang dan saluran pencernaan juga digunakan untuk membangun organorgan yag baru muncul. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, beberapa percobaan telah dilakukan. Apabila sebagian ekor berudu dicangkokkan pada tubuh berudu yang lain dan berudu itu mengalami metamorfosis, maka ekor yang ditransplatasikan itu akan ikut diresorpsi setelah masa metamorfosis, metamorfosis,
maka ekor yang ditransplatasikan itu akan ikut
mengalami resorpsi. Sebaliknya apabila satu mata berudu dicangkokkan pada ekor berudu yang siap bermetamorfosis, maka mata pada ekor itu tidak akan ikut diresorpsi setelah masa metamorfosis terjadi. Ketika ekor mengalami pemendekan, maka mata pada ekor itu akan terbawa mendekat dan tetap hidup pada bagian sakral katak tersebut. Percobaan tersebut menunjukkan bahwa karakter reaksi terhadap stimulus dari kelenjar tiroid tidak tergantung pada tempat tetapi pada keadaan 12
alami dari organ itu sendiri. Percobaan serupa juga dilakukan untuk membuktikan bahwa stimulus dari kelenjar tiroid dibawa oleh pembuluh darah, karena hanya dengan cara itulah stimulus dapat mencapai tiap-tiap target. Dengan demikian sekret dari kelenjar tiroid adalah hormon yang memiliki kemampuan khusus. Apa yang terjadi apabila suatu jaringan yang dipengaruhi oleh hormon kelenjar tiroid adalah suatu hormon yang memiliki kemampuan khusus. Apa yang terjadi apabila suatu jaringan yang dipengaruhi oleh hormon kelenjar tiroid dideterminasi oleh sifat-sifat reaktif dari jaringan itu sendiri atau dikenal sebagai sifat kompetensi. Sifat kompetensi dari suatu jaringan tidak secara langsung berhubungan dengan struktur histologisnya. Pada berudu miotom dari ekor mengalami resorpsi selama
proses
metamorfosis,
sementara
miotom
dari
kaki
banyak
mengalaminya. (Surjono, 2001)
Gambar 3.3 Kekhususan organ selama metamorfosis katak Sumber : Surjono, 2001
13
Lebih jauh telah diketahui bahwa diketahui bahwa bagian tubuh yang berbeda bereaksi tidak sama terhadap dosis hormon kelenjar tiroid. Bila hormon tiroid diberikan pada berudu dengan dosis yang sangat rendah, maka dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan kaki belakang dan pemendekan saluran pencernaan. Pemberian dosis yang lebih tinggi dapat memicu munculnya kaki depan. Dosis yang lebih besar diperlukan untuk dapat terjadi resorpsi ekor. Di sini terdapat bukti bahwa diperlukan dosis yang berlipat agar reaksi dapat terjadi. Pada bagian ekor tampak lebih reaktif dibandingkan pangkal ekor. Secara umum tampak bahwa sensitivitas terhadap hormonhormon-hormon kelenjar tiroid direfleksikan oleh bagian-bagian tubuh yang dipengaruhinya selama perkembangan normal. Bagian yang memiliki sensitivitas tinggi(kadar hormon rendah, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu dibandingkan dengan bagian – bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah (memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu dibandingkan dengan bagian-bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah (memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalya reduksi ekor). (Surjono, 2001) Percobaan lain yang membuktikan adanya pengaruh dosis hormon ini adalah dengan cara meninjeksikan hormon dengan konsentrasi tertentu kepada berudu yang masih muda. Apabila hormon dengan dosis tinggi diberikan pada berudu yang masih muda, maka metamorfosis dapat teradi secara serentak, dan urut-urutan kejadian pada proses itu menjadi kacau, proses penghancuran organ terjadi lebih cepat sebelum jadi, ekor akan mengalami reduksi lebih cepat sebelum kakinya terbentuk sempurna dan berfungsi dalam mengatur gerakan. Hasilnya sudah barang tentu hewan akan mengalami kesulitan dan kematian. (Surjono, 2001)
3.4 Proses-proses Proses-proses induksi selama metamorfosis amfibia
Meskipun secara umum tampak bahwa proses metamorfosis adalah reaksi langusung terhadap hormon kelenjar tiroid yang mencapai jaringan 14
yang bersangkutan, beberapa hal tetap memerlukan perhatian. Kulit yang menutup ekor berudu seharusnya ikut mengalami nekrosis selama proses metamorfosis, tetapi kenyataannya tidak mengalami nekrosis apabila kulit ekor itu dicangkokkan pada tubuh tanpa sel-sel otot ekor yang ada di bawahnya. Apabila pada kulit ekor itu masih terdapat sel-sel otot yang ikut dicangkokkan ke bagian tubuh manapun, maka kulit itu akan tetap mengalami nekrosis. Ini adalah bukti nyata bahwa hormon kelenjar tiroid itu hanya mempunyai efek langsung kepada jaringan otot dan apabila kulit yang melingkupinya ikut mengalami resorpsi itu adalah akibat sekunder. (Surjono, 2001) Sebuah kejadian yang lebih kompleks pada proses ini adalah terbentuknya membran timpani pada katak. Telinga yang berupa rongga berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran eustakhius merupakan salah satu struktur yang tumbuh secara progessif selama proses metamorfosis. Diferensiasi
membra
timpani
terjadi
menjelang
berkahirnya
proses
metamorfosis. Dimulai dengan terbentuknya rawan yang berbentuk cincin ( disebut rawan timpani) yang berkembang sebagai penonjolan dari rawan kuadrat. Kulit yang kemudian tumbuh menjadi membran timpani semula, tampak tidak berbeda dengan kulit yang ada di sekitarnya. Selama masa metamorfosis, jaringan ikat kulit di daerah yang akan menjadi membran timpani mengalami reorganisasi. Lapisan serabut (stratum compactum) terpecah karena aktifitas sel-sel fagositis dan sebuah lapisan jaringan ikat baru yang lebih tipis kemudian dibangun di tempat ini. Pada membran timpani yang sudah sempurna, ketebalan kulitnya akan menjadi kurang dari setengah ketebalan kulit normal, tetapi lebih kompak dan berbeda pigmentasinya. (Surjono, 2001) 2001) Oleh karena itu diketahui bahwa diferensiasi membran timpani bukanlah sebagai akibat langsung dari hormon kelenjar kele njar tiroid tetapi diinduksi oleh rawan timpani. Apabila rawan timpani dihilangkan sebelum masa metamorfosis, maka membran timpani tidak akan berkembang. Apabila 15
