Laporan Kasus
PIOPNEUMOTORAKS DENGAN FISTULA BRONKOPLEURA M. Junus Patau1, Syamsuddin Umar1, M. Nuralim Mallapasi2 1
Sub-Bagian Paru Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Sub-Bagian Bedah Toraks Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
2
SUMMARY Pyopneumothorax is the presence of both pneumothorax and empyema in one side of the lung. The etiology of the disease is mainly from any abnormalities in the lung like pneumonia , lung abscess , bronchopleural fistula, bronchiectasis, lung tuberculosis, lung actinomycosis, as well as abnormalities beyond the lung like trauma of thorax, thorax surgery, thoracocentesis in pleural effusion, subphrenical abscess and amubiasis abscess. It has been reported 35 years old man, admitted to the hospital with symptom dyspnea with sputum yellow green cough, left chest pain, fever, shaking with the presence of smoking and alcohol consumtion history. On physical examination it was found increase fremitus sound on the left side, dullness of the anterior left lung from ICS IV- VI, bronchial sound is increase and cracle sound in the middle of the left lung. Chest X Ray showed pneumonia of the left side of the lung. Differensial diagnosis lung abscess. Laboratory found leucocyt was 12.300/mm 3, BSR 18/25 . The working diagnosis pneumonia of the left side of the lung. Differensial diagnosis lung abscess. During the treatment, the patient suffered pyopnemothorax complication. After water seal drainage (WSD ), the lung was not inflated therefore the thoracotomy surgery with omentum flap. During the surgery, bronchial fistel was revealed .(J Med Nus. 2005; 26:30-35)
RINGKASAN Piopneumotoraks adalah terdapatnya pneumotoraks disertai empiema secara bersamaan pada satu sisi paru. Etiologi piopneumotoraks biasanya berasal dari paru seperti pneumonia, abses paru, adanya fistula bronkopleura, bronkiektasis, tuberkulosis paru, aktinomikosis paru, dan dari luar paru seperti trauma toraks, pembedahan toraks, torakosentesis torakosentesis pada efusi efusi pleura, pleura, abses sub phrenik phrenik dan abses abses hati amuba. Dilaporkan seora ng laki-laki, umu r 35 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas disertai batuk berdahak,kental, warna kuning kehijauan, nyeri dada kiri, demam, menggigil, dan ada riwayat merokok dan minum alkohol. Pada pemeriksaan fisis didapatkan vokal fremitus kiri meningkat, perkusi dada kiri redup dari interkostal IV-VI depan, bunyi pernapasan bronkial dan ronki basah nyaring bagian tengah paru kiri. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan kesan pneumonia kiri, DD/ abses paru kiri. Hasil pemeriksaan leukosit darah 12.300/mm 3 dan LED 18/25 mm. Dengan demikian diagnosis kerja adalah pneumonia kiri DD/ abses paru kiri. Selama perawatan penderita mengalami komplikasi piopneumotaraks. Setelah dilakukan drainase dengan pemasangan WSD, paru-paru tetap tidak mau mengembang, sehingga dilakukan torakotomi disertai flap omentum. Pada waktu operasi ditemukan adanya fistula bronkopleura.(J Med Nus. 2005; 26:30-35)
