MAKALAH TENTANG IBADAH MAHDHAH DAN IBADAH GHAIRU MAHDHAH DISUSUN O L E H
KELOMPOK II
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada sang Kholiq yang tak pernah letih ataupun tidur dalam mengurus semua makhluk-Nya yang berada di langit maupun di bumi. Dialah Allah SWT, tuhan semesta alam dengan kekuasaan yang meliputi langit beserta isinya dan bumi beserta isinya pula. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah yang tentunya masih jauh dari kata sempurna ini. Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada makhluk paling mulia di muka bumi ini. Makhluk yang diutus untuk menyempurnakan akhlak seluruh manusia di bumi. Dialah baginda besar, rasul agung, Rasulullah SAW. Semoga syafaat beliau senantiasa tercurah kepada para umatnya yang setia mengikuti jejaknya sampai akhir hayat nanti. Serta shalawat untuk keluarga beliau dan shahabat-shahabat beliau. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Pendidikan Agama yaitu Bapak Sukri Bobihu, S.Pd.I yang telah sabar membimbing penulis dalam memperoleh materi serta penulis juga harapkan agar kiranya Pak dosen dapat memberikan masukan-masukan bagi kurangnya kelengkapan dalam makalah yang penulis buat ini. Penulis juga berharap bahwa apa yang sudah penulis tulis dapat bermanfaat bagi teman-teman pembaca dalam memperoleh pengetahuan tentang Materi Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah . Dan jika ada masukan, sekiranya tak segan untuk menambahkan supaya penulis dapat memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………….. 2 DAFTAR ISI ………………………………………………………… 3 BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….. 4 Latar Belakang…………………………………….. 4 BAB II PEMBAHASAN ………………………………………… 5 A. Tentang Ibadah…………………………………….. 5 B. Pengertian Ibadah mahdhah dan ghairu mhadhah…. 6 C.Perbedaan Ibadah Mahdhah Dan Ibadah Ghairu Mahdhah...8 D. Hikmah Ibadah Mahdhah………………………. 10 E. Hakikat Ibadah…………………………………………
11 F. Tujuan Ibadah…………………………………………….13 G. Pembagian Ibadah……………………14 H.Bentuk-bentuk Ibadah Mahdhah & Ghairu Mhadhah…17
BAB III PENUTUP …………………………………………….. 18
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan menuju keselamatan hidup. Agama merupakan suatu hakikat eksternal, dapat dikatakan agama merupakan kumpulan hukum dan ketentuan ideal yang mendiskripsikan sifat-sifat dari kekuatan Ilahiah itu dan kumpulan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah kepada-Nya. Islam berasal dari kata aslama, yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai. Islam dalam arti terminologi berarti agama yang ajaran- ajarannya diberikan oleh Allah kepada manusia melalui para Rasul-Nya untuk keselamatan hidup manusia. Dalam al-Quran dikatakan bahwa agama Allah adalah Islam yang telah diturunkan melalui perantara para Rasul. Agama merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah. Islam dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai agama. Kata ini merupakan bentuk masdhar dari dana-yadinu, yang memiliki beberapa arti yaitu: taat atau patuh, wara’, agama, mazhab, keadaan, cara, atau kebiasaan, raja’, paksaan dan pembalasan atau perhitungan. Apabila makna-makna di atas dikaitkan dengan arti yang dikandung oleh Islam, maka hubungan yang erat terdapat pada makna kepatuhan atau ketaatan. Dengan demikian, seorang muslim (pemeluk agama Islam) adalah orang yang telah menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah yang didasari oleh hadits dan ayat al-Qur’an.
