1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis atau yang sering disebut TBC adalah infeksi menular
yang
disebabkan
olehbakteri
mycobacterium
tuberculosis
(Danusantoso,2002). Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengobatinya, disamping rasa bosan karena harus minum obat dalam waktu yang lama seseorang pasien kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum massa pengobatan belum selesai hal ini dikarenakan penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditentukan, serta pengetahuan yang kurang tentang penyakit sehingga akan mempengaruhi kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah india dan china dalam hal jumlah penderita TB paru sekitar 583 ribu orang dan diperkirakan sekitar 140 ribu orang meninggal dunia tiap tahun akibat TBC. Sedangkan di Jawa Timur menempati urutan ke 2 setelah Jawa Barat dengan kasus sekitar 37 ribu penderita (depkes RI, 2007).
2
Data pasien TB di tahun 2016 di Wilayah Kelurahan Tanjung Priok sebanyak 28 orang , sedangkan yang datang berobat di Puskesmas kelurahan Tanjung Priok 27 orang. Yang tidak patuh minum obat sebanyak 13 orang, yang patuh patuh minum obat sebanyak 5orang, dalam pengobatan sebanyak sebanyak 9 orang. Berhasil atau tidaknya pengobatan tuberkulosis tergantung pada pengetahuan pasien, keadaan sosial ekonomi serta dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsunsi obat( Enjang, 2002).Apabila ini dibiarkan dampak yang akan muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat tuberkulosis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka kematian terus bertambah akibat penyakit tuberkulosis. Tujuan pengobatan pada penderita tuberkulosis bukanlah sekedar memberikan
obat
saja,
akan
tetapi
pengawasan
serta
memberikan
pengetahuan tentang penyakit ini untuk itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar pengetahuan mereka mengetahui resiko-resiko dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Dalam program DOTS ini diupayakan agar penderita yang telah menerima obat atau resep untuk selanjutnya tetap membeli atau
3
mengambil obat, minum obat secara teratur, kembali kontrol untuk menilai hasil pengobatan.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan pengetahuan pasien tuberkulosis dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat anti tuberculosis ( OAT ) di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Kecamatan Tanjung Priok Kota Administrasi Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta ?
C. Pertanyaan Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimana data demograpi (umur, jenis, kelamin dan tingkat pendidikan pasien tuberkulosis di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok) ?
2.
Bagaimana tingkat pengetahuan pasien tuberkulosis di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok ?
3.
Bagaimana kepatuhan pasien minum OAT di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok ?
4.
Bagaimana hubungan hubungan pengetahuan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan kepatuhan pasien minum OAT di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok ?
4
D. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan pasien tuberkulosis dengan tingkat kepatuhan pasien minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)di puskesmas Kelurahan Tanjung Priok.
2.
Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi data demografi (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) pasien tuberkulosis di puskesmas di Kelurahan Tanjung Priok.
b. Mengidentifikasi
tingkat
pengetahuan
pasien
tuberkulosis
di
puskesmas Kelurahan Tanjung Priok. c. Mengidentifikasikepatuhan pasien minum OAT di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok. d. Mengidentifikasi
hubungan
kepatuhanpasien minum OAT di
pengetahuan
dengan
tingkat
puskesmas Kelurahan Tanjung
Priok.
E. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi yang objektif mengenai hubungan pengetahuan pasien tuberkulosis dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat anti tuberkulosis ( OAT ) di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok.
5
2.
Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu keperawatan pengetahuan dalam menangani pasien tuberkulosis ( TBC ) dan mengetahui hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum obat anti tuberkulosis ( OAT ). Selain itu diharapkan penelitian ini dapat memperkaya dunia kepustakaan pendidikan keperawatan.
3.
Bagi Bidang Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi mengenai kajian tuberkulosis khususnya terhadap kepatuhan minum obat pada
pasien
tuberkulosis,
serta
mengembangkan penelitian selanjutnya.
dijadikan
informasi
untuk
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis
1.
Pengertian Tuberkulosis
paru
adalah
penyakit
menular
langsung
yangdisebabkan oleh kuman TBC ( Mycobacterium ( Mycobacterium Tuberculosis). Tuberculosis). Tuberkulosis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh mycobacterium, yang berkembang biak di dalam bagian tubuh dimana terdapat banyak aliran darah dan oksigen. Infeksi bakteri ini biasanya menyebar melewati pembuluh darah dan kelenjar getah bening, tetapi secara utama menyerang paru-paru. Bakteri TB membunuh jaringan dari organ yang terinfeksi dan membuatnya sebagai kondisi yang mengancam nyawa jika tidak dilakukan terapi. Penyakit TBC adalah sebuah penyakit infeksi yang terjadi pada saluran pernafasan manusia yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebab penyakit TBC ini merupakan jenis bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengobati penyakit TBC ini. Kesimpulan dari dua definisi tentang Tuberkulosis diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa TBC penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TBC ( Mycobacterium Tuberculosis) dan bila sudah terjadi
7
infeksi maka memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengobati penyakit TBC ini. Berdasarkan hasil kesimpulan maka peneliti tertarik untuk membuat
skripsi
dengan
judul
Hubungan
Pengetahuan
Pasien
TuberkulosisDengan Tingkat Kepatuhan Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). 2.
Etiologi Penyebab Tuberkulosis adalah kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2006). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur dormant, tertidur lama selama beberapa hari.
3.
Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TBC BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita penderit a menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
8
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberculosis adalah daya tahan tubuh yang rendah (Budianto, 2003)
4. Faktor Resiko Kuman mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet atau udara sehingga orang-orang yang berada disekitar penderita baik itu anggota keluarga, kerabat, tetangga atau bahkan pemberi pelayanan kesehatan beresiko mengalami penularan penyakit tersebut .Corwin (2000) menjelaskan individu yang beresiko tertular mycobacterium tuberculosis adalah : a.
Mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang telah di diagnosa TB paru aktif berdasarkan pemeriksaan sputum, foto thorax,atau tes mantoux dan mendapatkan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) . Individu yang berdekatan tidak hanya terbatas pada keluarga namun juga pada lingkungan sekitar atau tetangga sehingga ditemukan kejadian satu lingkungan dengan penderita tuberculosis.
9
b.
Individu yang tinggal di perumahan kumuh dengan ruang yang gelap, lembab dan ventilasi udara kurang baik. Lingkungan dan sanitasi yang buruk merupakan tempat yang sangat cocok untuk pertumbuhan
dan
perkembangan
mycobacterium
tuberculosis
sehingga individu yang berada di lingkungan tersebut rentan terinfeksi tuberkulosis. c.
Anggota keluarga pasien adalah orang orang yang yang sering kontak dengan penderita tuberkulosis , selain penyebarannya yang mudah melalui udara tapikarena pencegahan penularan untuk anggota keluarga juga sangat jarang dilakukan.
d.
Petugas kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis . Individu pelayanan kesehatan adalah orang yang sering kontak dengan penderita, disadari atau tanpa disadari penularan dapat terjadi.
e.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) . Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh seluler ( cellular immunity), immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunistic (opportunistic)) seperti tuberkulosis maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian (Departemen Kesehatan RI, 2000)
10
5.
Perjalanan Penyakit Tuberkulosis (TBC) a.
Tuberkulosis primer (infeksi primer) Tuberkulosis mempunyai
primer
imunitas
terjadi
pada
sebelumnya
individu
terhadap
yang
tidak
mycobacterium
tuberculosis. Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis (Imran, 2007). Infeksi dimulai saat kuman
tuberkulosis
berhasi
berkembang
biak
dengan
cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculindari negatif menjadi positif (Nisa, 2007). Menurut Soeparman
(2005)
komplek
primer
ini
selanjutnya
dapat
berkembang menjadi beberapa bagian : 1)
Sembuh sama sekali tanpa menimbulkan cacat
2)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas bekas tanpa garis-garis fibrotic, klasifikasi di hilus atau sarang.
3)
Berkomplikasi dan menyebar secara: (a) Perkontinuiatum yakni dengan menyebar ke sekitarnya. (b) Secara bronkogen ke paru sebelahnya, kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar menyebar ke usus. (c) Secara limfogen ke organ tubuh tubuh lainnya.
11
(d) Secara hematogen ke organ tubuh lainnya. b.
Tuberkulosis pasca primer Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan/tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat infeksi HIV/status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas/efusi pleura (Nisa, 2007).
6.
Gejala dan Diagnosis Tuberkulosis (TBC) a.
Gejala Tuberkulosis Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Nisa, 2007)
b.
Diagnosis Tuberkulosis Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA (Basil Tahan Asam) pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006)
12
Bila hanya satu spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TBC maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
7.
Pencegahan Tuberkulosis (TBC) Menurut Purworejo (2007) pencegahan tuberkulosis dapat berupa : a.
Hindari saling berhadapan saat berbicara dengan penderita.
b.
Cuci alat makan dengan desinfektan (misalnya ; Lysol, kreolin dan lain-lain yang dapat diperoleh di apotek), atau jika tidak yakin pisahkan alat makan penderita.
c.
Olah raga teratur untuk menjagadaya tahan tubuh.
d.
Memberikan penjelasan pada penderita untuk menutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah atau mengeluarkan dahak di sembarang tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi Lysol atau bahan lain yang dianjurkan dan mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.
8.
Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung
13
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yangaktif). Selain itu, semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya.
9.
Pengobatan Tuberkulosis ( TBC ) Menurut Depkes RI ( 2006 ), penelitian TBC harus diberikan obat anti tuberkulosis ( OAT ) yang terdiri dari kombinasi beberapa obat . Diantaranya sebagai berikut: a.
Isoniazid ( H ) Dikenal dengan INH , bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.Dosis harian yang sedang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b.
Rifampisin ( R ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi – dormant (persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
14
c.
Pirazinamid ( Z ) Bersifat bakterisid yang dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
d.
Streptomisin ( S ) Bersifat bakterisid , dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 th dosisnya 0,75 g/hari, sedangkan untuk berumur 60 atau lebih diberikan 0,50 g/hari.
e.
Etambutol ( E ) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
10. Efek Samping Obat Sebagian
besar
penderita
tuberkulosis
dapat
menyelesaikan
pengobatan tanpa efek samping, oleh karena ini pemantauan efek samping diperlukan selama pengobatan : a.
Menjelaskan kepada pasien tanda-tanda efek samping obat.
b.
Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil obat .
15
Tabel.2.1 Efek samping ringan dari obat anti tuberkulosis ( OAT ) Obat
Efek Samping
Rifampisin
Penanganan
Pirasinamid
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit Perlu penjelasan kepada perut, warna kemerahan pada air penderita dan obat seni ( urine ) diminum malam sebelum tidur Nyeri sendi Beri aspirin
INH
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
Beri vitamin B ( pirdoxin ) 100 mg per hari
Tabel. 2.2 Efek samping berat dari Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) Obat
Efek samping
Penanganan Penanganan
Streptomisin
Tuli, gangguan keseimbangan
Etambutol
Gangguan penglihatan
Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol Hentikan Etambutol
Rifampisin
Purpura dan rejatan ( syok )
Hentikan Rifampisin
Semua Jenis OAT
Gatal dan kemerahan kulit
Diberi anthistamin
Hamper OAT
semua Ikterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah
Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang dan segera lakukan tes fungsi hati
16
B.
Kepatuhan
1.
