BAB I PENDAHULUAN
Farmakoterapi untuk gangguan mental adalah salah satu bidang yang paling cepat berkembang dalam kedokteran klinis, tiap dokter yang meresepkan obat harus tetap mengetahui literatur yang terakhir. Terapi obat dan terapi organik lainnya terhadap gangguan mental dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memodifikasi
atau mengoreksi mengoreksi perilaku, pikiran, atau mood mood yang yang patologis patologis
dengan zat kimia atau cara fisik lainnya. 4 Karena tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan yang mempengaruhinya, terapi obat gangguan mental adalah bersifat empiris. Namun demikian, terapi organik telah terbukti sangat efektif dan merupakan terapi terpilih untuk kondisi psikopatologis tertentu. Praktek farmakoterapi dalam psikiatri tidak boleh diremehkan, sebagai contoh, satu pendekatan satu jenis obat untuk satu diagnosis. Banyak variabel yang melekat pada praktek psikofarmakologi, termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian, arti psikodinamika bagi pasien, dan pengaruh keluarga dan lingkungan. Obat harus digunakan dalam dosis efektif untuk periode waktu yang cukup, seperi yang ditentukan oleh penelitian klinis sebelumnya dan pengalaman pribadi. Dosis subterapeutik dan uji coba yang tidak lengkap tidak boleh dilakukan pada pasien karena dokter psikiatrik sangat mempermasalahkan efek samping obat. Sejarah perkembangan terapi organik dalam pskiatri dimulai sejak pertengahan tahun 1800-an sampai sekarang, walaupun pada tahun 1960 kumpulan obat psikiatrik adalah yang diketahui saat ini. Pada tahun 1949 dokter psikiatrik Australia, John cade menggambarkan terapi untuk luapan manik dengan lithium (Eskalith). Sambil melakukan percobaan
pada
binatang,
Cade
menemukan
bahwa
lithium
carbonate
menyebabkan binatang menjadi letargis, jadi mengarahkannya untuk memberikan obat kepada beberapa pasien psikiatrik yang teragitasi, yang mendapatkan manfaat terapeutik dari obat ini. 4
1
Pada saat sekarang litium banyak digunakan dalam pengobatan gangguan afektif
bipolar,
penggunaan
ini
meluas
melalui
dunia
Barat.
Schou
memperkirakan 1-2 dari 1000 orang dalam populasi di negara-negara Denmark, Swedia, Norwegia, Inggris, Kanada, dan Amerika, mendapat pengobatan l itium. Sejak diperkenalkannya litium dalam bidang psikofarmakologi oleh Cade timbul satu konsensus bahwa litium efektif dalam pengobatan akut mania dan sebagai profilaksia gangguan efektif bipola. Namun pengakuan FDA (Food and Drug Administrasion) baru pada tahun 1970 untuk pengobatan episode manik dan pada tahun 1974 untuk pengobatan profiklasis gangguan efektif bipolar dengan litium.1
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mania1,3 Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan aktivitas fisik yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi. Hal ini terjadi dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat ekspresif atau iritabel. Sindroma mania disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya pada sistem limbik, yang berdampak terhadap “ dopamine receptor supersensitivity”. Bentuk mania yang lebih ringan adalah hipomania. Mania seringkali merupakan bagian dari kelainan bipolar (penyakit manikdepresif). Beberapa orang yang tampaknya hanya menderita mania, mungkin sesungguhnya mengalami episode depresi yang ringan atau singkat. Baik mania maupun hipomania lebih jarang terjadi dibandingkan dengan depresi. Mania dan hipomania agak sulit dikenali, kesedihan yang berat dan berkelanjutan akan mendorong seseorang untuk berobat ke dokter, sedangkan kegembiraan jarang mendorong seseorang untuk berobat ke dokter karena penderita mania tidak menyadari adanya sesuatu yang salah dalam keadaan maupun perilaku mentalnya.