PENDAHULUAN Piopneumotoraks adalah terdapatnya pneumotoraks disertai empiema secara bersamaan pada satu sisi paru. 1 Infeksinya berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan septik jaringan paru atau esofagus ke arah rongga pleura. Kebanyakan adalah dari robekan abses subpleura dan sering membuat fistula bronkopleura. Jenis kuman yang sering terdapat adalah Stafilokokus aureus, Klebsiela, Mikobakterium tuberkulosis dan lain-lain. 2 Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru dengan eksudasi dan konsolidasi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pada jaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan penyebab pneumonia paling sering, yaitu 95% sampai 98% dari semua pneumonia yang dirawat di rumah sakit. Kini 30
hanya 62% pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus. Dulu kuman Gram negatif seperti klebsiela jarang menyebabkan pneumonia, tetapi sekarang Gram negatif menyebabkan pneumonia sebanyak 20% dari seluruh penderita pneumonia. Pneumonia sebab Gram negatif mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu 79%. 3 Etiologi piopneumotoraks biasanya berasal dari paru dan luar paru. Etiologi yang berasal dari paru seperti pneumonia, abses paru, adanya fistula bronkopleura, bronkiektasis, tuberkulosis paru, dan aktinomikosis paru, sedangkan yang berasal dari luar paru adalah trauma toraks, pembedahan toraks, torakosentesis pada efusi pleura, abses subphrenik dan abses hati amuba. 1 Chen dkk (2000) melaporkan adanya peningkatan insidens J Med Nus Vol. 26 No. 1 Januari-Maret 2005
piopneumotoraks yang disebabkan oleh basil Gram negatif, khususnya Klebsiela pneumonia. 4 Komplikasi pneumonia menjadi piopneumotoraks terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada infeksi bakteri akut berupa efusi parapneumonik, Klebsiela pneumonia sebesar 60%, Stafilokokus aureus 50%, Streptokokus pneumonia 40-60%, dan Mikoplasma pneumonia sebesar 20%. 5 Faktor prognosis buruk adalah usia lanjut, drainase yang terlambat, lingkungan nosokomial, penyakit penyerta yang parah, isolasi organisme multipel, dan infeksi bakteri Gram negatif, tetapi menurut berbagai laporan pengaruh relatifnya adalah berbeda-beda. 6 Berikut ini akan dilaporkan seorang penderita piopneumotoraks yang merupakan komplikasi dari pneumonia, yang setelah dilakukan pemasangan Water Seal Drainage (WSD) , paru-paru tidak mau mengembang dengan sempurna. Setelah dilakukan operasi ditemukan adanya fistula bronkopleura dan selanjutnya dilakukan dekortikasi dan flap omentum pada paru.
LAPORAN KASUS Seorang laki-laki Tn. S, umur 35 tahun, suku Makassar, pekerjaan petani, masuk rumah sakit Labuang Baji (No. rekam medik 066046) tanggal 25 Februari 2003 dengan keluhan sesak napas. Dari anamnesis diketahui bahwa sesak napas ini dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan kegiatan, disertai batuk berdahak, kental, warna kuning kehijauan, tidak ada darah. Demam ada disertai menggigil dialami sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada kiri terutama bila penderita batuk dan tarik napas, tidak tembus ke belakang dan tidak menjalar ke lengan dan leher. Tidak ada mual, tidak ada muntah. Buang air besar biasa, buang air kecil lancar. Penderita merokok rata-rata 12 batang perhari sejak 10 tahun terakhir. Riwayat minum alkohol ada. Tidak ada riwayat batuk lama, dan tidak ada riwayat kontak dengan penderita sakit paru-paru. Pada pemeriksaan fisis didapatkan penderita sakit berat, gizi kurang dan kesadaran baik. Berat badan 46 kg, tinggi badan 