BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Manusia dalam suatu sistem bekerja dan berinteraksi dalam suatu lingkungan, dan dalam perspektif ergonomi keterkaitan dan interaksi antara manusia dan lingkungannya dikenal dengan istilah Environmental istilah Environmental Ergonomics atau ergonomi lingkungan. Wignjosoebroto (2008) menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna tetap tidak luput dari kekurangan, dalam arti segala kemampuannya masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut dapat berasal dari diri sendiri (intern), dapat juga dari pengaruh luar (ekstern). Salah satu faktor yang berasal dari luar adalah kondisi lingkungan kerja, yaitu semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, warna dan lainlain. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia. Parson (2000) mengemukakan bahwa pada prinsipnya ergonomi lingkungan mencakup kondisi sosial, kondisi psikologis, budaya dan organisasi dari lingkungan. Kesemuanya ini akan membahas bagaimana bagaimana reaksi manusia terhadap kondisi lingkungan kerja yang akan memberikan respon psikologis dan respon fisiologis fisiologis
sehingga dalam perancangan produk yang yang sering digunakan di
lingkungan kerja yang ekstrim, dapat memperhitungkan faktor lingkungannya, dan dalam kehidupan bahwa antara lingkungan fisik dan manusia saling mempengaruhi. Furnace area atau tungku peleburan merupakan area kerja yang memiliki risi ko besar terjadinya heat stress stress karena lingkungan kerja yang penuh risiko dengan temperatur yang tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi durasi kerja dan beban kerja itu sendiri. Penggunaan pakaian pelindung diri dengan standar yang lebih tinggi menjadi suatu keharusan untuk area kerja ini. Setelan pakaian pelindung diri harus cocok dengan kondisi lingkungan, khususnya terhadap temperatur yang yang akan mempengaruhi heat stress. stress. Heat stress yang terusmenerus akan berpotensi menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Menurut Pulat (1992) peningkatan
bahwa
reaksi
fisiologis
tubuh
(heat
strain) strain) karena
temperatur udara di luar comfort zone zone adalah vasodilatasi, denyut jantung
meningkat, temperatur kulit meningkat, suhu inti tubuh pada awalnya turun kemudian meningkat. Suhu lingkungan kerja kerj a yang tinggi menyebabkan temperatur tubuh pekerja
meningkat selanjutnya akan mengakibatkan tekanan panas (heat stress) pada pekerja sehingga akan mempengaruhi produktivitas pekerja. Di lingkungan kerja yang ekstrim, pakaian pelindung diri atau personal protective clothing (PPC) dijadikan sebagai salah satu faktor penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
Performansi pekerja ketika
menggunakan PPC menjadi hal penting untuk dikaji McLellan (2006) melakukan sebuah penelitian terkait dengan penurunan range of motion (ROM) pekerja ketika menggunakan pakaian pengaman (safety wear) pada pemadam kebakaran, pekerja pengolahan limbah, tentara, dan untuk pekerja yang penuh risiko lainnya dengan suhu ekstrim 40 oC. Kemudian, banyak penelitian yang terkait dengan evaluasi PPC terhadap lingkungan kerja. Adams et al, (1994) mulai mencari keterkaitan antara efek pakaian kerja dengan performansi pekerja itu sendiri, meskipun didapatkan kesimpulan bahwa masih cukup sulit untuk memprediksikan keterkaitan antara efek dari pakaian kerja dengan performansi pekerja. Namun penelitian tersebut memperkenalkan sebuah kerangka penelitian tentang hubungan antara lingkungan, pakaian kerja, dan performansi kerja. Kang et al , (2001) membuat pemodelan lingkungan panas dan respon manusia pada daerah iklim tropis yang berguna untuk desain dan evaluasi lingkungan bangunan non AC (non air conditioned building environments). Penelitian tentang lingkungan panas juga dilakukan Muflichatun (2006), dalam penelitiannya tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara tekanan panas (heat stress) dengan produktifitas dan denyut nadi. Tekanan panas pada pekerja dapat dikendalikan dengan memperbaiki lingkungan kerja perusahaan atau dengan melakukan perbaikan pada seragam pekerja. Holmer (2006) dalam penelitiannya berpendapat bahwa PPC di lingkungan kerja yang panas sangat erat kaitannya dengan heat stress serta berpengaruh pada performansi pekerja yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan panas dan ketidaknyamanan dari PPC itu sendiri. Lingkungan kerja yang ekstrim tidak hanya area peleburan pada pabrik tertentu, tapi bagi mereka yang bekerja di sebagai petugas pemadam kebakaran juga erat dengan terjadinya heat stress. Mclellan (2006) mengevaluasi pengaruh tekanan panas pada pakaian pelindung selama operasi pemadam kebakaran. Gasperin (2008) merancang sebuah model untuk mengevaluasi pakaian peli ndung diri anti api yang melakukan protocol test (simulation) dengan menggunakan manekin untuk menguji ketahanan pakaian pelindung diri yang tahan api. Raimundo dan Figueiredo (2009) telah membuat suatu pedoman yang berguna tentang penentuan pengaruh sifat-sifat pakaian pelindung diri selama operasi pemadaman kebakaran. Dari beberapa penelitian ini, terdapat beberapa kesimpulan yang sama yaitu tekanan panas pada pekerja akan mempengaruhi performansi pekerja dan juga mempengaruhi kesehatan pekerja itu sendiri.
