BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam pandangan etika, pada dasarnya seorang manusia itu baik. Politik dalam pandangan etika hanyalah sebagai alat, sama halnya dengan negara, keduanya hanya berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam suatu wadah. Dunia politik tidak terlepas dari citra negatifnya, caracara yang digunakan dalam praktik politik terkadang tidak baik dan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan kelompok hingga pribadi. Para elite politik banyak yang sudah melupakan prinsip dasar nilai-nilai etika dan moralitas dalam berpolitik, seharusnya berpolitik itu dijalankan dengan cara yang jujur, demokratis, penuh tanggungjawab, dan dengan jalan yang damai. Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 Tentang Kehidupan Berbangsa, yang berbunyi bahwa etika kehidupan berbangsa dan tidak terkecuali juga kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, yang bersifat universal, serta nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan kehidupan berbangsa. 1 Politik
merupakan
suatu
hal
terpenting
dalam
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, tanpa adanya sistem atau unsur politik suatu negara tidak akan berjalan, walaupun terkadang politik menjadi hal negatif karena penuh dengan cara-cara kotor dan amoral. Menurut Franz Magnis Suseno, etika politik pada dasarnya merupakan salah satu cabang dari filsafat. Sebagai sebuah usaha ilmiah, filsafat terbagi kedalam beberapa cabang, dua diantaranya adalah filsafat teoritis dan filsafat praktis. Sedangkan filsafat praktis bagi manusia adalah 1
Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001
1
2
etika. Etika politik mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia bukan hanya sebagai warga negara, melainkan juga terhadap hukum yang berlaku. Etika berfungsi sebagai metode penyelidikan tentang nilai dan tingkah laku manusia. 2
1.2
1.3
Rumusan Masalah
Apa arti penting (urgensi) etika politik?
Apa saja gagasan etika politik?
Bagaimana etika berpolitik setelah dilaksanakannya pemilu?
Mengapa kejujuran penting dalam berpolitik?
Tujuan
Mengetahui arti penting etika politik
Mengetahui apa saja gagasan-gagasan etika politik
Memahami sikap berpolitik pasca pemilu
Mengetahui makna kejujuran dalam berpolitik
2
Romdhon Prihatin, Konsep Etika Politik dalam Pemikiran Franz Magnis Suseno (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2014) hlm. 6
BAB II PEMBAHASAN 2.1
Urgensi Etika Politik
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, salah satu hal terpenting dari reformasi yaitu adanya ketersedian ruang kebebasan yang cenderung tidak bertepi.3 Setiap suara, keinginan, dan kepentingan memiliki hak yang sama untuk di aktualisasikan oleh berbagai kalangan, namun suara itu akan berubah menjadi riuh, keinginan akan menjadi gaduh, bahkan kepentingan akan berubah menjadi rusuh, ketika upaya mewujudkannya dilakukan tanpa aturan. Inilah yang belakangan ini sering terjadi terkait dengan kepentingan elite dan menguatnya aspirasi masyarakat yang cenderung tak terkendali. Politik menjadi pintu masuk bagi pemuas hasrat kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Akibatnya demokrasi mengalami penyimpangan makna akibat dari tindakan dan aksi yang mengatas namakan demokrasi sering berujung kekacauan. Semua ini merupakan ujung dari perilaku politik yang melewati batas mekanisme dan sistem yang terdapat dalam konstitusi dan tata tertib hukum (law and order). Jika melihat pada sistem pemerintahan sebagaimana tercantum dalam konstitusi, negara kita menganut sistem presidensial. Namun dalam pratiknya sistem presidensial tersebut berada dalam dominasi parlementer. Bahkan tidak jarang otoritas yang dimainkan anggota parlemen cenderung mendominasi seluruh lingkungan eksekutif yang secara struktural berdasarkan prinsip separation of power , memiliki kedudukan yang sama. Akibatnya tidak jarang para anggota parlemen terjebak kedalam korupsi dan kolusi. Kenyataan tersebut merupakan dominasi dari fungsi dan tugas anggota parlemen sebagai dasar dalam penegakan demokrasi. Proses politik dalam sistem demokrasi tidak hanya mengharuskan adanya aturan sebagai sumber kolektif, tetapi juga ketundukan untuk 3