160 cm. Tanda vital: tekanan darah 110/ 80 mmHg, denyut nadi 116 kali/menit, pernapasan 40 kali/menit, suhu 39,0 0C. Pemeriksaan kepala: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, bibir tidak sianosis. Pemeriksaan leher: desakan vena sentralis R-4 cmH 2 O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar dan massa tumor, deviasi trakea tidak ada. Pemeriksaan dada: tampak dada simetris, vokal fremitus kiri meningkat dibanding kanan, perkusi dada kiri redup dari interkostal IV-VI depan, sedangkan dada kanan sonor. Pada auskultasi
J Med Nus Vol. 26 No. 1 Januari-Maret 2005
didapatkan bunyi pernapasan bronkial dan ronki basah nyaring bagian tengah paru kiri. Pemeriksaan jantung: iktus kordis tidak tampak dan tidak teraba, batas jantung kesan normal, bunyi jantung I/II murni, bising tidak ada. Pemerisaan abdomen: tampak datar ikut gerak napas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, perkusi bunyi timpani, auskultasi peristaltik kesan normal. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak ada kelainan. Hasil pemeriksaan yang sudah ada yaitu pemeriksaan foto toraks (25 Februari 2003) didapatkan perselubungan homogen parakardial kiri dengan tandatanda pembentukan kavitas, jantung, kedua sinus dan diafragma baik. Kesan: pneumonia kiri DD/ abses paru kiri (Gbr. 1). Pemeriksaan laboratorium (25 Februari 2003) Haemoglobin 14,1 gr/dl, leukosit 12.300/mm 3, limfosit 16,7%, monosit 3,1%, granulosit 80,2%, laju endap darah 18/25 mm, urine sedimen: leukosit 2-3/ lpb, eritrosit 0-1/lpb, sel epitel (+). Pemeriksaan EKG (25 Februari 2003) : sinus takikardi, heart rate (HR) 115 x/menit. Berdasarkan anamnesis, pemerisaan fisis, laboratorium dan foto toraks yang ada maka diagnosis kerja pada saat itu adalah pneumonia kiri DD/ abses paru kiri. Terapi: Oksigen 2-4 liter/menit, infus RL : Dekstrose 5% = 1 : 1 = 32 tetes/menit, injeksi Ceftriaxon 1 gr/hari/IV, Mucopect sirup 3 x CI, Provital 1x 1, Parasetamol 3 x 500 mg. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 Februari 2003 yaitu GDS 108 mg/dl, SGOT 34 u/l, SGPT 39 u/l, ureum 48,5 mg/dl, kreatinin 0,9 mg/dl. Pemeriksaan sputum (2 Maret 2003) : tidak ditemukan kuman BTA (3 kali), ditemukan basil Gram negatif dan tidak ditemukan jamur. Pada tanggal 4 Maret 2003, penderita masih demam, sesak napas, batuk berdahak, kental, warna kuning kehijauan, tanda vital : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 108 x/menit, pernapasan 32 x/menit, suhu 38,9 0C. Terapi : Oksigen 2-4 liter/menit, infus RL : Dekstrose 5% = 1 : 1 = 32 tetes/menit, Ciprofloksasin 2 x 500 mg, Mucopect sirup 3 x CI, Provital 1x 1, Parasetamol 3 x 500 mg. Pada tanggal 11 Maret 2003 pasien tiba-tiba mengeluh tambah sesak, dada kiri terasa berat dan nyeri. Pada palpasai vokal fremitus dada kiri menurun dibanding kanan, perkusi dada kiri hipersonor dari interkostal I-IV dan pekak setinggi interkostal V depan. Bunyi pernapasan menghilang pada paru kiri, kemudian dilakukan kontrol foto toraks. Hasil foto toraks kesan hidropneumotoraks sinistra dengan pergeseran jantung dan trakea ke kanan (Gbr. 2). Pada tanggal 12 Maret 2003 dilakukan pungsi cairan pleura, yang keluar pus sebanyak 150 cc, kemudian dilakukan analisa cairan pleura, pemeriksaan patologi anatomi (PA) dan kultur mikroorganisme.
