TUJUAN 1. Menjelaskan tentang definisi dan penggunaan resin heat cured acrylic dalam kedokteran gigi. 2. Mengetahui cara manipulasi resin heat cured acrylic dalam membuat denture base. 3. Mengetahui sifat-sifat dari resin heat cured acrylic yang digunakan sebagai denture base.
1
RESIN AKRILIK HEAT CURED 1. Introduction 1.1. Definisi Menurut spesifikasi ANSI/ADA No. 12 (ISO 1567) untuk Resin Basis Gigi Tiruan. Pada umumnya plastik yang dilapisi oleh beberapa spesifikasi termasuk asetil, akrilik, karbonat, ester asam dimetakrilat, styrene, sulfonat dan vinil polimer. Atau bisa juga terbentuk dari pencampuran beberapa polimer menjadi kopolimer. Terdapat lima jenis resin basis gigi tiruan berdasarkan cara polimerisasinya. Resin heat cured akrilik merupakan tipe I, yaitu HeatPolymerizable Polymers / Heat Cured Acrylic (Class 1, Powder dan Liquid; Class 2, Plastic Cake). Resin akrilik heat-cured adalah resin akrilik yang polimerisasinya dilakukan dengan pemanasan, bahan ini rnerupakan bahan basis gigi tiruan yang paling sering dipakai sampai saat ini. Metode polimerisasi resin akrilik heat-cured ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pemanasan konvensional yaitu kuring dengan pemanasan air dan pemanasan gelombang mikro (Munadziroh, 2004).
1.2. Komposisi Resin heat cured akrilik tersedia dalam bentuk bubuk dan cair. Bubuk yang diberikan mempunyai berat molekul yang sangat tinggi. Ini berisi kopolimer dari PMMA dalam bentuk bola atau kristal-kristal beserta inisiator berupa benzoil peroksida. Pigmen sebagai pewarna dan serat juga sering ditambahkan untuk memperbaiki estetika. Sedangkan, bubuk terdiri dari monomer metil metakrilat (MMA) dengan cross linking agent (biasanya 5-15% ethylene glycol dimetakrilat) dan sejumlah kecil inhibitor (hydroquinone) untuk menghindari polimerisasi dini dan untuk meningkatkan shelf life. Cross linking ditambahkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya retakan kecil pada permukaan
2
denture ketika mengering. MMA adalah cairan yang mudah terbakar dengan viskositas rendah, seperti air. MMA mudah menguap dan mendidih pada suhu 100°C. Ketika polimerisasi, MMA menyusut sekitar 21% dari volume. Hal ini dapat menyebabkan iritasi fisik pada kulit, seperti gatal. Sebuah resin heat cured akrilik dapat menghasilkan monomer sisa minimal sebanyak 0,3%-2%. (Elhereksi, 2006).
1.3. Properties Properties dari resin akrilik jenis heat-cured ini penting untuk diketahui. Karena dengan ini, kita dapat mengetahui jenis dan sifat keseluruhan dari resin akrilik jenis heat-cured. Bagaimana kekuatan dan kompabilitas dari jenis resin ini. Hal ini yang kemudian akan berpengaruh pada hasil prostesa yang terbuat dari resin akrilik. Pengetahuan tentang properties ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kita mengetahui sifat resin akrilik agar kita dapat membuat prostesa dengan tepat dan nyaman. Klasifikasi dari properties yang penting kita ketahui termasuk polymerization shrinkage, porositas, kemampuan menyerap air, solubility, dan crazing (Anusavice, 2003). Tabel 1.1. Properties dari resin akrilik jenis heat-cured (Craig et al., 2004). Properties of Heat-Processed Acrylic Denture Base Materials Tensile Strength
55 Mpa (8000 psi)
Compressive Strength
76 Mpa (11.000 psi)
Propotional Limit
26 Mpa
Elastic Modulus
3800 MPa
Impact Strength
1 cm kg/cm
Elongation
2%
Transverse Deflection @ 3500gm
2 mm
@ 5000gm
4 mm
Fatigue Strength
3
@ 2500 lbs/in2 (17 Mpa)
1.500.000 cycles
Knoop Hardness
15 kg/mm2
Thermal Conductivity
0.0006cal/sec/cm2(oC/cm)
Heat distortion temperature
95oC
Polymerization shrinkage (volumetric)*
6%
Polymerization shrinkage (linear)
0,2%-0,5%
Water sorption (24 jam)
0,6 mg/cm2
Water solubility
0,02 mg/cm2
Adhesion to metal
None
Adhesion to acrylic (tensile)
41 Mpa
Wear Resistance
Fair
Color Stability
Good
Taste or odor
None
Tissue Compatibility
Good
*
Based on polymer-monomer mixture of 3:1
Menurut tabel di atas dapat kita lihat bahwasanya resin akrilik bukanlah material yang kuat, terbukti pada knoop hardnessnya yang hanya 15 kg. Meskipun resin akrilik termasuk tahan terhadap kepatahan, namun resin akrilik akan hancur dan patah bila terjatuh ke tanah (Hatrick et al., 2003). Resin akrilik ini juga mempunyai sifat yang tidak rentan terhadap perubahan suhu yang tiba-tiba dan mendadak. Resin akrilik, khususnya pada protesa bila terjadi adanya peerubahan suhu yang tiba-tiba akan dapat mengganggu pemakai protesanya. Seperti contoh bila seorang pasien memakan minuman dingin kemudian dilanjutkan dengan makan makanan panas, maka bisa saja pasien tersebut dapat merasakan sensasi burning-mouth pada mulutnya (Craig et al., 2004). Resin akrilik juga dapat berdistorsi karena sifatnya yang menyerap air cukup tinggi, yakni 0.6 mg/cm2. Untuk itu, ini dapat berpengaruh pada keakuratan dan kenyamanan dari pasien. Cara mencegah hal itu terjadi adalah dengan cara tidak
4
merendam hasil proteda pada air yang bertenpeatur tinggi, karena distorsi yang ditimbulkan juga semakin banyak. Color stability dari jenis ini juga bagus dan tidak menimbulkan rasa yang tidak enak pada pasien. Ditambah lagi dengan kompatibilitas dari resin akrilik yang baik menyebabkan masih seringnya akrilik jenis heat-cured digunakan (Craig et al., 2004).