Pengertian Kepatuhan Kepatuhan atau ketaatan ( complianceladherance complianceladherance ) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan d an prilaku yang disarankan disa rankan oleh dokternya atau orang lain ( smet, 1994) Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya ( caplan, 1997 ). Menurut Haynes ( 1997 ), kepatuhan adalah secara sederhana sebagai perluasan perilaku individu yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti diet dan merubah gaya hidup yang sesuai dengan petunjuk medis. Kepatuhan pasien sebagai
sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang di berikan oleh professional kesehatan ( Niven, 2002 ). Sedangkan gabit ( 1999 ) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah di tentukan. Penderita
yang
patuh
berobat
adalah
yang
menyelesaikan
pengobatan secara secar a teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6 sampai 9 bulan. Penderita di katakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari samapi 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan droup out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan ( Depkes RI, 2000 )
17
Menurut cuneo dan snider ( 1999 ) pengobatan yang memerlukan jangka waktu yang panjang akan memberikan pengaruh-pengaruh pada penderita seperti : a.
Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama.
b.
Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih, keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali penderita akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali.
c.
Datang ketempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan.
d.
Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan
e.
Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak nyaman terhadap penderita.
f.
Sulit untuk menyadarkan penderita untuk terus minum obat selama jangka waktu yang ditentukan. Karena jangka waktu yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa
kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur ( defaulting ) atau penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan
18
yaitu putus berobat atau droup out ( Depkes R I , 2006 ). Oleh karena itu menurut Cramer ( 2001 ) kepatuhan penderita dapat dibedakan : a.
Kepatuhan penuh ( Total compliance ) compliance ) Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.
b.
Penderita yang sama sekali tidak patuh ( Non ( Non Compliance ) Compliance ) Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Menurut Skiner Skiner dalam Notoatmodjo ( 2005 2005 ) bahwa kepatuhan kepatuhan penderita TBC minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyatadalam bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dalam diri penderita ( faktor internal ) maupun dari luar ( eksternal ). Faktor internal yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan sikap dan kepercayaan. Sedangkan faktor eksternal yaitu dukungan keluarga,peran petugas,lama minum obat, efek samping minum obat, tersedianya obat serta jarak tempat tinggal yang jauh. Sementara itu niven ( 2002 ) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah faktor penderita atau individu :
19
a.
Sikap atau motivasi individu i ndividu ingin sembuh Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dari individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya. penyakitnya.
b.
Keyakinan Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan.Penderita yang berpegangan teguh terhadap ke yakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemampuan
untuk
melakukan
kontrol
penyakitnya
dapat
dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan jika mengetahui akibatnya ( Niven, 2002 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi 4 bagian menurut Niven ( 2002 ) antara lain : a.
Pemahaman tentang instruksi : tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan kepadanya .
20
b.
Kualitas interaksi Kualitas
interaksi
merupakan
bagian
antara yang
professional
kesehatan
dan
pasien
penting
dalam
menentukan
derajat
yang
sangat
berpengaruh
dalam
kepatuhan. c.
Isolasi sosial dan keluarga Keluarga
menjadi
faktor
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. d.
Keyakinan sikap dan kepribadian Becker a t l ( 1979 ) dalam Niven ( 2002 ) telah membuat suatu usulan
bahwa
model
keyakinan
kesehatan
berguna
untuk
memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
C. Pengetahuan
1.
Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini sete lah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui matadan telinga (Notoatmodjo, 2007) Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan lain sebagainya).
21
2.
Karakteristik IndividutentangPengetahuan Tuberkulosis a.
Pendidikan Pendidikan
adalah
suatu
usaha
untuk
mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin
banyak pula pengetahuan yang di dapat, dapat, salah
satunya pengetahuan pengetahuan tentang kesehatan (Notoatmodjo, 2007) 2007) Anugrah (2007) melakukan penelitian tentang kepatuhan minum obat penderita tuberculosis paru, cakupan penyembuhan penderita tuberculosis di wilayah kerja Puskesmas Jatibarang yaitu 61,1% yang masih jauh dari tingkat penyembuhan yang ditetapkan secara nasional (85%). Rendahnya cakupan penyembuhan ini tidak lepas dari rendahnya kepatuhan minum obat penderita TB. Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas responden mempunyai tingkat pendidikan dasar (82,22%).Dari data tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan dan sikap individu terhadap pengobatan tuberculosis.
22
b.
Umur Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan kejadian TB Paru. Namun setelah melewati usia pubertas hingga dewasa terdapat perbedaan yang beragam di berbagai negara.Penyakit TB sebagian besar (± 75%) menyerang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut juga di temukan pada penelitian kasus kontak TB yang dilakukan oleh Chandra Wibowo dkk di Rumah Sakit Sulianti SurosoJakarta di mana dari 15 orang penderita, 14 orang (93,33%) berusia produktif (19-55 tahun) dan hanya 1 orang (6,67%) berusia 56 tahun. Rentang usia TB pada kasus kontak adalah 28-46 tahun pada laki-laki dan 20-56 tahun pada perempuan.
c.
Jenis Kelamin Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat TB Paru sesudah bersalin. Sementara di Afrika dan India tampaknya menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB Paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada jenis kelamin. Pada wanita
23
prevalensi menyeluruh men yeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam di bandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurangkurangnya mencapai 60 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wibowo di Rumah Sakit Sulianti
Suroso
Jakarta
menemukan
bahwa
pada
laki-laki
mendapatkan TB Paru Pada kasus kontak 0, 36 kal i pada perempuan. Menurut Ismen Ismen MD 2000 dalam
Wibowo dkk 2004 bahwa
penelitian di negara maju didapatkan laki-laki memiliki resiko tertular akibat kontak lebih besar dari pada perempuan. Sebaliknya di negara berkembang diperkirakan sama, bahkan perempuan sedikit lebih banyak karena berbagai alasan sosial budaya. Peran perempuan di sini cukup penting, karena selain merawat penderita TB Paru di rumah, suka melakukan aktivitas rumah tangga untuk anak, suami dan anggota keluarga lain sehingga penularan dapat dengan mudah dan cepat menular ke anggota keluarga lain.