31
Gbr. 1 Foto toraks saat penderita masuk rumah sakit Hasil konsultasi dengan sub bagian paru, kesan piopneumotoraks kiri, terapi oksigen 2-4 liter/menit, infus RL : Dekstrose 5% = 1 : 1 = 28 tetes/menit, Ciproflok sasin 2 x 500 mg, Metronidasol 3 x 500 mg , Mukopect sirup 3 x CI, Provital 1 x 1, usul konsul bedah. Pada tanggal 13 Maret 2003 dilakukan pemasangan WSD di linea aksilaris medialis interkostal VI kiri, cairan yang keluar adalah pus sebanyak 1000 cc. Hasil pemeriksaan penunjang lain : Analisa cairan pleura ( 12 Maret 2003 ) : Rivalta positif, protein 3,71 gr/dl, LDH 3810 u/l, glukosa 16 mg/dl, hitung jenis leukosit : PMN 90%, limfosit 10%. Pemeriksaan PA cairan pleura ( 12 Maret 2003 ) : Mikroskopik : hapusan dari endapan sentrifugasi padat dengan sel-sel radang yang terdiri dari leukosit PMN dan histiosit. Kesimpulan : pleuritis supuratif. Pemeriksaan CT scan toraks ( 19 Maret 2003) : *
Tampak ampak dens densit itas as cair cairan an d dii basal basal rongga rongga pleura pleura kiri dengan densitas udara di atasnya. * Tampak ampak kol kolap aps s paru paru kiri kiri ke arah arah media mediall denga dengan n jaringan paru kiri masih tampak. * Ta k ta ta mp m p ak ak p en e n do d o ro ro ng n g an a n t ra ra ke ke a m ma a up u p un un tanda-tanda massa tumor intrapulmoner. * Par Paru ka kanan nan tam tampa pak k ba baik. ik. Kesan : Hidropneumotoraks Hidropneumotora ks kiri dengan kolaps paru kiri (Gbr.4). Pemeriksaan bronkoskopi (19 Maret 2003) : Kesan : peradangan di bronkus utama kiri, lobus atas kiri dan lobus bawah kiri. Pemeriksaan PA bilasan bronkus (20 maret 2003) : Mikroskopik : hapusan dari endapan sentrifugasi terdiri dari sel-sel epitel squamous. Kesan : Tidak ditemukan sel-sel ganas. 32
Gbr. 2 Foto toraks setelah 15 hari perawatan Pemeriksaan kultur dan sensitivitas dari cairan pleura (20 Maret 2003) : Biakan aerob : Klebsiela pneumonia dengan hasil uji kepekaan tertinggi gentamisin, tidak peka terhadap amoksisilin, ceftriakson, cefotaksin, dan eritromisin. Tanggal 21 Maret 2003 sesak sudah mulai berkurang cairan WSD dibuang 500 cc berupa pus campur betadin, hasil laboratorium : Haemoglobin 12,3 gr/dl, leukosit 12.200/mm 3 , LED 35/50 mm, ureum 16,7 mg/dl, kreatinin 0,79 mg/dl, SGOT 31 u/l, SGPT 22 u/l. Terapi : injeksi Gentamisin 80 mg 1 ampul/8 jam/IV, Mucopect sirup 3 x CI, Provital 1 x 1. Tanggal 25 Maret 2003 cairan WSD dibuang 400 cc berupa pus campur betadin, kontrol ureum 24,9 mg/dl, kreatinin 0,9 mg/dl. Tanggal 1 April 2003 dilakukan pemeriksaan foto toraks (kontrol), kesan : hidropneumotoraks kiri dengan tanda-tanda kolaps paru kiri, dibandingkan foto sebelumnya ada perbaikan (Gbr. 3). Pada tanggal 3 April 2003 penderita dirujuk ke rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo (RSWS). Diterima di RSWS dengan nomor rekam medik 101753. Hasil laboratorium di RSWS ( 3 April 2003 ) : Haemoglobin 11,5 gr/dl, leukosit 11.400/mm 3, trombosit 301. 000/mm 3,, waktu bekuan 9 menit, waktu perdarahan 2 menit, GDS 116 mg/dl, ureum 22,9 mg/dl, kreatinin 0,97 mg/dl, SGOT 31 u/l, SGPT 23 mg/dl. Hasil EKG : dalam batas normal. Tanggal 7 April 2003 dilakukan operasi torakotomi dan flap omentum pada paru. Pada waktu operasi ditemukan adanya fistula bronkopleura. Setelah dilakukan dekortikasi, paru kemudian ditutup dengan omentum. J Med Nus Vol. 26 No. 1 Januari-Maret 2005
Gbr. 3 Foto toraks setelah pasang WSD Dengan demikian diagnosis akhir penderita ini adalah piopneumotoraks dengan fistula bronkopleura dan kolaps paru kiri. Keadan umum pasien setelah operasi baik, tanda vital : tensi 110/70 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit reguler, pernapasan 20 kali/menit torakoabdominal dan suhu 36,5 oC. Pasien di rawat di ICU selama 3 hari dan mendapat terapi : infus RL : Dekstrose 5% = 1 : 1 = 28 tetes/menit, injeksi Ceftriakson 1 gr/12 jam/IV, Elysol 500 mg/12 jam/infus, injeksi Antrain 1 ampul/8 jam/IV. Tanggal 10 April 2003 pasien dipindahkan ke ruang perawatan lontara, setelah infus dilepas dan terapi : Ciprofloksasin 3 x 500 mg, Metronidasol 3 x 500 mg, Asam mefenamat 3 x 500 mg, Zegavit 1 x 1. Tanggal 12 April 2003 pasien minta pulang. P enderita pulang dengan keadaan umum baik dan dianjurkan kontrol di poliklinik.
