MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN INKONTINENSIA FEKAL
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan
melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis, dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia M anusia Maslow (Wolf, Lu Verne,dkk , 1984). Suatu hal yang sangat diperlukan tubuh dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan perkembangan p erkembangan adalah nutrisi yang adekuat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi akan sangat membantu seseorang untuk mempertahankan kondisi tubuh dalam mencegah terjadinya suatu penyakit, mempertahankan suhu tubuh dalam kondisi yang normal serta menghindari proses infeksi. Nutrient adalah suatu zat yang terkandung dalam makanan misalnya karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Nutrient atau kandungan zat yang terdapat dalam makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terdiri dari 6 kategori, yaitu : karbohidrat, protein, lemak, vitamin, vit amin, mineral dan air. Nutrisi Nutris i normal meliputi keseimbangan antara anta ra intake makanan yang di makan dengan energi yang dikeluarkan oleh tubuh. Intake makanan yang adekuat juga dibutuhkan oleh enzim untuk mensintesa hormon, mengganti sel-sel yang telah rusak serta membantu pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Intake nutrisi nutrisi yang adekuat pada usia toddler dan pra sekolah ( 1 – 5 tahun ) sangat diperlukan, karena pada usia tersebut merupakan fase pertumbuhan fisik dan perkembangan yang pesat, sehingga kebutuhan nutrisi juga akan berbeda dengan usia-usia yang lain. Disamping itu pada fase ini, anak akan cenderung aktif dan merasa kehilangan nafsu makan karena rasa suka dan tidak suka terhadap suatu makanan . Sehingga peran orang tua untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia toddler maupun pra sekolah sangat diperlukan untuk membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan pada usia usi a ini termasuk diantaranya adalah zat besi untuk mencegah anemi, serta vitamin A dan C untuk menjaga daya da ya tahan tubuh terhadap suatu penyakit. p enyakit. Kemampuan untuk mengabsorbsi makanam, keadaan fisik seperti peradangan pada sistem gastro intestinal, obstruksi pada gastro intestinal dan malabsorbsi serta diabetes melitus akan menyebabkan gangguan dalam
mengabsorbsi zat-zat makanan, sehingga juga akan menyebabkan gangguan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi. nutrisi. Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri Escherecia bakteri Escherecia coli. Flatus coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al., 2009). Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 3050% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan ba ik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensiafekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai inkontinensia inkontinensia fekal dan penanganannya. 1.1 Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi dari penyakit inkontinensia fekal?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit inkontinensia fekal? 3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit inkontinensia fekal? 4. Bagaimana klasifikasi dari penyakit inkontinensia fekal? 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 1.2 1.3.1
Bagaimana gambaran Klinis dari penyakit inkontinensia fekal? Apa saja factor yang mempengaruhi proses defekasi? Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit inkontinensia fekal? Bagaimana pemeriksaan fisik dari penyakit inkontinensia fekal? Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari penyakit inkontinensia fekal? Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit inkontinensia fekal? Bagaimana WOC dari penyakit inkontinensia fekal? Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia fekal? Tujuan Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami bagaimana membuat asuhan keperawatan “Inkontinensia fekal”
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia fekal? 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mengetahui etiologi dari penyakit inkontinensia fekal? Mengetahui patofisiologi dari penyakit inkontinensia fekal? Mengetahui klasifikasi dari penyakit inkontinensia fekal? Mengetahui gambaran Klinis dari penyakit inkontinensia fekal? Mengetahui factor yang mempengaruhi proses defekasi? Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit inkontinensia fekal? Mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit inkontinensia fekal? Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit inkontinensia fekal?
10. Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit inkontinensia fekal? 11. Mengetahui WOC dari penyakit inkontinensia fekal? 12. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia fekal? 1.4
Manfaat
1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep dari penyakit inkontinensia fekal. 2. Memperoleh pengetahuan dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit inkontinensia fekal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian
Sistem digestive merupakan organ gastrointestinal yang terdiri dari mulut, faring, esofagus, lambung, usus halus, usus besar.