2.2 Lithium 1,2,3,4,5,6 1. Sejarah Perkembangan Lithium Penggunaan litium dalam pengobatan gangguan afektif bipolar diperkenalkan oleh John Cade (1949), yang kemudian menjadi dasar
pengobatan
litium
selanjutnya,
John
Cade
dalam
percobaannya menggunaka marmut sebagai kelinci percobaan yang disuntikkan dengan berbagai zat kimia, diantara zat kimia tersebut adalah litium. Pada penyuntikkan dengan litium dia mendapatkan pengaruh litium pada marmut tersebut berupa keadaan yang
3
menjadi tenang dan kehilangan respon terhadap rangsang, tapi tidak menjadi tidur. Dari percobaan ini Cade mendapat ide bahwa litium lebih baik dari pada sedatif untuk digunakan pada pasien- pasian psikiatrik yang ganas. Dia mencobakan litium kepada berbagai pasien dan sebagian besar pasien tidak terpengaruh, tapi pada pasien gangguan afektif bipolar gejalanya menghilang dalam seminggu, gejala ini muncul kembali bila obat dihentikan. Pada tahun 1965-1960, Hartigan dan Baastrup menemukan efek profilaksis litium pada kekambuhan gangguan afektif bipolar. Pada pengobatan jangka panjang litium mencegah terjadinya serangan manik. Sejak diperkenalkannya litium dalam bidang psikofarmakologi oleh Cade timbul satu konsensus bahwa litium efektif dalam pengobatan akut mania dan sebagai profilaksia gangguan efektif bipolar. Namun pengakuan FDA (Food and Drug Administrasion) baru pada tahun 1970 untuk pengobatan episode manik dan pada tahun 1974 untuk pengobatan profiklasis gangguan efektif bipolar dengan litium.
2. Mekanisme Kerja Lithium Dalam system berkala litium merupakan unsur padat yang pertama (nomo atom 3) setelah hydrogen dan helium yang berbentuk gas. Litium digunakan dalam pengobatan berbentuk garam, seperti litium karbonat, litium asetat, dan litium sitrat. Di Amerika preparat standar adlah litium karbonat 300 mg dan litium sitrat yang berbentuk cairan dalam 5 ml mengandung 8,1 mEq litium. Litium yang diberikan secara oral di absorsi diusus dengan cepat dan sempurna, kadar litium serum mencapai puncak dalam 1,5 – 2 jam dan dalam 4 – 4,5 jam preparat litium dilepaskan secara lambat. Litium tidak terikat pada protein plasma dan tidak
4
mempunyai metabolit. Sebagian besar eksresinya melalui ginjal dan sebagian kecil melalui keringat dan faeces. Distribusi di dalam tubuh meluas didalam tubuh dengan kecepatan berbeda-beda. Konsentrasinya di dalam ginjal dan tiroid melebihi kadarnya di dalam plasma. Sedangkan di dalam sel darah merah, cairan spinal dan otak biasanya tidak ada. Waktu paruh pengeluaran litium kirakira 24 jam. Mekanisme kerja litium pada gangguan bipolar dipengaruhi oleh kadar litium serum. Jika kadar litium serum rendah aktivitasnya akan kurang, jika kadarnya terlalu tinggi dapat menyebab intoksikasi. Kadar efektif litium bervariasi menurut berbagai kepustakaan antara 0,4 – 1,4 mEq/ l. Mengenal bagaiman kerja litium dalam pengobatan litium belum diketahui secara pasti. Ada bebrapa hipotesa yanag menerangkan peran litium mengatasi gangguan afektif bipolar berdasarkan percobaan hewan. Pada keadaan depresi diperkirakan litium meningkatkan aktivitas
serotergenik
seperti
halnya
obat
antidepresan.
Kebanyakan obat antidepresan seperti golongan trisiklik, MAO inhibator berhubungan dengan down regulation dari reseptor B. Ditunjukkan pada penelitian hewan dan manusia bahwa satu keutuhan sistem serotonin perlu pada down- regulation dari reseptor B. Terhadap keadaan manik litium diduga bekerja dalam hal : 1. Memblokir manifestasi tingkah laku dalam perkembangan terhadap supersensitifitas reseptor DA (dopamine) 2. Meningkatkan
aktivitas
muskaranik-koligenerik.
Hal
ini
doobservasi oleh Janowsky dan Davis bahwa physostigmin dapat menghasilkan remisi akut pada simpton manik. 3. Litium menghambat proses mediasi second messenger siklus AMP.
5
4. Litium menghambat fosfoinositol fosfat yang mengarah kepada penumpukan
garam
fosfat
yang
dapata
mengakibatkan
penghambatan efek neutrotransmitter.