1.4. Penyimpanan Penyimpanan resin akrilik merupakan hal yang perlu kita perhatikan, karena penyimpanan memegang peranan penting dalam manipulasi resin akrilik. Dengan penyimpanan yang tidak benar dan tidak sesuai prosedur dapat mempengaruhi hasil dari resin akrilik tersebut (Anusavice, 2003). Penyimpanan yang tidak benar juga dapat membahayakan para dokter gigi dan orang-orang yang terlibat langsung dengan pemanipulasian resin akrilik. Kandungan monomer sisa pada resin akriliklah yang membuat bahan material ini menjadi sangat patut untuk disimpan dengan hati-hati (Anusavice, 2003). Resin akrilik disarankan untuk disimpan pada temperatur dan waktu tertentu. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Jika tidak, komponenkomponen dan komposisi yang ada pada resin akrilik dapat berubah, sehingga akan mempengaruhi cara kerja dari resin ini, misalnya pada sifat fisik dan kimia dari denture base (Anusavice, 2003). Beberapa heat-curing liquid-powder resin dan self-curing materials diformulasikan untuk dapat bertahan pada temperatur yang tinggi dalam beberapa waktu tertentu tanpa menimbulkan efek yang berbahaya. Tetapi bagaimanapun, penyimpanan resin akrilik ini memang berhubungan dengan hasil manipulasi sehingga perlu lebih berhati-hati (Philips, 1982). Salah satu sifat dari bahan ini yang dapat menyerap air adalah salah satu faktor yang membuat resin harus disimpan dengan teliti. Hal ini mempengaruhi ratio pada polimer dan monomernya. Bila bubuk sudah menyerap air, otomatis massa dari bubuk juga ikut bertambah. Ini menyebabkan perubahan dari hasil akhir sehingga bisa-bisa prostesa menjadi tidak fit dan akurat. Resin harus
5
disimpan pada tempat yang tertutup dan kedap udara, seperti toples dan sebagainya. Hal ini mencegah agar tidak terjadi evaporasi pada bahan dan menyeimbangkan komposisi kimia dari liquid (Philips, 1982). Prostesa resin akrilik juga mempunyai sifat yang sensitif terhadap air. Prostesa juga mudah untuk mengabsorpsi air. Pasien seharusnya menjaga dan menyimpan prostesanya pada daerah yang lembab. Perlakuan ini mencegah agar tidak terjadi perubahan dimensi pada prostesa tersebut karena apabila terjadi hal tersebut akibatnya prostesa tidak fit kembali. Prostesa dapat ditempatkan di wadah berisi air dan sedikit mouthwash untuk lebih menyegarkannya. Tidak dianjurkan ditempatkan pada alkohol karena dapat mempengaruhi sifat dari soft liner prostesa (Carol et al., 2003).
2. Manipulasi 2.1. Perbandingan Polimer-Monomer Bahan basis protesa poli (metil metakrilat) biasanya dikemas dalam sistem bubuk bubuk-cairan. Cairan mengandung metal metakrilat tidak terpolimer dan bubuk mengandung butir-butir resin poli (metil metakrilat) pra-polimerisasi dan sejumlah kecil benzoil peroksida (inisiator). Bila cairan dan bubuk diaduk dengan proporsi yang tepat, diperoleh massa yang dapat dibentuk. Kemudian, bahan dimasukkan ke dalam mold dari bentuk yang diinginkan serta dipolimerisasi. Setelah proses polimerisasi selesai, hasil protesa dikeluarkan dan dipersiapkan untuk dipasang pada pasien (Annusavice, 2003). Metode umum untuk memproses akrilik heat cured yaitu dengan mencampur bubuk polimer dan cairan monomer dengan sebuah perbandingan sehingga menjadikan monomer dapat bereaksi secara fisik dengan polimer sampai tercapai fase dough stage (Craig, 1993). Perbandingan polimer dan monomer yang tepat sangat penting untuk membuat protesa yang cocok dengan sifat-sifat fisik yang diharapkan. Secara klinis, polimerisasi resin basis protesa menghasilkan pengerutan volum dan linier. Penelitian menunjukkan bahwa polimerisasi metil metakrilat untuk membentuk
6
poli(metil metakrilat) memberikan penurunan sebesar 21% dari volume bahan. Seperti diperkirakan pengerutan volume sebesar 21 % akan menciptakan kesulitan yang bermakna dalam pembuatan dan penggunaan basis protesa. Untuk mengurangi perubahan dimensi, pabrik pembuat resin melakukan pra-polimerisasi suatu bagian nyata dari bahan basis protesa (Annusavice, 2003). Perbandingan antara monomer: polimer dalam pencampuran adalah penting, karena perubahan dimensi yang terjadi saat polimerisasi disebabkan oleh kontraksi monomer. Perubahan struktur dari molekul monomer bebas menjadi polimer rantai disertai oleh sebuah kontraksi yang lebih dari 20% per volume (Anderson, 1977). Jumlah monomer yang digunakan harus dijaga serendah mungkin dan dapat menghasilkan dua efek penting. Pertama, dapat melunakkan butir polimer dan mengurangi tekanan cetakan. Kedua, terdapat monomer yang cukup untuk merekatkan partikel polimer bersama dalam sebuah massa padat (Anderson, 1977). Pada umumnya, rasio polimer:monomer adalah 3 atau 3½:1 per volume atau sekitar 2½:1 per berat (Anderson, 1977). Reaksi akrilik aktivasi panas dapat disederhanakan menjadi persamaan reaksi berikut : Polymer + peroxide initiator
monomer + inhibitor +
Bubuk
heat polymer +
heat
+ (external) (reaction) Cairan
Syarat utama jumlah cairan yang digunakan yaitu dapat membasahi bubuk polimer dengan sempurna. Bubuk dan cairan dicampur dengan spatula stainless steel dan diaduk pada tempat tertutup selama fase awal reaksi sampai terjadi penguapan monomer (Craig, 1993). Pembasahan yang tidak sempurna dapat menghasilkan warna yang pucat pada gigi karena proses polimerisasi yang tidak sempurna. Selama proses polimerisasi harus berhati-hati untuk menghindari menghirup uap monomer. Campuran polimer-monomer berturut-turut melalui tahap-tahap berikut: (1) sandy, (2)
7
stringy, (3) dough, (4) rubbery, dan (5) stiff. Ketika pencampuran mencapai fase dough, konsistensinya tepat untuk dipacking dalam kuvet. Produk yang berbeda akan merubah ketepatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fase dough, dan perpanjangan waktu yang dibutuhkan pada saat packing (Craig, 1993).
