Edisi XXX Januari - April 2018
1
2
Edisi XXX Januari - April 2018
daftar isi
Farmasi Klinik w Biomarker Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi Antibiotik 54
5 Daftar Isi Dari Redaksi
12 3 4
Digital Farmasi w Endorse Produk Kesehatan di Media Sosial oleh Selebritis 5 w Model Apotek Masa Depan 7 w Tips Aman Membeli Obat Melalui Internet 10 w Jejak Langkah Apotek Online Di Amerika Serikat 12 w 7 Tren Media Sosial di Industri Farmasi 15 w Pemanfaatan Teknologi informasi dalam Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit 19 Wawancara w Nurul Falah: Sistem dan Program untuk Memajukan Apoteker Indonesia 23 Berita w Menuju Era Obat Bersertifikat Halal 26 w UI Halal Center 28 w Tiga Profesor Farmasi UNAIR di Ujung 2017 29
w
PMK NO. 7 Tahun 2018 Tentang Narkotika
57
31
Wawasan w Program Eradikasi Polio Global: Indonesia sebagai pahlawan, tapi juga sebagai korban 34 Opini w Apoteker Kesehatan Masyarakat Kenapa Tidak? 38 w Pendidikan Profesi Farmasi di Indonesia: Kegamangan atau Ambiguitas 41 w Sentuhan Ilmu Pemasaran Bagi Calon Farmasis 43 Kampus w Farmasi USU Dalam Keunggulan Akademik
Kosmetik w Kojic Acid Bahan Aktif Kosmetika Penghambat Pigmentasi
23
45
Jejak Profesi w Lifelong Learning as Pharmacist 51 Info Medis w Penemuan Antibiotik Baru
53
Kulit muka :
Lusyana Noviani, Apt Praktisi Farmasi RS dan Pegiat Organisasi
Bagi anggota IAI yang berminat untuk mendapatkan Majalah MEDISINA dapat memesan langsung ke PT. ISFI Penerbitan melalui Fax. 021-56943842 atau e-mail:
[email protected] dengan mengirimkan bukti pembayaran + ongkos kirim, atau bisa juga melalui Pengurus Daerah IAI masing-masing secara kolektif. Edisi XXX Januari - April 2018
3
DARI
REDAKSI D a r i Media Informasi Farmasi Indonesia
Ikatan Apoteker Indonesia Majalah MEDISINA Media Inform asi Farmasi Indonesia merupakan media komunikasi yang diterbitkan oleh Pengurus Pusat IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) melalui PT. ISFI Penerbitan. MEDISINA terbit setiap tiga bulan sekali pada minggu pertama. Pelindung : Drs. Nurul Falah E. Pariang, Apt., Redaktur Kehormatan: Drs. Saleh Rustandi, Apt. Noffendri, S.Si., Apt Dra, Aluwi Nirwana Sani, M.Pharm, Apt Dra. Mayagustina Andarini, M. Sc., Apt Dra. R. Detty Yuliati, Apt Liliek Yusuf Indrajaya, S.Si, S.E., MBA, Apt Dra. Ellen Wijaya, Apt, MS, MM Dra. Evie Yulin, Apt Kombes Pol. Drs. Sutrisno Untoro, Apt Pemimpin Umum: Noffendri, SSi, Apoteker, Pemimpin Redaksi: Drs. Azril Kimin, Sp.FRS, Apt Sidang Redaksi: Dra. Sus Maryati, Apt, MM Drs. Ibrahim Arifin, Apt. Staf Redaksi: Mittha Lusianti, S Farm, Apt. Dra. Tresnawati, Apt Keuangan: Dra. Eddyningsih, Apt., Staf Khusus: Drs. Husni Junus, Apt. Desain & Layout: Ramli Badrudin Alamat Redaksi : Jl. Wijaya Kusuma No. 17 Tomang Jakarta Barat, Telp./Fax.: 021-56943842, e-mail:
[email protected]. No. Rekening: a/n. PT. ISFI Penerbitan, BCA KC. Tomang : 310 300 9860.
4
Edisi XXX Januari - April 2018
T
R e d a k s i
anpa terasa sudah 30 nomor Medisina beredar sejak pertama kali diterbitkan tahun 2006. Medisina nomor perdana itu diterbitkan pertama kali pada September 2006, dengan gambar sampul Haryanto Dhanutirto, ketua ISFI saat itu.
Dalam sambutan atas terbitnya Medisina, Haryanto menyebutkan maksud penerbitan Medisina sebagai sarana informasi, edukasi, dan hiburan bagi sarjana farmasi di Indonesia. Penerbitan Medisina sesungguhnya merupakan salah satu program kerja ISFI yang dihasilkan saat Kongres ISFI di Denpasar tahun 1993 untuk membuat media komunikasi bagi anggota tingkat nasional yang baru terlaksana di era kepengurusan Haryanto Dhanutirto 13 tahun kemudian. Sesungguhnya, pada tahun 1955 hingga 1964 Ikatan Apoteker Indonesia pernah memiliki media komunikasi bernama Suara Farmasi yang dipimpin Prof. Pow Seng Bouw, yang bentuknya cukup bagus untuk zamannya. Dari informasi-informasi yang dimuat Suara Farmasi yang terbit sekitar 10 nomor itulah kita di zaman now dapat memperoleh sedikit sejarah dan kiprah Ikatan Apoteker Indonesia antara tahun 1955 – 1964. Sayangnya karena tidak adanya penerbitan media yang dibuat oleh ISFI antara tahun 1964 - 2006, menyulitkan generasi saat ini untuk mengetahui apa-apa yang telah dilaksanakan organisasi dan profesi apoteker di rentang waktu tersebut. Dengan terbitnya Medisina sejak 2006, informasi mengenai organisasi apoteker di tanah air menyangkut kegiatan, program dan sejawat isyu-isyu untuk kemajuan organisasi, maupun kiprah apoteker dalam mengembangkan ilmu dan organisasi terekam kembali lewat terbitan Medisina yang tersebar di banyak perpustakaan fakultas farmasi di tanah air. Sejak 2 tahun terakhir terbitan Medisina juga dikirim ke perpustakaan nasional, untuk memudahkan generasi apoteker kelak bila ingin mengetahui kiprah pendahulunya jika diperlukan. Dalam mengelola majalah komunitas farmasi ini, masalah cukupnya naskah berkualitas yang disuplai sejawat merupakan hambatan utama bagi kami agar bisa terbit tepat waktu. Tapi untunglah belakangan ini sudah banyak para sejawat yang tergerak hatinya untuk menuangkan tulisan dan pikirannya lewat Medisina, sehingga dalam 2 tahun terakhir Medisina bisa terbit 4 kali dalam satu tahun. Terima kasih kami ucapkan untuk sejawat Prof. Maksum, Ika Puspitasari, Djoharsjah, Yulia, Evita, Feby Christina, dan beberapa sejawat lainnya yang tak pernah menolak kalau kami minta untuk menulis topik-topik tertentu. n
DIGITAL
fARMASI
Endorse Produk Kesehatan di Media Sosial Oleh Selebritis Menjadi selebritis saat ini semakin mudah. Dengan munculnya media sosial, insan kreatif bisa memanfaatkannya untuk menarik follower ke media sosial miliknya. Sebut saja Ria Ricis, Agung Hapsah, Gen Halilintar, dll, yang saat ini sibuk berwara-wiri melalui media sosial, guna mengenalkan beragam macam aksi menarik. Yang menariknya, munculnya selebritiselebriti media sosial ini juga diiringi meningkatnya kreativitas anak muda, sehingga produk yang mereka hasilnya sangat komersil.
D
engan mengandalkan followers yang besar di media sosial, mereka tidak hanya menjadi terkenal, tetapi juga bisa meraup banyak rupiah dari sana. Tak jarang mereka mendapatkan tawaran untuk mengendorse atau mempromosikan berbagai macam produk, di media sosial mereka. Jika dahulu, produk yang ditawarkan para selebriti berkisar di produk perlengkapan rumah tangga, otomotif, properti atau kecantikan, sekarang jenisnya semakin beragam. Salah satu produk yang sering kita lihat diendorse melalui selebriti di media sosial adalah produk kesehatan. Bisa berupa alat kesehatan, fasilitas penyedia layanan kesehatan atau pun obat-obatan. Mengiklankan sebuah produk melalui perantara selebriti memang tidak ada salahnya, bahkan sejak dulu sudah dilakukan, dengan fasilitas tayangan iklan di televisi. Tapi, di zaman dimana teknologi internet semakin maju, maka produsen semakin mudah mengiklankan produknya melalui media sosial dan iklan-iklan ini pun semakin mudah diakses. Beberapa iklan bahkan terkadang ditampilkan tanpa
konsep yang jelas. Tentu tidak masalah jika produk yang diiklankan bukan produk kesehatan, namun, jika produk tersebut adalah produk kesehatan, yang notabenenya berpengaruh pada kondisi fisik penggunanya, maka cara mengiklankannya pun perlu kehati-hatian. Memang, saat ini beberapa selebriti internet mulai banyak yang terikat kontrak dengan beberapa perusahaan farmasi. Dalam perbincangan-perbincangan di media sosial mereka, terkadang secara tidak langsung, mereka memasukan konten produk kesehatan, dimana mereka tengah diendorse. Di Amerika, hal ini menjadi perhatian khusus, setelah sebelumnya seorang selebriti terkenal, yaitu Kim Kardashian, menuliskan sebuah postingan panjang di Instagrmnya mengenai salah satu obat keras untuk mengatasi morning sickness, yang harus dibeli dengan resep dokter. Kim mengatakan bahwa ia telah mengonsumsi obat tersebut untuk beberapa waktu lamanya, dan tidak membahayakan bayinya. Saat itu, FDA langsung mengambil tindakan tegas terhadap produsen obat, dan meminta untuk menghapus postingan tersebut. Di India, dalam sebuah Jurnal India J. Urol yang terbit di tahun 2016, mereka sudah mulai mewacanakan agar Edisi XXX Januari - April 2018
5
DIGITAL
fARMASI
setiap selebriti yang menerima endorse produk kesehatan apalagi obat-obatan, harus dibebankan tanggung jawab tentang kualitas produk yang diendorse tersebut, dan mau bertanggung jawab jika ada sesuatu dan lain hal terkait obat yang dipromosikannya, jika terdapat banyak keluhan. Hal ini untuk mengantisipasi agar selebriti tau bagaimana batasan dalam mempromosikan sebuah produk kesehatan di dalam media sosial. Sepertinya Indonesia pun harus berpikir hal yang sama. Saat ini memang yang lebih banyak terlihat adalah selebriti media sosial yang diendorse untuk produk herbal dan OTC atau pun kosmetik. Kita bisa ingat, bagaimana produk Viostin DS yang ternyata bermasalah, selama ini banyak didapati testimoninya melalui media sosial, dan juga disampaikan oleh seorang publik figur. Hal ini menjadi salah satu kenyataan bahwa, publik figur memiliki peranan dalam mempengaruhi banyak orang merubah kebiasaan mereka, untuk menggunakan sebuah produk. Namun, ketika terjadi masalah dengan produk tersebut, maka publik figur tidak diberikan tanggung jawab moral apapun. Fenomena endorse obat-obatan keras yang harus dibeli dengan resep dokter melalui selebriti internet memang belum terlihat nyata di Indonesia, tapi bukan berarti tidak mungkin ada. Merangkul Selebriti Sosial Media Mengkampanyekan Cara Pakai Obat yang Benar Bicara tentang obat, tentu tidak semua orang layak menyampaikan informasinya. Apalagi jika informasi itu disampaikan melalui media sosial, yang sangat mudah diakses masyarakat. Sebenarnya, dibandingkan sebuah perusahaan melakukan promosi obat dengan menggandeng selebriti media sosial, alangkah baik jika mereka menggandeng selebriti media sosial dalam mengedukasi masyarakat tentang cara pakai obat yang benar. Seperti yang kita ketahui, masyarakat masih seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka kekurangan ilmu tentang cara pakai obat. Khususnya pada obat-obatan antibiotik. Dengan melibatkan selebriti di media sosial, seharusnya perusahaan yang membuat obat, bisa melakukan edukasi yang lebih bermanfaat. Misalnya, ketika produsen ingin mengendorse selebriti sosial media untuk mempromosikan produk obat sakit maag, maka yang disampaikan adalah tentang bagaimana cara menjaga gaya hidup agar maag tidak sering kambuh. Untuk produsen yang memproduksi antibiotik, edukasilah tentang cara pakai antibiotik dan bahaya penggunaan antibiotik yang salah bisa menjadi materi edukasi yang bermanfaat untuk semua orang. Begitu pun
6
Edisi XXX Januari - April 2018
perusahaan yang membuat vaksin, edukasilah masyarakat tentang mengapa seseorang harus divaksin, vaksin apa yang diwajibkan, atau tentang penyakit yang sedang mewabah, yang solusinya adalah dengan pemberian vaksin. Untuk para produsen obat herbal, ini menjadi penting sekali. Saat ini endorse produk herbal melalui bantuan selebriti media sosial termasuk banyak. Terkadang caption yang dituliskan di sosial media tidak tepat atau bahkan berlebihan. Padahal untuk obat herbal ada syarat tertentu untuk mengklaim khasiat produknya. Ada baiknya produsenlah yang membuatkan konsep apa yang harus diceritakan si selebriti instagram, agar promosi obat herbal yang dilakukan sesuai dengan aturan yang ditetapkan di Kemenkes. Saatnya Apoteker Layak Menjadi Selebritis Media Sosial Sempat disebutkan bahwa, di beberapa negara maju, masyarakat sangat antusias jika Apotekernya aktif di media sosial. Fungsi Apoteker di media sosial ini adalah menjembatani masyarakat akan informasi tentang obat. Namun, Apoteker bukan berfungsi sebagai promotor sebuah produk. Perlu diingat, Apoteker adalah barisan terdepan sebagai profesional kesehatan yang paling dekat dengan obat. Setiap pemikiran, asumsi, masukan yang keluar dari mulut Apoteker, bisa langsung dipercaya oleh masyarakat awam. Karenanya, jika memang Apoteker diminta aktif di media sosial, Apoteker benar-benar harus memiliki bekal yang memadai untuk menjadi seorang konsultan obat. Dan tetap, apapun bentuk konsultasinya, Apoteker tidak dizinkan untuk menyebutkan merek obat atau pun menegakan diagnosa di media sosial. Dengan terjunnya Apoteker menjadi seorang Selebgram, Youtuber, Blogger, diharapkan bisa menambah referensi dan masukan pada banyak orang tentang bagaimana cara untuk mengonsumsi obat dengan benar. Karena bagaimanapun, masyarakat Indonesia masih sering terpengaruh dan meniru orang-orang yang dia anggap memiliki daya tarik secara sosial. Jika Anda adalah seorang Apoteker yang juga seorang selebriti di media sosial, selamat Anda sudah pasti bisa menggerakan masyarakat untuk lebih bergaya hidup sehat, melalui kemampuan Anda sebagai seorang tenaga kesehatan dan pengaruh Anda sebagai seorang selebriti media sosial. Siap menjadi Apoteker yang juga selebriti media sosial, yuk sign up ke platform yang ada!n Vita
DIGITAL
fARMASI
Model Apotek Masa Depan Pesatnya perkembangan teknologi medis dan farmasi mempengaruhi setiap aspek pengobatan dan perawatan kesehatan. Institusi yang tampaknya jauh dan mirip menara gading, tidak bisa lepas dari kekuatan transformatifnya.
Oleh : Nofa, S.Si., Apt
M
eskipun apotek memainkan peran kunci dalam proses penyembuhan, seringkali kesan pasien tentang apoteker dan apotek adalah menawarkan jenis layanan komersial / bisnis. Dokter meresepkan obat yang sesuai dengan petunjuk yang tepat, dan apoteker menyediakannya dengan imbalan uang. Revolusi teknologi medis meruntuhkan peran aktor tunggal yang jelas dalam sistem perawatan kesehatan melalui pemberdayaan pasien. Awalnya keseimbangan asimetris mendasari hubungan dokter-pasien. Apotek juga harus mendefinisikan ulang tempat mereka dalam pengobatan. Dengan demikian, pemberian obat sederhana tidak akan cukup dalam ekonomi bersama
(sharing economy) yang berbasis masyarakat. Royal Pharmaceutical Society menerbitkan sebuah laporan mengenai model perawatan masa depan melalui apotek dan mereka merumuskan beberapa rekomendasi yang benar-benar layak dipertimbangkan. Menurut mereka, apoteker : - harus mengalihkan fokus mereka dari distribusi obat-obatan ke arah penyediaan layanan yang lebih luas - harus melihat membantu orang mendapatkan hasil maksimal dari obat-obatan mereka dan menjaga mereka tetap sehat sebagai tujuan akhir mereka - harus mengambil inisiatif dan mendorong perubahan di tingkat lokal - tidak menunggu solusi nasional - harus berkolaborasi satu sama lain di seluruh perawatan masyarakat, sosial, sekunder dan tersier dan dengan profesi kesehatan lainnya Singkatnya, konsep dasar apoteker
masa depan mencakup ahli pengobatan kuno dikombinasikan dengan pakar teknologi dan profesional ilmiah abad ke-21. Petugas medis yang memiliki tempat khusus di komunitas tertentu, mengetahui riwayat pasiennya dan memberikan perawatan dasar untuk penyakit mereka dengan obat yang tepat (atau di usia pertengahan: tumbuh-tumbuhan atau infus). Seorang guru teknik yang tahu cara menguraikan data dari pelacak kesehatan dan perangkat keras dan mampu memberikan perawatan yang diperlukan berdasarkan data, dan tentu saja seorang profesional sains sejati yang mengetahui dasar-dasar serta perkembangan terakhir dalam farmasi dan obat-obatan di umum. Guru teknik menengah semacam itu akan berguna di masyarakat pedesaan, terpencil atau lebih kecil yang secara signifikan kurang mengakses apotek. Fenomena ini berdampak bahkan pada data penerimaan kembali rumah sakit. Di daerah pedesaan, di mana orang tidak dapat menemukan apotek terbuka sesering yang diperlukan, Edisi XXX Januari - April 2018
7
DIGITAL
fARMASI
periset menemukan bahwa data penerimaan lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Jika tujuan utamanya adalah peningkatan kualitas penyembuhan, fenomena ini juga harus diubah. Dan teknologi ada di tangan kita untuk membantu. Jadi mari kita lihat skenario dan teknologi potensial di masa depan yang bisa berdampak besar pada apotek. 1) Pusat Manajemen Kesehatan Bukan Mesin Distribusi Obat Apotek pasca modern tidak dapat hanya bertindak sebagai institusi untuk distribusi obat-obatan , karena dengan bantuan teknologi mereka akan memiliki lebih banyak waktu, dan akan lebih mementingkan penyaringan pasien. Mereka akan bertindak sebagai manajer kesehatan untuk membantu pasien yang sehat serta pasien dengan kondisi medis tertentu. Mereka akan mengelola obat-obatan untuk orangorang yang memakai banyak obat, memberikan saran untuk penyakit ringan, dan memberikan layanan kesehatan masyarakat. Organisasi dan juga kemajuan teknologi harus dilakukan, untuk dapat sampai pada skenario dimana
8
apotek dapat berkonsentrasi pada tugas pengelolaan kesehatan daripada distribusi obat. Teknologi seperti sistem komputer untuk pelabelan dan pengendalian stok, dan paket pasien otomatis dan penyisihan dosis yang sudah digunakan di rumah sakit AS dan Inggris selama beberapa dekade harus digunakan lebih luas, sehingga jam kerja yang ditujukan untuk memilih dan menuangkan obat dengan hatihati dapat dijatuhkan secara signifikan Dengan banyaknya sensor yang dapat dipakai dan pelacak kesehatan, apotek dapat menjalankan tugas pengelolaan kesehatan lainnya daripada menangani pemberian obat, membantu pasien dalam menafsirkan data mereka dari perangkat yang dapat dipakai, yang menurut pengalaman saya sangat menuntut, dan merekomendasikan koreksi kesehatan tertentu atau pengobatan berdasarkan masukan. Pengelolaan distribusi beban kerja berbasis keterampilan yang sesuai juga dapat membantu mengubah apotek kuno menjadi fasilitas manajemen kesehatan abad ke-21. Misalnya, penyaluran obat secara teknis atau penguraian data sensor dan pelacak
Edisi XXX Januari - April 2018
dapat dilakukan oleh beberapa anggota tim farmasi yang terlatih secara khusus, dan di mana kombinasi keterampilan digunakan secara efektif di samping inovasi teknis. Ini berpotensi memberikan waktu kepada apoteker untuk menyediakan layanan lain, misalnya pemberian informasi obat untuk pasien. 2) Konsultan Kesehatan dan Bukan Mesin Distribusi obat Apakah Anda pernah masuk ke jalur antrian yang sangat banyak di apotek? Anda menyerahkan resep kepada petugas yang tampaknya apoteker atau asisten yang kewalahan, dan menunggu sampai obat Anda siap dibawa, dibayar dan pergi . Anda mungkin diam meskipun memiliki beberapa pertanyaan tentang obat itu sendiri? Namun, Anda memutuskan untuk tidak bertanya dan lebih suka pergi karena jalurnya begitu banyak dan apoteker tidak punya waktu lagi? Sudah saatnya apotek beralih sebagai konsultan kesehatan dan bukan mesin distribusi obat sederhana. Karena jadwal teknologi dan organisasi memungkinkannya, apoteker akan memiliki kesempatan untuk memberikan perawatan dasar kepada pasien dengan masalah sederhana dan atau memberikan konsultasi manajemen kesehatan. Dengan cara ini apotek naik ke tingkat praktik perawatan primer. Salah satu faktor terpenting untuk pengembangan ini adalah pendekatan akar rumput terhadap perawatan kesehatan, yang berarti profesional layanan kesehatan seperti apoteker juga, harus memberikan perawatan pasien proaktif. di lokasi yang paling nyaman untuk pasien. Bila kehadiran apoteker sebenarnya tidak memungkinkan, solusi seperti telemedicine akan terjadi. Misalnya, Intouch Health dan pasien jaringan telehealth di daerah terpencil di AS memiliki akses ke konsultasi
DIGITAL
fARMASI
mereka bahkan dapat mencetak obat sesuai permintaan. Mungkin bahkan menjalankan uji klinis. Bukan tidak mungkin! Tahun lalu, FDA baru saja menyetujui obat epilepsi yang disebut Spritam yang dibuat dengan printer 3D. Ini mencetak lapisan demi lapisan serbuk obat agar larut lebih cepat dibandingkan tablet umumnya. Bayangkan seberapa cepat distribusi obat bisa dilakukan dengan printer 3D di setiap apotek kedua atau ketiga.
darurat berkualitas tinggi untuk layanan stroke, kardiovaskular, dan pembakaran pada saat mereka membutuhkannya. Selain itu dengan telehealth, profesional medis di kotakota seperti itu dan daerah pedesaan juga memiliki akses terhadap layanan khusus dan pasien dapat diobati di komunitas mereka sendiri. Ini adalah bagian dari diagnosis perawatan khusus yang disebut, yang memungkinkan diagnosis pasien di kantor dokter. , ambulans, rumah, lapangan, atau di rumah sakit. Hasil perawatan tepat waktu, dan memungkinkan penanganan cepat kepada pasien. Sensor kesehatan seperti Scanadu Scout yang mengukur antara lain denyut jantung, laju pernapasan, persentase oksigenasi darah, dan suhu tubuh atau Viatom Checkme yang mengukur EKG, denyut nadi, saturasi oksigen, tekanan darah, suhu tubuh, kualitas tidur, dan aktivitas sehari-hari, dapat secara
signifikan membantu profesional kesehatan untuk mendiagnosis penyakit dengan lebih tepat dan mudah - misalnya di apotek. 3) Terapi Personal dan Pencetakan Obat Sesuai Permintaan Mari mengambil satu langkah lebih jauh dalam membayangkan masa depan apotek: institusi usang berhasil diubah menjadi pusat manajemen kesehatan dan konsultan kesehatan dengan bantuan teknologi dan organisasi. Bagaimana apotek mengambil peran yang lebih efektif dalam penyembuhan? Saya percaya apotek mungkin mendapatkan kebebasan total dalam terapi personalisasi. Dengan memiliki akses ke algoritma berbasis cloud dan solusi kesehatan digital, mereka bisa mendapatkan jumlah dan kualitas informasi medis yang sama, dan juga
Selain itu, dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), uji klinis memerlukan waktu yang jauh lebih sedikit dan mereka mungkin dibawa lebih dekat ke apotek dan pasien itu sendiri. Perusahaan Atomwise menggunakan superkomputer yang menyusun terapi dari database struktur molekul. Tahun lalu, Atomwise meluncurkan pencarian virtual untuk obat-obatan aman dan ada yang dapat didesain ulang untuk mengobati virus Ebola. Mereka menemukan dua obat yang diprediksi oleh teknologi AI perusahaan yang secara signifikan dapat mengurangi infektivitas Ebola. Analisis ini, yang biasanya akan memakan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun, selesai dalam waktu kurang dari satu hari. Bayangkan bagaimana pembuatan obat yang efisien akan terjadi jika uji coba klinis semacam itu dapat dijalankan di tingkat kesehatan “ground zero”, yaitu di apotek. Semoga apoteker Indonesia diberdayakan melalui inovasi disrupsi dan membawa teknologi ke praktik mereka untuk meningkatkan kemampuan mereka. Contoh bagus di Amerika telah menunjukkan bagaimana hal ini dapat menurunkan biaya dan meningkatkan kualitas dan meningkatkan jangkauan layanan apotek kepada masyarakat.n
Edisi XXX Januari - April 2018
9
DIGITAL
fARMASI
Tips Aman Membeli Obat Melalui Internet Pernah tergoda membeli obat di apotek online? Jika ya, Anda tidak sendiri. Ada banyak orang yang memanfaatkan kemudahan transaksi jual beli melalui internet. Termasuk berbelanja produk kesehatan di apotek online.