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. iii
3
4
mematuhinya. Aturan seharusnya bukan hanya rangkaian prosedur saja, melainkan nilai kultur (nilai atau norma) yang distrukturkan. Aturan merupakan hasil dari nilai-nilai dan logika yang berkembang dalam masyarakat yang dirumuskan dalam bentuk prosedur-prosedur. Sehingga aturan seharusnya berjalan seimbang dengan kepatuhan warga negara untuk mentaatinya (respek hukum). Ketika peraturan hanya menjadi rangkaian prosedur yang tidak dihormati, khususnya oleh para elite politi k, maka dipastikan muncul berbagai masalah yang dapat menghambat konsilidasi demokrasi. Secara ideologis, Indonesia sebenarnya memiliki landasan yang cukup kuat bagi terbentuknya etika politik. Ideologi Pancasila merupakan landasan sintesis dari sekian ragam ideologi (nilai) yang mendunia. Sayangnya, ketika peraturan bahkan konstitusi hasil amandemen hanya dianggap sebagai kumpulan tata hukum dan prosedur tanpa diwujudkan dalam kultur. Maka, persoalan aktualisasi dan perwujudan konsitusi menjadi sangat penting, agar proses politik tidak hanya melahirkan tata hukum dan prosedur yang hanya mengikat satu pihak dan ternodai di pihak lain. Inilah permasalahan etika politik dalam masyarakat yang masih terjadi. Jika dilihat dari perkembangan politik yang masih jauh dari landasan etika, sehingga diperlukan langkah-langkah konstruktif. Pertama, reformasi perundangan. Dalam praktik politik akhir-akhir ini banyak perdebatan tentang berbagai hal karena peraturan perundangan yang kurang jelas, misalnya adanya peraturan-peraturan yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena hasrat untuk menempatkan konstitusi dan perundangan sebagai rujukan kolektif terkalahkan kepentingan-kepentingan pragmatis dan partisan. Kedua, reformasi budaya politik. Selama ini para elite masih menunjukkan budaya politik tradisional dan parokial sehingga tidak membawa daya dorong yang kuat bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat. Ketiga, pemberdayaan masyarakat sipil menjadi terabaikan. Padahal pemberdayaan ini dapat
5
menjadi pintu masuk bagi menguatnya tingkat partisipasi sekaligus kontrol terhadap perilaku politik elite. Dengan adanya kontrol publik yang kuat ini di harapkan etika politik bisa cepat terwujud dalam sikap dan perilaku para elite.4 Dengan demikian etika dan logika berpolitik dapat merawat dan mengantarkan demokrasi menjadi sumber landasan bagi seluruh dinamika kehidupan anak bangsa. Jika tidak, maka demokrasi tak lebih dari ritual politik yang berlangsung secara periodik dan bergerak secara prosedural tanpa landasan kultural dalam bentuk tindakan etis dan logis.
2.2
Gagasan-Gagasan Etika Politik 2.2.1. Obyek Etika
1.
Tindakan Manusia Tindakan manusia pada dasarnya akan dinilai oleh manusia lainnya. Jika ‘tindakan’ ini diambil seluas-luasnya, maka ada beberapa macam penilaian. Tindakan mungkin juga dinilai sebagai baik atau buruk apa yang dilakukan para elite politik. Jika tindakan elite politik dinilai atas baik-buruknya, maka tindakan itu seakan-akan dilakukan secara sadar atau dengan sengaja. Faktor kesengajaan ini mutlak bagi penilaian baik buruk, yang disebut penilaian etis atau moral.
2.
Kehendak Bebas Jika tidak ada kesengajaan, maka pada prinsipnya tidak ada penilaian. Kesengajaan berarti adanya penentuan dari elite politik itu sendiri apakah ia bertindak atau tidak bertindak. Penentuan para elite politik terhadap tindakannya itu disebut kehendak atau kemauan. 5 Jadi, jika ingin diadakan penilaian yang etis, maka kehendak lah yang dapat memilih (kehendak bebas).
4
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. v 5 Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 15
6
3.
Determinisme Ialah aliran filsafat yang mengingkari adanya kehendak bebas. Paham ini menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi dari kejadian sebelumnya dan berada di luar kemauan.