2.2. Interaksi Polimer-Monomer Heat cured acrylic resin terdiri atas komponen bubuk dan cairan. Bubuk terdiri atas butir-butir poli(metil metakrilat) prapolimerisasi, biasa disebut sebagai suatu polimer. Cairannya mengandung metil metakrilat tidak terpolimerisasi sehingga di sebut monomer. Bila komponen bubuk dan cairan diaduk dalam perbandingan yang sesuai, maka di hasilkan massa menyerupai adonan. Massa tersebut dihasilkan melalui 5 tahap yang berbeda yaitu sandy stage, stringy stage, dough stage, rubbery/elastic stage dan stiff (Annusavive, 2003). Selama sandy stage hampir tidak ada interaksi pada tingkat molekuler. Butirbutir polimer tetap tidak berubah, dan konsistensi adukan kasar atau berbutir. Pada stringy stage, monomer berinteraksi dengan permukaan masing-masing butiran polimer. Beberapa rantai polimer terdispersi dalam monomer cair. Rantairantai polimer ini melepaskan jalinan ikatan, sehingga meningkatkan kekentalan adukan. Ciri dari tahap ini adalah berbenang dan lengket ketika bahan disentuh atau ditarik (Annusavive, 2003). Massa yang telah terbentuk kemudian akan memasuki dough stage. Pada tahap ini, jumlah rantai polimer yang memasuki larutan meningkat sehingga terbentuk lautan monomer dan polimer terlarut. Sejumlah polimer yang tidak larut juga masih ada. Secara klinis, massa yang terbentuk seperti suatu adonan yang dapat dibentuk. Adukan tersebut tidak lagi seperti benang dan melekat pada permukaan cawan ataupun spatula pengaduk. Memasuki rubbery/elastic stage, monomer dihabiskan dengan penguapan dan penembusan lebih jauh kedalam butir-butir polimer yang tersisa. Secara klinis, massa memantul bila ditekan atau diregangkan karena massa yang terbentuk tidak lagi mengalir bebas dan mengikuti bentuk wadahnya. Bahan ini tidak dapat di bentuk dengan teknik
8
kompresi konvensional. Adukan akan menjadi keras (stiff) jika didiamkan selama periode tertentu. Hal ini disebabkan karena penguapan monomer bebas. Secara klinis adukan Nampak sangat kering dan tahan terhadap deformasi mekanik (Annusavive, 2003).
2.2.1. Mixing Pengadukan
dari
komponen
bubuk
dan
cairan
memerlukan
perbandingan yang tepat antara polimer dan monomer yaitu 3-3,5:1 dalam perbandingan volume dan 2,5:1 dalam perbandingan berat. Pencampuran dilakukan dalam tempat yang tidak tembus cahaya dan di biarkan mencapai dough stage (Diktat IMTKG I FKG UA, 2007).
2.2.2. Dough Forming Time Waktu pembentukan adonan merupakan waktu yang di perlukan bagi adukan resin untuk mencapai dough stage. Spesifikasi ADA No.12 untuk resin basis protesa menyebutkan bahwa konsistensi ini diperoleh kurang dari 40 menit sejak mulai proses pengadukan. Secara klinis, kebanyakan resin mencapai dough stage dalam waktu kurang dari 10 menit (Annusavice, 2003). Kecepatan terjadinya konsistensi dough tergantung pada temperatur, bentuk dan ukuran partikel polimer, prosentase plasticizer, berat molekul dan perbandingan antara polimer dan monomer. Semakin tinggi temperatur yang di gunakan maka konsistensi dough makin cepat tercapai. Semakin halus partikel polimernya maka konsistensi dough makin cepat tercapai dan bentuk granular dari partikel polimer akan menyebabkan tercapainya konsistensi dough yang lebih cepat di banding bentuk spherical. Semakin tinggi prosentase plasticizernya maka konsistensi dough makin cepat tercapai. Konsistensi dough juga akan lebih cepat tercapai jika berat molekulnya lebih rendah dan menggunakan lebih banyak polimer dibanding monomernya (Diktat IMTKG I FKG UA, 2007).
9
2.2.3. Working Time Working time didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh material denture base tetap berada dalam dough like stage. Periode ini sangat penting untuk proses compression molding. Berdasarkan Spesifikasi ANSI/ADA No.12, waktu yang dibutuhan adonan untuk tetap moldable sekurang-kurangnya adalah 5 menit (Annusavice, 2003). Umumnya waktu yang dibutuhkan adalah 5 sampai 10 menit, kecuali pada suhu yang sangat ekstrim. Pada kondisi tertentu working time dapat diatur dengan mengatur suhu lignkungan tempat memanipulasi bahan, contohnya jika pada saat manipulasi berada dalam ruangan bertemperatur rendah yang cukup ekstrem, mixing vessel dapat diletakkan pada air hangat. Jika pada saat manipulasi berada dalam temperatur yang tinggi, mixing vessel harus diletakkan pada air dingin. Namun dalam melakukan mixing vessel pada air harus dilakukan secara hati-hati, karena jika air memasuki mixing vessel, hal tersebut akan mengubah sifat dari processed resin yang merugikan, oleh karena itu hal tersebut harus dihindari (Chandra, 2007). Working time dapat diperpanjang dengan berbagai cara, antara lain: 1.
Pencampuran dilakukan dalam temperatur rendah.
2.
Memberikan monomer yang lebih banyak pada mixing.
3.
Pengurangan plastisizer akan mengurangi solubility dari polimer sehingga dapat memperpanjang working time.
4.
Berat molekul polimer yang lebih tinggi.
Working time dapat dapat berkurang apabila terjadi beberapa hal berikut: 1.
Temperatur saat pencampuran menjadi lebih tinggi.
2.
Bahan plastisizer bertambah.
3.
Kelarutan polimer pada monomer bertambah.
Suhu lingkungan juga sangat mempengaruhi working time. Oleh karena itu, working time dari denture resin dapat diperpanjang dengan mendinginkan bahan tersebut. Kelemahan paling signifikan yang dapat
10
disebabkan apabila menggunakan teknik ini adalah terjadinya pengembunan saat bahan dikeluarkan dari lemari pendingin. Keadaan ini akan menurunkan kualitas bahan secara fisik maupun estetik. Namun hal ini dapat dihindari dengan menyimpan resin pada wadah kedap udara. Bahan harus segera disimpan pada wadah kedap udara seketika setelah bahan tersebut dikeluarkan dari lemari pendingin. Wadah kedap udara tersebut tidak boleh dibuka hingga suhu bahan sama dengan suhu ruangan (Annusavice, 2003).
2.2.4. Packing Proses penempatan akrilik di dalam mold cavity di dalam kuvet (flask) disebut packing. Proses ini merupakan salah satu proses terpenting dalam pembuatan denture base. Saat proses polimerisasi, mold cavity harus terisi dengan baik. Apabila material yang diisikan terlalu banyak, atau yang biasa disebut “over packing”, maka denture base yang dihasilkan menjadi terlalu tebal sehingga gigi tiruan yang dihasilkan menjadi malposisi. Sebaliknya, penggunaan material yang terlalu sedikit atau yang biasa disebut “under packing”, biasanya mengakibatkan adanya porus yang nyata pada denture base. Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya over packing ataupun under packing, mould cavity diisi secara bertahap (Anusavice, 2003). Proses packing harus dilakukan ketika denture base resin dalam dough like state. Campuran powder-liquid harus di packing ke dalam kuvet pada saat dough consistency dikarenakan beberapa hal: 1. Jika powder-liquid di packing pada sandy atau stringy stages, maka akan terdapat banyak monomer yang akan muncul diantara partikel polimer. Selain itu, material akan mempunyai viskositas yang rendah. Viskositas yang rendah tidak ideal untuk proper packing, sebagaimana material akan dengan mudah untuk mengalir keluar dari dalam flask. Packing terlalu awal juga dapat mengakibatkan porositas pada final denture base.