M
emang benar, salah satu sisi positif dari menjamurnya apotek online di Indonesia, baik yang berupa website atau pun aplikasi online adalah, memberikan kemudahan dalam bertransaksi, khususnya dalam jual beli obat dan alat-alat kesehatan. Terlebih untuk anda di kota-kota besar, yang seringkali dilanda rasa malas keluar rumah untuk pergi ke apotek, dikarenakan lokasinya yang cukup jauh, atau karena malas mengantri. Tapi, hati-hati, kemudahan yang ditawarkan saat Anda membeli produk kesehatan, yang dalam hal ini adalah obat, tentu memiliki risiko tersendiri. Karena obat merupakan produk kesehatan, yang penggunaanya haruslah aman, maka masyarakat perlu cerdas dalam membelinya. Saat ini, membuat website atau pun aplikasi online bukan hal yang sulit. Hal ini menjadikan banyak sekali bermunculan apotek online, yang memfasilitasi jual beli obat, baik resep atau pun non resep, herbal atau pun kimiawi. Tapi, tentu sangat sulit
10
untuk masyarakat awam menilai, mana apotek online yang beroperasi secara legal, yang dapat menawarkan keamanan dalam pembelian obat, sekaligus juga memberikan perlindungan kepada konsumennya. Menariknya lagi, fenomena apotek online saat ini pun dikemas dengan lebih beragam, dimana orang bisa menebus resep secara online, hanya dengan mengirimkan foto resep, juga bisa melakukan konsultasi obat resep secara online, dan semuanya dilakukan hanya dengan duduk diam manis di rumah. Semua menjanjikan kemudahan. Bagaimana mungkin Anda yang begitu sibuk tidak tertarik? Badan POM, selaku lembaga yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan distribusi obat dan makanan tentu harus lebih waspada saat ini. Banyaknya produk kesehatan yang beredar secara online, membuat mereka harus bekerja keras guna menjamin bahwa obat-obatan yang didistribusikan secara online ini aman dikonsumsi. Sebenarnya pengawasan terhadap distribusi ini tak lantas hanya menjadi pekerjaan
Edisi XXX Januari - April 2018
pemerintah. Masyarakat umum pun harus terlibat, khususnya dalam memberikan informasi kepada BPOM atau pun KEMENKES, jika dirasa dalam transaksi jual beli obat terdapat pelanggaran-pelanggaran, atau ditemukan obat-obatan yang tidak layak konsumsi. Tidak salah memang jika kita mengikuti tren teknologi yang sedang berkembang, dengan memanfaatkan layanan aplikasi apotek online sebagai tempat membeli obat atau menebus resep. Nah, untuk amanya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih apotek online tersebut, agar kita tidak salah membeli obat, dan obat yang dibeli aman dan berkhasiat saat dikonsumsi. Berikut adalah tips aman dari kami, untuk Anda yang ingin melakukan transaksi pembelian obat melalui internet: 1. Cari tahu, apakah apotek memiliki apoteker Untuk Anda yang ingin melakukan pembelian obat keras melalui resep di apotek konvensional, tentu saja Anda harus bisa bertatap
DIGITAL muka dengan apotekernya. Apoteker akan memberikan Anda informasi tentang cara pakai obat, efek samping, dan lain-lain. Nah, di apotek online ini, konsultasi bisa dilakukan melalui telepon. Anda bisa memastikan layanan aplikasi apotek online Anda menyediakan layanan konsultasi dengan apoteker. Atau, jika apotek online tersebut bekerjasama dengan apotek lainnya, pastikan Anda bisa berbicara dengan apoteker yang bekerjasama dengan apotek online tersebut, guna mendapatkan edukasi tentang obat yang Anda beli. 2. Cari tahu tentang jaringan apotek yang bekerja sama dengan apotek online tersebut Apotek online pada umumnya tidak menyetok barang berupa obat-obatan keras, narkotika dan psikotropika, dll, yang harus ditebus dengan resep dokter. Mereka biasanya akan bekerjasama dengan apotek sekitarnya, untuk melakukan penebusan obat-obat dengan resep. Anda bisa mencari tahu apotek mana saja yang bekerjasama dengan apotek online tersebut. Ingat, jika Apotek online tidak memiliki tenaga kerja apoteker untuk berkonsultasi, maka pastikan Anda bisa berhubungan dengan apoteker di apotek, tempat apotek online anda menebuskan resep Anda nantinya. 3. Pastikan apotek online hanya melayani pembelian obat keras dengan resep. Tanpa resep maka mereka tidak akan melayani. Jangankan apotek online, terkadang masih banyak apotek konvensional yang mau melakukan penjualan obat keras tanpa resep. Di apotek online, hal ini menjadi lebih mungkin terjadi. Walau pun bagi anda penawaran bisa menebus obat tanpa resep ini menjadi lebih mudah, namun ini tidak menjadi lebih aman. Anda tetap membutuhkan resep dokter, sekalipun Anda membeli di Apotek online. Dan, sebaliknya, Apotek online
yang menjual produk obat keras tanpa perlu resep dokter, sebaiknya anda black list dari pilihan Anda. 4. Jangan memberikan data rahasia pribadi Hindari membeli obat di apotek online, yang meminta data personal detail Anda, seperti nomor info detai tentang kartu kredit Anda, nama orang tua kandung Anda, dan data riwayat kesehatan pribadi Anda. 5. Survei harga obat Sebaiknya anda mengetahui terlebih dahulu harga pasaran obat yang akan Anda beli. Beberapa apotek memang menawarkan diskon untuk beberapa item obat, khususnya obat OTC. Tapi, apotek yang terlalu banyak menawarkan diskon bahkan nominalnya sangat tinggi, boleh Anda hindari. Terlebih jika sebelumnya Anda sudah tau bahwa harga obat yang ditawarkan jauh lebih rendah dibanding harga obat pada umumnya. Anda boleh menaruh kekhawatiran pada diskon yang berlebihan, mengingat saat ini banyak sekali obat yang dipalsukan dijual melalui internet. 6. Pastikan Anda tahu berapa lama obat tersebut bisa Anda terima di tangan Anda. Mengingat anda harus mengonsumsi obat tersebut segera, Anda pun harus bisa memprediksi berapa lama kira-kira obat tersebut sampai di tangan Anda, termasuk transportasi apa yang digunakan. Untuk obat-obatan tertentu, ada yang membutuhkan penyimpanan dan penanganan yang khusus, ada obatobat yang rusak pada suhu panas atau meleleh di simpan di suhu ruang. Untuk obat-obat demikian, alangkah baik jika anda pergi ke apotek langsung. Dikhawatirkan kurir apotek online akan lama sampai di rumah anda, yang menyebabkan jadwal Anda meminum obat menjadi lebih lama, atau justru dikhawatirkan jika
fARMASI
obat yang diterima telah rusak selama perjalanan. 7. Jangan tergiur testimoni atau endorse dari publik figur Bagi yang ingin membeli obatobatan herbal atau obat-obatan bebas, banyak sekali produsen yang menawarkan obat disertai dengan beragam testimoni. Beberapa produsen meminta publik figur untuk endorse produknya, atau bahkan mengangkat publik figur untuk ambasador. Maka, cerdaslah menganalisa, apakah testimoni tersebut merupakan bagian dari strategi pemasaran atau memang benar-benar pengalaman pengguna. Perlu diingat, tidak ada obat herbal yang memberikan khasiat secara langsung. Jika ada yang menjanjikan, justru Anda bisa mencurigainya sebagai obat herbal yang mengandung zat kimia obat. Nah, bagaimana dengan tips singkat di atas. Karena obat adalah produk kesehatan yang bisa menyembuhkan saat digunakan dengan tepat, tapi bisa menjadi racun saat salah dalam penggunaanya, maka tetaplah berhati-hati. Mengikuti tren teknologi dengan memanfaatkan apotek online sebagai sarana untuk membeli obat tidaklah salah, asal Anda berhati-hati. Ada baiknya juga jika Anda selalu detail melihat obat yang sudah sampai di tangan Anda. Jika obat tersebut tidak sesuai permintaan dan keadaannya rusak, Anda bisa melakukan pelaporan ke apotek online tempat Anda membeli. Jika Anda menemukan pelanggaran pada apotek tersebut, jangan segan juga untuk melaporkannya ke Dinas Kesehatan atau pun Kementerian Kesehatan. Itu dia 7 tips agar aman membeli obat melalui internet. Jadilah pengguna aplikasi Apotek online sekaligus pengawas peredaan obat yang bijak!.n Vita
Edisi XXX Januari - April 2018
11
DIGITAL
fARMASI
JEJAK LANGKAH APOTEK ONLINE DI AMERIKA SERIKAT Oleh : Feby Christina, S.Farm., Apt. Di awal tahun 2018, U.S Food and Drug Administration (FDA) masih saja mempublikasikan kepada publik artikel terkait bagaimana membeli obat pada apotek online dengan jaminan keamanan. Ini bukanlah kali pertama FDA menginformasikan kepada konsumen terkait kewaspadaan terhadap apotek online ilegal. Peringatan yang berkesinambungan ini seolah menggambarkan bahwa apotek ilegal masih memanfaatkan internet untuk meraup keuntungan tanpa mempertimbangkan bahaya besar yang menanti bagi konsumen.
12
Edisi XXX Januari - April 2018
Apotek online sudah ada di amerika serikat sebelum tahun 2000 Consumer Value Store (CVS), apotek online pertama di Amerika Serikat pertama kali meluncurkan penjualan di internet pada tahun 1999 yang dikenal dengan CVS. com. Berawal dari tahun 1963, dua bersaudara Stanley dan Sidney Goldstein mendirikan CVS bersama Ralph Hoagland di Lowell, Massachusetts. CVS awalnya bukanlah apotek, melainkan toko yang menjual barang kesehatan dan kecantikan. Kemudian pada tahun 1967, perusahaan ini mengembangkan departemen farmasi di dalamnya, dan dengan munculnya dunia internet maka CVS tidak menyianyiakan kesempatan untuk meluncurkan CVS.com di tahun 1999. Ini menjadi apotek online pertama yang terintegrasi penuh di Amerika Serikat.
Peredaran obat palsu tetap menjadi perhatian utama pada apotek online, mesin pencari online menetapkan verifikator untuk memastikan keabsahan apotek online Kerentanan penjualan obat di internet terhadap kejahatan memang tak terelakkan. Pada tahun 2004 kongres di Amerika Serikat menaruh perhatian khusus terhadap obat palsu yang diperdagangkan oleh apotek
DIGITAL online tak berizin resmi. Sebagai bentuk dari keprihatinan Kongres, maka search engine atau mesin pencari online utama memilih pharmacychecker.com untuk memverifikasi keabsahan apotek online. Pharmacychecker.com tidak hanya memverifikasi apotek online yang ada di Amerika Serikat, namun juga di Kanada.
Sekalipun ada verifikator, FDA memperlihatkan adanya kejanggalan pada apotek online Pada tahun 2005, FDA mengungkap banyaknya obat yang dipromosikan secara online sebagai obat yang berasal dari Kanada tetapi nyatanya adalah obat palsu dan asalnya dari negara-negara lain. Untuk melindungi warga Amerika Serikat dari obat palsu, pada tahun 2006 FDA mengumumkan standar baru yang menekankan pada tindakan yang perlu dilakukan terkait peraturan tertentu serta penggunaan teknologi baru untuk melindungi distribusi obat di Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah dengan menetapkan pertauran bagi distributor obat agar mencantumkan dokumen rantai perlindungan keamanan obat yang disebut “pedigree” pada seluruh sistem distribusi. FDA lalu memberikan peringatan kepada konsumen untuk tidak membeli atau menggunakan obat resep dari berbagai website Kanada yang terbukti menjual produk palsu.
Ryan Haight, nama seorang pelajar di California yang disematkan pada nama Undang-Undang tentang penjualan obat secara online di Amerika Serikat Sebagai bentuk tindakan tegas dari pemerintah, maka pada tahun 2008 presiden Amerika Serikat menandatangani Undang-Undang (UU) yang diberi nama Ryan Haight Online Consumer Protection Act of 2008 yang melarang
fARMASI
apotek online untuk menjual obat-obatan golongan controlled substances (penggunaan serta peredarannya dikendalikan secara ketat) berdasarkan konsultasi online semata. Lahirnya UU ini didesak oleh semakin meningkatnya penggunaan obat resep controlled substance terutama pada remaja untuk tujuan non-medis. Hal ini semakin diperparah oleh perdagangan obat melalui internet. Drug Enforcement Administration (DEA), lembaga penegak hukum di Amerika Serikat yang khusus menangani penggunaan dan penyelundupan narkoba, menerima data pada tahun 2006 yakni sebanyak 34 apotek yang beroperasi di Amerika Serikat ternyata melakukan dispensi obat hydrocodone sebesar 98 juta unit dosis melalui internet. Berarti apotek ini masing-masing menjual rata-rata sekitar 2,9 juta unit dosis hydrocodone per apotek setiap tahunnya. Dengan kata lain, rata-rata apotek di Amerika Serikat menjual sekitar 88 ribu unit dosis hydrocodone setiap tahun. Nama Ryan Haight pun kemudian mencuat, ia adalah seorang pelajar SMA di California sekaligus seorang atlet yang akhirnya meninggal pada tahun 2001 akibat overdosis controlled substance yang dibelinya dari apotek online abal-abal. Namanya kemudian digunakan pada UU penjualan obat secara online di Amerika serikat. Laporan senat di Amerika Serikat menyebutkan bahwa kemudahan dalam mengakses internet, yang disertai dengan kurangnya supervisi medis telah menyebabkan konsekuensi tragis pada penjualan obat resep controlled substance secara online.
Obat ilegal tetap diiklankan, Google mengambil keputusan untuk mengeliminasi pharmacychecker.com sebagai verifikator apotek online Pada tahun 2009, LegitScript, suatu perusahaan yang bergerak dalam layanan pemantauan apotek online dan diakui oleh National Association of Boards of Pharmacy di Amerika Serikat menemukan bahwa 8090% iklan obat apotek online yang disponsori oleh mesin pencari di internet (diverifikasi oleh pharmacychecker.com) ternyata melanggar UU federal dan negara bagian di Amerika Serikat. Selain itu, The Partnership for Safe Medicines (PSM), suatu lembaga kesehatan masyarakat non-profit yang bergerak di area keamanan obat
Edisi XXX Januari - April 2018
13
DIGITAL
fARMASI
resep dan perlindungan konsumen, mencermati mesin pencari di internet seperti Google, Yahoo, Bing dengan seksama karena mesin pencari ini dinilai mendukung penjualan obat ilegal secara online. Kemudian di tahun 2010, Google mengumumkan kebijakan terkini terkait apotek di Amerika Serikat dan mengeliminasi pharmacychecker.com sebagai verifikator apotek online.
Lalu sebenarnya apakah keberadaan apotek online diizinkan di Amerika Serikat? Ya, apotek yang berada di Amerika Serikat dapat memenuhi pesanan secara online, namun tentunya dengan batasan tertentu. Apotek tersebut harus secara fisik berlokasi di Amerika serikat. Melakukan impor obat resep sifatnya ilegal, oleh karena itu apotek yang melakukan penyerahan obat haruslah berlokasi di Amerika Serikat, dan sebagian besar negara bagian pun mensyaratkan hal ini. Apotek juga harus berlisensi di Amerika Serikat. Lisensi apotek tidak diberikan di tingkat federal, melainkan di tingkat negara bagian masing-masing. Secara umum, jika apotek online menawarkan untuk mengirimkan obat ke negara bagian tertentu, maka apotek tersebut haruslah terlebih dahulu mendapatkan lisensi dari negara bagian tujuan, sekalipun tidak harus berada di sana secara fisik.
Apakah apotek online yang tidak berasal dari Amerika Serikat dapat menyalurkan obat resep kepada pasien yang berada di Amerika Serikat? Tidak. Hal ini dianggap ilegal. FDA dengan jelas mengatakan bahwa melakukan impor obat resep adalah ilegal.
Apakah apotek online dapat mengijinkan pasien membeli obat resep tanpa berkonsultasi tatap muka dengan dokter? Tidak, dengan pengecualian yang sangat jarang.
14
Edisi XXX Januari - April 2018
Memberikan obat resep tanpa konsultasi tatap muka dengan dokter hampir selalu dinyatakan ilegal. Kecuali, untuk Negara bagian Utah, hal tersebut mendapat pengecualian hanya jika apotek, dokter, dan pasien berlokasi di Utah, dan terbatas hanya untuk obat tertentu saja.
Apa yang diinformasikan oleh FDA kepada pasien untuk membantu melindungi mereka dari apotek online yang tidak bertanggung jawab? FDA menginformasikan dalam bahasa yang sangat sederhana bagi pasien dalam membeli obat di apotek online, mulai dari alasan mengapa mereka harus membeli obat di apotek online yang tersertifikasi, apa kerugian jika mereka mengabaikan hal tersebut, apa ciri-ciri apotek online ilegal dan yang dinyatakan aman, dll. Berikut ini adalah beberapa cara yang ditawarkan oleh FDA kepada pasien di Amerika Serikat agar dapat mengidentifikasi apotek online yang aman. 1. Mensyaratkan resep yang valid dari seorang dokter atau profesi kesehatan lain yang berlisensi 2. Mendapatkan lisensi dari board of pharmacy di Negara bagian yangbersangkutan 3. Tidak ada dalam daftar website yang tidak direkomendasikan oleh National Association of Boards of Pharmacy (NABP) 4. Memiliki apoteker dengan lisensi Amerika Serikat yang dapat menjawab pertanyaan anda 5. Berada di Amerika Serikat, dan menyediakan alamat lokasinya. 6. Memiliki National Association of Boards of Pharmacy’s (NABP) Verified Internet Pharmacy Practice SitesTM Seal (VIPPS® Seal), dimana seal atau tanda ini memberikan makna bahwa apotek online tersebut aman karena telah memenuhi persyaratan lisensi Negara bagian dan kriteria NABP lainnya. Apotek online yang terakreditasi VIPPS saat ini wajib untuk memiliki domain aktif .pharmacy (dot pharmacy). Domain ini seperti halnya .com, .net, namun hanya website apotek dan website terkait farmasi yang telah terverifikasi oleh NABP yang diijinkan untuk menggunakan domain tersebut. Contoh, apotek online yang bernama BioPlus Specialty Pharmacy Services telah terakreditasi VIPPS dan memiliki alamat website www. bioplusspecialty.pharmacy n
DIGITAL
fARMASI
7 Tren Media Sosial di Industri Farmasi * Analisis 105 profil merek, 200.000 keping konten dan 15 juta interaksi
oleh: Nofa, S.Si., Apt Banyak perusahaan farmasi sangat berhati-hati dengan kehadiran media sosial mereka. Hal itu tidak mengherankan mengingat pembatasan iklan dan ladang ranjau potensial membahas obat resep di lingkungan yang tidak terkendali. Laporan ini melihat bagaimana 16 perusahaan telah menggunakan media sosial dan tren yang telah muncul di industri ini selama lima tahun terakhir.
P
Semua data dan grafik diambil dari sumber Unmetric Analyze Social Intelligence Platform.
erusahaan yang dianalisis dalam laporan ini di Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, LinkedIn dan Pinterest adalah: Abbot, Abbvie, Allergan, Roche, AstraZeneca, Bayer, Boehringer Ingelheim, BMS, Lilly, Johnson&Johnson, GSK, Merck, Novartis, Novo nordisk, Pfizer, Sanofi.
Lansekap Farmasi di Media Sosial
Karena pembatasan yang diberlakukan oleh industri oleh FDA, kami menemukan bahwa perusahaan farmasi telah membagi kehadiran media sosial mereka menjadi empat silo independen: Edisi XXX Januari - April 2018
15
DIGITAL
fARMASI
Dimana Pertumbuhannya? Di Facebook, perusahaan farmasi terlihat pertumbuhan dari halaman korporat dan halaman Karir. Tingginya pertumbuhan halaman Karir mungkin merupakan indikator jumlah penggemar total yang dimiliki halaman-halaman ini. Sedangkan untuk halaman Perusahaan, tingkat pertumbuhan yang tinggi menunjukkan bahwa media ini adalah saluran yang sangat penting bagi merek farmasi pada tahun 2016. Di Twitter, perusahaan farmasi berjuang untuk meningkatkan pertumbuhan Follower sepanjang tahun 2016. Yang menangani portal merk adalah pendorong terbesar pertumbuhan Follower terutama karena jumlah Pengikut yang relatif rendah. Sama seperti di Facebook, merek OTC tidak mencatat pertumbuhan yang signifikan. Ini bisa jadi karena perusahaan memfokuskan kembali usaha mereka ke media lainnya. Dimana Upaya dan Pengembalian? Unmetric Discover, database yang dapat dicari lebih dari 500.000.000 keping konten merek, topik berikut muncul sebagai poin pembicaraan paling populer untuk perusahaan farmasi.
KESEHATAN : 113,000 Tulisan, Tweets & Pins Tulisan yang dipromosikan GSK tentang penyakit meningokokus adalah tulisan terkait kesehatan yang paling banyak dibagikan dari antara 16 perusahaan farmasi dalam laporan ini.
NUTRISI : 95,500 Posting, Tweets & Pins Tulisan yang dipromosikan Merck tentang sarapan sehat salad adalah tulisan terkait nutrisi yang paling banyak dibagikan.
16
Edisi XXX Januari - April 2018
DIGITAL Tren : Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Industri Farmasi di Media Sosial
fARMASI
3. Facebook Engagement sedang Meningkat
1. Perusahaan Farmasi Memproduksi Lebih Sedikit Konten
Di seluruh jaringan sosial, perusahaan farmasi telah menerbitkan lebih sedikit konten media sosial. Sejak tahun 2014, telah terjadi penurunan sebesar 36% dari jumlah konten yang dipublikasikan. 1. Portal Karir Farmasi melawan tren tersebut dan menerbitkan 37% konten lebih banyak di tahun 2016 dibandingkan tahun 2013 2. Pfizer menerbitkan 332% konten lebih banyak di halaman Facebook Perusahaan-nya di tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2013
2. Konten Video sedang Naik
Meskipun volume konten yang diterbitkan oleh perusahaan farmasi di Facebook telah menurun dari tahun ke tahun, rata-rata interaksi per pos semakin meningkat. Penggerak terbesar pertumbuhan ini berasal dari Likes, yang menunjukkan bahwa promosi berbayar sebagian besar bertanggung jawab atas kenaikan tersebut. Catatan - Analisis ini tidak termasuk posting gelap. Hanya posting yang dapat dilihat secara publik yang dipertimbangkan untuk penelitian ini. 1. Tidak ada korelasi antara lebih banyak posting dan keterlibatan yang lebih tinggi. Novo Nordisk mencatat jumlah posting paling sedikit kedua namun memiliki total interaksi tertinggi kedua. 2. Pfizer menerbitkan lebih dari dua kali jumlah konten di Facebook daripada semua perusahaan farmasi lainnya di tahun 2016 namun memiliki total interaksi yang lebih rendah daripada kebanyakan perusahaan lain. 4. Konten Lebih Banyak Dipromosikan di Facebook
Akun Video sekarang mencakup 16% dari semua konten yang diterbitkan oleh perusahaan farmasi di Facebook. Transisi ini mencerminkan apa yang terjadi di industri lain di Facebook, Twitter dan Instagram. Karena merek bersaing untuk mendapatkan perhatian, video menyediakan sarana untuk menangkapnya. 1. Boehringer Ingelheim menerbitkan video terbanyak di tahun 2016 di Facebook, total sebanyak 134. 2. Laman Facebook merek OTC menyumbang persentase tertinggi konten video sebanyak 20% posting video.
Persentase posting Facebook yang dipromosikan oleh perusahaan farmasi meningkat dari 10% menjadi 14% dari Q1 sampai Q4 pada tahun 2016. Hal ini, selain meningkatnya jumlah video yang dipublikasikan, telah membantu industri farmasi menghasilkan keterlibatan yang lebih tinggi dari lebih sedikit posting. 1. Novo Nordisk adalah yang paling mempromosikan kontennya - 36% tulisannya dipromosikan. Pfizer Edisi XXX Januari - April 2018
17
DIGITAL
fARMASI
mempromosikan kurang dari 1% konten mereka. 2. Portal bermerek cenderung mempromosikan konten mereka dengan rata-rata 40% konten dipromosikan. Profil karir cenderung tidak mempromosikan konten
5. Profil Merek OTC menurun
Perusahaan farmasi tampaknya lebih enggan daripada sebelumnya untuk terlibat dalam percakapan di Twitter. Penurunan terbesar berasal dari penanggung jawab merek OTC yang biasanya sangat membalas tweet pengguna. 1. Eli Lilly tetap menjadi satu-satunya merek yang secara aktif melibatkan pendengarnya dengan lebih dari dua kali lipat jumlah balasan dibandingkan dengan merek lain 2. Allergan dan Sanofi adalah yang paling sedikit membalas tweet apapun, Allergan hanya membalas dua tweet di keseluruhan tahun 2016
7. Perusahaan-perusahaan yang aktif di seluruh jaringan sosial
Pada tahun 2013 dan 2014, perusahaan farmasi tampaknya menyematkan harapan mereka akan kehadiran media sosial yang kuat pada merek OTC. Namun, pada tahun 2016, terjadi penurunan tajam dalam jumlah konten publik yang dihasilkan oleh profil ini bersamaan dengan penurunan keterlibatan serupa. Penurunan konten bisa terjadi karena adanya peningkatan ‘postingan gelap’ yang bisa dipublikasikan oleh merek di Facebook. Pos ini tidak muncul di halaman Facebook merek dan tidak dipertimbangkan untuk analisis ini. 1. Beberapa merek OTC yang melawan tren adalah Tums (GSK), Flonase (GSK) dan NEXIUM (AstraZeneca). Bersama-sama merek ini menyumbang 72% dari semua interaksi Merek OTC 2. Motrin (J & J) yang diterbitkan kurang dari satu posting per bulan rata-rata pada tahun 2016 namun masih berhasil menghasilkan 13 kali pertunangan lebih banyak daripada Midol (Bayer)
6. Perusahaan Membalas Tweet Lebih Sedikit daripada Sebelumnya
18
Edisi XXX Januari - April 2018
Perusahaan farmasi aktif di lima dari enam jaringan sosial dengan sebagian besar perusahaan memilih Twitter, LinkedIn, Facebook dan YouTube. Twitter dan LinkedIn adalah jaringan sosial yang paling disukai dengan kehadiran 100%. Hanya tujuh dari 16 perusahaan yang hadir di Instagram, menjadikannya jaringan sosial yang paling tidak disukai. 1. Bayer & Boehringer Ingelheim adalah perusahaan farmasi paling sosial dengan kehadiran aktif di semua enam jaringan sosial. 2. Allergan adalah perusahaan farmasi paling aktif di media sosial dengan kehadiran terbatas hanya pada Twitter dan LinkedIn. n
DIGITAL
fARMASI
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Agil Bredly Musa, S. Farm., Apt. Instalasi Farmasi RSUN Dr. Cipto Mangunkusumo
“Teknologi informasi dan bisnis menjadi dua jalinan yang tidak terpisahkan. Tak seorang pun dapat membicarakan tentang yang satu secara berarti tanpa membicarakan tentang yang lainnya”. - Bill Gates -
P
erkembangan teknologi tak dapat dibendung di era digital saat ini. Mungkin dulu kita semua masih mengenal “disket”, cakram berkapasitas 1,44 megabytes untuk penyimpanan data. Saat ini, kita sudah tak asing lagi dengan hard disk drive (HDD) eksternal berkapasitas 1 terrabytes (satu juta megabytes). Bahkan, terdengar berita bahwa sedang dikembangkan media penyimpanan berbasis DNA dengan kapasitas ratusan ribu kali lebih besar dibandingkan dengan HDD eksternal. Rumah sakit juga tak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan dan kemajuan teknologi. Pengaruh
tersebut harus dijadikan kesempatan untuk menghasilkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satu bentuk pelayanan di rumah sakit yang senantiasa menjadi perhatian, karena sifatnya yang high-volume,high-risk dan high cost adalah pelayanan kefarmasian. Alur manajemen dan penggunaan obat yang kompleks, serta berbagai profesi yang terlibat di dalamnya menjadi penyebab munculnya risiko kesalahan obat (medication error), baik no harm (tidak menimbulkan cedera), maupun harm (menimbulkan cedera). Risiko ini muncul pada setiap tahapan penggunaan obat. Fase peresepan,
penyiapan dan pemberian merupakan fase paling kritis dalam munculnya kesalahan obat. Menurut Institute for Safe Medication Practice (ISMP), tiga strategi yang paling efektif dalam mengurangi kesalahan obat adalah: (a) Fail-safes and constraints (sistem pengaman yang dapat mencegah kesalahan berlanjut menjadi cedera; (b) Forcing functions (mengharuskan user untuk melakukan tahapan tertentu sebelum berlanjut pada proses yang dimaksud), dan (c) Automation and computerization (automasi dan komputerisasi). Ketiga strategi tersebut dapat dijalankan dengan optimal apabila farmasi rumah sakit didukung oleh teknologi informasi. Teknologi informasi (TI) yang mendukung pelayanan kefarmasian telah digunakan sejak awal 80-an. Seiring berjalannya waktu, teknologi yang berkembang pesat bahkan menyebabkan pelayanan kefarmasian dapat terganggu bila tidak didukung oleh sistem informasi yang memadai. Beberapa peranan TI dalam pelayanan kefarmasian, antara lain: • Menyediakan informasi yang cepat dan akurat • Meningkatkan kolaborasi antar tenaga kesehatan • Mengurangi human error pada titik-titik pelayanan melalui Clinical Decision Support System • Memperbaiki automatisasi alur kerja • Pemberian obat dengan prinsip “5 tepat” (tepat pasien, obat, dosis, rute, waktu). Pemanfaatan TI dalam alur pengelolaan dan penggunaan obat antara lain: a. Peresepan Elektronik Kesalahan peresepan merupakan kesalahan obat yang tersering di banyak rumah sakit. Berbagai kesalahan yang mungkin terjadi antara lain, nama obat yang membingungkan, Edisi XXX Januari - April 2018
19
DIGITAL
fARMASI
tulisan tidak dapat dibaca, penggunaan istilah dan singkatan yang tidak lazim, serta kesalahan penulisan angka dan satuan. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat dicegah secara sistematis dengan menggunakan peresepan elektronik. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari peresepan elektronik: • Menghilangkan masalah tulisan tidak dapat dibaca • Mempercepat pelayanan • Meningkatkan akurasi dan kelengkapan resep • Meningkatkan koordinasi antara dokter dan apoteker/asisten apoteker • Mencegah kesalahan dengan “alert system”: dosis, alergi, kontraindikasi, interaksi obat Sistem yang lebih kompleks juga telah dikembangkan di beberapa rumah sakit untuk mengompilasi berbagai data, sehingga secara proaktif dapat membantu dokter dan apoteker dalam memantau kondisi pasien (misalnya, penerapan kriteria obat yang dianjurkan dan yang tidak pada peresepan pasien geriatri atau mengaitkan kadar kalium yang tinggi dengan peresepan suplemen kalium). Namun, peresepan elektronik tidak serta merta menghilangkan risiko kesalahan obat dalam fase ini. Beberapa contoh kesalahan yang mungkin terjadi dalam peresepan elektronik antara lain: • Duplikasi: dokter meresepkan obat yang sama, karena tidak mengecek riwayat pengobatan pasien. • Salah dosis: dokter tidak mengganti dosis/satuan default obat atau memang tidak mengetahui dosis yang tepat. • Salah obat: dokter memilih obat yang salah, karena kemiripan tulisan di komputer. • Salah bentuk sediaan: dokter keliru dalam memilih bentuk sediaan obat. Oleh karena itu, peresepan elektronik di rumah sakit perlu terus menerus dikaji, ditingkatkan dan didesain sedemikian rupa agar kesalahankesalahan tersebut dapat dikurangi.