4.
Adanya Kehendak Bebas Ditegaskan bahwa manusia itu dalam bertindak memang terbatas oleh kodratnya, yaitu kemanusiaan.6 Pada dasarnya elite politik itu mempunyai sifat yang sama dengan bendaalam yang bukan manusia, sehingga elite politik juga terikat pada hukum-alam yang sama pula. Para elite politik pada dasarnya juga manusia yang memiliki sifat lainnya karena ia mampu berpikir, maka elite politik harus mentaati hukum berpikir jika ia tidak mau tersesat dan tujuannya mencapai kebenaran. Arti ‘bebas’ disini adalah kebebasan untuk melakukan tindakan, dan kebebasan ini adalah pilihan.
5.
Gejala-gejala Tindakan Penilaian kesalahan atau kesengajaan itu penting. Elite politik dalam tindakannya dapat memilih, karena itu padanya terdapat kehendak bebas. Penentuan terletak pada kita sendiri. Penentuan merupakan unsur kehendak.
6.
Penentuan Istimewa Adanya kehendak bebas pada diri manusia, maka elite politik dapat menentukan sendiri tindakannya. Yang harus diingat bahwa kehendak bebas ini tidak akan mengurangi penentuan dan pembatasan manusia pada kodratnya. Manusia memang terbatas, tetapi keterbatasan manusia membuat ia menjadi istimewa, yaitu ia dapat memilih. Manusia diberi oleh Tuhan berupa keterbatasan supaya ia dapat bertindak dengan pilihan,
6
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 21
7
sehingga pengabdiannya kepada Tuhan itu sungguh suka dan rela.7 2.2.2. Ukuran Baik
1.
Hedonisme Banyak tindakan elite politik yang cenderung dipengaruhi oleh keinginan untuk mencapai kepuasan. Bahkan ada ahli psikologi yang berpendapat, bahwa semua tindakan itu berdasarkan
atas
cenderung
yang tak
tersadari,
ialah
cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang disebut libido seksualis (S. Freud), atau cenderung untuk mencapai kepuasan dalam memiliki kekuasaan (Adler). 8 Bagi penganut hedonisme rasa puas dan bahagia itu dianggap sama. Bahagia itu menenangkan manusia, jika hidupnya sudah tenang berarti ia bahagia. 2.
Utilitarisme Bagi penganut aliran ini, ukuran baik yaitu ialah yang berguna. Aliran ini berasal dari kata utilis, yang berarti berguna. Mereka menganggap bahwa memang kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Karena segala yang berguna akan digunakan untuk mencapai tujuan.
3.
Vitalisme Bahwa yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Ukuran baik disini yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk menaklukkan orang lain yang lemah. Manusia yang berkuasa itulah yang baik.
4.
Sosialisme Dalam aliran ini berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik-buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Inilah yang disebut ukuran sosialistis dalam
7
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 25
8
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 44
8
etika. Namun adanya perbedaan di dalam adat-istiadat menjadikannya sulit untuk dijadikan ukuran umum bagi etika. 5.
Religionisme Aliran ini berpendapat bahwa baik adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan buruk adalah yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka tugas theologialah yang menentukan mana yang menjadi kehendak Tuhan.
6.
Humanisme Menurut aliran ini, yang baik itu terletak pada kodrat manusia, yaitu kemanusiaan. Dalam konkritnya, bahwa pikiran, rasa, dan situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik-buruknya suatu tindakan. Tindakan yang baik ialah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, jadi tidak mengurangi atau menentang kemanusiaan. 9 Benda dan binatang tidak mungkin menyeleweng dari alamnya. Elite politik seharusnya juga tidak menyeleweng dari kodratnya, namun akibat dari keistimewaan manusia yang dapat memilih,
maka
ia
mampu
memilih
tindakan
yang
menyeleweng itu. Itulah sebab utama keberadaan penilaian etis. 2.2.3. Metode Etika Politik
1.
