Obat Terakhir Raditya
Awalan yang menyakitkan Hari itu tanggal 7 Februari 2012, tidak ada hal yang menarik di pagi-pagi buru-buru berangkat ke kantor sembari mengantar anakku yang pertama masuk sekolah seperti biasa. Hati tidak enak karena anakku yang kedua panas sudah 4 hari ini. Setiap anak panas, hatiku selalu tidak nyaman, dan pikiran menjadi tidak begitu fokus bekerja, entah mengapa apabila anak sakit selalu ada rasa ketakutan yang menjadi-jadi entah kenapa. Nanti siang jadwal periksa anakku, karena sudah 4 hari panas dan tidak kunjung sembuh, yang kutakutkan adalah anakku kena demam berdarah, atau harus mondok1 di rumah sakit sebuah kata yang 1
Opname:rawat inap
Pa ge |1
sangat tidak aku sukai. Anakku yang kedua ini pernah opname di rumah sakit cukup lama karena kena diare, kemudian pernah juga mondok karena kena demam berdarah, sehingga kata rumah sakit merupakan dua kata momok yang selalu membuat aku paranoid mendengarnya. Setelah aku larut dalam pekerjaan, jam 14.00 handphone berdering dan kuamati... hmmm dari istriku.. oya ini hasil pemeriksaan pasti akan dikabarkan istri saya. Tanpa panjang lebar aku angkat HP ku dan aku dengarkan dengan seksama kata-kata istriku. Agak lama sekali aku hanya mengucapkan kata halo berkali-kali tanpa jawaban dari istriku, hanya isak tangis yang ditahan untuk meminta aku segera ke rumah sakit. Tanpa memerdulikan pekerjaan yang belum aku selesaikan, langsung aku cabut dari kantor segera menuju ke rumah sakit Panti Rapih2, yang cukup dekat dari kantor. Hatiku penuh tanya, mengapa istriku tampak sangat terpukul dengan keadaan anakku. Setengah berlari akupun mencari tempat praktek dokter anak langganan istriku, di lantai 3 Panti Rapih. Beberapa ruang aku masuki, dan ternyata istriku sedang di sebuah ruangan khusus bersama anakku. “Kenapa mami3.. ada apa” tanyaku mencoba tenang. “ Pak... Radit Pak….. Radit…….terkena leukimia pak... !!! teriak istriku saat melihat aku masuk ke ruangan. Terlihat anakku menahan tangis, karena melihat ibunya histeris menangisi keadaan anaknya. Akupun tidak kuasa menahan terkejutku, akan tetapi penguasaan diriku cukup baik sehingga sebesar apapun terpaan cobaan tampaknya aku bisa lebih tenang dibanding istri saya.
2 3
Salah satu rumah sakit di Jogjakarta Panggilan di rumah kepada istriku
Pa ge |2
“Ibu nggak usah nangis… aku pasti sembuh” kata anakku menahan tangisnya… “Bapak dapat menunggu dokter Noor menjelaskan nanti setelah pasien yang lain selesai pak” ujar perawat yang menemani istri saya. Anakku tanpa dosa memandang ibunya, dan bapaknya bergantiganti sambil sesekali menahan tangis melihat ibunya yang tak kuasa menangisinya. Setelah pasien terakhir dilayani oleh dokter Noor, seorang dokter anak langganan anakku sejak kecil, akhirnya aku diberi penjelasan tentang hasil lab test darah anak saya. Diperlihatkan satu lembar hasil lab, dan dijelaskan oleh dokter Noor bahwa lekosit atau sel darah putih anakku sangat tinggi sekali, yaitu berkisar antara 177.000 sedangkan normalnya adalah 4000 - 10.000. Hal ini menandakan anakku terindikasi terkena leukimia yang cukup berat. “Anak bapak saya rujuk ke Sardjito pak, karena di sana ada penanggulangan kanker anak yang ditangani oleh Prof. Sutaryo ahlinya. Bapak dapat konsultasi terlebih dahulu nanti malam di ruang prakteknya di sekitar Amplaz4 praktiknya” dokter Noor menjelaskan dengan gamblang. “Ibu harus tabah, jangan menangis di depan anak, nanti anak ibu akan putus asa dan tidak semangat lagi” sambil memandang memelas ke istriku, dokter Noor mencoba memberi semangat ketabahan pada istriku. Tampak dokter Noor menyimpan keharuan yang dalam, saat melihat keadaan dan ketabahan anakku menghadapi sakit yang tidak ia sadari bahayanya. “Iya..iya dokter terimakasih nasehatnya” kata istriku sambil terisak. “Tabah ya bu...” suster yang mengantar kami menimpali untuk menguatkan hati kami. 4
Amplaz: Ambarukmo Plaza
Pa ge |3
“Ibu mbayar dulu ya .. sebentar” kata istriku kepada anakku sambil jalan ke arah kassa. Tanpa kuasa ternyata istriku pingsan setelah berada di depan kassa. Dengan terpaksa aku tinggalkan anakku sendirian di bangku tunggu untuk mengurusi istriku yang pingsan menanggung beban yang cukup berat penyakit anakku. Dengan bantuan suster, istriku aku bopong ke salah satu ruang perawatan sambil diberikan oksigen.
“ibu harus tabah..” akhirnya dokter Noor kembali memberikan nasehat ke istri saya, saat beliau dilapori suster tentang keadaan istriku. “Ibu jangan menangis di depan anak, anak akan bingung nanti bu” sambil menahan tangis dokter Noor juga mencoba menenangkan istriku. Tampak anakku cukup tabah, walaupun dia sendiri tidak mengetahui dengan persis bagaimana keadaan penyakit yang dieritanya. Setelah istriku merasa cukup kuat, dan kamipun
Pa ge |4
mencoba untuk pulang ke rumah. Malamnya, kami pun mencari praktek Prof. Sutaryo yang disarankan dokter Noor, untuk konsultasi tentang data darah anakku. Istriku dengan mata sembab terus menangisi nasib kami yang terbeban berat, terlebih lagi anakku yang terindikasikan penyakit Leukemia. Setelah giliran kami untuk konsultasi, Prof. Sutaryo pun dengan tersenyum mengatakan “Kasus leukemia ini menyenangkan bapak, dan ibu” sayapun terperangah mendengarkan penjelasannya. “Dari 10 penderita, 8-9 sembuh bapak dan ibu, jadi bapak dan ibu jangan khawatir” bagaikan air yang sejuk kata-kata Prof. Sutaryo betul-betul membuat kami menangis bahagia. Aku pegang tangan istriku, dan mengucap syukur bahwa penyakit anakku ini dapat disembuhkan. “Malam ini langsung ke Sardjito, dan akan dirawat dengan segera di bangsal Estella5, bapak dan ibu, biar langsung bisa ditangani” Kata Prof. Taryo mantap. “Saya memerlakukan pasien Leukemia sangat kejam bapak dan ibu, artinya apa….pasien leukemia hanya bisa ditunggui oleh satu orang penunggu, baik ibu saja atau bapak saja, untuk mempercepat proses sembuhnya” sambil menuliskan rujukan ke RS. Sardjito Prof. Taryo panggilan akrab Prof. Sutaryo yang sederhana menjelaskan. Kata-kata positif dan penuh semangat telah membangkitkan semangat kami untuk segera masuk ke Bangsal Estella seperti yang disarankan Prof. Taryo. “Bapak bekerja di mana?” tanya prof. Taryo “Saya bekerja di penerbitan pak” jawabku lugu “Ada jaminan pengobatan tidak di sana?” sambil melirik ke arahku Prof. Taryo mencoba menebak. “Sepertinya tidak ada pak” jawabku mantab, karena tanggungan 5
Bangsal khusus untuk rawat inap kanker anak di RSUP Sardjito
Pa ge |5
jaminan kesehatan keluarga dari perusahaan pasti tidak ada. “ya.. coba nanti saya akan bicara dengan pemiliknya” Kata Prof. Taryo.
Malam itu jam 24.00 kamipun bersiap untuk menuju UGD Sardjito untuk mempercepat proses kesembuhan anakku. Sesuai dengan petunjuk Prof. Taryo kami langsung ke UGD dan mendapat berbagai tindakan, serta wawancara yang cukup panjang. Proses foto toraks, dan proses pencarian kamar cukup memakan energi. Kami menginginkan kelas 3, kelas yang mampu kami bayar. Sedangkan kamar kelas 3 sudah penuh sehingga ditawarkan untuk kelas 2 sementara menunggu kelas 3 ada yang kosong. Di tengah proses rawat inap yang cukup ribet, kami diberikan penjelasan dokter tentang penyakit anakku. Kegawatan penyakit ini tampak sekali dari cara penjelasan dokter yang cukup hati-hati. Akupun tidak berpikir apa-apa tentang penyakit anakku ini, akan tetapi dari penjelasan dokter jaga, tampak sekali kekhawatiran dokter tersebut terhadap kondisi anakku. “Bapak, dan Ibu, akan saya jelaskan kondisi adik saat ini pak dan bu. Kondisi adik tampaknya sehat-sehat saja, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat kejadian yang cukup luar biasa bapak dan ibu” demikian introduction dokter jaga tentang diagnosis anak saya.
Pa ge |6
“Kondisi adik, saat ini dapat dikatakan cukup gawat dan kritis, karena sel darah putih adik sangat jauh di atas ambang normal, bahkan dapat dikatakan hyper jumlah darah putihnya. Dalam istilah kedokteran disebut Hyper leukocite” “Jika tidak ditangani, maka sel darah putih akan menguasai tubuh adik, dan darah akan mengental serta akan menumpuk pada bagian-bagian vital, di saluran otak, saluran pernafasan, sehingga dapat menyebabkan kematian. Maaf saya perlu menjelaskan halhal yang urgent ini kepada bapak-ibu tentang kondisi pasien yang sebenarnya, bukan menakut-nakuti”. Mendengar penjelasan demikian kamipun tertunduk menahan air mata yang tak kuasa kami bendung. Penjelasan Prof. Taryo sungguh bertolak belakang dengan dokter jaga ini, akan tetapi keyakinan kami masih ada dan percaya pada penjelasan Prof. Taryo sebelumnya dibanding dokter yang menjelaskan kepada kami ini. Kamipun di antar ke ruangan bangsal Kartika, yang cukup sederhana karena satu kamar untuk 3 pasien dan 3 penunggu. Melihat kondisi kamar yang kurang kondusif, istrikupun menawarkan kepadaku untuk berpindah sementara di ruang yang lebih baik di kelas 2, untuk menunggu tindakan selanjutnya. Akupun menyetujuinya sehingga kamipun berpindah ke bangsal Estella di kelas 2. Dalam kondisi lelah fisik dan psikis, kamipun memasuki ruangan yang cukup lega dengan kamar mandi di dalam, dan satu kamar berisi 2 pasien cukup membuat kami terhibur. Karena ketentuan rumah sakit tentang penunggu harus satu orang, akupun mencari tempat untuk tidur sebentar dan menunggu hingga besuk pagi proses selanjutnya dari pemeriksaan anak saya. Di bawah tangga, akupun merebahkan diri dengan rasa yang tidak karuan, ngelangut dan terasa hampa sendirian menanggung beban. Akupun menghibur diri, mungkin ini hanya mimpi burukku Pa ge |7
yang akan hilang setelah aku bangun dari lelap tidurku. Setiap aku terpejam dan bangun lagi, ternyata aku masih pada tempat yang sama, di bawah tangga dan sendirian kedinginan, mengapa aku tidak bangun-bangun dari mimpiku hari ini. Akupun masih mencoba menghibur diri, bahwa kejadian ini hanya mimpi belaka dan sebentar lagi akupun akan bangun kembali ke aktifitas rutin biasanya. Malam semakin larut, burung-burung malam pun mengeluarkan suara-suara aneh membuat aku semakin yakin bahwa aku tidak mimpi buruk akan tetapi sebuah kenyataan yang harus dihadapi bahwa anakku terkena leukimia akut dan sedang menjalani pengobatan. Panas anakku masih tinggi sekali pada pagi hari, dan anakku sudah mulai gelisah karena jarum infus telah masuk di tangannya dengan proses yang tentu cukup membuat anakku ketakutan luar biasa. Di suntik adalah kata yang menakutkan bagi anakku. Pada malam itu telah dilakukan 2 kali penyuntikan jarum ke tubuh anakku. Suntikan pertama adalah memasukkan jarum infus dan suntikan kedua adalah cek darah, sehingga total dalam satu hari anakku telah disuntik 3 kali. Padahal anakku paling takut melihat jarum suntik, sehingga trauma ini menjadi semakin nyata akibatnya pada anakku. Ia sering menangis ketakutan disuntik dan tidur selalu tidak tenang karena takut pada jarum suntik.