1. Mulut merupakan suatu membran mukosa yang terdiri dari pipi (berfungsi sebagai otot pengunyah), lidah, dan kelenjar saliva (yang berfungsi memudahkan makaan untuk dikunyah 2. 3. 4. 5.
gigi). Faring merupakan tuba fibromuskular yang melekat pada dasar tulang tengkorak, berfungsi membawa makanan melewati orofaring dan laring menuju esofagus. Esofagus adalah tube muskular yang bertujuan membawa makanan ke lambung. Lambung bertindak sebagai “gerobak” makanan dalam kantung dan mlepaskan makanan tersebut secara bertahap ke dalam usus Usus halus adalah bagian saluran pencernaan diantara lambung dan usus besar, yang bertujuan mensekresi cairan usus, menerima cairan empedu dan pankreas, mencerna
makanan, serta mengabsorbsi air, garam dan vitamin. 6. Usus besar berfungsi mengabsorbsi air, natrium dan klorida serta mensekresi kalium. Organ tambahan yang terdapat dalam sistem digestive namun keluar dari sistem gastrointestinal adalah pankreas. Sistem tubuh yang berperan dalam eliminasi fekal (buang air besar) adalah gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus bear. Usus halus terdiri atas duodenum,jejunum dan ileum dengan panjang kurang lebih 6 meter dan diameter 2,5cm serta berfungsi sebagai rearbsorsi elektrolit Na, Cl, K, Mg, HCO, dan kalsium.usus besar dimulai dari rektum, kolon hingga anus yang memiliki panjang kurang lebih1,5 meter, 50-60 inci denan diameter 6 cm. Batasan antara usus besar dan usus halus adalah katup ileocaecal. Katup ini biasanya nmencegan zat yang masuk ke usus besar sebelum waktunya dan mencegah produk buangan untuk kembali ke usus halu.produk buangan yang memasuki usus besar adalah berupa cairan.setiap hari salutan anus menyarap sekitar 800-1000 ml cairan. Penyerapan inilah yang mempengaruhi fesef berbentuk dan berwujud setengah padat. Jika penyerapan tidak baik, produk buangan cepatmelalui usus besar feses akan lunak dan bercair, Jika feses terlalu lama dalam usus besa, maka akan terlalu banyak air yang diserap sehingga feses menjadi kering dan keras. Kolon sigmoid mengandung feses yang sudah siap untuk dibuang dan diteruskan kedalam rektum. Panjang rektum adalah 12cm (5 inci) , 25cm (1 inci) merupakan saluran anus. Gerakan peristaltik yang kuat dapat mendorong feses kedepan. Gerakan ini terjadi 1-4 kali dalam 24 jam dan terjadi sesudah makan. Makanan yang diterima oleh usus dari lambung dalam bentuk setengah padat atau dikenal dengan nama chyme, baik berupa air, nutrien, maupun elektrolit kemudian akan diabsorbsi.usus akan mensekresi mukus, kalium, karbonat, dan enzim. Secara umum kolon berfungsi sebagai tempat rearbsorbsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi. Proses perjalanan makanan dari mulut hingga rektum membutuhkan waktu selama 12 jam. Otot lingkar (sfingter) bagian dalam dan luar saluran anus menguasai pembyangan feses dan gas dari anus. Rangsangan motorik disalurkan oleh sistem simpatis dan rangsangan penghalang oleh sistem parasimpatis, bagian dari sisten saraf otonom ini memiliki sistem kerja yang belawanan dalam keseimbangan yang dinamis. Sfingter luar anus merupakan otot bergaris yang berada dibawah penguasaan parasimpatis,baik diwaktu sakit maupun sehat. Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air besa.terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di medula dan
sumsum tulang belakang. Bila terjadi rangsangan paraimpatis, sfingter asun bagian dalam akan mengendur dan usus besar akan menguncup. Refleks defekasi dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi oleh sistem saraf parasimpatis mengendur dan menguncup saat defekasi. Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu dan cairan tubuh. Secara umum terdapat dua macam refleks dalam membantu proses defekasi yaitu rileks defekasi intrinsik yang dimulai dengan adanya zat sisa makanan (rektum) dalam rektum sehungga terjadi distensi. Kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik dan akhirnya feses sampai dianus.
