BAB I PENDAHULUAN
Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena vektornya tersebar luas.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.
1
BAB II
PEMICU
Seorang perempuan, berusia 35 tahun tinggal di daerah Langkat datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RS Adam Malik dengan keluhan bengkak pada kaki sebelah kiri mulai dari pangkal paha sampai mata kaki. Hal ini dialami sejak 2 bulan yang lalu, awalnya berupa pembengkakan pada mata kaki kiri, teraba keras dan nyeri. Keluhan lain adalah batuk dan sesak nafas dan sudah mendapat pengobatan tetapi tidak sembuh. Ada beberapa orang di sekitar tempat tinggal pasien yang mempunyai keluhan yang sama. Pada pemeriksaan fisik diperoleh : kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 90 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit. Pada ektremitas inferior sinistra diperoleh non pitting oedem (+), nyeri tekan (+), hiperemis, (+), dan makula hiperpigmentasi (+). Pada auskultasi terdengar wheezing pada kedua lapangan paru. Apa yang terjadi pada pasien tersebut?
2
BAB III
MORE INFO
Laboratorium : Hb 10,8 g/dL ; Leukosit 9530/mm3; Ht 36,80%; trombosit 423.000/mm3 Hitung jenis: eosinofil 20%, basofil 4%, netrofil bata ng 40%, netrofil segmen 20%, limfosit 15%, monosit 1% Diperoleh parasit mikrofilaria inti tubuh teratur, ujung ekor runcing dan tidak berinti dan selubung tubuh transparan.
3
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Filariasis 4.1.1 Defenisi, etiologi, dan epidemiologi filariasis
Filariasis adalah suatu penyakit yang sering pada daerah subtropik dan tropik, disebabkan oleh parasit nematoda pada pembuluh limfe seperti Wuchereria Bancrofti. Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing yang menyerang jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family onchorcercidae. Menurut lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat dua golongan filariasis, yaitu yang menimbulkan kelainan kelainan pada saluran limfe (filariasis limfatik) limfatik) dan jaringan subkutis (filariasis subkutan) s ubkutan).. Penyebab utama filariasis limfatik limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan subkutan disebabkan oleh Onchorcercia spp. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. Filariasis limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan didaerah endemic sehingga merupakan masalah kesehatan masyarakat utama.Pada tahun 1997, diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia dibawah 15 tahun, 115 juta oleh W. bancrofti dan 15 juta oleh Brugia spp. Penyakit ini tidak dijumpai lagi di Amerika Utara, Australia, Jepang, dan di beberapa negara termasuk China. Di Indonesia, filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Di Jawa Barat, hingga November 2008, sebanyak 875 orang telah positif terjangkit filariasis, bahkan 420 orang di antaranya termasuk penderita kronik,dengan penyebab utama W.bancrofti. Pada beberapa tahun belakangan terjadi peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan ( urban lymphatic filariasis) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita di perkotaan akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah daerah tersebut.
4
Tabel dibawah dibawa h menunjukkan menunjukka n berbagai berbaga i karakteristik karakt eristik penyebab
filariasis filarias is
dan
manifestasi klinis uta ma yang ditimbulkannya. Spesies
Wuchereria
Penyebaran
Vektor
Negara Tropis
Nyamuk
bancrofti
Tempat
Tempat
Manifestasi
hidup
hidup
klinis utama
cacing
mikrofilar
dewasa
ia
Saluran Darah
Limfangitis
limfe Elefantiasis Hidrokel
Brugia malayi
AsiaSelatan,Timur,
Nyamuk
dan Tenggara
Saluran Darah
Limfangitis
limfe Elefantiasis
Brugia timori
Di beberapa pulau
Nyamuk
di Indonesia
Saluran
Darah
Limfangitis
limfe Elefantiasis
Loa-loa
Onchorcerca valvulus
Afrika Tengah dan Chrysops
Jaringan
Barat
spp.
ikat
Afrika,Yaman,
Simuliu
Kulit
Amerika
Tengah m spp.
dan Selatan
Darah
Calabar Sweeling
Kulit
Dermatitis, nodula,lesi mata
Perbedaan antara W.bancrofti dan B. malayi dapat dilihat pada tabel di bawah. Perbedaan B. timori dengan B. malayi adalah warna selubung dari B. timori adalah biru, sedangkan B. malayi berwarna pink, selain itu terdapat pada cephalic space dimana B. timori 3:1, sedangkan B. malayi 2:1.