Etika Politik dan Ilmu-Ilmu Politik Lain Secara formal, filsafat politik termasuk ke dalam etika. Filsafat pada umumnya merupakan bagian dari filsafat yang secara tidak langsung menggarap realitas yang telah diangkat ke dalam pengertian ilmiah oleh ilmu-ilmu yang spesifik. Hal ini
membantu
untuk
mendeskripsikan
proses
yang
berlangsung, penyediaan strategi alternatif ke dalam skema tujuan sarana, pengamatan terhadap segala lembaga politis, terhadap kegiatan-kegiatan dan hubungan antara mereka, 9
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 49
9
klasifikasi berbagai ideologi dan sistem nilai politik yang merupakan tugas ilmu-ilmu politik. 2.
Pendekatan Kritis-Negatif Etika politik dan etika normatif pada umumnya, berada dalam kedudukan yang lain daripada ilmu-ilmu eksak disatu pihak dan ilmu-ilmu empiris dilain pihak. Ilmu empiris melihat sesuai hipotesis-hipotesis mereka dengan mengusahakan klasifikasi pada data empiris. Induksi dan metode-metode ilmu empiris secara prinsipil tidak
mencukupi
bagi
etika
normatif,
karena
suatu
pengamatan empiris selalu menghasilkan informasi tentang fakta, tetapi tidak pernah membahas tentang bagaimana fakta harus dinilai. Etika politik tidak mulai dalam ruang kosong. Realitas politik selalu menjadi bidang yang dipersoalkan. Etika politik akan mempertanyakan argumentasi masing-masing, memeriksa logika. Dan implikasi-implikasi etisnya, dan mengambil suatu sikap tegas yang bersifat tentatif, dan sikap itu berdasarkan prinsip hukum positif.10 Metode ini disebut kritis negatif. Kritis tidak dimulai dengan pendapat sendiri, melainkan berdasarkan teori dan paham paham relevan yang ada. Kritis disini berarti memisahkan unsur-unsur yang kita nilai tepat dari yang dinilai tidak te pat. 3.
Pengandaian Normatif Etika politik mengandaikan prinsip-prinsip etika dasar dengan beberapa implikasi langsung pada kedudukan manusia. Salah satu prinsip dasar yang diandaikan ialah bahwa elite harus bersikap baik terhadap siapa dan apa saja yang ada, dengan bersikap mendukung, membela, menyetujui, memajukan,
10
Franz Magnis Suseno, ETIKA POLITIK: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016) hlm. 25
10
melindungi, serta memberi ruang seluas-luasnya. Prinsip itu terwujud dalam kesejahteraan umum yang menyatakan bahwa semua
tindakan
dan
kebijakan
harus
mengutamakan
keuntungan yang sebesar-besarnya dari banyak orang, asalkan tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar lainnya, yaitu prinsip keadilan yang menyatakan kita wajib memperlakukan semua orang dengan adil, dengan menghormati hak-hak mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama. Implikasi-implikasi etika politik menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan sama sebagai manusia, mereka berkedudukan sama dalam masyarakat, serta memiliki hakhak dasar yang sama. Manusia berhak atas kebebasannya dan kebebasan hanya boleh dibatasi oleh kebebasan yang sama luasnya dari setiap anggota masyarakat dan demi kepentingan bersama. Implikasi ini sebagai wujud usaha perdamaian dan mencegah perang dan konflik politik.
2.3
Etika Berpolitik Pasca Pemilu
Fenomena politik yang terjadi belakangan ini cenderung mengarah kepada hal yang negatif, sehingga mengotori demokrasi. Tata aturan yang disahkan oleh para wakil rakyat dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri. Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan berbagai tafsir untuk mengutamakan kepentingannya. Tak jarang mereka juga menempuh berbagai cara untuk memuaskan hasratnya. Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (distruption).11 Guncangan tersebut terjadi karena adanya perbedaan antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock 11
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 20
11
culture akibat ketidaksiapan dalam menjalani perubahan yang berada di luar nalarnya. Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common values).12 Yang menandakan demokrasi semakin matang adalah makin kuatnya konstitusionalisme. Termasuk di dalamnya check and balances, pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan, serta dipatuhinya aturan main dan etika politik yang dikonsekuensikan.13 Di negara demokrasi manapun, pemilihan umum haruslah ada tata aturan mainnya. Di Indonesia misalnya, pemilu (pilpres, pileg, pilkada) dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemberian mandat selama lima tahun dianggap cukup untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tugas-tugas konstitusional itu harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin, juga untuk rakyat. Karena sikap mental dan sikap politik pasca pemilu yang mengancam keberadaan peraturan, tentu bukanlah sikap yang sehat dan demokratis. Bagi yang tidak berhasil memenangkan pemilu haruslah menerima kenyataan dan bersikap legowo. Tentu mereka boleh melakukan kritik terhadap kebijakan politik golongan yang berkuasa, membangun kekuatan kembali, dan siap berkompetensi kembali pada periode pemilu berikutnya. Sikap politik yang berniat dan bertujuan untuk menjatuhkan golongan yang sedang berkuasa di tengah jalan dalam menjalankan mandatnya merupakan hal yang tidak demokratis dan amoral. Di sisi lain, jika aksi jatuh-menjatuhkan lawan politik di tengah jalan ini dikembangkan sebagai budaya politik di negeri ini, maka bangsa
12
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 20 13
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 111
12
ini akan memiliki masa depan yang suram, merugi, dan mengancam nasib demokrasi yang kita bangun saat ini.
