BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bidang pertanian salah satunya lahan persawahan disebut sebagai salah satu penyumbang emisi metana karena pada lahan persawahan terjadi emisi metana, emisi metana terjadi akibat beberapa proses yang disebut metanogenesis yaitu proses pembentukan (produksi) metana oleh kelompok methanogenic archaea, akibat proses metanogenesis tersebut dihasilkan senyawa CO2 dan CH4 (Madigan et al., 2009). Senyawa tersebut nantinya akan diemisikan ke atmosfer. Walaupun produk akhir metanogen berupa gas berbahaya seperti CO2 dan CH4 yang bila terjadi akumulasi berlebih di atmosfer dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon, namun kehadiran salah satu gas rumah kaca yaitu CH4 mampu mengundang kehadiran bakteri lain yaitu bakteri metanotrof (methane oxidizing bacteria), hal tersebut disebabkan dis ebabkan metana merupakan satu-satunya satu-satun ya sumber karbon bagi bakteri metanotrof (Hanson dan Hanson, Hanson, 1996). Salah satu isu lingkungan berkaitan dengan produksi pertanian khususnya beras adalah anggapan bahwa kegiatan budidaya padi sawah penyebab utama peningkatan pemanasan global. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan emisi metana (CH4) yang tinggi dari tanah sawah beririgasi. Metana (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca utama yang dapat menyerap radiasi infra merah sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global (Neue dan Sass, 1994, Hossain dkk., 2007). Menurut Zeigler (2005) dalam Wihardjaka (2011), setiap peningkatan suhu 1 ° C akan menurunkan hasil padi 0,5 ton per hektar, karena peningkatan suhu akan menghambat fase pengisian bulir padi dan menyebabkan penurunan hasil gabah. Tanah sawah diperkirakan menyumbangkan 20-120 juta ton CH4 ke atmosfer, atau sekitar 12,5% dari sumber total tahunan yaitu sekitar 470- 650 juta ton CH4. Emisi total tersebut berasal dari total luasan lahan dunia yang digunakan untuk budidaya padi sawah yang mencapai 1,45 x 106 km2 atau sekitar 10% dari
total lahan pertanian dunia (Yagi dan Minami, 1990; Lelieveld dan Crutzen, 1993). Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan menjelaskan
tentang
pengaruh gas metana.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang dapat diidentifikasi peneliti dalam penelitian kali ini adalah: 1. Apa itu gas metan ? 2. Bagaimana terbentuknya gas metan ? 3. Apa saja dampak dari gas metan terutama dalam bidang pertanian ? 4. Bagaimana menangatasi produksi gas metan ? 5. Apa gas metan dapat bermanfaat ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah: 1.
Untuk mengetahui apa itu gas metan.
2. Untuk mengetahui bagaimana terbentuknya gas metan. 3. Untuk mengetahui dampak dari gas metan terutama dalam bidang pertanian. 4. Untuk mengetahui cara mengatasi prooduksi gas metan. 5. Untuk mengetahui manfaat dari gas metan.