Hari-hari awal di Estella Hari pertama, anakku mulai kangen rumah dan selalu pengen pulang. Istriku sudah tidak tahan jika anakku mulai rewel menangis dan ingin pulang. Akhirnya aku yang menunggu selama Radit dalam perawatan. Pekerjaan aku tinggalkan sementara, karena support kepada psikis anakku diperlukan. Suntik adalah ketakutan pertama anakku, dan nafsu makan melorot drastis serta ditambah dengan radang pada tenggorokan menjadikan asupan Pa ge |8
makanan yang masuk ke lambungnya hanya sedikit sekali pada hari pertama ini. “Pak... aku pengen pulang pak....” itu kata pertama setiap pagi yang aku dengarkan. Aku tak kuasa menahan beban ini akan tetapi tetap aku katakan pada anakku tentang kepastian pulang secepatnya setelah penyakitnya sembuh. “Aku takut disuntik pak... aku nggak mau disuntik pak... sakiiiit sekali pak” rengek anakku apabila rasa takut disuntik sudah menjalar menguasai pikirannya. “Tidak apa-apa nak.. suntik untuk sembuh.. nanti pasti sembuh” Kataku menguatkan anakku. Langkah pertama untuk menanggulangi penyakit ini adalah kepastian pembiayaannya. Berkali-kali dokter mengatakan coba diurus asuransi, jaminan kesehatan, atau adakah pembiayaan dari kantor tempat aku bekerja. Dokter mengatakan bahwa penyakit anakku tergolong penyakit katastropis, artinya membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama. Penyakit berjenis katastropis ini mendapat tanggungan pemerintah sehingga disarankan untuk mencari Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang akan menjamin semua pembiayaan, atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), atau Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos). Jika tidak dapat mengurus semua jaminan tersebut, maka keluarga pasien akan melalui jalur umum dengan membayar sendiri semua biaya pengobatan rawat inap, dan semua obat dan tindakannya. Aku baru sadar pada pertanyaan prof. Taryo saat aku dan istriku berkonsultasi di tempat praktiknya tentang pembiayaan ini. Ternyata ada hubungannya dengan penyakit anakku yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Usaha untuk mencari Jaminan, merupakan usaha yang sungguh sangat berat dan panjang prosesnya. Untunglah keluargaku dan
Pa ge |9
istriku cukup kompak untuk saling membantu mencari informasi tentang jaminan kesehatan yang masih ada, mengingat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang dikeluarkan pemerintah tampaknya sudah dihentikan. Akupun berpikir untuk menjual semua asset yang aku punya seperti tanah, rumah, dan barang yang lain untuk memersiapkan pembiayaan anakku sampai sembuh. Semua akan aku gunakan untuk kesembuhan anakku. Angin segar menerpa kami, setelah pengajuan permohonan Jaminan Kesehatan Daerah Kota tempat anakku berada ternyata masih bisa diurus dan berhasil didapat. Kepastian pembagian pembiayaan masih belum jelas, banyak yang menyangsikan besaran bantuannya, ada pula yang mengatakan sudah lumayan ada Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) daripada tidak sama sekali. Informasi besar bantuan masih simpang siur, ada yang tergantung daerahnya, ada yang tergantung penyakitnya, ada yang mengatakan besaran di Kota Jogjakarta hanya sampai 15 juta. Semua masih membikin bingung keluargaku yang tidak siap menghadapi hal-hal baru tentang pembiayaan Jaminan Kesehatan yang informasinya dahulu tidak kami hiraukan. Istriku dan keluarganya ternyata cukup sigap untuk mencari berbagai alternatif pembiayaan, seperti dari koran, dari LSM tertentu, maupun dari Yayasan Kanker Indonesia. Aku sudah bisa membayangkan betapa kekayaan di sini tidak ada artinya. Semua asset yang aku punya pasti akan tersedot habis untuk membiayai kesembuhan anakku. Inilah yang disebut dengan katastropis, penyakit yang memelaratkan keluarga penderita. Keingingan, dan kangen pulang anakku semakin bertambah setiap harinya. Hal ini tentu dapat aku pahami karena anakku paling suka di rumah dan jarang sekali bermain keluar. Dia sangat nyaman sekali di rumah apalagi setelah aku buatkan rumah di sisi belakang
P a g e | 10
rumah lama untuk kedua anakku. Rumah menjadi istananya, yang sungguh sangat dia kangeni jika berada jauh dari rumahnya. “ Pak.. aku pengen pulang pak.. di sini nggak enak pak...” Sambil menangis kata-kata ini yang selalu setiap pagi keluar sambil menangis. “Sabar dik.. sembuh dulu baru pulang.. ayo berdoa biar sembuh sakitmu” kataku, dan anakku biasanya terus memejamkan mata sambil mendengarkan doaku. “Dik.. pusing nggak, sesak nafas nggak, mata berkunang-kunang nggak, telinga berdenging nggak?” tanya dr. Deni yang merawat anakku. Pertanyaan ini selalu ditanyakan saat memeriksa anakku, sehingga tampaknya urutan pertanyaan ini menjadi default awal dr. Deni ketemu Radit anakku. Dr. Deni sosok dokter muda yang cekatan sedang mengambil spesialis anak. Dokter inilah yang telah begitu baik selalu menyambangi anakku dan bercanda bersenda gurau dengan anakku sehingga terkadang lupa terhadap kangen pulangnya. Suatu saat aku dan istriku bertanya kepada salah satu suster kepala yang membantu dr Deny, apakah kelas 3 sudah ada kamarnya. Ternyata jawaban suster kepala cukup ketus dengan mengatakan bahwa di kelas 2 nanti aku tetap dianggap sebagai pasien umum, bukan pasien tanggungan Jamkesda. Suster kepala yang seharusnya menjelaskan dengan santun, aku dengar cukup keras dan kaku jawabannya. Walaupun demikian aku masih berpikir positif bahwa mungkin karena seringnya pasien protes ke dirinya menjadikan penjelasan ketus yang kami terima. Sebagai pasien baru, tentu prosedur dan tatacara rumah sakit belum kami pahami dengan jelas. Belum lagi kebingungan dengan kondisi anakku yang harus aku layani dalam penderitaannya, wajar jika kami kebingungan. Sudah berapa hari di kelas 2, aku sampai lupa. Yang jelas saat akan
P a g e | 11
berpindah ke kelas 3, sesuai dengan Jaminan Kesehatan yang aku punyai, penjelasan penyakit oleh dokter yang bersangkutanpun diperlukan sehingga aku dengan istri dipanggil dan diberikan edukasi penjelasan tentang penyakit anakku yang telah disimpulkan dari hasil test darah. “Begini bapak ibu, dari team dokter telah menegakkan diagnosis pada adik, bahwa dari data yang telah dikumpulkan dari test darah, adik ini menderita leukimia berjenis Acute Myelogenous Leukemia atau AML jenis M1” “Setelah pemeriksaan ditegakkan diagnosisnya, langkah selanjutnya adalah penentuan protokol apa yang dapat digunakan untuk menyembuhkan leukimia adik” “Nanti akan ada proses kemoterapi, yang digunakan untuk membasmi penyakit adik dalam jangka waktu tertentu” Setelah penjelasan tersebut, istriku kembali menangis. “Mengapa Radit yang sakit pak.... kok musibah bertubi-tubi menimpa kita to pak....” tanyanya dalam derai air mata. Terus terang akupun tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Dalam waktu-waktu terakhir ini memang beban keluargaku cukup berat, dari permasalahan keluarga mertuaku, kecelakaan tetangga yang tertimpa pohon dari rumahku, hingga anakku sakit seperti ini. Tampaknya cobaan kok tidak berhenti-berhenti. Raditya pun dipindah ke kelas 3 sesuai dengan jaminan yang meng-covernya, sehingga dalam ruangan nanti ada 3 pasien dan 3 penunggu tentunya resiko anakku terkena infeksi menjadi lebih besar. Permasalahan pertama adalah, Radit tidak suka ruangan yang ribut. Karena banyak balita yang sakit di ruangan ini mejadikan anakku tidak dapat tidur dengan tenang. Stress ini semakin menjadi-jadi sehingga kangen pulangnya berjangkit setiap waktu. Dan akupun tidak dapat dengan mudah menghiburnya kecuali mengajaknya berdoa yang dapat
P a g e | 12
mengalihkan perhatiannya. AML terjadi dengan peluang kurang lebih 4 orang dalam setiap 100.000 orang, sehingga penyakit Radit betul-betul membuat kami shock, mengapa terjadi pada kami.... ? Nafsu makan Radit semakin merosot, ditambah gusi dan giginya yang sakit sehingga otomatis sangat susah sekali untuk mengunyah makanan. Tampak perlahan tubuh Radit semakin kurus, menjadikan istriku semakin tidak tega untuk menungguinya. Setiap hari Radit mengeluh ingin makan tapi mulutnya sakit, dan tulang-tulang kakinya semakin tidak enak dan meminta dipijitin setiap waktu. Ditambah dengan panas Radit yang tidak turun-turun pasti menyiksa tubuhnya anakku ini. Hari-hari menunggui Radit terasa perlahan dan menyakitkan, ingin rasanya aku menanggung sakit yang diderita anakku. Setiap hari aku berusaha seolah-olah membuang rasa sakit Radit saat berdoa, dengan berpura-pura mengambil sakit di tubuhnya dan aku buang dan aku kembalikan kepada Tuhan yang memberikan sakit ini. Radit tampaknya terhibur dengan cara penyembuhanku yang ala kadarnya ini. Akan tetapi kembali rasa sakit anakku selalu menyerang setiap saat, panas tubuh yang tidak turun-turun, linu kaki yang amat sangat menyiksa, belum keluhan sakit gusi, serta tenggorokan yang perih untuk menelan rasanya lengkap sudah penderitaan anakku. “Aku pengen pulang pak.... aku pengen pulang...” kembali pagi itu rengekan anakku tak mampu membetengi kangennya terhadap rumah. Radit sangat ketakutan diambil darahnya, sehingga hari itu betul-betul aku harus ekstra menghiburnya. “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit” demikian selogan yang aku berikan kepada Radit. Berkali-kali aku ucapkan “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit” “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit” “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit” “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit”. Dan P a g e | 13
“mantra” ini cukup mudah dihapalkan anakku untuk mengurangi rasa tegangnya terhadap suntik pengambilan darah atau penggantian infus. Radit telah berpindah ke kelas 3 sehingga keributan di samping tempat tidur anakku, semakin banyak dan tidak terkontrol. Stress Radit bertambah-tambah karena di samping anakku ada anak Balita kena Down Syndrom dan Leukimia yang sering menangis dan berteriak-teriak. Setiap kali tangisan Ainun nama anak di samping Raditya, anakku selalu ikutan menangis dan kerinduan terhadap rumah menjadi-jadi. “Pak...... aku pengen pulang pak, ternyata sakit tidak enak pak...” kata Radit sambil menahan tangisnya. “Iya dek... sakit tidak enak, Radit harus sembuh ..” aku menghiburnya. “Pak... aku mau terus terang pak..” Kata Radit dalam tangisnya “Terus terang apa dek....” kataku “Aku pernah berdoa kepada Tuhan untuk minta sakit...” kata Radit “Lho.. kok minta sakit..” kataku “Habis aku sering dimarahi bapak sama ibu..... kalau sakit kan aku tidak dimarahi...” kata Radit Tak kuasa aku menahan haru, walaupun tidak sempat keluar air mata. Rasa sesal kembali bertumpuk karena aku memang sering kali memarahinya. Dalam marah ada rasa sesal, dan Radit tahu itu, karena aku punya selogan. “ Bapak marah karena Radit nakal” itu sudah sering aku katakan kepada anakku. Tampaknya Radit belum bisa menerima logika ‘marah’ bapak dan ibunya, sehingga dia berpikiran jika sakit maka bapak-ibunya akan menyayanginya. “Aku menyesal pak minta sakit kepada Allah, ternyata sakit tidak enak... aku pengen pullllaaaaang paaaak” sambil berteriak lirih anakku menangis. “Bapak sayang Radit.... kamu tahu to... dik” kataku kepada Radit P a g e | 14
dan dijawab anggukan lemah. “Kamu pasti sembuh.. katakan pada Radit.. aku pasti sembuh... aku pasti sembuh... aku pasti sembuh” kataku menyemangati Radit. “Aku pasti sembuh....aku pasti sembuh... aku pasti sembuh” kembali kobar semangat sembuh anakku timbul sambil berkali-kali mengatakan ‘mantra’ baru buatnya. Hari itu aku berdoa buat Radit, untuk memaafkan kekhilafannya meminta sakit kepada Allah, dan Radit cukup lega mendengarkan doa saya, sambil ‘mengambil dan menarik’ sakitnya dan mengembalikannya kepada Yang Maha Kuasa. “Ya Allah, maafkanlah kehilafan Raditya, karena minta sakit kepadamu ya Allah, lepaskanlah sakit-sakit Raditya.. dan sembuhkanlah seperti sedia kala ya Allah.. hanya engkau yang mempunyai kehendak untuk memberikan sakit kepada Raditya dan hanya engkau yang mampu mengambilnya kembali... sehingga saya bapak Radit ingin sakit ini aku kembalikan kepadaMu ya Allah”. Sambil memegang tubuhnya Radit aku mencoba berdoa sehingga anakku lebih tenang dalam doa ku. Ketakutan Radit menjadi-jadi saat proses penggantian infus dan pengambilan sampel darah hari ini. Tampak kepasrahan yang dipaksakan dalam ratap tangisnya yang tak mampu aku gambarkan. “Ini jarumnya paling kecil kok mas Radit...” hibur perawat yang akan mengganti infusnya. Tanpa menghiraukan hiburan dari para perawat tersebut Radit masih juga sangat tegang dalam tangisnya, sehingga seluruh tubuhnya basah oleh keringat menjadikan plester perekat agak susah merekat di tangannya. “Jiwit6 pak.. yang keras... paaaak.... jiwit yang keras...” pinta Radit 6
Bahasa Jawa yang artinya Cubit
P a g e | 15