11
2. Jika powder-liquid di packing pada rubbery atau stiff stage, material akan terlalu kental untuk dapat mengalir, dan tidak akan diperoleh metal-to-metal contact dari kedua belah flask (base and body). Penundaan proses packing juga akan menghasilkan fraktur pada gigi, hasil menjadi kurang detail dan membuat ketinggian denture menjadi lebih tinggi (Chandra, 2007). Terdapat dua teknik molding yang dilakukan dalam mengisi resin, yaitu teknik molding tekanan dan teknik molding penyuntikan. Teknik molding tekanan merupakan teknik yang sering dipakai (Anusavice, 2003). Saat ini, terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai perbandingan keakuratan hasil pembuatan denture base antara metode compression molding dengan metode injection molding. Data yang ada dan beberapa informasi klinis menyebutkan bahwa denture base yang dibuat dengan metode injection molding menghasilkan ketepatan yang lebih baik (Anusavice, 2003). Proses teknik compression molding menggunakan tipe kuvet (flask) yang umum yang terpisah menjadi 3 bagian (Philisps, 1977). Proses dimulai dengan resin dilepas dari mixing container untuk kemudian digulung menjadi bentuk tambang. Setelah itu, bentuk resin diubah menjadi bentuk tapal kuda dan diletakkan di dalam bagian dari kuvet yang berfungsi untuk menyimpan gigi tiruan. Dan sebuah lembaran polyethene diletakkan di atas resin dan kuvet bagian atas dipasang kembali (Anusavice, 2003).
Gambar 1.1. Kuvet yang terpisah menjadi 3 bagian.
12
Kuvet ditempatkan didalam press yang didesain khusus, lalu kuvet tersebut ditekan secara bertahap agar cetakan resin dapat menyebar secara merata pada seluruh permukaan mold space, penekanan harus dilakukan secara perlahan-lahan sehingga kelebihan material akan terbuang secara eksentris. Penekanan ini terus dilakukan hingga kuvet tertutup rapat. Selanjutnya kuvet dibuka kembali, dan lembaran polymethylene dilepas dari permukaan resin dengan tarikan cepat secara kontinu (Anusavice, 2003).
Gambar 1.2. Kuvet ditekan di dalam press yang didesain khusus.
Pada daerah yang datar di sekitar mold cavity akan ditemukan sisa cetakan atau kelebihan resin. Sisa cetakan inilah yang disebut flash. Flash dibuang secara hati-hati dari cetakan resin yang terdapat di dalam mould cavity dengan menggunakan alat khusus berupa instrument tumpul. Tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak permukaan stone pada mold dalam kuvet. Serpihan dari stone yang telah terlepas harus dibuang sehingga stone tersebut tidak menyatu dengan denture base yang sedang dibuat (Anusavice, 2003). Lembaran polyethylene baru ditempatkan diantara bagian kuvet dan kuvet kembali ditempatkan dalam press dan dilakukan penekanan. Pada banyak percobaan, kuvet dapat tertutup seluruhnya selama proses penekanan kedua. Dalam proses ini, harus dilakukan dengan berhati-hati agar tidak
13
memberikan tekanan yang berlebihan yang memaksa penutupan kuvet. Proses pengepressan kuvet dilakukan kembali sampai tidak terlihat kelebihan bahan (flash). Saat flash sudah tidak terlihat, pengisian mold yang sempurna sudah mungkin tercapai. Selama waktu proses penutupan terakhir, tidak ada lapisan polyethylene yang diselipkan diantara kedua bagian kuvet (Anusavice 2003). Selain dengan menggunakan teknik compression molding, pembuatan denture base juga dapat dilakukan dengan teknik injection molding dengan menggunakan kuvet yang didesain khusus. Satu setengah bagian dari flask diisi dengan dental stone yang baru saja dicampur, lalu model master diletakkan di dalam cetakan stone tersebut. Biasanya dental stone akan terkontur dan mengeras. Kemudian, sprues sebagai jalan masuk dilekatkan pada wax denture base. Bagian lain dari kuvet diletakkan diatasnya dan proses penanaman disempurnakan, dengan demikian proses penanaman telah selesai. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah melepas malam, kemudian kuvet disatukan kembali. Setelah itu, kuvet ditempatkan di dalam wadah yang dapat mempertahankan tekanan pada kuvet selama proses pemasukan resin. Setelah semua tehap tersebut selesai dilakukan, resin diinjeksikan ke dalam mold cavity (Anusavice, 2003). Saat menggunakaan campuran bubuk-air, resin dicampur dan dimasukkan ke dalam cetakan yang memiliki suhu yang sama dengan suhu ruangan. Kuvet tempat menyimpan denture base kemudian direndam di dalam air untuk proses polimerisasi denture resin. Saat material terpolimerisasi, ditambahkan lagi resin ke dalam mould cavity. Proses ini berguna untuk mengompensasi penyusutan yang terjadi pada saat proses polimerisasi. Setelah selesai, protesa kemudian dikeluarkan, disesuaikan, diproses akhir dan dipoles (Anusavice, 2003).
2.2.5. Prosedur Polimerisasi Basis protesa pada umumnya mengandung benzoil peroksida. Bila dipanaskan di atas 60oC, molekul-molekul benzoil peroksida terpisah-pisah
14
untuk menghasilkan spesies dengan muatan listrik netral dan menganung elektron tidak berpasangan. Spesies tersebut dinamakan radikal bebas. Masing-masing radikal bebas bereaksi cepat dengan molekul monomer yang ada untuk merangsang pertumbuhan rantai polimer. Karena produk reaksi juga memiliki elektron tidak berpasangan, molekul tersebut tetap aktif secara kimia. Sebagai akibatnya, molekul monomer tambahan menjadi terikat dengan rantai polimer individual. Proses ini terjadi secara cepat dan diakhiri oleh penyatuan 2 rantai bertumbuh yang disebut sebagai kombinasi atau perpindahan satu ion hidrogen dari 1 rantai ke rantai yang lain yang disebut sebagai ketidakseimbangan (Anusavice, 2003). Panas yang dipakai dalam polimerisasi diperlukan untuk pemisahan molekul benzoil peroksida, oleh karena itu panas disebut sebagai aktivator. Pemisahan molekul benzoil peroksida memberikan radikal-radikal bebas yang bertanggung jawab terhadap dimulainya pertumbuhan rantai. Jadi benzoil peroksida disebut sebagai initiator (Anusavice, 2003). Selama pembuatan denture resin, panas didapatkan dengan cara merendam kuvet dan alat press ke dalam bak air. Kemudian air dipanaskan sampai temperatur yang dianjurkan dan dipertahankan pada temperatur tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh pabrik (Anusavice, 2003).