3. Efek Samping Lithium 1,2,3,5 Litium mempunyai indeks terapi yang rendah, oleh karena itu kenaikan kadar plasma yang sedang dapat menyebabkan terjadinya intoksikasi. Pada pemakaian yang jangka panjang dapat merusak kelenjar tiroid dan ginjal. Efek samping ini sering dijumpai dan mengganggu. Efek samping litium dapat terjadi pada dosis terapi. Efek samping litium pada kelanjar tiroid pertama kali diteliti oleh Schou dan Pettterson. Pada penelitian belakangan ini didapatkan bahwa pada sekelompok pasien yang mendapat pengobatan litium ada peningkatan bermakna nilai rata-rata serum Thyrotropin Stimulating Hormon (TSH) dan satu penurunan bermakna dari nilai rata-rata serum tirosin setelah 6 – 12 bulan dimulainya pengobatan dengan litium, tetapi sesudah itu nilainya normal kembali. Frekwensi kejadiannya 15 – 25 % pasien dan lebih sering terjadi pada wanita. Pada ginjal, litium dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi ginjal. Perubahan struktur yang patalogi pada ginjal berupa fibrosis interstitial, atropi tubulus, dan sklerosis glomerulus. Sedangkan perubahan fungsi ginjal berupa penurunan glomerular filtration rate. Sindrom poliuri dan adalah efek samping yang paling sering dijumpai
pada
pasien
yang
mendapat
pengobatan
litium.
Frekwensinya kira-kira 40 – 60 %. Pada keadaan yang progresif dapat berkembang diabetes insipidus nefrogenik. Metode yang digunakan untuk menilai pengaruh litium terhadap patologi anatomi ginjal diteliti dengan biopsi ginjal , analisa osmolitas urin, serum cratinine, clearance berbagai zat, GFR dan mengukur
6
volume urin. Mekanisme yang menyebabkan perubahan struktur belum diketahui dengan pasti. Walker dkk menyatakan diantara perubahan yang lain, akumulasi glikogen di dalam sel-sel tubulus distal dan collecting duct , dan perubahan ini dapat dijumapi pada semua pasien yang mendapat pengobatan litium termasuk yang hanya 5 hari. Perubahan pada sistem neuromuskuler pada tingkat awal berupa tremor, aktasia, dan iritabilitas neuromuskuler. Pada tingkat yang lebih berat dapat terjadi delirium, mioklonus, gangguan kesadaran, coma dan kematian. Tremor adalah efek samping lain yang sering dijumpai pada kira-kira 40 % pasien yang mendapat pengobatan litium. Mekanisme terjadinya tidak diketahui. Mungkin ini terjadi karena interaksi litium dengan kation lain yang penting dalam eksitabilitas saraf dan otot. Ini mungkin karena pengaruh litium pada B- adregernik sentral atau perifer . Penambahan berat badan merupakan efek samping yang lazim yang tampak pada kira-kira 30 % pasien dengan pengobatan litium. Mekanisme terjadinya juga tidak diketahui, tapi telah diusahakan beberapa penjelasan. Secara sederhana penambahan berat badan terjadi karena litium mengakibatkan peningkatan nafsu makan terhadap makanan yang tinggi kalori dan meningkatnya rasa haus pada pada poluria yang hanya dapat terpuaskan dengan minum minuman yang kaya kalori. Perasaan
tidak
enak
pada
pencernaan
seperti mual,
dan nyeri abdomen yang jelas hubungannya dengan litium dapat pula dijumpai. Efek samping ini timbul beberapa hari setelah dimulainya pengobatan litium, misalnya jerawat atau psoriasis. Juga dijumpai dermatosis yang lain pada awal pengobatan. Perubahan EKG dapat terjadi selama pengobatan dengan litium berupa depresi gelombang T. Walaupun perubahan ini
7
dianggap tidak membahayakan namun ada beberapa laporan sinus bradikardi yang serius berhubungan dengan pengobatan litium. Efek samping dari pengobatan dengan litium berkaitan juga dengan berinteraksinya litium dengan obat-obat yang lain. Diuretik golongan tiazid ginjal
dan
mempunyai efek menurunkan clearance litium
meningkatkan
kadar
litium
serum
,
Himmel
mengantisipasi terjadinya suatu peningkatan sebanyak 40 % dari kadar serum litium dengan pemberian 500 mg klortizaid perhari, sehingga untuk mempertahankan kadar litium yang sama dosis litium perlu diturunkan 40 % . Sedangkan diuretika osmotic, penghambat
karbonik
anhidrase,
diuretic
xantin
dapat
meningkatkan ekresi litium. Kadang-kadang
litium
diberikan
bersama-sama
dengan
neuroleptika, Kombinasi ini meningkatkan frekwensi efek samping litium dan pada dosis yang besar dapat menimbulkan kebingungan dan gangguan muskuler, bahkan dapat menyebabkan kerusakan otak yang irreversible. Obat yang paling sering berkaitan dengan efek samping tersebut adalah haloperidol. Cohen melaporkan 4 pasien yang berkembang menjadi neurotoksik selama pengobatan kombinasi litium dengan haloperidol. Pada depresi berat yang berulang selama pengobatan dengan litium profilaksis, pasien dapat diberikan pengobatan antidepresan, sementara pada waktu yang sama pengobatan antidepresan, sementara pada waktu yang sama
pengobatan litium tetap
diteruskan. Kombinasi litium dan antidepresan mempunyai efek saling memperkuat. Kadan-kadang kombinasi ini memberikan peningkatan kaku otot dan tremor. Kombinasi dengan obat anti imflamasi non streroid seperti phenil butazon, klofenax, ketoprofen akan mengurangi clearens litium ginjal.