daerah ditutup dengan kulit yang berasal dari bagian tubuh lain , maka membran timpani tetap akan berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit pada bagian tubuh yang lain, maka membran timpani tetap akan berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit pada bagian tubuh mana saja sebelum berudu mengalami metamorfosis, maka kulit di atas rawan timpani itu akan mengalami diferensiasi menjadi membran timpani. (Surjono, 2001) Dengan demikian bisa ditarik suatu rantai peristiwa yang saling berinteraksi sebelum membran timpani mengalami diferensiasi. Tahap pertama adalah adalah terbentuknya hipofisis rudimenter. Berikutnya terjadi pertumbuhan karena terjadinya invaginasi stomodem yang diinduksi oleh lapisan endoderm mulut. Hipofisis kemudian mensekresikan hormon tirotropik yang mengaktivasi kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid kemudian melepaskan hormon-hormon kelenjar tiroid yang menyebabkan bagian posterior rawan kuadrat mengalami diferensiasi menjadi rawan timpani. Rawan timpani ini kemudian menstimulus kulit di atasnya sehingga mengalami diferensiasi menjadi membran timpani. (Surjono, 2001)
Gambar 3.4 Perkembangan membran timpani sangat tergantung pada rawan timpani Sumber : Surjono, 2001
16
3.5 Proses ganti kulit (molting) dan hubungannya dengan metamorfosis serangga
Harus diperhatikan bahwa metamorfosis pada serangga adalah spesifik karena melibatkan pergantian kulit. Pergantian kulit adalah suatu keajdian yang biasa dialami hewan yang memiliki kulit dari bahan tanduk atau kutikula, karena kulit macam ini tidak bisa bertambah besar ketika hewan itu tumbuh membesar, maka diperlukan proses ganti kulit (molting). Sebagian besar dari permukaan kulit serangga mengalami penebalan dari lapisan kutikula misalnya bentuk seluruh tubuh, rambut, dan duri pada kulit, “sculpture” pada per mukaan mukaan kutikula dan pigmentasinya. Selama proses ganti kulit, bentuk-bentuk ini terlepas terikut dengan kutikula yang dibuang. Untuk membentuk karakter luar dari seekor serangga, maka kutikula dengan pola yang baru atau tetapseperti sebelum ganti kulit harus dibuat setiap kali mengalami ganti kulit. Kutikula ini keras dan umumnya berukuran lebih besar. Kutikula yang baru disekresikan oleh epidermis kulit dan lapisan inilah yang bertanggung jawab dalam menentukan karakter luar seekor serangga melalui ganti kulit. Apakah serangga yang ganti kulit adalah merupakan “copy” dari serangga sebelumnya dengan ukuran yang lebih besar atau membentuk karakter yang baru sama sekali. Proses ganti kulit merupakan suatu proses yang kompleks. Diantaa dua tahap ganti kulit, sel-sel epidrmis diam, berbentuk rata dan lapisannya lebih tipis/sedikit. Sel-sel epidermis pada lapisan terluar berlekatan dengan permukaan dalam dari kutikula. Sebelum ganti kulit, sel-sel ini mengalami aktivasi, yaitu mengalami pemisahan sendiri dari kutikula dan memasuki fase penumbuhan dan pembelahan yang sangat cepat. Sejumlah mitosis dapat dilewati dengan baik. Jumlah sel epidermis yang dihasilkan dari mitosis ini mungkin sesuai dengan kebutuhan dan sebagian dari sel-sel itu kemudian mengalami degenerasi, lapisan sel-sel epidermis ini juga mengalami degenerasi melalui piknosis. Disamping mengalami degenarasi, lapisan sel17
sel epidermisini juga mengalami penebalan dan beberapa sel mengalami perubahan bentuk menjadi lapisan epitel berbentuk kolumnar/silindris. Permukaan epitel ini memberi bayangan bentuk serangga yang sedang ganti kulit. Pada bagian-bagian tubuh yang mengalami pembesaran akibat ganti kulit, epidermis tumbuh sebagai lipatan-lipatan yang kemudian akan membuka saat serangga keluar dari kulit lamanya. Lipatan itu umumnya indah sekali pada saat baru dan melebar dengan cepat (misalnya sayap) serta harus tumbuh. Pada permukaan sel-sel epidermis itu kemudian dihasilkan lapisan sekresi yang kemudia mengeras menjadi lapisan luar kutikula baru, disebut epikutikula, yang terdiri dari substansti lipoprotein alami disebut kutikulin. kutikulin. Suatu cairan yang dihasilkan oleh kelenjar khusus kemudian disekresikan ke atas lapisan kutikula yang baru dan di bawah kutikula yang lama. cairan ini berisi enzim enz im yang memangkas lapisan dalam d alam dari lapisan kutikula yang lama hingga hanya sedikit saja lapisan kutikula yang masih melekat tertinggal. Cairan yang digunakan untuk memangkas lapisan kutikula lama ini kemudian akan direabsorbsi kembali oleh tubuh serangga. Pada saat yang sama, lapisan kutikula lama dipangkas dan dihancurkan, epidermis menghasilkan lapisanlapisan baru di bawah epikutikula, disebut eksokutikula, yang berisi banyak kutikulin dan substansi fenolik yang kemudian mengoksidasi lapisan itu sehingga
kutikula
berwarna
gelap,
dan
kemudian
dibentuk
lapisan
endokutikula, yang terdiri dari khitin, suatu polisakarida yang mengandung nitrogen. Ketika lapisan kutikula yang lama telah menjadi tipis, maka pada bagian belakang kepala dan tubuh akan terlepas dan serangga kemudian keluar dari kulit tuanya. Kutikula baru sekarang terbentuk dengan lengkap setelah ganti kulit ini, maka kutikula mengalami pengerasan dan pigmen warna-warni
kemudian
terbentuk
dari
prekursornya.
Lapisan-lapisan
endokutikula dibentuk oleh sel-sel epidermis dan dideposisikan pada
18
permukaan dalam kutikula beberapa hari atau bahkan beberapa minggu setelah ganti kulit selesai.