20
b.
Sistem Informasi Farmasi Pada awalnya, TI farmasi dikembangkan hanya untuk memenuhi kebutuhan operasional, finansial dan manajemen data. Dengan hadirnya sistem operasi seperti Microsoft® Windows, graphical user interfaces mengalami kemajuan, sehingga memudahkan teknologi komputer tergabung dalam praktik kefarmasian. Perkembangan teknologi lainnya, seperti evolusi personal computer (PC), konektivitas jaringan berkecepatan tinggi (ethernet, kabel fiber optik, LAN) serta kemajuan teknologi prosesor, telah meningkatkan kapabilitas sistem informasi farmasi secara signifikan. Saat ini, sistem informasi farmasi digunakan untuk mengelola banyak tugas dasar selain pengelolaan perbekalan farmasi, seperti pengkajian obat secara elektronik, penyiapan serta pelabelan obat. Sistem yang dikembangkan juga mampu melacak riwayat penyiapan (dispensing) obat pasien, beserta datadata yang menyertai, seperti nama dokter, nomor surat izin praktik, tanggal peresepan, obat (nama, dosis,
Edisi XXX Januari - April 2018
frekuensi jumlah), satelit farmasi yang menyiapkan, apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang bertanggung jawab untuk mengkaji dan menyiapkan obat, unit perawatan pasien serta data demografi pasien. Sistem informasi farmasi terkini juga memungkinkan apoteker mendokumentasikan kegiatan pelayanan farmasi kliniknya dengan mudah ke dalam sistem. Berbagai studi telah menunjukkan bagaimana farmasi klinik berperan dalam pencegahan kesalahan obat. Sebagai contoh, ketika apoteker merekomendasikan penurunan dosis warfarin untuk mencegah perdarahan yang berlebihan, ini tidak sekadar intervensi klinis, melainkan juga berdampak kepada pencegahan terjadinya kejadian tidak diharapkan pada pasien. Farmasi dapat menggunakan dokumen tersebut untuk kemudian dilaporkan sebagai jumlah kesalahan yang dapat dicegah. Dengan menggunakan teknologi dalam pendokumentasian, apoteker dapat dengan lebih mudah menunjukkan kinerjanya kepada pimpinan rumah sakit dan tenaga kesehatan lain.
DIGITAL c. Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan (CDSS= Clinical Decision Support System) Praktik farmasi klinik telah berkembang pesat sejak menggunakan sistem informasi farmasi. Saat ini, sistem yang ada telah melakukan berbagai fungsi CDSS, seperti pengecekan dosis, interaksi obatobat, obat-makanan serta obat-hasil uji laboratorium. Identifikasi dosis yang tidak sesuai (terlalu tinggi atau terlalu rendah) membantu apoteker dalam mengoptimalkan terapi obat. Meskipun demikian, masih banyak faktor lain yang menjadi dasar pertimbangan dosis yang belum dikaitkan ke dalam sistem, misalnya: kondisi penyakit, klirens kreatinin dan jenis kelamin. Pengecekan dosis secara otomatis tentu tidak dapat menggantikan clinical judgement berdasarkan pengalaman praktik farmasi klinik. Pengecekan interaksi obat-obat akan menghasilkan sejumlah alert tergantung jumlah dan jenis obat yang diresepkan. Mayoritas alert ini sebenarnya menunjukan interaksi yang tidak signifikan atau positif palsu. Oleh karena itu, perusahaan database mengklasifikasikan interaksi menjadi beberapa level, seperti moderate, moderately severe, severe. Meskipun demikian, lagi-lagi clinical judgement seorang klinisi tetap diandalkan dalam mengambil keputusan akhir. Kombinasi informasi obat-hasil laboratorium dapat mencegah banyak kesalahan. Kesalahan obat terkait dosis dan pemilihan obat seringkali terkait dengan parameter laboratorium. Suatu studi menunjukan bahwa 13,9% dari kesalahan dosis terkait dengan gangguan hati dan ginjal. Oleh karena itu, kombinasi data ini dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan, penetapan dosis dan pemantauan efek terapi obat. “Aturan mesin” (rules engines) menjadi area yang paling menarik dalam pengembangan sistem informasi. Aturan-aturan dirancang untuk dijalankan secara otomatis, menggabungkan berbagai informasi
dan membantu mengidentifikasi skenario-skenario yang kompleks. Aturan ini digunakan untuk meningkatkan outcome pasien dengan cara mencegah situasi yang dapat menyebabkan harm bagi pasien. Sebagai contoh, suatu pengaturan dirancang untuk membandingkan hasil kultur dan data sensitivitas dengan rejimen antibiotik pasien. Contoh lainnya, kombinasi obat pada pasien geriatri yang dapat menyebabkan hipotensi oversedasi dipantau secara otomatis. Pada suatu rumah sakit, sistem ini dapat menunjukan 36.640 alert pada 14.740 pasien dan menghasilkan 5.776 rekomendasi pengobatan dalam 1 tahun. Tanpa bantuan CDSS, apoteker perlu mengandalkan kemampuan dan ingatannya untuk menyerap informasi dalam jumlah besar ketika mengkaji data pasien, hasil laboratorium, catatan perkembangan dan informasi penting lainnya. Suatu studi menunjukan hanya 27,5% intervensi farmasi yang dihasilkan setelah 12 jam resep dibuat, bahkan beberapa outcome yang berpotensi serius memerlukan rerata waktu hingga 23,9 jam. Sejumlah studi melaporkan bahwa penggunaan komputer yang menampilkan alert dapat mengurangi waktu secara
fARMASI
signifikan antara onset kejadian kritis hingga penanganan insiden. Namun, peningkatan jumlah alert berbanding terbalik dengan produktivitas dan kemampuan untuk merespons alert tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian lebih lanjut, agar hanya alert yang penting dan relevan secara klinis yang dimunculkan pada proses perawatan pasien. Fungsi alert bekerja dalam kerangka binary (ya atau tidak). Meskipun demikian, apoteker harus menggunakan pengetahuan farmakoterapi, kondisi penyakit dan literatur yang up-to-date untuk menetapkan rekomendasi yang terbaik bagi pasien. Apoteker harus memilih untuk menerima atau menolak alert tersebut. Sistem farmasi juga harus dapat menangkap data penerimaan/penolakan tersebut, sehingga instalasi farmasi dapat menilai kembali ketajaman alert-alert yang ada. d. Lemari Penyiapan Obat Otomatis (Automated Dispensing Cabinet) yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Farmasi Secara tradisional, farmasi menyiapkan obat untuk pasien dengan mengisi wadah khusus secara unit dose yang kemudian diserahkan ke ruang rawat dan disimpan dalam lemari obat pasien. Di banyak negara sudah
Edisi XXX Januari - April 2018
21
DIGITAL
fARMASI
digunakan Automated dispensing cabinet (ADC), yaitu lemari penyimpanan obat terkomputerisasi yang memungkinkan obat disimpan dan disiapkan untuk pasien secara otomatis, sehingga sangat mengurangi pekerjaan secara manual. Manfaat utama dari penggunaan ADC adalah mengurangi waktu pengiriman obat dari farmasi ke ruang rawat. Selain itu, penggunaan ADC yang dilengkapi dengan barcode dapat mengurangi kesalahan saat pengisian kembali obat. ISMP merekomendasikan beberapa proses yang harus ada jika menggunakan ADC di rumah sakit, beberapa di antaranya mencakup proses penyediaan lingkungan yang ideal, keamanan sistem, pengelolaan inventori, prosedur pengambilan obat yang akurat, serta edukasi pegawai. Lingkungan fisik di mana ADC ditempatkan harus dapat menjamin stabilitas obat. Penyediaan kondisi lingkungan yang ideal untuk ADC menjadi proses yang cukup menantang dalam penerapannya di negara tropis seperti Indonesia, karena kondisi yang lembab dan suhu yang tinggi dapat berkontribusi terhadap kerusakan obat. Proses keamanan pun harus ditetapkan untuk memastikan bahwa obat selalu terkontrol dan mengurangi potensi penyimpangan dari ADC, misalnya, terkait proses untuk mendapatkan password dan memperbaharuinya, serta larangan untuk berbagi password. Pemusnahan sisa obat juga harus dapat didokumentasikan di ADC, untuk kemudian dapat dicocokkan dengan selisih dosis obat yang diresepkan dengan yang diberikan. Persediaan dalam ADC harus ditentukan berdasarkan kebutuhan pasien serta pola peresepan di setiap area
22
perawatan dengan berpedoman pada formularium, dan diisi ulang secara teratur. Selain itu, analisa terkait mutasi obat juga harus dilakukan secara rutin oleh apoteker. Proses untuk mengurangi risiko terkait kesalahan obat, dosis, rute atau frekuensi akibat kesalahan pengambilan obat harus dikembangkan, misalnya, obat dapat diambil hanya jika telah diverifikasi oleh apoteker. Isi (variasi, konsentrasi, dan volume) serta konfigurasi ADC juga menjadi hal yang harus diperhatikan untuk memasukkan atau mengambil obat dari ADC. Selain itu, pengambilan obat hanya boleh dilakukan untuk satu pasien dalam satu waktu, sehingga dapat mengurangi kemungkinan salah obat. Semua pengguna ADC, baik apoteker, tenaga teknis kefarmasian, perawat maupun dokter harus memperoleh pelatihan yang memadai serta menjalani validasi kompetensi terkait penggunaan alat secara aman. Pengguna yang tidak mendapat orientasi yang cukup dapat mengakibatkan kebiasaan praktik penggunaan yang tidak benar. Pencatatan Pemberian Obat Secara Elektronik (Electronic Medication Administration) Formulir Pemberian Obat (FPO) merupakan kesatuan dokumen perawat dan farmasi dalam keamanan pemberian obat. Formulir ini berisi riwayat alergi pasien, nama obat dan waktu pemberian obat. Secara historis, FPO dibuat dan dijalankan oleh perawat. Dengan kemajuan komputer, farmasi dapat menyediakan FPO yang tercetak untuk satu kurun waktu tertentu (8 jam, 12 jam, 24 jam). Hal ini dapat
mengurangi perbedaan (discrepancies) dalam penyalinan daftar obat. Saat ini, FPO berbasis komputer yang lebih maju memungkinkan pencatatan pemberian obat secara elektronik dengan teknologi layar sentuh (touch screen) atau pembacaan barcode pada gelang pasien dan kemasan obat. Hal ini dapat memberikan alert seketika kepada perawat, jika obat yang diberikan tidak sesuai. Penulis yakin bahwa dalam beberapa tahun ke depan akan semakin banyak lagi proses dalam pelayanan kefarmasian yang memanfaatkan teknologi informasi mengingat perkembangannya yang sangat pesat. Untuk itu para pengelola rumah sakit hendaknya secara bijaksana dapat menerapkannya dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan efisiensi. -
-
-
-
e.
Edisi XXX Januari - April 2018
-
Referensi:
Brown, Thomas R. 2006. Handbook of Institutional Pharmacy Practice 4th Edition. American Society of Health System Pharmacists. Chih-Yuan Wu1, et al. 2016. Impact of Computerized Physician Order Entry Warning System on Prescribing Patterns in Elderly. Bangkok. FAPA Congress. ISMP. Institute for Safe Medication Practices (ISMP) Guidance on the Interdisciplinary Safe Use of Automated Dispensing Cabinets. Diakses pada tanggal 15 Februari 2018 pukul 15:00. https://www.ismp.org/ tools/guidelines/ADC/default.asp Trisna. Y., Musa, AB. 2015. Prescribing Errors After Implementation of Computerized Physician Order Entry System at a Teaching Hospital. Dusseldorf, Germany. International Pharmaceutical Federation (FIP) Congress. Trisna. Y. Pengembangan Sistem Informasi Untuk Mengurangi Potensi Medication Error, Presentasi pada Annual Scientific Meeting (ASM) 2017 yang diselenggarakan oleh Pokja Informatika Biomedis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 23 Maret 2017 n
WAWANCARA Nurul falah, Ketua PP IaI 2014-2018, diwawancarai MEdISINa 26 Maret 2018. Ia berbicara banyak mengenai masalah yang menjadi perhatiannya dalam memimpin IaI. artikel ini merupakan rangkaian narasi Nurul falah pada wawancara tersebut, yang dituliskan sejawat azril Kimin.
Nurul Falah : Sistem dan Program untuk Memajukan Apoteker Indonesia
B
erbeda denga ketua- ketua IAI sebelumnya, saya bukan tokoh sentral yang berasal dari birokrat, dimana saya tidak memiliki kekuasaan yang memadai seperti mereka, yang memudahkan memimpin organisasi. Sebelum ini para ketua IAI yang terpilih berasal dari orang-orang hebat, seperti Sukaryo yang menjadi Direktur Kimia Farma dan Sekjen Depkes, Haryanto Dhanutirto yang akademisi dan mantan menteri. Pak Darojatun, Marzuki Abdulah dan Dani Pratomo yang berasal dari Dirut BUMN, dan Ahaditomo pimpinan Meiji. Menyadari hal tersebut, setelah terpilih saya menyusun kepengurusan yang mencerminkan “Kabinet Keja Pelangi”, dalam arti sebagian pengurus adalah aktifis, akademisi, birokrat dari Depkes, BPOM dan instansi pemerintah lainnya, dan sebagian lagi CEO perusahaan farmasi. Ternyata komposisi kepengurusan ini mewarnai dan menginspirasi banyak hal dimana apoteker dipandang dari view yang berbeda beda. Dengan potensi tersebut, kita membangun sinergi dan memantapkan kepengurusan dengan membangun sistem, bukan lagi berdasar sinten. Kalau berdasar sistem, organisasi akan berjalan baik, dan tetap jalan walau sinten nya berubah. Kepengurusan mesti bekerja sesuai sistem, bukannya tergantung sinten yang berjalan menurut apa kata ketuanya. Selanjutnya IAI harus memiliki program dalam bentuk rencana kerja dalam Renstra yg terukur dan terstruktur.
Edisi XXX Januari - April 2018
23
WAWANCARA Renstra yang kita bangun terdiri dari 5 pilar, yang saya anggap sebagai pondasi untuk menjadikan profesi apoteker di tanah air menjadi lebih baik. Pilar pertama dimulai dengan perenungan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah apoteker itu profesi atau bukan? Apakah kita hanya lulusan perguruan tinggi farmasi yang diberi gelar apoteker. Jika merupakan profesi haruslah apoteker melaksanakan profesionalitas sebagai apoteker Profesionalitasnya seperti apa? Jika mengutip definisi dari American Pharmacy Association, apoteker itu merupakan profesi yang memberikan garansi pelayanan kefarmasian kepada masyarakat secara langsung. Sementara yang kita lihat di Indonesia, dalam kenyataannya, apoteker tidak pernah menggaransi pelayanan secara langsung. Sebagian apoteker menggunakan legalitasnya karena memiliki ijazah apoteker, sertifikat kompeten, surat tanda registrasi, dan akhirnya menjadi penanggung jawab di sebuah apotek atau instalasi farmasi lebih lebih karena legalitasnya. Padahal PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian sudah menyebut pelayanan kefarmasian adalah pelayanan langsung kepada masyarakat. Dipertegas lagi Surat Edaran Menkes RI no HK 021 tentang petunjuk pelaksanaan Permenkes no 31 tahun 2016 yang memuat kalimat: Fasilitas pelayanan kefarmasian hanya dapat memberikan pelayanan kefarmasian sepanjang apoteker berada di tempat dan memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Setelah melihat das Sein dengan das solen tentang pelayanan farmasi di tanah air sangat jauh rentangnya, atau antara kenyataan dengan teori sangat besar perbedaannya maka pilar pertama yang kita canangkan adalah apoteker praktek bertanggung jawab. Kata-kata ini juga tercantum dalam AD ART IAI. Sebagai Ketua PP IAI saya bercitacita apoteker itu melaksanakan praktek yang dikenal masyarakat. Saya ingin jika orang memerlukan dan membeli obat, yang diingatnya pertama kali adalah apoteker. Apoteker diingat karena,profesionalitasnya serta layanan kefarmasiannya. Bila membeli obat di apotek hendaknya orang ingat bukan nama
24
apoteknya tapi siapa apoteker yg ada disitu, karena apoteker praktek langsung berhadapan dan melayani pasien. Dan berkontribusi langsung meningkatkan kesehatan masyarakat dalam bentuk praktek kefarmasian. Walau yang diterangkan apoteker kepada pasien kelihatannya hal-hal sederhana, seperti cara penggunaan obat sebelum atau sesudah makan, atau jangan hentikan pemakaian antibiotika sebelum obatnya habis, manfaat kontak langsung apoteker dengan pasien tersebut sangat terasa manfaatnya. Belum lagi bila apoteker memberikan informasi efek samping dan interaksi obat. Sesungguhnya informasi tentang penggunaan obat sangat dibutuhkan masyarakat Pasien akan merasakan manfaat obat yang diberikan apoteker dalam mempercepat kesembuhannya. Di sisi lain apoteker mulai dikenal dan diingat pasien karena manfaat positif nasehat yang diberikan apoteker. Kalau masyarakat sudah merasa manfaatnya berhubungan langsung dengan apoteker, masyarakat akan addicted kepada apoteker sehinga kalau ke apotek mereka akan ke apotek yang ada apotekernya yang sudah ia kenal. Sehingga apoteker menjadi masyhur dan punya “umat” sebagaimana dokter punya “umat”. Semua itu terjadi karena apoteker punya kontribusi positip terhadap perkembangan kesehatan masyarakat dan keluarga. Dan itu dapat dikembangkan menjadi apoteker keluarga, apalagi dalam pelayanan kefarmasian ada istilah apoteker homecare. Jika apoteker hanya meneruskan kebiasaan lama, apotik dibuka tanpa ada apoteker yang melayani pasien, apoteker hanya menyerahkan STR dan izinnya saja sedang pelayanan di apotek merupakan kegiatan jual beli oleh kasir, niscaya akan ada ancaman terhadap profesi apoteker, yaitu peran apoteker akan tergantikan. Peran apoteker akan tergantikan oleh tenaga lain yang seharihari berada di apotek yang sesungguhnya tidak berwenang melakukan pelayanan kefarmasian. Bila apoteker tak berada di apotek melakukan pelayanan langsung maka sebagian fungsi apoteker untuk menyimpan dan menyerahkan juga akan diminta oleh profesi dokter yang juga meminta hak untuk menyimpan
Edisi XXX Januari - April 2018
dan menyerahkan obat. Mereka tidak berwenang sebenarnya, namun seandainya apoteker tidak praktek di apotek , mereka merasa lebih berhak karena merupakan tenaga kesehatan yang sehari-hari praktek. Peran apoteker bisa tak tergantikan bila melakukan praktik profesi berkomunikasi langsung dengan pasien, sebagaimana peran dokter tak pernah tergantikan karena bertatap muka dengan pasien ketika melakukan diagnose dan menulis resep. Dan tidak juga tergantikan oleh teknologi digital farmasi yang banyak melenyapkan beberapa profesi lain selama apoteker praktik langsung di apotek. Karena itu sangat berbahaya kalau praktik apoteker bertanggung jawab tidak kita gelorakan dan tidak kita gemakan. Pilar utama tentang praktik apoteker bertanggung jawab ini sangat penting, karena kalau pilar ini runtuh tidak akan ada lagi profesi apoteker di Indonesia karena tergantikan. Perlu saya nyatakan apoteker yang tidak melakukan praktik langsung di apotek, hanya menjadi apoteker penampakan, hanya ijazahnya saja yang terpampang di apotek sesungguhnya merusak citra apoteker, against soul of pharmacy . Mereka itu hanya lulusan apoteker tapi pada dasarnya bukan apoteker karena secara substansi tidak melakukan pelayanan langsung ke masyarakat. Jika masih ada apoteker demikian saya usul agar mereka mencari mencari pekerjaan lain saja. Dalam kepengurusan kita jabarkan siapa saja yang patut untuk menjadikan praktek apoteker, dalam bidang apoteker bertanggung jawab. Berkaitan dengan hal tersebut, kita mengharapkan ada sistem akreditasi apotek sehingga apotek tersebut memiliki dan menjalankan standar-standar, sebagaimana puskesmas dan industri apotek memiliki standarstandar yang dijalankan. Walau saat ini masih jauh dari harapan tapi hal tersebut sudah kita canangkan dan sudah ada capaian-capaian seperti peraturan organisasi mengenai papani-sasi praktek apoteker dan jas praktek apoteker. Capaian itu kini telah diakomodasi dalam Permenkes. Agar kompetensi apoteker bertambah, organisasi juga memiliki Bidang CPD. Apoteker bisa melaku-
WAWANCARA kan praktek bertanggung jawab bila kompetensi pengetahuannya bertambah. Cara menambah pengetahuan ada bermacam-macam caranya, di antaranya lewat CPD on line. Hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2016, tapi karena menggunakan fasilitas pihak ke tiga sejawat harus mengeluarkan biaya yang terasa berat. Tapi sejak tahun 1918 IAI bekerja sama dengan pembuat aplikasi m-Clinica dan cyber Korea, sehingga untuk selanjutnya CPD on line dapat kita laksanakan tanpa mengeluarkan biaya sama sekali sehingga meringankan anggota. Dalam hal resertifikasi untuk memperbarui Sertifikat Kompetensi, kita mengikuti pedoman yg telah diterbitkan KFN yang menggunakan portofolio. Bagi yang tidak bisa mengikuti sistim ini seperti halnya apoteker yang selama ini tidak praktek dan ingin melaksanakan praktik kefarmasian kita fasilitasi lewat program OSCE yang prosentasinya hanya 5% dari seluruh apoteker yang memperoleh sertifikat kompetensi. PILAR 2, Pilar ini menyangkut Kualitas organisasi Sudahkah IAI dicintai apoteker? Kalau melihat lambang IAI apakah yg tertanam dibenak sejawat apoteker? Apakah tentang kemudahan, kesuksesan, keruwetan, kesulitan atau ada yang lain? Malangnya, sebagian apoteker mengatakan sulit bila berurusan dg IAI, khususnya bila meminta surat rekomendasi. Hal ini terjadi karena masih ada pengurus cabang yang tidak melayani anggota dengan baik. Padahal peraturan organisasi tentang pemberian rekomendasi yang dikeluarkan PP IAI mengatur jelas persyaratannya hanya legalitas formal saja dan dibatasi paling lama 1 minggu sudah selesai dengan biaya paling tinggi seratus ribu rupiah. Sayangnya masih ada pengurus cabang mempersulit anggota dan tidak menjalani peraturan organisasi. Saya tegaskan saya akan memerangi mereka yg mempersulit anggota. Perlu disadari pemilik IAI itu bukan pengurus tetapi anggota, pengurus itu adalah pelayan anggota. Ketua umum IAI adalah pelayan atau jongosnya anggota. SeharusnyaIAI itu bermanfaat untuk kemudahan menjalankan profesi dan mendapat tambahan ilmu. Untuk meningkatkan kualitas
organisasi, jika diperlukan dapat dibuat rekomendasi sistim on line agar anggota IAI mudah meminta rekomendasi ke pengurus cabang. Urusan anggota ke IAI harus dipermudah agar IAI dicintai anggotanya. Jika ini tidak dilakukan, IAI akan ditinggalkan anggotanya.Malah bisa-bisa anggota mendirikan IAI baru yang menurut mereka lebih modern dan dinamis. Jangan sampai anggota tidak puas sehingga IAI akan pecah seperti yang pernah terjadi pada beberapa ikatan profesi. Pilar ke tiga adalah Branding Apoteker karena apoteker tidak dikenal masyarakat. Kondisi ini disebabkan masyarakat belum mendapat manfaat yg cukup dan tidak terkesan atas pelayanan apoteker sebagai tenaga kesehatan karena dianggap tidak ada kontribusinya. Prof. Hasbullah Thabrani dalam suatu acara rakernas di IAI pernah menyatakan, mainstream apoteker praktek tak dikenal. Malangnya apoteker malah dikenal sebagai pembantu penjual obat. Lagi pula masyarakat tidak bisa membedakan mana apoteker dan mana asisten apoteker. Untuk itu IAI melakukan branding apoteker : melakukan promosi, marketing, sosial marketing, dan positioning agar apoteker lebih dikenal masyarakat. Namun sarana branding terbaik adalah apoteker praktek bertanggung jawab yang membuat masyarakat terkesan dengan peran dan manfaatnya bagi kesehatan mereka. Tujuannya agar apoteker di Indonesia sejajar dengan apoteker di USA atau Eropa, yang menurut masyarakat di sana apoteker merupakan profesi yang paling dipercaya.. Pilar ke 4 adalah meningkatkan kualitas calon-calon lulusan apoteker. Dalam hal ini IAI bukan mengintervensi tapi berkolaborasi dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) agar kita memperoleh lulusan yang berkualitas tinggi. Lewat proses yang semula difasilitasi program HPEQ ( Health Professional Education Quality, kita bekerja-sama dengan perguruan tinggi menyusun naskah akademik Pendidikan Apoteker. Juga telah dirancang uji kompetensi untuk menguji calon apoteker. Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) kini menjadi change
driven untuk kurikulum dan telah bersifat sumatif (syarat kelulusan) bagi calon apoteker sejak 30 Januari 2017. Setiap soal dalam uji kompetensi tersebut berkhidmat kepada Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Ujian dilaksanakan dengan metode CBT (Computer Base Test) dengan 10 station di tambah 1 station istirahat. Saat ini OSCE untuk calon apoteker baru sedang diuji coba dan akan bersifat sumatif pula pada tahun 2020. Selain itu IAI mendorong pemerintah agar apoteker baru dapat mengikuti program internship sebagaimana yang telah diberlakukan bagi lulusan Fakultas Kedokteran. Saat ini, lewat Kolegium Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI) yang bekerjasama dengan perguruan tinggi Farmasi kita sedang merancang program Spesialis Farmasi Klinik. Di samping itu dijajaki juga program advanced pharmacy. Pilar ke 5 adalah perundangundangan dimana didalamnya ada advokasi dan perlindungan bagi anggota IAI dalam menjalankan praktik kefarmasian. Setelah terjadi kasus vaksin palsu terasa negara sebesar ini tidak memiliki UU Kefarmasian padahal farmasi merupakan unsur ketahanan bangsa. Kita berusaha untuk lahirnya UU Kefarmasian, dan pada tahun 2017 sebenarnya sudah masuk prolegnas Dalam perkembangannya Depkes mengajukan UU Sediaan farmasi dan BPOM mengajukan pula UU Pengawasan obat dan Makanan. Dan tampaknya karena lebih urgen UU yang diajukan BPOM yang akan dibahas DPR lebih dahulu. Apa yang diuraikan di atas yang saya sebut sistem, beserta program yang sudah dirintis dapat diteruskan oleh pengurus selanjutnya, siapapun yang akan terpilih. Jangan sampai seperti yang biasa terjadi pada setiap pergantian kepengurusan, cenderung membuat visi dan misi baru yang tidak jelas , tidak melanjutkan apa yang dikerjakan pengurus sebelumnya dan cenderung seperti pom bensin, mulai dari nol. Sistem yang sudah ada bila dilanjutkan akan memberi memberi manfat bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya untuk apoteker saja.n
Edisi XXX Januari - April 2018
25
BERITA Foto: Azril Kimin
Belakangan ini, banyak pelaku industri farmasi mempelajari buku Sistem Jaminan Halal, buku panduan untuk memperoleh sertifikat halal yang diterbitkan LPPOM MUI. Dubes Italia di Seminar Halal Italian Trade Agency
Menuju Era Obat bersertifikat Halal
T
erpukulnya dua industri farmasi di tanah air karena produk andalannya terendus DNA babi oleh BPOM, sehingga ditarik dari peredaran akhir Januari 2018 (enzyplex dan Viostin DS), dan disusul 12 produk lagi sebulan kemudian (Excelase E, Gasflat, Enzymfort, Bernozym, Tripanzym, Elsazym, Decazym, Primperan Compositum, Enzycomb, Vitazym, Librozym, dan Flazymec), membuat banyak pelaku industri farmasi di tanah air gamang dan mulai menyikapi masalah kehalalan produk lebih serius kalau tidak ingin kehilangan pangsa pasar di tanah air. Apalagi sertifikat halal untuk obat yang saat ini masih bersifat sukarela akan bersifat keharusan saat Undang Undang Jaminan Produk halal diterapkan tahun 2019 nanti. Banyak spekulasi yang muncul mengapa produk-produk yang ditarik dari peredaran di atas terlacak DNA babi, padahal pada awal berproduksi mereka telah memeriksakan sample bahan bakunya ke LPPOM MUI dan juga menyatakan produk mereka tidak mengandung unsur babi saat mengajukan permintaan izin edar ke BPOM. Kuat dugaan, setelah bertahuntahun berproduksi, karena terhentinya kontinuitas pasokan bahan baku dari
26
pemasok, dan untuk menghindari kekosongan produk di pasar, pabrik terkait membeli bahan baku dari pemasok baru. Malangnya, walau spesifikasi farmakope bahan baku terpenuhi, bahan baku dari pemasok baru tersebut tercemar barang yang diharamkan. Kejadian tersebut akan sulit terjadi jika Sistem Manajemen Halal sudah diterapkan pada pabrik terkait. Pabrik yang telah menerapkan Sistem Jaminan Halal akan sangat berhati-hati mengganti sumber bahan baku karena prosedur penggantian pemasok sangat ketat, seperti meminta persetujuan terlebih dahulu kepada otoritas pemberi sertifikat halal untuk memastikan bahan baku pengganti tersebut tidak diragukan kehalalannya . Keharusan obat berlabel halal Minat untuk memproduksi produk yang bersertifikat halal kini juga menguat dikalangan sebagian pabrik farmasi, mengingat tenggat waktu berlakunya UU No. 33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal sudah semakin dekat. Pasal 67 dari UU tersebut menyebutkan kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia (termasuk obat)
Edisi XXX Januari - April 2018
mulai berlaku 5 tahun terhitung sejak UU ini diundangkan (UU tersebut diundangkan 17 Oktober 2014). Pihak industri makanan dan obat di luar negeri seperti dari AS, Eropa, Jepang dan Korea juga memantau perkembangan menjelang dilaksanakannya UU Jaminan Produk halal . Kamar Dagang negara asing yang difasilitasi masing- masing kedutaannya, sudah banyak yang berkunjung ke Indonesia untuk menjalin kerja-sama dengan otoritas halal dan industri halal di tanah air, yang menyiratkan bahwa ada peluang besar pasar yang dilihat mereka: pasar produk halal, yang dari waktu ke waktu semakin besar. Italian Trade Agency misalnya, bersama Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyelenggarakan Seminar Halal yang diadakan di Jakarta, 8 Pebruari 2018. Seminar yang dihadiri Dubes Italia Vittorio Sandali tersebut juga mendengarkan presentasi dari Ka. BPOM Penny Lukito tentang Penyelenggaraan Keamanan Pangan secara Holistik , dan Kepala BPJPH Prof. Sukoso tentang Persyaratan dan Regulasi Produk Halal dan langkahlangkah yang akan dilakukan BPJPH menjelang dilaksanakannya UU Jaminan Produk Halal.