2.3. Curing Resin akrilik heat-curing mempunyai fitting yang baik, komfortabel, free bubble, kuat, bebas cadmium. Keuntungan jenis akrilik ini tidak memerlukan waktu lama untuk proses polimerisasi. Heat-curing menggunakan perbandingan antara bubuk dan cairan resin akrilik yang tepat dan memerlukan waktu selama 20 menit untuk proses polimerisasi (Anusavice, 2004). Pada head-curing, inlay dapat dikeraskan secara langsung pada gigi atau ditekan pada die dan kemudian dalam oven dimana bahan tersebut menerima
15
pengerasan panas tambahan atau sinar, kemudian inlay disemen dengan komposit berbasis resin pada gigi (Anusavice, 2004).
Gambar 1.3. Heat-Curing.
2.4. Siklus Polimerisasi Siklus polimerisasi adalah proses pemanasan yang digunakan untuk mengendalikan polimerisasi. Polimerisasi resin basis protesa adalah eksotermal dan besarnya panas yang terlibat dapat mempengaruhi sifat basis protesa yang dibuat. Idealnya proses ini harus dikendalikan dengan baik untuk menghindari efek peningkatan temperatur yang tidak terkendali seperti mendidihnya monomer serta porus basis protesa. Proses ini dapat dikendalikan dengan pemanasan resin lebih perlahan – lahan selama siklus polimerisasi (Anusavice, 2004). Hubungan anatara kecepatan pemanasan dan peningkatan temperatur dalam resin basis protesa tergambar pada gambar 1.4 Siklus polimerisasi yang diwakili kurva C akan menimbulkan porus pada bagian protesa yang tebal, karena temperatur resin melebihi titik didih monomer (100,8oC). Sebaliknya, siklus polimerisasi yang diwakili kurva A akan menyebabkan adanya monomer yang tidak bereaksi, karena temperatur resin tidak mencapai temperatur didih monomer. Jadi, adalah logis untuk menganggap bahwa siklus polimerisasi optimal terdapat di antara kurva A dan C (Anusavice, 2004).
16
Gambar 1.4. Perubahan temperatur pada resin akrilik bila dipaparkan pada berbagai cara.
Penelitian mengarah pada perkembangan petunjuk tertentu bagi polimerisasi resin basis protesa. Hasil siklus polimerisasi telah terbukti sukses untuk basis protesa dari berbagai ukuran, bentuk, dan ketebalan. Salah satu teknik mencakup proses pembuatan resin basis protesa dalam waterbath bertemperatur konstan yaitu 74oC selama 8 jam atau lebih tanpa prosedur pendidihan terminal. Teknik kedua mencakup pemrosesan resin pada 74oC selama kurang lebih 2 jam dan kemudian meningkatkan temperatur air rendaman sampai 100oC dan diproses selama 1 jam lebih (Anusavice, 2004). Setelah siklus polimerisasi yang dipilih selesai, kuvet protesa harus didinginkan perlahan sampai mencapai temperatur ruang. Pendinginan secara cepat menyebabkan kerusakan basis protesa karena perbedaan kontraksi termal dari resin dan stone penanam. Pendinginan secara perlahan dan merata dari bahanbahan ini meminimalkan kesulitan yang dapat terjadi. Ini berarti, kuvet harus diangkat dari rendaman air dan dibiarkan mendingin selama 30 menit. Selanjutnya kuvet direndam dalam air mengalir selama 15 menit. Pada keadaan ini basis protesa boleh dikeluarkan dari dalam kuvet dan dipersiapkan untuk pemasangan.
17
Untuk mengurangi perubahan dimensi yang tidak diinginkan, protesa harus disimpan dalam air sampai dipasangkan pada pasien (Anusavice, 2004). Selain teknik waterbath ada juga teknik lain yaitu teknik polimerisasi melalui energi gelombang mikro atau dikenal dengan microwave. Teknik ini menggunakan resin dengan rumus khusus serta kuvet yang tidak mengandung logam (gambar 1.5). Oven gelombang mikro konvensional digunakan untuk memasok energi termal yang diperlukan untuk polimerisasi (Anusavice, 2004). Keuntungan utama dari teknik ini adalah kecepatan polimerisasi yang dicapai. Penelitian menunjukkan sifat resin gelombang mikro dibandingkan dengan resin konvensional yang telah dijelaskan. Ketepatan basis protesa yang terpolimerisasi menggunakan energi gelombang mikro setara dengan resin yang diproses menggunakan teknik konvensional (Anusavice, 2004).
Gambar 1.5. Contoh resin gelombang mikro dan kuvet gelombang mikro tanpa mengandung logam.
2.5. Internal Porosity Proses polimerisasi adalah reaksi eksotermal. Bila peningkatan temperatur yang menyertainya melebihi titik didih dari monomer yang tidak bereaksi atau polimer dengan berat molekul rendah, atau keduanya, komponen ini mungkin mendidih (Annusavice, 2003). Secara klinis, didihan tersebut menimbulkan porus dalam basis protesa yang dibuat. Porositas tersebut biasanya tidak terlihat pada permukaan basis protesa. Nampaknya, panas akibat polimerisasi dapat disalurkan menjauh dari permukaan resin ke dalam stone gigi yang mengelilinganya. Sebagai akibatnya, panas
18
dikeluarkan, dan temperatur permukaan resin tidak mencapai titik didih monomer (Annusavice, 2003). Begitu ada perubahan di bagian tengah dalam massa resin, karakteristik termal dari sistem berubah secara nyata. Karena resin merupakan konduktor panas yang amat buruk, panas yang dihasilkan dalam segmen resin yang tebal tidak dapat dikeluarkan. Sebagai hasilnya, puncak temperatur resin ini meningkat melebihi titik didih monomer. Sebaliknya, ini menyebabkan mendidihnya monomer yang tidak bereaksi serta menghasilkan porus di dalam basis protesa yang diproses (Annusavice, 2003). Penyusutan porositas muncul sebagai hasil dari pengurangan volume pada adonan dalam proses polimerisasi. Ketika cetakan tidak terisi dengan sempurna terlihat terdapat kekosongan dalam proses pengerasan polimer. Tidak seperti porositas, celah-celah udara pada porositas lainnya tidak tampak pada beberapa porsi khusus pada gigi tiruan. Penyusutan tampak pada beberapa area dimana adonan tersebut tidak di press dengan cukup. (Anderson, 1977). Butiran-butiran yang timbul disebabkan oleh kurangnya struktur pada proses pembentukan polimer. Monomer ditambahkan ke dalam butir-butir polimer agar dapat melunakkannya. Tetapi monomer adalah zat yang mudah menguap dari permukaan adonan yang dilindungi oleh atmosfer. Kemudian monomer tidak cukup untuk melewati ikatan partikel polimer. Struktur butiran sering muncul dari pembukaan adonan pada fase akhir (Anderson, 1977).