saat jarum suntik masuk ke pembuluh darahnya. Tak kuasa menahan haru aku cubit lembut di lengannya, dan Raditpun berteriak untuk lebih keras mencubit di lengannya untuk membantu menghilangkan rasa sakit saat jarum masuk di tangannya. Selesai penggantian infus dan pengambilan darah.... Radit kembali menangis... karena teringat kata-kata perawat. “Ini nanti setiap hari atau dua hari sekali diambil darahnya ya pak untuk memantau perkembangan lekositnya, dan empat hari sekali diganti infusnya ya...” kata perawat. “Pak.... setiap hari aku disuntik... aku nggak mau pak.... pulang saja... aku pengen pulang pak...aku pengen pulang..” isak Radit dalam kepasrahannya. “Ingat Radit... “ Suntik tidak sakit... untuk sembuh Radit”...” kembali aku ingatkan mantra tersebut. “Tapi sakit pak.....” kata anakku tenggelam dalam tangisnya. Siang itu Radit agak tenang..ditunggui ibu mertuaku saat aku dan istriku dipanggil dr. Denny untuk menjelaskan kondisi terakhir Radit. Penjelasan dokter ini penting untuk diketahui pihak keluarga tentang kondisi pasien. Istilah yang diberikan untuk penjelasan ini adalah Edukasi untuk keluarga pasien tentang penyakit serta penjelasan tentang penegakan diagnosa anakku. Sebelum diberi penjelasan tentang kondisi anak saya, istriku sudah sangat down melihat wajah dr. Deni yang terkesan serius. “Mohon maaf pak dokter, penjelasan dokter saya rekam saja ya...” kata istriku sambil me-record penjelasan dr. Deny. “O... silahkan... nanti saya jadi terkenal ada videonya..h.ehe.he..” kelakar dr. Deni meredakan suasana. “Baik bapak ibu, kali ini akan saya jelaskan kondisi adik Raditya sampai hari ini dan tindakan apa yang akan kami lakukan nanti setelah penegakan diagnosis adik. Kemarin mungkin sudah diedukasi ya bapak ibu saat masih di bangsal kelas 2, bahwa adik P a g e | 16
Raditya ini menderita Acute Myelogenous Leukemia atau AML jenis M1. Jumlah sel darah putih atau lekosit adik hingga saat ini sudah meningkat sangat tinggi sekali yaitu 335.000, dimana normalnya adalah 4.000-15.000 saja, jadi sudah terjadi hyperlekosit atau jumlahnya sudah sangat mengkhawatirkan sekali. Nilai hematokrit atau kekentalan darah adik adalah 26,1 dimana normalnya berkisar 50 sehingga kami selalu menanyakan ke adik apakah pusing, pandangan kabur, telinga berdenging. Kami khawatir kekentalan darahnya akan menyumbat di area-area vital adik”. Aku jadi teringat dr. Deni ini tidak pernah lupa menanyakan kepada anakku apakah telinga berdenging, pusing, dan pandangan kabur. Selalu menjadi pembuka dari pembicaraan dengan Radit setiap dr. Deni mengunjunginya. “Kami ini berkejaran dengan waktu pak, dan bu. Sehingga kami harus cepat dan tepat menangani adik Raditya. Penyakit adik ini cukup rumit penanganannya sehingga mohon bersabar bapak dan ibu dalam menjalani perawatan di sini. Lekosit yang tinggi ini tidak berguna di tubuh adik, sehingga perlu dikurangi dengan cara memasukkan obat yang cukup keras untuk menghilangkan lekosit tersebut dengan cara kemoterapi. Kemoterapi ini seperti bom atom, yang akan merusak tidak hanya sel darah putih saja, akan tetapi sel darah merah dan pendukung yang lain akan ikut habis. Sehingga setalah kemoterapi nanti akan banyak pengobatan antibiotik, transfusi trombocit, transfusi darah merah, dan lain-lain untuk menggantikan yang telah dihilangkan selama proses kemoterapi”. “Protokol atau urutan proses tatacara pengobatan telah kami pilih, dan bapak ibu dapat menyetujui proses kemoterapi selanjutnya untuk kesembuhan Radit. Bapak dan ibu dapat pula tidak menyetujuinya, karena hal itu adalah hak bapak dan ibu. Penyakit ini cukup gawat ya bapak dan ibu, kami bukan menakutP a g e | 17
nakuti orang tua akan tetapi kami berterus terang supaya bapak dan ibu dapat memahami resiko pengobatan dan proses pengobatannya ini mungkin berhasil dan mungkin juga bisa tidak. Akan tetapi kami akan berusaha sekuat tenaga walaupun rumit, untuk dapat menyembuhkan adik seperti sedia kala. Karena bapak dan ibu menggunakan jaminan kesehatan daerah, maka bapak dan ibu harus tahu bagaimana tata cara pengambilan obat, yang akan digunakan selama proses pengobatan adik. Mohon bapak, dan ibu sabar serta tabah dalam menghadapi cobaan Tuhan ini. Sehingga dapat mengantarkan kembali Raditya ke arah kesembuhan”. Sambil menyodorkan lembar persetujuan proses pengobatan, dr. Deni memberikan kesempatan untuk kami bertanya. Kamipun terdiam hanya titik-titik airmata di sudut mata istriku, tampaknya sudut mata istriku sudah tidak kuasa untuk menampung kembali butiran air sehingga harus dengan segera mengalir membasahi pipi istriku dengan deras. Akupun dengan tangan bergetar akhirnya menandatangani proses selanjutnya dari diagnosis anakku untuk segera melakukan proses kemoterapi. Karena ketidak tegaan istriku dalam melihat penderitaan anakku, akhirnya hampir 24 jam Raditya aku urus sendiri dari bangun tidur hingga tidur lagi 24 jam aku jagai, dan istriku mensupport dari luar. Support istri adalah dalam hal proses pengambilan obat yang ternyata luar biasa sulit dan birokratif serta membutuhkan kesabaran, waktu, dan tenaga yang tidak kalah beratnya dengan menunggui Radit dalam kesakitan. Hari-hari Radit dipenuhi dengan panas badan yang tinggi, nafsu makan yang melorot drastis, kesakitan di tulang kakinya. Tidak heran Raditya tampak semakin kurus dan ditambah rasa kangen dengan suasanya rumah yang setiap hari tampak menghimpit keinginannya untuk pulang.Pulang ke rumah adalah sesuatu yang
P a g e | 18
sangat diharapkan Radit, sehingga kata yang terucap selalu berkaitan dengan keingingan yang sangat untuk kembali ke rumah. “Pak … aku kangen minum Pure It di rumah.....” kata-kata yang cukup membebaniku saat aku beri minum Radit air putih. Karena kekangenan Radit menjadikan semua isi rumah betul-betul dikangeni anakku. Pure It adalah penjernih air yang aku tempatkan di rumah belakang, rumah Radit dan kakaknya Dita. Rumah yang aku bangun karena rasa kasih sayangku dan istriku pada kedua anakku, sehingga rumah mungil di belakang merupakan istananya Radit. Setiap sudut saat sakit ini begitu menyiksa batinnya, karena keinginannya untuk pulang. “Sembuh dulu ya baru pulang...” kataku menghibur Radit. Kata “pulang” mengapa begitu menyiksa batinku. Akan tetapi hanya aku pendam sendiri saja, setiap kali Radit minta “Pulang” menjadikan hati ini semakin nelangsa saja. “Aku pengen sekolah lagi pak...” tangis Radit “Iya pasti nanti sembuh terus sekolah... ingat Prof. Taryo kemarin kan...” kataku mengingatkan kata-kata prof. Taryo untuk tetap semangat sembuh. “Ayo berdoa biar diberi kesehatan sama Allah” kataku sambil mulai berdoa, di mana saat berdoa ini betul-betul dinikmati Radit. “Ya Allah, kuatkanlah Radit dalam menghadapi penyakit ini ya Allah, berikanlah kesehatan kembali seperti sedia kala, sehingga Radit dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat, kembali ke sekolah berkumpul dengan teman-teman kembali ya Allah. Ya Allah, hilangkanlah penyakit-penyakit yang menyakiti Radit ya Allah, sehatkanlah kembali darah-darahnya sehingga dapat menguatkan kembali tubuh Radit ya Allah. Engkaulah yang menguasai segala hal ya Allah, sehingga cabutlah, tariklah semua kesakitan yang ada pada tubuh Radit ya Allah” “Amin...” Kata Radit dalam pejaman mata P a g e | 19
“Ya Allah … maafkanlah kekhilafan Radit, yang meminta sakit darimu ya Allah, cabutlah pernyataan Radit ini, Radit tidak ingin sakit ya Allah, maka tariklah kembali sakit yang dimintanya ya Allah, sehingga Radit akan seperti sediakala kembali ya Allah. Ya Allah engkau maha penyayang ya Allah, dengarkanlah doa kami ya Allah, dan kabulkanlah permintaan kami....” “Amin...” kembali Radit berucap sambil membasuhkan doanya ke muka nya yang semakin pucat. Doa inilah yang paling membuat Radit sedih, karena beranggapan bahwa sakitnya ini adalah buah dari doa permintaan sakitnya kepada Allah. “Doa minta sakitmu sudah dibatalkan Radit.. jangan sedih” kataku menghibur kegalauan hatinya. “Tapi aku masih sakit pak......” kata Radit memegang kakinya, biasanya ia minta dipijitin bagian kakinya yang sakit. Aku tanyakan kepada dokter tentang sakit di kakinya ini, yang ternyata memang bawaan dari Leukimia Radit.
Ainun meninggal Malam itu begitu berat, saat anak di sebelah Radit yang bernama Ainun begitu rewel dan ribut, menjadikan Raditya tidak bisa tidur dan berkali-kali menangis marah kerena selalu terganggu dengan rengekan Ainun. Aku lihat Ainun sudah sangat kepayahan dalam mengambil nafas, dan ternyata betul bahwa Ainun sudah sangat kepayahan dalam bernafas. Ainun harus menggunakan alat pacu pernafasan untuk membantu nafasnya yang tersengal-sengal kepayahan. Aku mendengar dari dokter yang memeriksanya, mengatakan bahwa Ainun ini sudah kepayahan dalam mengambil udara melalui paru-parunya, harus dibantu dengan alat pacu nafas yang secara elektronis akan membantu Ainun dalam bernafas. Aku dengar pula berapa harga sewa pacu nafas ini dalam seharinya, yaitu Rp. 2 juta jumlah yang tidak sedikit. Karena orang tuanya
P a g e | 20
merasa tidak mampu, akhirnya dokter memberikan lembaran pernyataan bahwa orang tuanya tidak mampu membiayai sewa alat pacu nafas, sehingga menanggung segala resiko jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Akupun menjadi miris melihat keadaan ini, yang mungkin dapat terjadi pada anakku. Karena keterbatasan biaya akhirnya menyerah pada keadaan dan hanya berharap mukjizat. Pagi-pagi sekali, ternyata dugaan dokter benar, bahwa Ainun sudah malas bernafas, sehingga dipanggil di pangkuan -Nya subuh dini hari. “Kenapa dik Ainun pak...” tanya Radit.. saat melihat tubuh Ainun yang sudah ditutup selimut warna cokelat muda dari rumah sakit. “Sudah meninggal dik..” kataku. “O...” jawab Radit singkat. Tanpa banyak cakap, aku hanya melihat orang tua Ainun yang menangis dan memberesi semua pakaian dan barang untuk pulang. Akupun asyik memandiin Radit, saat Ainun tidak ada. Dan Radit asyik dengan film Sponge Bob yang disukainya. “Aku nggak suka ditunggui Uti (Mbah Putri)...pak” Kata Radit “Lho kenapa nggak suka ditunggui Uti?” tanyaku pelan “Uti itu kaya Squidward...” kata Radit tanpa ekspresi masih melihat tayangan Spong Bob. Squidward tokoh sedikit antagonis di Sponge Bob yang selalu berpamrih dalam segala hal dan tidak puas dengan keadaannya. “Jangan gitu ah...” aku menghibur Radit. Hari ini ada visite dari team dokter yang menangani penyakitnya Radit. Dokter Mulat yang berbicara dengan saya, mengatakan bahwa lekosit Radit masih tinggi, nanti akan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan team dokter di Belanda. O ya... bangsal Estella di Sardjito ini merupakan bantuan dari pemerintahan Belanda melalui Estella Fonds.Sehingga tampaknya perkembangan pasien terkadang dikonsultasikan ke sana dahulu ke team dokter di Belanda. P a g e | 21
“Radit tidak bisa makan dokter, karena gusinya tampaknya bengkak dan giginya ada yang berlubang” kataku pada dokter Mulat. “Iya gak papa.. nanti pasti bisa makan ya dik... untuk kemoterapinya nanti saya nunggu email dari Belanda dulu ya.. karena kondisi Radit masih panas, dan lekositnya tinggi sekali, apakah dari Belanda menentukan dosis kemonya setengah dulu atau langsung full” kata dokter Mulat sambil memeriksa kondisi gusi Radit yang mulai menghitam, dan kemudian berbicara pada team dokter yang membantunya. Keinginan makan Radit sebenarnya masih tinggi, akan tetapi setelah mengunyah beberapa kali kemudian dihentikannya karena sakit giginya. Hal ini yang terkadang membuat aku bingung ingin membantu tapi tidak bisa. Makanan dari rumah sakit hampir tidak tersentuh Radit sama sekali, sehingga aku berusaha untuk mencari tahu makanan apa yang disukai Radit. Makanan yang paling disukai Radit, tanpa sengaja aku temukan yaitu Tahu dengan isi Bakso, yang betul-betul dihabiskannya kecuali kulit tahu yang cukup keras yang tidak dapat dikunyah Radit. Untuk buah aku cobakan anggur hijau, ternyata disukainya juga. Aku cukup senang Radit makan banyak hari ini, walaupun terkadang nafsu makannya mendadak hilang tanpa sebab. Radit biasanya cukup gemuk, saat sakit saat ini terlihat begitu kurus, dan semakin kurus karena hampir beberapa hari tidak makan sesuai dengan porsinya yang terkadang banyak. Berat tertinggi Radit sebelum sakit sekitar 35 Kg, dan saat masuk rumah sakit adalah 32,5 Kg, dan setiap hari pasti berat badan Radit menyusut dengan cepat, terlhat dari tubuhnya yang semakin tipis, dan terkesan ringkih, cukup membuat hati ini perih.
P a g e | 22
“Kamu sayang bapak nggak...” tanyaku pada Radit “Sayang....” jawab Radit.. “Maaf bapak sering memarahimu ya dek...”kataku memelas “Nggak pa pa.. kan Radit nakal” kata Radit cukup dewasa dalam menjawabnya. “Radit pengen apa... mainan Game apa..” tanyaku “Ngak pak... ya kalau ada aku mau” jawab Radit sedikit ragu-ragu akan tawaranku. “Ya entar aku carikan PSP (play station portable).. seperti punya temennya Radit” kataku... “Boleh pak.... bapak punya uang nggak, kalau nggak punya pake tabunganku saja” kata Radit sedikit berbinar matanya. “Punya … kok ntar aku beliin” kataku.. Dalam hatiku masih berpikir biaya darimana untuk segala urusan Radit, masih cukup gelap aku pikirkan. Yang jelas aku masih ada simpanan untuk membeli PSP buat Radit kalau memang dibutuhkan, walaupun mungkin biaya untuk perawatan Radit tentu akan menghabiskan banyak tabungan yang selama ini aku coba kumpulkan. Aku coba hubungi temanku di Semarang untuk
P a g e | 23
meminjamkan PSP, ternyata tanpa hasil. Aku putuskan untuk bertanya pada teman-teman ternyata tidak menyarankan PSP karena cukup mahal dan rumit instalasinya nanti. Sudah terlanjur janji dengan Radit, segala pikiranku dipenuhi dengan bagaimana membelikan PSP buat Radit.