5
4.1.2 Daur hidup filariasis
Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah menjadi stadium 4 yang kemudian bergerak menuju kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan kemudian larva ini berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah ( inguinal dan obturator ), ekstremitas atas ( saluran limfe aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki ( epididimidis, testis, korda spermatikus ). Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik/mikrofilaria ) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai
6
bentuk adaptasi ekologi lokal, lokal, saat timbul timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebih rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 ± 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20 tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun (lihat lampiran 1). 4.1.3 Klasifikasi filariasis
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai. Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu: Tingkat 1. Edema pitting pada tungkai t ungkai yang dapat kembali normal ( reversibel ) bila tungkai diangkat. Tingkat 2. Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel ) bila tungkai diangkat. Tingkat 3. Edema non pitting, tidak dapat kembali normal ( irreversibel ) bila tungkai diangkat, kulit menjadi tebal. Tingkat 4. Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit (elephantiasis). elephantiasis). 4.1.4 Gejala klinis filariasis
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. filariasis. Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi: 1. Masa prepaten
7
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 37 bulan. Hanya sebagian dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik mikrofilar emik ataupun amikrofilar a mikrofilaremik. emik. 2. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan. 3. Gejala klinik akut
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik. Filariasis bancrofti
Pada filariasis yang disebabkan W uchereria uchereria bancrofti bancrofti pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi beberapa kali da lam setahun. Filariasis brugia
Pada filariasis yang disebabkan Brugia Brugia malayi dan Brugia Brugia timori limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis r etrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan. 4. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. 8
Filariasis bancrofti
Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria dapat terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat berat badan dan kelelahan.
Filariasis brugia
Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya.
OCCULT FILARIASIS - Tropical Pulmonary Eosinofilia Bentuk ini terjadi karena hipersensitivitas sistem imun penderita terhadap mikrofilaria. Dapat ditemukan keadaan hipereosinofilia, IgE yang tinggi terhadap mikrofilaria, gejala limfadenopati serta asma bronkial. Penyakit paru bersifat restriktif dan kadang obstruktif. Dapat dijumpai adanya peningkatan kadar antibodi spesifik antifilaria yang sangat tinggi. Gejala biasanya cepat menghilang dengan pemberian dietilkarbamasin sitrat (DEC). Beberapa
keadaan
klinis
lain
seperti
arthritis,
tenosynovitis,
fibrosis
endomiokardial, endomiokardial, glomerulonephritis kadang-kadang merupakan manifestasi klinis dari occult filariasis.
Dari perjalanan penyakitnya filariasis menunjukkan spektrum luas dalam manifestasi kliniknya, sehingga pada suatu daerah endemik dapat terlihat individu dengan berbagai bentuk status klinik, yaitu: 1. Amikrofilaremik asimtomatik 2. Amikrofilaremik simtomatik 3. Mikrofilaremik asimtomatik 4. Mikrofilaremik simtomatik 5. Gejala klinik menahun hidrokel, elefantiasis, chyluria.
9
4.1.5 Patofisiologi filariasis
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan produk ± produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema. Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingg s ehinggaa melepaskan sitokin seperti IL IL 1, IL 6, TNF . Sitokin - sitokin ini akan aka n menstimulasi sum- sum tulang sehingga terja di eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, limfe, fibrosis, dan da n kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis. 4.1.6 Diagnosa dan Pemeriksaan filariasis 1. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun ( Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun. 2. Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat
10
dilakukan siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. 3.
R adiodiagnosis adiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerakgerak ( filarial filarial dance sign). sign ). Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia asimtomatik. 4. Diagnosis Immunologi
Pada keadaan a mikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis. Adanya
antibodi
tidak
menunjukkan
korelasi
positif
dengan
mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal terhadap O. gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W . bancrofti di Papua New Guinea.