BERITA Siklus penerbitan Sertifikat Halal dapat dilihat dari gambar di bawah: Business/ Company
Halal Audit Institution (LPH)
3 1
2
4
5 MUI (Ulama Council)
Halal Products Assurance Agency (BPJPH)
6
7
Turut berbicara di seminar tersebut Annamaria Tiozo, Presiden WHAD world halal development yang bermarkas di Roma. WHAD adalah pemberi sertifikat halal resmi yang pertama di Italia (berdiri Desember 2007). Menurut Annamaria, di Italia sudah banyak produsen dan bahan baku yang bersertifikat halal. PERKEMBaNgaN UU PRODUK haLaL Fasal 4 UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal berbunyi : Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan diwilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Pengertian produk berdasarkan Ketentuan Umum UU ini (Bab I ayat1) berbunyi: Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik,produk kimiawi, produk biologi,produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada 3 perangkat yang akan terlibat dalam pemberian sertifikat halal kelak, yakni BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal dan Majelis Ulama Indonesia. BPJPh BPJPH (Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal) saat ini telah terbentuk. BPJPH masuk ke dalam struktur
1. Perusahaan membuat permohonan untuk mendapatkan sertifikat Halal ke BPJPH 2. BPJPH menunjuk LPH untuk mengaudit perusahaan 3. LPH mengaudit perusahaan 4. LPH memberikan laporan ke BPJPH 5. BPJPH menanyakan hasil kepada MUI 6. MUI menerbitkan Fatwa Halal ke BPJPH 7. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal dan Label kepada Perusahaan
Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Kemenag. Sebagai Kepala BPJPH telah ditunjuk Prof. Sukoso yang sebelumnya Direktur Halal Science Center Universitas Brawijaya. Dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH memiliki 10 wewenang, yakni 1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH (Jaminan Produk Halal. 2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH. 3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk. 4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri. 5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal. 6. melakukan akreditasi terhadap LPH. 7. Melakukan registrasi Auditor Halal. 8. Melakukan pengawasan terhadap JPH. 9. Melakukan pembinaan Auditor Halal. dan 10. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH. Walau sudah terbentuk, BPJPH saat ini tampaknya belum bisa menjalankan penuh wewenangnya , mengingat belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang menjadi turunan dari UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. RPP atau Rencana peraturan Pemerintah saat ini sudah memasuki
tahap pembahasan lintas kementerian dan lembaga terkait. Pemerintah tampaknya sangat berhati-hati menyusun Rencana PP tersebut. Lambatnya PP tersebut dikeluarkan karena pemerintah menginginkan PP harus bersih dari berbagai persoalan, baik teknis maupun substansi, dan tidak menimbulkan masalah pada saat diterapkan, serta tidak merugikan banyak pihak. Salah satu masalah yang dianggap krusial adalah bagaimana mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang memang mengandung barang haram seperti bunyi Pasal 26 ayat 1 dari UU tersebut: Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal. (2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk. Masalah krusial lain terkait dengan first saving drug, obat obat yang keberadaannya diperlukan bagi kelangsungan hidup pasien, apakah akan mendapat perkecualian mengingat akan banyak kasus penolakan pasien atau keluarga pasien bila tercantum pernyataan tidak halal pada obat tersebut. Sementara menunggu PP turun, BPJPH bersama Lembaga Studi Halal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini menggodok konsep ketentuan tentang Sistem Jaminan Halal, label halal, biaya dan sertifikat halal, Daftar Bahan Tidak Kritis (Haram Positip list), lembaga pemeriksa halal, auditor halal, sanksi, kerjasama, sistem keuangan, dan peran serta masyarakat. Masih menjadi pertanyaan apakah sistem yang akan dilaksanakan nanti memakai rujukan sistem yang sudah lama diterapkan di LPPOM MUI yang selama ini sudah mengeluarkan sertifikat halal yang bersifat voluntary. Hal segera yang juga mesti dilakukan BPJPH setelah PP turun adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Edisi XXX Januari - April 2018
27
BERITA Pemeriksa Halal, memproduksi auditor halal yang dibentuk setelah Peraturan Pemerintah terbit agar bisa melakukan audit terhadap pemohon sertifikat halal. Lembaga Pemeriksa Halal LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk. Dengan diberlakukannya UU produk halal kelak, LPPOM yang selama ini berperan sentral dalam penerbitan sertifikat halal akan tereduksi perannya menjadi Lembaga Pemeriksa Halal saja. Lembaga Pemeriksa Halal baru tampaknya banyak yang akan berdiri. Pasal 12 UU No. 33 tahun 2014 menyebutkan.: Pemerintah dan masyarakat dapat membentuk LPH. Dalam hal LPH didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaanIslam berbadan hukum. Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud Persyaratan untuk mendirikan LPH sebagai berikut: a. Memiliki kantor sendiri danperlengkapannya; b. Memiliki akreditasi dari BPJPH; c. Memiliki Auditor Halal palingsedikit 3 (tiga) orang; dan d. Memiliki laboratorium ataukesepakatan kerja sama denganlembaga lain yang memilikilaboratorium Menurut pengamatan Medisina, banyak universitas di tanah air kini bersiap-siap mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal dengan mengandeng lembaga keagamaan. Tak kurang dari 20 calon LPH kini siap beroperasi begitu permohonan mereka menjadi LPH disetujui. LPH baru tersebut akan bersaing dengan LPH ex LPPOM yang memiliki banyak cabang di seluruh tanah air dan telah memiliki 1500 auditor halal. Dalam menata diri menjelang dilaksanakannya UU no 33 tahun 2014, LPPOM MUI telah memiliki sertifikat Akreditasi SNI ISO/IEC 17025:2008 untuk Laboratorium Halal dan SNI ISO/ IEC 17065: 2012 dan DPLS 21 untuk Lembaga Sertifikasi Halal dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) n Azril Kimin
28
Edisi XXX Januari - April 2018
UI Halal Center
P
usat Studi Halal kini bermunculan di banyak kampus terkemuka tanah air. Salah satunya adalah UI Halal Center yang berlokasi di Kampus UI Depok. Lembaga Halal dari Universitas Indonesia ini merupakan gabungan dari beberapa Pusat Studi Halal dari beberapa fakultas di UI yang sudah ada sebelumnya. Sebagai Kepala Laboratorium UI Halal Center (ex Pusat Studi Halal Fakultas Farmasi UI) adalah Profesor Dr. Prof. Dr. Amarila Malik MSi. Apt Amarila Malik MSi. Apt, yang juga guru besar Bioteknologi Fakultas Farmasi UI. Kepada Medisina Prof. Amarila menyatakan, UI Halal Center insya Allah siap melakukan kegiatan layanan uji produk, konsultasi dan advokasi jasa halal, edukasi produk halal serta pelatihan uji halal kepada masyarakat dan pengusaha/industri, berpartisipasi dalam pengembangan industri halal, serta program-program pemberdayaan konsumen maupun produsen produk dan jasa halal lainnya. Menurut Prof. Amarila, UI Halal Center siap membantu pemerintah dalam mempersiapkan pelaksanaan UU No. 33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Saat ini UI Halal Center beserta Pusat Studi Halal dari IPB, ITB, Unibraw (UB), UGM, Unair (UA), ITS, Undip, Yarsi, Untad, Unma, Untan, telah dilibatkan oleh BPPJH sejak Oktober 2017 untuk mengkaji dan mempersiapkan kurikulum auditor dan sertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal agar sertifikasi halal nanti bisa diperoleh dengan lebih cepat, murah, tidak menyulitkan masyarakat dan tak merepotkan produsen produk halal. UI Halal Center juga akan membentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sesuai UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, untuk memeriksa kehalalan produk, khususnya produk farmasi. Laboratorium dan kantor UI Halal Center berlokasi di gedung Integrated Laboratory Research Center dan di Fakultas Farmasi di Kampus UI Depok. Berkaitan dengan hal ini UI Halal Center kini bekerja-sama dengan The Management & Science University (MSU) sebuah universitas di Malaysia yang memiliki The International Centre of Halal Studies (IcHlaS), yang berpengalaman memeriksa dan meneliti kehalalan produk di Malaysia. Kerja-sama dua Pusat Studi halal antar negara ini niscaya akan berjalan mulus mengingat Ketua Halal Centre MSU dari Malaysia itu merupakan alumni Fakultas farmasi UI, yang juga menjabat Dekan Fakultas Farmasi MSU, Prof. Dr. Eddy Yusuf, MSc. Selain itu UI Halal Center juga sedang dalam proses kerjasama dengan Universitas Matla'ul Anwar, Pandeglang, Banten dalam pembinaan UMKM sadar halal, dan bekerja sama dengan Perhimpunan Al Irsyad. Sebagaimana dikandung dalam UU Jaminan Produk Halal, kerja-sama dengan lembaga keagamaan juga disarankan bagi institusi yang akan mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal. n AK
BERITA
Foto: Azril Kimin
Tiga hari sebelum tahun 2017 berakhir, pada Kamis 28 Desember, Universitas Airlangga mengukuhkan tiga guru besar baru dari Fakultas Farmasi. Mereka adalah Prof. Dr. Suharjono, M.S., Apt.; Prof. Dr. Suko Hardjono, M.S., Apt.; dan Prof. Dr. Ahmad Fu’ad, M.S., Apt. Acara pengukuhan dilangsungkan di gedung Garuda Multi, kampus C Unair.
TIGA PROFESOR FARMASI UNAIR DI UJUNG 2017
S
ecara berurutan, mereka merupakan guru besar Fakultas Farmasi yang ke20, 21, dan 22, sekaligus guru besar ke-469, 470, dan 471 yang dihasilkan Universitas Airlangga sejak berdiri pada 1954. Berikut ringkasan orasi dari masing-masing guru besar yang dikukuhkan tersebut.
********
Prof. Dr. Suharjono, M.S. : Guru Besar dalam bidang Ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinik. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Dr. Suharjono membawakan pidato yang berjudul Kajian Polifarmasi Dari Aspek Interaksi, Efektivitas dan Keamanan Obat. Terapi poli farmasi banyak terdapat pada kelompok orang tua dengan penyakit degeneratif seperti diabetes, tekanan darah tinggi, jantung yang disertai
dengan komorbid penyakit lainnya (multi disease), sehingga diperlukan terapi polifarmasi. Polifarmasi dikehendaki dokter penulis resep agar mendapatkan efek sinergisme, aditif, atau untuk mengurangi atau mencegah efek samping dari salah satu obat yang digunakan pasien. Peresepan polifarmasi yang tidak bijak akan menyebabkan kerugian bagi keselamatan pasien dengan munculnya efek samping akibat terjadinya interaksi obat. Makin banyak obat yang digunakan bersama, Edisi XXX Januari - April 2018
29
BERITA makin banyak kemungkinan terjadinya interaksi obat Dikenal 2 type polifarmasi, yaitu minor polifarmasi bila obat yang digunakan bersamaan 2 -4 obat dan mayor polifarmasi bila obat yang digunakan 5 atau lebih. Ada pula yang menggunakan istilah nonpolypharmacy bila obat yang digunakan 5 atau kurang, dan hyperpolypharmacy atau excessive multimedication bila digunakan 10 atau lebih obat. Polypharmacy akan bermanfaat untuk obat yang bersifat aditif/ sinergis kerjanya, mengurangi efek samping salah satu obat, untuk perbaikan kondisi klinik, mengurangi dosis salah satu obat, juga untuk kepatuhan pasien bila obat dalam bentuk satu sediaan obat dan mengurangi biaya obat. Hal tak menyenangkan dari polifarmasi di antaranya munculnya interaksi obat yang bisa merugikan. Faktor resikonya akan meningkat tergantung usia pasien, jenis kelamin, etnik, adanya gangguan fungsi hati serta adanya komorbid penyakit yang dapat meningkatkan resiko interaksi obat, serta faktor jenis obatnya (obat yang memiliki indeks terapi sempit, misalnya). Polifarmasi juga akan menimbulkan resiko ketidak patuhan karena kompleksitas rejimen dosis, kesalahan menggunakan obat, dan biaya obat yang tinggi. Polifarmasi yang efektif adalah bila obat yang digunakan memiliki efek aditif, sinergis dan efek samping minimal atau tidak ada interaksi dari polifarmasi tersebut. Hal tersebut akan memungkinkan dosis masing-masing obat bisa dikurangi, efek samping masing-masing obat bisa dicegah dan memungkinkan obatnya dibuat dalam satu sediaan kombinasi tetap maupun tidak tetap yang akan membantu
30
meningkatkan kepatuhan pasien menggunakan obat. Misalnya FDC (Fixed Dose Combination obat TBC. Polifarmasi harus tetap memperhatikan manfaat untuk patient safety. Adalah tugas seorang farmasi klinik untuk memberikan saran dan kolaborasi yang baik dalam memilih, menyiapkan obat polifarmasi yang terbaik, berkualitas, efektif dan aman bagi pasien. ******** Prof. Dr. Suko Hardjono, M.S., Apt. Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Medisinal. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Dr. Suko Hardjono menyatakan pentingnya kimia medisinal bagi seorang apoteker. Kimia medisinal merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi yang dipergunakan untuk memahami serta menjelaskan mekanisme kerja obat. Kimia medicinal melibatkan isolasi, karakterisasi dan sintesis senyawa yang digunakan dalam bidang kedokteran, untuk mencegah dan mengobati penyakit serta memelihara kesehatan. Ruang lingkup Kimia Medisinal meliputi isolasi senyawa dari alam atau sintesis molekul baru; investigasi hubungan structural senyawa dari alam atau senyawa sintetik dengan aktifitas biologisnya; menjelaskan proses interaksi senyawa dengan reseptor dari berbagai variasi, termasuk enzim dan DNA; menentukan sifat-sifat absorpsi, transportasi, dan distribusi senyawa obat; studi perubahan transformik metabolik, ekskresi dan toksisitas dari senyawa obat; serta studi rancangan obat yang rasional
Edisi XXX Januari - April 2018
******** Prof. Dr. Achmad Fu’ad, M.S., Apt. Guru Besar dalam bidang Ilmu Biologi Farmasi. Dalam orasinya Prof. Achmad Fu’ad menyebut perkembangan di bidang sains dan teknologi yang mendukung penemuan obat baru yang berasal dari tanaman. Saat ini perkembangan sains dan teknologi yang mendukung penemuan obat baru dari tanaman sudah demikian mengemuka. Bahan obat alami selain diperoleh dari tanaman yang hingga kini mendominasi dalam kuantitas dan frekuensi riset yang telah dilakukan, juga diperoleh dari mikroba dan biota laut. Mikroorganisme sebagai sumber bahan alami menunjukkan peran yang penting dalam penemuan bahan obat alami karena mampu menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak hanya unik sifat biokimia dan strukturnya, tetapi juga menunjukkan mode aksi baru yang mampu mendorong ke arah pengembangan obat generasi baru. Sebagai tindakan lanjut setelah didapatkannya senyawa obat baru yang bersumber dari bahan obat alami. Dilakukanlah berbagai uji bioaktivitas berawal dari in vitro, in vivo serta uji klinis untuk sampai pada keputusan bahwa penemuan telah mencapai tahap pemanfaatan terapi untuk masuk ke skala industri. Metode riset yang terkesan klasik tetapi masih relevan saat ini adalah metode “bioactivity guided fractionation/ isolation”, dimana pada setiap tahap sejak ekstraksi, fraksi, sub-fraksi hingga senyawa hasil isolasi harus lulus uji bioaktifitas yang dikehendaki. nAK
BERITA
pmk no 7 tahun 2018 Tentang perubahan penggolongan Narkotika Pada 9 Maret 2018, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengundangkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 7 tahun 2018 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya PMK ini ialah terdapatnya peningkatan penyalahgunaan zat psikoaktif yang memiliki potensi sangat tinggi, mengakibatkan ketergantungan dan membahayakan kesehatan masyarakat yang belum termasuk dalam golongan narkotika terdahulu. Dibandingkan PMK No.2 tahun 2017, PMK No. 7 tahun 2018 memasukkan 147 nama dalam Daftar Narkotika Golongan I (PMK sebelumnya hanya memuat 114 nama) Berikut adalah Narkotika dan penggolongannya yang terdapat pada Lampiran PMK No. 7 tahun 2018. DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I 1. 2.
3.
4. 5.
6.
7. 8.
9. 10. 11. 12.
Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan sekedarnya untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. Opium masak terdiri dari : a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya ASETORFINA: 3-O-Asetiltetrahidro7α-(1-hidroksi-1- metilbutil)-6,14-endoetenooripavina ASETIL-ALFAMETILFENTANIL: N-[1(α-Metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida
13.
ALFA-METILFENTANIL: N-[1(αMetilfenetil)-4-piperidil] propionanilida 14. ALFAMETILTIOFENTANIL : N-[1]1-Metil-2-(2-tienil)etil]-4- piperidil] propionanilida 15. BETAHIDROKSIFENTANIL: N-[1-(betaHidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida 16. BETA-HIDROKSI-3- METIL-FENTANIL : N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-3-metil-4piperidil]propionanilida 17. DESOMORFINA : Dihidrodesoksimorfina 18. ETORFINA : Tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1metilbutil)-6,14-endo-etenooripavina 19. HEROINA : Diasetilmorfina 20. KETOBEMIDONA : 4-Meta-hidroksifenil-1-metil-4- propionilpiperidina 21. 3-METILFENTANIL : N-(3-Metil-1fenetil-4-piperidil) propionanilida 22. 3-METILTIOFENTANIL : N-[3-Metil-1[2-(2-tienil)etil]-4- piperidil] propionanilida 23. MPPP : 1-Metil-4-fenil-4piperidinolpropianat (ester) 24. PARA-FLUOROFENTANIL: 4‘-Fluoro-N(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida 25. PEPAP : 1-Fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester) 26. TIOFENTANIL : N-[1-[2-(2-Tienil)etil]-4piperidil] propionanilida 27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : (±)-4-Bromo-2,5-dimetoksi-αmetilfenetilamina 28. DET : 3-[2-(Dietilamino )etil] indol 29. DMA : (+)-2,5-Dimetoksi-αmetilfenetilamina 30. DMHP : 3-(1,2-Dimetilheptil) -7,8,9,10tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-dibenzo [b,d] piran-1-ol 31. DMT : 3-[2-(Dimetilamino)etil]indol 32. DOET: (±)-4-Etil-2,5-dimetoksi- α metilfenetilamina 33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-Etil1-fenilsikloheksilamina 34. ETRIPTAMINA : 3-(2-Aminobutil) indol 35. KATINONA : (-)-(S)-2-Aminopropiofenon 36. (+)-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-Didehidro-N,N-dietil-6metilergolina-8β-karboksamida 37. MDMA : (±)-N,α-Dimetil-3,4(metilendioksi) fenetilamina 38. MESKALINA: 3,4,5-Trimetoksifenetilamina 39. METKATINONA: 2-(Metilamino)1-fenilpropan-1-on 40. 4- METILAMINOREKS : (±)-sis-
2-Amino-4-metil-5-fenil-2- oksazolina MMDA : 5-Metoksi-α-metil-3,4(metilendioksi) fenetilamina 42. N-ETIL MDA : (±)-N-Etil- α-metil-3,4(metilendioksi) fenetilamina 43. N-HIDROKSI MDA : (±)-N-[α-Metil-3,4(metilendioksi) fenetil]hidroksilamina 44. PARAHEKSIL : 3-Heksil-7,8,9,10tetrahidro-6,6,9- trimetil-6H-dibenzo[b,d] piran-1-ol 45. PMA : p-Metoksi-α–metilfenetilamina 46. PSILOSINA, PSILOTSIN : 3-[2-(Dimetilamino)etil]indol-4-ol 47. PSILOSIBINA : 3-[2-(Dimetilamino)etil] indol-4-il dihidrogen fosfat 48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP, PCPY: 1-(1-Fenilsikloheksil)pirolidina 49. STP, DOM: 2,5-Dimetoksi-α,4dimetilfenetilamina 50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α-Metil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina 51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1- [1-(2-Tienil) sikloheksil]piperidina 52. TMA : (±)-3,4,5-Trimetoksi-α– metilfenetilamina 53. AMFETAMINA:(±)-α-Metilfenetilamina 54. DEKSAMFETAMINA : (+)-α-Metilfenetilamina 55. FENETILINA : 7-[2-[(α- Metilfenetil) amino]etil]teofilina 56. FENMETRAZINA:3-Metil-2-fenilmorfolin 57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-(1-Fenilsikloheksil)piperidina 58. LEVAMFETAMINA : (-)-(R)-αMetilfenetilamina 59. LEVOMETAMFETAMINA : (-)-N,αDimetilfenetilamina 60. MEKLOKUALON : 3-(o-klorofenil)-2metil-4(3H)- kuinazolinon 61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N,α– Dimetilfenetilamina 62. METAKUALON : 2-Metil-3-o-tolil-4(3H)kuinazolinon 63. ZIPEPROL : α-(α-Metoksibenzil)-4-(βmetoksifenetil)-1-piperazinetanol 64. Sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan Narkotika 65. 5-APB : 1-(1-Benzofuran-5-il)propan-2amina 66. 6-APB : 1-(1-Benzofuran-6-il)propan-2amina 67. 25B-NBOMe : 2-(4-Bromo-2,5-dimetoksi fenil)-N-[(2- metoksifenil)metil]etanamina 68. 2-CB : 2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil) 41.