I nkotinensia fekal adalah Perubahan kebiasaan defekasi dari pola normal dengan karakteristik pengeluaran feses secara involunter. (Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R). I nkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas dan diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat). Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia mayor. I nkontinensia mayor adalah keadaan tidak dapat mengontrol membentuk konsistensi tinja yang normal. Sedangkan inkontinensia minor adalah soilling sebagian atau keadaan dimana sewaktuwaktu dapat mengeluarkan tinja secara normal dan tepat atau dapat diartikan sebagai bentuk tinja yang encer/cair. Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 3050% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai inkontinensia fekal dan penanganannya. 2.2 Etiologi Penyebab utama timbulnya inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Konstipasi atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering timbul pada pasien geriatri dan bila menjadi kronik akan menyebabkan timbulnya inkontinensia fekal. Skibala akan mengiritasi rektum dan menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan membanjiri tinja yang mengeras dan mempercepat terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit untuk didefinisikan dan secara teknik biasanya diindentikkan dengan buang air besar sebanyak tiga kali dalam seminggu.
Penyebab inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst dkk, 1987; Kane dkk, 1989) : 1. Inkontinensia fekal akibat konstipasi. 2. Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar. 3. Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik). 4. Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks anal. 2.3 Patofisiologi Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun
demikian beberapa orang mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambtan pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12. Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia fekal. 2.4 Klasifikasi Inkontinensia Fekal 1. Inkontinensia fekal akibat konstipasi
Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau keluarnya tinja terlalu kering dan keras. Tanda Klinis : a. Adanya feses yang keras b. Defekasi kurang dari 3x seminggu c. Menurunnya bising usus d. Adanya keluhan pada rektum e. Nyeri saat mengejan dan defekasi f. Adanya perasaan masih ada sisa feses. Kemungkinan Penyebab : a. Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera serebrosspinalis,CVA, dll. b. Pola defekasi tidak teratur. c. Nyeri saat defekasi karena hemoroid. d. Menurunnya peristaltik karena stres psikologis. e. Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantiv, atau anastesi. f. Proses penuaan (usia lanjut).
Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu. Tetapi banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar (Kane dkk, 1989). Konstipasi sering sekali dijumpai pada lanjut usia dan merupakan penyebab yang paling utama pada inkontinensia fekal pada lanjut usia (Brocklehurst dkk, 1987). Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari masa feses yang keras (skibala). Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (Broklehurst dkk, 1987). Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989). Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur. 2. Inkontinensia fekal simtomatik Inkontinensia fekal simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macammacam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987). Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia fekal simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulceratif, karsinoma kolon/rektum. Penyebab lain dari inkontinensia fekal simtomatik misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin seperti tiroksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang berhasil dan prolapsus rekti. Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut usia adalah obat-obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (Brocklehurst dkk, 1987; Robert-Thomson). 3. Inkontinensia fekal neurogenik Inkontinensia fekal neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri (Brocklehurst dkk, 1987). Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia dan terutama pada penderita dengan penyakit serebrovaskuler, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan infark serebri multipel, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah berbentuk ditempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan. 4. Inkontinensia fekal akibat hilangnya refleks anal Inkontinensia fekal ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otototot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia fekal pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya (Brocklehurst dkk, 1987). 5. Inkontinensia fekal akibat konstipasi kolonik Konstipasi kolonin merupakan keadaan individu yang mengalamai atau beresiko mengalami perlambatan pasase residu makanan yang mengakibatkan feses kering dan keras. Tanda Klinis : a. Adanya penurunan frekuensi eliminasi. b. Feses kering dan keras. c. Mengejan saat defekasi. d. Nyeri defekasi. e. Adanya distensi pada abdomen. f. Adanya tekanan pada rektum. g. Nyeri abdomen a. b. c. d. 6.
a. b. a. b. 7.
Kemungkinan Penyebab : Deek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera serebrusspinalis, CVA dll. Pola defkasi yang tidak teratur. Efek samping penggunaan obat antasida, anastesi, laksantif dll. Menurunnya peristaltik Inkontinensia fekal akibat konstipasi dirasakan Konstipasi dirasakan merupakan keadaan individu dalam menentukan sendiri penggunaan laksantif, enema, supositoria untuk memastikan defkasi setiap harinya. Tanda Klinis : Adanya penggunaan laksansia setiap hari sebagai enema atau supositoria seca ra berlebihan. Adanya dugaan pengeluaran feses pada waktu yang sama setiap hari. Kemungkinan Penyebab : Persepsi salah akibat depresi. Keyakinan budaya. Inkontinensia fekal akibat diare Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau berisiko sering mengalami penegluaran feses dalam bentuk cair,. Diare sering disertai dengan kejang usus, mungkin disertai oleh rasa mual dan muntah. Tanda Klinis :
a. Adanya pengeluaran feses cair. b. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari. c. Nyeri/kram abdomen. d. Bising usus meningkat. Kemungkinan Penyebab : a. Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi. b. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme. c. Efek tindakan pembedahan usus. d. Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik dll. e. Stres psikologis. f.