PEMBAHASAN Pneumonia klebsiela dapat menyebabkan pneumonia yang letal dengan predileksi umur menengah atau tua dan mempunyai faktor predisposisi, antara lain kebiasaan merokok, peminum alkohol, pasca infeksi virus, penyakit jantung kronik, diabetes melitus, keadaan imonudefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. 7 Pada kasus ini penderita berusia 35 tahun yang mempunyai kebiasaan merokok dan minum alkohol. Gambaran klinis biasanya muncul secara tiba-tiba dengan demam yang tinggi (90%), menggigil hebat (60%), nyeri pleura (80%), sianosis, batuk dengan sputum kental kehijauan (90%) dan kadang-kadang ada bercak darah, sesak napas dan lemah. 3 Pada kasus ini penderita mengalami demam tinggi, menggigil, nyeri dada, sesak napas dan batuk dengan sputum kental warna kuning kehijauan. J Med Nus Vol. 26 No. 1 Januari-Maret 2005
Gbr. 4 CT scan toraks Pemeriksaan fisis pada pneumonia menunjukkan penderita tampak sakit berat dengan takipnea dan tandatanda konsolidasi, yaitu fremitus yang meningkat, perkusi yang redup, suara napas bronkial, suara napas melemah kalau ada sekret kental yang menyumbat saluran napas, dan adanya ronki basah nyaring, kadangkadang terdapat penurunan volume paru. 3,5,7 Pada kasus ini ditemukan adanya peningkatan vokal fremitus kiri dibanding kanan, perkusi dada kiri redup dari interkostal IV-VI depan, bunyi pernapasan bronkial, dan ronki basah nyaring bagian tengah paru kiri. Pada penderita pneumonia biasanya terdapat leukositosis, tetapi kadang-kadang leukosit jumlahnya normal (pada seperempat penderita) atau leukopenia yang menunjukkan prognosis yang jelek. Pemeriksaan sputum menunjukkan banyak leukosit PMN dan basil batang Gram negatif yang berpasangan, tebal, pendek, dan berkapsul. 3,5 Pada kasus ini ditemukan adanya leukositosis dan pada pemeriksaan sputum, ditemukan basil Gram negatif dan tidak ditemukan kuman BTA dan jamur. Pada umumnya gambaran radiologis pneumonia yaitu adanya konsolidasi alveolar dengan bronkogram udara 3, sedangkan pada abses paru terdapat kavitas besarnya biasanya sekitar 4-5 cm yang di dalamnya tampak batas permukaan udara-cairan. 8 Pada kasus ini gambaran radiologis didapatkan perselubungan homogen parakardial kiri dengan tanda-tanda pembentukan kavitas. Abses paru adalah suatu lesi nekrotik dalam parenkim paru yang berisi pus. 6 Dalam fase dini tidak dapat dibedakan dengan pneumonia yang terlokalisasi. 9 Penyebaran hematogen klebsiela dan stafilokokus atau kuman lain yang mempunyai kemampuan untuk membuat nekrosis jaringan dapat menyebabkan abses paru, terutama kalau keadaan umum penderita buruk atau menderita penyakit menahun, seperti sirosis hati, malnutrisi dan lain-lain. 6 33
Gambaran radiologis abses paru pada fase permulaan biasanya terlihat gambaran pneumonia dan kemudian akan tampak daerah radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat dengan batas permukaan udara-cairan di dalamnya, yang menunjukkan adanya drainase yang tidak sempurna.2 Dengan demikian pada kasus ini gambaran foto toraks pneumonia didiagnosis banding dengan abses paru, akan tetapi kemungkinan gambaran pneumonia yang ada merupakan fase awal terjadinya abses paru, sehingga pada kasus ini kemungkinan pada awalnya terjadi pneumonia, kemudian terbentuk abses paru dan akhirnya terjadi piopneumotoraks. Klasifikasi abses paru berdasarkan etiologinya yakni6: a) Akibat pneumonia; streptokokus, stafikokus, pneumokokus, klebsiela, atau