Edisi XXX Januari - April 2018
31
BERITA etanamina 69. 25C-NBOMe, nama lain 2C-C-NBOMe : 2-(4-Kloro-2,5-dimetoksifenil)-N-[(2metoksifenil)metil]etanamina 70. DIMETILAMFETAMINA, nama lain DMA 71. DOC : 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksifenil) propan- 2-amina 72. ETKATINONA, nama lain N-etilkatinona : 2-(Etilamino)-1-fenilpropan-1-on 73. JWH-018 : Naftalen-1-il(1-pentil-1Hindol-3- il)metanona 74. MDPV, nama lain 3,4- METILENDIOKSI PIROVA LERON : (R/S)-1-(Benzo[d][1,3] dioksol-5-il)-2- (pirrolidin-1-il)pentan-1- on 75. MEFEDRON, nama lain 4-MMC: (RS)-2Metilamino-1-(4-metilfenil) propan-1-on 76. METILON, nama lain MDMC: (RS)-2Metilamino-1-(3,4- metilendioksifenil) propan-1-on 77. 4-METILETKATINONA, nama lain 4-MEC : (R/S)-2-Etilamino-1-(4-metilfenil) propan-1-on 78. MPHP : 1-(4-Metilfenil)-2-(pirrolidin-1-il) heksan-1-on 79. 25I-NBOMe, nama lain 2C-I-NBOMe: 2-(4-Iodo-2,5-dimetoksifenil) -N-(2metoksibenzil)etanamina 80. PENTEDRON : (±)-2-(Metilamino)-1fenilpentan-1-on 81. PMMA; pMETOKSIMETAMFETAMI NA, nama lain PARAMETOKSIMETILAMFETA MIN, 4-MMA : 1-(4-Metoksifenil) -N-metil-2- propanamina 82. XLR-11, nama lain 5-FLUORO-UR-144 : (1-(5-Fluoropentil)-1H-indol-3- il)2,2,3,3tetrametilsiklopropil)- metanona 83. 5-FLUORO AKB 48, nama lain 5F-APINACA : N-(Adamantan-1-il)-1-(5fluoropentil)- 1H-indazol-3-karboksamida 84. MAM-2201 : [1-(5-Fluoropentil)-1Hindol-3-il](4- metilnaftalen-1-il)-metanona 85. FUB-144, nama lain FUB-UR-144: (1-(4-Fluorobenzil)-1H-indol-3-il(2,2,3,3tetrametilsiklopropil) metanona 86. AB-CHMINACA : N-[(1S)-1(Aminokarbonil)-2- metilpropil]1-(sikloheksilmetil)-1Hindazol-3karboksamida 87. AB-FUBINACA : N-(1-Amino-3-metil1-oksobutan-2- il)-1-(4-fluorobenzil)-1Hindazol-3- karboksamida 88. FUB-AMB, nama lain AMBFUBINACA : Metil 2-({1-[(4-fluorofenil) metil]1Hindazol-3-karbonil} amino)-3metilbutanoat 89. AB-PINACA : N-(1-Amino-3-metil-1oksobutan-2- il)-1-pentil-1H-indazol-3karboksamida 90. THJ-2201 : [1-(5-Fluoropentil)-1Hindazol-3-il] (naftalen-1-il) metanona 91. THJ-018 : 1-Naftalenil(1-pentil-1Hindazol-3-il) metanona 92. MAB-CHMINACA, nama lain ADBCHMINACA : N-(1-Amino3,3-dimetil-1-oksobutan- 2-il)1-(sikloheksilmetil)-1H-indazol3-karboksamida 93. ADB-FUBINACA : N-(1-Amino3,3-dimetil-1-oksobutan- 2-il)-1-(4-
32
fluorobenzil)-1H-indazol-3- karboksamida 94. MDMB-CHMICA, nama lain MMBCHMINACA : Metil 2-{[1(sikloheksilmetil)indol-3- karbonil] amino}-3,3- dimetilbutanoat 95. 5-FLUORO-ADB: Metil 2-{[1-(5-fluoropentil)-1Hindazol-3karbonil]amino}-3,3- dimetilbutanoat 96. AKB-48, nama lain APINACA: N-(Adamantan-1-il)-1-pentil-1Hindazol-3karboksamida 97. 4-APB : 1-(1-Benzofuran-4-il) propan-2amina 98. ETILON, nama lain bk-MDEA, MDEC : (RS)-1-(1,3-Benzodioksol-5-il)-2(etilamino)propan-1-on 99. TFMPP : 1-(3-(Trifluorometil)fenil) piperazin 100. ALFA-METILTRIPTAMINA: 2-(1H-Indol-3-il)-1-metil-etilamina 101. 5-MeO-MiPT : N-[2-(5-Metoksi-1H-indol3-il)etil]-Nmetilpropan-2-amina 102. METOKSETAMINA, nama lain MXE : (RS)2-(3-Metoksifenil)-2-(etilamino) sikloheksanona 103. BUFEDRON, nama lain METILAMINOBUTIROFENON (MABP) : 2-(Metilamino)-1-fenilbutan-1-on 104. 4-KLOROMETKATINONA, nama lain 4-CMC, KLEFEDRON: 1-(4-Klorofenil)2-(metilamino) propan-1-on 105. AH-7921 : 3,4-Dikloro-N-{[1(dimetilamino) sikloheksil]metil}benzamida 106. 4-MTA : 1-[4-(Metilsulfanil)fenil]propan-2amina 107. AM-2201, nama lain JWH-2201 : 1-[(5-Fluoropentil)-1H-indol-3-il](naftalen-1-il)metanona 108. ASETILFENTANIL : N-[1-(2-Feniletil)-4piperidil]-Nfenilasetamida 109. MT-45 : 1-Sikloheksil-4-(1,2-difeniletil) piperazin 110. ALFA-PVP : 1-Fenil-2-(pirrolidin-1-il) pentan-1-on 111. 4,4’-DMAR, nama lain 4,4’- DIMETI LAMINOREKS : 4-Metil-5-(4-metilfenil)4,5-dihidro- 1,3-oksazol-2-amina 112. METAMFETAMINA RASEMAT: (±)-N,α-Dimetilfenetilamina 113. JWH-073 : (1-Butil-1H-indol-3-il)(naftalen1-il)metanona 114. Tanaman KHAT (Catha edulis). 115. JWH-122 : (4-Metilnaftalen-1-il)(1-pentil1H-indol-3- il) metanona 116. 5-KLORO AKB 48, nama lain 5-ClAPINACA : N-(Adamantan-1-il)-1-(5kloropentil)-1H-indazol-3-karboksamida 117. 5-FLUORO-AMB, nama lain 5-FLUOROAMP, 5F-AMB-PINACA : Metil 2-({[1-(5-fluoropentil)-1H-indazol-3-il] karbonil}amino)-3-metilbutanoat 118. SDB-005 : Naftalen-1-il 1-pentil-1Hindazol-3-karboksilat 119. 5-FLUORO-ADBICA : N-(1-Amino-3,3dimetil-1-oksobutan-2-il)-1-(5-fluoropentil)1H-indol-3-karboksamida 120. EMB-FUBINACA :Etil 2-(1- (4-fluorobenzil)1H-indazol-3-karboksamida)-3-metilbutanoat 121. MMB-CHMICA : Metil 2-[[1-(sikloheksilmetil)indol-3-karbonil]
Edisi XXX Januari - April 2018
amino]-3,3-dimetilbutanoat 122. 2C-I, nama lain 4-IODO-2,5-DMPEA : 2-(4-Iodo-2,5-dimetoksifenil)etanamina 123. 2C-C, nama lain 2,5-DIMETOKSI-4 KLOROFENETILAMINA : 2-(4-Kloro2,5-dimetoksifenil)etanamina 124. 2C-H : 2-(2,5-Dimetoksifenil)etanamina 125. PMEA; p-METOKSIETILAMFETAMINA, nama lain PARA-METOKSIETILAMFE TAMINA : N-Etil-1-(4-metoksifenil) propan-2-amina 126. MEXEDRON : 3-Metoksi-2-(metilamino)1-(4-metilfenil)propan-1-on 127. PENTILON, nama lain bk-METIL-K, bk-MBDP : 1-(1,3-Benzodioksol-5-il)-2(metilamino)pentan-1-on 128. EPILON, nama lain N-ETILPENTILON :1-(2H-1,3-Benzodioksol-5-il)-2- (etilamino) pentan-1-on 129. 4-CEC, nama lain 4-KLOROETKATINON :1-(4-Klorofenil) -2-(etilamino) propan-1-on 130. BENZEDRON, nama lain 4-MBC: (±)-1(4-Metilfenil)-2-(benzilamino)propan-1-on 131. U-47700: 3,4-Dikloro-N-[(1R,2R)2-(dimetilamino)sikloheksil]-Nmetilbenzamida 132. METIOPROPAMINA, nama lain MPA 1-(Tiofen-2-il)-2metilaminopropana 133. 4-FLUORO-ALFA-PVP,nama lain 4-FLUORO-PVP: 1-(4-Fluorofenil)-2(pirrolidin-1-il)pentan-1-on 134. 4-KLORO-ALFA-PVP: 1-(4-Klorofenil)2(pirrolidin-1-il)pentan-1-on 135. 4-BROMO-ALFA-PVP: 1-(4-Bromofenil)-2 (pirrolidin-1-il)pentan-1-on 136. N-ETILHEKSEDRON, nama lain HEXEN: 2-(Etilamino)-1-fenilheksan-1- on 137. PB-22: Quinolin-8-il-1-pentil-1H-indol-3138. 5-FLUORO-PB-22,nama lain 5F-PB-22, QUPIC: Quinolin-8-il-1-(5-fluoropentil)1H- indol-3-karboksilat 139. FDU-PB-22:1-Naftil-1-(4-fluorobenzil)-1Hindol-3-karboksilat 140. FUB-PB-22:Quinolin-8-il-1-(4-fluorobenzil)141. Tanaman KHAT (Catha edulis) 142. Tanaman Banisteriopsis caapi dan Psychotria viridis, nama lain AYAHUASCA 143. Tanaman Mimosa Tenuiflora 144. BUTIRFENTANIL, nama lain BUTIRIL FENTANIL: N-(1-Fenetilpiperidin-4-il)-Nfenilbutiramida 145. KARFENTANIL,nama lain 4-METOKSIKARBONILFENTANIL: Metil1-(2-feniletil)-4- [fenil(propanoil) amino] piperidina- 4-karboksilat 146. KARISOPRODOL, nama lain ISOMEPROBAMAT, SOMA, ISOBAMAT:[2-(Karbamoiloksimetil)-2metilpentil] N-propan-2-ilkarbamat 147. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas. DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II 1. 2. 3.
ALFASETILMETADOL : Alfa-3-asetoksi6-dimetil amino- 4,4difenilheptana ALFAMEPRODINA : Alfa-3-etil-1-metil4-fenil- 4propionoksipiperidina ALFAMETADOL : Alfa-6-dimetilamino4,4-difenil-3- heptanol
BERITA 4.
ALFAPRODINA : Alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4propionoksipiperidina 5. ALFENTANIL : N-[1-[2-(4-etil-4,5dihidro-5-okso-l Htetrazol-1il)etil]4-(metoksimetil)-4- piperidinil]-Nfenilpropanamida 6. ALLILPRODINA : 3-Allil-1-metil-4-fenil-4propionoksipiperidina 7. ANILERIDINA : Asam 1-para-aminofenetil -4- fenilpiperidina)-4-karboksilatetil ester 8. ASETILMETADOL : 3-Asetoksi-6dimetilamino-4,4- difenilheptana 9. BENZETIDIN : Asam 1-(2-benziloksietil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 10. BENZILMORFINA : 3-benzilmorfina 11. BETAMEPRODINA : Beta-3-etil-1-metil-4fenil-4- propionoksipiperidina 12. BETAMETADOL : Beta-6-dimetilamino4,4-difenil-3– heptanol 13. BETAPRODINA: Beta-1,3-dimetil-4-fenil-4propionoksipiperidina 14. BETASETILMETADOL: Beta-3-asetoksi-6dimetilamino-4,4- difenilheptana 15. BEZITRAMIDA : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)4-(2-okso-3-propionil- 1-benzimidazolinil) piperidina 16. DEKSTROMORAMIDA : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4(1-pirolidinil)butil]morfolina 17. DIAMPROMIDA : N-[2-(metilfenetila mino)-propil] propionanilida 18. DIETILTIAMBUTENA : 3-dietilamino-1,1di-(2’-tienil)-1- butena 19. DIFENOKSILAT : asam 1-(3-siano-3,3difenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 20. DIFENOKSIN : Asam 1-(3-siano-3,3difenilpropil)-4- fenilisonipekotik 21. DIHIDROMORFINA 22. DIMEFHEPTANOL : 6-dimetilamino-4,4difenil-3-heptanol 23. DIMENOKSADOL : 2-dimetilaminoetil-1etoksi-1,1- difenilasetat 24. DIMETILTIAMBUTENA : 3-dimetilamino1,1-di-(2’-tienil)-1- butena 25. DIOKSAFETIL BUTIRAT : etil-4morfolino-2, 2-difenilbutirat 26. DIPIPANONA: 4, 4-difenil-6-piperidina-3heptanona 27. DROTEBANOL: 3,4-dimetoksi-17metilmorfinan- 6ß,14-diol 28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina. 29. ETILMETILTIAMBUTENA: 3-Etilmetilamino-1,1-di-(2’-tienil)-1- butena 30. ETOKSERIDINA : Asam 1-[2(2-Hidroksietoksi)-etil]-4- fenilpiperidina-4karboksilat etil ester 31. ETONITAZENA : 1-Dietilaminoetil-2paraetoksibenzil-5-nitrobenzimedazol 32. FURETIDINA : Asam 1-(2- Tetrahidro furfuriloksietil)-4- fenilpiperidina-4karboksilat etil ester) 33. HIDROKODONA : Dihidrokodeinona 34. HIDROKSIPETIDINA : Asam 4-Metahidroksifenil-1- metilpiperidina-4-karboksilat etil ester 35. HIDROMORFINOL:14-Hidroksidihidromorfina 36. HIDROMORFONA : Dihidrimorfinona 37. ISOMETADONA : 6-Dimetilamino-5metil-4, 4-difenil- 3-heksanona
38. FENADOKSONA: 6-Morfolino-4,4difenil-3-heptanona 39. FENAMPROMIDA : N-(1-metil-2piperidinoetil) propionanilida 40. FENAZOSINA : 2’-Hidroksi-5,9-dimetil2-fenetil-6,7- benzomorfan 41. FENOMORFAN : 3-Hidroksi-N– fenetilmorfinan 42. FENOPERIDINA : Asam 1-(3-Hidroksi-3fenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 43. FENTANIL : 1-Fenetil-4-Npropionilanilino piperidina 44. KLONITAZENA : 2-(Para-klorbenzil)-1dietilaminoetil- 5-nitrobenzimidazol 45. KODOKSIMA : Dihidrokodeinona-6karboksimetiloksima 46. LEVOFENASILMORFAN : (-)-3-Hidroksi-N-fenasilmorfinan 47. LEVOMORAMIDA : (-)-4-[2-Metil-4okso-3,3-difenil-4-(1- pirolidinil)butil] morfolina 48. LEVOMETORFAN : (-)-3-Metoksi-Nmetilmorfinan 49. LEVORFANOL : (-)-3-Hidroksi-Nmetilmorfinan 50. METADONA : 6-Dimetilamino-4,4difenil-3- heptanona 51. METADONA INTERMEDIATE: 4-Siano2-dimetilamino-4,4- difenilbutana 52. METAZOSINA : 2-Hidroksi-2,5,9trimetil-6, 7- benzomorfan 53. METILDESORFINA : 6-Metil-delta-6deoksimorfina 54. METILDIHIDROMORFINA : 6-Metildihidromorfina 55. METOPON : 5-Metildihidromorfinona 56. MIROFINA : Miristilbenzilmorfina 57. MORAMIDA INTERMEDIAT : Asam 2-Metil-3-morfolino-1, 1- difenilpropana karboksilat 58. MORFERIDINA : Asam 1-(2-Morfolinoetil)-4- fenilpiperidina-4karboksilat etil ester 59. MORFINA-N-OKSIDA 60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-Noksida 61. Morfina 62. NIKOMORFINA : 3,6-Dinikotinilmorfina 63. NORASIMETADOL : (±)-Alfa-3-asetoksi6-metilamino- 4,4-difenilheptana 64. NORLEVORFANOL :(-)-3-Hidroksimorfinan 65. NORMETADONA : 6-Dimetilamino-4,4difenil-3- heksanona 66. NORMORFINA : Dimetilmorfina atau Ndemetilatedmorfina 67. NORPIPANONA : 4,4-Difenil-6piperidino-3- heksanona 68. OKSIKODONA : 14-Hidroksidihidrokodeinona 69. OKSIMORFONA : 14-Hidroksidihidromorfinona 70. PETIDINA INTERMEDIAT A : 4-Siano1-metil-4-fenilpiperidina 71. PETIDINA INTERMEDIAT B: Asam 4-Fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 72. PETIDINA INTERMEDIAT C : Asam
1-Metil-4-fenilpiperidina-4- karboksilat 73. PETIDINA : Asam 1-Metil-4fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 74. PIMINODINA : Asam 4-Fenil-1- (3- fenila minopropil)-piperidina-4- karboksilat etil ester 75. PIRITRAMIDA : Asam 1-(3-Siano-3,3difenilpropil)- 4(1piperidino)-piperdina-4karboksilat amida 76. PROHEPTASINA : 1,3-Dimetil-4-fenil-4propionoksiazasikloheptana 77. PROPERIDINA : Asam 1-Metil-4fenilpiperidina-4- karboksilat isopropil ester 78. RASEMETORFAN : (±)-3-metoksi-Nmetilmorfinan 79 RASEMORAMIDA : (±)-4-[2-Metil- 4-okso-3, 3-difenil-4- (1-pirolidinil)butil]morfolina 80. RASEMORFAN : (±)-3-Hidroksi-Nmetilmorfinan 81. SUFENTANIL : N-[4-(metoksimetil)-1-[2(2-tienil)- etil -4-piperidil] propionanilida 82. TEBAINA 83. TEBAKON : Asetildihidrokodeinona 84. TILIDINA : (±)-Etil-trans-2-(dimetilamino)-1fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat 85. TRIMEPERIDINA : 1,2,5-Trimetil-4fenil-4- propionoksipiperidina 86. BENZILPIPERAZIN (BZP), N-BENZILPIPERAZIN : 1-Benzilpiperazin 87. METAKLOROFENILPIPERAZIN (MCPP) : 1-(3-Klorofenil)piperazin 88. DIHIDROETORFIN : 7,8-Dihidro7α-[1-(R)-hidroksi-1- metilbutil]-6,14endoetanotetrahidrooripavina 89. ORIPAVIN : 3-O-Demetiltebain 90. REMIFENTANIL : Asam1(2-Metoksikarboniletil)-4(fenilpropionilamino)-piperidina-4karboksilat metil ester 91. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas. DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III 1. ASETILDIHIDROKODEINA 2. DEKSTROPROPOKSIFENA: Alfa-(+)-4dimetilamino-1,2-difenil-3- metil-2-butanol propionat 3. DIHIDROKODEINA 4. ETILMORFINA: 3-Etilmorfina 5. KODEINA: 3-Metilmorfina 6. NIKODIKODINA: 6-Nikotinildihidrokodeina 7. NIKOKODINA: 6-Nikotinilkodeina 8. NORKODEINA: N-Demetilkodeina 9. POLKODINA: Morfoliniletilmorfina 10. PROPIRAM: N-(1-Metil-2piperidinoetil)-N-2- piridilpropionamida 11. BUPRENORFINA : 21-Siklopropil-7-α[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-6,14endoentano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina 12. CB 13, nama lain CRA 13 atau SAB-378 : Naftalen-1-il[4-(pentiloksi)naftalen- 1-il] etanona 13. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas 14. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 15. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.n
Edisi XXX Januari - April 2018
33
WAWASAN
Program Eradikasi Polio Global :
Indonesia sebagai pahlawan, tapi juga sebagai korban Oleh : Drs. Djoharsjah Apt (*)
Program Eradikasi Polio Bermula di tahun 1979, sebuah organisasi nirlaba, Rotary International, meluncurkan program imunisasi polio di Filipina. Kemudian pada tahun 1985, Rotary meningkatkan program ini menjadi lebih besar, dengan nama Program Polio Plus. Dananya berasal dari sumbangan para anggota Rotary di seluruh dunia. Pelaksanaan program ini kemudian memicu berbagai pihak untuk berkordinasi, dan meningkatkan program imunisasi polio menjadi sebuah program global yang diikuti oleh seluruh dunia.
U
ntuk itu, pada tahun 1988, WHO mencanangkan sebuah program besar-besaran, yang melibatkan seluruh dunia, yang disebut Program Global Eradikasi Polio, yang selanjutnya kita singkat saja sebagai ERAPO. Belajar dari pengalaman dunia menghapus penyakit cacar dari muka bumi di tahun 1974, para pakar kesehatan dunia percaya bahwa penyakit polio adalah jenis penyakit menular yang
34
Salah satu tahap awal produksi vaksin polio secara teoritis sangat mungkin diberantas tuntas dari muka bumi. Untuk itu, para pakar kesehatan dunia, dibantu dengan berbagai pakar lintas disiplin, menyiapkan pedoman langkah-langkah nyata yang harus dilakukan oleh berbagai pihak di seluruh dunia . Kunci utama adalah memutus rantai penularan virus polio dengan program imunisasi polio yang sangat massif dan harus diikuti oleh seluruh dunia. Tentu saja dibutuhkan jumlah dana yang sangat besar, untuk tidak dikatakan dahsyat . Maka di tahap awal program ERAPO ini, tampillah 4 organisasi besar yaitu WHO, UNICEF , US CDC , dan Rotary International sebagai ujung tombak. Kemudian, program ini berhasil menarik partisipasi aktif berbagai negara maju sebagai donor tetap. Belakangan muncul Yayasan Bill & Melinda Gates, yang ikut menggelontorkan dana yang sangat besar, sehingga disebut sebagai ujung
Edisi XXX Januari - April 2018
tombak ke lima. Pada awal dicanangkan, ditargetkan, penyakit polio akan punah dari muka bumi pada tahun 2000. Dalam pelaksanaannya, program ini sangat sukses menekan jumlah kasus polio lebih dari 99 %, tetapi sayangnya, itu masih belum cukup. Target eradikasi adalah pengurangan kasus 100 %. Tidak bisa ditawar!. Ini berarti, target eradikasi di tahun 2000 belum tercapai. Target kemudian direvisi menjadi tahun 2005, lalu tahun 2015. Itupun tidak tercapai. Dalam program ERAPO ini definisi bebas polio sangat tegas, dan tidak bisa ditawar sedikitpun : yaitu harus nol temuan kasus baru polio liar, 3 tahun berturut turut. Target terbaru untuk dunia bebas polio: Tahun 2020. Mengapa target tahun 2000, dan direvisi menjadi tahun 2005 dan tahun 2015 tidak bisa tercapai ? Berbagai faktor yang menjadi
WAWASAN hambatan besar dalam perjuangan ini, antara lain : • Buruknya infra struktur, sangat menghambat pelaksanaan imunisasi ke daerah2 terpencil • Adanya perang saudara • Sikap anti vaksin di berbagai kelompok sekte keagamaan akibat fanatisme ataupun karena pengaruh politik global • Buruknya kondisi sanitasi di beberapa negara berkembang tertentu. Dari sisi kebutuhan vaksin polio global, dapat terpenuhi dengan produksi dari beberapa negara yang kualitasnya diawasi dengan sangat ketat oleh WHO, didukung oleh Badan Pengawasan Obat setempat. Peran Indonesia Pada tahun 1990, Bio Farma mulai membangun fasilitas produksi dan pengawasan mutu vaksin polio dan vaksin campak di Bandung. Proyek ini merupakan hibah dari pemerintah Jepang, didukung dengan program alih teknologi dari Japanese Polio Research Institute (JPRI) untuk vaksin polio, dan dari Biken Institute untuk vaksin campak. Fasilitas produksi vaksin polio di Bio Farma ini dirancang untuk kapasitas 20 juta dosis pertahun, sesuai dengan tingkat kebutuhan dalam negeri Indonesia pada waktu itu. Proses Pembangunan berlangsung dengan sangat lancar, berkat perencanaan dan tata kelola pembangunan yang sangat rapi, didukung dengan kerja sama yang sangat apik antara Bio Farma, pihak JIC yang mewakili pemerintah Jepang selaku donor, kontraktor , pengawas, dan pihak pendukung alih teknologi, dalam hal ini JPRI dan Biken Institute. Setelah fasilitas produksi ini mulai beroperasi, teman-teman para staff Bio Farma yang terlibat langsung dalam produksi vaksin
polio, melihat beberapa celah yang memungkinkan mereka mengambil inisiatif mengembangkan berbagai bentuk inovasi dalam beberapa titik proses produksi, yang bisa membuat kapasitas produksi melonjak dengan tajam. Penerapan berbagai inovasi tersebut, hanya sedikit membutuhkan tambahan investasi. Dalam periode kira kira 5 tahun, Bio Farma mampu mencapai produksi dalam bentuk bulk sebanyak 100 juta dosis, yang berarti 5 kali lipat dari rancangan awal. Peningkatan yang mencolok ini, mendapat perhatian khusus dari pemerintah Jepang. Untuk memastikan bahwa pelonjakan kapasitas ini tidak memberi pengaruh negatif pada kualitas, maka pemerintah Jepang lalu membentuk sebuah tim audit, yang melibatkan wakil pemerintah dan pakar dari JPRI selaku pemberi alih teknologi. Kesimpulannya, perubahan dan produksi vaksin polio setelah mendapat beberapa inovasi dari Bio Farma, tetap berada dalam koridor standar kualitas yang berlaku. Sejalan dengan itu, Bio Farma mengajukan permohonan kepada WHO untuk dapat mengikuti asesmen
internasional, yang merupakan prasyarat untuk bisa menjadi pemasok vaksin kepada badan-badan PBB seperti WHO dan UNICEF. Dengan keberadaan fasilitas produksi dan pengawasan mutu vaksin polio dan campak yang dibangun secara modern dan mengikuti standar GMP terbaru, serta didukung oleh keberadaan badan pengawas obat yang dianggap andal (pada waktu itu Ditjen POM ), maka Bio Farma dinyatakan memenuhi syarat prakualifikasi WHO. Kesempatan emas ini tentu harus dimanfaatkan secara maksimal. Bio Farma terus melanjutkan berbagai inovasi . Pada ujungnya semakin melonjakkan kapasitas produksi vaksin polio. Pernah mencapai 800 juta dosis, dalam bentuk bulk. Ini berarti 40 kali lipat dibanding kapasitas yang dirancang pada awal proyek. Dengan kapasitas sebesar itu , Bio Farma mampu memasok sekitar sepertiga kebutuhan dunia. Dengan berbagai pertimbangan dan perhitungan efisiensi, serta kebutuhan pasar, dari seluruh bulk vaksin polio tersebut hanya sebagian yang diolah menjadi vaksin siap pakai, terutama sejumlah
Proses pengisian vaksin ke dalam vial.