Inkontinensia fekal akibat kembung Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung atau usus.
9. Inkontinensia lavi akibat hemorroid Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi dll. 10. Fecal Impaction Fecal impaction merupakan masa feses di lipatan rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan. Penyebab konstipasi adalah asupan kurang, aktivitas kurang, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot.
2.5 Gambaran Klinis
Klinis inkontinensia fekal tampak dalam dua keadaan: 1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes. 2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian atau ditempat tidur. 2.6 Faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi a. Usia
Setiap tahun perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki kemampuan mengontrol secara penuh, dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami penurunan. b. Diet Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat memengaruhinya. c. Asupan Cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat defekasi menjadi keras oleh karena proses absorpsi kurang sehingga dapat memengaruhi kesulitan proses defekasi. d. Aktivitas Aktivitas dapat memengaruhi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi. e. Pengobatan Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan laksansia atau antasida yang terlalu sering. f. Gaya Hidup Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet. g. Penyakit Biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung sistem pencernaan, seperti gastrointeritis atau penyakit infeksi lainnya. h. Nyeri
i.
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi, seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid dan episiotomi. Kerusakan Sensoris dan Motoris Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atauu kerusakan saraf lainnya.
2.7 Manifestasi Klinis Secara klinis, inkontinensia fekal dapat tampak sebagai feses yang cair atau belum
berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain inkontinensia fekal akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik (berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus. 2.8 Pemeriksaan Fisik 1. Umum : tinggi badan, berat badan, gangguan neuromuscular dan trauma medulla spinalis,
adanya demansia atau gangguan saraf lainya (strok, penyakit Parkinson). 2. Lokal : meliputi pemeriksaan inspeksi dan pemeriksaan rectum, pada inspeksi di lihat bagaimana kontraksi anus saat dikerutkan, reflek kulit anus, dan sensasi dermatomlumbosaktral, pemeriksaan rectum dapat mengetahui adanya kelemahan pada sfingter, tonus anus. 2.9 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan anoskopi dan protosigmoidoskopi mungkin diperlukan pada kondisi tertentu. 2.10 Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat menghindari kejadian inkontinensia fekal. Langkah utama dalam penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sembelit. Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan suatu keluhan yang baru, maka kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh penyakit kolon, gangguan endokrin dan metabolik, deperesi atau efek samping obat-obatan. Untuk pencegahan konstipasi, lansia sebaiknya mengkonsumsi diet yang cukup cairan dan serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram serat kasar sehari (hal ini bisa did apatkan dari 3-4 sendok the biji-bijian). Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkotinensia fekal adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besar di toilet. Defekasi sebaiknya dilakukan ditempat yang khusus, lingkungan yang tenang, dan pada s aat timbulnya refleks gastrokolik yang biasanya timbul lima menit setelah makan. Pada inkotinensia fekal yang disebabkan oleh gangguan syaraf, terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatrik dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap akhir dengan inkotinensia fekal, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan penggunaan obat pencahar secara teratur dapat dilakukan dan efektif untuk mengontrol defekasi. Usaha terakhir yang dapat dilakukan dalam penanganan inkontinensia fekal pada pasien ini adalah dengan menggunakan pampers yang dapat mencegah dari komplikasi.
2.11 WOC Konstipasi Simtomatik Usia Hilangnya reflex anal Kelemahan oto sfingter Gangguan fungsi syaraf Neurogenik Iritasi rectum menghasilkan cairan
Fungsi sfingter menurun
Inkontinensia Fekal Berkurangnya sensasi pada anus Inkontinensia fekal B6 (muskuloskeletal) Kelemahan otot sfingter B5 (pencernaan) Iritasi rektum Cairan membanjiri tinja DK : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Inkontinensia fekal B3 (persyarafan) Penurunan fungsi syaraf Korteks serebri terhambat Korteks serebri terhambat Regangan rektum Cairan membanjiri tinja yang mengeras Berkurangnya sensasi pada anus Regangan rektum DK : Inkontinensia Fekal DK : Kerusakan integritas kulit Intoleransi aktifitas DK : Harga diri rendah
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian 3.1.1 Identitas Klien
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. 3.1.2
Nama : Umur : Jenis kelamin : Agama : Suku/bangsa : Bahasa : Pendidikan : Pekerjaan : Status : Alamat : Keluhan utama
: Suami / Istri / Orangtua Nama : Pekerjaan : Alamat : Penanggung jawab : Nama : Alamat :
Keluhan yang sering muncul pada pasien inkontinensia fekal adalah Menurunnya bising usus, Mual, Nyeri abdomen, Perubahan konsistensi feses, frekuensi buang air besar, dll.
