MADZHAB HAMBALIYAH : SEJARAH DAN PEMIKIRANNYA
MAKALAH Disusun guna memenuhi tugas Mata kuliah
: Fiqh
Dosen
: Drs. H. Jasuri, M.S.I
Oleh : 1. Yuyun Fariha
(1403076035)
2. Ulfa Rizqi Maryani
(1403076036)
3. Hana Nazelia Afriani (1403076037)
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2016
I.
PENDAHULUAN Pada periode Rasulullah SAW tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah yang terjadi, sebab standar dan rujukan hukum hanya satu. Berbeda ketika periode sahabat sudah banyak muncul tokoh tasyri’ yang di antara mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah yang terjadi. Perbedaan pandangan terjadi karena cara mereka memahami maksud ayat-ayat Al-Qur’an juga berbeda-beda karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara analisis mereka. Demikian juga sikap dan cara pemahaman mereka terhadap hadis Nabi SAW. Pada abad 11 H pemegang peran dan kekuasaan penetapan hukum Islam beralih ke tangan generasi para imam mujtahid, lapangan arena perbedaan pendapat di kalangan para tokoh tasyri’ semakin meluas hingga sampai pada persoalan sebab-sebab yang berkaitan dengan sumber-sumber hukum dan prinsip-prinsip bahasa yang dalam memahami suatu nas-nas syariat. Perbedaan pendapat inilah yang menyebabkan terbentuknya mazhab-madzhab. Salah satu madzhab yang masyhur adalah Imam Hanbali. Berikut akan dibahas mengenai sejarah, dasar-dasar dan contoh pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal.
II.
RUMUSAN MASALAH a. Bagaimana sejarah madzhab Hanbali? b. Bagaimana dasar-dasar pemikiran madzhab Hanbali? c. Bagaimana contoh-contoh pemikiran madzhab Hanbali dalam kehidupan seharihari?
III. PEMBAHASAN 3.1
Sejarah Mazhab Hanbali Pembangun madzhab sunni yang keempat adalah Al Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal asy Syaibani. Beliau dilahirkan pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H di Baghdad dan wafat pada tahun 214 H, Bapak dan ibunya berasal dari kabilah Asya-bani bagian Kabilah dari Arab.1
1
H.A. Djazuli, ILMU FIQH, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010), hal. 132
1
Beliau seorang Imam yang selalu melawat ke berbagai kota untuk mencari ilmu dan hadist. Beliau pernah ke Syria, Hijaz, Yaan, Kufah dan Bashrah. Dengan usaha yang tidak kenal payah beliau menghimpun sejulah 40.000 hadist dalam kitab Musnadnya. Imam Ahmad terkenal sebagai seorang imam yang menjauhkan diri dari qiyas dan kuat berpegang kepada nash kitab dan hadist. Akan tetapi, Imam Ahmad terkenal sekali sebagai ulama yang tidak percaya adanya ijma’, dengan ucapannya yang terkenal : “Siapa yang menyatakan terdapat Ijma, maka dia adalah pendusta”. Menurut Dr. Abu Zahrah, ijma yang ditentang oleh Imam Ahmad adalah Ijma sesudah masa shahabat yang diakui kebenarannya. Karenanya sebagian ulama menggolongkannya kedalam golongan ahli hadist, tidak kedalam golongan para mujtahid.2 Imam Ahmad tidak menulis kitab-kitabnya sendiri, meskipun beliau mempunyai banyak catatan tentang hadist. Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal dalam hadist, disusun dan dikumpulkan oleh putranya yang bernama Abdullah. Bahkan untuk masalah fiqh, Imam Ahmad tidak mencatatnya. Fiqh Imam Ahmad kemudian ditulis oleh murid-muridnya. Diantara murid-muridnya adalah Abdulllah Bin Ahmad, Abu Bakar al-Asdom, Abdul Malik al Malmuny, Inrahim bin Ishak, dll. Yang mengembangkan Madzhab Hanbali yang terkenal serta pengaruhnya didunia Islam sekarang adalah Ibn Taimiyah (661H) lahir 450 tahun setelah Imam Ahmad meninggal dan murid Ibn Taimiyah adalah Ibn Qoyyim al Jauziyah.3 Kedua beliau ini adalah tokoh-tokoh yang membaharui madzhab Ahmad, membela dan mengembangkannya serta membuka mata manusia untuk memperhatikan ajaaran-ajaran Ahmad , khususnya dalam bidang muamalah. Madzhab Hanbali adalah madzhab yang sekarang berkembang di dunia Islam. Mula-mula berkembangnya hanya di Bagdad. Kemudian di abad yang keempat baru melampaui perbatasan Irak dan di akhir abad yang keenam berkembang di Mesir. Dengan usaha Ibn Taimiyah dan Ibn Qayim madzhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad ke 12 Hijrah dengan kesungguhan 2 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar Ilmu Fiqh,(Semarang : Pustaka Rizki Putra,1997), hal. 125 3 H.A. Djazuli, ILMU FIQH, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010), hal. 133
2
Muhammad Ibn Abdil Wahhab ( wafat 1206 H) madzhab Hanbali menjadi madzhab penduduk Najed, terutama di masa pemerintahan raja Abdil Aziz as Su’udi. Sekarang Madzhab Hanbali adalah madzhab resmi pemerintah Saudi Arabia dan mempunyai pengikut di seluruh jazirah Arab, Palestina, Syria dan Irak.4 3.2
Dasar-dasar Mazhab Hanbali Mazhab ini didasarkan kepada: a. Nash Al-Qur’an atau nash Al Hadits Apabila beliau mendapati nash, beliau tidak lagi memperhatikan dalildalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat-sahabat yang menyalahinya. b. Fatwa shahabi, apabila tidak diperoleh nash Apabila beliau mendapati sesatu pendapat shahabat yang tidak diketahuinya bahwa ada yang menentangnya, beliau berpegang kepada pendapat itu dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan ijma’. c. Pendapat sebagian shahabat Apabila terdapat beberapa pendapat shahabat dalam sesuatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al Kitab dan As Sunnah. d. Hadits mursal atau hadits dla’if, jika tidak berlawaan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seseorang shahabat e. Qiyas Apabila beliau tidak memperoleh sesuatu yang diterangkan di atas maka beliau mempergunakan qiyas.5 Kita melihat dasar-dasar mazhab Hanbali sangat subur dan berlimpah. Hal paling penting yang menyebabkan pesatnya perkembangan mazhab ini adalah kandungannya yang banyak bersumber pada hadis dan sunnah serta fatwa-fatwa
4
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar Ilmu Fiqh,(Semarang : Pustaka Rizki Putra,1997), hal. 127-128 5 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 126
3
dan pendapat para sahabat dan tabi’in. Melalui dalil-dalil sunnah dan fatwa para sahabat dan tabiin itu, banyak sekali fatwa mazhab yang dibangun. Karena dalildalil itu menjadi referensi bagi para mujtahid mazhab, mereka melakukan takhrij hukum dan qiyas dari dalil-dalil tersebut. Selain dalil-dalil itu sangat banyak, dasar-dasar fikih mazhab Hanbali ini juga sangat subur, terutama yang berupa Mashalih al-Mursalah dan Sadd alDzara’i, karena keduanya membuka pintu ijtihad secara luas. Banyak sekali cabang-cabang masalah yang dibangun di atas dasar-dasar ini. Apalagi, mereka memperluas pemakaian istishhab. Alhasil, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan akad, mereka membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan ulama lain. Dasar-dasar dan sumber dalil fikih mazhab Hanbali sangat banyak dan subur, karena kandungan hadis dan sunnah serta fatwa-fatwa dan pendapat sahabat dan tabi’in. Inilah dasar paling utama yang menyebabkan pesatnya perkembangan mazhab ini.6 3.3