Edisi XXX Januari - April 2018
35
WAWASAN kebutuhan dalam negeri, dan sejumlah optimal yang masih bisa diproses pada fasilitas produksi yang ada, untuk selanjutnya diekspor sebagai vaksin jadi. Selebihnya, diekpor dalam bentuk bulk, terbanyak ke India, yang selanjutnya diproses di sana menjadi vaksin polio siap pakai. Yang berupa vaksin polio jadi, kebanyakan dipasok ke UNICEF, yang selanjutnya disalurkan ke berbagai negara berkembang . Negara-negara yang dianggap kurang mampu untuk sepenuhnya membiayai sendiri pengadaan vaksin akan menerima vaksin tersebut sebagai sumbangan. Pekan Imunisasi Nasional (PIN Polio) di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah sejak lama melaksanakan imunisasi rutin untuk beberapa jenis vaksin, termasuk polio. Untuk vaksinasi polio rutin, sasarannya adalah bayi dengan umur sampai 1 tahun, dan waktunya tidak serentak. Tetapi, khusus untuk program ERAPO, imunisasi dilakukan serentak, pada hari yang sama , untuk anak balita usia s/d 60 bulan. Imunisasi serentak ini diulangi lagi sebulan kemudian. Ini belum selesai. Karena tahun kedua dan tahun ketiga harus diulangi lagi vaksinasi massal tersebut masing masing dua kali. Sehingga selengkapnya 6 kali dalam tiga tahun.Pelaksanaan PIN di Indonesia tahun 95-96-97 , dianggap sangat berhasil oleh para pakar kesehatan dunia. Sejak itu Indonesia, sudah bebas dari kasus baru polio liar. Tapi harus tetap waspada. Selama masih ada di tempat lain di muka bumi ini kasus-kasus baru dari virus polio liar, maka tetap ada ancaman polio ini muncul kembali. Karena itu program imunisasi rutin dan regular harus tetap berjalan dengan tingkat cakupan maksimal. Pada tahun 1998 , Indonesia di landa krisis moneter. Nilai tukar rupiah terjun bebas. Negara tiba-tiba jadi miskin. Program imunisasi sangat
36
terganggu. Dana pengadaan vaksin dan untuk operasional imunisasi sangat terbatas. Belum lagi ditambah masalah ketidak stabilan politik. Akibatnya cakupan imunisasi sangat menurun, ke tingkat di bawah standar. Ini berbahaya. Membuat Indonesia sangat rentan terhadap masuknya virus polio dari negara luar. Kontribusi Indonesia Pada tahun 2003, di belahan dunia lain, nun jauh di Afrika Barat, yaitu di Nigeria, terutama di beberapa negara bagian yang penduduknya mayoritas Muslim, terjadi aksi boikot vaksin polio, yang diserukan oleh pemuka-pemuka agama Islam disana. Alasannya, karena mereka curiga vaksin polio asal negara barat yang digunakan disana “diboncengi” dengan zat anti fertilitas, yang bisa menghambat angka kelahiran disana, Selain itu dicurigai juga adanya cemaran virus HIV dan bahan-bahan karsinogenik. Berbagai penjelasan bahwa kualitas vaksin polio dapat dijamin, dan diproduksi dengan standar yang tinggi, sama sekali tidak bisa merubah sikap boikot mereka. Aksi boikot ini tentu saja membuat banyak anak disana tidak terlindung, sehingga temuan kasuskasus baru polio liar tetap banyak. Pada hal Nigeria adalah satu dari 3 negara yang sedang menjadi perhatian dunia, selain Afganistan dan Pakistan, yang masih belum bebas polio, dan bisa terus menjadi ancaman serius bagi negara2 lain yang tadinya sudah bebas polio. Pakar kesehatan dunia, UNICEF dan WHO terhenyak dan sangat resah dengan situasi ini. Akhirnya mereka berpikir, bahwa Indonesia, selaku produsen besar vaksin polio, dengan penduduk mayoritas muslim, tentu bisa memberi solusi tuntas. Maka diaturlah kunjungan sebuah delegasi besar dari Nigeria mengunjungi Bio Farma di Bandung. Delegasi ini meliputi menteri dari negara bagian, organisasi kewanitaan muslim, anggota majelis ulama, awak media elektronik dan
Edisi XXX Januari - April 2018
media cetak terkemuka disana, dan sejumlah pejabat penting. Kunjungan tersebut terlaksana pada bulan Februari 2004. Seluruh anggota Direksi dihadirkan menyambut tamu-tamu penting ini, dan semua diperkenalkan, lengkap dengan titel haji. Para tamu diberikan presentasi rinci tentang proses produksi vaksin polio di Bio Farma, dilengkapi dengan melihat langsung fasilitas produksi , tentunya dengan menerapkan SOP yang berlaku. Alhamdulillah, kunjungan ini hasilnya luar biasa. Sekembalinya rombongan ini, pemerintah Nigeria menghubungi WHO menyatakan bahwa vaksinasi polio untuk seluruh Nigeria dapat dilanjutkan kembali, dengan syarat : VAKSINNYA HARUS PRODUKSI INDONESIA. Setelah itu, program imunisasi polio di Nigeria mulai menunjukkan kemajuan nyata, Indonesia kebobolan Untuk mengawasi apakah suatu negara betul-betul bebas dari polio, harus dilakukan proses pengawasan laboratoris yang ketat, mengacu kepada standar yang sudah di tetapkan oleh WHO. Untuk Indonesia, ada 3 laboratorium yaitu di Jakarta dan Surabaya , di bawah naungan Depkes, dan di Bio Farma , Bandung. Ketiga laboratorium ini hampir setiap hari menerima dan memeriksa specimen tinja yang dikirim dari berbagai daerah, Dari sekian ribu specimen yang masuk ke tiga laboratorium tersebut , harus ditemukan minimal ( dengan angka rasio tertentu) kasus lumpuh layu (acute flaccid paralysis, yang selanjutnya diuji dan dipastikan bahwa kelumpuhan itu bukan karena virus polio liar. Laboratorium surveillance ini di Bio Farma saat itu, dipimpin oleh dr. Lina Sumara, seorang staff senior di Bio Farma, yang sangat menguasai aspek detil surveillance polio.
WAWASAN
Seorang anak sedang menerima vaksin polio Sekitar bulan Mei 2005, ketika sedang berlangsung rapat direksi Bio Farma. Tiba-tiba terdengar suara ketukan agak keras di pintu, lalu dr.Lina langsung masuk, membawa beberapa lembar kertas. Terlihat wajahnya tegang. Ketika ditanya ada apa, beliau tidak bisa segera menjawab, malah menangis. Lalu setelah agak tenang, dengan terbata bata dia sampaikan : “Kita kebobolan pak ! Kami baru saja menemukan satu specimen yang POSITIF VIRUS POLIO LIAR “. Specimen ini berasal seorang anak lakilaki berusia 20 bulan, dari desa Cidahu, Sukabumi. Seluruh direksi ikut terhenyak. Semua faham betul, ditemukannya satu specimen positif polio liar sudah telak membuktikan bahwa seluruh negeri kita baru saja kebobolan. Terbukti kemudian, dalam tempo yang sangat singkat, ditemukan kasus positif sampai sekitar 300 spesimen. Pada hal sudah sepuluh tahun terakhir kita sudah tidak lagi kasus positif polio liar. Kejadian ini tidak bisa terlepas dari kondisi krisis moneneter dan krisis politik yang terjadi Indonesia beberapa tahun sebelumnya, yang akibat langsungnya disini adalah terdapatnya sejumlah cukup besar anak-anak yang tidak terlindung karena tidak mendapat imunisasi polio. Rapat direksi langsung dirubah
Gedung kantor Bio Farma di Bandung
menjadi rapat darurat. Informasi ini langsung di sampaikan ke Depkes dan juga ke WHO. Tidak hanya Indonesia, tapi seluruh dunia ikut terhenyak, karena kejadian ini merupakan setback yang sangat besar dalam perjuangan dunia membasmi polio (ERAPO). Pihak Depkes langsung terjun melaksanakan langkah-langkah darurat , dengan melakukan imunisasi wajib dari rumah kerumah di desa Cidahu dan sekitarnya. Untuk tahap selanjutnya disiapkan program imunisasi yang lebih luas. Belakangan diputuskan untuk melaksanakan imunisasi serentak secara nasional (PIN) sebanyak 5 x dan beberapa kali pada level regional dalam periode tahun 2005-2006. Disamping kesigapan dan kerja keras dari teman-teman kita di Depkes, salah satu faktor yang sangat mendukung keberhasilan mengatasi kebobolan ulang ini adalah keberadaan Bio Farma. Sebagai sebuah perusahaan produsen vaksin yang sepenuhnya milik pemerintah, langsung siap mengerahkan persediaan vaksin polio yang ada, untuk program vaksinasi darurat, dan mempersiapkan dukungan vaksin polio untuk penyelenggaraan imunisasi berikutnya, berupa 5 kali program PIN ditambah beberapa kali imunisasi regional, di
samping tetap memasok vaksin polio untuk imunisasi regular. Suatu hal yang sangat menarik untuk ditambahkan disini adalah bahwa virus polio yang muncul kembali di Indonesia kali ini, setelah diteliti secara laboratoris, memberi petunjuk kuat bahwa virus tersebut berasal dari kawasan Afrika Barat, tepatnya Nigeria, yang masuk ke Indonesia mungkin melalui Sudan atau melalui Saudi Arabia. Artinya, baru saja di tahun 2004 Indonesia bisa membantu memberi solusi untuk kelanjutan imunisasi polio di Nigeria, maka di tahun 2005 ini, kita kebobolan infeksi polio liar, yang secara tidak langsung merupakan akibat dari sangat terhambatnya imunisasi di Nigeria. Kita boleh bersyukur, bahwa upaya kerja keras semua pihak, Indonesia berhasil menghentikan terjadinya kasus2 polio baru. Pada tahun 2014, WHO dengan resmi menjatakan bahwa di seluruh negara2 di wilayah kerja WHO Asia Tenggara, (termasuk Indonesia dan India) , sudah terbebas dari polio. n
(*) Anggota Direksi Bio Farma 1988 - 2007
Edisi XXX Januari - April 2018
37
OPINI
APOTEKER KESEHATAN MASYARAKAT, KENAPA TIDAK? Kita perlu bersyukur dengan hadirnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang kesehatan yaitu Permenkes Nomor 46 Tahun 2015 tentang akreditasi Puskesmas, Klinik pratama, Tempat Praktek Mandiri dokter dan dokter gigi yang telah memberikan gebrakan baru dalam sistem pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Oleh : Indri Mulyani Bunyamin,S.Farm,Apt
K
ewajiban bahwa Puskesmas harus terakreditasi sebagai syarat kerjasama dengan BPJS juga menjadi perhatian penting karena terkait erat dengan dana kapitasi yang akan diterima oleh Puskesmas. Dana kapitasi ini dapat dialokasikan 40% untuk operasional kerja dan 60% untuk tunjangan kinerja atau remunerasi pegawai. Hal inilah yang membuat semua Puskesmas termotivasi agar dapat menyandang status “terakreditasi”. Untuk memenuhi standar akreditasi Puskesmas banyak sekali elemen penilaian yang harus dipenuhi mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM) sampai dengan sistem manajemen mutu yang berkesinambungan. Berbicara tentang SDM, profesi apoteker mulai dilirik dan dicari sebagai salah satu profesi ahli dalam pelayanan kefarmasian. Bagaimana tidak, standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas yang diatur dalam permenkes Nomor 74 Tahun 2016 jelas menyebutkan bahwa Puskesmas wajib mempunyai apoteker minimal 1 orang sebagai penanggung jawab kefarmasian. Dalam prakteknya, apoteker dapat dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian (TTK). Rasio kebutuhan tenaga farmasi adalah 1:50 atau 1 orang melayani 50 resep untuk Puskesmas non perawatan dan 1:30 untuk Puskesmas perawatan. Apoteker kesehatan masyarakat atau yang identik dengan apoteker yang bekerja di Puskesmas, telah menyibak tirai gelap praktik kefarmasian di puskesmas zaman old. Sebelum ada apoteker, banyak sekali kasus pengelolaan obat yang tidak sesuai standar, pemberian obat yang minim informasi, pelayanan yang lama, kesalahan penggunaan obat, obat kadaluarsa, obat out of stock maupun obat over stock yang menjadi wajah suram profil kefarmasian di Puskesmas. Salah satu faktor penyebab dominannya adalah belum adanya tenaga apoteker di Puskesmas. Kenapa apoteker? Karena untuk menjalankan semua pekerjaan kefarmasian di puskesmas mulai dari perencanaan, pengadaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi serta pelayanan
38
Edisi XXX Januari - April 2018
farmasi klinis dibutuhkan tenaga kesehatan yang kompeten. Siapa lagi kalau bukan apoteker. Pada kenyataannya saat ini menurut data Kemenkes RI dari 9000an jumlah Puskesmas di Indonesia, baru sebanyak 20% yang memiliki apoteker. Sebuah perjuangan panjang bagi profesi kita. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus dijalankan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. Amanat ini termaktub dalam pasal 18 Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas. Unit farmasi merupakan unit penunjang yang sangat penting dalam suatu siklus pelayanan kesehatan. Bisa dibayangkan jika di Puskesmas tidak tersedia obat ? Hampir 90% kunjungan pasien ke Puskesmas berakhir dengan pemberian obat. Bukan hanya ketersediaan obat yang harus memadai akan tetapi bagaimana agar obat tersebut dapat digunakan dengan tepat, adalah tantangan berat untuk apoteker di Puskesmas. Belum lagi tugas pokok dan fungsi Puskesmas yang harus mengutamakan upaya kesehatan promotif dan preventif disamping upaya kuratif. Tentunya peran apoteker juga harus selaras dengan tupoksi Puskesmas tersebut. Apoteker harus mulai aktif berkontribusi secara aktif dalam upaya kesehatan selain kuratif. Bagaimana caranya? Setidaknya ada 3 aspek yang harus menjadi perhatian seorang apoteker di Puskesmas jika ingin mengoptimalkan perannya untuk masyarakat. 1. ADVOKASI untuk pemenuhan tenaga kefarmasian yang memadai Aspek yang pertama ini merupakan permasalahan klasik yang susah-susah gampang. Kebutuhan sumber daya manusia, sarana dan juga prasarana untuk menopang pelayanan kefarmasian di Puskesmas berbeda-beda di setiap daerah. Kebijakan otonomi daerah terkadang lebih kuat dibandingkan dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sehingga terjadi ketidakselarasan antara
OPINI peraturan dan pelaksanaan. Jangankan tenaga apoteker, TTK saja masih jarang ada. Peran tenaga farmasi masih digantikan oleh tenaga kesehatan lain yang tidak kompeten. Sebenarnya akreditasi Puskesmas merupakan pintu masuk yang mudah untuk perekrutan tenaga apoteker dan TTK di Puskesmas. Namun diperlukan pendekatan dan advokasi yang tepat dari Dinas Kesehatan kepada pemegang kebijakan di daerah. Untuk mendukung advokasi, para apoteker di Puskesmas mulailah membuat analisa beban kerja, identifikasi resiko pekerjaan kefarmasian, kajian medication errors yang mengancam masyarakat, serta telaahan-telaahan lain terkait pentingnya peran apoteker di Puskesmas. Kemudian laporkan hasil evaluasi ini kepada Kepala Puskesmas untuk menjadi bahan pertimbangan. Selama ini farmasi di Puskesmas identik dengan kegiatan UKP (Upaya Kesehatan Perorangan) di dalam gedung, persepsi yang terbentuk masih pada drug oriented. Padahal orientasi kepada pasien atau patient oriented tidak kalah pentingnya. Era sekarang, belum cukup sampai disitu, peran apoteker yang berorientasi kepada masyarakat atau community oriented sudah menjadi satu tuntutan baru. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai apoteker untuk melakukan kegiatan di luar gedung atau UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) seperti kegiatan edukasi obat kepada kader dan masyarakat, pembinaan TOGA (Taman Obat Keluarga), Home Pharmacy Care dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam penguatan program pemerintah. Mungkin pada tahap awal kita melakukan kegiatan tersebut atas inisiatif sendiri namun jika konsisten akan memberi dampak yang berarti untuk derajat kesehatan masyarakat. Dengan begitu, pimpinan akan lebih yakin dalam membuat kebijakan yang melibatkan peran apoteker dan memberi dukungan penuh. Bahkan bagi Puskesmas yang sudah berstatus BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) dapat mengolah pendapatannya untuk pemenuhan sumber daya kefarmasian, bukan hanya SDM namun sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sebagai contoh di DKI Jakarta, dari 44 Puskesmas Kecamatan, semua sudah mempunyai apoteker minimal 2 (dua) orang per puskesmas. Begitu pula di beberapa daerah di Pulau Jawa yang sudah BLUD. Saat ini semua Puskesmas didorong untuk bisa mandiri sehingga alokasi anggaran lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan. 2. SMART dalam peningkatan mutu pelayanan kefarmasian Setelah sumber daya kefarmasian terpenuhi, aspek kedua yang harus diperhatikan adalah melakukan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian secara SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Reasonable,Time table) dengan menerapkan konsep PDCA atau Plan, Do, Check dan Action. Apoteker harus mempunyai keahlian dalam hal perencanaan kegiatan farmasi. Buatlah POA (Plan Of Action) setiap tahun dengan didasari oleh latar belakang kebutuhan, tujuan, target, sasaran, waktu, kebutuhan anggaran serta penanggung jawab kegiatan. Apoteker
Puskesmas Kecamatan Kembangan, Jakarta harus lihai dalam membuat job description untuk masingmasing anggota tim agar kegiatan yang sudah direncanakan dapat terlaksana. Seringkali pembagian tugas yang tidak efektif membuat pekerjaan menjadi tidak efisien, sehingga SDM yang ada masih saja terasa kurang. Apoteker harus mempunyai keahlian dalam melakukan identifikasi permasalahan, mencari faktor-faktor penyebab baik dari faktor Man, Material, Methode, Machine, dan Envirointment agar tercipta siklus kerja yang dinamis dan menuju ke arah perbaikan mutu pelayanan kefarmasian. Kegiatan perbaikan dan peningkatan pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan akan melahirkan kreativitas bahkan inovasi yang bermanfaat baik bagi tenaga farmasi maupun masyarakat. Sebagai contoh sederhana misalnya sistem penomoran resep, penulisan etiket obat yang lengkap, penulisan expired date dan nomor batch pada kartu stok,pembuatan label kendali kadaluarsa, leaflet penggunaan obat-obat khusus seperti tetes mata, tetes telinga dan suppositoria dan melakukan penyuluhan obat di ruang tunggu pasien adalah hal yang mudah dan sudah mulai dilakukan di banyak Puskesmas di Indonesia. Dari hal yang sederhana tersebut, akan berkembang menjadi inovasi lainnya sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi. Contoh inovasi yang sudah dilakukan oleh apoteker di Puskesmas adalah pembuatan sistem e-resep, aplikasi stok obat, alat reminder minum obat, konsultasi obat online, inovasi TAS OBAT untuk skrining obat di rumah tangga (inovasi Apt Indri, PKM Kembangan Jakarta Barat), PIO terapung (Apt Dewi Yulida, PKM Danau Panggang Kalsel) dan Buku saku Interaksi Obat (Apt Eki Naldi, PKM Sungai Apit Riau). Siapa sangka apoteker Puskesmas bisa se-kreatif ini, bukan? Edisi XXX Januari - April 2018
39
OPINI 3. KOLABORASI lintas program dan lintas sektor Ini adalah tren baru dalam peningkatan pelayanan kefarmasian di puskesmas. Penguatan kolaborasi baik lintas program dan lintas sektor merupakan faktor penting dalam meningkatkan eksistensi apoteker dalam upaya promotif dan preventif di kesehatan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir sebagian besar program di puskesmas membutuhkan peran farmasi. Contoh program pemerintah yang masih hangat adalah ORI (Outbreak Response Immunization) yang diadakan di beberapa daerah seperti Jakarta Barat dan Tangerang untuk menanggulangi merebaknya kasus difteri di masyarakat. Terlihat bagaimana peran farmasi sangat krusial dalam pengelolaan vaksin dan obat yang dibutuhkan untuk mencakup sasaran imunisasi difteri pada bayi dan anak sampai dengan usia 19 tahun tanpa melihat status imunisasi sebelumnya. Peran apoteker dalam program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) untuk penyediaan kapsul vitamin A dan tablet penambah darah. Program HIV-AIDS untuk penyediaan obat dan konseling pasien ARV. Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) untuk penyuluhan NAPZA. Program PosbinduPTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular) untuk memantau masalah prilaku lansia terhadap kepatuhan pengobatan, Program Asuhan Kemandirian untuk pembinaan TOGA (Taman Obat Keluarga) dan tidak lupa PIS-PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga) yang
Penyuluhan Apoteker Puskesmas di Sekolah
40
Edisi XXX Januari - April 2018
memerlukan peran apoteker untuk turun ke masyarakat dalam memantau pengobatan pasien Hipertensi, Diabetes, TB Paru dan Gangguan Jiwa dilakuan secara berkesinambungan. Selain program-program di atas, terdapat satu program khusus untuk farmasi yang telah dicanangkan secara resmi oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2015 yaitu Gema Cermat (Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat). Dengan program ini seorang apoteker dapat lebih leluasa menunjukkan eksistensinya di masyarakat untuk melakukan edukasi sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya dan sepuaspuasnya. Kerjasama lintas sektor dalam Gema Cermat sangat diperlukan untuk memperluas cakupan seperti kerjasama dengan Kecamatan dan Kelurahan, Tokoh Masyarakat, Organisasi Profesi, Komunitas Masyarakat dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Apapun metode yang dipakai selama selaras dengan tujuan Gema Cermat yaitu membangun kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan prilaku masyarakat dalam penggunaan obat yang rasional, semua diperbolehkan. Tidak heran, Gema Cermat menjadi idola baru bagi apoteker di Puskesmas. Lihat saja apoteker yang kreatif memberikan penyuluhan DAGUSIBU pada saat Car Free Day bersama IAI (Apt Medindia, PKM Penjaringan Jakarta Utara), siaran radio (Apt Iis, PKM Ibrahim Aji, Bandung), talkshow di televisi (Apt Pandu, Kalbar), penyuluhan kepada anak sekolah/Saka Bakti Husada (Apt Maria, PKM Alalak Selatan Banjarmasin), ibu rumah tangga (Apt Hellen, PKM Kurai Taji, Sumbar), skrining warung penjual obat (Apt Melly PKM Nawangsasi Sumsel) dan pembinaan TOGA (Apt Mardawiyah, PKM Sungai Nyamuk Tarakan). Melihat besarnya peluang dan potensi ini kemudian IAI menyetujui pembentukan sebuah seminat baru untuk mewadahi para apoteker di Puskesmas yang telah terlebih dahulu diinisiasi oleh PD IAI Sumbar yaitu Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat (HISFARKESMAS) yang ditetapkan dalam Rapat Kerja Nasional IAI pada tanggal 6 September 2017 di Tangerang Selatan, Banten. Selang beberapa bulan kemudian pengurus PP HISFARKESMAS terbentuk yang diketuai oleh Apoteker Indri Mulyani Bunyamin,Apt. Dengan mengusung visi “ Apoteker Puskesmas Ada dan Terpercaya untuk Setiap Upaya Kesehatan di Masyarakat ” maka lahirnya apoteker spesialis kesehatan masyarakat, kenapa tidak?.n
OPINI
Pendidikan Profesi Farmasi di Indonesia: Kegamangan atau ambiguitas? Oleh: Mahdi Jufri Dekan Fakultas Farmasi UI Perubahan paradigma profesi farmasi di mulai di AS sejak awal 1990an. Kelompok ilmuwan dari berbagai kampus besar di AS saat itu menelurkan konsep Pharmaceutical care untuk profesi farmasi yang bekerja di sektor pelayanan kesehatan dan mereka menuliskannnya dalam jurnal bergengsi American Journal of Hospital Pharmacy.
P
erubahan paradigma ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Mereka sejak lama melakukan kajian yang mendalam tentang perlunya peran farmasis dalam pelayanan kesehatan. Artinya sederet kurikulum mereka siapkan untuk mengubah paradigma tersebut. Gaung konsep Pharmaceutical Care akhirnya masuk juga ke Indonesia. Di mulai dengan pentingnya sertifikat kompetensi para sarjana farmasi mulai tahun 2007 yang dipelopori oleh almarhum Dr Haryanto Dhanutirto Apt. Lalu dua tahun kemudian keluarlah UU No 108 tahun 2009 yang menetapkan bahwa pekerjaan
kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standard dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan. Kemudian setelah itu keluarlah PP 51 tahun 2009 yang menetapan asuhan kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan profesi apoteker di Indonesia. Semangat ini disambut dengan baik. Perkumpulan apoteker yang tergabung dalam wadah ISFI pada tahun 2009 berubah dan kembali ke khitahnya seperti tahun 1955 menjadi IAI (Ikatan Apoteker Indonesia ). Semenjak itu penataan dilakukan terhadap seluruh anggota yang tergabung dalam profesi Apoteker. Dengan adanya project HPEQ ( Health Professional Education Quality ) yang mendapat pinjaman
dari bank dunia pada tahun 2012, bersama dengan fakultas fakultas yang tergabung dalam rumpun ilmu kesehatan (Kedokteran, Kedokteran Gigi, Keperawatan dan Kesehatan masyarakat dan Farmasi ). Juga dalam rumpun ilmu kesehatan dibentuk lembaga akreditasi mandiri LAMPETEKES. Sejak saat itu dimulailah pembuatan naskah akademik standar kompetensi pekerjaan kefarmasian. Disepakati bersama oleh tiga organ yakni IAI, APTFI dan KFN bahwa lulusan program profesi apoteker harus melalui ujian UKAI Sejak akhir tahun 2013 dimulai uji coba (try out) ujian kompetensi apoteker (UKAI) kemudian dilanjutkan dengan ujian formatif dan sumatif dan terakhir pada awal tahun 2018 dilakukan pertama kali Exit Exam pada calon apoteker dalam rangka untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Untuk meningkatkan ketrampilan kompetensi calon apoteker maka mulai bulan Mei 2018 nanti akan dilakukan try out OSCE (Objective Structure Clinical Evaluation ). Dengan adanya kesepakatan bersama ini bahwa seluruh calon apoteker harus melalui ujian UKAI dan OSCE diharapkan akan diperoleh lulusan profesi apoteker yang terstandarisasi di seluruh Indonesia dalam rangka mengantisipasi persaingan di era MEA ( 2015 dan AFTA pada tahun 2020 nanti dimana lulusan profesi farmasis dari luar negeri dapat bekerja di Indonesia Edisi XXX Januari - April 2018
41
OPINI dengan syarat mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah republik Indonesia. Ditengah kesibukan dan hingar bingar adanya ketentuan UKAI dan OSCE, mungkin kita perlu merenung sejenak, apakah kegiatan yang dibuat ini terlihat terburu buru dalam mengantisipasi adanya program MEA 2015 dan AFTA 2020. Coba kita lihat pengalaman Thailand bagaimana mereka menyiapkan SDM yang berkualitas di perguruan tinggi dalam bidang farmasi klinis dan pharmaceutical care. Sejak awal tahun 2000 pemerintah Thailand mengirimkan secara bergelombang sebanyak 140 orang dosen ke AS untuk menuntut ilmu di bidang klinis dan pharmaceutical care agar meraih gelar S3 dalam jangka waktu 10 tahun. Artinya mereka sadar bahwa bila ingin mengadakan perubahan pertama kali adalah disiapkan bidang SDM yang berkualitas. Apa hasilnya, Thailand sudah berubah, sistem pendidikan farmasi mereka untuk S1 ditempuh selama 4 tahun dan pendidikan profesi selama 2 tahun artinya total waktu yang ditempuh untuk menjadi farmasis (apoteker) itu memerlukan waktu 6 tahun. Lalu coba kita tengok kondisi di negara jiran Malaysia. Mereka sejak lama telah menerapkan sistem kurikulum farmasi klinis dalam mendidik calon farmasis (apoteker) dengan masa tempuh 4 tahun di tingkat S1 di tambah 1 + 1 di tingkat profesi. Begitu pula kesiapan SDM dengan strata S3 mereka kebanyakan mengirim dosennya ke negara Inggris karena mereka tergabung dalam negara common wealth. Setelah mahasiswa lulus dari fakultas farmasi mereka masuk ke rumah sakit dengan kewajiban attachment selama 1 tahun, barulah mereka mendapat sertifikat
42
teregistrasi (Register Pharmacist atau seperti STRA di Indonesia). sebagai farmasis dan mempunyai kewajiban untuk melakukan 1 tahun lagi attachment (magang) di rumah sakit. Sekarang coba kita kondisi pendidikan farmasi di Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta hingga awal tahun 2018 memiliki jumlah prodi S1 farmasi sebanyak 176 prodi dengan jumlah prodi apoteker sebanyak 38.
Di negara negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang sistem pendidikan mereka sudah terpisah sejak awal yaitu Sains Farmasi dan Pelayanan farmasi. Pendidikan profesi farmasi hanya ada di dalam prodi Pelayanan farmasi hingga mereka harus menempuh ujian CBT dan OSCE.
Lalu apakah kita dalam mengantisipasi perubahan pendidikan dari product oriented menjadi patient oriented sudah menyiapkan SDM yang berkualitas? dalam bidang farmasi klinis dan pharmaceutical care ?. Mungkin inilah yang perlu dipikirkan kembali oleh ketiga organ dalam organisasi farmasi di Indonesia (IAI, APTFI dan KFN). Kondisi profesi farmasi di Indonesia belum juga terangkat dan dikenal oleh masyarakat. Sistem pendidikan kita masih kuat dalam bidang sains farmasi ketimbang dalam bidang farmasi klinis. Dan ini terlihat dalam struktur kurikulum pendidikan farmasi yang dianut oleh APTFI.