24
Tabel 2.3 Besarnya Pengaruh Pengaruh Usia dan Jenis Kelamin Terhadap TB Paru
Usia dan Jenis Kelamin Dibawah 1 tahun Usia 1 tahun sampai Pubertas
Pasien cenderung untuk berkembang menjadi. TB milier ++ Meningitis TB
Lesi paru-paru primer TB Kronis menyebar, misalnya tulang dan Persendian + TB milier + TB meningitis atau TB Paru ++
Adolesen dewasa Muda Usia pertengahan TB Paru ++ a. Pria TB Paru +++ b. Wanita TB Paru +++ Usia Lanjut a. Pria TB Paru ++ b. Wanita TB Paru +Sumber : Jhon Craffton dkk, Tuberkulosis,Widya Medika. 2005
Keterangan :
Bila infeksi terjadi pada usia ini (kolom kiri), jumlah tanda + padakolom kanan menunjukkan berapa besar kemungkinan pasien itu akan berkembang menjadi jenis TB tertentu.
d.
Perilaku Menurut Skiner perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Berdasarkan batasan peilaku dari Skiner, maka perilaku kesehatan adalah suatau respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit
25
dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan.Ada beberapa teori tentang perilaku; 1)
Teori Lawrence Green (1989) Gren mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor: (a) Faktor-faktor predisposisi predisposisi (predisposing faktor), yang yang terwujud dalam pegetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. (b) Faktor-faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan fisik tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya. (c) Faktor-faktor pendorong (reforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2). Teori WHO Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku tertentu adalah karena adanya 6 ala san pokok :
26
(a) Pengetahuan Pengetahuan di peroleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. (b) Kepercayaan Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. (c) Sikap Sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap objek sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. (d) Orang penting sebagai referensi Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. (e) Sumber-sumber daya (resources) Sumber daya disini mencakup fasilitas-fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilku seseorang atau kelompok masyarakat. (f) Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumbersumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan.
e. Perubahan (Adopsi) Perilaku atau Indikatornya
27
Adalah suatu roses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya kehidupannya melalui 3 tahap : 1)
2)
Pengetahuan Dikelompokkan menjadi : a)
Pengetahuan tentang sakit dan penyakit
b)
Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan
c)
Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
Sikap Dikelompokkan menjadi :
3)
a)
Sikap terhadap sakit dan penyakit
b)
Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat
c)
Sikap terhadap kesehatan lingkungan
Praktek dan Tindakan Indikatornya yakni: a)
Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit
b)
Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan peningkatan kesehatan
c)
Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lumban Tobing tentang Pengaruh Prilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Sanitasi terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara, dari hasil penelitian tersebut ditemukan faktor perilaku memiliki hubungan yang signifikan terhadap penyakit TB. Dapat dilihat dari factor pengetahuan OR = 2,5 yaitu pengetahuan yang rendah mempunyai resiko tertular TB Paru sebesar 2,5 kali lebih banyak
28
dari orang yang berpengetahuan tinggi. Dan untuk sikap yang kurang 3,1 kali lebih besar berpeluang tertular dari orang yang memiliki sikap yang baik.
f.
Status Ekonomi Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran rumah tangga. Akan tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk makan, melainkan mel ainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya. Income per kapita sebulan adalah pendapatan rata-rata per bulan dibagi dengan jumlah tanggungan. Menurut BPS Provinsi income perkapita yaitu : a.
Gakin < Rp. 180.669
b. Non Gakin ≥ Rp. 180.669 180.669 Menurut Karyadi (2005) dari SEAMEO-TROPMEND pusat kajian gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa
ekonomi
lemah
atau
miskin
mempengaruhi
seseorang
mendapatkan penyakit TB Paru. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di
29
dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti penyakit TB Paru. Sejalan
dengan
dikembangkan oleh
penelitian
karyadi
di
atas,
teori
yang
Tjiptoherijanto dalam ekonomi pemenuhan
kebutuhan terutama kebutuhan keluarga akan sulit didapatkan sehingga berbagai masalah kesehatan akan mudah muncul seperti penyakit infeksi, diare, TB Paru dan sebagainya. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zalmi di Puskesmas Padang Pasir pada tahun 2008 didapatkan hasil pada keadaan ekonomi miskin kelompok kasus adalah 75,0% sedangkan pada kelompok kontrol hanya 15,6%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti di Puskesmas Kecamatan tahun 2010 didapatkan hasil yang ekonomi miskin terkena TB paru sebanyak 87,1% dan 16,1 tidak TB Paru. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yoeningsih (2007) di Rumah Sakit Sulianti SurosoJakarta di mana terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat ekonomi dengan kejadian TB paru pada anak. Di mana anak dengan tingkat ekonomi rendah mempunyai peluang 1, 773 kali terkena TB Paru dibanding dengan anak yang tingkat ekonominya tinggi.
30
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Doucree (2005) di Puskesmas Kabupaten di mana terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat ekonomi dengan penyakit TB Paru.
g.
Status Gizi Terjadi hubungan timbal balik antara penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umum terkait dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan. Hasil penelitian
Karyadi (2005) dari pusat gizi regional
Universitas Indonesia menyebutkan bahwa jumlah penderita TB Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi mempengaruhi produktivitas kerja. Di Indonesia khususnya, cara pemantauan dan batasan berat badan normal orang dewasa belum jelas mengacu pada patokan tertentu. Sejak tahun 1985 berdasarkan laporan FAO/WHO/UNU bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Indeks (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Masa Tubuh (IMT).
31
IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: badan( Kg Kg ) IMT = Berat badan( badan (m m) Tinggi badan ( Tinggi badan (m)
Tabel 2.4 Kategori Ambang Batas Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia
Kurus
Kategori Kekurangan berat Badan Kekurangan berat badan tingkat ringan
Normal Gemuk
IMT <17,0 17,0-18,5
>18,5-25,0 Kelebihan Berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
>25,0-27,0 >27,0
Sumber : Buku Praktis Ahli Gizi, 2005 Berdasarkan hasil penelitian yang yang dilakukan oleh
Zalmi di
Puskesmas tahun 2010 menyebutkan bahwa proporsi responden dengan keadaan status gizi kurang pada kelompok kasus adalah 96,8%, sedangkan pada kelompok kontrol 28,1% . Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karyadi (2005) dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengidap TB Paru sebagian besar menderita gizi kurang (IMT<18, 5kg/m2).