Contoh-contoh Pemikiran Madzhab Hambali a. Tidak wajib mengulang shalat ketika tidak ditemukan air atau debu Menurut madzhab Hambali, dalam keadaan tidak ada air atau debu, atau ada tapi ia tidak mampu memanfaatkannya. Misalnya, karena ada luka yang tidak boleh terkena air atau debu ia tetap wajib menunaikan shalat fardlu, bukan sunah, sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Jika aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, hendaknya kalian tunaikan sesuatu itu sekadar yang kalian mampu.” (HR. Baihaqi) Hadis tersebut menunjukkan bahwa ketika seseorang tidak mampu bersuci secara optimal, hendaknya ia tetap menunaikannya sekadar kemungkinan. Jika tidak mampu membasuh atau mengusap semua anggota yang telah ditentukan, maka ia boleh membasuh dan mengusap sebagian saja. Alasannya, bahwa dalam keadaan tidak ada air dan debu, seseorang tidak boleh meninggalkan kewajiban. Dalam konteks ini, ia tidak wajib mengulang sholatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah
6
Tariq Suwaidan, Biografi Imam Ahmad Ibn hanbal, (Jakarta: Zaman, 2012), hal. 471-472
4
SAW tidak pernah memerintahkan mereka untuk mengulang shalat yang telah ditunaikan. Karena wudlu adalah salah satu syarat shalat, maka kewajibannya gugur ketika seseorang tidak mampu menunaikannya.7 b. Mendirikan Shalat dalam Gereja Madzhab Hambali membolehkan shalat di gereja ataut empat ibadah orang nonmuslim lainnya. Ibnu Qudamah mengatakan, “Dibolehkan seseorang shalat dalam gereja yang bersih, sebagaimana Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Al-Auza’I, Said bin Abdul Aziz.” Demikian pula pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah ibnu’Umardan Abu Musa. Sedangkan Ibnu ‘Abbas, Malik, dan Al-Kannais memakruhkan hal tersebut disebabkan oleh gambar dan foto yang ada di dalamnya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah masuk ke Ka’bah dan shalat padahal di dalamnya masih ada gambar. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
َص ِّلَفَِّإنَّهُ ََم ْس ِّج ُد َّ ك َ فَاَيَْنَ َماَأ َْد َرَكْت َ ََالصالَةَُف “Jika waktu shalat telah tiba, shalatlah di manapun kalian berada. Karena sesungguhnya tempat itu seperti masjid.” (Al-Mughni, 1/759)8 c. Hukum berjabat tangan dengan nonmahram Dalam madzhab Hambali dinyatakan bahwa berjabat tangan dengan gadis asing (yang bukan mahram) tidak diperbolehkan. Adapun perempuan yang telah berusia tua, tidak apa-apa menjabat tangannya. Hal demikian karena menjabat tangan seorang gadis yang bukan mahram adalah lebih buruk daripada memandangnya. Adapun perempuan tua, boleh bagi seorang laki-laki menjabat tangannya, sebagaimana yang disebutkan “Al-Fushul dan “ArRi’ayah”. Disebutkan pula dalam riwayat Ibnu Manshur bahwa hukum menjabat tangan perempuan secara umum adalah makruh.9
Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, Studi Komparatif Antar Madzhab Fiqih: Shalat di Pesawat dan Angkasa. (Semarang: Syauqi Press, 2007), hlm. 111 8 Fahad Salim Bahammam, Fikih Modern Praktis 101 Panduan Hidup Muslim Sehari-hari. (Jakarta: Gramedia) hlm. 54-55 9 Fahad Salim Bahammam, Fikih Modern Praktis 101 Panduan Hidup Muslim Sehari-hari. (Jakarta: Gramedia) hlm. 263-264 7
5