Panas Radit naik turun, sebelum mulai kemoterapi, dan dokter Deni sudah mengisyaratkan bahwa kemoterapi akan segera dijalankan dengan dosis penuh, karena berkejaran dengan jumlah lekosit yang telah mencapai 350 rb dan cukup membahayakan. Proses pengambilan obat Istriku, ternyata tidak aku pahami rumitnya. Proses yang berbelit berpacu dengan waktu, serta pelayanan dari rumah sakit yang tidak sepenuhnya profesional, menjadikan proses amprah (birokrasi pencarian obat untuk bantuan jaminan kesehatan yang ditanggung pemerintah) menjadi cukup berbelit dan menghabiskan energi psikis dan fisik. Apalagi waktu pelayanan hanya sampai jam 15.00 di luar itu tidak dilayani atau dilayani hari berikutnya. Nasib sial sering terjadi dimana permintaan obat dari dokter adalah hari Jum’at, sementara proses P a g e | 24
birokrasi amprah tidak bisa dilakukan dengan segera. Pasien harus rela menunggu hingga hari Senin, apabila tidak dapat mengejar deadline waktu pengambilan obat. Apabila dokter bersikeras untuk cepat memasukkan obat, tidak ada jalan lain adalah dengan membeli sendiri obat tersebut di luar rumah sakit. Obat yang dibeli sendiri terkadang tidak mendapat ganti jaminan, menurut keterangan beberapa penunggu pasien, sehingga cukup membuat frustrasi para penunggu pasien. Setiap hari Radit menanyakan PSP-nya apa sudah dibeli, akan menjadi terharu dan trenyuh7 mengapa aku terlanjur menjanjikan barang yang ternyata harganya jauh dari perkiraanku. “Ya sedang dikirim temen bapak nanti ya dek... sabar ya” kataku agak berbohong “Ya pak....” kata Radit cukup sabar di tengah sakit nya yang tidak segera berkurang. Tempat tidur Ainun telah kosong dan diganti dengan pasien baru yang lain, dengan perangai yang baru pula. Ke dua pasien samping Radit, bisa makan dengan baik sehingga membuat Radit iri, mengapa mereka boleh makan semuanya, akan tetapi Radit kok tidak diperbolehkan. “Radit kan masih sakit giginya, makannya harus diatur ya” kataku dengan penuh perasaan. “Radit pengen mie ayam, bakso.... seperti dek Dimas sama mbak Ratih itu” kata Radit menunjuk pada anak di samping nya. “Ya.. entar aku tanyakan dokter ya.. boleh nggak ya...” kataku pelan. “Mau bubur sumsum pa dek?” tanyaku “He..eh dah gak papa pak..” dengan nada agak terpaksa. Radit tidak suka bubur, akan tetapi untuk bubur sum sum agak sedikit mau dia. 7
Terharu
P a g e | 25
“Makan yang banyak dek supaya tubuhnya tambah kuat, sembuh terus pulang” aku menyemangati. Kata-kataku tampaknya mengingatkan kembali untuk pulang, mejadikan aku semakin salah tingkah saja. “Pak kapan aku boleh pulang ya... minggu depan pulang ya.. pulang... pak.. pulang.. aku kangen banget sama rumah pak...” kata Radit kembali merengek pulang. “Di rumah tidak ada dokter dik yang menangani dan mengobatimu, ibu dan bapak ada di sini kok nemanin adik”.. kataku menyemangatinya kembali. “Bapak sama ibu kalau mau di sini gak papa.. aku mau pulang” kembali tampaknya kerinduan Radit terhadap rumah sudah tidak tertahankan lagi, menjadikan akupun terhanyut dan menyesali mengapa penyakit ini ada pada keluargaku. Mengapa? tanda tanya besar ku samatkan di kepalaku. Mengapa anakku yang menanggung penderitaan yang tak tertahankan ini? dosa apa anakku? mengapa ia harus sakit sedemikian beratnya.... Semangatku naik turun apabila merasakan keadaan anakku, terkadang aku melihat anak-anak yang lain dapat berjalan, walaupun dengan infus di tangan masih bisa bermain dan menikmati masa kecilnya di lingkungan bangsal Estella, menimbulkan harapanku untuk kesembuhan anakku. Terkadang kejenuhan begitu menyiksa, apalagi saat sendirian… Radit sedang tidur yang tidak lelap karena menahan sakit tubuhnya kelelahan dalam kesakitan. Aku dapat memahami istriku jika ia tidak tega melihat sosok darah dagingnya terbaring lemas tanpa daya, dengan tubuh yang semakin mengurus, cekung matanya, kering bibirnya... oooh luar biasa sesaknya di dada. Aku berhadap mimpi buruk ini segera berakhir.... itu saja yang ada dalam hati. Setiap tengah malam, aku harus menunggui Radit untuk buang air kecil dan diperiksa PH..nya jika di bawah 6 maka aku harus P a g e | 26
meminumkan obat. Meminumkan obat merupakan hal yang sulit bagi Radit, sehingga 2 butir obat harus dikunyah terlebih dahulu oleh Radit baru ditelan, terkadang gigi Radit sakit untuk mengunyah, sehingga butuh waktu yang agak lama meminumkan obat ini. Setelah jam 01.00 malam biasanya semua perawat sudah tidur, dan Radit terkadang sudah mulai tidur, sayapun mempersiapkan alas untuk tidur di lantai, dan menyongsong pagi tanpa harap. Kalau terlalu capek, akupun terkadang tertidur pulas, lupa kalau Radit terkadang minta pipis. Pernah satu kali Radit pengen pipis akan tetapi aku kelelahan, akhirnya Radit dengan santun membangunkan bapaknya menggunakan kakinya yang turun dengan susah payah. Aku menjadi sangat terharu dan berjanji kepada Radit untuk tidak tidur terlalu lelap. Radit sungguh anak yang baik, tidak mau merepotkan bapaknya meskipun biasanya hal ini akan dilaporkan ke ibunya, sehingga ibunya Radit menegorku untuk tidak tidur saat menunggui Radit. Terkadang aku menggunakan tali charger HP, untuk memudahkan Radit membangunkan aku, jika aku tertidur. Caranya dengan mengikatkan tali charger HP ke tanganku, sehingga saat Radit ingin pipis, tinggal menarik kabel charger tersebut. Biasanya aku langsung tergagap bangun, terkadang Radit minta maaf karena mengagetkan aku, sungguh sangat mengharukan sikapnya. “Maaf ya pak.. nggak usah terburu-buru … Dadit pengen pipis” kata Radit pelan. “O.. iya..iya dek ..” kataku dalam kegugupan mengambil pispot. “Bapak capek ya mengurusi Radit...” kata Radit dengan polos “O.. tidak dik....Bapak kan sayang Radit”.. kataku sambil menghela nafas menyadari ketololanku tertidur meninggalkan Radit sendirian. Terkadang tidur menjadi sangat sulit sekali, sehingga dengan P a g e | 27
terpaksa aku nyalakan TV walaupun pelan untuk membunuh sepi. Kalau tubuh sudah terlalu lelah, tidur lelapun tidak bisa dilakukan karena Radit terkadang minta pipis. Aku jadi teringat Radit ini baru saja supit, dan penyakit ngompolnya sudah sembuh, sehingga Radit baru saja menikmati tidak ngompol. Usia Radit 9 tahun, dan masih sangat tergantung istriku dalam kesehariannya, dari bangun tidur, makan, mandi, berangkat sekolah, pulang sekolah, mandi sore, hingga belajar masih sangat tergantung pada istri saya. Ke manapun pergi, Radit selalu ikut karena ia takut jika di rumah sendirian. Pernah Radit bercerita kepada saya, bahwa ia merasa dipanggil-panggil oleh suara-suara yang ada di rumah. Aku terkadang menjelaskan bahwa itu hanya gema dik, kebetulan rumah ini berseberangan dengan rumah tetangga lain. Gema ini juga sudah pernah aku praktikkan waktu satu keluarga tamasya ke Bandung untuk melihat teknologi tepat guna. Sejak ia merasa dipanggil-panggil namanya, Radit menjadi takut sendirian di Rumah dan saat tidur juga takut di kamar sendiri. Aku terkadang menyesal mengapa aku paksakan Radit tidur di kamarnya sendiri. Radit sangat menyayangi oomnya yang tinggal di Bandung, sehingga oom nya dengan sedikit waktu Jumat hingga Minggu menunggui Radit. Terlihat Radit cukup bahagia ditunggui oomnya sehingga aku dapat berharap semoga ada kabar baik buat Radit. Hal yang membahagiakan Radit adalah dibelikan guling oleh istriku dan diberi sarung guling kesayangannya. Radit sangat suka guling, sehingga saat pindah ke kelas 3, guling tidak disediakan sehingga cukup mengganggu Radit, karena kebiasaan setiap hari selalu setia mendekap guling dan memainkan tali ujung guling. Saat tidak ada guling, Radit selalu mendekap bantal yang aku gunakan untuk tidur menunggui Radit. Usut punya usut ternyata sarung bantal tersebut mengingatkan Radit pada sarung bantal di rumah. Saking
P a g e | 28
kangennya pada rumah, bantal itu ia peluk dari sore hingga pagi... dan aku tidur tanpa bantal. Rasa trenyuh.. waktu malam melihat Radit tenang dalam pelukan bantal rumah, sungguh merupakan saat yang tidak dapat aku lupakan. “Aku sayaaaang banget sama kamu dik..... “sambil mengusap kepala Radit... akupun beranjak tidur di lantai. Saat oomnya Radit akan kembali ke Bandung.. merupakan saat berat bagi Radit.. karena oomnya akan berangkat kembali ke Bandung. Tampaknya kondisi Radit cukup drop, dari pagi hingga malam, karena memikirkan oomnya mau pulang. “Oom nanti pamit dulu.. sebelum pulang ya” kata Radit padaku “Oo pasti dek.. oom pamit dulu sebelum ke Bandung.. om kan kerja.. kasian kalau nanti gak bisa kerja oom”.. kataku menjelaskan. Aku tahu oomnya pasti tidak tega melihat kondisi Radit yang sedemikian parah, akan tetapi tuntutan kerjaannya harus meninggalkan Radit. Saat oom nya Radit mau pulang, kondisi Radit cukup menurun dan terlihat kelelahan menahan sakit, sehingga beberapa kali tertidur untuk melupakan rasa sakitnya. Saat oomnya Radit mau pulang, justru Radit sedang tertidur.. sehingga oomnya hanya titip pamit ke saya. Titipan pamit yang berat untuk aku katakan kepada Radit setelah bangun nanti. “Oom sudah pulang to… kok tidak pamit… tadi” tampak rasa kecewa yang mendalam Radit “Radit baru tidur tadi...”kataku tidak tega melihat tatapan mata kosong Radit. “Lho HP nya kan aku bawa..” terkaget Radit mengharapkan HP oomnya masih ada di sampingnya, dan masih saja berharap oom nya belum pulang. “Tadi sudah diambil oom” kataku menahan haru.
P a g e | 29
“Ya sudah…. Kapaaaaan oom ketemu lagi ya….” Kata Radit menghela napas…. Dan panas Radit pun meninggi seharian. Hari itu Radit mendapat beberapa surat dari teman bapak dan dari teman sekolahannya. Surat ternyata menghibur Radit cukup lumayan, untuk melupakan rasa sakitnya. Surat dari temanku di kantor entah mengapa cukup lama dibaca Radit.
Kemoterapi Aku cukup suntuk karena kabar baik yang aku tunggu terkadang tidak muncul, bahkan adanya kabar yang kurang mengenakkan perkembangan kesehatan anak saya. Rasa optimis selalu muncul, walaupun pesimis pasti selalu ada setiap melihat perkembangan anakku yang datar saja tanpa kemajuan berarti. Harapanku semoga setelah kemoterapi anakku membaik dan diperbolehkan pulang selama 3 minggu pada jadwal protokol yang aku terima.
P a g e | 30
Total waktu yang dibutuhkan perawatan AML ini adalah 14 minggu jika lancar. Protokol AML merupakan jadwal pengobatan yang dipadatkan, karena kondisi pasien yang cukup cepat perkembangan lekositnya. Atas email dari Belanda, kemoterapi Radit harus segera dilakukan dengan dosis full, walaupun keadaan Radit tampaknya masih belum fit benar untuk melakukan kemoterapi. Suhu tubuh Radit yang naik turun setiap hari membuat akupun sedikit khawatir. Obat kemoterapi telah didapat sehingga tampaknya infus kemoterapi segera dimasukkan. Periode suntik ambil darah, ganti infus, tusuk jari untuk ambil darah, test alergi yang cukup menyakitkan tampaknya cukup meyiksa Radit. Setiap kali ada perawat yang lewat membawa peralatan suntik, Radit pasti ketakutan tidak karuan. Penderitaan Radit tampaknya akan bertambah dengan pengambilan sampel melalui sumsum pinggangnya atau disebut BMP(Bone Marrow Puncture). Saat proses BMP tampaknya Radit belum menyadari akan dilakukan penyuntikan, kemudian setelah masuk ruang tindakan Radit mulai sadar dan meronta ketakutan. Bius tampaknya membuat Radit mengantuk, dan setengah tidak sadar Radit mulai dilakukan proses BMP. Proses BMP cukup cepat, dan Radit segera dibawa keluar ruang Tindakan dan kembali ke bangsalnya, dengan kesadaran yang belum pulih karena terlihat kebingungan Radit saat mendapati bapaknya sudah di bangsalnya kembali. “Tadi aku diapain pak... kayaknya tadi bapak menggendong Radit..., terus aku lupa.. kok sudah ada di sini lagi” kata Radit kebingungan. “Tadi kamu diobati.. nggak pa pa biar cepet sembuh ya..” kataku menjelaskan
P a g e | 31
“Nggak aku tadi sama bapak di ruangan sana.. diapain pak... terus tiba-tiba kok sudah ada di sini” kata Radit tidak percaya penjelasanku. “Sudah yang penting cepat sembuh ya...”kataku menutup pembicaraan tentang proses BMP. “Kok aku bingung… ya… tadi aku di ruangan itu.. terus tiba-tiba kok sudah ada di sini…. Aaaah bingung aku” kata Radit kebingungan sendiri. Setelah obat bius Radit berangsur menghilang, sakit yang luar biasa dirasakan Radit pada pinggulnya. Berkali-kali Radit menahan sakit pinggul yang diambil darah sumsum tulang belakangnya. Belum lagi teringat jadwal pengambilan darah, besuk cukup membuat Radit kembali stress dan tegang. “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit”... berkali-kali Radit mengucapkan mantra ciptaanku, walaupun tidak begitu banyak membantunya menanggulangi ketakutan suntik esok harinya. Sakit Radit bertambah, dengan tambahan suntikan BMP, keluhan Radit saat ini tidak hanya kaki yang linu-linu, akan tetapi pinggulnya yang semakin nyeri. Hampir setiap hari aku tidur antara jam 2-4 pagi menunggui Radit yang terkadang susah tidur saking sakit kaki dan persendiannya. Siksaan rasa sakit Radit memang membuatku hancur dan remuk rasanya, walaupun selalu aku sembunyikan dengan rapat di depan Radit maupun istriku. Saat mandi, adalah saat yang paling tepat untuk menumpahkan tangisku tanpa dilihat oleh Radit dan istriku. Keluhan demi keluhan aku tampung, terkadang meluber karena tidak kuatnya tampunganku dan aku buang dengan sisa tenagaku. Radit semakin lemah karena asupan makanan yang diterimanya semakin sedikit. Tampak berat badan anakku turun drastis, ditambah dengan gusinya yang menghitam, membuat istriku semakin tidak kuasa menahan perasaannya jika di depan Radit.