Penelitian terkait dengan lingkungan kerja juga diteliti oleh Furtado et al. (2007), penelitian tersebut juga melakukan sebuah eksperimen dengan mengukur performansi pekerja yang bekerja di lingkungan yang panas (trial outdoors) dan yang bekerja di dalam ruangan. Dari kedua lingkungan yang berbeda ini, tolak ukur penelitian adalah bagaimana performansi pekerja ketika menggunakan PPC dan tidak menggunakan PPC pada dua lingkungan kerja yang berbeda. Penelitian ini melakukan pendekatan fisiologi kerja yang menganalisa performansi pekerja dengan mengukur denyut jantung (HR). Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Kim et al. (2007) dengan kondisi lingkungan yang dingin. Penelitian Kim et al. (2007) fokus pada analisis beban kerja dalam pemindahan material dari satu tempat ke tempat yang lain sesuai dengan skenario eksperimen. Dari hasil eksperimen yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa performansi manusia akibat lingkungan yang dingin, akan mempengaruhi beban kerjanya dan mempengaruhi respon fisiologis manusia. Di India, juga dilakukan pengukuran beban kerja dengan mengambil sampel dari pekerja bangunan yang berjenis kelamin perempuan. Penelitian Maiti (2008) ini melakukan pengukuran langsung dimana yang menjadi pelaku eksperimen adalah para pekerja tersebut. Kondisi kerja yang manual dan tanpa pakaian pelindung diri merupakan aspek utama dalam penelitian Maiti (2008). Ketika beberapa peneliti sebelumnya melakukan penelitian dengan melakukan studi eksperimen fisiologi kerja, lain halnya dengan Tian et al. (2011). Pada penelitian Tian et al. (2011) mengkombinasikan aspek fisiologi kerja dan psikologi kerja dari manusia. Untuk aspek fisiologis kerja, penelitian tersebut melakukan eksperimen seperti penelitian lainnya, dan untuk aspek psikologis kerja akan diberikan kuisioner kepada responden terkait respon mereka terhadap lingkungan panas. Dari beberapa penelitian tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan keselamatan dan kesehatan kerja karyawan yang berada di lingkungan ekstrim tertentu. Outdoor activities dan juga pemadaman kebakaran merupakan beberapa dari sekian banyak contoh lingkungan kerja yang memiliki suhu di atas normal. Namun, dari pemaparan di atas, belum ditemui adanya penelitian yang memfokuskan pada lingkungan pabrik, khususnya di area peleburan. Mereka yang bekerja di area peleburan, akan berada di area dengan suhu yang panas dalam waktu yang cukup lama sesuai dengan shift kerja mereka. Sehingga, kondisi kesehatan pekerja akan erat kaitannya dengan keselamatan pekerja, dengan mengidentifikasi potensi bahaya dalam satu lingkungan kerja maka dapat mengurangi risiko penyakit hyperthermia. Sehingga, untuk mencapai tingkat keselamatan kerja atau yang biasa dikenal dengan istilah zero accident diperlukan kontribusi yang besar antara perusahaan dan karyawan. Beranjak dari ide penelitian Furtado et al. (2007), Kim et al. (2007), Maiti (2008), dan Tian et al. (2011), tentang analisis keterkaitan antara lingkungan kerja, beban kerja, fisiologis kerja, psikologis kerja, pakaian
pelindung, maka penelitian tesis ini akan merancang model penliaian potensi personal protective clothing (PPC) dalam mempengaruhi kinerja karyawan pada lingkungan kerja ekstrim.