anaerob, b) Akibat obstruksi bronkus ; karsinoma, karsinoid atau tumor jinak yang lain, benda asing, c) Infeksi kronis saluran pernapasan bagian atas ; sinusitis, tonsillitis, atau infeksi pada gigi, d) septikemia. Pemeriksaan bronkoskopi pada kasus ini, tidak ditemukan adanya obstruksi bronkus dan pada hasil PA bilasan bronkus, tidak ditemukan selsel ganas. Pengobatan pneumonia dilakukan secara empiris, karena untuk mendapatkan hasil kultur harus menunggu beberapa hari dan kuman penyebab hanya ditemukan 50%. Pemberian pengobatan secara empiris ini berdasarkan pengetahuan mengenai pola kuman beserta sensitivitinya dari penelitian-penelitian sebelumnya serta sifat-sifat farmakologi obat. Selain pengobatan kausal juga diperlukan pengobatan secara umum, sepertii perbaikan keadaan umum. 10 Pada kasus ini sebagai terapi empiris diberikan ceftriakson, selain itu juga diberikan pengobatan secara umum, yaitu cairan ringer laktat dan dekstrose, oksigen, mucopect, parasetamol, dan provital untuk memperbaiki keadaan umum pasien, namun hasilnya tidak memuaskan. Untuk mendapatkan penyebab pneumonia dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a) Diagnosis pasti bila dilakukan dengan cara yang steril, bahan didapatkan dari darah, cairan pleura, aspirasi transtrakeal atau aspirasi transtorakal. b) Diagnosis tidak pasti (kemungkinan) : sputum, bahan yang didapatkan melalui bronkoskopi (sikatan, bilasan bronkus dll).10 Pada kasus ini bahan kultur didapatkan dari cairan pleura dan ditemukan adanya pertumbuhan klebsiela sebagai penyebab pneumonia. Klebsiela adalah kuman Gram negatif, berkapsul dan tidak bergerak, yang dapat tumbuh baik pada keadaan aerob maupun anaerob. Pneumonia akibat klebsiela mempunyai kecenderungan menjadi abses paru, meluas ke rongga pleura, sehingga menimbulkan empiema, fistula bronkopleura dan piopneumotoraks. 11 Pada waktu terjadi piopneumotoraks, keadaan umum penderita menjadi jelek dengan sesak napas dan nyeri
34
pleura yang hebat. Vokal fremitus yang menurun dan bunyi pernapasan melemah atau menghilang pada sisi paru yang sakit. 12,13 Keadaan ini ditemukan pada kasus ini, di mana setelah 15 hari dirawat dengan pneumonia, tiba-tiba penderita tambah sesak, dada kiri terasa berat dan nyeri, vokal fremitus dada kiri menurun dan bunyi pernapasan menghilang. Pada foto toraks (kontrol) kesan hidropneumotoraks sinistra dengan pergeseran jantung dan trakea ke kanan. Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan awal yang penting dalam menentukan keberadaan, ukuran dan mobilitas cairan. Belakangan ini, tomografi komputer (CT) toraks terbukti sangat berguna dalam diagnosis dan penatalaksanaan empiema atau piopneumotoraks. Aplikasi CT scan pada keadaan ini untuk membedakan penyakit parenkim dari pengumpulan cairan di ruang pleura, sehingga dapat ditentukan lokulasi dan keadekuatan drainase. 14 Pada pemeriksaan CT scan penderita ini ditemukan hidropneumotoraks kiri dengan kolaps paru kiri. Diagnosis pasti empiema (piotoraks) adalah ditemukannya pus dari rongga pleura, baik melalui aspirasi maupun drainase. 15 Keadaan ini ditemukan pada pasien ini di mana pada waktu dilakukan aspirasi maupun drainase didapatkan cairan berupa pus. Empiema adalah terjadinya proses supurasi pada rongga pleura. 15 Empiema akut terjadinya sekunder akibat infeksi di tempat lain, bukan dari pleura. Pada permulaan gejalanya mirip dengan gejala pneumonia, panas tinggi, sesak napas, dan nyeri pleuritik. 