P a g e | 32
Hal ini tampaknya membuat Radit tidak suka, sehingga istri sayapun tidak berani menunggu lama-lama Radit. Hiburanhiburanku adalah hayalan jika Radit sembuh nanti, seperti permintaan Radit untuk jalan-jalan sama bapaknya sendiri ke Gembira Loka. Pengen naik pesawat kembali ke Jakarta hanya bersama Bapak. Ke tempat Oom di Bandung lagi dan beberapa cerita yang membuat Radit bersemangat untuk sembuh. Musuh utama selain keluhan rasa sakit Radit yang tidak pernah berhenti, adalah kangennya untuk pulang dan kembali sekolah. Entah mengapa aku selalu tidak suka dengan kata “pulang” yang selalu dikatakan Radit dengan derai air mata dalam kesakitannya. Terkadang Radit mengeluh panjang karena sakit yang tidak tertahankan, sambil mencoba mencari posisi tidur yang nyaman walaupun tampaknya sia-sia ia lakukan. Setelah aku mandikan pagi ini, Radit selalu melihat ke anak baru yang masuk ke bangsal kami, namanya Dimas, anak 3 tahun yang terkena Leukemia. Anak ini makannya banyak, dan bermacammacam bisa masuk. Tampaknya Radit pengen sekali seperti Dimas yang dapat makan apa saja. Saking tidak tahannya ingin makan mie ayam, Radit memohon-mohon dengan memelas kepadaku untuk minta mie ayam. “Pak... sedikiiiiiiit aja pak, aku sudah nggak tahan pak....” akhirnya aku pesankan mie ayam Radit melalui SMS ke istriku. Sayangnya oleh dr. Deni mie ayam tersebut dilarangnya karena mungkin kurang higienis. Sedangkan Radit sangat sensitit terhadap kebersihan makanan tersebut. Karena kebingungan, akupun putus asa untuk meladeni Radit. Untung Radit masih mau aku suapin Tahu Bakso yang dibelikan oleh para pembesuk Radit di luar bangsal Estella. Gigi dan gusi Radit tampaknya semakin parah dengan keluarnya darah segar, walaupun tidak terasa oleh Radit. Hal inilah menjadikan makanan-makanan yang keras dilarang oleh dokter P a g e | 33
supaya tidak memperparah gusinya. Sikat gigi juga aku hentikan karena gusi Radit yang memerah, terkadang darah kering di mulutnya cukup banyak sehingga agak sulit membersihakannya. Keinginan Radit makan yang sangat mengharukan adalah saat Dimas, teman di samping Raditya makan alen-alen8. Makanan dari singkong yang terkenal di daerah Kebumen. Aku tahu Radit ingin sekali, akan tetapi kondisi gusi Radit tidak diperbolehkan makanan yang keras-keras seperti alen-alen. Keinginan Radit makan Alenalen sudah sangat tidak tertahankan lagi, dengan memohonmohon sembah kepadaku untuk makan sedikit alen-alen membuat aku tak tahan lagi. “Mbak aku minta alen-alen sedikit ya...untuk Radit yang pengen sekali makan alen-alen” kataku kepada ibunya Dimas. Dengan sigap ibunya Dimas memberikan satu kantong alen-alen yang kemudian aku berikan kepada Radit. Cara makan Radit sungguh tidak terbayangkan, dengan lahapnya ia masukkan Alen-alen dan kemudian dikunyahnya. Satu, dua, tiga alen-alen aku hitung masuk ke mulutnya Radit. Tampak Radit menikmati rasa alen-alen itu, dan menyadari bahwa mulutnya tidak begitu enak untuk mengunyah. Terbukti setelah alen-alen ke tiga, Radit kemudian menyerahkan kantong sisa alen-alen ke bapaknya. “Huuuh... aku puas pak... bisa makan Alen-alen....” kata Radit.... sungguh sesuatu yang mengharukan melihat ekspresi kesenangan Radit dalam kesakitannya. Karena trombosit Radit yang semakin menurun, maka oleh dokter Danny disarankan untuk transfusi darah jenis TC atau trombosit concentrate. Dokter meminta 7 kantong TC, untuk disiapkan, sehingga aku dan istripun mengontak beberapa teman yang mempunyai golongan darah yang sama dengan anakku, yaitu golongan darah A. Tidak terlalu sulit mengumpulkan 7 orang, 8
Makanan dari tapioka seperti cincin atau ali-ali dalam bahasa Jawa
P a g e | 34
karena aku sudah mempersiapkan teman-teman kantor untuk siaga jika aku membutuhkan darah. Aku berharap keadaan Radit membaik setelah trombocitnya ditambahkan ke tubuhnya melalui infus. Kembali lagi apabila teringat tubuh Radit yang semakin kurus, karena susah makan, rasanya sakit sekali menghujam di dalam hati..... mengapa anak ini harus menanggung sakit yang begitu hebatnya. Rasa tidak terima, akan kondisi seperti ini benar-benar menyiksa. Radit kesakitan, sementara aku harus bertahan supaya semua tidak kalut. Aku coba tabah dan tetap semangat menemani Radit dalam keadaan yang sangat sulit ditentukan. Kekhawatiran akan kondisi Radit yang tidak membaik aku simpan dalam-dalam supaya istriku, dan Radit sendiri tetap melihat aku sebagai sosok yang kuat, tegar, dan tabah. Transfusi TC, hanya membuat gusi Radit sedikit cerah warnanya, dan aku berharap kondisi ini akan membaik menjelang kemoterapi dalakukan. Panas Radit masih turun naik, setiap 4-5 jam aku harus memberikan obat penurun panas. Saat Radit akan panas, kakinya pasti dingin sekali, sehingga aku gosokkan minyak kayu putih untuk membantu menghangatkan kakinya. Minyak yang disukai Radit adalah minyak tawon. Setelah aku berikan obat penurun panas, Radit biasanya berteriak-teriak kepanasan tubuhnya. Kemudian keringat akan mengguyur badannya, sehingga suhu tubuhnya kembali ke sedia kala. Pantauan suhu badan terkadang aku lakukan setiap jam untuk melihat perkembangan infeksinya. Infeksi adalah musuh nomor satu penderita Leukemia, sehingga aku harus mencoba meminimalisir kontak secara langsung dengan Radit. Alkohol di sediakan di setiap ruang, sehingga penunggu dapat membasuh tangannya untuk menbunuh kuman yang tidak terfilter cuci tangan biasa. Masker selalu aku gunakan, karena Radit dari dahulu tidak suka bau mulutku. Baju steril terkadang aku gunakan supaya Radit tidak terganggu bau tubuhku, dan P a g e | 35
sekaligus menghindari kontak langsung kulit Radit. Pada saat di kelas 2, masker dan baju steril wajib digunakan, mengapa di kelas 3 ini banyak penunggu yang tidak menggunakan masker dan baju steril? aku sering bertanya-tanya sendiri. Seharusnya tanpa diperintah semua penunggu harus bermasker dan menggunakan baju steril. Banyak dokter dan perawat juga tidak menggunakan masker dan baju steril, apalagi pengunjung lain, yang terkadang sudah merasa lama di bangsal menjadi sedikit angkuh terhadap penghuni baru. Banyak dari mereka tidak menggunakan baju steril, penutup muka, menggunakan alas kaki. Ngeri juga, kalau mereka tidak disiplin apalagi anakku sangat rentan terkena infeksi. Aku putuskan untuk tetap konsisten menggunakan masker dan baju steril demi anakku. Menjelang kemoterapi, panas Radit masih saja turun naik tidak stabil. Keputusan dokter adalah tetap melakukan kemoterapi dengan dosis yang telah ditentukan. Infus yang diberi tas plastik hitam adalah obat kemoterapi yang akan dimasukkan melalui infus Radit. Sebelumnya Radit sudah stress dengan test alergi yang cukup menyakitkan walaupun hanya di kulit ari Radit. Suntik anti mual biasanya dimasukkan terlebih dahulu sebelum infus Cytarabine kemoterapi Radit. Salah satu efek kemoterapi adalah mual, dan rambut akan segera rontok. Karena terlalu lelah terkadang aku tidak konsen terhadap infus yang habis, dan hal ini ternyata membuat Radit bertambah stress karena air infus yang habis akan membuat darah Radit naik ke selang infus. Apalagi apabila terlalu lama infus habis tidak lapor ke perawat, proses penggantian menjadi lebih lama karena harus dimasukkan lewat selang suntik. Hal ini terkadang menyakitkan Radit, karena jarum infus akan dicek apakah ada darah yang mengental di sana atau tidak. Kalau ada darah yang mengental, maka harus disedot supaya air infus kembali lancar. Hal ini
P a g e | 36
membuat Radit sering marah-marah kepada bapaknya karena tidak konsen mengawasi infus. Aku sudah berkali-kali minta maaf dan tampaknya Radit memahami permintaan maaf saya. “Iya dek.. bapak akan lihat terus infus Radit... biar tidak habis” kataku gugup menanggapi marahnya Radit. Sejak itu, trauma Radit bertambah saja yaitu infus habis, makanya dia selalu was-was melihat terus ke arah air infus. Jika tidak menetes dia selalu protes kepada bapaknya, kenapa air infus tidak menetes. Rasa kepercayaan Radit kepada bapaknya pun berkurang, sehingga trauma infus habis ini tampaknya membekas dalam, terlihat Radit selalu gugup apabila bangun dari tidur dan selalu dengan cepat matanya terkaget mengawasi infus. Jika air infus masih banyak tampak kelegaan ada di matanya. Aku menjadi merasa berdosa karena tidak konsentrasi dalam mengawasi infusnya sehingga menjadikan trauma Radit bertambah. Suster yang mengawasi juga tidak memberikan teknik awal jika infus habis, yaitu dimatikan terlebih dahulu infusnya supaya air infus tidak terlanjur masuk sampai mendekati jarum di tangan. Infus macet sebenarnya adalah hal yang biasa, apalagi sering dilakukan proses transfusi darah. Dan hal ini menambah stress Radit tidak berkurang malah bertambah-tambah saja. Tingkat stress Radit sudah sangat tinggi, karena berbaring di tempat tidur, menunggu hari-hari yang tidak pasti, ancaman suntik setiap hari menghantuinya. Terkadang dalam tangisnya, ia ingin pulang saja daripada di rumah sakit penuh dengan proses penyuntikan dan penyiksaan. Setiap hari Radit mendengar tangis kesakitan, membuat tingkat stress semakin tinggi akan tetapi tanpa daya menghadapinya. Hiburan satu-satunya adalah TV yang ada di depan tempat tidur Radit. Setiap hari, yang dipandangi adalah acara-acara TV seperti film Sponge Bob, Awas ada Sule, dan filmfilm kartun kesukaan Radit. Kejenuhan pada TV tampak setelah beberapa hari kemoterapi dilakukan. Linu kaki yang tak kunjung P a g e | 37
sembuh, membuat tangan bapaknya ini menjadi langganan memijat Radit setiap waktu. “Pijatnya jangan terlalu keras ya.. nanti trombocitnya pecah” kata dr. Deni ketika melihat aku memijat Radit. Padahal sakit Radit adalah pada sumsum tulangnya, sehingga cenderung meminta lebih keras memijatnya untuk pengalihan rasa sakit. Karena tingkat stress yang semakin bertumpuk dan banyak, akhirnya Radit menjadi sensitif terhadap tindakan-tindakan biasa yang tadinya tidak menyinggungnya seperti mengukur panas menggunakan termometer. Karena seringnya mengukur panas di ketiaknya, maka Radit terkadang ketakutan kalau termometer tidak menempel di ketiaknya. Selalu khawatir kalau suhu tubuhnya panas. “Berapa pak panasku....” tanya Radit “38,5 dik....”kataku saat membaca thermometer panasnya Radit “Wah..... panas terus....”kata Radit frustrasi melihat panasnya tidak turun-turun selama kemoterapi. Kewaspadaan terhadap infus habis, terus aku tingkatkan karena infus Cytarabine hanya separuh dari botol infus biasa sehingga cepat habis, dan tidak terlihat karena dibalut dengan plastik hitam supaya tidak terkena sinar secara langsung. Proses kemoterapi ini cukup melelahkan karena masuk infus jam 12 siang dan jam 24 malam, sehingga harus waspada terhadap kehabisan cairan infus. Aku belum melihat efek kemo yang katanya mual, rambut rontok pada Radit. Tampaknya Radit belum begitu terpengaruh dengan obat-obatan kemoterapinya. Aku berharap kondisi Radit akan membaik setelah kemoterapi, sehingga harapan pulang segera tumbuh. Radit juga tampaknya menyadari hal ini, dan iapun ingin segera pulang jika kemoterapi sudah selesai dilakukan. “Pak lihat jadwal pengobatanku pak” pinta Radit. Segera akupun menjelaskan protokol AML-M1 yang akan digunakan sebagai panduan jadwal pengobatan Radit. P a g e | 38
“Setelah 8 hari kemoterapi ini boleh pulang ya pak” kata Radit agak semangat “Kalau kondisimu bagus... minggu kedua hingga minggu ke empat boleh pulang” kataku menujelaskan. “Aku harus sembuh... aku harus sembuh... aku mau pulang... semoga minggu depan sudah pulang” kata Radit menyemangati dirinya. Kata-kata afirmatif ini yang sering membangkitkan semangat Radit dalam menghadapi penyakitnya yang tidak menentu. “Ok mari berdoa Radit... ya Allah.. semoga obat kemoterapi yang dimasukkan ke tubuh Raditya ini dapat menyembuhkan segala penyakit yang ada di tubuh Radit ini. Semoga kondisi Radit semakin baik dan minggu depan bisa pulang ya Allah. Ya Alllah kuatkanlah Radit dalam menghadapi rasa sakit yang bertubi-tubi ini ya Allah, berikanlah kesembuhan, berikanlah mukjizat mu ya Allah, maafkanlah kekhilafannya ya Allah. Cabutlah segala penyakit, segarkanlah darah nya sehingga kami dapat bersatu kembali di rumah, dan Radit bisa sekolah lagi ya Allah. Hanya itu doa dari bapaknya Radit.. kabulkanlah doa kami ini ya Allah …. Amin” aku menutup doa dengan mengusap seluruh tubuh Radit. Radit betul-betul menikmati doa dan prosesi yang aku buat sendiri. Proses pengobatan kemoterapi ditambah lagi dengan obat Doxorubicine yang berwarna oranye. Obat ini cukup menarik Radit karena warnanya yang oranye kemerahan. Doxorubicine adalah obat antibiotik untuk kanker Radit, yang dimasukkan di tengahtengah proses masuk obat Cytarabine Radit. Hal yang tidak diduga Radit pada proses terapi induksi kemoterapi ini adalah diberikannya proses penyuntikan obat di sumsum tulang belakangnya menggunakan obat methotrexate atau MTX. Saat menuju ke ruang tindakan, Radit kembali stress dan
P a g e | 39
ketakutan karena akan dilakukan BMP lagi. “Pak... aku mau dibawa ke mana ini pak....pak....pakk.....” rintih Radit tanpa daya. Saat melihat tubuh kurusnya, aku sebenarnya mau berteriak.... mengapa anakku menanggung sakit yang sedemikian berat dan menyiksanya..... “Kamu diobati sebentar ya dek.. gak pa pa” kataku dengan ketabahan yang nyaris punah “Pak tolong digendong anaknya ya... ke tempat tidur tindakan” kata suster kepadaku Aku bopong Radit... dan kembali aku heran bobot Radit sangat jauh berkurang dibanding biasanya, saat aku membopongnya begitu terasa ringan bobot Radit, menandakan bahwa berat Radit sudah pasti turun drastis. Melihat kakinya, tangannya, tulang dadanya yang terlihat menonjol berurutan... tanpa terasa beban sudut airmata sudah sangat jenuh dengan air mata. Akupun masih bisa menahan arus gemuruh kemarahan hati ini.. entah marah kepada siapa.. yang jelas sudah tidak tertahankan lagi. “Bapak silahkan ke luar dahulu” kata suster mengagetkan lamunanku. Aku tidak ingin Radit sendirian di ruang tindakan ini, akan tetapi suster dan dokter sudah mempersilahkan untuk keluar dari ruangan. “Pak tolong pak... bapak... aku mau diapain pak... pak... tolllllonnng pak” tanpa menghiraukan lolongan ketakutan Radit dengan langkah terpaksa aku ke luar dari ruangan “Tidak sakit kok... nggak papa...” kata dokter Pudjo yang menangani suntik MTX. “Pelan-pelan ya.....” kata Radit memohon tanpa daya “Iya... pasti pelan.. pelan..he.he.he. gak pa pa...” kata dokter Pudjo sekali lagi.... Selesai sudah proses MTX .. dan Raditpun masih terlelap dalam biusnya. “Pak tolong jangan pake bantal ya tidurnya... biar terlentang P a g e | 40
minimal 4-6 jam” Kata perawat kepadaku. Aku hanya mengangguk pelan, merasakan kesakitan luar biasa anak ini. Kadang untuk memperkuat ketahanan hatiku, aku hanya dapat mengharapkan penderitaan anak ini segera berlalu .. itu saja yang aku inginkan. Setelah Radit tersadar.. kebingungan dalam tanya “Pak tadi aku diapain pak... aku takut...” kata Radit “Sudah ...sudah... gak papa...bapak.. di sini menemanimu.... bapak sayang Radit.. Radit tahu to... bapak sayang banget sama Radit” kataku sambil mengelus kepalanya. Banyak kejadian menyakitkan yang tidak terbayang oleh Radit... sehingga tampaknya kepasrahan dalam ketidak mampuan dayanya yang memaksanya untuk tetap bertahan. Kepercayaannya kepada bapaknya tampaknya mulai runtuh, melihat tindakan-tindakan yang menyakitkan ternyata tidak diberitahukan kepadanya terlebih dahulu.