32
h.
Kondisi Sanitasi Rumah Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar atau pokok manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau tempat hunian yang digunakan untukberlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Kondisi rumah yang baik penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Rumah dikatakan sehat apabila memenuhi persyaratan empat hal pokok berikut : 1)
Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2)
Memenuhi kebutuhan Psikologis seperti “ Privace” Privace” yang cukup dan komunikasi yang baik antar penghuni rumah.
3)
Memenuhi
persyaratan
pencegahan
penyakit
menular
yang
meliputi penyediaan air bersih, pembuangantinja dan air limbah rumah tangga, bebas dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dan pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup. 4) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah
33
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Musadad dkk (2005) yang melakukan penelitian hubungan faktor lingkungan rumah dengan kejadian penularan TB Paru di rumah tangga, dari penelitian tersebut kondisi didapatkan bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko 3,7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari. Dari beberapa penelitian yang dilakukan terdapat beberapa parameter fisik rumah yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB Paru, dan parameter fisik yang peneliti teliti disesuaikan dengan kerangka konsep antara lain:
1) Kepadatan hunian Kepadatan hunian (in ( in house overcrowding ) diketahui akan meningkatkan resiko dan tingkat keparahan penyakit berbasis lingkungan. Persyaratankepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan denganm2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana minimum 10 m 2/orang, sehingga untuk satu keluarga yang mempunyai 5 orang anggota keluarga dibutuhkan luas rumah minimum 50m 2, sementara untuk kamartidur diperlukan luas lantai minimum 3m 2/orang. Dalam hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan infeksi silang ( Cross infektion infektion ). Adanya penderita TB paru dalam
34
rumah dengan kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara ataupun “ droplet ” akan lebih cepat terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanropie dkk (1991) bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak sebandingnya luas lantai kamar, jenis lantai, penghuni rumah yang menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, di mana bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi seperti TB Paru, maka akanmudah menular kepada anggota keluarga lain.
2)
Ventilasi atau Penghawaan Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Untuk mendapatkan Ventilasi atau penghawaan yang baik bagi suatu rumah atau ruangan, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu : Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidental (dapat dibuka dan di tutup) minimum 5% dari luas lantai. Hingga jumlah keduanya 10% dari luas lantai ruangan. Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak di cemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain – lain – lain. lain.
35
Aliran udara tidak menyebabkan penghuninya masuk angin. Untuk itu tidak menempatkan tempat tidur persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela atau pintu.
3) Jenis lantai Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai rumah yang ada di Indonesia bermacam – macam macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan semen sampai kepada pasangan lantai keramik. Dari beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah jelas tidak baik dari segi kesehatan, mengingat lantai
tanah
ini
lembab
dan
menjadi
tempat
yang
baik
untukberkembang biaknya kuman TB Paru.
4)
Kelembaban Udara Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
36
5). Pencahayaan Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat kelembabandidalam rumah. Pencahayaan yang kurang akan menyebabkan kelembaban yang tinggi di dalam rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC. Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus menerangi seluruh ruangan dan mmpunyaiitensitas minimal 60 lux dan tidak menyilaukan
37
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu yang abstrak. Logika secara harfiah yang dapat membantu penelitian dalam menghubungkan hasil penelitian dengan teori (Nur Salam, 2014). Pada teori ini terdapat variabel-variabel yang peneliti gambarkan yaitu untuk mendapatkan hubungan pengetahuan pasien Tuberkulosis tentang penyakit Tuberkulosis dengan tingkat kepatuhan pasien minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Tanjung Priok.
Tabel 3.1 Skema Kerangka Penelitian
Variabel Independen
Variabel Dependen Umur
Pengetahuan Pasien TB Tentang Penyakit Tuberkulosis (TBC)
Tingkat Kepatuhan Pasien Minum Obat
a.Pendidikan b.Umur -
Umur Jenis kelamin Pendidikan
Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti
38
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dan atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam penelitian (Wood & Haber 2002 2002 dalam Nursalam, 2014).
Hipotesis yang dapat dirumuskan pada penelitian adalah : Ada hubungan pengetahuan pasien tuberkulosis dengan tingkat kepatuhan pasien minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah proses perumusan atau pemberian arti pada masing-masing variabel untuk kepentingan akan komunikasi dan replikasi, agar memberikan pemahaman yang sama kepada setiap orang mengenai variabel-variabel yang akan diangkat dalam waktu penelitian (Setiadi, 2015). Definisi ini dijabarkan sesuai dengan variabel yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Tabel 3.2 Variabel dari Penelitian Variabel Penelitian 1.Tingkat pengetahuan pasien TB terhadap penyakit TBC
Definisi Operasional Penilaian responden yang benar dari pertanyaan seputar tuberkulosis: 1.Pengertian 2.Etiologi 3.Cara penularan 4. Faktor resiko 5.Perjalanan TBC 6. Gejala klinis 7.Pencegahan 8.Penemuan 9. Pengobatan 10.Efek samping
Cara Ukur
Pernyataan berjumlah 15 dengan jawaban benar atau salah
Alat Ukur Kuesioner
Hasil Ukur Baik bila ≥ mean, median
Kurang bila < mean, median
Skala Ukur Ordinal
39
Tingkat Ketaatan dalam kepatuhan menjalankan Pasien pengobatan secara Minum OAT teratur dan lengkap tanpa terputus selama masa pengobatan yang telah ditentukan oleh petugas kesehatan
Kartu berobat
Observasi
0 : Tidak Ordinal patuh:jika pasien tidak disiplin minum obat sesuai anjuran tenaga kesehatan dalam 1 bulan 1 : Patuh : jika pasien disiplin minum obat sesuai anjuran tenaga kesehatan kurang 1 bulan
40
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas tentang desain penelitian, tempat penelitian, waktu penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data (alat dan cara) etika eti ka penlitian, pengolahan data dan analisis data.