BAB11 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian gas metan
Gas Metan (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) utama, selain uap air (H2O), karbondioksida (CO2) dan nitrousoksida (N2O). Gas-gas ini dapat menyerap radiasi infra-merah sehingga menyebabkan pemanasan atmosfer yang dikenal sebagai fenomena efek rumah kaca (Bouwman, 1990). Konsentrasi metan di atmosfer pada tahun 1990 adalah 1,72 ppm dengan laju peningkatan 1 % per tahun, sedangkan untuk karbondioksida masing-masing 354 ppm dan 0,5 % per tahun (Lelieveld dan Crutzen, 1993). Kontribusi peningkatan konsentrasi tersebut terhadap pemanasan global selama seratus tahun terakhir diperkirakan sebesar 19 % untuk metan dan 50 % untuk karbondioksida (Bouwman, 1990). Karena laju peningkatan konsentrasi metan di atmosfer dua kali lipat dibandingkan karbondioksida, maka pengaruhnya terhadap perubahan iklim global menjadi semakin penting untuk diantisipasi pada kurun waktu mendatang Menurut Lelieveld dan Crutzen (1993), pada skala global, tanah sawah diperkirakan menyumbangkan 20-120 juta ton CH4 ke atmosfer, atau sekitar 12,5 % dari sumber total tahunan yaitu sekitar 470-650 juta ton CH4. Emisi total tersebut berasal dari total luasan lahan dunia yang digunakan untuk budidaya padi sawah yang mencapai 1,45 x 106 km2 atau sekitar 10 % dari total lahan pertanian dunia. Penggenangan merupakan karakteristik khas dari sistem tanah sawah. Pada kondisi
tergenang
kebutuhan
oksigen
yang
tinggi
dibandingkan
laju
penyediaannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik di mana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau anaerobik di
2.2 Terbentuknya gas metan
Metana termasuk salah satu gas atmosfir yang memberikan efek rumah kaca. Walaupun komposisi metana di atmosfir jauh lebih rendah dibandingkan dengan gas karbondioksida (CO2), yaitu hanya 0,5% dari jumlah CO2, koefisien daya
tangkap panas metana jauh lebih tinggi, yaitu 25 kali gas CO2. Oleh karena itu, sekitar 15% pemanasan global disumbang oleh gas metana. Dalam waktu 250 tahun terakhir, jumlah gas metana meningkat lima kali lipat dari jumlah gas CO2. Sekitar 50% emisi gas metana hasil aktivitas manusia berasal dari kegiatan pertanian. Dari jumlah tersebut, 20-60% berasal dari peternakan, terutama ternak ruminansia. Seekor sapi dewasa dapat mengemisi 80-110 kg metana per tahun. Di samping berdampak buruk bagi atmosfir, metanogenesis juga berpengaruh negatif terhadap hewan ruminansia itu sendiri, yaitu dapat menyebabkan kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna. Pembentukan gas metana di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Pada prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik. Pembentukan gas metana di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan produk akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP, yang pada gilirannya mempengaruhi efisiensi produksi mikrobial rumen. Populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas metana, artinya produksi gas metana berkurang bila populasi protozoa rumen menurun. Dengan demikian, emisi gas metana dapat dikurangi dengan memberikan zat defaunator seperti saponin.
2.3 Dampak dari gas metan terutama dalam bidang pertanian
Menurut Thalip et al. (2010), Rendahnya kualitas hijauan pakan disebabkan karena kandungan energi dan nitrogen rendah dan kandungan serat tinggi. Pakan berserat tinggi tidak saja menurunkan efisiensi penggunaan pakan tapi juga meningkatkan produksi gas metana. Gas metana merupakan tipikal gas rumah kaca (GRK) yang diemisi oleh sub-sektor peternakan, terutama dari ternak , yakni sebagai hasil kerja bakteri metanogenik dalam sistem pencernaan hewan. Dalam sistem pencernaan, senyawa-senyawa organik bahan pakan difermentasi oleh mikroba menghasilkan asam-asam lemak mudah terbang (volatile fatty acids, VFA), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H2) dan ammonia (NH3). Melalui