BAB II PEMBAHASAN A. Tentang Ibadah Pilar islam yang pertama yaitu akidah dan pilar Islam yang kedua adalah ibadah. Ibadah berasal dari kata ‘abada, ya’budu, yang berarti menghamba atau tunduk dan patuh. ‘abdun berarti budak atau hamba sahaya, alma’bad berarti mulia dan agung, ‘abada bih berarti selalu mengikutinya, alma’budberarti yang memiliki, yang dipatuhi dan diagungkan. Jika makna kata-kata tersebut diurutkan akan menjadi susunan kata- kata yang logis, yaitu: “Jika seseorang menghambakan diri terhadap yang lain, ia akan mengikuti, mengagungkan, memuliakan, mematuhi dan tunduk“. Pada riwayat Bukhari ini ditemukan 7 [tujuh] sanad namun rangkaian sanad tersebut memiliki mutabi’ pada tingkatan tabi’in maupun tabi’ tabi’in.Dijelaskan dalam fath al-Bari syarh Shahih Bukhori, bahwa niat merupakan kunci dari semua ibadah dan perbuatan. Bahwa niat menentukan segala perbuatan yang dilakukan[3] dan melandasi setiap bentuk ibadah baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Akan tetapi dalam tingkatan shahabat tidak memiliki syawahid karena hanya diriwayatkan oleh an-Nu’man ibn Basyir. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa do’a adalah ibadah.Secara terminologis, pengertian ibadah terpetak-petak dengan rumusan yang bervariasi menurut berbagai disiplin ilmu.
B. Pengertian Ibadah Mahdhah Dan Ibadah Ghairu Mahdhah Pengertian Ibadah Mahdhah Yaitu ibadah yang pelaksanaannya telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad S.A.W, seperti shalat, puasa, haji. Dalam ibadah seperti ini seorang muslim tidak boleh mengurangi atau menambah-nambah dari apa saja yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, melaksanakan peribadatan yang bersifat khusus ini harus mengikuti contoh rasul yang diperbolehkan melalui ketentuan yang dimuat dalam hadits-hadits shahih. Satu kaidah yang amat penting dalam pelaksanaan ibadah ini adalah “semua haram, kecuali yang diperintahkan Allah dan dicontohkan olehRasulullah.”
Pengertian ibadah ghairu mahdhah Secara etomologis,ibadah diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya: Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS. 51(alDzariyat ): 56).
C.Perbedaan Ibadah Mahdhah Dan Ibadah Ghairu Mahdhah Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi semata- mata tujuannya untuk cari pahala. Contohnya adalah shalat dan puasa. Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak murni ibadah. Satu sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan bisa tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia. Contohnya adalah: a. Bekerja untuk mencari nafkah b. Tersenyum dengan orang lain c. Tolong menolong sesame d. Menafkahkan harta di jalan Allah
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah mahdhoh jika dkerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini adalah amalan yang sia-sia. Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada malam jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak. ” (HR Muslim). Jadi harus perlu dasar dalam ibadah jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang menuntunkannya.” Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajibn kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala. Jadi amalan ini asalnya mubah. Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.
D. Hikmah Ibadah Mahdhah Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan: • Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144). • Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu. • Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa alQuran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
E. Hakikat Ibadah Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal: • Pertama, membina diri dengan baik. Jika orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina, sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi sifatnya tetap saja tidak pernah berubah. Ini berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah. Mendidik dirinya itu adalah dalam rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah, maka seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui bahwa minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata kita tetap mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika seperti ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita dalam rangka mencapai ibadah. • Kedua, dalam rangka mensucikan diri kita. Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama, mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor. Kedua, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan mendorong kita melakukan perbuatanperbuatan kotor. Makanya, perbuatan kotor itu kita minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri. Ketiga, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa, maka kemudian kita bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita lakukan.
•Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala. Kalau begitu, sasaran ibadah itu pada hakikatnya adalah untuk membina diri, mensucikan diri, dan mengisi diri. Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari. Yang harus dijaga tersebut ada empat hal: Pertama, menjaga hubungan baik dengan diri sendiri. Kedua, menjaga hubungan dengan sesama manusia. Ketiga, menjaga hubungan dengan lingkungan. Keempat, menjaga hubungan dengan Allah. Yang harus dihindari tersebut juga ada empat hal, yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan, dan terhadap Allah.
F. Tujuan Ibadah Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah). Pertama, untuk mencapai kesenangan
hidup
di
dunia.
Kedua,
untuk
mencapai
ketenangan hidup di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat. Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain
adalah
untuk
meraih
kesenangan
dan
ketenangan
akhirat. Misalkan bekerja. Dengan bekerja, maka seseorang akan mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia akan
mendapatkan
kesenangan
dunia,
dan
juga
akan
semakin memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.