3.1.3 Riwayat Penyakit sekarang Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini dari awal gejala muncul dan penanganan yang telah dilakukan hingga saat dilakukan pengkajian. 3.1.4 Riwayat Penyakit dahulu Perlu dikaji apakah pasien mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan inkontinensi fekal. Seperti, Anemi, Hipotiroidisme, Dialisa ginjal, Pembedahan abdomen., Paralisis, Cedera spinal cord, Immobilisasi yang lama, dan lain-lain. 3.1.5 Riwayat penyakit keluarga Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang memiliki gejala penyakit yang sama seperti pasien. 3.1 Pola Fungsi Kesehatan : 1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Persepsi klien/keluarga terhadap konsep sehat sakit dan upaya klien/keluarga dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku yang menjadi gaya hidup klien/keluarga untuk mempertahankan kondisi sehat. 2. Pola nutrisi dan metabolic Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum sakit sampai saat sakit (saat ini) yang meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, frekuensi makanan, porsi makan yang di habiskan, makanan selingan, makanan yang di sukai, alergi makanan dan mamakan pantangan. Keluhan yang berhubungan dengan nutrisi seperti mual, muntah, dan kesulitan menelan, di buatkan deskripsi singkat dan jelas. Bila di perlukan, lakukan pengkajian terhadap pengetahuan klien/keluarga tentang diet yang harus di ikuti serta bila ada larangan adat atau agamapada suatu makanan tertentu. 3. Pola eliminasi Kaji eliminasi alvi (buang air besar) dan eliminasi urin (buang air kecil) Pola eliminasi menggambarkan keadaan eliminasi klien sebelum sakit sampai saat sakit (saat ini), yang meliputi : frekuensi, konsistensi, warna, bau, adanya darah, dan lain-lain. Bila di temukan adanya keluhan pada eliminasi, hendaknya dibuatkan deskripsi singkat dan jelas tentang keluhan yang di maksud. 4. Pola aktivitas dan latihan Kaji aktifitas rutin yang dilakukan klien sebelum sakit sampai saat sakit mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, termasuk penggunaan waktu senggang. Mobilitas selama sakit di lihat dan aktivitas perawatan diri, seperti makan-minum, mandi, toileting, berpakaian, berhias, dan penggunaan instrumen. 5. Pola tidur dan istirahat Kaji kualitas dan kuantitas istrahat tidur klien sejak sebelum sakit sampai saat sakity (saat ini), meliputi jumlah tidur siang dan malam, penggunaan alat pengantar tidur, perasaan klien sewaktu bangun tidur, dan kesulitan atau masalah tidur : sulit jatuh tidur, sulit tidur lama, tidak bugar saat bangun, terbangun dini, atau tidak bisa melanjutkan tidur. 6. Pola hubungan dan peran
Kaji hubungan klien dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim kesehatan yang lain, termasuk juga pola komunikasi yang di gunakan klien dalam berhubungan dengan orang lain. 7. Pola sensori dan kognitif Kaji kemampuan klien berkomunikasi (berbicara dan mengerti pembicaraan) status mental dan orientasi, kemampuan pengindraan yang meliputi indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan. 8. Pola persepsi dan konsep diri Kaji pada klien yang sudah dapat mengungkapkan perasaan yang berhubungan dengan kesadaran akan dirinya meliputi : gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri. 9. Pola reproduksi dan seksual Kaji pada usia 0-12 tahun di isi sesuai dengan tugas perkembangan psikoseksual. Usia remaja-dewasa-lansia dikaji berdasarkan jenis kelamin. 10. Pola peran-berhubungan Kaji hubungan klien dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim kesehatan, termasuk juga pola komunikasi yang digunakan klien dalam berhubungan dengan orang lain. 11. Pola mekanisme koping Kaji mekanisme koping yang biasanya dilakukan klien ketika menghadapi masalah/ konflik/ stres/ kecemasa. 12. Pola nilai dan kepercayaan Kaji nilai-nilai dan keyakinan klien terhadap sesuatu dan menjadi strategi yang amat kuat sehingga mempengaruhi gaya hidup klien, dan berdampak pada kesehat an klien. 3.2 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum, tingkat kesadaran, GCS, TTV, dan pemeriksaan persistem. 1. khususnya pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising usus, peristaltik dan siste m integumen sekitar anus. 2. Sistem integumen / kulit 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Muskuluskletal Respirasi Kardiovaskuler Perkemihan Persyarafan Fungsi sensorik ) penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman) Dilanjutkan dengan memeriksa bagian perut dimulai dengan : a. Mulut: Pengkajian meliputi inspaeksi gigi, lidah, dan gusi klien. Gigi yang buruk atau struktur gigi yang buruk mempengaruhi kemampuan mengunyah, sehingga berpengaruh pada proses defekasi. b. Abdomen :
1) Inspeksi : memriksa adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh darah vena, dan stoma. 2) 3) 4) c.