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan pasien dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat anti tuberculosis (OAT). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan observasional deskriptif analitik , variabel bebas dan variabel terikat dilakukan dalam satu kali pengukuran atau dalam waktu yang sama, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional (Notoatmodjo, (Notoatmodjo, 2005).
B. Tempat Penelitian
Tempat penelitian yang akan digunakan adalah di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Kecamatan Tanjung Priok Kota Administrasi Jakarta Utara.
C. Waktu Penelitian
Waktu Penelitian ini ini dilakukan pada Bulan Desember 2016 sampai dengan Bulan Februari 2017.
41
D. Populasi
Populasi adalah subyek yang diobservasi atau teliti. Dalam penelitian ini, populasinya adalah pasien TB yang ada di wilayah puskesmas kelurahan Tanjung Priok. Kriteria inklusi poulasi yang ditetapkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pasien TB berdomisili di wilayah puskesmas kelurahan Tanjung Priok 2. Pasien TB yang melakukan kunjungan ke puskesmas kelurahan Tanjung Priok. E. Sampel
Sampel adalah perwakilan dari populasi yang diambil dari anggota populasi. Dalam penelitian ini, sampel yang diambil menggunakan rumus besar sampel sebagian berikut. ( Notoatmodjo, 2005 ) N. Z². 1-α 1-α/2. P ( 1-p ) n= ( N-1 ) d² + Z². 1- α/2. P α/2. P ( 1- p )
Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi Z. 1- α/2 = Derajat kepercayaan diri seluruh poulasi yaitu 95% ( 1,96 ) P = proporsi pada populasi d = Simpangan dari proporsi populasi yaitu presisi di gunakan 0,05
42
F. Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, alat yang digunakan sebagai pengumpul data berupa kuisioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada kerangka konsep penelitian yang dibuat. Kuisioner berisi pasien TB tentang pengetahuan penyakit pen yakit tuberkulosis t uberkulosis dan observasi kepatuhan pasien pasie n minum obat (OAT). 2. Cara Pengumpulan Data a. Prosedur Administrasi Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian dari Dekan FIK UMJ yang ditujukan kepada Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Utara, agar diberikan izin penelitian di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok. b. Prosedur Pengambilan Data 1) Setelah mendapatkan mendapatkan persetujuan, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan serta proses selama pelaksanaan penelitian kepada Kepala Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Jakarta Utara. 2)
Peneliti mengidentifikasi pasien TB di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Jakarta Utara yang sedang menjalani pengobatan.
3)
Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan dari tujuan dan manfaat penelitian kepada setiap pasien TB responden.
43
4)
Setelah responden bersedia menjadi responden penelitian. Peneliti memberikan lembar kuesioner kepada pasien TB yang bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian ini dan menandatangani atau menuliskan inisial nama.
5)
Peneliti memberikan memberikan penjelasan tentang cara mengisi mengisi kuesioner kuesioner dan responden dipersilakan bertanya apabila belum jelas.
6)
Peneliti mengoreksi mengoreksi kelengkapan jawaban dari responden dan apabila ada yang belum lengkap maka responden diminta untuk melengkapi.
7)
Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dikumpulkan pada hari yang sama untuk dilakukan penghitungan dan analisa.
c. Tahap Terminasi 1)
Setelah semua kuesiner terkumpul, peneliti memberikan reward kepada responden yang telah ikut serta dalam penelitian.
2)
Kemudian peneliti mengkahiri kontrak waktu kepada responden dan mengucapkan terima kasih.
G. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada pihak Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok. Untuk mendapatkan persetujuan, kemudian kuisioner
44
diberikan kepada responden yang akan diteliti dengan menekankan pada masalah etika penelitian meliputi : 1.
Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lembar persetujuan diberikan kepada subjek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi sebelum dan sesudah pengumpulan data. Jika pasien TB bersedia diteliti maka mereka dapat menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika menolak untuk diteliti maka tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.
2.
Anonimity (Tanpa Nama) Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup memberi inisial nama masing-masing lembaran tersebut.
3.
Confidentialy Keadaan informasi responden dijamin oleh peneliti hanya kelompok data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.
H. Pengolahan Data
Pengolahan data dimulai pada saat pengumpulan data telah selesai. Teknik yang digunakan untuk mengolah data ini adalah teknik uji chi square untuk melihat ada tidaknya hubungan variabel independent dan dependent dengan nilai kemaknaan (signifikan level) 90%. Daftar pertanyaan yang telah diisi dikumpulkan dan dilakukan prosedur analisa data, meliputi :
45
1.
Editing Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit lebih dahulu, Dengan perkataan lain, data atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam buku catatan, daftar pertanyaan perlu dibaca sekali lagi dan diperbaiki, jika disana sini masih terdapat hal-hal yang salah atau yang masih meragukan. Kerja memperbaiki kulitas data serta menghilangkan keraguraguan data dinamakan mengedit data. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengedit data, yaitu :
2.
a.
Apakah data sudah lengkap dan sempurna.
b.
Apakah data sudah cukup jelas tulisannya untuk dapat dibaca.
c.
Apakah semua catatan dapat dipahami.
d.
Apakah semua data sudah cukup konsisten.
e.
Apakah data cukup seragam.
Coding Data yang dikumpulkan dapat berupa angka, kalimat pendek atau panjang, ataupun hanya “ ya “ atau “ tidak “. Untuk memudahkan pengolahan,
maka
jawaban-jawaban
tersebut
perlu
diberi
kode.
Pemberian kode kepada jawaban sangat penting artinya, jika pengolahan data dilakukan dengan komputer. Mengkode jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban. 3.
Processing Pemprosesan data yang dilakukan dengan cara mengentri data dari kuesioner ke paket program komputerisasi.
46
4.
Cleaning Yaitu memberikan data yang merupakan kegiatan pengecekan dan kembali yang sudah di entri apakah ada kesalahan atau t idak.
I.