3. Sifat 3.1. Monomer Sisa Salah satu sifat khas dari resin akrilik ini adalah adanya monomer sisa. Monomer sisa merupakan hasil sampingan dari resin akrilik. Monomer sisa dihasilkan karena reaksi polimer dengan monomer yang tidak dapat berlangsung secara sempurna (Umriani, 2010). Sifatnya yang cenderung membahayakan pasien, sebenarnya dapat ditanggulangi dengan melakukan teknik dan cara yang benar dengan memperhatikan proses polimerisasi sebaik mungkin. Arti dari
19
polimerisasi itu sendiri adalah reaksi intermolekuler berulang yang secara fungsional mampu berlanjut tidak terbatas (Anusavice, 2004). Proses polimerisasi yang tidak tepat dan benar yaitu dilakukan dalam waktu singkat. Proses polimerisasi yang singkat tersebut akan menyebabkan proses polimerisasi tidak sempurna, sehingga kandungan monomer sisa tinggi. Tingginya kandungan monomer sisa tersebut karena faktor proses kuring yang tidak adekuat. Apabila monomer sisa tersebut terlepas dalam saliva akan menyebabkan iritasi jaringan mulut, yang berupa kemerahan, pembengkakan serta rasa sakit pada mukosa (Umriani, 2010). Adanya monomer sisa harus dihindari karena : 1. Monomer sisa dapat terlepas dari denture dan mengiritasi jaringan mulut dan akan sitotoksik. 2. Monomer sisa akan berfungsi sebagai plasticizer dan menyebabkan akrilik weaker dan flexible. Gejala-gejala yang dapat ditimbulkan karena adanya monomer sisa adalah efek rasa terbakar, odem, rasa gatal, pembengkakan dan eritema pada mukosa rongga mulut dan rasa tidak nyaman pada pemakai gigi tiruan (Umriani, 2010).
3.2. Porositas Terdapat banyak porus yang mungkin terjadi selama pengolahan (pembuatan) basis gigi tiruan. Jika porosity muncul pada permukaan gigi tiruan, maka pembersihan yang baik akan sulit dilakukan. Dan juga, permukaan basis gigi tiruan akan tidak nyaman dilihat. Bahkan meskipun porosity bisa terjadi di bagian dalam, basis gigi tiruan akan menjadi rentan terhadap patah, karena tiap pori atau gelembung internal merupakan daerah konsentrasi tekanan sehingga gigi tiruan bisa melengkung (bengkok) apabila tekanan-tekanan tersebut berkurang (Rini, 2001). Pororitas bisa terbentuk pada bagian yang tebal dari basis gigi tiruan karena vaporasi (penguapan) monomer atau polimer-polimer dengan berat molekul
20
rendah, apabila suhu resin tersebut meningkat di atas titik didih fase-fase tersebut (Rini, 2001). Macam-macam porosity: 1.
Gaseous Porosity Gaseous pososity dapat terjadi karena pemanasan yang terlalu tinggi dan
cepat sehingga menyebabkan sebagian monomer tidak sempat berpolimerisasi dan menguap membentuk bubbles (bola-bola uap) pada bagian resin yang lebih tebal, bubbles terkurung, lalu terjadi porositas yang terlokalisir. Sedangkan pada bagian yang tipis, panas eksotermis dapat keluar dan diserap gips sehingga resin tidak melewati titik didihnya dan tidak akan membentuk bubbles. Selain itu air yang terkandung di dalam resin sebelum atau selama polimerisasi akan menurunkan titik didih monomer sehingga dengan temperatur biasa akan timbul bubbles yang menyebabkan adanya gaseous porosity (Amriani, 2002).
Gambar 1.6. Gaseous porosity pada protesa rahang bawah (Wilson, 1987). 2.
Shrinkage Porosity Shrinkage porosity dapat terjadi karena tiga hal, yaitu: a.
Ketidakhomogenan
resin
akrilik
selama
proses
polimerisasi
menyebabkan bagian yang mengandung lebih banyak monomer akan menyusut dan membentuk voids (ruang-ruang hampa udara) dan menyebabkan terjadinya porosity yang terlokalisir. b.
Polimer-polimer yang berbeda BM, komposisi, dan ukuran akan menyebabkan bagian-bagian yang mempunyai partikel-partikel lebih
21
kecil berpolimerisasi terlebih dahulu dibandingkan dengan partikel yang lebih besar. Bagian-bagian yang berpolimerisasi lebih lambat akan berpindah kebagian yang berpolimerisasi lebih dulu, sehingga terbentuk voids dengan porosity yang terlokalisir. c.
Kurang lamanya pengepresan sebelum penggodokan maupun selama polimerisasi juga akan menyebabkan diffuse monomer menjadi kurang baik dan membuat voids dengan porosity internal (Amriani, 2002). Ketiga hal diatas akan menyebabkan kerapuhan pada basis protesa. (Rini,
2001).
Gambar 1.7. Shrinkage porosity pada protesa rahang bawah (Wilson, 1987).
3.
Porositas jenis lain Kontraksi porositas muncul sebagai akibat penurunan volume adonan yang
terjadi pada saat polimerisasi. Jika cetakan tidak diisi dengan lengkap, voids muncul dalam polimer yang mengeras. Tidak seperti gaseous porosity, lubang tidak muncul dalam bagian tertentu dari gigi tiruan ini. Kontraksi porositas timbul pada setiap daerah di mana adonan tidak cukup dikompresi (Anderson, 1998).
22
Butir-butir yang dapat menimbulkan porositas sering muncul di bagian tipis dan di tepi gigi tiruan, karena penguapan terjadi lebih cepat pada daerahdaerah ini. (Anderson, 1998).