16 Empiema dapat terjadi karena adanya infeksi primer atau sekunder pada cairan pleura yan g patologis. Akibat invasi basil piogenik ke pleura, timbul peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan banyak sel-sel PMN baik yang hidup atau mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. 17 Hal ini sesuai dengan hasil pemerisaan analisa cairan pleura yang memberi kesan eksudat dengan leukosit PMN dominan (90%), serta hasil pemeriksaan PA di mana ditemukan endapan sentrifugasi padat dengan sel-sel radang yang terdiri dari leukosit PMN dan histiosit, kesan pleuritis supuratif. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi pus. Apabila pus menembus bronkus timbul fistula bronkopleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding dada sehingga terjadi pneumotoraks pada sisi paru yang mengalami empiema yang disebut piopneumotoraks. 18 Terjadinya piopneumotoraks pada penderita ini kemungkinan akibat infeksi basil klebsiela yang pada mulanya terjadi pneumonia klebsiela kemudian terjadi abses paru yang pecah dan adanya fistula bronkopleura. Kolaps paru kiri terjadi akibat komplikasi dari piopneumotoraks.
J Med Nus Vol. 26 No. 1 Januari-Maret 2005
Dasar penatalaksanaan yang dianut pada empiema adalah drainase pus, pengembangan paru, dan antibiotik. Hal ini bertujuan mengeliminasi infeksi, evaluasi bahan-bahan terinfeksi, mengembalikan fungsi normal dari paru, dinding dada dan diafragma. 19 WSD hanya berguna bila belum terjadi lokulasi. Dekortikasi dini dengan Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) (VATS) atau mini torakotomi lebih efektif. 20,21 Pada kasus ini drainase pus dilakukan dengan pemasangan WSD dan diberikan antibiotik sesuai hasil kultur dan sensitivitas tertinggi yaitu gentamisin, namun produksi pus tetap ada dan paru-paru tetap tidak mau mengembang.
7.
Leviso Levison n ME : Pneu Pneumon monia, ia, Includ Including ing Necrot Necrotizi izing ng P Pulm ulmona onary ry Infections (Lung Abscess). In Harrison’s Principles of Internal Medicine, 15th Ed, Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. (Eds), McGraw-Hill, New York, 2001 : 1475-85.
8.
Peek Peek GJ, GJ, Morc Morcos os S, S, Co Coop oper er G : The Pleur Pleural al Cavi Cavity ty.. BMJ BMJ 320 : 1318-21, 2000.
9.
Bahar Bahar A : Abses Abses Paru Paru.. Dalam Dalam Pedom Pedoman an Diag Diagnos nosis is dan dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Simadibrata M, Setiati Setiat i S, Alwi I, dkk (Eds), Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2001, 203-4.
10. 10.
Priyanti Priyanti ZS : Penatalak Penatalaksana sanaan an Mutak Mutakhir hir Pneum Pneumonia onia Komuniti. Dalam Proceeding Book Pertemuan Ilmiah Paru Milenium, Margono BP, Widjaja A, Amin M, dkk (Eds), Surabaya, 2002 : S-22.
11.
Antony Antony VB VB : Pathophys Pathophysiolog iology y and and Di Diagnos agnosis is of of Pleural Pleural Diseases. In Baum’s Textbook of Pulmonary Diseases, 7 th Ed, Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky JB, et al. (Eds), Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2004 : 1357-65.
12. 12.
Light Light RW : Diso Disorde rders rs of the the Pleu Pleura, ra, Medi Mediast astinu inum, m, and and Diaphragm. In Harrison’s Principles of Internal Medicine, 15th Ed, Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. (Eds), McGraw-Hill, New York, 2001 : 1513-6.
DAFTAR RUJUKAN
13.
1.