Analisa Data
Metode analisa data yang akan digunakan pada penelitian adalah tehnik deskriptif dengan pendekatan crossectional survei. Untuk melakukan uji hipotesa dengan menggunakan uji cji square (x 2). Analisa data dilakukan 2 tahap yaitu : 1. Analisa Univariat Analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap variabel (Notoadmojo, 2007). Analisa data dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan untuk distribusi frekuensi dari data variabel independen dan variabel dependen. Pengolahan data dari tiap kuesioner kedalam tabel penata data, data ini untuk mengetahui karakteristik sampel yang diteliti. Dalam penelitian ini, analisa univariat digunakan untuk mengetahui proporsi dari masing-masing variabel peneliti meliputi variabel indenpenden yaitu pengetahuan pasien TB tentang penyakit tuberculosis (TBC) dan variabel dependennya yaitu tingkat kepatuhan pasien minum obat anti tuberkulosis (OAT).
47
2.
Analisa Bivariat Diketahuinya untuk menghubungkan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat, adapun yang dipakai adalah uji chi square dengan derajat kepercayaan 90%. Hasil perhitungan yang dapat menunjukkan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan terikat, yaitu dengan melihat nilai p. Bila dari perhitungan statistik diperoleh nilai p < 0,05 maka ma ka hasil perhitungan statistik s tatistik bermakna, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antar variabel bebas dengan variabel terikat, sebaliknya bila dari perhitungan statistik nilai p < 0,05 maka hasil perhitungan tidak bermakna atau tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan variabel terikat.
48
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas kelurahan tanjung priok luas wilayah kerja pukesmas kelurahan Tanjung Priok adalah 5,59 km 2, terdiri dari 16 RW. Proses pengambilan data dari responden di lakukan di wilayah kerja puskesmas kelurahan Tanjung Priok. Sampel responden sebanyak 28 responden. Dari 28 responden yang mangkir 14, patuh atau sembuh 5, dalam pengobatan 9. Dari 28 responden yang berobat ke RS Koja 3, puskesmas kecamatan Tanjung Priok 9, puskesmas kelurahan tanjung priok 12, puskesmas kelurahan semper 1, RSPI Sulianti Saroso 3.
B. Hasil Analisis Univariat
Analisis unuvariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi responden berdasarkan karakteristik responden yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan. Data ini merupakan data primer yang di kumpulkan melalui pengisian kuisioner yang terdiri dari 28 responden. Distribusi frekuensi univariat ini meliputi : umur, jenis kelamin, pendidikan.
49
1.
Distribusi Karakteristik Responden Menurut Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan
Dari hasil pengisian kuisioner didapatkan bahwa disribusi usia responden pasien TB paru adalah sebagai berikut : Tabel 5.1.1 Disribusi Usia Resonden Variabel
Mean
Median
Usia
44
43,50
Minimum Maksimum Std.Deviasi
20
69
11,992
Dari data table tersebut, distribusi usia responden dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa usia termuda responden adalah 20 tahun dan yang paling tua adalah 69 tahun. Rata-rata usia responden adalah 44 tahun dan responden terbanyak 45 tahun dengan dengan standar deviasi 11,992.
Tabel 5.1.2 Distribusi Frekuensi Karekteristik Responden Menurut Kelompok Jenis Kelamin, Pendidikan. No
1
2
Variabel
N
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
28
Pendidikan Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA Akademi/ Sarjana
28
Responden
%
12 16
42,9 57,1
4 5 9 9 1
14,3 17,9 32,1 32,1 3,6
50
Dari data tabel diatas dapat di lihat bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin laki laki 12 (42,9 % ), perempuan 18 (57,1 %). Sedangkan berdasarkan latar belakang pendidikan responden, paling banyak SLTP dan STA yaitu berjumlah 9 ( 32,1 % ). Selanjutnya berturut-turut responden dengan tingkat pendidikan Tidak Tamat SD 4 ( 14,3 % ),
SD 5 ( 17,9 % ) dan sisanya responden berpendidikan berpendidikan
akademi/ sarjana 1 ( 3,6 % ).
C. Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang bertujuan untuk mengetahui hubungan anatara variabel indevenden dengan variabel devenden. Uji statistic yang di gunakan adalah Chi-Square. Pada analisis jika di dapatkan p value < 0,05 maka variabel tersebut dinyatakan ada hubungan yang bermakna secara statistik, sedangkan bila p value > 0,05 maka variabel tersebut dinyatakan tidak ada hubungan ( Hastono, 2001 ).
Dalam penelitian ini, peneliti akan menghubungkan antara variabel bebas dan varabel terikat tanpa memperhitungkan adanya pengaruh dari varabel lain, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemaknaan ( signifikan ) dilakukan perhitungan P value pada α = 5%.
51
1. Hubungan
Pengetahuan
Pasien
Tuberkulosis
Dengan
Tingkat
Kepatuhan Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis ( OAT )
Analisis hubungan antara pengetahuan pasien tuberculosis dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat anti tuberkulosi ( OAT ) di wilayah kerja puskesmas kelurahan Tanjung Priok bulan Januari 2017 dapat dilihat pada tabel 5.2.2 Tabel 5.2.2 Analisi Hubungan Pengetahuan Pasien Tuberkulosis Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) Di Wilayah Kerja Puskesmas Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Tahun 2017. Kepatuhan Minum Obat Total Pengetahuan
Tidak Patuh
Patuh
n
%
N
%
N
%
Kurang
3
21,4
11
78,6
14
100
Baik
4
28,6
10
71,4
14
100
Total
7
25 25
21
75
28
100
pValue
0,663
Berdasarkan uji statistik, nilai p-value = 0,663 berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien dengan tingkat kepatuhan minum obat.
52
BAB VI PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat dan Bivariat 1. Kepatuhan Minum Obat
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi 5.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien Tuberkulosis patuh minum mi num obat (75 %) Pasien yang dikatakan patuh minum obat yaitu pasien yang menghabiskan obatnya sesuai dengan anjuran petugas kesehatan dan datang kembali ke Puskesmas untuk mengambil obat berikutnya sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh petugas kesehatan. Brunner & Suddarth (2002) menyatakan bahwa kepatuhan yang buruh atau terapi yang tidak lengkap adalah faktor yang berperan terhadap resistensi individu. Pasien yang tidak patuh membutuhkan penjelasan tentang pentingnya kepatuhan minum obat karena jika pasien tidak patuh dalam menjalani pengobatannya pasien akan resisten terhadap obat yang sebelumnya. Penyuluhan secara intensif yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya akan mendorong dan meningkatkan keteraturan berobat maupun minum obat (Notoatmodjo, 2005).