Sakit hati yang terpendam “O ya ada pak Eko di depan bangsal.. mau telepon kamu....” kataku setelah melihat SMS dari Istriku. Seingatku Radit sangat dekat dengan gurunya bernama pak Eko, karena seringnya bercerita tentang segala pelajaran, tingkah laku gurunya saat di sekolah. Semua hal tentang pak Eko diceritakannya, termasuk memijiti punggung pak Eko. “Nggak mau pak....” geleng Radit pelan.... aku sedikit kaget melihat ekspresi Radit yang datar saja melihat pak guru kesayangannya mau menelepon. Dering telepon HP ku pun berbunyi. “Halo mi... gimana.. ada pak Eko...” kataku “Iya mau bicara sama Radit” kata istriku. Sambil ogah-ogahan Radit menerima telepon dari gurunya.. jawabnya hanya tertawa dan kata “Iya”... sambil menahan
P a g e | 41
sakitnya. Telepon pak Eko cukup lama dan Radit hanya tertawa kecil dan menjawab kata “iya..” saja .. aku tidak tahu materi apa yang dibicarakannya. “Pak … sudah pak” kata Radit sambil menyerahkan HP ku... “Seneng ya.. bisa denger pak Eko...” kataku sambil menerima HP ku. “Iya... “ Kata Radit singkat. “Semua sayang Radit kan” kataku mengusap kepalanya. “Pak... aku pernah dipukul pak Eko....” kata Radit pelan sekali hampir tidak terdengar. Tampak sambil menangis dia ngomong bahwa Radit pernah dipukul pak Eko, karena dikira pak Eko .. Radit yang rame.. padahal teman Radit yang rame. Tampak keterpukulan Radit dan kekecewaan Radit pada sosok Gurunya ini disimpan di hatinya yang terdalam. “Nggak.. pak Eko pasti tidak sengaja itu..” kataku di tengah kekagetanku.... selama ini aku kira Radit kagum dan sayang terhadap pak Eko.. yang katanya cukup bagus kalau mengaji dan sering mengajari Radit mengaji. “Aku pernah dipegang dengan kasar bajuku..pak .. begini ini” kata Radit sambil meperagakan bajunya ditarik pak Eko ke atas.. sambil menitikkan air mata kekecewaan mendalam terhadap sosok gurunya. “Tapi pak Eko pernah baik kepadamu kan...coba kamu ingat kebaikannya” akupun memecahkan kekecewaan Radit, dan Raditpun mengangguk perlahan. “Sudah... kamu ingat kebaikannya jangan ingat keburukannya ya...” sambil mengalihkan pembicaraan aku cek infusnya. Aku cek kaki Radit... sangat dingin.. akupun sedikit panik... tampaknya Radit mau demam, sehingga akupun mempersiapkan minyak tawon yang baru dibelikan istriku, untuk memijiti kakinya yang dingin. Ternyata perkiraanku tepat.. Radit panas kembali dalam suhu di atas 38,5.. cukup tinggi panasnya. Akupun teringat P a g e | 42
bantal panas untuk terapi di rumah ibu saya, akhirnya aku sms istriku untuk mengambilnya, untuk menghangatkan kaki Radit. Suster pernah mengatakan apabila panas, tolong di kompres ketiak, kepala, dan kaki dengan menggunakan kantong kaus tangan karet yang diisi dengan air hangat. Pernah aku kompres Radit dalam tidurnya, kaus tangan karet ini pecah sehingga membasahi seluruh tubuh Radit dan tempat tidurnya. Proses mengganti baju Radit saat infus menancap, dan tangan Radit kesusahan ditekuk, merupakan beban terberat. Radit sudah susah bangun, dengan tangan penuh bekas tusukan infus, sampel darah dan test alergi, mejadikan tangannya sakit apabila ditekuk, sehingga penggantian baju dan sprei tempat tidut menjadi sangat lama. Perlu kesabaran untuk membuka baju Radit, mengganti dengan yang baru, kemudian mengganti sprei tanpa harus mengangkat Radit. Teknik ini aku pelajari saat perawat-perawat 2 hari sekali mengganti sprei tanpa harus mengangkat badan pasien. Dah kelar.. walaupun tubuh basah kuyup karena keringat, selesai mengganti sprei, baju dan celana Radit. Setelah itu aku jadi teringat bantal hangat elektrik yang digunakan untuk terapi rematik nenek Radit. Pagi.. setelah proses MTX, ada visite dari Prof. Taryo.. seorang dokter ahli dibidang Leukemia di Sardjito. “Hmm... anak ini akan baik jika di isolasi.... masih panas ya...” kata Prof. Taryo “Masih panas terus prof...” kataku menjelaskan “Itu yang tidak boleh.... “ kata Prof. Taryo “Bapak harus pake masker dan baju Steril.. supaya adik tidak infeksi terus...” kata Prof. Taryo Aku jadi teringat bahwa hanya saat kunjungan Prof. Taryo saja instruksi penggunaan masker dan baju steril dilakukan oleh perawat-perawat. Aku terkadang tidak habis pikir mengapa hanya saat kunjungan Prof. Taryo saja mereka disiplin menggunakan baju P a g e | 43
Steril dan Masker. Dalam hati pernah aku mempunyai niat untuk menggugat ketidak seriusan rumah sakit ini dalam menangani resiko infeksi pasiennya. Aku dapat membayangkan betapa sakitnya anak-anak yang berjuang melawan infeksi yang ditularkan di mana-mana, termasuk di baju penunggu, mulut penunggu. Hal ini tampaknya diabaikan oleh beberapa dokter dan perawat di bangsal ini. Aku pernah berniat menemui prof Taryo memberitahukan kebohongan, kepura-puraan beberapa suster dan dokter jaga yang ada di bangsal lantai 2 Estella ini. Tapi...aku urungkan jika sudah melihat kondisi anakku yang tidak kunjung membaik, lama-lama terlupa dengan niatku karena melihat rintihan dan kesakitan anakku. “Bapak besuk coba masuk kerja ya dek... sudah beberapa minggu bapak bolos kerja...” kataku pelan-pelan kepada Radit “Bapak jangan kerja dulu pak.... “ Kata Radit memelas “Sebentar saja nengok kantor bapak” kataku tidak berani melihat ekspresi Radit mendengar permohonanku. “Sebentar saja lho.. sambil ambil PSP dari teman bapak” kata Radit mengingatkan janjiku pada Radit untuk membelikan mainan. “Temen bapak memberikan Game Boy dik.. mau nggak” kataku “Game boy .. apa itu pak” tanya Radit “Sejenis PSP mungkin.. bapak juga nggak tahu” kataku polos “Ngak pa pa pak.. kalau kurang duitnya bapak ..pake tabungan Radit aja pak” kata Radit polos membikin trenyuh* hati ini. “Pak mbok pindah dari ruangan ini pak.. berisik sekali... aku jadi pusiiiingggg” kata Radit saat mendengar radio yang disetel Rahmat teman Radit di tempat tidur pojok. “Sabar ya dek... coba kamu cuek aja ya..” hiburku “Enak waktu di kelas 2 kemarin pak...atau Radit pengen kamar sendiri biar bisa tenang pak tidurnya....” kata Radit polos “Bapak nggak punya uang dek untuk ruangan sendiri...” kataku P a g e | 44
menjelaskan alasan kenapa Radit di ruangan 1 kamar buat ber 3. “Tapi aku pusiiiingg pak kalau ribut begini...” pinta Radit dalam tangisnya.. Aku hanya bisa menghibur, dan mencoba mengalihkan perhatiannya di lain pembicaraan. Esoknya aku coba masuk ke kantor, untuk membereskan pekerjaanku yang sudah aku tinggalkan lama. Di kantor.. rasanya tidak karu-karuan karena teringat Radit terus, sehingga aku benarbenar tidak dapat konsentrasi. Entah mengapa perasaanku sangat berat meninggalkan Radit di rumah sakit. Aku teringat dengan keadaannya yang kurang baik dan belum baik hingga hari itu. Rasa sedih mengikutiku, walaupun aku duduk di bangku kerjaku... “Pak Edi.. kurus sekali pak... capek ya..” kata teman kantorku “Iya mbak... nunggui anak saya.. nyaris tidak tidur selama ini” kataku polos “Gimana keadaannya.... membaik to” tanyanya dalam ketidak tahuan “Sudah lumayan.. bisa aku tinggal sebentar..” kataku sedikit berbohong keadaan anakku “Syukurlah … cepat sembuh ya Radit... “ ada nada lega mendengar berita anakku “Doakan saja ya mbak” kataku memelas Ding..... ada SMS dari Istriku.. aku selalu was-was apabila ada SMS dari istriku “Pi … cepat pulang.... Radit nanyain bapak terus..” bunyi SMS istriku Hanya satu SMS, sudah membuat aku tidak dapat duduk tenang... jalan ke sana kemari.. masih saja bayangan Radit sakit mengikutiku... ada rasa sedih, tidak terima, marah.. pada keadaan yang berubah drastis dalam 2 minggu ini. Istriku ditemani ibu mertuaku ikut menunggui Radit. Hatiku cukup
P a g e | 45
lega ada yang menemani, walaupun keadaan keluarga ini sudah morat-marit. Istriku tidur di samping bangsal, seperti seorang tuna wisma di pinggir toko. Apabila malam sudah aku bayangkan dinginnya pasti minta ampun, belum lagi kalau hujan. Lengkap sudah penderitaan kami. Akupun rindu kegiatanku seperti biasa, bangun pagi.. maen sepeda, ke kantor sambil nganter anak, kerja, pulang, berkumpul lagi dengan Radit dan Dita, serta ibunya. Hmmm masa-masa yang indah.. akankah terulang.. terkadang aku melamunkan hal itu di tempat duduk kerjaku. Aku harus kembali ke rumah sakit, mengurusi Radit yang terbaring lemah, mandi di tempat mandi umum bangsal Estella. Panas ruangan yang menyesakkan dada, tangisan Radit, tangisan temannya, keributan-keributan yang membuat stress pasien dan penunggunya. Setiap hari makanan Radit dari rumah sakit aku makan, walaupun rasanya hambar tetap aku lahap dengan harapan tidak ambruk sakit, karena yang menunggui Radit hanya aku yang kuat mentalnya. Melihat Radit kurus, tangan, dan kaki hanya terbalut kulit tipis, bokong sudah habis, tulang dada rata.. yang berbaris rapi, mata cekung, dan mulut penuh dengan darah kering... siapa tega melihat hal ini. “Pak Radit sayang bapak... terimakasih ya pak.. Radit sudah ngrepotin bapak...” kata-kata Radit yang lembut bagaikan halilintar yang membelah dadaku. Tak kuasa aku mendengar katakata Radit yang tidak lazim ini, akupun mencoba untuk tetap tegar. “Radit tidak ngrepotin kok.. bapak kan sayang banget sama Radit... kamu tahu itu to...” kataku menjawab pernyataan Radit yang tak terduga. “Terimakasih pak....” kata Radit kembali mengiris-ngiris rasa hatiku
P a g e | 46
“ngGak perlu terimakasih.. sudah … sudah... Bapak kan sayang Radit” .. kataku terbata-bata. Bibir Radit kering.. memperlihatkan kalau suhu badannya selalu panas, sehingga terkadang bibirnya pecah-pecah saking panas badannya. Sedikit darah terkadang keluar dari gusi-gusinya menandakan trombocitnya cukup rendah mungkin sehingga harus transfusi TC. Karena kondisi gusinya yang demikian, dokter menyarankan untuk tidak melakukan sikat gigi. Sehignga mulai hari itu Radit tidak sikat gigi, hal ini menambah sedikit kotornya gigi-gigi Radit. Terkadang darah kering menempel di langit-langit mulut Radit, dan Radit tanpa sengaja memasukkan tangannya untuk mengambil darah kering di mulut Radit. Aku terkadang sedikit memarahi Radit untuk tidak memasukkan tangan yang mungkin penuh kuman ke mulut Radit. “Sudah to pak.. nggak papa aku bersihkan sendiri..ni..ni..ni...” kata Radit sambil emosi jika aku peringatkan sambil memasukkan tangan di mulutnya. Terkadang emosinya Radit semakin tidak terkendali, apalagi saat mulai demam. Detak jantungnya menjadi lebih cepat, emosi meluap-luap. Aku paham kondisi Radit yang mungkin menahan sakit yang tidak terkira, sehingga emosinya bertambah labil. “Panas... pak... panas.....” kata Radit saat demamnya naik. Tampaknya Radit kebingungan antara saat sebelum demam dia kedinginan, dan setelah aku beri penurun panas. Keringat Radit bisa besar-besar seperti butiran jagung. Bantalnya menjadi basah keringat, sehingga harus sering aku balik supaya lebih nyaman tidurnya Radit. “Pak setiap 4 jam diminumin Paracetamol ya pak...” kata dokter Deni mengingatkan. Panas Radit setelah kemoterapi masih naik turun, menandakan infeksinya cukup parah. “Pak satu kantong darah merah atau PRC (Packed Red Cells) untuk Radit dapat diambil di PMI pak” Kata dr Deny. Transfusi darah P a g e | 47
merah dilakukan untuk menambah asupan darah Radit yang mungkin sudah musnah oleh kemoterapi yang dilakukan beberapa hari. Delapan hingga sembilan hari Radit dimasukki obat-obat dengan dosis yang cukup tinggi untuk memusnahkan sel darah putih yang tidak berguna, sehingga targetnya adalah menghilangkan semua darah putih yang tidak bermanfaat, kemudian dipacu Radit untuk membentuk sel darah putih yang sehat. Aku agak bersyukur dan optimis keadaan Radit akan membaik, karena selama kemoterapi, Radit tidak begitu merasakan mual, dan rambut Radit tidak rontok. Sementara keadaan yang cukup mengkhawatirkan adalah panasnya yang tidak pernah turun serta gusinya yang masih sering berdarah. Bintik-bintik darah merah yang muncul di tubuh Radit juga semakin banyak, menandakan bahwa trombocitnya mungkin di bawah ambang batas terendah. Makanya team dokter yang menangani Radit kemudian meminta lagi untuk melakukan transfusi darah trombocit TC, untuk menaikkan trombocitnya yang terlalu rendah. Sekali lagi pencarian donor berjumlah 7 orang, masih cukup mudah aku lakukan, dengan menghubungi teman serta daftar pendonor golongan A yang aku punya masih cukup untuk mensuplai trombocit buat Radit. Karena keadaan Radit tampaknya tidak begitu mengkhawatirkan, maka aku kembali bekerja walaupun hanya sebentar, karena aku masuk siang menunggu Radit terlebih dahulu. Istri aku juga minta Radit untuk masuk isolasi, jika memang dapat membantu mengurangi infeksi Radit, tapi team dokter mengatakan Isolasi masih penuh, dan diperuntukkan untuk pasien lain yang lebih kurang beruntung keadaannya dibanding Radit. Ada rasa optimis dari penolakan isolasi ini, karena kondisi Radit masih dianggap baik dan belum layak untuk masuk Isolasi.