Auskultasi : bising usus normal terjadi 5-15 detik dan berlangsung ½ sampai beberapa detik. Palpasi : Untuk melihat adanya massa atau area nyeri tekan. Perkusi : Mendeteksi cairan atau gas di dalam abdomen. Rektum : Menginspeksi daerah di sekitar anus dan mempalpasi untuk memeriksa rectum.
3.3 Pemeriksaan Penunjang a. Anuskopi. b. Prosktosigmoidoskopi. 3.2 Diagnosa Keperawatan 1. Inkontinensia defekasi b.d penurunan kontrol sfingter volunter.
2. Harga diri rendah b.d rasa malu tentang inkontinensia di depan orang lain. 3. Kerusakan integritas kutit b.d inkontinensia fekal. 4. Resiko ketidakseimbangan cairan b.d output berlebihan.
3.3 Intervensi 1. Inkontinensia
NOC
NIC
defekasi DEFINISI: perubahan
pada kebiasaan defekasi normal yang dikarakteristikkan dengan pasase fases involunter. Batasan kerakteristik Rembesan konstan feses
lunak Bau fekal Warna fekal ditempat tidur Warna fekal pada pakaian
Bowel continence Bowel elimination
Bowel inkontinrnce care Perkirakan penyebab
Kristeria hasil: BAB teratur,mulai dari
setiap hari sampai 3 – 5
fisik danpsikologi dari inkontimemsia fekal Jelaskan penyebab
Defekasi lunak,fases berbentuk Penurunan insiden inkontinensia usus Perawatan diri toileting Perawatan diri ostonomi Perawatan diri: hygien Fungsi gastrointestinal
maslah dan rasional dari tindakan Jelaskan tujuan dari menagemen bowel pada pasien / keluarga Diskusikan presedur dan criteria hasil yang harapkan bersama pasien
Ketidakmampuan adekuat menunda defekasi Pengetahuan tentang Ketidak mampuan untuk perawatan ostomi mengendali doronga Status nutrisi makanan defekasi dan minuman adekuat. Tidak perhatian trhadap . Integritas jaringan kulit
Instruksikan pasien/ kekuranga untuk mencetat keluaranfeses Cuci area perianal dengan sebum dan air lalu keringkan
dorongan defekasi
dan membrane mukosa
Jaga kebersihan baju dan
Mengenal fekal penuh tetapi menyatakan tidak mampu mengeluarkan fases padat
baik
empat tidur Lakukan program latihan BAB Monitor efek samping
Kulit perianal kemerahan . Menyatakan sendiri ketidak mampuan mengenali kepenuhan rectal . Dorongan
abnormal tinggi Tekanan usus abnormal tinggi
pengobatan. . Bowel training . Rencanakan program BAB dengan pasein dan pasein yang lain . Konsul ke dokter jika pasein memerlukan suppositoria . Ajarkan ke pasein/ keluarga tentang prinsip latihan BAB . Ajurkan psein untuk
Diare kronik Lesi kolorektal Kebiasaan diet Faktor lingkungan (mis,, tidak dapat mengakses kamar mandi) Penurunan umum tonus otot
cukup minum . Dorongan pasein untuk cukup latihan . Jaga privasi klien . Kalaborasi pemberian suppositoria jika memungkinkan . Evaluasi status BAB
Faktor yang berhubungan: Tekanan abdomen
Imabilitas, impaksi Gangguan kapasitas reservoir . Pengosongan usus tidak tuntas . Penyalahgunaan laksatif . Penurunan control sfingter rectal