Interpretasi more info lihat tabel di bawah ini
Nilai Normal
Kasus
Hb
12-16 g/dl
10,8 g/dl
Ht
37-47 %
36,80 %
Leukosit
4.000-
3 3
normal
9530/ mm
11.000/mm Trombosit
3
150-450 x 10 / 3
3
423.000/ mm
normal
mm
11
Parasit Mikrofilaria Mikrofilaria : inti tubuh tubuh teratur, ujung ekor ekor uncinng, uncinng, tidak berinti, dan seluruh tubuh transparan W. bancrofti. Diftel
Nilai Normal
Kasus
Eosinofil
1-3
20
Basofil
0-1
4
Neutrofil Batang
2-6
40
Neutrofil Segmen
50-70
20
Limfosit
20-40
15
Monosit
2-8
1
4.1.7 Diagnosa banding filariasis
Pasien yang datang dengan pitting edema, lihat apakah kurang dari 40 detik atau lebih dari 40 detik. Jika kurang dari 40 detik maka hipoalbuminemia yang dapat disebabkan oleh penurunan sintesis protein atau peningkatan kehilangan protein. Jika lebih dari 40 detik maka normoalbuminemia yang dapat disebabkan oleh venous hypertension dan identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena leher. Jika ada maka systemic venous hypertension (cardiac diseases) diseases) dan jika tidak maka venous insufficiency atau obstruction. obstruction. Selain itu, perlu kita ketahui apakah edema unilateral atau bilateral. Jika edema unilateral maka lihat apakah nonpitting dan nontender ? nontender ? Jika ya, maka kemungkinan adalah limfedema, obstruksi oleh filariasis, infeksi streptokokkus yang berulang, dan malignancy. Jika pitting Jika pitting dan tender, maka kemungkinan adalah trombosis, kista Baker, dan akut a kut selulitis. Bilateral edema, perlu diketahui apakah nonpitting dan nontender ? Jika ya, maka kemungkinan adalah limfedema. Jika pitting Jika pitting dan dan tender,lihat tender,lihat apakah cepat atau lambat. Jika lambat maka kemungkinan adalah oleh venous hypertension dan
12
identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena leher. Jika ada maka edema jantung. Jika tidak maka venous hypertension atau occlusion. Jika cepat maka apakah ada penurunan protein. Jika ada a da maka kemungkinan kemungkinan penurunan sintesis protein atau peningkatan kehilangan protein. Selain itu, diagnosa banding dari filariasis adalah hernia inguinalis, knobs, kiluria, pembesaran ekstremitas. ekstremitas. Diagnosa banding untuk untuk TPE, lihat tabel di bawah. bawah. Feature
TPE
Lofller¶s syndrome
Wheezing Systemic syndrome Eosinofil level
often often High
IgE level
High
Rare Rare
Chronic eosinophilic pneumonia often often
Allergic aspergill osis often often
Moderate
Moderate
high
Moderate
To high ?
Filarial High ? antibodies DEC present response
Absent ?