P a g e | 48
Bapak Tukang Marah Kiriman Game Boy aku alamatkan di kantor, sehingga Radit dengan rela melepas aku masuk ke kantor karena alasan mengambil mainan Game Boy, yang disumbangkan oleh temanku dari Semarang. Rencanaku adalah meminjam PSP dari teman di Semarang untuk sementara gagal sudah, ternyata PSP tersebut masih digunakan anaknya sehingga ia mengirimkan Game Boy dari Nintendo buat anak saya. Saat aku membawa Game Boy ke hadapan Radit, tampak sedikit kekecewaan Radit walaupun tidak diperlihatkan tentang mainannya. “Ini masih belum di beli kan pak... bisa dituker dengan yang lain to...” kata Radit menyembunyikan kekecewaan mainan bekas dari temen saya. “oo bisa nanti dituker yang lebih bagus aja ya....” kataku berbohong untuk mengurangi kekecewaannya. “Aku ini seneng kok pak.... yang laen ada nggak pak... “kata Radit menghiburku. Radit tampaknya menyadari kondisi bapaknya yang kebingungan.. entah mengapa dia tahu bahwa mainannya ini hanya pinjaman dari pak Andi temanku di semarang. “Ini dari pak Andi ya... nggak pa pa pak bagus...”kata Radit lebih dewasa gaya bahasanya, walaupun tampaknya ia menyimpan kekecewaan. “Coba nanti aku carikan Gadget untuk mainan aja yang lain” kataku menghiburnya. “Iya pak boleh.. pakek uangku saja nggak papa...” kata Radit menghiburku. Radit tampaknya tahu keadaanku, sehingga selalu menyodorkan tabungannya yang cukup banyak saat dikumpulkan di hari Sunatan Radit beberapa waktu yang lalu. Aku jadi teringat saat sunatan Radit yang lalu juga penuh dengan kesakitan, terutama saat bedah kecil burung Radit sampai
P a g e | 49
perawatannya. Aku sebenarnya tidak tega melihat Radit kesakitan saat Sunat, tapi aku sembunyikan saja terhadap Radit dan Istriku. Teriakan Radit kesakitan saat membuka perban, merupakan kejadian yang membuat aku tidak dapat melupakan pengalaman itu. Sampai saat ini rasa sayang aku terhadap Radit sangat berlebihan sebenarnya, walaupun sering tidak aku perlihatkan. Semenjak Radit sunat, aku menjadi lebih dekat dan tambah sayang, karena teringat teriakan kesakitan Radit, saat aku mencoba untuk menyemangatinya untuk menahan rasa sakit. Saat itu aku marah karena Radit menunda-nunda membuka perban. Sebenarnya aku bukan tipe pemarah, akan tetapi aku sudah berjanji kepada istriku untuk menjadi sosok yang dapat ditakuti di rumah, sehingga dapat mengendalikan kenakalan-kenakalan anakanakku yang terkadang keterlaluan. Sejak saat itu aku menjadi sosok yang ditakuti oleh Radit dan Dita, walaupun sebenarnya aku tidak enak dengan posisi tersebut. Konsisten untuk tegas menjadikan aku sosok “momok” bagi Radit dan Dita. Aku sebenarnya menyesal, dalam setiap kemarahanku pada anakanak, ada rasa sakit ….. akan tetapi kata konsisten tetap aku pegang untuk tetap menjadi sosok yang ditakuti anak-anak supaya dapat mengendalikan mereka. Terkadang aku menghibur diri sendiri, dari hasil konsistensiku menjadi sosok yang ditakuti, anakanak berkembang dengan lebih baik dan sesuai dengan keingingan aku dan istriku. Kedua anakku lebih dewasa dibanding dengan anak-anak lain, walaupun sifat kekanak-kanannya terkadang lebih mendominasi. Aku pernah berkata pada istriku, apakah kita ini menuntut anak-anak untuk cepat dewasa, sehingga tidak memerdulikan posisi anak-anak. Sampai saat ini konsistensiku masih tinggi, sehingga ada satu mantra yang aku ciptakan kepada anak-anak, yaitu: “Bapak marah karena anak-anak nakal” jika tidak nakal bapak tidak marah. Itu sudah dipahami oleh anak-anakku, akan tetapi terkadang lebih P a g e | 50
banyak lupa apabila mereka berdua sedang berantem. Berantem adalah hal yang mebuatku terkadang cukup marah dengan mereka, sehingga apabila berantem akan aku hukum mereka berdua. “Kamu sayang mbak Dita to Dit...? kataku saat memberikan hadiah dari Dita berupa jam tangan. “Sayang pak … ini hadiah dari mbak Dita ya” sambil menimang jam tangan yang pernah diminta Radit beberapa waktu yang lalu, akan tetapi kami tidak membelikan karena jam tangan Radit banyak yang rusak dan tidak dipake setelah dibeli beberapa hari. “Tolong dipakekan pak...” Kata Radit, kemudian langsung aku pakekan di tangan Radit sebelah kiri. Aku terharu melihat jam ini terlalu besar dipake Radit, karena pergelangan Radit sangat kecil sekali terlalu kurus. Rasanya ingin menangis.. akan tetapi aku harus bisa bertahan tidak mengeluarkan air mata di depan Radit. “Bapak kenapa to.. diam saja” tanya Radit..... “Eh... gak papa... sini aku benarkan posisi jam tangan mu” kataku mengalihkan perhatiannya. “Tahu to.. semua sayang sama kamu Radit” kataku kepada Radit setelah membetulkan posisi jam tangannya. Radit mengangguk sedikit, kemudian pandangannya menerawang jauh..gak tahu aku sedang memikirkan apa Radit saat itu. “Kenapa Radit... kamu” kataku saat menunggu apa yang mau dikatakan Radit tampak menyimpan sesuatu yang berat. “Mbak Dita dulu cantik pak.. sekarang gendut agak jelek ya...” kata Radit membuat aku sedikit tersenyum. Memang anakku yang besar ini cukup subur badannya, entah mengapa selama Radit sakit.. tampaknya Dita bertambah gemuk saja. “Entar tak suruh olah raga biar cantik kayak dulu lagi ya...” Kataku “Pak.... mbak Dita dulu sering memfitnah Radit pak... sehingga Radit sering kena marah bapak dan Ibu...” kata Radit menangis. Kembali aku mencoba untuk tetap tegar dengan kata-kata Radit P a g e | 51
yang cukup mengagetkan aku. “Sudah bapak sudah tahu.. Radit anak baik kok .. lupakan hal yang menyakitimu nak.. mbak Dita kan sayang sama kamu.. buktinya ini kamu dibeliin jam tangan...” sambil mengalihkan perhatian Radit aku coba perlihatkan fitur-fitur jam yang digunakannya. “Mbak Dita sering kalau menutup pintu keras... jadi aku kaget” kata Radit lagi “Nanti aku bilang kalau Radit sudah sembuh dan pulang ke rumah, mbak Dita jangan menutup pintu keras-keras..” kataku sambil memijit kaki Radit. “Bapak berjanji kalau kamu sembuh... selamanya tidak akan marah...” kataku mantap “Janji lho.. pak... kalau Radit sembuh bapak tidak marah lagi..” kata Radit lega.. tampak bahagia dengan janjiku. “Siap.. bapak tidak akan mukul Radit, bapak tidak akan teriakteriak, bapak tidak akan melototi Radit..” kataku mengobral janji kepada Radit, dan sayapun berniat akan kembali ke sifatku yang tidak suka marah sebenarnya. Sosok pemarah, dan konsisten marah menjadikan aku robot zombie yang ditakuti oleh anakanak. Aku akan mengubah sosok tersebut niat ku.. dan Radit aku minta untuk menjadi saksinya. “Ini rahasia kita berdua ya dek...” Kataku kepada Radit. Radit tampak bahagia dengan janjiku dan dia meminta aku bergandengan kelingking dengan Radit. “Deal... “ Kata Radit Setelah saat itu, Radit tidak pernah mencopot jamnya saat mengeluh pusing, panas, saat berteriak kesakitan, saat tidur, saat diam pasrah, saat berdoa, saat marah-marah, saat apapun tidak mau melepaskan jam tangannya. Saat tidur Radit cukup unik karena mata Radit tidak terpejam seutuhnya, sehingga seperti tidak tidur saja. Dr Deni pernah menyinggung hal ini, karena melihat Radit tidurnya tidak terpejam P a g e | 52
matanya. “Memang begitu pak kalau Radit tidur, terkadang matanya bisa ke mana-mana..he.he.he.” kataku menjelaskan. Karena melihat efek kemoterapi tidak separah yang aku duga, maka aku minta ijin lagi ke Radit untuk kembali bekerja, sambil mencarikan Gadget games yang diinginkan Radit. Aku sudah mendapat informasi dari teman untuk mengambil Gadget Android. Akupun mencari tahu di Internet dan sudah mendapatkan alamat tempat belinya.
Masuk Isolasi Saat aku sedang di kantor, tiba-tba aku dapat sms dari istriku “Pak Radit dipindah ke Isolasi”. Aku jawab “Semoga lebih baik mi” kataku berharap Radit akan lebih tenang dan baik di Isolasi ini karena sendirian dan tidak terganggu dengan aktifitas pasien yang lain. Aku pontang-panting mencari gadget pesanan Radit. Dalam hujan deras aku terobos dengan harapan dapat mengantongi mainan gadget yang diinginkan android. Setelah dapat, aku langsung ke Sardjito untuk menjumpai Radit. Saat aku datang, Radit sedang mendekap-dekap jaket baru “Dari siapa itu Dit...? tanyaku “Dari bulek.... “ katanya mantab “Wah seneng ya....” aku agak girang melihat kondisi Radit yang cukup baik tampaknya. “Ini aku bawakan Gadget mu.. Android.. tapi belum banyak Game nya.. lumayan ada Angry Bird .. Dit” Aku perlihatkan tablet Android kepada Radit. Aku cukup bahagia karena Radit begitu senang dengan apa yang aku bawa. “Game nya belum banyak ya .. pak.... tapi gak papa.. bagus pak” kata Radit dengan semangat. Kekecewaan pertama Radit adalah
P a g e | 53
karena tangannya hanya satu yang dapat digerakkan karena terikat infus, maka Radit agak kesulitan memainkannya. Aku hanya mengeluh dalam hati, mengapa Radit selalu bermasalah jika ingin sedikit senang saja. Kemarin ingin sekali makan ternyata gigi dan gusinya sakit, padahal keinginan makannya sedang naik. Sekarang ingin sedikit senang-senang dengan game kesayangannya tangannya susah untuk memegang gadget. Tampaknya Radit bertambah frustrasi dengan keadaan yang mendera bertubi-tubi. Aku dapat merasakan tekanan frustrasi Radit tampaknya sudah diambang batas toleransinya. Panas tubuh Radit seperti gelombang.. naik turun belum stabil. Setelah masuk isolasi, panas Radit tidak kunjung datar grafiknya. Tampaknya obat kemoterapi justru membombardir tubuh Radit setelah semua cairan Citarabine, Doxorubicine, MTX, dan seluruh antibiotik tampaknya sudah mulai bekerja. “Lekosit Radit sudah turun drasitis.. mencapai hanya sekitar 140, tapi kekebalannya juga turun drastis pak.. hal ini riskan terjadi Infeksi” Kata dr. Deni suatu saat. “Panasnya kok tidak turun-turun stabil ya dok?” tanyaku khawatir terhadap kondisi anakku. “Nanti akan kita coba antibiotik yang lebih kuat pak” Kata dokter Deni menjelaskan. Kesakitan Radit di kaki masih sering dikeluhkan, saat ini kemudian keluhan di perutnya mulai banyak diakeluhkan. “Pak.. perutku sakkiiiit sekali pak.. kenapa ini pak...” berkali-kali Radit mengeluh tentang perutnya. “Aku pijitin supaya sakitnya berkurang ya Dik... pake minyak Tawon” kataku sambil mengambil minyak tawon aku usapkan di perutnya. “Bapak sambil berdoa ya.... ?” kataku pada Radit. “Pak tolong ditarik pak sakitnya diserahkan kembali ke Allah pak...” Pinta Radit dengan penuh keyakinan bahwa tangan P a g e | 54
bapaknya dapat menarik dan mengobati sakitnya Radit. “O ya bapak dibantu ya... Al-Fatehah dan Al Ikhlas Radit... ayo dibantu doa bapak..” kataku kepada Radit disambut komat-kamit Radit melafalkan kedua ayat pendek hapalannya tersebut. “ Ya Allah, tolong Radit yang sedang sakit ini ya Allah, Perut Radit saat ini sedang sakit ya Allah, bantulah bapaknya Radit untuk menarik semua penyakit Radit ya Allah, kuatkanlah Radit dalam menghadapi semua penyakitnya ini ya Allah, Engkaulah maha penyayang ya Allah, sayangi Radit ya Allah dengan memberikan kesembuhan kepadanya, Ya Allah Radit ingin sembuh ya Allah kabulkanlah permintaan kami ya Allah, sehingga Radit dapat dengan sehat kembali pulang dan sekolah seperti sediakala” Doaku kepada Radit di iringi kata amin panjang dari Radit. “Pak... masih sakit dan perih pak” kata Radit mulai menangis. Ia coba miring ke kiri, miring ke kanan tapi sakitnya tak kunjung mereda. “Pak.. panggilin dokter pak... kok sakit sekali” Kata Radit menghiba. Akupun segera menanyakan ke suster jaga kenapa Radit sakit di perutnya, dan suster perawat hanya bilang sepatah kata “Iya” itu saja yang aku dapat. Radit masih kesakitan di sekitar perutnya, dan aku hanya bisa memberikan elusan dan pijitan dengan menggunakan minyak Tawon kesenangan Radit. Karena begitu sakitnya, Radit sekarang sudah lupa dengan Game Boy, dan Gadgetnya walaupun terkadang memainkan sebentar kemudian berhenti. “Pak panggilin suster pak... tolllong pak...” kembali Radit memintaku untuk memanggilkan suster perawat. Akupun mencoba menenangkan Radit, suster nanti pasti datang sebentar lagi. Akupun tidak enak memanggil suster dan dokter berkali-kali hanya karena Radit sakit perut biasa. Obat kemoterapi tampaknya mulai terlihat efek sampingya, terutama rambut Radit yang mulai rontok. Di mana-mana rambut P a g e | 55
Radit ada dan bertebaran, menandakan tingkat rontok rambut Radit sudah sedemikian parah. Aku herannya rambut Radit masih terlihat tebal dan banyak, hal ini karena rapat dan tebalnya rambut Radit sehingga belum kelihatan habis rambutnya. Aku ambil sapu untuk mengumpulkan rambut Radit yang ada di manamana, dan ternyata cukup banyak yang rontok. “Pak pijitin lagi pak.. perut Radit... atau punggunya pak... sakit sekali pak..... agak keras... ya pak” pinta Radit setiap waktu. Akupun selalu memijitnya setiap Radit meminta pijit. “Bapak capek ya... kok pijitnya pelan” kata Radit protes “Nggak .. nanti kalau keras-keras trombocit mu bisa pecah” kataku menjelaskan. Di ruang isolasi ini, sakit Radit yang paling sering adalah sakit perutnya di samping panasnya yang tidak pernah stabil. Kekebalan Radit memang diambang menghawatirkan karena semua tentara penghancur kuman sudah tidak ada lagi. “Antibiotik adik Radit akan kami tingkatkan pak, kami akan memberikan antibiotik yang paling kuat, setelah semua antibiotik tidak mempan melindungi adik Radit pak” kata dr. Deni menjelaskan. “Baik pak.. tolong anak saya dok… yang terbaik buat anak saya pak” kataku kepada dr. Deny. “Begini pak, antibiotik ini harus bapak amprah.. akan tetapi waktunya saat ini tidak tepat untuk amprah, sebaiknya bapak membeli dahulu obat ini supaya cepat tertangani infeksi adik Radit pak” kata dr. Deny “Nggak pa-pa pak.. tolong dibantu saya pak” kataku memelas. Dr. Deni sosok dokter yang tingkat perhatiannya terbaik di bangsal ini. Sehingga aku cukup tenang jika ada dokter Deni ini. Sayang sebentar lagi dr. Deni akan berpindah tugas.. hal ini cukup merisaukan aku mengingat dr. Deni cukup paham dari awal kondisi anak saya. P a g e | 56
“Begini pak, antibiotik yang akan kami berikan adalah Meropenem.. harganya cukup mahal pak mungkin sekitar 500rb.. padahal adek Radit butuh hingga 5 hari ke depan” kata Dr. Deni menjelaskan. “Gak pa-pak pak Dokter, saya beli dahulu untuk kebaikan Radit.. nati biar diganti saat amprah obat” kataku Tampaknya istriku setuju kemudian mencari antibiotik Meropenem buat Radit. Kami beruntung karena mendapatkan Meropenem Generik seharga sekitar 300 rb, yang kami beli untuk 3 hari ke depan. Dan nanti akan dievaluasi bagaimana efek Meropenem terhadap infeksi Radit. Apabila ganti antibiotik baru, pasti akan ada test alergi dan betul juga Radit kembali di siksa dengan suntik test alergi. Dengan tanpa ekspresi apapun perawat akan menyuntikkan test obat ke kulit ari Radit, dengan meninggalkan tangis putus asa anak ini. Akupun nelangsa melihat anak ini terisak-isak dalam tangisan tanpa pengharapannya. “Maisih ingat Radit.. suntik tidak sakit hanya untuk sembuh Radit....” kataku menghibur. “Bapak bisanya ngomong begitu.. coba bapak yang disuntik... sakiiit pak” Radit mulai protes kepadaku. Sensitifitas Radit bertambah saat sakit perutnya semakin menjadi-jadi, dan aku herannya dokter tampaknya memandang remeh penyakit perutnya Radit dengan hanya mengatakan. “Perutnya tidak apa-apa kok..” sambil memegang perut Radit. Terkadang akupun menjadi lebih tenang.. lha wong dokter aja bilang gak papa “Ini hanya mencret biasa kok, sudah saya dengar stetoskop.. ini mencret biasa kok.. ususnya gak papa” penjelasan dokter menguatkan dugaanku bahwa sakit perut Radit adalah hal yang biasa. Bahkan prof. Taryo mengatakan P a g e | 57
“Mencret gak pa pa nanti malah lebih baik.. ini ada suara di perut menandakan mau mencret ini” kata prof. Taryo waktu aku lapor tentang sakitnya Radit. Aku tidak habis pikir sakit perut Radit hampir 24 jam dirasakan Radit.. akan tetapi semua dokter bilang tidak apa-apa aku menjadi semakin gelisah saja. Radit kesakitan setiap detik, menit, jam, kalau dia bangun sehingga betul-betul saat di Isolasi aku tidak tidur sama sekali. Aku tertidur dalam duduk, menunggui Radit yang kelelahan menahan sakit perutnya. Emosi Radit terkadang meledak-ledak jika sakit perutnya tidak tertahankan. “Pak... panggilkan dokter pak... cepat pak ke sini... paakkkk piye to.. pak ini sakit sekali paaak” rintihan Radit saat ini. Keinginan pulang nya tampak lenyap karena tertimbun sakit perut dan sakit linu kaki. Sakit perut Radit tampaknya tak tertahankan .. sehingga rintihannya semakin keras teriakannya. Radit yang biasanya santun, saat sakit.. ia bisa teriak-teriak kesakitan.. hal ini sungguh sangat berat menghadapi keluhannya. Dokter menganggap remeh sakit perutnya Radit, sedangkan Radit selalu teriak-teriak minta dipanggilak suster atau dokter. Apabila Radit melihat suster atau dokter melintas.. pasti akan teriak-teriak “Suster.. dokter ke sini... Radit sakit … suster.. sakit sekali … dokter sini dokter...!!” biasanya Radit akan berteriak seperti ini. Akupun terkadang ke luar untuk menanyakan keadaan sebenarnya Radit bagaimana. Selalu jawabannya “tidak apa-apa pak .. itu biasa” sehingga aku menjadi yakin bahwa sakit perutnya Radit tidak begitu membahayakan, sehingga akupun terbawa sikap dokter yang menganggap sakitnya perut Radit adalah hal yang biasa.