Penelitian ini dilakukan dengan study case di PT. Barata Indonesia (Persero). PT Barata Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan industri Manufacure dan EPC (Engineering, Procurement, Construction) yang memiliki beberapa divisi diantaranya Divisi Pengecoran, Divisi Produksi Peralatan Jalan, Divisi Produksi Peralatan Industri Proses, Divisi Produksi Peralatan Industri Agro. Untuk study case pada penelitian ini akan difokuskan pada Divisi Pengecoran. Dalam divisi pengecoran, terdapat proses peleburan besi dan baja yang dilakukan dengan satu buag dapur busur listrik atau arc furnace dengan kapasitas 6 ton sebanyak 1 buah dan empat buah dapur listrik induksi atau induction furnace, yaitu : induction furnace dengan kapasitas ½ ton sebanyak 1 buah, 2 ton sebanyak 2 buah, dan 10 ton sebanyak 1 buah dengan kapasitas produksi 6.000 ton per tahun untuk memenuhi 95% kebutuhan pasar dalam negeri. Berdasarkan observasi awal pada bulan September 2011, pada bulan Oktober – Desember 2011 akan melakukan produksi dengan kapasitas maksimum 6 ton per hari, dengan penambahan 1 shift kerja yang di hari biasa hanya 1 shift kerja. Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan Manager PM&K3LH, pada bulan Oktober – Desember 2011 merupakan kondisi kerja maksimal dari pekerja di Divisi Pengecoran karena pada tiga bulan tersebut akan memberlakukan 24 jam kerja dimana jumlah kapasitas produksi maksimal sebesar 5 ton per hari. Sehingga, akan diberlakukan 2 shift kerja di divisi pengecoran. Kondisi inilah yang juga menjadi salah satu motivasi dilakukannya penelitian ini. Pemberlakuan 24 jam kerja bukanlah yang pertama dilakukan oleh perusahaan, pada tahun-tahun sebelumnya juga pernah diterapkan hal yang sama. Dan kecelakaan kerja juga pernah terjadi pada divisi terkait dengan peledakan akibat kesalahan proses penuangan cairan logam dan pekerja di divisi tersebut yang kelelahan. Pada tanggal 13 Maret 2009 sekitar pukul 17.00 WIB, terjadi kegagalan dalam proses penuangan cairan logam dari dapur ke leadle yang kurang sempurna sehingga cairan logam tersebut jatuh pada bagian PIT (tempat tumpuan leadle) yang lembab di induction furnace dengan kapasitas 10 ton sehingga terjadi ledakan yang sangat keras hingga radius 3 km dari lokasi kejadian. Kronologis kejadiannya yaitu pada saat cairan logam yang merupakan hasil proses peleburan dituang pada leadle kurang sempurna, maka terdapat sebagian cairan logam dengan temperature 1.500oC jatuh pada tempat yang lembab sehingga mengakibatkan terjadinya peledakan. Akibat dari kejadian tersebut
mengakibatkan 2 orang operator yaitu operator crane dan operator dapur mengalami luka karena percikan cairan logam tersebut. Operator yang terkena percikan cairan logam pada saat itu tidak menggunakan pakaian pelindung. Karena merasa tidak nyaman dan panas, sehingga operator tersebut tidak menggunakannya. Perusahaan telah memiliki organisasi K3 untuk menangani masalah safety di setiap area kerja / divisi / workshop. Organisasi K3 di PT. Barata Indonesia merupakan organisasi non struktural dimana terdapat dua bagian yaitu Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dan Safety Representative. P2K3 merupakan bagian dari organisasi K3 yang dibentuk sebagai pemenuhan bab VI pasal 10 UUD No. 1/1970 sedangkan Safety Representative dibentuk sebagai usaha mempercepat pembudayaan K3, melakukan peningkatan K3 dan menjadi model K3 di unit kerjanya. Walaupun sudah dibentuk organisasi K3, tetapi kecelakaan kerja masih saja terjadi. Implementasi dari manajemen K3 yang diterapkan oleh perusahaan masih belum maksimal. Kecelakaan kerja di divisi pengecoran paling sering terjadi dalam periode 2006 – 2010. Lingkungan yang panas dan tingkat kenyamanan dari pekerja merupakan faktor-faktor yang ikut mempengaruhi performansi dari pekerja. Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan temperatur
tempat
kerja,
yaitu
Surat
Edaran
Menteri
Tenaga
Kerja
No.
SE.
51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas untuk Temperatur Tempat Kerja, Ditetapkan : Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang masih dapat dihadapi oleh tenaga kerja dalam pekerjaan sehari-hari yang tidak mengakbatkan penyakit atau gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus tidak melebihi dari 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu. NAB terendah untuk ruang kerja adalah 25°C dan NAB tertinggi adalah 32,2°C, tergantung pada beban kerja dan pengaturan waktu kerja. Dalam kondisi kerja seperti ini, sangatlah penting penggunaan pakaian pelindung diri / personal protective clothing (PPC) dalam aktivitas kerja. Setelah dilakukan observasi awal terhadap kondisi lingkungan kerja dan juga para pekerja di divisi pengecoran PT. Barata Indonesia, diawali dengan sobservasi lapangan dan wawancara dengan pihak manajemen K3, maka akan dilakukan penelitian terkait dengan penilaian potensi PPC dalam pengaruhnya terhadap kinerja karyawan yang berada di divisi pengecoran. Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena penelitian ini tidak hanya mengkaji respon pekerja terhadap PPC yang digunakan saat ini di divisi
pengecoran, tapi juga akan dilakukan pengukuran fisiologi kerja untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tekanan panas, denyut jantung, dan juga kinerja para pekerja di divisi pengecoran PT. Barata Indonesia.