d. Aurat laki-laki dan perempuan Aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Harits bin Abu Usamah dari Abu Saad alKhadry Ra. “ Aurat seorang mukmin adalah bagian diantara pusar dan lutut”. Jadi pusar dan dua lutut tidak termasuk aurat. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Amr bin Syuaib bahwa anggota tubuh antara pusar dan lutut adalah aurat. Lutut adalah pembatas. Makanya tidak termasuk aurat, sebagaimana pusar. Aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh selain muka dan dua telapak tangan. Sesuai dengan keumuman firman Allah SWT:
ِِّّ ات َي ْغضضن َِّمن َأَبص ِّ ِّ ِّ َين َ ِّزينَ تَ ُه َّن َإِّال ََما ََ وج ُه َّن ََوال َيُْب ِّد َ ْ ْ َ ْ ُ َ َ ََوقُ ْل َل ْل ُم ْؤمن َ اره َّن ََوََْي َفظْ َن َفُ ُر ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ وِبِّ َّن َوالَيُْب ِّدين ََآَبئِّ ِّه ََّن ْ َاَولْي َ ض ِّربْ َن َِبُ ُم ِّره َّن َ َزينَ تََ ُه َّن َإالَلبُعُولَت ِّه َّن َأ َْو َ َُعلَى َ ُجي َ ظَ َهَر َمْن َه َ ََآَب ِّء َبُعُولَتِّ ِّه َّن َأ َْو َأَبْنَائِّ ِّه َّن َأ َْو َأَبْنَ ِّاء َبُعُولَتِّ ِّه ََّن َأ َْو َإِّ ْخ َو ِّاِنِّ َّن َأ َْو َبَِِّن َإِّ ْخ َو ِّاِنِّ َّن َأ َْو َبَِِّن َ أ َْو ِِّّ أ ِّ ِّ ِّ ِّ اإلربَِّة َِّم َن ََالر َج ِّال َأ َِّو َ ِّ ني َ َغ ِّْْي َأ ْ اَملَ َك َ ت َأ َْْيَانُ ُه َّن َأ َِّو َالتَّابِّع َ ْ َ ُول َ َخ َواِت َّن َأ ََْو َن َسائ ِّه َّن َأ َْو ََم ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ض ِّربْن َّ َني َم ْن ََ اَُيْف ُ َِب َْر ُجل ِّه َّن َليُ ْعلَ َم ََم َ ين َ ََلَْيَظْ َه ُرو َ ْ َاَعلَى َ َع ْوَرات َالن َساء ََوالَي َ الط ْف ِّل َالذ َِّّ ِّزينتِّ ِّه َّنَوتُوبواَإِّ ََل َِّ َاَّلل ََج ًيعاَأَيُّ َهاَالْ ُم ْؤِّمنُو َنَلَ َعلَّ َُك ْمَتُ ْفلِّ ُحو َن ُ َ َ
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. Annur: 31)
Ibnu Abbas Ra menafsiri bahwa bagian yang boleh tampak adalah muka dan dua telapak tangan.10
10 Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, Studi Komparatif Antar Madzhab Fiqih: Shalat di Pesawat dan Angkasa. (Semarang: Syauqi Press, 2007), hlm.49
6
IV. KESIMPULAN Pembangun madzhab sunni yang keempat adalah Al Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal asy Syaibani. Beliau dilahirkan pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H di Baghdad dan wafat pada tahun 214 H, Bapak dan ibunya berasal dari kabilah Asya-bani bagian Kabilah dari Arab. Dasar-dasar yang digunakan dalam Mazhab Hanbali adalah Nash Al-Qur’an atau nash Al Hadits, Fatwa shahabi apabila tidak diperoleh nash, Pendapat sebagian shahabat, Hadits mursal atau hadits dla’if jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seseorang shahabat, dan Qiyas. Adapun beberapa contoh pemikiran madzab Hanbaliyah adalah tidak wajib mengulang shalat ketika tidak ditemukan air atau debu, mendirikan shalat dalam Gereja diperbolehkan dalam keadaan mendesak, hukum berjabat tangan dengan nonmahram tidak diperolehkan, aurat laki-laki antara pusar dan lutut, pusar dan lutut tidak termasuk aurat dan aurat perempuan seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan.
7
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka Rizki Putra, Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1999.Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka Rizki Putra Bahammam, Fahad Salim. Fikih Modern Praktis 101 Panduan Hidup Muslim Sehari-hari. Jakarta: Gramedia Djazuli, H.A. 2010. ILMU FIQH. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Mu’thi, Fadlolan Musyaffa’. 2007. Studi Komparatif Antar Madzhab Fiqih: Shalat di Pesawat dan Angkasa. Semarang: Syauqi Press Suwaidan, Tariq. 2012. Biografi Imam Ahmad Ibn hanbal. Jakarta: Zaman
8