3.3. Crazing Crazing ialah retakan yang terjadi pada permukaan basis resin, dari pembentukan retak kecil yang bervariasi ukurannya, mulai dari ukuran mikroskopis sampai ukuran yang dapat terlihat dengan mata secara langsung (Rini, 2001). Crazing disebabkan karena adanya tensile stress, sehingga terjadi pemisahan polimer. Apabila terjadi crazing, maka dapat memberikan efek melemahkan pada resin dan mengurangi kualitas estetis gigi tiruan (Amriani, 2002). Penyebab utama timbulnya crazing adalah pengeringan permukaan polimer, seperti hilangnya air. Pelarut mengurangi daya tarik antarmolekul dan bagian bawah tegangan pecah, meninggalkan celah sempit atau celah di antaranya. Hal ini tidak akan terjadi apabila gigi tiruan sudah benar-benar kering seluruhnya. Crazing sering terlihat pada gigi palsu yang telah diperbaiki. Bila monomer dalam adonan yang baru telah dilepas, stres muncul pada bagian gigi tiruan yang lebih tua, terutama jika hanya sebagian yang kering (Anderson, 1998). Crazing mungkin menunjukkan permulaan (awal) dari terjadinya fraktur (Amriani, 2002). Crazing terjadi apabila terdapat hal-hal seperti di bawah ini: a.
Stress mekanis Karena pengeringan dan pembahasan gigi tiruan yang berulang sehingga terjadi kontraksi dan ekspansi.
b.
Stress karena perbedaan thermal ekspansi antara gigi tiruan dengan basis protesa.
c.
Aksi solvent Misalnya ketika gigi tiruan yang diperbaiki terjadi kontak monomer dengan basis (Rini, 2001).
23
3.4. Hardness and Strength Kekuatan resin akrilik tergantung dari komposisi resin, teknik prosessing, dan lingkungan gigi tiruan itu sendiri. Berdasarkan Knoop Hardness Number resin akrilik mempunyai kekuatan sebesar 18-20 KHN, tensile strength sebesar 600 Kg/cm2 (8000 psi) dan transverse strength/daya flexural sebesar 50 N pada suhu 37⁰C (Rini, 2001). a. Transverse strength PMMA heat-cured merupakan material yang relatif rapuh. Penyerapan air akan menurunkan kekuatan dan meningkatkan defleksi di bawah beban karena air yang diserap bertindak sebagai plasticizer. Beban pada fraktur akan menjadi lebih besar ketika material memiliki berat molekul yang lebih tinggi (Anderson, 1998). b. Impact strength Impact strength yang tinggi dibutuhkan apabila sewaktu-waktu pasien menjatuhkan gigi tiruan, atau pada saat menggigit benda keras seperti sepotong tulang selama makan. Ada sedikit peningkatan pada impact strength bila berat molekul material meningkat (Anderson, 1998). c. Fatigue strength Gigi akrilik yang diproses dengan hati-hati masih mungkin mengalami kecenderungan fraktur pada suatu titik ketika adanya tekanan pengunyahan tinggi. Resin akrilik mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap adanya lekukan dan retakan, yang akan meningkatkan kemungkinan gigi tiruan untuk patah. Oleh karena itu, overstressing dari gigi tiruan pada deflasking harus dihindari. Demikian pula, pada permukaan gigi tiruan, akumulasi stres selama mengunyah dapat terjadi pada titik antara gigi insisif yang menyebabkan keretakan pada garis midline jika kekuatan mengunyah relatif besar. Fatigue strength meningkat apabila menggunakan material dengan berat molekul yang lebih tinggi dengan kandungan plasticizer yang tinggi. (Anderson, 1998). Resin akrilik mempunyai modulus elastisitas yang relatif rendah yaitu 2400 Mpa oleh karena itu ketebalan basis tidak boleh kurang dari 1 mm. Basis yang tipis
24
akan meningkatkan toleransi mulut pasien terhadap gigi tiruan, tetapi hal ini akan menambah fleksibilitas terhadap konsentrasi lokal yang akan memperlambat resorbsi tulang alveolar dibawah gigi tiruan (Rini, 2001). Permukaan PMMA heat cured dapat cepat aus jika kontak dengan permukaan kasar (Anderson, 1998).
3.5. Ketepatan Dimensi Faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan: 1.
Perluasan cetakan pada kemasan.
2.
Ekspansi termal dari adonan akrilik.
Polimerisasi penyusutan-sekitar 7% dari volume untuk polimerisasi adonan, atau sekitar 2% kontraksi linier. Susut termal pada pendinginan-koefisien ekspansi termal dari akrilik adalah 81x10-6/˚C, dapat ditunjukkan bahwa ada penyusutan 0,44% pada pendinginan 15-20˚C. Hal ini dapat menjadi penyebab perbedaan palatal di gigi palsu atas. Jika panas berlebih yang dihasilkan selama menggosok gigi, hal ini dapat menyebabkan usia warp karena pelepasan tegangan dalam material (Combe, 1986).
3.5.1. Absorbsi Air Segera setelah pengolahan, gigi sebuah menghasilkan dalam cetakan dengan foil pengganti timah, berisi air. Dalam pelayanan, penyerapan air lebih lanjut dapat terjadi hingga nilai ekuilibrium sekitar 2%. Telah diklaim bahwa setiap peningkatan 1% berat dari resin karena penyerapan air menyebabkan ekspansi linear 0,23%. Demikian pula, pengeringan dari material dikaitkan dengan penyusutan. Untuk alasan ini, perawatan gigi harus selalu dijaga basah jika tidak dalam pelayanan (Combe, 1986).
3.5.2. Processing Stress Apabila perubahan dimensi dari bahan tersebut terhalang, maka bahan tersebut memiliki tekanan. Ketika tekanan dilepaskan, dapat terjadi distorsi
25
atau kerusakan bahan. Prinsip ini mempunyai pengaruh penting dalam pembuatan basis protesa (Anusavice 2003). Selama proses polimerisasi, terjadi pengerutan dalam jumlah sedang ketika monomer berikatan membentuk rantai polimer. Selama proses ini ada kemungkinan terjadi pergesekan antara dinding mould dan resin lunak yang menghalangi pengerutan normal dari rantai tersebut. Akibatnya, rantai polimer menegang dan resin mengandung tekanan yang bersifat menarik (Anusavice 2003). Tekanan juga terjadi sebagai akibat dari pengerutan termal. Begitu resin terpolimerisasi didinginkan di bawah Tg, resin menjadi relatif kaku. Pendinginan selanjutnya menyebabkan pengerutan termal. Faktor tambahan yang berperan terhadap tekanan pemrosesan termasuk ketidaktepatan pengadukan dan penanganan resin serta buruknya pengendalian panas dan pendinginan kuvet yang digunakan. Total perubahan dimensi yang terjadi sebagai akibat proses pembuatan dan persiapan berkisar 0,1-0,2 mm (Anusavice 2003).
3.5.3. Thermal and Mould Expansion Hal-hal yang dapat menyebabkan perubahan dimensi selain penyusutan polimerisasi, meliputi penyerapan air dan ekspansi termal. Ukuran basis gigi tiruan akan meningkat sedikit ketika menyerap air.