secara rutin . Modifikasi program BAB jika diperluka
. Kerusakan sarAfmonorik bawah . Medikasi . Abdormalitas sfingter rektal
2. Harga diri rendah situasional.
NOC
NIC
Self esteem
persepsi negative tentang
body image, disiturbed coping, ineffective personal identity, disturbed
harga diri sebagia respons tentang situasi saat ini (sebutkan)
health behavior, risk self esteem situasinal, low
kekuatan diri Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalu bermain peran, model peram, diskusi
Harga dii rendah situasional Definisi: perkembangan
enhancement Dorong pasien
mengidentifikasi
menghadapi peristiwa ketunandayaan fisik: evaluasi diri bahwa respon adaptif klen individu tidak mampu terhadap tantangan
Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan Buat statement postif terhadap pasien Monitor frekuensi
menghadapi situasi` perilaku bimbang perilaku tidak asertif secara verbal melaporkan tentang situasional saat ini terhadap harga diri ekspresi ketidak bergunaan
kemunikasi verbal pasien yang negative Dukung pasien untuk menerima tantangan bar Kaji alas an-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri Kolaborasi dengan
batasan kerakteristik evaluasi diri bahwa kristerial hasil: individu tidak mampu adaptasi terhadap
fusional penting akibat ketunandayaan fisik resolusi berduka: penyesuian dengan kehilangan actual atau kehilangan akan terjadi penyesuaian prikososial: perubahan hidup :respon
espresi berdayaan verbalisasi diri
ketidak psikososial adaptive sumber-sumber lain individu terhadap (petugas dinas meniadakan perubahan dalam hidup social, perawatan Menunjukan penilaian spesialis klinis, dan faktor yang pribadi tentang harga diri layanan keagamaan) Menggungkapkan berhubungan Body image perilaku tidak selers penerimaan diri enhancement souseling dengan nilai. Komunikasi terbuka Menggunakan proses
perubahan perkembangan. gangguan citra tubuh kegagalan gangguan fungsional kurang penghargaan kehilangan penolakan perubahan perah social
Mengatakan optimism tentang masa depan Menghadapi stretegi koping efektif
pertoiongan interakltif yangberfokus pada kebutuhan,masalah,atau perasaan passion dan orang terdekat untuk meningkatkan atau mendukung koping, pemecahan masalah
Coping enhancement
3. Kerusakan intergritas kulit
NOC
NIC
Tissue Intergrity: Skin Definisi : perubahan/gangguan,epidermis and Murcous Mebranes
Pressure Management : Anjurkan pasien untuk
dan/atau demis Batasan karakteristik: kerusakan lapisa kulit(dermis) Gangguan permukaan kulit (epidermis)
menggunakan pakaian yang longgar. Hindari kerutan pada tempat tidur. Jaga kebersihan kulit
Invasi struktur tubuh Faktor yang berhubungan : Eksternal :
- zat kimia,radiasi - usia yang ekstrim - kelembapan - hipertermia,hipotermia - Faktor mekanik(mis.gaya (shearing forces) - Medikasi - Imobilitas fisik
gunting
* Internal - perubahan status cairan
Hemodyalis akses Kriteria Hasil : Intergritas kulit yang
baik bisa dipertahankan(sensasi,
elastisitas,tempratur, agar tetap bersih dan hidrasi,pigmentasi ) kering. Tidak ada luka/lesi pada Mobilisasi pasien(ubah kulit posisi pasien) setiap dua Perfusi jaringan baik jam sekali. Menunjukan pemahaman Monitor kulit akan dalam proses perbaikan adanya kemerahan. kulit dan mencegah Oleskan lotion atau terjadinya sedera berulang Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
minyak/baby oil pada darah yang tertekan. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
-perubahan pigmentasi -perubahan turgor -faktor perkembangan Kondisi ketidak seimbangan nutrisi
Insision site care membersihkan memantau dan pada luka
- penurunan imunologis - penurunan sirkulasi - Kondisi gangguan metabolik
proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan,klip atau strapless. monitor proses
-Gangguan sensasi -Tonjolan tulang
yang meningkatkan
kesembuhan area insisi. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi. Bersihkan area sekitar jahitan atau
straples,menggunakan lidi kapas steril . gunakan preparat antiseptic,sesuai program. ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut)sesuai program. Dialysis Acces Maintenance
4. Resiko
NOC
NIC
ketidakseimbangan eletrolit Definisi:Berisiko mengalami perubahan kadar elektrolit
Fluid balance Hydration
serum yang dapat mengganggu kesehatan
Nutritional Status: Food and Fluid intake
Fluid management timbang popok/pembalut
Diare Disfungsi endokrin Kelebihan volume cairan Gangguan mekanisme
jika diperlukan. Pertahankan catatan intake dan output yang Kriteria Hasil: Mempertahankan urine akurat. output sesuai dengan usia Monitor status hidrasi dan BB, BJ, urine (kelembaban membran normal, HT normal. mukos, nadi adekuat, Tekanan darah, nadi, tekanan darah ortostatik)
regulasi (mis. diabetes, isipidus, sindrom, ketidaktepatan sekresi hormon antidiuretik)
suhu tubuh dalam batas normal. Tidak ada tanda dehidrasi, Elastisitas
jika diperlukan. Monitor vital sign. Monitor masukan makanan/cairandan
Disfungsi ginjal Efek samping obat (mis. medikasi drain) Muntah
turgor kulit baik, mebran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
hitung intake kalori harian. kolaborasi pemberian cairan IV.