8
4. Toksisitas dan Overdosis Lithium5 Tanda dan gejala awal dari toksisitas lithium adalah tremor kasar, disartria, dan ataksia. Tanda dan gejala kemudian adalah gangguan kesadaran, fasikulasi otot, mioklonus, kejang dan koma. Semakin tinggi kadar lithium dan semakin lama kadar lithium tinggi, semakin buruk
toksisitas
lithium.
Toksisitas
lithium
adalah
suatu
kegawatdaruratan medis karena dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen dan kematian. Terapi toksisitas lithium adalah penghentian lithium dan mengobati dehidrasi. Pada kasus yang paling serius, hemodialisis adalah cara yang efektif dengan mana lithium dapat dikeluarkan dari tubuh. Overdosis lithium menyebabkan gejala toksisitas lithium yang parah. Terapi harus serupa dengan toksisitas lithium pada umumnya tetapi juga termasuk lavase lambung dengan selang berukuran besar karena kecenderungan obat membentuk gumpalan yang besar di lambung.
Remaja
Kadar lithium serum bagi remaja adalah serupa dengan yang digunakan pada dewasa. Walaupun sifat efek samping adalah serupa antara remaja dan dewasa, penambahan berat badan dan akne yang berhubungan dengan pemakaian lithium dapat sangat mengganggu bagi remaja.
Pasien Geriatrik
Lithium adalah obat yang aman dan efektif untuk lanjut usia. Tetapi, terapi pasien lanjut usia yang diobati lithium adalah dipersulit oleh adanya penyakit medis lain, penurunan fungsi ginjal, diet khusus yang mempengaruhi klirens lithium dan peningkatan umum kepekaan terhadap efek samping akibat lithium. Karena peningkatan kepekaan tersebut, banyak pasien
9
lanjut usia harus dipertahankan pada konsentrasi lithium yang lebih rendah dibandingkan orang dewasa yang lebih muda. Pasien lanjut usia harus dimulai dengan dosis rendah, dosisnya harus lebih jarang diganti dibandingkan dosis pasien yang lebih muda dan diperlukan waktu yang lebih lama sebelum menganggap bahwa konsentrasi lithium adalah pada kadar stabil karena kemungkinan penurunan fungsi ginjal.
Wanita Hamil
Penelitian awal melaporkan bahwa kira – kira 10 % neonates yang terpapar dengan lithium
dala trimester tiga kehamilan
mengalami malformasi congenital yang berat. Malformasi yang palig sering adalah mengenai sistem kardiovaskular, yang tersering mengenai katup tricuspidalis. Penelitian epidemiologis baru – baru ini telah menemukan bahwa penelitian awal mungkintelah terlalu meninggikan risiko. Walaupun idealnya seorang wanita tidak boleh menggunakan obat selama kehamilan, kelanjutan terapi lithium oleh seorang wanita hamil tidak boleh dianggap tidak dapat. Kemungkinan
anomaly
pada
janin
dapat
dinilai
dengan
ekokardiografi janin. Jika wanita terus menggunakan lithium selama kehamilan, dosis efektif yang terendah harus dimonitor dengan ketat selama kehamilan dan khususnya setelah kehamilan karena perubahan fungsi ginjal yang bermakna yang terjadi selama periode waktu tersebut. Lithium harus dihentikan segera sebleum persalinan dan obat harus dimulai kembali setelah pemeriksaan risiko tinggi gangguan mood pascapersalinan dan keinginan ibu untuk menyusui bayinya. Lithium tidak boleh diberikan pada wanita yang menyusui. Tanda toksisitas lithium pada bayi adalah letargi,
sianosis,
reflex
abnormal
dan
kadang – kadang
hepatomegali.