Absent
high
Vasculitis syndrome Absent Absent often
Idiopathic hypereosin ofilia Absent Often
Absent Often
Other helminthic infections possible Variable
Low
High
Moderate
Variable
Low to moderate
Absent
Absent
Absent
Absent
Low moderate
Drug allergy
To high to high
Absent Absent
Moderate To high possible
Absent Absent
4.1.8 Penatalaksanaan filariasis filari asis
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik untuk filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria transien, alergi, muntah dan serangan asma. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, limfedema transien, hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2-5 hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa hari sampai
13
possible
beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala klinis. Reaksi sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik. Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia, sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping DEC sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maka diharapkan dapat dikembangkan penggunaan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/kurang memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita. DEC tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan peroral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. DEC tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg berat badan selama 23 minggu. Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hidrokel memerlukan penanganan ahli bedah. Pengobatan nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur, pengikatan di daerah pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian tungkai, perawatan kaki, pencucian dengan sabun dan air, ekstremitas digerakkan secara teratur untuk melancarkan aliran, menjaga kebersihan kuku, memakai alas kaki, mengobati luka kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi bedah, dan terapi nutrisi rendah lemak, tinggi protein da n asupan cairan tinggi
Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan, dengan cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi oleh vektor. Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan: 1. Menurunkan Acute Menurunkan Acute Disease Rate ( ADR) menjadi 0% 2. Menurunkan microfilarial ( microfilarial ( mf) mf) rate menjadi < 5% 3. Mempertahankan Chronic Disease Rate ( CDR) CDR) 14
Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang potensial masih ada penularan dan daerah endemis baru. Dengan prioritas sasaran ditujukan ditujukan pada: 1. Daerah endemis lama dengan mf rate > 5% 2. Daerah endemis lama dan baru yang merupakan daerah pembangunan, transmigrasi, pariwisata dan perbatasan Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan penyuluhan. Pengobatan merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan filariasis, yang akan menurunkan ADR dan mf rate. Di suatu daerah yang diperkirakan endemik filariasis, perlu diselenggarakan suatu surveilans epidemiologis. Pada daerah tersebut 10% dari penduduknya perlu diperiksa untuk menentukan Acute Disease Rate dan mf rate. rate. Pengobatan massal dilakukan bila ADR
>
0%, dan mf rate > 5%; sedangkan pengobatan selektif
dilakukan bila ADR = 0%, dan mf rate < 5%. 5%. Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan menggunakan DEC ada beberapa cara yaitu dosis standard, dosis bertahap dan dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas menggunakan dosis rendah yang mampu menurunkan mf rate sampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat dengan prinsip dasa wisma. Penduduk dengan usia kurang dari 2 tahun, hamil, menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya. DEC diberikan setelah makan dan dalam keadaan istirahat. 1. Dosis standar
Dosis tunggal 5 mg/kg berat badan; untuk filariasis bancrofti sela ma 15 hari, dan untuk filariasis brugia sela ma 10 hari. 2. Dosis bertahap
Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, dan 1/2 tablet untuk usia kurang dari 10 tahun; disusul 5 mg/kg berat badan pada hari 5-12 untuk filariasis bancrofti dan pada hari 5-17 untuk filariasis brugia. 3. Dosis rendah
Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, 1/2 tablet untuk usia < 10 tahun, seminggu sekali selama 40 minggu.
Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas: 1. Pemberantasan nyamuk dewasa a. Anopheles : residual indoor spraying b. Aedes : aerial spraying
15
2. Pemberantasan jentik Pemberantasan jentik nyamuk nyamuk a. Anopheles : Abate 1% b. Culex : minyak tanah c.
Mansonia
:
melenyapkan
tanaman
air
tempat
perindukan,
mengeringkan mengeringkan rawa dan saluran salura n air 3. Mencegah gigitan nyamuk
a. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu b. Menggunakan repellent
Penyuluhan
tentang
penyakit
filariasis
dan
penanggulangannya
perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah kapiler jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
4.1.9 Prognosis filariasis filarias is
Pada kasus ± kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus ± kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
16
BAB V
ULASAN
Ada beberapa hal masih belum jelas dalam dalam hal, pada kasus ini, obat apa yang aman bagi ibu hamil dengan filariasis? Berdasarkan penjelasan dari pakar, maka dikatakan bahwa semua obat filaria masih belum terbukti aman bagi ibu hamil. Semua tahap penelitian hanya pada hewan.
Pada kasus, apakah pasien sudah dapat didiagnosa dengan TPE? Ya , karena berdasarkan gejala klinis dan adanya pemeriksaan yang menunjukkan adanya eosinofilia.
Bagaimana
patofisiologi
terjadinya
limfedema?
Cacing
dewasa
akan
menghasilkan produk ± produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema.
Mengapa W.bancrofti bisa terdapat pada seluruh pembuluh limfe sedangkan Brugia malayi hanya terbatas pada lutut ke bawah? Belum ada penelitian yang menerangkan mengapa hal itu dapat terjadi.