Gambar 3.5 Dua stadium ganti kulit pada serangga. (A) Kutikula tua terlepas dari epidermis yang telah memproduksi epikutikula baru (garis hitam tebal). (B) bagian dalam kutikula tua diluruhkan dan lapisan endokutikula dihasilkan dibawah lapisan epikutikula baru tersebut. (d) kelenjar ganti kulit, (c) Cairan ganti kulit. (Balinsky, 1981)
Disini tampak bahwa beberapa elemen metamorfosis amfibia, disebut proses destruksi (berupa resorpsi dari kutikula lama, nekrosis dari sebagian sel-sel epidermis) seperti juga proses konstruksi (perubahan bentuk sel-sel epitel epidermis, pembentukan kutikula baru ) juga terjadi pada proses ganti kulit serangga in. keadaan ini sangat tergantung apakah hasil ganti kulit ini akan membentuk kulit yang sama dan sebangun bentuknya dengan bentuknya yang lama atau akan berbeda seluruhnya. Apabila sama dan sebangun dengan bentukya yang lama, maka ganti kulit ini berperan dalam penumbuhan dari hewan yang bersangkutan, tetapi apabila berbeda sama sekali dengan aslinya maka proses ini menjadi suatu proses mekanisme yang sangat progresif. Apabila perbuhan yang dihasilkan oleh proses ganti kulit ini sangat nyata bedanya, maka hasilnya adalah metamorfosis. Pada Apterygota, insekta yang tidak bersayap serangga muda yang menetas dari telur 19
sebenarnya sudah sama bentuknya dengan serangga dewasa, hanya berbeda pada ukurannya dan tingkat kemmatangan organ seksual. Ganti kulit pada serangga ini hanya menyebabkan pertumbuhan ukuran tubuh, dan pemaksaan organ seksual tidak berkaitan dengan proses ganti kulit, bahkan ganti kulit dan tumbuh tetap terjadi meskipun ia sudah dewasa secara seksual. Pada kelompok Pterygota Pterygota (serangga bersayap atau yang tidak punya sayap sekunder), terdapat stadium imago yang nyata, yang dicapai setelah mengalami ganti kulit imago yang spesifik dan setelah itu serangga tidak akan ganti kulit lagi. Kecuali pada serangga yang tidak mempunyai sayap sekunder, stadium imago bebrbeda dengan stadium larva karena kehadiran sayap. Imago juga berbeda dengan stadium larva karena organorgan genital eksternalnya sudah berkembang dengan lengkap (gonadnya mungkin akan berfungsi dengan sempurna hanya beberapa saat setelah metamorfosis). Pada serangga-serangga yang lebih primitif, sayap mungkin akan bertumbuh secara gradual dari sayap rudimenter yang tumbuh dari bagian dorsal dari segmen toraks kedua dan ketiga sudah tampak sejak masa akhir stadium larva, atau mereka sering disebut sebagai stadium nimfa (nympha). Sayap rudimenter ini bertambah besar setiap kali serangga tersebut mengalami ganti kulit, tetapi pada proses ganti kulit terakhir ukuran sayap ini akan bertambah dengan pesat dan setelah itu menjadi fungsional. Hanya pada Epheroptera yang memiliki dua pasang sayap bersifat “membraneous”, terjadi stadium sayap peprtama, disebut subimago, disebut subimago, dan dan mengalami ganti kulit lagi sehingga menjadi imago. Serangga yang sayap redimennya tumbuh pada permukaan
tubuh
disebut Exopterygota, Exopterygota,
termasuk
didalamnya
ada
belalang,capung, kecoa, dan lain-lain. Pada kelompok serangga yang paling maju, saya[ telah tumbuh secara internal sebagai l ipatan anggota gerak selama stadium larva di dalam suatu kantung pada epidermis. Epidermis yang menutup sayap rudimenter ini, membawa sifat-sifat embrionik sepanjang masa larva. Meskipun sayap rudimen ini tumbuh lambat, bagian epidermis 20
tidak ikut berperan dalam pembentuan kutiula eksternal dan baru ikut bereaksi ketika stadium larva berakhir. Bagian rudimenter tersimpan di bawah permukaan tubub pada stadium larva dan mengalami diferensiasi penuh menjadi imago disebut “imaginal discs”. (Gambar discs”. (Gambar 3.6) Serangga yang sayapnya
tumbuh
secara
internal
seperti
“imaginal
discs” discs” disebut
Endopterygota, Endopterygota, termasuk di dalamnya adalah kupu-kupu, lebah, nyamuk, lalat, dan lain-lain.
Gambar 3.6 “Imaginal disc” pada stadium terakhir larva tawon parasit Encynus (an) anterna (e) bakal mata, (m) mandibula, (g) organ genital, genital, (mx1 dan mx2) pasangan maksila 1 dan 2, (l) kaki, (w) sayap. (Balinsky, 1981)
Meskipun perkembangan sayap pada serangga dewasa ini paling menarik perhatian, tetapi bagian tubuh yang lain juga mengalami perubahan selama metamorfosis dari seekor larva atau nimfa menjadi dewasa (imago). Meskipun seekor larva atau nimfa itu mempunyai gaya hidup yang persis sama dengan bentuk dewasa dan memiliki persamaan penampilan seperti pada belalang misalnya, tetap saja ada bagian-bagian yang mengalami perubahan struktur. Pada serangga Rhodnius serangga Rhodnius prolixus misalnya, prolixus misalnya, struktur rinci dan pigmentasi pada hewan dewasa sangat berbeda dengan struktur larva 21
terakhirnya, sehingga dari sebagian kecil potongan kulitnya dapat dibedakan dengan mudah antara stadium larva dan dewasa. Pada serangga yang termasuk endopterygota, perbedaan antara stadium larva dan dewasa sangat mencolok. Tidak hanya sayapnya yang benar-benar berbeda, tetapi juga bagian-bagian tubuh yang lain seperti mulut, antena, dan kaki tumbuh dari “imaginal discs”, dan kaki-kaki serta anggota gerak stadium larva hilang, seperti misalnya pada kupu-kupu. Pada beberapa tawon parasit dan lalat seperti Drosophila dan Musca, Musca, seluruh epidermis larva akan dibuang dan digantikan dengan epidermis imago yang diturunkan dari suatu sel sel “imaginal discs”. Bersamaan dengan pembentukan alat-alat alat -alat gerak dan organ-organ eksternal, organ-organ internal juga mengalami reorganisasi. Seperti halnya terjadi perubahan pada sayap dan kaki yang sama sekali berbeda antara stadium larva dan imago dari larva yang berjalan merambat menjadi imago yang dapat terbang atau meloncat, maka sistem otot yang mendukungnya juga mengalami perubahan organisasi. Selama metamorfosis pada serangga serangga tingkat tinggi, otot-otot larva mengalami kerusakan, dan sisa-sisa dimakan oleh sel-sel fagosit. Otot hewan dewasa kemudian tumbuh, misalnya otot untuk menggerakkan sayap. Mata pada serangga dari keluarga yang lebih maju juga berbeda dengan mata yang dimilikinya ketika masih menjadi larva dan tumbuh dari “imaginal discs” yang spesifik. Kebanyakan sel dari saluran pencernaan larva mengalami resorpsi dan pada saluran pencernaan serangga dewasa kemudian tumbuh lapisan epitel baru yang dihasilkan dari pertumbuhan sel yang terdapat sebagai kantung cadangan sel yang dapat ditemukan diantara sel-sel fungsional dari usus lama. Sementara perubahan oderat pada serangga exopterygota dapat terjadi pergantian kulit, reorganisasi pada serangga endopterygota terjadi selama masa istirahat, dikenal sebagai kepompong atau pupa, yang merupakan masa antara bentuk larva dan dewasa. Pada pupa, kantung yang berisi “imaginal disc” (sayap,kaki, antena, dll) berpindah ke permukaan. Secara internal 22