Edisi XXX Januari - April 2018
Di negara negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang sistem pendidikan mereka sudah terpisah sejak awal yaitu Sains Farmasi dan Pelayanan farmasi. Pendidikan profesi farmasi hanya ada di dalam prodi Pelayanan farmasi hingga mereka harus menempuh ujian CBT dan OSCE. Jadi untuk mereka yang ingin berkarir dalam bidang Sains Farmasi atau Industri calon sarjana pada tingkat akhir tidak menempuh ujian CBT dan OSCE karena mereka tidak memerlukan hal tersebut, mereka banyak melanjutkan ke jenjang S2 dan S3 bidang Sains Farmasi sehingga struktur SDM di negara negara maju dalam bidang industri farmasi begitu kuat untuk melakukan riset di Industri farmasi. Hasilnya terbukti mereka sangat unggul dalam bidang penemuan senyawa untuk calon obat baru dan dalam bidang teknologi farmasi (drug delivery syastem). Coba kita lihat struktur SDM di industri farmasi. Hampir tidak ada perubahan selama 50 tahun terakhir sejak dibukanya industri PMA dan PMDN oleh pemerintahan orde baru mengantisipasi UU PMA di Indonesia. Jumlah tenaga kerja di Industri farmasi yang bergelar S2 dan S3 bisa dihitung dengan jari. Baru Industri besar seperti grup Kalbe farma dan Dexa Medika yang serius mengembangkan program riset dan Development. Untuk itu dalam rangka menyongsong Indonesia menjadi negara maju dalam bidang kesehatan khususnya bidang farmasi dalam rangka program kemandirian dalam bidang BBO dan BBOT serta SDM profesi apoteker dibidang pelayanan yang berkualitas rasanya kita perlu duduk bersama mendesain ulang program pendidikan farmasi di negara kita.n
OPINI
SENTUHAN ILMU PEMASARAN BAGI CALON FARMASIS Oleh : TONNY SUMARSONO *
Dunia farmasi adalah sebuah bidang atau lahan usaha yang unik dan kompleks. Dunia farmasi adalah pertemuan dua kutub yag sebenarnya bertolak belakang. Kutub pertama adalah kutub keilmuan kefarmasian dengan segala aspeknya mulai dari penelitian yang sangat “jlimet“, seleksi bahan baku obat, pengolahan menjadi bahan setengah jadi dan akhirnya menjadi bahan jadi (finished good ), yang tentunya dengan banyak permasalahan yang ada di dalamnya. Sedangkan kutub kedua yang tak kalah pentingnya adalah aspek pemasarannya.
S
eorang calon farmasis hendaknya tidak hanya ahli dalam proses produksi obat namun juga paham dengan permasalahan pemasaran, sehingga akan mengetahui “peta kekuatan“ ataupun posisi perusahaannya. Beberapa tahun yang silam, ketika penulis masih aktif bekerja pada sebuah perusahaan farmasi asing, mendapat tugas untuk merekrut farmasis yang akan ditempatkan pada divisi Product Development / Product Management. Seharusnya seorang calon pekerja mengerti posisi yang akan dilamarnya, dan sudah mempersiapkan diri sebelum datang untuk melakukan wawancara. Ketika wawancara berlangsung, lebih dari 70% pelamar tidak bisa mendeskripsikan tugas apa yang akan diembannya nanti, apalagi harus menjelaskan posisi perusahaan yang dilamarnya serta produk-produk yang dipasarkannya. Ratarata mereka “gagap“ dengan hal-hal yang barkaitan dengan masalah pemasaran farmasi yang sebenarnya sangat menarik dan menantang ini. Bekal ilmu yang didapat para calon farmasis di bangku kuliah, seyogyanya tidak hanya melulu masalah teknis keilmuan farmasi dan aneka produk regulasi saja, namun mestinya disisipkan juga hal-hal yang berhubungan
dengan dunia pemasaran farmasi. Kita harus sadari bersama, sehebat-hebatnya prosuk hasil riset pabrikan tersohor dunia seperti Pfizer, Novartis, Glaxo, Eli Lily dan sebagainya, tetap saja mereka ada di pihak yang “ lemah“, karena yang membuat produk-produk tu laku di pasaran adalah para tenaga medis ( dokter ), yang akan meresepkannya. Dalam era persaingan yang kian mengglobal ini, para industriawan farmasi dihadapkan pada masalah yang tidak enteng atau kalau tidak mau dikatakan cukup pelik. Para pimpinan perusahaan baik yang besar ataupun yang kecil, harus bisa membuat strategi dan konsep yang brilyan supaya perusahaannya tetap kokoh berdiri dan tetap eksis, bahkan menjadi kampiun, sehingga akan dipandang hebat oleh semua stakeholders. Era profit taking yang menjadi kisah sukses pabrikan-pabrikan farmasi pada era tahun 70-80 an, sekarang sudah tinggal cerita saja. Eranya sudah berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan peradaban. Pada saat itu, para pabrikan produsen antibiotika bisa “mengeduk” untung yang cukup bermakna , kerena kebutuhannya meningkat dengan deras di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, maka pada era 90-an sampai sekarang, pola
Edisi XXX Januari - April 2018
43
OPINI penyakit sudah mulai bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit-penyakit degeneratif, bahkan di negara yang sedang berkembang sekalipun. Otomastis, banyak perusahaan berbasis riset terutama dari Amerika Serikat, yang mulai mengalihkan produksinya ke obat-obatan berteknologi tinggi seperti rekayasa genetika. Di tengah puluhan perusaahn farmasi berbasis riset itu terutama dari Amerika serikat, pastilah akan terbentang persaingan yang kian hebat untuk bisa mengambil pangsa pasar setinggitingginya dalam upaya perusahaan tersebut tetap eksis. Menurut prediksi, maka para produsen untuk dua atau tiga tahun mendatang, masih tetap akan berkutat dengan produksi obat obat baru untuk penyakit seperti hipertensi, kardiovaskuler, anti hiperlipidemia, ataupun penyakit kanker yang lebih spesifik. Dipredisikan pula, bahwa peta persaingan akan semakin ketat, karena para produsen berbasis riset tersebut akan segera meluncurkan produk – produk barunya pada tahun 2018 in.
2.
3.
4.
5.
6.
Eranya Product Executive ( PE ) Menyambung bahasan di atas mengenai masalah pemasaran farmasi ini, kini terbuka lebar bagi para farmasis yang ingin berkarir dalam bidang marketing sebagai seorang product executive pada perusahaan farmasi besar. Jika sukses, seorang PE, akan diangkat menjadi Product Manager ( PM ). Tugas pokok seorang PE adalah bertanggungjawab terhadap keberhasilan promosi dengan biaya yang telah ditetapkan, yang sekanjutnya diperlukan oleh Sales Department dalam upaya tercapainya target penjualan serta bertanggungjawab atas perencanaan, perumusan dan pengaturan program promosi produk-produknya disamping bertangungjawab pula terhadap strategi rencana dan pelaksanan launching produk-produk baru. Seorang PE , bertanggung jawan kepada Marketing Manager.
7.
8.
9.
10.
Tanggung Jawab dan Lingkup Pekerjaan 1. Mempersiapkan seluruh sarana dan prasarana promosi yang diperlukan seperti leaflet, brosur, gimmick, paper, literature, penyelangaraan seminar, worshop, simposium, eksebisi. Pada penyelengaraan event-event tersebut terutama yang berada di daerah atau kantor cabang ( biasanya kantor pusat ada di Jakarta ) , maka seorang PE , melalui sub –ordinatnya di kantor cabang harus memberikan bantuan teknos dan non teknis untuk kesuksesan event tersebut. Selain itu, dalam upaya menjaga kualitas setiap sarana promosi yang akan dipersiapkan , maka komunikasi
44
Edisi XXX Januari - April 2018
11. 12.
dengan pihak prisipal harus terus dilakukan. Menyusun detailing plan dan detailing presentation serta memastikan bahwa field force dapat mengikuti dan melaksanakan pola komunikasi ( dengan dokter ) , sesai dengan strategi yang telah ditetapkan. Memberikan pembinaan/ training dalam rangka peningkatan keterampilan para field force yang mencakup product knowledge, competitor knowledge, medical aspect yang berkaitan dengan produk yang dipromosikan. Bekerjasama dengan Sales Manager untuk melakukan analisis dan evalusai atas pengaruh program promosi yang telah ditetapkan terhadap angka penjualan Menganaliis respon para dokter maupun kompetitor melalui informasi yang diperoleh dari kunjungan para field force, untuk dilakukan perubahan strategi promosi apabila diperlukan. Bekerjasama dengan Sales Manager dalam membantu para field force dalam rangka mempersiapkan jawaban yang ilmiah dan tepatsi untuk para dokter yang menaruh perhatian terhadap produk-produk yang dipromosikan. Membina dan menjaga hubungan baik dengan para opinion leader, decision maker / fakultas kedokteran / rumah sakit ataupun organisasi kedokteran untuk tujuan kerjasama ilmiah yang berkaitan dengan produk yang dipromosikan. Melakukan market survey untuk produk-produk yang dipasarkan yang meliputi market size, market competition, jumlah kompwttor, market share competitor dan SWOT analysis. Untuk semua kegiatan ini, perlu mengadakan koordinasi dengan selurh field force Mempersiapkan, menyusun dan mengajukan permohonan pendaftaran produk baru serta mengkuti perjalanan proses registrasi tersebut sampai nomor registrasinya keluar. Menjalin komunikasi yang baik dengan pihak prinsipal dalam kaitan kelengkapan data yang dibutuhkan dalam proses registrasi. Membina hubungan yang baik dengan personal BPOM Bekerjasama dengan bagian tertentu / departemen di fakultas Kedokteran atau rumah sakit untuk melaksananakn seeding trial ataupun clinical trial, bila hal ini diperlukan.n
* Staf pengajar FKK Sekolah Tinggi Farmasi Bandung
KAMPUS
Gedung Fakultas Farmasi USU
FARMASI USU DALAM KEUNGGULAN AKADEMIK Jurusan Farmasi di lingkungan USU dibuka pada 1969 di bawah naungan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam (FIPIA) USU berdasarkan kenyataan bahwa sangat dibutuhkannya tenaga Apoteker di Sumatera, ketika itu untuk wilayah Sumatera hanya ada satu Jurusan Farmasi yaitu di Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat.
S
etelah dibukanya Program Studi Sarjana (S1) Farmasi pada tahun 1969, kemudian Jurusan Farmasi membuka beberapa Program Studi sebagai berikut: Tahun 1969 dibuka Program Pendidikan Profesi Apoteker (sejalan dengan Program Studi Sarjana Farmasi ), kemudian pada tahun 1999 ditetapkan bahwa Program Pendidikan Profesi Apoteker telah terpisah dari Program Studi Sarjana Farmasi (S1); Tahun 1994 dibuka Program Studi Diploma III Analis Farmasi; tahun 2000 dibuka Program Studi (S2) Magister Farmasi dan Tahun 2009 dibuka Program Studi Doktor (S3) Ilmu Farmasi. Pada tahun 2000, atas masukan
Rektor USU (Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), agar Jurusan Farmasi ditingkatkan statusnya menjadi Fakultas Farmasi. Untuk itu, Jurusan Farmasi membentuk Tim Pekerja yang diketuai Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt., (Ketua Jurusan Farmasi); Sekretaris Tim Pekerja Dr. Sumadio
Gedung Fakultas Farmasi USU Edisi XXX Januari - April 2018
45
KAMPUS Hadisahputra, Apt. untuk membuat Proposal Perubahan Status Jurusan Farmasi menjadi Fakultas Farmasi USU. Proposal selesai pada bulan Desember 2000, dan selanjutnya disampaikan kepada Rektor melalui Dekan FMIPA USU. Dalam perkembangan tahun berikutnya Proposal Perubahan ini tidak dapat diproses oleh karena adanya surat edaran dari Dirjen Dikti bahwa pembukaan Fakultas baru di Indonesia tidak dapat dilakukan. Setelah USU menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56/2003, tanggal 11 November 2003, maka di seluruh USU terjadi perubahan sebutan dari Jurusan menjadi Departemen. Seiring dengan itu pula, peluang Departemen menjadi Fakultas terbuka kembali karena pasalpasal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 56/2003,
tanggal 11 November 2003, tentang Penetapan Universitas Sumatera Utara Sebagai Badan Hukum Milik Negara; dan Keputusan Majelis Wali Amanat No. 1/SK/MWA/I/2005, tanggal 8 Januari 2005, tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Sumatera Utara, membenarkan perubahan ini. Persetujuan Prinsip perubahan Status Departemen Farmasi menjadi Fakultas Farmasi akhirnya diperoleh melalui surat Rektor USU No. 2395/ J05/TU/2001, tanggal 17 Juni 2005. Langkah selanjutnya adalah pada tanggal 4 Juli 2005 diterbitkan Surat Keputusan Rektor USU No. 822/J05/SK/KP/2005, tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pembukaan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Pembukaan Fakultas Farmasi USU akhirnya disetujui melalui SK Rektor USU No. 1050/J05/SK/ KP/2006, tentang Pembukaan Fakultas Farmasi pada Universitas Sumatera
Utara, terhitung mulai hari Selasa, tanggal 8 Agustus 2006. Maka sejak saat itu Departemen Farmasi telah berubah menjadi Fakultas Farmasi USU, yaitu Fakultas yang ke-11 di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Pada Tahun 2007, sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 163/DIKTI/ KEP/2007, tanggal 29 November 2007, tentang Penataan dan Kodifikasi Program Studi pada Perguruan Tinggi, terjadi penyesuaian nama-nama Program Studi di lingkungan Fakultas Farmasi USU yang mengacu kepada lampiran surat keputusan Ditjen Dikti tersebut, yaitu menjadi: 1. Program Studi Diploma-3 Analis Farmasi dan Makanan (D-3); Program Studi Sarjana Farmasi (S-1) dan Program Studi Magister Farmasi (S-2) (SK Ditjen Dikti 80/DIKTI/ Kep/2007 tanggal 02 April 2007) 2. Program Studi Doktor Ilmu Farmasi (S-3) (SK. Ditjen Dikti 939/ H5.1.R/SK/PRS/2009 tanggal 11 Mei 2009) 3. Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker (P3A) (SK. Ditjen Dikti 26/D/O/2011 tanggal 26 Januari 2011) Pimpinan farmasi dari masa ke masa sejak berdirinya pada tahun 1969 – 2006 (Masa Jurusan/Departemen Farmasi FIPIA/FMIPA USU) yaitu: 1. Drs. R.A. Soekemi, Apt. (19691971) 2. Drs. M. Ch. Nasution, Apt. (19711974) 3. Drs. M. Iskandar Lubis, Apt. (19741976) 4. Drs. Arsil Alamsyah, Apt. (19761978) 5. Drs. Mudjitahid, Apt. (1978-1982) 6. Dra. Meizoni Mian, Apt. (19821985) 7. Drs. Syafruddin, M.S., Apt. (19851990) 8. Dra. Hayati Lubis, M.Si., Apt. (1990-1996) 9. DR. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt. (1996-2000)
46
Edisi XXX Januari - April 2018
KAMPUS 10. Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. (2000-2005) 11. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. (2005-2006) Sejak tahun 2006 setelah Fakultas Farmasi USU berdiri, Pimpinan Fakultas Farmasi dijabat pertama sekali dan selama 2 periode (20062010 dan 2010-2015) oleh Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. yang telah memberikan kontribusi dalam pembangunan gedung dan fasilitas di Fakultas Farmasi USU serta memperoleh Akreditasi Program Studi Sarjana Farmasi tertinggi “A” untuk pertama kalinya. Periode 2016-2021 pimpinan Fakultas Farmasi dijabat oleh Prof. Dr. Masfria, MS., Apt. Saat ini seluruh program studi di Fakultas Farmasi telah terakreditasi (Program Studi Sarjana Farmasi terakreditasi “A”, Program Studi Diploma-3 Analis Farmasi dan Makanan terakreditasi “A”, Program Studi Profesi Apoteker terakreditasi “A”, Program Studi Magister Farmasi terakreditasi “B”, Program Studi Doktor Ilmu Farmasi terakreditasi “B”). Selain akreditasi, Fakultas Farmasi telah tersertifikasi ISO 9001:2015 yaitu Program Studi Sarjana Farmasi dan Program Studi Profesi Apoteker sejak tahun 2016. VISI, MISI DAN TUJUAN Visi dari Fakultas Farmasi USU menjadi salah satu Institusi Pendidikan Tinggi Farmasi unggulan di Indonesia pada tahun 2020; “Menjadi salah satu Institusi Pendidikan Tinggi Farmasi unggulan di Indonesia dan bertaraf internasional pada tahun 2020”.
Gambar 4. Dekan Pertama Fakultas Farmasi (Periode 2006-2010 dan 2010-2015)
NO DEPARTEMEN
LABORATORIUM
1
Departemen Kimia Farmasi
1. 2. 3. 4.
Lab. Kimia Farmasi Kuantitatif. Lab. Kimia Farmasi Kualitatif. Lab. Kimia Bahan Makanan Lab. Kimia Organik /Sintesis Bahan Obat.
2
Departemen Teknologi Farmasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Lab. Biofarmasi & Farmakodinamika. Lab. Farmasetika Dasar. Lab. Farmasi Fisik. Lab. Teknologi Sediaan Formulasi I. Lab. Teknologi Sediaan Formulasi II. Lab. Teknologi Sediaan Formulasi III. Lab. Kosmetologi.
3
Departemen Biologi Farmasi
1. Lab. Biologi Farmasi.
4
Departemen Farmakologi Farmasi
1. Lab. Farmakologi Farmasi. 2. Lab. Farmasi Komunitas.
5
Unit Laboratorium Penunjang
1. Lab. Statistika Farmasi. 2. Lab. Penelitian
Misi dari Fakultas Farmasi adalah Mengembangkan sumber daya manusia yang unggul di bidang farmasi serta mengembangkan dan menerapkan ilmu kefarmasian yang lebih bermakna di masyarakat. Tujuan dari Fakultas Farmasi adalah a. Menyelenggarakan pendidikan tinggi farmasi yang berkualitas dan berkarakter. b. Menyelenggarakan penelitian
Gambar 5. Dekan Fakultas Farmasi Periode 2016-2021
c.
yang inovatif, kompetitif, dan berkesinambungan dalam bidang kefarmasian yang bermanfaat bagi masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang farmasi. Mempublikasikan hasil penelitian dalam jurnal ilmiah internasional bereputasi dan jurnal ilmiah nasional terakreditasi.
d.
Menerapkan hasil penelitian ilmu kefarmasian terkini dan berwawasan kedepan melalui pengabdian kepada masyarakat.
DEPARTEMEN DAN LABORATORIUM Fakultas Farmasi USU memiliki 16 laboratorium yang terkoordinasi dibawah 4 (empat) Departemen sebagai Edisi XXX Januari - April 2018
47
KAMPUS
GCMS HPLC
LCMS IT TOFF
TLC-Densitometri
Spektrofotometer AAS NMR 300 MHz Gambar 6. Fasilitas Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU
Gambar 7. Ruang Simulasi Pelayanan Kefarmasian pengelola bidang keilmuan di Fakultas Farmasi. Departemen dan laboratorium dapat dilihat dalam tabel berikut: PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi
48
USU, yang selanjutnya disingkat menjadi Prodi D III Anafarma, dibuka atau mulai menerima mahasiswa baru sejak Agustus 1994. Prodi D III Anafarma memperoleh izin pendirian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 493/ Dikti/Kep/1995 tertanggal 6 Desember
Edisi XXX Januari - April 2018
1995 yang ditandatangani oleh Bambang Suhendro. Dengan demikian, maka Prodi D III Anafarma secara resmi dinobatkan sebagai program studi diploma keenam di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU. Prodi D III Anafarma merupakan penyelenggara pendidikan vokasi satusatunya di Fakultas Farmasi USU dan telah berhasil meraih peringkat akreditasi “A” berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) Nomor 481/SK/BAN-PT/ Akred/Dpl-III/XII/2014 tertanggal 29 Desember 2014. Penyelenggaraan pendidikan akan menghasilkan lulusan dengan gelar Ahli Madya Kesehatan (Amd.Kes.) yang memiliki sikap, keterampilan, dan pengetahuan sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) serta bertindak profesional sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian. VISI Menjadi program pendidikan vokasi farmasi nasional menuju pengakuan internasional dalam bidang keunggulan kompetitif Sains Teknologi Farmasi dan Makanan (SAINTEKFARMA) MISI • Menyelenggarakan pendidikan tinggi vokasi farmasi berstandar nasional dan internasional secara profesional, bermoral, dan beretika berdasarkan tata nilai BINTANG (Bertakwa, INovatif, TANGguh, dan arif ). • Melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat melalui bidang keunggulan kompetitif SAINTEKFARMA (SAINs TEKnologi FARmasi dan MAkanan) yang diakui secara nasional dan internasional. • Menjalin kerjasama dengan institusi dalam dan luar negeri berlandaskan prinsip keadilan, kesetaraan, dan keberkelanjutan (DIRAJUT). TUJUAN • Meningkatkan mutu pengelolaan organisasi secara berkesinambungan untuk mencapai keunggulan
KAMPUS •
•
•
nasional tertinggi dan merintis pengakuan internasional. Menghasilkan lulusan yang berkualitas, berkarakter, dan berdaya saing tinggi pada skala nasional dan internasional sesuai dengan tata nilai BINTANG. Menghasilkan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang inovatif, kompetitif, serta diakui secara nasional dan internasional dalam bidang unggulan SAINTEKFARMA yang berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Memanfaatkan kerjasama kemitraan dengan institusi dalam dan luar negeri untuk meningkatkan mutu program pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat menuju pengakuan internasional.
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI Program studi S1 Farmasi (PSSF) merupakan suatu lembaga pendidikan farmasi yang didirikan pada tahun 1969. Pada awal pendiriannya, prodi ini berada di bawah naungan FIPIA (sekarang FMIPA) USU. Sejak tahun 2007, PSSF berada di bawah Fakultas Farmasi USU. Sebagai bagian dari USU, lembaga pendidikan ini berkeinginan untuk menjadi perguruan tinggi yang memiliki keunggulan akademik dan mampu bersaing dalam tataran dunia global. Di dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Fakultas bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang unggul dalam bidang farmasi sains dan teknologi serta farmasi klinis dan komunitas yang berwawasan internasional. Lulusan PSSF Fakultas Farmasi USU bukan merupakan akhir dari pendidikan tinggi farmasi, tetapi ada pendidikan lanjutan berupa Program Pendidikan Profesi Apoteker untuk menghasilkan lulusan yang kompetitif dalam bidang farmasi. VISI Berdasarkan visi Fakultas Farmasi, maka visi Program Studi Sarjana Farmasi
Fakultas Farmasi adalah “Menjadi program studi farmasi yang memiliki keunggulan dalam bidang farmasi sains dan teknologi serta farmasi klinis dan komunitas yang berwawasan internasional tahun 2020”. MISI 1. Menyelenggarakan pendidikan sarjana farmasi yang memiliki keunggulan dalam bidang farmasi sains dan teknologi serta farmasi klinis dan komunitas yang mampu a. Mengkaji mutu obat, obat bahan alam kosmetika dan makanan, b. Merespon dan melaksanakan setiap perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir di bidang farmasi sains dan teknologi serta farmasi klinis dan komunitas, c. Mengaplikasikan ilmu farmasi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat. 2. Melaksanakan penelitian dalam bidang farmasi sains dan teknologi serta farmasi klinis dan komunitas untuk menopang riset dan teknologi serta penerapannya di masyarakat 3. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER Keberadaan PSPA FF USU diawali dengan dibukanya Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam (FIPIA) USU. Selanjutnya FIPIA USU diubah menjadi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) USU. Pada saat itu tidak ada pemisahan antara Program Pendidikan S-1 Farmasi dan Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker. Setelah mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (Drs/ Dra, kini S. Farm), Mahasiswa dapat ke Tingkat Apoteker dengan tetap memakai Nomor Induk Mahasiswa (NIM) yang sama.
Pada tanggal 9 Januari 1999 Apoteker ditetapkan menjadi program yang berdiri sendiri di bawah Jurusan Farmasi dengan nama Program Pendidikan Profesi Apoteker (P3A) melalui rapat jurusan. Dengan perubahan ini, lulusan S-1 Farmasi harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk menjadi mahasiswa P3A, dengan memenuhi persyaratan administrasi yang telah ditentukan. P3A menerima pendaftaran dua kali dalam satu tahun, yakni pada awal semester gasal dan awal semester genap. P3A merupakan salah satu program studi di antara program-program studi yang lain di lingkungan Fakultas Farmasi USU, meskipun izin masih menyatu dengan izin S1 Farmasi sebagaimana P3A di Perguruan Tinggi lain di Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 26 Januari 2011 P3A Fakultas Farmasi USU mendapatkan izin operasional dari Kementerian Pendidikan Nasional melalui Surat Keputusan No. 26/D/O/2011 tentang Penyelenggaraan Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker pada Universitas Sumatera Utara di Medan, dan sejak saat itu P3A berubah nama menjadi Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker disingkat PSPA. Pada tanggal 03 Februari 2012 Program Studi Profesi Apoteker Memperoleh Akreditasi “ A” Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Departemen Nasional RI Nomor 001/BAN-PT/Ak-I/PSPA/ II/2012. VISI Menjadi institusi pendidikan profesi Apoteker yang unggul dalam bidang farmasi sains teknologi serta klinik komunitas yang berwawasan internasional pada tahun 2020 MISI 1. Menyelenggarakan pendidikan profesi apoteker yang unggul dalam bidang farmasi yang berwawasan Internasional; 2. Melaksanakan penelitian dalam bidang farmasi untuk menopang Edisi XXX Januari - April 2018
49
KAMPUS
3.