Reid Reid DW DW, Wils Wilsdo don n J, Gri Griffi ffin n SM, SM, et al. al. : Low Lower er Lob Lobe e Consolidation an d Pyopneumothorax. Che st 112 : 1117-9, 1117-9, 1997.
14.
Nurbi Nurbi A, Baha Baharr A : Thorac Thoracic ic Empye Empyema. ma. Act Med Med Ind XXXIII XXXIII:: 67-73, 2001. Lemense Lemense GP, Strange Strange C, Sahn Sahn SA : Empyema Empyema Thorac Thoracis, is, therapeutic Management and Outcome. Chest 107 : 15326, 1995.
2.
King King TC, TC, S Smit mith h CR : Ches Chestt Wall, Wall, Pleu Pleura ra,, Lu Lung ng,, an and d Mediastinum. In Principles of Surgery, 6 th Ed, Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC (Eds), McGraw-Hi ll, New York, 1994 : 659-778.
Pada kasus ini akhirnya dilakukan torakotomi dan pemasangan flap omentum pada paru setelah gagal dengan WSD. Pengobatan yang diberikan setelah operasi adalah ciprofloksasin, metronidasol, asam mefenamat, dan zegavit.
15.
Ko SC, SC, Chen Chen KY, KY, Hsueh Hsueh PR, et al. al. : Fungal Fungal Empyema Empyema Thoracis. Chest 117 : 1672-8, 2000.
16. 16.
Lukitto Lukitto P, P, Rachmad Rachmad KB : Dindi Dinding ng Tora Toraks, ks, Pleur Pleura, a, dan Payudara. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Sjamsuhidajat R, Jong WD (Eds), EGC, Jakarta, 1997 : 530-4.
Nieder Niederman man MS : Pneu Pneumon monia, ia, Includ Including ing Com Commun munity ity-Acquired and Nosocomial Pneumonia. In Baum’s Textbook of Pulmonary Diseases, 7 th Ed, Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky JB, et al. (Eds), Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2004 : 425-50.
17.
Halim Halim H : Penyak Penyakit-P it-Peny enyakit akit Pleur Pleura. a. Dalam Dalam Buku Buku Ajar Ajar Ilmu Ilmu Penyakit Dalam, Ed 3, Jil II, Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, dkk (Eds), Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001 : 927-38.
18. 18.
Sahn Sahn SA, Heffn Heffner er JE : Spon Spontan taneou eous s Pneumo Pneumotho thorax rax.. N Engl J Med 342 : 868-74, 2000.
4.
Chen KY, Hsueh Chen Hsueh PR, Liaw Liaw YS, YS, et et al. : A 10-Y 10-Year Experi Experienc ence e with Bacteriology of Acuta Thoracic. Chest 117 : 1685-9, 2000.
19.
5.
Dahlan Dah lan Z : Pneu Pneumon monia. ia. Dalam Dalam Buku Buku Ajar Ajar Ilmu Ilmu Peny Penyak akit it Dalam, Ed 3, Jil II, Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, dkk (Eds), Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001 : 801-10.
Sahn Sahn SA, SA, Heffner Heffner JE : Manageme Management nt of Pleural Pleural Disea Diseases ses.. In Baum’s Textbook Textbook of Pulmona ry Diseases, 7 th Ed, Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky JB, et al. (Eds), Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2004 : 1369-95.
20.
Banjer Banjer AH, Alamri Alamri S, Siddiq Siddiqui ui MA, MA, et al. : Bilateral Bilateral Empyema Empyema Thoracis Treated by Staged Thoracotomies. http:// www.Kfshrc.edu.sa www .Kfshrc.edu.sa/annals/194/98/annals/194/98-182.html.28/7/2003. 182.html.28/7/2003.
6.
Mann Mann CV, CV, Russ Russell ell RCG RCG : The The Tho Thorax rax.. In A Short Short Prac Practic tice e of Surgery, 21st Ed, Chapman & Hall, London, 1998 : 82253.
21.
Yim APC : Pa Paradig radigm m Shift Shift in Empyema Empyema Manag Managemen ement. t. Chest Chest 115 : 611-2, 1999.
3.
J Med Nus Vol. 26 No. 1 Januari-Maret 2005
35