pembentukan bagian-bagian hewan dewas belum lengkap dan sementara terjadi reorganisasi pada stadium pupa. Pada tahap pupa, serangga itu tidak akan makan dan gerakan mereka sangat terbatas, jika tidak diam sama sekali. Apabila reorganisasi telah selesai, pergantian kulit terjadi lagi dan imago keluar dari pupa. Metamorfosis yang melibatkan stadium pupa disebut metamorfosis lengkap dan serangga yang memiliki metamorfosis ini disebut holometabola. Sementara itu serangga yang tidak melalui stadium pupa dan dengan demikian tidak mengalami metamorfosis secara lengkap disebut hemimetabola. Dalam terminologi sistematika hewan holometabola sama dengan endopterygota, meskipun sebenarnya memiliki perbedaan arti yang sangat mendasar. Perbedaan pola antara serangga yang mengalami metamorfosis secara lengkap (holometabola) dan secara tidak lengkap (hemimetabola) dapat dilihat pada Gambar.... (Surjono, 2001)
Gambar 3.7 Dua macam metamorfosis pada serangga Sumber : Gilbert, 1988
23
3.6 Penyebab terjadinya ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga
Dalam proses pergantian kulit biasa (larval (larval molt ), ), seluruh bagian tubuh harus terlibat dan menyelesaikan dalam waktu yang bersamaan agar proses ganti kulit menjadi sempurna. Ini memberikan gambaran bahwa satu penyebab utama harus ada agar semua bagian tubuh serangga terlibat. Keberadaan satu penyebab utama ini bahkan menjadi semakin nyata pada serangga-serangga yang mengalami perubahan radikal pada bentuk organorgan eksternal dan internal. Beberapa kasus yang terjadi secara alami, dapat dipelajari dengan mudah bahwa suatu faktor eksternal diperlukan untuk terjadinya suatu pergantian kulit. Pada kutu penghisap darah, Rbodnius, Rbodnius, faktor itu adalah makanan yang masuk. Serangga ini hanya makan sekali dalam interval dua pergantian kulit, yaitu menghisap dara sebanyak banyaknya sehingga ukuran tubuhnya mengembang menjadi besar beberapa kali lipat. Pergantian kulit akan terjadi secara reguler setiap 12-15 hari setelah makan pertama (pada 4 stadium pertama larva). Ketergantungan ganti kulit pada makanan yang diperoleh juga terjadi pada stadium larva terakhir, stadium instar 5, hanya saja interval waktunya bisa lebih lama, kira-kira 28 hari, dan hasilnya akan berbeda. Ganti kulit akan mengubah larva menjadi seekor imago yang bersayap. Contoh lain yang menunjukkan bahwa faktor eksternal diperlukan untuk memulai sebuah proses ganti kulit adalah pada pupa ngengat Platysamia cecropia. Setelah membentuk pupa, serangga ini memasuki masa diam dengan laju metabolisme yang tereduksi, disebut diapause, diapause, yang terus berlanjut selama musim dingin. Hal ini penting sekali karena selama itu pupa terdedah (exposed) terhadap dingin, kalau tidak diapause akan diperpanjang tidak menentu. Meskipun demikian diapause ini akan selesai atau terganggu apabila pupa diperlukan pada suhu dingin (3-5° C) selama sedikitnya dua minggu. Pendinginan temporer ini merupakan proses vital bagi pupa dan sekembalinya pada lingkungan yang lebih hangat 24
pupa mengalami ganti kulit, dan saat itulah perkembangan terjadi dengan lengkap dan serangga memasuki stadium imago. Pada kebanyakan serangga, jarang sekali ditemukan daktor eksternal yang dapat menyebabkan terjadinya ganti kulit dan proses ganti kulit yang satu mengikuti proses sebelumnya pada interval yang tampaknya ditentukan oleh faktor internal. Pada kebanyakan serangga, berat badan meningkat sampai menjadi proporsi yang pasti antara dua ganti kulit, sering ditentukan oleh satu atau dua faktor, dan akan tampak bahwa sejumlah sintesis harus dilakukan sebelum stimulus untuk melakukan ganti kulit berikutnya dihasilkan di dalam organisme tersebut. Pada kasus faktor eksternal memicu terjadinya proses ganti kulit sekalipun, dapat diamati bahwa faktor luar itu tidak berpengaruh pada tubuh secara langsung tetapi dikendalikan oleh otak. Apabila seekor larva Rbodnius Rbodnius dipotong bagian lehernya (dekapitasi), satu atau dua hari setelah menhisap darah maka proses ganti kulit tidak akan terjadi, meskipun ia dapat hidup hingga lebih dari setahun kemudian. Tetapi apabila dekapitasi dilakukan lima hari atau lebih setelah ia menghisap darah, maka ganti kulit akan terjadi. Pada waktu itu stimulus yang dikirim oleh otak telah melewati bagian leher yang dipotong dan dapat menyebabkan seluruh tubuh dan menyebabkan terjadinya pergantian kulit. Percobaan serupa juga dilakukan terhadap pupa ngengat Platysamia yang Platysamia yang telah diaktivasi pada suhu rendah dan kemudian dicangkokkan kepada pupa yang tidak diperlakukan pada suhu dingin. Pencangkokkan otak dari pupa yang sudah diperlakukan dengan suhu dingin untuk memberi stimulus kepada pupa yang tidak diperlakukan dengan suhu dingin untuk ganti kulit berikutn ya dan imago akan keluar dari pupa. Kejadian tersebut tidak dapat terjadi apabila yang dicangkokkan adalah organ tubuh selain otak. Hal itu menunjukkan bahwa suhu dingin secara langsung mempengaruhi otak, dan seluruh tubuh akan melakukan itu. Percobaan pemotongsn kepala dan akibatnya pada proses ganti kulit dan metamorfosis dapat dilihat pada Gambar ...
