BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan,
khususnya
dengan
terjadinya
berbagai
kasus
yang
menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,
khususnya
dokter.
Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi. Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi
yurisprudensi. Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU
Praktik
Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
B.
Tujuan
Mengetahui pengertian malpraktek
Mengetahui penyebab malpraktek
Mengetahui tinjauan malpraktek secara etika, moral, dan hokum
Upaya pemerintah menanggulangi masalah malpraktek
BAB II PEMBAHASAN A.
Pengertian Malpraktek
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “ professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “ failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or
damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan,
dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient .
Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950), selain itu menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas t indakan tersebut. Makna harfiah = praktik buruk lawannya praktik baik. Black’s Law Dictionary : Any professional misconduct or unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau
tindakan
yang
salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in provi ding care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya
kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien). Pengelompokan malpraktik : a.
Gatra etikolegal malpraktik ; perilaku tidak etis/tidak bermoral atau perilaku menyimpang atau perilaku melanggar kewajiban hukum atau praktik jahat profesi dokter.
b.
Gatra ilmiah (yang sering dikonotasikan “gatra profesi”) malpraktik kedokteran yakni kekurang-terampilan secara tak layak / tak pantas seorang dokter. Dalam hal ini secara teknis medis kemampuan dokter kurang memadai.
B.
Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia
menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam bukubukunya
ia
menggunakan
keduanya
secara
tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara
wajar,
jujur,
adil,
profesional
dan
terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di
rumah
sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik
dan
buruk
dalam
pelaksanaan
dan
pelayanan
profesi
itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”,
hukum
tidak
mencampuri
hal-hal
yang
dianggap
sepele
(hukumonliine.com, 17 April 2004). C. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Hukum Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek
yang
berlarut-larut,
hingga
referensi-referensi
tentang
malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya
merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasalpasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap
pasien
dapat
terealisasi.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga keehatan seprti doter atau bidan, tetapi juga diperlukanuntuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek). Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan
pemerintah
no
18
tahun
1981
yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun
untuk
kepentingan
pasien
sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan
informed
consent
secara
lisan
maupun
tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan
medis
yang
bersangkutan
serta
resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan
persetujuan
lisan
atau
sikap
diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan
informasi
kepada
keluarga
terdekat
pasien.
Dalam
memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang
perawat/paramedic
lain
sebagai
saksi
adalah
penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent). Penyebab dan Pencegahan Malpraktek Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab ( single cause), melainkan merupakan hasil dari banyak sebab ( multiple cause). Suatu kesalahan
manusia (human error ) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan active error , yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi. Sementara itu terdapat faktor-faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor
kontribusi, dll. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera
dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk. Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan ( safety) dalam suatu
sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini
bertemu dengan suatu unsafe act (active error ), maka terjadilah accident . Dengan
demikian perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factor s. Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris dan manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga secara sistemik. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu: 1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup af ektif – tidak hanya kognitif. 2.
Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam pelayanan kedokteran khususnya.
3.
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur praktek kedokteran yang akuntabel).
4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut. Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebabpenyebab di atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran – terutama PPDS, sistem pembiayaan yang membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah sakit, dan lain-lain. Dengan melihat faktor-faktor penyebab di atas maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih
banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu ( clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi i deal dalam pendidikan. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy, beneficence, non maleficence dan justice, serta sikap altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan. Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek,
sedangkan
ketentuan
rinci
agar
diatur
dalam
pedoman-pedoman.
Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profe sional yang “kotor”
dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi. Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu
“memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).