2.4
Kejujuran dalam Berpolitik
Politik kewarganegaraan selama ini terancam oleh perilaku politik yang menyimpang. Wajah politik menjadi menyeramkan akibat perilaku elite politik yang hanya memanfaatkan rakyatnya. Bahkan para wakil rakyat yang seharusnya menjadi garda terdepan penyalur aspirasi masyarakat, lebih sibuk mengurusi urusan internalnya, mulai dari studi banding ke luar negeri tanpa henti, sampai aliran dana yang entah kemana arah alirannya. Jika kenyataan ini terus dibiarkan, maka kampanyekampanye politik hanya lah kiasan semata. Yang dibutuhkan negara ini bukan lah mengumbar kesalahan orang lain demi menutupi kekurangan diri sendiri. Tapi cara pandang yang mengutamakan kejujuran (transparansi) politik, yang berarti jujur mengakui keberhasilan pihak lain sebagaimana mengakui kekurangan diri sendiri. Kejujuran itu penting, karena pada dasarnya keberhasilan dan kegagalan itu merupakan ranah kognitif yang dirasakan langsung oleh masyarakat.14 Karena keduanya tidak bisa ditutup-tutupi atau dibesar besarkan. Akibatnya, jika kita membesar-besarkan kesalahan orang lain justru akan menjadi kontraproduktif dan mengancam proses pendidikan politik kewarganegaraan (civic education).
14
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 109
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Etika politik merupakan hasil dari penalaran logika politik warga negara itu sendiri. Secara ideologis, Indonesia sebenarnya memiliki landasan yang cukup kuat bagi terbentuknya etika politik, melalui ideologi Pancasila sebagai landasan sintesis dari sekian ragam ideologi (nilai) yang mendunia. Politik
merupakan
suatu
hal
terpenting
dalam
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, tanpa adanya sistem atau unsur politik suatu negara tidak akan berjalan, walaupun terkadang politik menjadi hal negatif karena penuh dengan cara-cara kotor dan amoral. Fenomena politik yang terjadi belakangan ini cenderung mengarah kepada hal yang negatif, sehingga mengotori demokrasi. Tata aturan yang disahkan oleh para wakil rakyat dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri. Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan berbagai tafsir untuk mengutamakan kepentingannya. Tak jarang mereka juga menempuh berbagai cara untuk memuaskan hasratnya. Yang dibutuhkan negara ini bukan lah mengumbar kesalahan orang lain demi menutupi kekurangan diri sendiri. Tapi cara pandang yang mengutamakan kejujuran (transparansi) politik, yang berarti jujur mengakui keberhasilan pihak lain sebagaimana mengakui kekurangan diri sendiri.
13
DAFTAR PUSTAKA
Prihatin, Romdhon. 2014. Konsep Etika Politik dalam Pemikiran Franz Magnis Suseno. Yogyakarta; Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ihsan, Bakir. 2009. Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi. Bandung; PT Remaja Rosdakarya. Poedjawijatna. 1982. ETIKA: Filsafat Tingkah Laku. Jakarta; PT Bina Aksara. Suseno, Franz Magnis. 2016. ETIKA POLITIK: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
14