25
Gambar 3.8 Percobaan menunjukkan pentingnya kelenjar protoraks dalam proses ganti kulit (molting) dan metamorfosis (A) larva Rhodnius normal, (B) larva didekapitasi dan dicangkokkan pad badannya, (C) larvaa yang diikat pada bagian metathorak dan implam pada bagian perut. (a) Pupa normal dari Ephestia kubnella, (b) hasil yang diakibatkan dari pengikatan ulat sebelum hormon kelenjar pratoraks dilepaskan, dan bagian posterior dan ikatan masih tetap dalam stadium larva. (c) hasil yang diperoleh dari pengikatan yang dilakukan setelah hormon kelenjar protoraks dilepaskan, kedua bagian menjadi pupa (Balinsky, (Balinsky, 1981)
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah bagaimana otak dapat mempengaruhi seluruh tubuh. Seperti yang terjadi pada amfibia, ganti kulit dan metamorfosis yang terjadi pada serangga dikontrol oleh hormon-hormon yang dieksresikan oleh tiga jenis organ yaitu : otak (protoserebrum), korpora alata, dan kelenjar protoraks. Di dalam otak sebuah hormon protoasikotropik diproduksi oleh sel-sel neurosekretoris yang teratur dalam empat kelompok. 26
Dua kelompok dekat ke garis tengah dan sepanjang aorta dorsal, terdapat dua pasang badan yang dihubungkan, dengan protoserebrum oleh serabut-serabut saraf yaitu korpora kardiaka. Badan tersebut adalah ganglion dan korpora alata yang terdiri dari sel-sel sekretoris. Pada beberapa jenis serangga, korpora alata mungkin bersatu dengan badan. Kelenjar endokrin ketiga, kelenjar protoraks, berupa kumpulan sel-sel kelenjar yang membentuk percabangan tidak teratur dan terletak di bagian dada berhubungan dengan selubung trakea. Sel-sel dari ketiga jenis jelenjar ini menunjukkan adanya siklus sekresi yang teratur untuk setiap terjadinya pergantian kulit. Pergantian kulit dimulai dari sekresi kelanjar pada protoserebrum yaitu hormon protorasikotropik yang berfungsi mengaktifkan kelenjar protoraks. Kelanjar protoraks kemudian akan mengesekresikan homon yang disebut ekdison (ecdyson). (ecdyson). Ekdison ternyata bukanlah hormon yang bentuk aktif, melainkan merupakan prohormon yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum berfungsi. Disini ekdison diubah menjadi hormon ekdisteron. Hormon eksdisteron inilah yang mempengaruhi terjadinya proses ganti kulit pada epidermis,
seperti:
pertumbuhan
dan
pembelahan
sel-sel
epidermis,
pemisahan kutikula lama, dan produksi produksi kutikula yang baru. (Gambar 3.8) Bagaimana membuktikan adanya stimulus awal terjadinya ganti kulit berasal dari otak, dan hal ini sel-sel neurosekretoris dari protoserebrum. Salah satu dari sekian banyak percobaan yang telah dilakukan adalah mencangkokan otak dari pupa Platysamia yang telah diaktivasi kepada pupa yang belum diaktivasi sehingga menyebabkan terjadinya proses ganti kulit dan menghasilkan imago ngengat. Salah satu variasi percobaan yang sama telah dilakukan untuk membuktikan bahwa sekresi sel-sel otak tidak dapat berperanan langsung tapi selalu melalui aktivasi sel-sel kelenjar protoraks. Percobaan itu tidak mencangkokkan sel-sel otak kepada satu pupa yang utuh, melainkan hanya kepada bagian posterior dari seekor pupa yang telah dipotong di tengahnya dan dipisahkan dengan menggunakan lilin. Dalam kondisi ini maka sel-sel otak yang dicangkokkan tersebut tidak dapat 27
menstimulus terjadinya ganti kulit, dan metamorfosis terjadi. Apabila diamping sel-sel otak, kelenjar protoraks juga dicangkokkan, maka metamorfosis akan berlangsung (Williams, 1947; Wigglesworth, 1954) Percobaan yan serupa juga telah dilakukan pada kepinding Rhodnius. Rhodnius. Setelah sel-sel neurosekretoris dari otaknya diaktivasi karena kepinding itu telah menghisap darah, otak itu kemidian dicangkokkan pada badan seekor kepinding lain yang telah didekapitasi. Larva kepinding ini masih tetap memiliki kelenjar protoraks yang fungsional yang kemudian bereaksi dan proses ganti kulit masih tetap te tap terjadi. Tetapi apabila otak dicangkokkan pada potongan perut larva maka proses ganti kulit tidak akan terjadi. Perstiwa sebaliknya terjadi apabila pada potongan tersebut juga dicangkokkan kelenjar protoraks, (Wiggleseorth,1954)
Gambar 3.9 Diagram skematis yang menggambarkan mekanisme kontrol proses ganti kulit dan metamorfosis pada ngengat tembakau. (Gilbert,1988)
28
Peranan otak dan kelanjar protoraks sebagai agen penyebab proses ganti kulit juga dapat dipelajari pada serangga-serangga yang mengalami proses ganti kulit tanpa dipengaruhi oleh faktor luar. Apabila otak dibuang dari seekor ulat sebelum waktu yang diperkirakan akan terjadinya proses ganti kulit, maka ulat itu akan tetap hidup lebih dari dua bulan tanpa proses ganti kulit atau membentuk pupa. Pecangkokan otak dari ulat lain mengembalikan kemampuan ulat yang sudah tanpa otak tersebut untuk menyelesaikan proses perkembangannya (Kahn dan Piepho, 1936). Sekali kelenjar protoraks telah mengalami aktivasi, otak tidak lagi diperlukan untuk memulai terjadinya proses ganti kulit. Dengan demikian hanya hormon dari kelenjar protoraks yang sangat berperan dalam proses ganti kulit. Apabila seekor ulat yang telah mencapai stadium akhir masa larva diisolasi bagian posterior toraksnya, maka bagian tubuh yang akan berkembang menjadi pupa hanyalah bagian anteriornya, sedangkan bagian posterior yang tidak dapat dijangkau oleh hormon ganti kulit tetap, dalam kondisi larva. Beberapa saat kemudian apabila hormon tersebut telah tersebar di seluruh tubuh, maka pemisahan transversal ini tidak dapat mencegah proses terjadinya pupa dari bagian posterior ulat tersebut. Hormon-hormon
yang
dihasilkan
oleh
sel-sel
naurosekretoris,
protoserebrum dan kelenjar protoraks menginduksi serangga untuk ganti kulit, mengubah larva menjadi pupa atau imago ganti kulit atau berubah menjadi imago saja. Sangat menarik bahwa kedua kelenjar yang telah disebutkan terdahulu, yaitu sel-sel neurosekretoris protoserebrum dan kelenjar protoraks apabila beraksi sendiri dapat menyebabkan terjadinya ganti kulit, yaitu terjadinya imago pada kelompok serangga yang termasuk hemimetabola dan terjadinya pupa pada kelompok yang termasuk serangga holometabola.
29
Gambar 3.10 Metamorfosis dini yang terjadi pada ngengat ulat sutra yang disebabkan oleh penghilangan korpora alata selama masa masa instar III. Larva langsung mengalami pembentukan pupa dan tidak mengalami mengalami ganti kulit untuk menjadi larva instar V. (Gilbert, 1988)
Rasanya tidak mungkin kita dapat menghilangkan korpora alata pada ulat kaper (moth). Secara umum, pada setiap stadium dimana operasi dilakukan, ulat akan segera berubah menjadi pupa pada proses ganti kulit berikuitnya. Kadang-kadang seekor kaper akan keluar dari pupa, meskipun ukurannya hanya setengah dari ukuran nomal (Gambar 3.9 (diatas) Bounhiol, 1937) dengan demikian korpora alata diperlukan oleh serangga untuk mencegah serangga mengalami metamorfoisis dan menahan serangga agar tatap pada stadium larva. Oleh karena itu, sekret dari korpora alata disebut hormon juvenil hormon juvenil sel-sel korpora alata menunjukkan tanda-tanda adanya sel-sel kelenjar (Sel-selnya membengkak, kenampakan dan pelepasan vakuola dan lain-lain). Pada setiap proses ganti kulit pada stadium larva sampai mencapai akhir stadium larva. Aktivitas ini tidak nampak lagi apabila serangga telah mencapai tahap ganti kulit menjadi pupa atau imago. Kenyataannya, setiap kali terjadi proses ganti kulit, korpora alata tidak bersekresi atau tampak kurang aktif dibandingkan pada keadaan sebelumnya hal ini membuktikan ketidakhadiran hormon juvenil atau ada dalam konsentrasi sangat rendah 30
sehinggga protoserebrum dapat melepaskan hormon protosikotropik yang memicu terjadinya metamorfosis. Pembuktian telah dilakukan dengan cara mencangkokkan korpora alata dari seekor larva muda kepada larva stadium akhir yang seharusnya sudah mengalami matamorfosis pada proses ganti kulit berikutnya. Larva tersebut terseb ut tetap mengalami proses ganti kulit, tetapi dibawah pengaruh
hormon
juvenil
yang
disekresikan
oleh
kelanjar
yang
dicangkokkan, maka serangga itu tidak diubah menjadi benbtuk imago (hali ini
terutama
terjadi
pada
kelompok
serangga
hemimetabola)
atau
menghasilkan larva yang besarnya abnormal.