G. Pembagian Ibadah
Ibadah itu sendiri bisa dikelompokkan ke dalam kategori berdasarkan beberapa klasifikasi: 1. Pembagian ibadah didasarkan pada umum dan khusus (khashashah dan ‘ammah) • Ibadah ‘ammah, yakni semua pernyataan baik yang dilakukan dengan niat yang baik dan semata-mata karena Allah, seperti makan, minum, bekerja dan lain sebagainya dengan niat melaksanakan perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniah dalam rangka agar dapat beribadah kepada Allah. • Ibadah khashashah ialah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. 2. Pembagian ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaannya: • Ibadah jasmaniah, ruhiyah, seperti shalat dan puasa, • Ibadah ruhiyah dan amaliyah, seperti zakat, • Ibadah jasmaniah ruhiyah dan amaliyah, seperti mengerjakan haji. 3. Pembagian ibadah dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat: • Ibadah fardhi, seperti salat dan puasa, • Ibadah ijtima’i seperti zakat dan haji.
4. Pembagian dari segi bentuk dan sifatnya: • Ibadah yang berupa perkataan atau ucapan lidah, seperti membaca do’a, membaca Al Qur’an, membaca dzikir, membaca tahmid dan mendoakan orang yang bersin, • Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu bentuknya meliputi perkataan dan perbuatan, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, • Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang dan memaafkan orang yang bersalah, • Ibadah yang pelaksanaannya menahan diri, seperti ihram, puasa dan I’tikaf, dan menahan diri untuk berhubungan dengan istrinya, • Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti menolong orang lain, berjihad, membela diri dari gangguan.
Dalam beribadah, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yakni: •Sah, maksudnya amal itu dilakukan sesuai dengan kehendak syara’ •Ikhlas, yakni semata-mata karena Allah. Dalam konstruk ahli fiqih, sah ialah lawan batal. Perbuatan yang dihukumi sah, ila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Dalam urusan perkawinan bila tidak terpenuhi rukun, disebut batal dan bila tidak memenuhi syarat-syaratnya maka fasid.
H.Bentuk-bentuk Ibadah Mahdhah & Ghairu Mhadhah Ibadah Mahdhah a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) d. Azasnya “taat” Ibadah Ghairu Mahdhah a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, c. Bersifat rasional, d. Azasnya “Manfaat”
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Berbagai pembagian ibadah di atas telah dijelaskan bahwa ibadah khashasah (dapat dipahami sebagai ibadah mahdlah) ialah yang ditentukan bentuk ketentuan dan pelaksanannya. Sedang ibadah ‘ammah (dipahami sebagai ibadah ghairu mahdlah) adalah semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat semata-mata karena Allah. Pernyataan diatas, seakan-akan niat merupakan kriteria pada ibadah ‘ammah dan tidak merupakan kriteria pada ibadah mahdhah, padahal niatpun ada pada ibadah mahdlah. Sebagian berpendapat niat adalah rukun, sebagian berpendapat merupakan syarat. Jika kita sudah menyadari bahwa diri kita sebagai “Khalifah Allah”, kemudian penciptaan kita itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, semua ibadah yang kita lakukan dalam rangka menjaga empat hubungan tadi dan menghindari empat hubungan tadi, maka manusia tersebut menjadi manusia yang muttaqin sejati. Jadi, kalau kita ingin mendapatkan predikat orang yang bertaqwa sejati, maka sebenarnya ajaran-ajaran tersebutlah yang harus kita laksanakan. Orang yang bertakwa secara sejati, maka akan ada keseimbangan di dalam hidupnya. Dia selalu menjaga hubungannya dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan Tuhannya. Kalau manusia sudah seperti itu, pasti dia akan hasanatan fiddunya wa hasanatan fil akhirah. Di dalam tasawuf, manusia seperti inilah yang dinamakan insanul kamil, yaitu manusia yang sudah mencapai derajat para Nabi, terutama mencapai derajat Rasulullah Muhammad SAW. Derajat para Nabi yang dimaksud adalah derajat dalam hal amal ibadah, bukan sebagai Nabinya.
DAFTAR PUSTAKA http://karyaanakbangsa-helbeh.blogspot.com/2010/10/mahdhah-danghairu-mahdhah.html http://mintlisim.wordpress.com/2010/11/15/ibadah-mahdhoh-danghairu-mahdhoh/ http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairumhadhah Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan. terj. Salim Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, 1995 Rahman Ritonga dkk., Fiqih Ibadah, Jakarta: Gama Media Persada, 2002 Shahih Buchari, terj. Zainuddin Hamidy, Jakarta: Widjaya. 1969 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dar al-Fikr, 1989