17
BAB VI KESIMPULAN
OS mengalami filariasis tingkat 3 dan TPE yang disebabkan oleh W.bancrofti
18
DAFTAR PUSTAKA
Anawalt,
Brad.Edema.
Available
from:
http://www.physicianeducation.org/downloads/PDF%20Downloads%20for%20websi te/Edema.pdf . [Accessed 3 November 2010].
Anonim.
Filariasis.
Available
from:
http://www.fk.undip.ac.id/category/12-
parasitologi.html?download=92.. [Accessed 3 November 2010]. parasitologi.html?download=92
CDC.
Life
cycle
of W of W .
bancrofti. bancrofti.
Available
from:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/AF/Filariasis/bod http://www.dpd.cdc.gov /dpdx/HTML/Frames/AF/Filariasis/body_Filariasis_w_b y_Filariasis_w_bancr ancr ofti.htm.. [Accessed 3 November 2010]. ofti.htm
Chairufatah,
Alex.
2009 . 2009.
Filariasis
( penyakit).
Available
from:
http://www.infeksi.com/. http://www.infeksi.com /. [Accessed [ Accessed 3 November 2010]. Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis, Filariasis , WHO Weekly Epidemiological Record , 2009,42:84:4 2009,42:84:437-444 37-444 Kurniawan
Liliana. Filariasis
±
aspek
klinis,
diagnosis,
pengobatan
dan
pemberantasannya. pemberantasannya. Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Marty,
Aileen
M.
2009.
Filariasis.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/1109642-overview.. [Accessed 3 November http://emedicine.medscape.com/article/1109642-overview 2010].
Munir Misbakhul. 2007. Filariasis dan Faktor ± Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di Desa Bitahan Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan
Selatan.
Available
from:
http://arc.ugm.ac.id/files/Abst_(3775-H-
2007).pdf . [Accessed [ Accessed 3 November 2010]. 2010].
19
Partono, Felix dan Agnes Kurniawan. 2006. Wuchereria bancrofti. Srisasi Gandahusada, Herry D. Ilahude, dan Wita pribadi. Parasitologi Kedokteran edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.35-44.
Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. . Jakarta: Balai Penerbit FKUI.1767-1770. FKUI.1767-1770.
20
LAMPIRAN Daur Hidup W. bancrofti
Different species of the following genera of mosquitoes are vectors of W. bancrofti filariasis depending on geographical distribution. distribution . Among them
are: Culex (C. annulirostris, C. bitaeniorhynchus , C. quinquefasciatus , and C. pipiens ); Anopheles ( A. arabinensis, A. bancroftii , A. farauti , A. funestus, A. gambiae , A. koliensis , A. melas , A. merus , A. punctulatus and A. wellcomei ); ); Aedes ( A. aegypti , A. aquasalis, A. bellator , A. cooki , A. darlingi , A. kochi , A. polynesiensis, A. pseudoscutellaris, A. rotumae, A. scapularis, and A. vigilax ); ); Mansonia (M. pseudotitillans, M. uniformis); Coquillettidia (C. juxtamansonia ).
During a blood meal, an infected
mosquito introduces third-stage filarial larvae onto the skin of the human host, where they penetrate into the bite wound
.
They develop in
21
adults that commonly reside in the lymphatics
. The female worms
measure 80 to 100 mm in length and 0.24 to 0.30 mm in diameter, while the males measure about 40 mm by .1 mm. Adults produce microfilariae measuring 244 to 296 m by 7.5 to 10 m, which are sheathed and have nocturnal periodicity, except the South Pacific microfilariae which have the absence of marked periodicity. The microfilariae migrate into lymph and blood channels moving actively through lymph and blood mosquito ingests the microfilariae during a blood meal
.
.
A
After
ingestion, the microfilariae lose their sheaths and some of them work their way through the wall of the proventriculus and cardiac portion of the mosquito's midgut and reach the thoracic muscles microfilariae develop into first -stage larvae third-stage infective larvae
. There the
and subsequently into
. The third-stage infective larvae migrate
through the hemocoel to the mosquito's prosbocis another human when the mosquito takes a blood meal
and can infect .
22