Gambar ( 3.11) (A) Nimfa normal stadium V (terakhir) Rhodnius. (B) Rhodnius dewasa normal. (C) Nimfa raksasa stadium VI yang dihasilkan pencangkokan korpora alata dari nimfa stadium IV kedalam rongga perut nimfa stadium V. (Balinsky, 1981)
Pada kelompok serangga yang termasuk holometabola, keadaan yang terjadi jauh lebih kompleks karena terjadi dua kali, proses ganti kulit dengan perubahan morfologis yaitu ganti kulit menjadi pupa, dan ganti kulit menjadi imago. Penghilangan korpora alata dari ulat akan menyebabkan ulat menjadi pupa. Beberapa percobaan mengindikasikan bahwa sebagian dari peristiwa transformasi bentuk ini berkaitan dengan tems menurunnya kadar hormon juvenil
di
dalam
daarah,
dari
hewan
yang
bersangkutan.
Setelah
penghancuran kelenjar, hormon juvenil masih tetap tersisa dalam kadar k adar yang 31
rendah di dalam peredaran darah dan tetap digunakan hingga waktu terjadinya proses ganti kulit kedua.
3.7 Faktor-faktor Faktor-faktor yang mengontrol terjadinya proses ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga
Pada bagian terdahulu telah diasumsikan bahwa agen-agen yang dihasilkan oleh kelenjar pratoraks dan korpora alata adalah hormon. Kesimpulan ini dapat ditarik dari kenyataan bahwa efek dari kehadiran organorgan ini tidak tergantung pada tempat dimana mereka berada, apakah mereka pada posisi normal atau apakah ia dicangkokkan pada tempat yang tidak semestinya. Oleh karena itu bukti-bukti lebih jauh tentang kehadiran substansi kimia tersebut akan dibicarakan pada bagian ini. Ketika proses ganti kulit atau metamorfosis terjadi, tidak hanya seluruh bagian tubuh dari serangga itu yang bereaksi bersama-sama, melainkan juga bagian-bagian yang dicangkokkan kepadanya melakukan hal yang sama. “Imaginal disc” dan bagian-bagian bagian -bagian lain dari tubuh yang dicangkokkan di antara hewan-hewan pada stadium yang berbeda, akan mengalami proses ganti kulit dan metamorfosis secara bersamaan dengan semua bagian dari hewan yang akan mengalaminya. Sebuah percobaan yang sangat menarik telah dilakukan pada perkembangan kaper Ephestia kaper Ephestia kuhneilla, kuhneilla , yaitu dengan transplantasi dalam rongga tubuh individu lain. Pinggiran dari tiap-tiap potongan kulit yang dicangkokkan menggulung seperti; akan membentuk kista dengan permukaan kulit yang berasal dari posisi distal melengkung ke dalam. Permukaan proksimal dari epidermis dibasahi oeh cairan tubuh semangnya dan juga oleh hormon yang terkandung di dalam cairan tubuh semang tersebut. Setiap kali serangga semang mengalami proses ganti kulit, maka potongan-potongan kulit ini juga mengalami proses yang sama, terjadi pergantian kutikula, kutikula yang lama dilepaskan dan dimasukkan ke dalam rongga kista. Tidak hanya proses ganti kulitnya yang 32
sama persis antara transplan dan semang, bahkan keadaan alami kutikula yang baru dibentuk juga mengalami proses yang sama antara semang dan transplan. Apabila suatu proses ganti kulit larva terjadi, maka kista epidermis menghasilkan suatu kutikula tipis seperti kutikula yang menutupi seluruh tubuh ulat tersebut. Apabila semang menjadi pupa maka kista epidermis ini juga
akan
menghasilkan
bermetamorfosis
menjadi
kutikula
yang
hewan dewasa,
tebal. maka
Apabila
kista
semang
epidermis
ini
membentuk suatu imaginal kutikula dengan sisik-sisik. Semua turunan kutikula ini dapat dilihat terletak di bagian dalam apabila kista ini dibuat preparat sayatan (Gambar 3.a). Meskipun telah mencapai stadium untuk memproduksi kutikula dari hewan dewasa, epidermis tetap tidak kehilangan kapasitasnya untuk berganti kulit, ini membuktikan bahwa ekdison (hormon penyebab, terjadinya ganti kulit) dan hormon juvenil terdapat di dalam larutan yang mengitarinya. Sebuah kista yang telah melewati masa pupa dan imago dan seekor hewan masih mungkin dicangkokkan kepada hewan berikutnya. Apabila hewan berikutnya ini masih berupa ber upa ulat, maka kista ini akan a kan mengalami proses ganti kulit, kemudian secara simultan mengikuti pola semang barunya dan ketika semang barunya ini menjadi pupa, akan membentuk imagina kutikula dengan sisik-sisik, dan sekali lagi akan menghasilkan kutikula pupa yang tebal. Kemungkinan yang terjadi, pada saat semang mengalami metamorfosis, akan diikuti dengan pembentukan kutikula imaginal yang kedua dengan susunan sisik-sisik baru.