10
Tabel : Tanda dan Gejala Toksisitas Lithium Tingkat
Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala
Tanda dan
Intoksikasi
Gastrointestinal
Neurologis
Gejala lainnya
Ataksia Ringan – sedang
Muntah
(kadar lithium 1,5 – Nyeri abdomen 2,0 mEq/L)
Mulut kering
Pusing Bicara cadel Nistagmus Letargi Kelemahan otot Pandangan kabur
Sedang – berat
Anoreksia nervosa
(kadar lithium 2,0 – Mual dan muntah 2,5 mEq/L)
persisten
Fasikulasi otot
Kejang
Gerakan klonik
Delirium
anggota gerak
Sinkop
Reflek tendon
Stupor
dalam hiperaktif
Koma
Gerakan
Gagal sirkulasi
koreoatetoid Parah (kadar lithium >2,5 mEq/L)
Kejang umum Oliguri dan gagal ginjal Kematian
5. Dosis Lithium adalah ion monovalen dan tersedia sebagai karbonat (sebagai contoh, Lithane) untuk pemakaian oral dalam tablet dan kapsul kerja cepat dan lepas lambat. Lithium citrate (Cibalith) tersedia dalam bentuk cairan untuk pemberian oral. Kapsul atau tablet lepas teratur biasanya digunakan pertama kali, dan sirup atau preparat lepas lambat digunakan jika terjadi ketidakpatuhan, mual, atau efek samping lain dan dapt memperbaiki dengan formula yang berbeda.
11
Jika pasien sebelumnya telah diobati dengan lithium dan dosis sebelumnya diketahui, klinisi kemungkinan harus menggunakan dosis tersebut
untuk
episode
sekarang
kecuali
perubahan
parameter
farmakokinetik telah pasien telah mempengaruhi kliren lithium. Untuk sebagianbesar pasien dewasa, klinisi harus memulai lithium pada dosis 300 mg tiga kali sehari. Dosis awal pada pasien lanjut usia atau yang memiliki gangguan ginjal harus 300 mg satu atau dua kali sehari. Dosis akhir yang biasanya adalah antara 900 – 1.800 mg sehari diberikan dalam dua atau tiga dosis terbagi.
6. Interaksi Obat Karena kemungkinan toksisitas lithium pada satu pihak dan perlunya mempertahankan terapi lithium pada pihak lain, klinisi harus mengetahui banyak interaksi obat yang dapat melibatkan lithium. Pada pasien yang diobati dengan lithium yang akan menjalani terapi ECT, lithium harus dihentikan dua hari sebelum dimulainya
ECT
untuk
menurunkan
risiko
delirium
yang
disebabkan oleh pemberian bersama kedua terapi tersebut. Sebagian besar diuretic (sebagai contoh : thiazide, hemat kalium dan loop) dapat meningkatkan kadar lithium. Jika terapi dengan diuretic tersebut dihentikan, klinisi mungkin perlu meningkatkan dosis lithium harian pasien. Berbagai obat anti inflamasi non-steroid dapat menurunkan klirens lithium, dengan demikian meningkatkan konsentrasi lithium. Obat tersebut adalah indomethacin,
phenylbutazone,
diclofenac,
ketoprofen,
oxyfenbutazone, ibuprofen, piroxicam, dan naproxen. Aspirin dan sulindac tidak mempengaruhi konsentrasi lithium. Jika diberikan bersama – sama, antipsikotik dan lithium dapat menyebabkan peningkatan sinergistik pada gejala efek samping neurologis akibat lithium. Interaksi tersebut tidak secara spesifik disebabkan oleh pemberian lithium dan haloperidol, seperti yang
12
diperkirakan sebelumnya. Walaupun keabsahan pengamatan klinis telah dipertanyakan, klinisi kemungkinan harus menghindari pemberian bersama dosis tinggi antipsikotik dengan adanya konsentrasi lithium serum yang tinggi. Pemberian bersama lithium dan antikonvulsan termasuk carbamazepine, valproate dan clonazepam dapat meningkatkan kadar lithium dan memperberat efek samping neurologis. Seperti pada
medikasi
antipsikotik,
klinisi
kemungkinan
harus
menghindari pemberian antikonvulsan dosis tinggi pada pasien dengan konsentrasi lithium yang tinggi. Tetapi, pemberian bersama lithium dan antikonvulsan dapat menguntungkan secara terapeutik pada beberapa pasien. Terapi kombinasi harus dimnulai dengan dosis yang agak lebih rendah dibandingkan biasanya dan dosis harus ditingkatkan bertahap.