53
B. Keterbatasan Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang dialami peneliti dalam melakukan penelitian ini mel iputi : 1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain untuk cross sectional atau desain potong lintang yang dapat menggambarkan variabel independen maupun dependen pada suatu saat secara bersamaan ( point time approach), approach), tetapi cukup lemah untuk melihat adanya hubungan sebab akibat. Hubungan yang ada hanya menjawab adanya keterkaitan saja tetapi bukan kebutuhan yang bersifat kuasalitas (Sastroasmoro ( Sastroasmoro & Ismael, 2002). 2002 ). 2. Instrumen Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti dari teoriteori yang berhubungan dengan variabel penelitian dalam bentuk pengetahuan pasien TB mengingat peneliti masih dalam tahap proses belajar sehingga kemungkinan kuesioner yang yang dibuat tidak sempurna. 3. Metode Pengambilan Data
Selama proses pengumpulan data ada beberapa kendala yang dialami peneliti, ada beberapa responden disaat dilakukan wawancara, penerimanya kurang bersahabat sehingga jawaban yang diberikan cenderung sekedarnya saja. Hal ini bisa menyebabkan bias informasi.
54
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Keismpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di paparkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Secara umum gambaran karakteristik responden berdasarkan umur penderita tuberculosis yang terbanyak pada usia 20 - 35 tahun. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin penderita tuberculosis terbanyak pada laki - laki. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan terbanyak pada tingkat SMP. Karateristik
responden
berdasarkan pekerjaan penderita terbanyak pada pekerjaan buruh. 2.
Secara umum gambaran pengetahuan dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien tuberculosis paru terbanyak pengetahuan cukup sebanyak 17 responden (50%).
3.
Secara umum gambaran sikap dengan kepatuhanminum obat anti tuberculosis pada pasien tuberculosis paru terbanyak sikap positif 25 responden (73,5%).
4.
Secara umum gambaran kepatuhan minum obatanti tuberculosis pada pasien tuberculosis paru terbanyak patuh 23 responden responden (67,6%).
Ada hubungan yang sangat signifikan pengetahuan dan sikap dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien tuberculosis paru di
55
Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Tahun 2015 dengan nilai P=0,0005 lebih kecil dari nilai alpa=0,05, artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetetahuan dan sikap dengan kejadian tuberculosis paru di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Tahun 2015.
B. Saran 1.
Bagi Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok
Disarankan
Puskesmas
Kecamatan
Jatinegara
dapat
melakukan
pengawasan serta memberikan pengetahuan kepada penderita dan keluarga
dengan
cara
memberikan
penyuluhan
tetang
penyakit
tuberculosis dan pengobatan tuberculosis agar penderita tuberculosis dan keluarga mengetahui resiko - resiko apabila tidak melakukan pengobatan secara tuntas.
2.
Bagi Institusi
Disarankan agar institusi memberikan materi tentang tuberculosis dan materi tentang kepatuhan minum obat pada pasien tuberculosis dimaksudkan agar mahasiswa/mahasiswi dapat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien tuberculosis paru.
3.
Bagi Peneliti
Disarankan untuk peneliti selanjutnya lebih bisa mengembangkan lagi hasil
dari
penelitian
ini
ketahapyang
lebih
tinggi
sehingga
56
menyempurnakan penelitian ini menjadi uji coba eksperimen at au bahkan peneliti dapat menemukan teori baru tentang kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien tuberculosis paru.
4.
Bagi Pengawas Minum Obat
Disarankan pengawas minum obat seperti tenaga kesehatan dan keluarga lebih mengawasi penderita tuberculosis dalam minum obat anti tuberculosis diharapkan penderita tuberculosis bisa patuh dalam minum obat anti tuberculosis supaya penyakit tuberculosis bisa disembuhkan.
57
ABSTRAK Hubungan Pengetahuan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis pada Pasien Tuberculosis Paru di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Kecamatan Tanjung Kota Administrasi Jakarta Utara
Tujuan penelitian ini adalah Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan
Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosispada Pasien Tuberculosis Paru Di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Kota Administrasi Jakarta Utara. penelitiandeskriptif Metode penelitianadalah menggunakan metode penelitiandeskriptif analitik dengan dengan menggunakan pendekatancross pendekatan cross sectional dan teknik pengambilan populasi dengan cara total cara total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 34responden yang mempunyai pengetahuan tentang kepatuhan minum obat anti tuberculosis dan sikap terhadap kepatuhan minum obat anti tuberculosis. Alat ukur yang di menggunakan kuesioner dan analisa Bivariat dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian adalah
diperoleh responden yang mempunyai
pengetahuan yang baik sebanyak 7 responden(20,6%), pengetahuan cukup sebanyak 17 responden (50%), dan pengetahuan kurang sebanyak 10 responden (29,4%). Sedangkan responden yang mempunyai sikap yang positif 25 responden (73,5%), sikap negatif sebanyak 9 responden (26,5%). Dengan nilai p value adalah 0,0005 lebih kecil nilai alpha 0,05 dapat di simpulkan bahwa ada Hubungan Pengetahuan Dan Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis pada Pasien Tuberculosis Paru di Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok Kota Administrasi Jakarta Utara.
58
KesimpulanTingkat
pengetahuan
seseorang
akan
mempengaruhi
kepatuhan dalam meminum obat anti tuberculosisdan sikap juga mempengharuhi kepatuhan seseorang dalam meminum obat anti tuberculosis. Kata Kunci
: Pengetahuan, Sikap, Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis
Daftar Acuan : 2014 – 2015. 2015.