1.2
Permasalahan
Latar belakang di atas telah menguraikan motivasi terbesar untuk melakukan penelitian ini. Pentingnya kenyamanan kerja di furnace area akibat paparan panas dari lingkungan, maka perlu dianalisia pengaruh pemakaian PPC di lingkungan panas terhadap tingkat kenyamanan pekerja. Pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1.
Sejauh mana hubungan antara tekanan panas dengan denyut nadi di furnace area di workshop 1 PT. Barata Indonesia (Persero)
2.
Sejauh mana hubungan antara tekanan panas dan tingkat kenyamanan di furnace area di workshop 1 PT. Barata Indonesia (Persero)
3.
Sejauh mana hubungan hubungan antara denyut nadi dan tingkat kenyamanan di furnace area di workshop 1 PT. Barata Indonesia (Persero)
4.
Apakah penggunaan PPC bagi karyawan di furnace area sudah memberikan kenyamanan ketika bekerja.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini antara lain : 1.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ken yamanan di furnace area.
2.
Membangun model pengaruh PPC dan lingkungan kerja yang mempengaruhi tingkat kenyamanan pekerja.
3.
Membuat rekomendasi perbaikan pada kondisi lingkungan kerja dan peningkatan kesadaran dalam penggunaan PPC untuk mengurangi dampak risiko kecela kaan kerja.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang secara ilmiah dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Sebagai informasi awal untuk pemantauan kesehatan dan keselamatan kerja sektor informal yang berhubungan dengan tekanan panas akibat lingkungan kerja, PPC, heart rate, dan kinerja karyawan.
2.
Sebagai bahan masukan dalam kaitannya dengan lingkungan kerja serta tindakan pengendaliannya, sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan.
3.
Dapat dijadikan sebagai bahan informasi data dasar dalam penelitian di bidang environment ergonomics khususnya kajian mengenai tekanan panas, PPC, dan kinerja karyawan.
1.5
Batasan dan asumsi 1.5.1 Batasan penelitian
Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian dilakukan hanya di area Divisi Pengecoran PT. Barata Indonesia. 2. Penelitian difokuskan pada aspek lingkungan kerja, PPC, psikologi pekerja, dan fisiologi kerja. 1.5.2 Asumsi penelitian
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : bahwa selama dilakukan penelitian, tidak ada perubahan-perubahan yang signifikan terhadap kondisi perusahaan. 1.6 : KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja mau p u n p e n g u s a h a " ke seha tan da n ke sel am atan ke rj a at au K3 di ha rap kan dapat menjadi upaya pr e'ent i&t e r h a d a p t i m b u l n ya k e c e l a k a a n k e r j a d a n p e n ya k i t a k i b a t h ub un ga n k er j a d al am l i n g k u n g a n k e r j a . P e l a k s a n a a n K 3 d i a wali dengan cara mengenali halh a l y a n g berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubunga n kerja" dantindakan antisi pati& bila terjadi hal de mikian. %ujuan dari
dibuatnya sistem ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan k e r j a d a n p e n y a k i t akibat hubungan kerja.Peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan kerja adalah menjadi melalui pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan keseh at an pe ke rj ayang meliputi pemeriksaan " pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. Untuk mencegah terjadin ya ke celakaa n da n s akit pada tempat kerja dapa t dila ku ka n de ng an penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja. Bab ini berisikan hasil akhir dari penelitian thes is yang didasarkan pada pengolahan dan analisa data yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Dan yang terakhir adalah memberikan saran-saran baik untuk penelitian selanjutnya maupun untuk pihak yang membutuhkan. Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakitdan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekono m i ( l o s t b e n e f i t ) s u a t u perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan kese lamatan kerja harus dikelolasecara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono Sugeng, Jusuf, Pusparini Adriana. 2003. Bunga Rampai Hiperkesdan KK. Semarang:Badan Penerbit UNDIP Semarang. Depnakertrans RI. 2011. PER.13/MEN/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor. Haryuti, Siswanto,A., Setijoso,W.(1987), Tekanan Panas. Surabaya : Balai Hiperkes Dan Keselamatan Kerja Jawa Timur. Suma’mur PK.
PK. 1996. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Barata
Indonesia (Persero). Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Indonesia. Undang-Undang Nomor ! Tahun 1992 tentang jaminan Sosial Tenaga Kerja.