4.
riset dan teknologi serta penerapannya di masyarakat; Melaksanakan pengabdian di bidang kefarmasian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat; Melaksanakan dan mengembangkan kerjasama dan jaringan program studi di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI DAN DOKTOR ILMU FARMASI Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara didirikan pada tahun 2000, berdasarkan surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional No. 272/DIKTI/ Kep/2000, tertanggal 16 Oktober 2000. Program Studi ini secara operasional berada di bawah Sekolah Pasca Sarjana USU dan untuk pertama kalinya Program Studi Magister Farmasi mulai menerima mahasiswa baru pada bulan Agustus tahun 2001. Pada tahun 2009 berdasarkan Surat Keputusan Rektor Univeristas Sumatera Utara No. 17013/H5.1.R/SK/2009 Tentang Pengalihan Pengelolaan Program Studi Magister Farmasi dari Sekolah Pascasarjana USU ke Fakultas Farmasi USU, maka secara operasional seluruh proses dan pengelolaan administrasi akademik, proses pembelajaran dan pengelolaan keuangan dialihkan dan dilaksanakan oleh Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Program Studi Magister farmasi dan Doktor Ilmu Farmasi adalah program yang mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan dan pengembangan pengetahuan masyarakat luas untuk menguasai, mengembangkan dan mendesiminasikan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang farmasi dan umumnya bidang kesehatan masyarakat, sehingga memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni dan mempunyai nilai
50
(value), dalam rangka memajukan dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itulah Program Studi Magister Farmasi dan Doktor Ilmu Farmasi melaksanakan funsi Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada ,masyrakat. Untuk mendukung dedikasi tersebut, maka Program Studi Magister Farmasi dan Doktor Ilmu Farmasi secara terus menerus meningkatkan kinerjanya agar bias menjamin mutu baik proses manajemen maupun belajar mengajar, sehingga luarannya berkualitas tinggi maupun di lingkungan tempatnya bekerja. Visi Program Studi Magister Farmasi Visi Program Studi Magister Farmasi adalah menjadi salah satu Program Studi Magister farmasi yang unggul pada bidang Sains Farmasi dan Teknologi, serta Farmasi Klinis di Indonesia pada Tahun 2020. Misi Program Studi Magister Farmasi Menyelenggarakan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dengan kualitas yang mampu bersaing secara regional dalam rangka : 1. Meneyelenggarakan pendidikan Program Magister Farmasi berbasis penelitian dalam bidang Sains Farmasi dan Teknologi, serta Farmasi Klinis yang berkualitas, dalam rangka mencerdaskan dan memberdayakan bangsa, memelihara integritas nasional dan berwawasan Internasional. 2. Meningkatkan kualitas penelitian dalam bidang Sains Farmasi dan Teknologi, serta Farmasi Klinis yang menopang pengembangan riset dan teknologi serta penerapannya di masyarakat. 3. Memperluas kesempatan belajar pada Program Magister Fakultas Farmasi bagi masyarakat Indonesia. 4. Merespons setiap perkembangan
Edisi XXX Januari - April 2018
ilmu dan teknologi mutakhir dalam bidang Ilmu Farmasi. Visi Program Studi Doktor Ilmu Farmasi Menjadi Program Studi Doktor Ilmu Farmasi unggulan dalam pengembangan potensi bahan alam dalam bidang sains teknologi yang berwawasan Internasional tahun 2021. Misi Program Studi Doktor Ilmu Farmasi 1. Menyelenggarakan pendidikan Program Studi Doktor Ilmu Farmasi berbasis penelitian bahan alam yang inivatif serta berkualitas dlaam rangka mencerdaskan dan memberdayakan bangsa di bidang kefarmasian, menjaga integritas nasional dan berwawasan internasional. 2. Melakukan peningkatan kuantitas, kualitas dan keragaman penelitian bahan alam dalam Bidang SainsFarmasi dan Teknologi, serta Farmasi Klinis sehingga layak dipublikasikan di jurnal bereputasi internasional yang berindeks scopus dan Thomson Reuter serta dapar diterapkan di tengah-tengah masyarakat. 3. Melaksanakan pengabdian masyarakat yang bertujuan untuk meningatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. 4. Memperluas kesempatan bagi masyarakat Indonesia dan memberi kesempatan bagi masyarakat internasional untuk belajar pada Program Studi Doktor Ilmu Farmasi 5. Merespon setiap perkembangan ilmu dan teknologi terkini dalam bidang ilmu Farmasi 6. Melaksanakan kerja sama dengan berbagai pihak yang dapat meningkatkan kualitas di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian.n Imam Bagus
JEJAK
pROFESI
Mulai nomor ini, Medisina menampilkan rubrik baru, pengalaman sejawat selama menjalani profesi apoteker. Artikel human interest ini dimulai dari pengalaman sejawat Lusy Noviani, yang diharapkan menggugah sejawat lain menuliskan pengalamannya selama menjalani profesi apoteker (Red) Oleh : Lusy Noviani
Kegiatan Implementasi Good Pharmacy Practice di Bekasi
lIFELONG LEARNING AS PHARMACIST
N
ama saya Lusy Noviani. Saya lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Namun jangan kaget jika bertemu dengan saya, baik gaya bicara dan tingkah laku jauh dari kesan kalem dan halus.. Setelah lulus dari Fakultas Farmasi UGM, di tahun 1998, saya bekerja sebagai Manager Produksi di Industri Jamu PT Trihasta Ambarawa. Ternyata ini adalah satu satunya pengalaman kerja saya di bidang industri. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan dan berharga dalam hidup saya. Sejak tahun 1999 sampai saat ini saya telah bekerja di 5 rumah sakit, baik sebagai Kepala instalasi Farmasi maupun sebagai Kepala bagian pembelian. Saat ini saya bekerja di RS Atma Jaya, tempat yang saya mimpikan selama ini, karena merupakan rumah sakit Pendidikan utama, dimana akademisi dan praktisi dapat berkolaborasi dengan indah untuk pelayanan yang lebih baik bagi pasien. Tidak ada hal yang luar biasa dalam perjalanan karir saya sebagai Kepala Instalasi Farmasi. Sebagian aktivitas dihabiskan untuk pelayanan resep dan pengelolaan perbekalan farmasi. Saya tidak pernah bercita cita ingin menjadi kepala Instalasi Farmasi di rumah sakit. Keputusan untuk pindah dari Industri dan akhirnya bekerja di rumah sakit terjadi begitu saja. Saat itu saya harus pindah kota mengikuti suami yang bekerja di Jakarta. Yang ada didalam pikiran saat itu hanya bagaimana saya
bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Saya sempat melamar di sebuah retail apotek besar di Jakarta, namun karena belum mempunyai pengalaman bekerja di apotek, akhirnya saya tidak diterima. Dan saat ditawari kerja di sebuah rumah sakit, tanpa berpikir panjang saya langsung menerimanya. Tahun tahun pertama bekerja sebagai kepala Instalasi adalah tahun yang berat untuk saya. Dengan pengalaman kerja yang nol, bukanlah hal yang mudah untuk saya. Bekerja dengan tim kesehatan yang lain, membaca resep, mengelola sediaan farmasi yang hampir sebagian besar tidak familiar, dan menjadi leader dari tim di farmasi. Benar benar tahun pertama yang saya lalui sangat sulit. Ada satu moment yang tidak pernah saya lupakan hingga saat ini, yaitu ketika kepala perawat meminta menyiapkan alkes 3 way catheter, saya terdiam lama digudang, tidak terbayang bentuknya seperti apa, dan beberapa menit berlalu datang asisten farmasi membantu mengambilkan alkes tersebut. Kejadian itu membuat malu namun menjadi pemicu untuk belajar dan belajar lagi. Sejak saat itu setiap ada waktu kosong, saya selalu ke gudang untuk menghafal jenis alkes dan kemudian ke ruang perawatan untuk melihat bagaimana mereka memasangnya, berharap permasalahan yang saya hadapi cepat teratasi, dan membuat saya menjadi lebih baik dalam bekerja. Namun ternyata kenyataan tidak
seindah harapan. Masalah terus datang silih berganti. Mulai dari keluhan pasien dan dokter, permasalahan obat yang kosong, stok opname yang tidak sesuai, obat expired, obat dead stok, pengajuan obat baru dan lain lain. Tidak cukup di jam kerja, bahkan dimalam hari dan hari liburpun, saya harus bekerja untuk mencarikan stok obat yang kosong atau mengatasi keluhan bagian lain. Saya benar benar tidak bahagia dan berpikir “ saya salah jurusan, seharusnya saya tidak sekolah Farmasi“. I am not happy as a pharmacist.. Waktu terus berjalan, saya menjalani hari demi hari sebagai rutinitas, dan kewajiban sebagai pekerja. Tidak ada passion menjalani pekerjaan kefarmasian yang bagi sebagian orang mengangap bahwa menjadi Kepala Instalasi adalah posisi yang keren. Sampai pada satu waktu, Rumah sakit harus menghadapi akreditasi sebagai persyaratan perpanjangan izin. Saya mulai diperkenalkan dengan standar pelayanan kefarmasian. Awalnya saya menganggap akreditasi hanya sebagai tambahan beban kerja saja. Saya harus menyiapkan dokumen yang diminta, merubah prosedur dan kebijakan dan merubah kegiatan rutin yang saya lakukan, belum juga selesai masalah dengan inventory, saya diharuskan memberikan pelayanan langsung ke pasien sebagai bagian dari pelayanan farmasi klinis di rumah sakit. Awalnya canggung bertemu dengan dokter dan berdiskusi dengan tenaga Edisi XXX Januari - April 2018
51
JEJAK
pROFESI
medis, namun perlahan lahan saya mulai menikmati peran baru saya. Belajar dari tim medis terkait perkembangan pasien, berinteraksi langsung dengan pasien, mendengar cerita mereka, melihat mereka menangis dan tersenyum, ah.. saya mulai merasakan dunia saya mulai berwarna. Saya mulai menikmati peran kecil saya sebagai apoteker Saat itu saya baru tersadar, bahwa betapa besarnya cakupan pelayanan kefarmasian. Standard dan elemen yang tercantum dalam akreditasi merupakan hal penting yang selama ini tidak dilaksanakan, dan sebenarnya merupakan hal penting untuk keselamatan pasien. Saya mulai bangkit kembali, menyusun satu per satu prosedur dan kebijakan seperti yang diminta dalam standar. Sungguh tidak mudah memenuhi standar yang diminta, dengan keterbatasan tenaga yang ada dan pengetahuan yang belum memadai,. Tanpa saya sadari, ternyata panduan akreditasi menuntun saya untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang benar. Dan ketika segala upaya yang dilakukan membuahkan hasil, saya merasa bahagia. Ini pertama kali saya merasakan betapa indahnya dunia saya. Saya mulai sedikit mencintai profesi ini… Di Tahun 2013, saya diberikan kesempatan untuk melihat “dunia lain”. Saya berkesempatan mengikuti program Fellowship Immersion di Phillipina selama hampir 3 minggu disana. Pengalaman yang sangat berharga dalam perjalanan hidup saya. Selama magang dan berinteraksi dengan Apoteker Philipina
saya banyak belajar dari mereka yang sudah terbiasa melakukan pelayanan Farmasi Klinis, dilengkapi dengan fasilitas yang sangat memadai untuk menunjang pekerjaan kefarmasian. Pengalaman ini membuat saya kembali merasa kecil. Mata saya baru benar-benar terbuka. Ternyata, walaupun sudah lebih dari 10 tahun bekerja sebagai Ka. Instalasi saya belum bekerja dengan benar. Sekembalinya dari Phillipina saya berusaha untuk berubah. Dengan jumlah apoteker yang ada kami mulai memberikan pelayanan farmasi klinis ke pasien, walaupun saat itu apoteker klinis belum ada di tim kami. Ternyata tidak mudah menjalani pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Hambatan internal dan eksternal yang harus dihadapi membuat kami terus bergandeng tangan untuk saling menguatkan satu sama lain agar komitmen ini tidak surut diterpa masalah yang menghadang. Berinteraksi dengan tenaga medis lainnya, berinteraksi dengan pasien, menyadarkan saya masih banyak ketinggalan kami sebagai apoteker klinisi. Saya sering menghadapi kesulitan bila dalam diskusi kasus dengan tim medis terkait pengkajian terapi. Dan ini membuat saya harus kembali belajar dan belajar lagi.. Pada Februari 2016, saya diberikan kesempatan oleh Ikatan Apoteker Indonesia untuk mengikuti Good Pharmacy Practice Program di Taipei. Satu pengalaman berharga yang membuat saya kembali terbuka, betapa masih jauh tertinggal pelayanan kefarmasian di tempat saya bekerja.
Waktu berlalu, saya terus menghadapi banyak hal baru dalam pelayanan kefarmasian. Tantangan yang datang silih berganti membuat saya semakit kuat dan terus mengejar ketinggalan yang ada. Saat ini mata saya memandang beda dalam setiap masalah yang datang. Setiap masalah memberikan peluang kepada saya untuk belajar dan belajar lagi. Setiap masalah memberikan pengalaman yang berharga. Dan memberikan kebahagian pada akhirnya, saat saya berhasil memecahkan masalah tersebut. Perubahan tidak akan pernah terjadi bila dari kita sendiri tidak pernah berubah.Mencintai pekerjaan yang kita lakukan juga bukan suatu hal yang mudah. Dia tidak datang sekonyong konyong. Perlu waktu panjang untuk mengenal siapa kita, apa profesi kita, dan bagaimana profesi kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Saya bersyukur akhirnya diujung usia saya, saya mulai mencintai profesi ini. Saya mulai menyadari betapa mulianya profesi ini bila kita melakukan pekerjaan kita dengan benar. Dan betapa besar perubahan yang bisa kita lakukan untuk pasien, bila kita melakukan pekerjaan tersebut dengan profesional dan dengan hati yang tulus. Saat ini, setiap ada waktu, keinginan saya adalah menulis dan menulis. Saya ingin menuliskan semua pengalaman dan ilmu yang saya dapat selama menjalani profesi ini. Saya ingin teman teman sejawat dapat belajar dari kesulitan demi kesulitan yang saya alami selama 20 tahun bekerja tanpa perlu mengalaminya sendiri. Kedepan tentunya tantangan akan semakin besar. Tuntutan akan standar pelayanan kefarmasian juga pasti lebih tinggi. Bukan hal yang mudah untuk dilalui dan juga bukan hal yang sulit untuk bisa dicapai. Tetap semangat ya dalam situasi sekeras apapun. Tetap bergandeng tangan untuk saling menguatkan dan berbagi pengetahuan.. Dan jangan pernah berhenti untuk belajar dan terus belajar.. Life long learner as Pharmacist Salam sukses selalu..n
Bersama Tim IAI di Taipei Veterans General Hospital, Taiwan
52
Edisi XXX Januari - April 2018
INFO
MEDIS
Penemuan Antibiotik Baru
Journal terkemuka *Nature Microbiology*, pada tanggal 12 Februari 2018 mempublikasikan temuan Antibiotik baru yang diberi nama malacidin yang memiliki kemampuan membunuh pelbagai strain multidrug-resistant bacterial Senyawa ini ditemukan dan diisolasi dari sekitar 2.000 sampel tanah yg dikumpulkan dan diteliti dari berbagai lokasi di Amerika Serikat. Menariknya senyawa ini ditemukan melalui teknik baru yang disebut culture-independent NP. artinya tidak dikultur melalui teknik fermentasi konvensional, akan tetap melaui teknik metagenomik, memanfaatkan bioinformatics analysis dan heterologous expression of biosynthetic gene cluster untuk mengekstraksi e-DNA dari sample tanah/environment. Antibiotik Malacidin ini ditemukan oleh Tim peneliti dari Rockefeller University, yang dipimpin oleh Brad Hover and Sean Brady. Senyawa tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri yang telah menjadi resisten terhadap kebanyakan antiobiotik yang ada saat ini, antara lain, MRSA ( Methicilin-resistant Staphylococcus aureus), dan bakteri Gram positif lainnya.
Walaupun saat ini malacidin belum diujikan pada manusia, namun penemuan baru antibiotik ini dianggap sebagai suatu terobosan baru dalam upaya penemuan antibiotik. Struktur Kimia Malacidin merupakan senyawa macrocycle lipopeptides. Inti peptida nya memiliki 4 nonproteinogenic amino acids. Nama malacidin berasal dari singkatan _metagenomic acidic lipopeptide antibiotic dan akhiran -cidin.
Mekanisme kerja: Malacidin, mengalami konformasi aktif setelah terikat pada kalsium. Molekul malacidin yg terikat pada kalsium ini kemudian dapat terikat pada lipid II, yaitu molekul prekursor dinding sel bakteri, yang dapat menyebabkan kerusakan dinding sel dan kematian bakteri. Oleh karena itu, malacidin ini akan menjadi anggota baru dari kelas antibiotik calcium-dependent antibiotics. Penemuan malacidin mendukung asumsi bahwa calcium-dependent antibiotics ini lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Menurut Sean Brady, dalam publikasi nya, disebutkan bahwa malacidin mampu membunuh hanya bakteri Gram-positive bacteria dan tidak bisa menghambat bakteri Gramnegative. Antibiotik ini dapat membunuh multidrug-resistant pathogens, termasuk bacteri yang resistant terhadap vancomycin dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus_ (MRSA), pada percobaan in vitro dan in vivo terhadap infeksi kulit pada binatang percobaan.n
Edisi XXX Januari - April 2018
53
FARMASI
kLINIK
BIOMARKER DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TERAPI ANTIBIOTIK Ika Puspita Sari, MSi, PhD, Apt Departemen Farmakologi & Farmasi Klinik, Farmasi UGM Anggota PPRA RSUP.dr. Sardjito, Yogyakarta
Salah satu hal penting dalam penegakan diagnosis infeksi adalah kebutuhan akan biomarker yang dapat terdeteksi secara cepat dan akurat, agar mampu mempercepat pemberian antibiotik.
B
eberapa penelitian menyebutkan bahwa saat pemberian antibiotik merupakan hal yang penting karena segera setelah penyakit infeksi dapat ditegakkan maka secepat mungkin dapat diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik sesegera mungkin dapat menurunkan secara bermakna angka kematian pasien. Kebutuhan akan biomarker dalam terapi infeksi tidak hanya terkait dengan saat pemberian antibiotik yang tepat, namun juga diinginkan agar biomarker juga berperan dalam menentukan kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan mengingat banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa semakin panjang pemberian antibiotik, maka kemungkinan terjadinya resistensi bakteri akan meningkat ditambah dengan makin besarnya gangguan keseimbangan pada flora normal tubuh pasien. Biomarker yang diinginkan oleh para klinisi antara lain memenuhi syarat : 1. Mudah digunakan dan mudah dalam interpretasinya
54
Gambar 1. Peran beberapa biomarker dalam proses infeksi bakteri dengan infeksi virus (Oved dkk, 2015)
2. Dapat ditentukan dalam waktu yang cepat 3. Murah 4. Memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi 5. Dinamis 6. Berkorelasi secara linier dengan respon klinis pasien 7. Memungkinkan untuk memutuskan terapi antibiotik yang aman
Edisi XXX Januari - April 2018
Ada beberapa biomarker yang digunakan oleh klinisi antara lain Presepsin, ProADM, SuPAR, STREM-1, Prokalsitonin, IP-10, TRAIL serta CRP. Biomarker yang diinginkan adalah yang dapat membedakan antara infeksi bakteri dengan infeksi lainnya antara lain virus atau jamur.
FARMASI
kLINIK
Tabel 1. Perbandingan prokalsitonin dengan CRP Onset Kadar puncak T1/2 Respon Perhatian
Sensitivitas Spesifisitas
Prokalsitonin 2 jam Pada 6-12 jam 25-30 jam Kadar menurun dengan cepat setelah terapi Pada pasien dengan gangguan ginjal terjadi perpanjangan t1/2
88% 81%
C RP 4-6 jam Pada 24-48 jam 19 jam Kadarnya bervariasi tergantung intensitas stimulus Pada pasien dengan gangguan hepar dan pemberian kortikosteroid terjadi penurunan kadar CRP yang bermakna 75% 67%
Gambar 2. Prokalsitonin dalam proses infeksi bakteri (Christ-Crain dkk, 2005)
Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan 3 biomarker pada penegakan diagnosis sepsis di beberapa rumah sakit di Perancis, memberikan hasil antara lain prokalsitonin menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi di atas 80%, sementara STREM-1 hanya menunjukkan sensitivitas 50% (walaupun spesifisitasnya tidak berbeda
jauh dengan prokalsitonin) (Gibot dkk, 2012). Penelitian yang pernah dilakukan di Manado pada pasien sepsis anak ditemukan nilai sensitivitas prokalsitonin yang tinggi yaitu 80% namun spesifisitasnya rendah hanya berkisar 11,54% (Runtunuwu dkk, 2008). Sementara itu penelitian terbaru di RSUD.dr.Soetomo yang dilakukan pada pasien anak yang didiagnosis
infeksi, jika digunakan nilai kadar prokalsitonin 0,505 ng/mL ditemukan nilai sensitivitas dan spesifitas di atas 80%, yang mampu membedakan infeksi bacterial dengan infeksi virus (Husada dkk, 2016). Penggunaan prokalsitonin lebih disukai dengan melihat data-data table 1. Penelitian yang dilakukan oleh Schuetz dkk (2012) menggunakan prokalsitonin untuk inisiasi dan penghentian antibiotik yang dilakukan pada pasien infeksi saluran pernafasan (pneumonia CAP, HAP, VAP, serta eksaserbasi PPOK/asma) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal kegagalan terapi pasien serta mortalitasnya, namun terdapat perbedaan bermakna pada lamanya antibiotik diberikan pada pasien. Pada pasien yang dilakukan pemeriksaan prokalsitonin, lama pemberian antibiotik 0-8 hari (ratarata 4 hari), sedangkan pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan kadar prokalsitonin diberikan antibiotik selama 5-12 hari (rata-rata 8 hari). Seperti yang sudah diduga, tampaknya kadar prokalsitonin mampu memperkirakan kapan pemberian antibiotik harus dilakukan dan kapan harus dihentikan berdasarkan data kadar prokalsitonin pasien. Sedangkan mortalitas pasien lebih ditentukan oleh keparahan pasien serta penyakit komorbid lainnya yang diderita pasien. Berikut (gambar 4) ini adalah guideline pemberian antibiotik berdasarkan algoritma kadar prikalsitonin pasien. Prokalsitonin biasanya diukur pada hari ke 0 (sebelum pemberian antibiotik) serta setidaknya pada hari ke 4 (setelah antibiotik diberikan 72 jam dan menampakkan respon antibiotik).
Edisi XXX Januari - April 2018
55
FARMASI
kLINIK
Gambar 3. Perbandingan beberapa biomarker pada diagnosis sepsis (Gibot dkk, 2012)
Gambar 4. Algoritma penggunaan prokalsitonin dalam terapi infeksi (Biomerieux)
56
Edisi XXX Januari - April 2018
Jika diperlukan maka prokalsitonin dapat diukur kembali menjelang antibiotik diperkirakan akan dihentikan atau di saat terjadi tanda-tanda vital dan respon pasien yang menunjukkan adanya infeksi yang belum membaik. Prokalsitonin tidak menggantikan parameter yang penting dalam diagnosis infeksi antara lain suhu, angka lekosit serta parameter pendukung lainnya tergantung jenis infeksinya. Kadar prokalsitonin yang terkait dengan infeksi bacterial jika ditemukan lebih dari 0,5 ug/L. Jika ditemukan kadar prokalsitonin <0,25 ug/L namun kondisi pasien menunjukkan ada infeksi missal suhu masih tinggi dan angka lekosit di atas normal, maka disarankan untuk melakukan pengukuran kadar prokalsitonin kembali 6 jam kemudian untuk memastikan infeksi bakterialnya. Pada kasus di unit intensive care, kadar prokalsitonin <0,5 ug/L pada hari ke 4 (atau adanya penurunan 80% kadar prokalsitonin pada hari ke 4 dibandingkan pada hari sebelum mendapat antibiotik) maka penggunaan antibiotik dapat dihentikan atau digenapkan menjadi 5 hari (Quenot dkk, 2013). Pada beberapa kasus terdapat kadar prokalsitonin yang sangat tinggi melebihi 20 ug/L, yang ternyata tidak berkorelasi dengan infeksi, namun ditemukan pada pasien dengan keganasan dan pasien dengan system imun yang rendah. Namun hal ini masih perlu ditegaskan dengan penelitian lebih lanjut apakah kadar prokalsitonin yang sangat tinggi lebih menggambarkan adanya inflamasi sistemik dibandingkan dengan infeksi.n
KOSMETIK
KOJIC ACID BAHAN AKTIF KOSMETIKA PENGHAMBAT PIGMENTASI Warna apapun kulit manusia, bila merata dan tampak terawat tak perlu lagi menjadi problema yang serius. Namun bila warna coklat pada kulit tidak merata atau terlokasir dibagian tertentu yang mudah terlihat, tentunya dapat menjadi masalah.
B Oleh : Christina Avanti
eberapa pendekatan kosmetik telah dilakukan untuk mengatasi problema tersebut, diantaranya dengan menggunakan tabir surya untuk melindungi kulit dari sinar matahari, mengurangi pembentukan melanin, dan menekan pembentukan atau menghambat aktivitas enzim yang berperan dalam proses pembentukan melanin.. Sinar matahari merupakan salah satu penyebab pencoklatan kulit. Penggunaan tabir surya merupakan tindakan pencegahan agar proses
pencoklatan kulit tidak berlanjut menjadi makin parah. Melanin adalah suatu zat warna coklat yang dihasilkan oleh melanosit yang berada di lapisan basal kulit. Melanin dapat dikurangi pembentukannya dengan menggunakan bahan aktif tertentu seperti hidroquinon. Meski hidroquinon dengan kadar yang rendah (2%) masih diijinkan di Indonesia sebagai bahan aktif kosmetika, hidroquinon ini banyak sekali menimbulkan efek samping, terutama bila digunakan dalam jangka panjang, karena dapat meningkatkan kepekaan kulit terhadap cahaya, sehingga Edisi XXX Januari - April 2018
57
KOSMETIK tidak perlu heran bila pengggunaan krim yang mengandung hidroquinon dalam jangka panjang tanpa pengawasan dokter justru memperparah pencoklatan kulit bila kita melakukan aktivitas di bawah sinar matahari. Pencoklatan kulit dapat diatasi dengan mencegah pembentukan atau menghambat aktivitas tirosinase, enzim yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan melanin. Bahan aktif yang bekerja dengan mekanisme ini diantaranya adalah Kojic acid. Kojic acid adalah senyawa yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari Aspergillus dan Penicillium dalam proses aerobik dari berbagai sumber karbon. Kojic acid murni dapat diproduksi dari glucose ataupun karbohidrat lain dengan fermentasi (pemeraman). Di Jepang kojic berarti ragi, biasa digunakan untuk membuat Sake (minuman Jepang) yang dibuat dari beras. Kojic acid telah seringkali digunakan sebagai bahan kosmetik dengan efek hambatan pigmentasi yang baik. Dari uji klinis diketahui bahwa krim yang mengandung Kojic acid dengan kadar 1% cukup efektif dalam mengatasi pencoklatan kulit akibat sinar matahari, namun pada kadar yang lebih besar (2,3%), tidak menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini disebabkan kojic acid pada kadar yang lebih besar dalam krim akan mencapai kadar jenuhnya, yang kemudian akan memicu timbulnya kristal yang tidak dapat diserap oleh kulit. Beberapa laporan klinis telah membuktikan kemanjuran
58
kojic acid dalam mengatasi pencoklatan kulit. Hanya saja kojic acid ini perlu digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 6 bulan, dan biasanya kosmetika yang mengandung bahan ini harganya cukup mahal. Seperti kebanyakan bahan aktif kosmetika penghambat pigmentasi lainnya, kojic acid tidak dapat mencegah timbulnya pigmentasi kembali terutama apabila kita sering beraktivitas di bawah sinar
matahari, seperti bermain tennis, golf, berenang, naik gunung dan sebagainya. Untuk mengatasi hal tersebut, selain kita gunakan produk penghambat pigmentasi, kosmetika tabir surya masih sangat diperlukan. Di Jepang, Kojic acid ini tidak dimasukkan dalam kategori kosmetika, tetapi masuk dalam kategori quasidrug atau di Eropa dikenal dengan istilah cosmeceuticals. Mengapa bukan kosmetik? Hal ini dilandasi oleh ketidak cocokan fungsi kojic acid dengan fungsi kosmetika. Kosmetika tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. Ada
Edisi XXX Januari - April 2018
pendapat yang menyatakan bahwa keadaan kelebihan pigmen yang tidak merata adalah merupakan kondisi abnormal atau penyakit sehingga bahan yang digunakan untuk mengatasinya dapat dikategorikan sebagai obat, namun ada pula pendapat lain bahwa kosmetika penghambat pigmentasi merupakan kosmetika yang berfungsi untuk mengubah penampakan kulit dari bercak coklat yang tidak merata menjadi lebih cerah dan merata, sehingga dapat masuk dalam kategori kosmetik. Di Indonesia telah beredar beberapa produk dengan merek ternama yang mengandung kojic acid, tentu saja masuk dalam kategori kosmetika. Kojic acid ini biasanya diformulasikan dalam bentuk kombinasi dengan bahan lain seper ti AHA, BHA dan tabir surya untuk meningkatkan efeknya, atau dikombinasi dengan bahan kosmetika pelembab untuk meningkatkan penyerapannya. Hal ini diperlukan karena organ yang menjadi target kojic acid adalah lapisan basal kulit yang terdapat di kulit bagian dalam. Bila penghambat pigmentasi memang diperlukan, beberapa hal di bawah ini perlu menjadi perhatian: 4 Tidak dioleskan di area sekitar mata dan mulut 4 Tidak dioleskan pada bagian kulit yang terluka 4 Gunakan tabir surya bila beraktivitas di bawah sinar matahari 4 Apabila iritasi kulit terjadi, sebaiknya segera hentikan penggunaan 4 Apabila iritasi kulit masih terjadi setelah penghentian, segera hubungi dokter kulit.n
Edisi XXX Januari - April 2018
59
60
Edisi XXX Januari - April 2018