33
Gambar 3.12 Pengaruh hormon terhadap perkembangan kulit. Sumber : Balinsky, 1981
Tampaknya metamorfosis adalah suatu proses perubahan yang reversibel, dalam hal ini minimal pada epidermis kulit dan kondisi alami diferensiasi yang dihasilkan oleh proses selanjutnya secara terpisah, tergantung pada keseimbangan hormon-hormon yang terdapat di dalam darah. Kebalikan metamorfosis, meskipun hanya sebagian, dapat terjadi dalam kondisi eksperimental. Pada keadaan normal, dari seekor serangga, metamorfosis
menjadi
pertanda
berakhirnya
masa
pertumbuhan
dan
perkembangan (kecuali perkembangan gonad yang masih akan berlanjut sampai masa dewasa penuh). Alasan terjadinya penghentian pertumbuhan lebih lanjut ini adalah bahwa telah terjadi degenerasi kelenjar protoraks dan mengalami kerusakan setelah menyebabkan proses ganti kulit yang terakhir. Dengan hilangnya kelenjar protoraks, maka tidak ada lagi faktor-faktor lain yang dapat menghidupkan kembali proses morfogenesis dari epidermis, dan tidak ada lagi proses ganti kulit dapat terjadi. Ini juga menjadi penjelasan tentang keterbatasan tumbuh yang terjadi pada serangga. 34
Aksi dari hormon juvenil tampaknya tidak terbatas pada mengontrol perubahan tubuh serangga secara kualitatif, tetapi tampaknya juga memiliki pengaruh tidak langsung pada pertumbuhan. Adalah sebuah kenyataan bahwa pada imago, setelah metamorfosis, korpora alata melanjutkan aktivitas sekresinya dan sekresi ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan ovarium dan sel-sel telur. Pada vertebrata, struktur kimia dari agen yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar endokrin dapat dibuktikan dengan membuat ekstraksi bahan aktif dari kelenjar-kelenjar tersebut, yang jelas berisi substansi kimia tertentu. Ekstraksi hormon dari serangga jauh lebih sulit dilakukan karena kelenjar endokrin serangga sangat kecil ukurannya. Meskipun demikian beberapa sukses pernah diraih. Hormon ganti kulit, ekdisone (dihasilkan oleh kelenjar protoraks), pernah diisolasi dan dimurnikan oleh Butenandt dan Karlson (1954). Lima ratus kilogram pupa ulat sutera digunakan untuk mengisolasi 25 mg ekdisone murni dan 0,075 mg dari hasil pemurnian ini telah cukup untuk menyebabkan pemupaan larva lalat. Analisis kimia dari substansi ini memberikan struktur ekdison, yaitu C 27 H44 O6 (Karlson & Hoffmeister, 1963). Struktur kimia hormon juvenil, ekdison, dan ekdisteron dapat dilihat pada Gambar 3.13 Seperti kasus substansi yang memiliki daya induksi pada tahap awal perkembangan embrio amfibi, aksi hormon juvenil mungkin menyamai ekstrak jaringan dari berbagai jenis hewan (Williams & Pulis, 1959) dan substansi tertentu dari bahan kimia yang telah diketahui susunannya seperti terpene fernesol yang yang terbukti mampu menstimulasi kelenjar protoraks, suatu efek yang secara normal dihasilkan oleh hormon otak. Diduga ketiga hormon yang melakukan regulasi pada pergantian kulit dan metamorfosis, serangga ini memiliki kesamaan struktur dan aktivitas kimia.
35
Gambar 3.13 Struktur kimia hormon juvenil, ekdison, dan ekdisteron. Sumber : Gilbert, 1988
3.8 Mekanisme aksi hormon-hormon metamorfosis pada serangga
Studi mengenai proses ganti kulit dan metamorfosis pada serangga telah memberi kontribusi informasi yang sangat menarik pada mekanisme kerja senyawa kimia mempengaruhi diferensiasi sel. Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa pada kelenjar ludah dari beberapa jenis serangga yang termasuk ordo dipetra terdapat beberapa sel yang tumbuh menjadi relatif besar ukurannya, dan kromosom sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati meskipun sel-sel itu tidak sedang mempersiapkan dan untuk melakukan mitosis. Kromosom raksasa pada beberapa sel ini adalah hasil duplikasi ADN yang berulang-ulang dan dengan demikian ratusan molekul ADN terletak bersisihan satu dengan yang lain. Sel-sel dari tubulus Malphigi dan beberapa jaringan juga tumbuh cepat dan menghasilkan kromosom raksasa. Pada kromosom-kromosom ini terlihat 36
adanya larik-larik transversal yang mungkin berkaitan dengan gen-gen tertentu seperti diketahui pada percobaan pengawinan. Bahkan sebelum diketahui hubungan larik-larik ini dengan ekspresi gen-gen tertentu diketahui dengan baik, orang telah melihat dengan jelas adanya penebalan pada kromosom raksasa tersebut. Daerah-daerah yang menebal ini telah diketahui sebagai cincin-cincin Balbiani, yaitu nama ilmuwan yang pertama kali menemukannya pada kromosom kelenjar ludah Chironomus. Chironomus. Kemudian ditemukan bahwa penebalan dapat dijumpai pada semua kasus kromosom raksasa, meskipun tidak semua berukuran sebesar cincin-cincin Balbiani. Penebalan ini disebut sebagai “puff” (Gambar 3.c). Suatu “puff” sebenarnya adalah bagian dari kromosom dimana sejumlah pita ADN yang yang menyusun kromosom raksasa tersebut, terpisah satu dengan yang lain dan membentuk lilitan (loop), melebar ke arah luar dari posisi normal dalam kromosom. Bagian kromosom yang melonggar ini menunjukkan adanya interaksi antara substansi kimia dengan pita ADN yang terdapat di dalam inti sel. Terbukti pada kondisi ini sedang terjadi sintesis ARN dengan sangat cepat di dalam “puff”. Sintesis ARN dari “puff” berbeda komposisinya dengan ARN ribosom yang kemudian diyakini sebagai ARN duta. Dengan Dengan kata lain “puff” menunjukkan bahwa ADN pada bagian ini sedang mengalami aktivasi untuk menghasilkan ARN. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa pembentukan “puff” selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi pada stadium dari serangga serangga tersebut. Pada setiap kondisi “puff” tampak terbentuk area yang berbeda pada kromosom dan mungkin menghilang pada stadium berikutnya apabila “puff” baru telah terbentuk di tempat yang lain. Stadium metamorfosis ditandai oleh pola spesifik dari pembentukan pembe ntukan “puff” yang dapat dipelajari dengan baik apabila struktur kromosom raksasa secara rinci dari satu spesies dapat dibuat.
37
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana hubungan antara perubahan struktur dari “puff” pada kromosom dengan perubahan perubahan yang terjadi selama morfogenesis (ganti kulit dan metamorfosis) pada seluruh tubuh hewan. Kemungkinan besar ekspresi, gen-gen yang terdapat di kromosom pasti berhubungan dengan proses terjadinya transformasi bentuk dan organisasi pada binatang tersebut. Di sisi lain kita telah mengetahui bahwa proses gantu kulit dan metamorfosis pada serangga dikontrol oleh hormon yaitu ekdison dan hormon juvenil.