Faktor risiko Defesiensi volume cairan
Monitor status nutrisi. berikan cairan IV pada suhu ruangan. Dorong masukan oral. . Beriakn penggantian
nesogatrik sesuai output. . Dorong keluarga untuk membantu pasien makan. . Tawarkan snack 9jus buah, buah segar). . Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk. . Atur kemungkinan tranfusi. . Persiapan untuk tranfusi Hypovolemia Management. . Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan. . Pelihara IV line. . Monitor tingkat Hb dan hematocrit. . Monitor tanda vital. . Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan. . Monitor berat badan. . Dorong pasien untuk menambah intake oral. . Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan. . Monitor adanya tanda gagal ginjal
3.4
Implementasi
Keberhasilan Intervensi Keperawatan bergantung pada upaya meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga tentang eliminasi fekal. Di rumah, di rumah sakit, atau di fasilitas perawatan jangka panjang, klien yang mampu belajar dapat di ajarkan tentang kebiasaan defekasi yang efektif. Perawat harus mengajarkan klien dan keluarga tentang diet yang benar,
asupan cairan yang adekuat, dan factor-faktor yang menstimulasi atau memperlambat peristalstik, seperti stress emosional.
3.5
Evaluasi
Keefektifan perawatan bergantung pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dari perawatan secara optimal klien akan mampu mengeluarkan feses yang lunak secara teratur tanpa merasa nyeri. Klien juga akan memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk menetapkan pola eliminasi normal dan untuk medemonstrasikan keberhasilan yang berkelanjutan, yang di ukur berdasarkan interval waktu tertentu dalam suatu periode yang panjang. Klien akan mampu melakukan defekasi secara normal dengan memanipilasi komponen-komponen alamiah dalam kehidupan sehari-hari seperti diet, asupan cairan dan olahraga. Ketergantungan klien pada tindakan bantuan untuk membantu defekasi seperti enema dan penggunaan laksatif, menjadi minimal. Klien akan merasa nyaman dengan protocol ostomi dan mengidentifikasi protocol tersebut sebagai sesuatu yang dapat dipraktikkan secara pasti.
BAB IV PENUTUP 4.1
Kesimpulan Eliminasi fecal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme tubuh yang
tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al. , 2009). Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 3050% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan ba ik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. 4.2
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Pada Perawat
Agar meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Inkontinensia Fekal dan meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku-buku dan mengikuti seminar serta menindaklanjuti masalah yang belum teratasi. 2. Pada Mahasiswa Diharapkan dapat melaksanakan tehknik komunikasi terapeutik dan melakukan pengkajian
agar kualitas pengumpulan data dapat lebih baik sehingga dapat melaksanakan Asuhan Keperawatan dengan baik. 3. Pada Klien dan Keluarga
Diharapkan klien dapat melaksanakan anjuran dan penatalaksanaan pengobatan dan diet yang telah diinstruksikan leh perawat dan dokter.
DAFTAR PUSTAKA Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Edisi 9. 2011. Huda A.N, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA.MediAction Publishing. Edisi Revisi Jilid 1. 2013. Huda A.N, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA.MediAction Publishing. Edisi Revisi Jilid 2. 2013.