proses metanogenesis oleh adanya bakteri metanogenik, CO2 direduksi dengan H2membentuk CH4, dan gas metana yang terbentuk ini keluar melalui eruktasi (sekitar 83%), pernapasan (sekitar 16%) dan anus (sekitar 1%). Kontribusi emisi GRK subsektor peternakan secara nasional hanya sekitar 1,2% (KP3I, 2008: tidak diterbitkan), namun secara global aktivitas peternakanmemberikan kontribusi sebesar 12% dari emisi total dunia. Dibandingkan dengan era praindustri (sekitar tahun 1750), konsentrasi GRK saat ini mengalami peningkatan secara tajam,yakni masing-masing mengalami kenaikan konsentrasi untuk CO2sebesar 34%, CH4sebesar 152% dan N2O sebesar 18% dan terlihat bahwa CH4 mengalami peningkatan konsentrasi yang tertinggi. Diprediksi bahwa pemanasan global menyebabkan temperatur rata-rata dunia akan naik antara 1,8 – 4,0°C pada tahun 2100. Dalam jumlah mol yang sama, gas metana mempunyai efek rumah kaca yang lebih besar dibandingkan dengan gas CO2karena daya menangkap panas CH4: 25 x CO2. Berbagai teknologi untuk menurunkan produksi gas metana enterik telah banyak dilakukan, antara lain dengan pendekatan manajemen pemberian pakan, manajemen penggunaan bahan pakan (rumput budidaya, leguminosa, konsentrat, hasil samping pertanian/perkebunan yang dapat dijadikan sumber protein dan energi) dan pemberian feed additive. Selain itu gas methan juga berpengaruh terhadap pH dan kadar oksigen yang terlarut dipelihara dalam plot mina padi. Kedua parameter merupakan level terendah dalam pengobatan di mana tingkat pemberian makanan yang lebih tinggi yang disediakan. Karena aktivitas ikan, banjir dalam pengobatan mina padi lebih keruh, sebagaimana tercermin dalam hal anorganik particulate lebih tinggi (PIOM). Tingkat yang ditinggikan membubarkan metana dipelihara dalam banjir dari nasi ditambah- ikan umpan makar. Emisi gas metana menunjukkan korelasi negatif dengan pagi dan sore pH bahwa air makin (R = _0,46; r = _0.56, p < 0,001 inci) dan pagi dan sore tingkat oksigen yang terlarut (R = _0.53; r = _0,46, p < 0,001 inci). Correlations positif tercatat antara pagi dan sore bahwa air makin (R = 0.49 suhu; r = 0.44, p < 0,001 inci) dan dengan suhu udara (R = 0,54, p < 0,001 inci). Hasil menyarankan bahwa sarung ikan memiliki efek meningkat pada metana emisi dari sawah.
2.4 Cara mengatasi produksi gas metan Berbagai upaya telah dilakukan dalam mengurangi emisi metana seperti suplementasi konsentrat, lipid, asam organik minyak atsiri, serta probiotik dan prebiotik, baik in vitro, maupun in vivo. Senyawa antibiotik seperti monensin dan lasalosid juga telah digunakan untuk me-nurunkan produksi metana. Namun demikian penggunaan antibiotik telah dilarang di Uni Eropa sejak 2006 dan negara-negara di luar Uni Eropa pun sedang mempertimbangkan untuk melarang penggu-naan antibiotik. Kondisi tersebut membuat para ilmuwan mulai mengintensifkan penelitian pada senyawa-senyawa alami yang terdapat pada tanaman sebagai zat aditif pakan untuk meningkatkan produktivitas ternak, termasuk dalam menurunkan pro-duksi metana. Tanin atau polifenol merupakan salah satu senyawa yang berpotensi menurunkan emisi metana di antara senyawasenyawa alami yang terdapat pada tanaman (Jayanegara et al ., 2008). Fraksi senyawa polifenol yang secara nyata menurunkan produksi gas metana adalah total fenol (yang terdiri atas senyawa fenol tanin dan senyawa fenol bukan tanin) dan total tanin, sedangkan tanin terkondensasi tidak terbukti menurunkan metana melalui koefisien korelasi pada penelitian ini. Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jayanegara et al. (2008), bahwa total fenol, total tanin dan tanin bioassay (persen-tase meningkatnya produksi gas ketika tanin diinaktivasi dengan polietilen glikol, PEG) menurunkan produksi metana sedangkan tanin terkondensasi tidak. Berlawanan dengan hasil ini, tanin terkondensasi secara signifikan dapat menurunkan emisi metana Puchala et al. (2005) dan Animut et al. (2008)dalam Jayanegara et al. (2008), Berdasarkan hal tersebut efek tanin terkondensasi terhadap pro-duksi metana masih belum konsisten, apakah dapat menurunkan atau tidak. Hal ini sangat bergantung pada tanaman sumber tanin terkon-densasi tersebut, karena struktur senyawa tanin terkondensasi sangat bervariasi antara satu tanaman dengan tanaman lainnya.
2.5 Manfaat dari gas metan
DAFTAR PUSTAKA
Husny, Zulkarnain. 2010. FLUKS GAS METAN (CH4) PADA BUDIDAYA PADI SECARA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION DAN KONVENSIONAL PADA SAWAH PASANG SURUT, LEBAK DAN BERIRIGASI. Jurnal Agrotek.
Saputra, Feri Ardianza. 2015. Pengaruh Gas Metan Terhadap Kegiatan Budidaya Pengaruh Gas Metan Terhadap Kegiatan Budidaya. Diakses pada tanggal 12 November 2017 dari http://feriputrarafira.blogspot.co.id/2015/11/makalah-pengaruh-gas-metanterhadap.html