Gambar 3.14 Kromosom raksasa yang ditemukan pada kelenjar ludah larva Drodophila menunjukkan adanya beberapa “puff” se perti tampak pada stadium sebelum pembentukan pupa. Sumber : Surjono, 2001
Terobosan mengenai persoalan ini telah ditunjukkan bahwa injeksi ekdison murni ke dalam larva Chironornous menyebabkan kromosom raksasa pada serangga itu membentuk “puff” yang polanya identik dengan pola selama pembentukan pupa. Perubahan pada kromosom raksasa tersebut terjadi dengan sangat cepat, reaksi pertama sudah tampak antara 15-30 menit setelah injeksi ekdison, sementara perubahan pada kutikula larva sampai 38
menjelang terjadinya pupa memerlukan waktu beberapa hari. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hormon berperan mempengaruhi gen-gen yang terdapat
di
dalam
kromosom
dan
mengubah
aktivitasnya
sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dari sel-sel dan jaringan. Bukti-bukti ini ini telah diketemukan bahwa lokus yang berbeda pada kromosom tidak melakukan reaksi yang sama terhadap kehadiran ekdison. Terdapat satu atau dua lokus yang membentuk “puff” segera setelah dilakukan injeksi ekdison. Lokus-lokus Lokus- lokus yang lain, dimana “puff” mungkin mengalami
pembesaran
pada
tahap
berikutnya,
diperkirakan
sangat
tergantung pada aksi dari gen-gen yang diaktivasi pada saat permulaan. Sampai kondisi ini tampak bahwa aksi ekdison terdiri dari aktivasi satu atau dua gen (tampaknya hanya satu) dan ini kemudian memulai reaksi berantai yang melibatkan aktivitas gen-gen lain yang berakhir pada proses ganti kulit dari metamorfosis. Keraguan tampaknya muncul apakah ekdison benar mempengaruhi gen atau apakah ekdison mengubah lingkungan di dalam sel yang kemudian mempengaruhi gen. Bukti selanjutnya menunjukkan bahwa penampakan “puff” pada kromosom raksasa raks asa dapat diharapkan pula sebagai akibat dari aksi yang lain di luar aksi hormon spesifik. Perubahan konsentrasi ion substansisubstansi khusus, seperti narkotik, atau reagen yang lebih sederhana bila dicangkokkan
pada
kelenjar
ludah
pada
hemolimf
mungkin
akan
mempengaruhi pembentukan pola “puff” dari kromosom. Perubahannya mungkin sama dengan yang terjadi pada kromosom kondisi alami pada periode tertentu. Dengan demikian telah diketahui bahwa pencangkokan kelenjar ludah pada hemolimf menyebabkan pola “puff” pada kromosom kembali ke pola yang serupa pada stadium sebelumnya (terjadi rejuvenasi). Beberapa jenis narkotik (dan juga ZnCl 2) apabila diberikan pada stadium awal pupa yang sensitif mungkin menghasilkan sebuah pola “puff” seperti yang dijumpai pada pola pol a stadium berikutnya. “Puff - puff” puff” yang terbentuk 39
karena kehadiran ZnCl 2 menunjukkan peningkatan pelekatan pada prekurson ARN tetapi belum pernah bisa ditunjukkan bahwa agen yang tidak spesifik dapat menyebabkan proses pergantian kulit atau metamorfosis atau suatu perubahan morfologis kecuali hanya pada kromosom. Sangat penting untuk dicatat bahwa persamaan yang sangat dekat yang diperoleh dari percobaan-percobaan pada metamorfosis serangga dan kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian mengenai organiser primer (“neural inductor”) pada embrio amfibi. Pada kedua kasus ini reaksi serupa yang melibatkan aktivitas dari sekelompok sel yang berubah tingkah lakunya memerlukan suatu proses baru yang dikenal sebagai diferensiasi. Pada serangga, sel-sel berubah dari keadaan larva menjadi pupa atau imago, sedangkan pada amfibia ektoderm gastrula mengalami deferensiasi menjadi jaringan neural. Pada kedua kasus tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa perubahan yang terjadi dihasilkan oleh suatu modifikasi aktivitas aktivita s gengen inti. Perubahan ini bukanlah perubahan secara spontan pada gen-gen itu sendiri tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti ekdison pada metamorfosis serangga dan substansi neuralisasi pada embrio amfibia. Akhirnya, aksi dari substansi-substansi alami yang dapat menginduksi pada kedua kasus ini mungkin dilakukan oleh induktor abnormal namun dalam hal metamorfosis dan ganti kulit induktor itu tidak dapat mengkopi efek dari agen alami secara sempurna.
40
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Perubahan pola organisasi hewan selama proses metamorfosis ada yang berjalan secara progresif dan ada pula yang regresif 2. Perubahan drasmatis pada banyak bagian tubuh hewan secara bersamaan selama proses metamorfosis memberikan gambaran bahwa proses tersebut dipicu oleh satu sebab yang sama yaitu terjadinya pelepasan hormon dalam jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang memasuki masa metamorfosis. 3. Sebagian ekor berudu dicangkokkan pada tubuh berudu yang lain dan berudu itu mengalami metamorfosis, maka ekor yang ditransplatasikan itu akan ikut diresorpsi setelah masa metamorfosis,
maka ekor yang
ditransplatasikan itu akan ikut mengalami resorpsi. 4. Hormon kelenjar tiroid itu hanya mempunyai efek langsung kepada jaringan otot dan apabila kulit yang melingkupinya ikut mengalami resorpsi itu adalah akibat sekunder. 5. Metamorfosis pada serangga adalah spesifik karena melibatkan pergantian kulit. Pergantian kulit adalah suatu keajdian yang biasa dialami hewan yang memiliki kulit dari bahan tanduk atau kutikula, karena kulit macam ini tidak bisa bertambah besar ketika hewan itu tumbuh membesar, maka diperlukan proses ganti kulit (molting). 6. Seluruh bagian tubuh harus terlibat dan menyelesaikan dalam waktu yang bersamaan agar proses ganti kulit menjadi sempurna. Ini memberikan gambaran bahwa satu penyebab utama harus ada agar semua bagian tubuh serangga terlibat. 7. Agen-agen yang dihasilkan oleh kelenjar pratoraks dan korpora alata adalah hormon. Kesimpulan ini dapat ditarik dari kenyataan bahwa efek dari kehadiran organ-organ ini tidak tergantung pada tempat dimana 41
mereka berada, apakah mereka pada posisi normal atau apakah ia dicangkokkan pada tempat yang tidak semestinya. 8. Ekspresi, gen-gen yang terdapat di kromosom pasti berhubungan dengan proses terjadinya transformasi bentuk dan organisasi pada binatang tersebut. Di sisi lain kita telah mengetahui bahwa proses gantu kulit dan metamorfosis pada serangga dikontrol oleh hormon yaitu ekdison dan hormon juvenil. 4.2 Saran
1.
Sebaiknya mahasiswa menggunakan referensi lebih banyak
2.
Sebaiknya mahasiswa memahami kerangka materi sebelum membuat makalah
3.
Sebaiknya mahasiswa menggunakan sumber referensi yang terkini
42
DAFTAR RUJUKAN
Halliday T dan Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New York: Facts on File Inc. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Introduction To The Study of Insects. Seventh Edition. Edition. USA: Thomson Brooks S.Colby. 1999. Ringkasan Biokimia Harper. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Yoxx.2010. Pengenalan Pengenalan Arthropoda Arthropoda Dan Biologi Serangga.Bogor:IPB Biologi Serangga.Bogor:IPB
43