7. Pemeriksaan Medis Awal Sebelum klinisi memberikan lithium, dokter selain daripada dokter psikiatri harus melakukan pemeriksaan laboratorium dan fisik rutin. Pemeriksaan laboratorium harus termasuk kadar kreatinin serum (atau kreatinin
urin
24
jam
jika
klinisi
memiliki
alasan
untuk
mempermasalhkan fungsi ginjal), suatu skrining elektrolit, tes fungsi tiroid, hitung darah lengkap, EKG dan tes kehamilan jika ada kemungkinan bahwa pasien hamil.
Kegagalan Terapi Obat
Jika obat tidak menghasilkan respon klinis setelah empat minggu dalam kadar terapeutik, kadar serum yang agak lebih tinggi (sampai 1,5 mEq/L) dapat dicoba jika tidak terdapat efek merugikan
yang
membatasinya.
Jika,
setelah
dua
minggu
konsentrasi serum yang tinggi, obat masih tidak efektif, pasien harus diturunkan perlahan – lahan dari obat selama satu atau dua
13
minggu. Obat lain harus diberikan dalam uji coba terapeutik pada saat tersebut. Tanda dan gejala awal dari toksisitas lithium adalah tremor kasar, disartria, dan ataksia. Tanda dan gejala kemudian adalah gangguan kesadaran, fasikulasi otot, mioklonus, kejang dan koma. Semakin tinggi kadar lithium dan semakin lama kadar lithium tinggi, semakin buruk toksisitas lithium. Toksisitas lithium adalah suatu
kegawatdaruratan
medis
karena
dapat
menyebabkan
kerusakan saraf permanen dan kematian. Terapi toksisitas lithium adalah penghentian lithium dan mengobati dehidrasi. Pada kasus yang paling serius, hemodialisis adalah cara yang efektif dengan mana lithium dapat dikeluarkan dari tubuh. Overdosis lithium menyebabkan gejala toksisitas lithium yang parah. Terapi harus serupa dengan toksisitas lithium pada umumnya tetapi juga termasuk lavase lambung dengan selang berukuran besar karena kecenderungan obat membentuk gumpalan yang besar di lambung.
14
BAB III PENUTUP
Pemakaian Lithium sebagai obat anti mania telah mengalami banyak perkembangan. Pengobatan dengan litium jangka panjang cukup efektif untuk pengobatan gangguan efektif bipolar namun efek sampingnya pun cukup tinggi. Efek samping terutama terjadi pada ginjal, tiroid, sistem neuromuskuler, sistem pencernaan dll. Efek samping dapat terjadi setiap saat selama pengobatan oleh karena itu perlu pengawasan yang ketat. Ini perlu biaya dan disiplin pasien yang tinggi. Mengingat mudahnya timbul intoksikasi serta efek samping yang sebagian bersifat reversibel dan sebagian lagi bersifat irreversibel, perlu pertimbangan yang cermat antara efek dan efektivitas pengobatan dengan litium secara individual. Walaupun begitu mengingat efektivitas yang besar, khususnya sebagai upaya profilaksis terhadap keadaan mania dan depresi maka litium perlu didudukkan dalam posisi penting dalam pengobatan di bidang psikiatri.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Efek Pengobatan Gangguan Afektif dengan Lithium. Diunduh dari : http://www.artikelkedokteran.com/269/efek-pengobatan-gangguan-afektifdengan-litium.html. Diakses tanggal 26 Juni 2013. 2. Famakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal: 177-178. 3. Gangguan
Afektif
dan
Tatalaksana.
Diunduh
dari
:
http://www.scribd.com/doc/96677274/referat-jiwa. Diakses tanggal 26 Juni 2013 4. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri jilid 2. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 2010. Hal 459-460. 5. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. Kaplan-Sadock. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 2010. Hal 596-607. 6. Israr YA, dkk. Obat Anti Mania. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009. Diunduh dari: http://www.Files-ofDrsMed,tk . Diakses tanggal 26 Juni 2013.
16