Ekspansi ini dapat
mengkompensasi penyusutan selama proses polimerisasi. Koefisien ekspansi termal dari resin akrilik heat cured dua kali lebih besar dibandingkan resin komposit (Hatrick et al., 2003). Resin akrilik heat cured memiliki ekspansi termal yang lebih tinggi karena gipsum yang dipakai mencegah akrilik dari penyusutan. Tekanan terjadi dalam gigi tiruan tersebut. Seiring waktu tekanan tersebut akan dilepaskan. Bila sebagian besar tekanan tersebut dilepaskan selama dalam kuvet, akan terjadi sedikit distorsi pada saat pengambilan basis gigi tiruan. Pada prakteknya, akan tidak praktis bila harus meninggu sampai semua
26
tekanan dilepaskan. Maka, akan selalu ada beberapa penyusutan. Rata-rata penyusutan adalah 0,2-0,4%. Keseluruhan penyusutan dari basis gigi tiruan tersebut dapat ditoleransi oleh pasien.
Namun, apabila basis gigi tiruan
tersebut dipindahkan terlalu cepat dari kuvet, perubahan dimensi akan lebih besar dan ketepatan menjadi lebih buruk (Ferracane 2001).
3.5.4. Creep Resin protesa menunjukkan sifat viscoelastis. Bahan ini bertindak sebagai benda padat bersifat karet. Bila suatu resin basis protesa dipaparkan terhadap beban yang ditahan, bahan menunjukkan defleksi atau deformasi awal. Bila beban ini tidak dilepaskan, deformasi tambahan mungkin akan terjadi dengan berlalunya waktu. Tambahan deformasi ini diistilahkan dengan creep. Kecepatan terjadinya deformasi progresif ini disebut laju creep. Kecepatan ini dapat ditingkatkan dengan menaikkan temperatur, memberi beban, monomer residu serta adanya plasticizer (Anusavice 2003). Sifat creep dari resin akrilik pada suhu dan kondisi yang berbeda-beda telah diteliti. Modulus pseudo elastik dari campuran PMMA dan PVC menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan PMMA saja. Penambahan bubuk PVC pada resin akrilik heat cured meningkatkan modulus elastisitas yang bergantung pada kenaikan waktu. Peningkatan modulus elastik ini menguntungkan dalam produksi denture based resin untuk meningkatkan sifat mekanis (Emmanuel dan Frank, 1996).
3.6. Sifat Tambahan 3.6.1. Konduktivitas Thermal Akrilik merupakan konduktor panas dan listik yang jelek. Bila dibandingkan dengan emas, campuran kobalt, atau bahkan dentin manusia, yang memiliki konduktivitas thermal 0.7, 0.16, dan 1.3 x 10-3 cal/sec/cm2 (oC/cm), konduktivitas thermal yang dimiliki oleh poly(methyl methacrylate) cukup rendah, yaitu 5.7 x 10-4 cal/sec/cm2 (oC/cm). Konduktivitas thermal
27
yang rendah menyebabkan basis gigi tiruan dari akrilik berperan sebagai insulator antara jaringan mulut dengan material panas maupun dingin yang masuk ke dalam mulut. Telah dibuktikan bahwa bila ditambahkan sapphire whiskers ke dalam komposisi poly(methyl methacrylate), dapat meningkatkan kondutivitas panas (Powers, 2006).
3.6.2. Radiolucent Salah satu kegunaan akrilik adalah sebagai basis gigi tiruan. Umumnya basis gigi tiruan memiliki sifat radiolucent, sehingga potongan dari gigi tiruan yang pecah maupun mahkota akrilik sementara yang tertelan oleh pasien pada saat terjadi kecelakaan akan sulit untuk dilacak. Oleh karena itu pada beberapa merk material basis gigi tiruan ditambahkan kandungan logam berat seperti barium ataupun glass filler yang bersifat radiopaque untuk meningkatkan radiopacity. Penggunaan bahan tambahan tersebut dapat diberikan hingga maksimal 20% dari berat bahan untuk mendapatkan tingkat radiopacity yang memadai, akan tetapi hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kekuatan material dan perubahan bentuk dari gigi tiruan (Powers, 2006).
3.6.3. Biokompabilitas Konsetrasi monomer sisa harus serendah mungkin karena terlepasnya substansi dapat menyebabkan efek samping yang tidak diharapkan. Resin akrilik heat-cured mengalami tingkat polimerisasi yang tinggi sehingga kandungan monomer sisa lebih sedikit dibandingkan dengan akrilik selfcured. Persentase kandungan monomer sisa pada akrilik heat-cured sebanyak 0,1-1,5%, sedangkan pada akrilik self-cured sebanyak 3-5% (Schmalz dan Bindslev, 2009). Merendam gigi tiruan selama 1 hari dalam air akan menurunkan jumlah monomer sisa secara signifikan. Lebih lanjut, pasien disarankan untuk tidak menggunakan gigi tiruan pada malam pertama penggunaan, karena dapat
28
menyebabkan iritasi mukosa akibat akumulasi monomer sisa di jaringan (Schmalz dan Bindslev, 2009).
Gambar 1.8. Reaksi alergi kontak pada wanita berusia 58 tahun dengan rasa kesemutan pada palatum dan lidah.
Konsentrasi maksimum methyl methacrylate di Jerman adalah sebesar 50 ppm atau 210 mg/m3 di udara, dilaporkan uap methyl methacrylate dalam praktek dokter gigi dapat menyebabkan vertigo. Meskipun belum ada bukti nyata, masalah serius mungkin disebabkan karena menghirup kandungan polymethyl methacrylate. Methyl methacrylate dapat mengiritasi mata, kulit dan system pernafasan (Schmalz dan Bindslev, 2009). Alergi methyl methacrylate atau komponen gigi tiruan akrilik relatif jarang terjadi pada populasi masyarakat umum, akan tetapi jumlah orang yang mengalami alergi terhadap akrilik dan bahan tambahan resin karena resiko pekerjaan meningkat. Tim dokter gigi seharusnya menghindari kontak kulit dengan resin yang belum setting karena pada kasus ekstrim, sensitivitas dapat menyebabkan hilangnya kemampuan kerja. Bahkan, sarung tangan tidak cukup untuk melindungi kulit dari kontak dengan monomer (Schmalz dan Bindslev, 2009).
29
Gambar 1.9. Dokter gigi menderita alergi terhadap methyl methacrylate, kontak dermatitis.
Parameter kimia seperti sisa monomer, faktor mekanis yaitu permukaan gigi tiruan porus atau kasar, dan kebersihan mulut yang jelek dapat menyebabkan terbentuknya koloni bakteri dan fungi (Schmalz dan Bindslev, 2009).
30