Berhari-hari dalam Kesakitan Radit cukup terkejut saat oomnya kembali dari tugas di Palembang, aku sengaja memberi kejutan Radit tentang
P a g e | 58
kedatangan oom yang disayanginya. Kedatangan oom memberikan semangat baru bagiku, karena hampir 24 jam aku harus mengurusi kesakitan perut Radit yang tidak semakin mereda. Aku tidak tega melihat sakit Radit amat sangat dideritanya, posisi tidur ke kiri, kanan, telentang semua dilakukan Radit berkali-kali untuk mencoba mengurangi rasa sakit perutnya. Aku terkadang memijit punggungnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Hampir tidak ada waktu untuk tidur pulas untung mengurangi rasa sakitnya. Kamar isolasi cukup panas, karena AC tidak jalan membuat Radit sedikit kegerahan. Apalagi aku yang gampang sekali keringatan. Aku pake baju steril agar Radit tidak terganggu dengan bau tubuh bapaknya. Sejak kecil Radit cukup peka terhadap bau mulut, dan bau tubuh bapaknya, sehingga aku berusaha selalu menggunakan maskter dan baju steril untuk mencegah infeksi pada Radit. “Pak...tolllonggg pak.. Sakiiitt sekali perut ku pa, tolong tarik penyakitnya pak....” kembali Radit memohon-mohon aku untuk menarik penyakitnya. Akupun memijit perut dan punggungnya menggunakan minyak tawon kesukaan Radit. Aku perhatikan bercak-bercah merah semakin banyak di tubuh Radit, kemudian rambut Radit mulai rontok semakin banyak. “Lekosit Radit sudah mencapai 140 saja pak, sekarang harus mempersiapkan trombocit lagi pak, tolong disiapkan 7 kantong lagi pak” kata dr. Lia.. pengganti dokter Dany. Dokter Deni akhirakhir ini sudah sangat jarang di bangsal Radit. Aku banyak kehilangan perhatian dr. Deni yang cukup baik. Penggantipengganti dokter Deny, tidak begitu perhatian dengan Radit, sehingga aku menjadi was-was setiap Radit mengeluh sakit. Saking sakitnya, terkadang Radit sampai berhalusinasi temantemannya pada masuk ruangan, terkadang kalau melihat dokter langsung teriak-teriak memanggilnya. “Dokter.... dokter... Radit sakit sekali... dokter.. panggilkan dokter P a g e | 59
pak.. panggilkan.... sakitt sekali tollongg pakk” pinta Radit. Sayapun terkadang langsung ke dokter atau suster yang bersangkutan dengan keluhan Radit yang sama, yaitu sakit perutnya dan sekali lagi ditanggapi dengan jawaban yang sama. Terkadang aku merasa tidak enak dengan teriakan-teriakan Radit yang mengatakan sakit perutnya tidak tertahankan lagi, dan sekali lagi sikap-sikap dokter dan perawat sama seperti biasanya. Akupun terkadang menjadi menganggap remeh keluhan Radit karena sikap beberapa dokter dan perawat yang menganggap hal biasa sakit Radit. Setelah diberi antibiotik Meropenem, panas Radit beberapa hari cukup stabil di angka 36-37, sayapun sempat lega dan berkata kepada dokter pengganti dr. Deny. “Tampaknya Meropenemnya bekerja dengan baik dok” kataku sedikit berharap keadaan Radit menjadi semakin baik. Aku masih risau dengan sakit perutnya Radit yang tidak berkurang, akan tetapi stabil di kondisi yang mengkhawatirkan. Saat dr. Deni mampir di bangsal Radit, akupun menanyakan kenapa perut Radit sakit terus. Kemudian, setelah itu suster katanya sudah menyuntikan obat untuk sakit perutnya Radit. Oom telah membantu menggantikan posisiku menjaga Radit, karena kondisiku sudah sangat menurun hampir 2 minggu tidak tidur sempurnya. Flu dan badan loyo sudah mulai menyerang, hal ini yang dikhawatirkan istriku, yaitu aku ambruk sakit tidak dapat menunggui Radit. Istriku tidak tega melihat Radit kondisinya begitu buruk, dengan badan kurus kering, mata cekung, mulut kering tidak bisa menutup, sehingga gigi Radit yang penuh dengan darah kering terkadang tidak dapat berbicara dengan lancar. Rontokan rambut Radit begitu banyaknya sehingga aku harus mengumpulkan dan membersihkannya. Kalau Radit sakit sekali, terkadang menjambak rambutnya sendiri sehingga, rambutrambutnya seperti terlepas dari kepala Radit. Hari-hari Radit pasca P a g e | 60
kemoterapi, hanya diisi dengan infus-infus saja, tanpa hal yang lain. Aku pun terkadang khawatir dengan makan Radit, karena hampir 1 minggu dia tidak makan dengan baik dan bahkan tidak makan sama sekali. Hal ini memperlemah kondisi Radit yang terbebani dengan efek obat kemoterapi, menjadikan kondisinya tampak menurun secara perlahan-lahan. Tidak biasanya Radit minta buang air besar, karena selama di rumah sakit, Radit jarang buang air besar. Kali ini Radit minta bangun dan buang air besar di kamar mandi isolasi yang cukup dekat. Kondisi Radit yang lemah, dan keinginannya untuk buang air besar yang sudah sangat tinggi, menjadikan Radit memutuskan untuk berjalan dan buang air di kamar mandi. Aku bantu pelanpelan untuk buang air besar. Dan cukup berhasil dan melegakan Radit. Aku lihat berak Radit cair dan coklat tua, dan saat dokter menanyakan aku beri tahu bahwa berak Radit coklat tua dan cair. Setelah berak, aku berharap sakit Radit mulai sembuh. Aku sangat kasihan apabila melihat Radit sakit perut seharian penuh tanpa jeda, sehingga saat buang air besar, aku menaruh harapan supaya Radit berkurang sakitnya. Tampaknya sakit perut Radit hanya berkurang sebentar, setelah itu sakitnya bertambah lagi, hingga membuat sesak nafasnya karena dadanya panas keluhnya. Keluhan dada panas adalah tambahan kesakitan yang diderita Radit, dan akupun hanya membantu memberikan elusan dan pijitan pada posisi yang sakit. Sikap-sikap aneh Radit terkadang muncul, seperti halusinasi sambil menunjuk-nunjuk pada langit-langit kamar. “Itu pak..itu pak bapak lihat nggak...” kata Radit “Pak.. itu banyak orang pada ngapain....” kata Radit sambil melihat ke arah kaca penjenguk. Di ruangan isolasi memang dapat melihat lalu lalang penghuni bangsal karena ruangan berkaca semua. Akan tetapi aku lihat jalan lorong bangsal sedang sepi tidak ada orang yang lewat. P a g e | 61
“Pak... itu banyak semut di dinding pak....” kata Radit melihat ke tembok isolasi.... Tekadang aku bingung dengan sikap Radit tersebut akupun terkadang hanya mengangguk tidak menanggapinya. Aku berpikir mungkin Radit kekurangan darah, sehingga pandangannya pasti agak berkunang-kunang. Tampaknya Radit sangat kesakitan sekali, sehingga terkadang sudah tidak memperhatikan lingkungannya. Frustrasi dengan rasa sakitnya yang mungkin tidak dianggap serius oleh bapaknya, atau suster hingga dokternya sehingga Radit mulai kebingungan dengan rasa sakitnya. Keingingan pulang yang pada awal perawatan sering kali menggebu-gebu saat ini mungkin sudah tergantikan dengan Rasa sakit perut bagian atas dan lambungnya. Karena kondisi Radit yang semakin melemah, istriku mengatakan kalau berak di kasur saja menggunakan tempat berak dari rumah sakit. Akupun membujuk Radit untuk tidak usah ke kamar mandi akan tetapi menggunakan tempat berak sambil tiduran. Pertama kali mencoba, Radit sempat tidak mau dan keingingan beraknya ia tahan karena tidak nyaman tidur sambil berak. Akan tetapi lama kelamaan keinginan beraknya sudah tidak tertahan lagi, sehingga dengan terpaksa menyetujui untuk berak sambil tidur. Saat pertama berak, akupun kerepotan membersihkan kotoran berak radit di bokong, terkadang terkena celana sedikit, atau beraknya yang cair tumpah di sprei. Akupun mencoba mencari posisi berak Radit yang tepat, serta bagaimana membuangnya tanpa tumpah di kasur atau lantai. “Pak .. terimakasih pak.. Radit telah merepotkan bapak... terimakasiiiiiiih pak” kata Radit suatu saat melihat aku begitu kerepotan menangani beraknya. Kata-katanya sangat dalam sekali sehingga akupun mencoba menahan tangis untuk tidak menangis di depannya. Sudah dua kali Radit berterimakasih kepadaku.. sebelum di isolasi dan sekarang di ruang isolasi. P a g e | 62
“Ooo tidak repot Radit.. bapak kan sayang Radit.. pokoknya kamu cepat sembuh...” kataku menyemangati. “Perjuangan anak dan bapak melawan sakit...” kata Radit bergumam sendiri. Entah dari mana kata-kata Radit dia dapatkan. “Iya.. sebentar lagi kamu sembuh nak..” kataku kembali mengobarkan semangatnya. “Minggu depan sembuh.... minggu depan sembuh.. minggu depan sembuh.. terus pulang..” kata Radit sambil memejamkan mata.. seolah-olah berdoa.. “Iya.... minggu depan Radit sembuh....” aku menguatkan doanya Radit. “Kalau aku pulang boleh sekolah nggak pak...” tanya Radit “Di rumah dulu, nanti belajar di rumah” kataku menghibur Radit. Rencananya memang apabila Radit pulang, sementara akan di rumah dahulu. “Nanti kamu pindah .. gantian di kamar mbak Dita ya...” kataku menjelaskan rencana jika Radit pulang besuk. “Iya nggak pa pa.. tapi kalau nggak sekolah nanti aku nggak mau kalau setelah sembuh aku masih di kelas 3 pak.. teman-temanku di kelas 4” kata Radit dalam kekhawatiran tidak naik kelas. “Kamu pasti naik kelas..sudah bapak bilang sama pak Eko” kataku memupus kekhawatiran Radit. “Pak... mana jaket dari Bulik” tanya Radit menanyakan jaket baru Radit yang dibelikan oleh bulek nya. “O...ya aku masukkan lemari tadi.. kawatir kena kotoran..” kataku sambil menyerahkan kembali kepelukan Radit jaket barunya. Aku sangat tersentuh dengan cara Radit memeluk jaket barunya.. “Pak tolong taruh di tempat tidur belakang itu..ya.. pak.. biar aku bisa liat” kata Radit menyuruhkan untuk menyampirkan jaketnya di belakang tempat tidur. TITITTII TITITITTI TITITTI.... jam tangan Radit berbunyi.... “OO ini aku alarm pak” kata Radit memperlihatkan Jamnya... P a g e | 63
“Aku mau main game Nintendo pak... yang dari pak Andi...” kata Radit meminta game boy kiriman pak Andi “Wah tanganku gak bisa main pak.. pusing aku” kata Radit mengeluh kesulitan memainkan gamenya. “Gadget ku mana pak? tanya Radit menanyakan Android Gadget yang baru aku beli kemarin. Tampaknya Radit juga kesulitan menggunakan satu tangan untuk memainkan Gadgetnya, sehingga iapun menyerah dengan keadaannya. “Wah sama sulitnya .. tanganku hanya satu yang bisa.. yang lain kena infus pak... ya sudahlah...” Kata Radit menyerah. “Nonton Sponge Bob aja dik...kataku” mengingatkan Radit menonton Sponge Bob kesukaannya “O iya.. tolong besarin suaranya pak” kata Radit memintaku membesarkan volume suara TV. Dan ia tenggalam dengan cerita Spong Bob.. dan tersenyum beberapa kali... senyum yang membuat aku sedikit damai.. dan optimis Radit sembuh. Tampaknya Radit mencoba melupakan sakitnya dengan menonton “Sponge Bob” kesukaannya, terkadang menonton “Awas ada Sule”.. yang membuat dia tertawa, tersenyum... membuat aku bahagia bukan kepalang.
Radit di-Sonde Panas Radit kembali bertengger di angka 38 ke-atas, menandakan Meropenem yang cukup baik kerjanya di awal, kembali tidak begitu berpengaruh terhadap Radit. Nafsu makan Radit sudah nol, sehingga istriku menyarankan apakah perlu Sonde untuk memasukkan zat-zat makanan ke tubuh Radit sehingga menjadi lebih kuat. Keinginan untuk Sonde ini diperkuat oleh dokter Radit yang menggantikan dr. Deny, dan menyarankan untuk mengajukan sonde ke suster perawat dan konsultasi ke prof. Taryo. Sonde adalah cara memasukkan makanan yang tidak dapat
P a g e | 64
dikunyah oleh pasien, melalui lubang hidung yang langsung ke lambung. Tampaknya sonde, menjadi alternatif terakhir karena nafsu makan Radit yang sudah nol, dan sayapun disodori pernyataan persetujuan permintaan Sonde ke Radit. Akupun hanya berpikiran positif supaya Radit dapat menikmati nutrisi dan aku harap tubuh Radit akan lebih segar tidak kurus seperti saat ini. Untuk melakukan Sonde, Radit harus ditambah Trombocit dan darah merahnya, supaya saat Sonde jika terjadi pendarahan dapat dikurangi dengan peningkatan trombocitnya terlebih dahulu. Untuk mencari pendonor Darah aku serahkan ke Istri, dan ternyata Istriku cukup sigap sehingga permintaan Darah selalu ditepati dengan mudah. Daftar-daftar pendonor telah di tangan sehingga kapan pun mereka dibutuhkan akan dapat dengan mudah dimintai donor darah. Darah telah siap semuanya, sehingga proses Sonde pun tampaknya segera dilakukan. Panas Radit bertambah sering, serta mulai berak dengan warna yang cukup pekat dan cair. Aku cukup cemas dengan keadaan Radit yang semakin sering berak dengan bentuk cair dengan warna coklat gelap sekali. Nafsu makan Radit memang telah nol, akan tetapi nafsu minum masih baik sehingga asupan air Radit cukup baik menurutku. “Dokter, Radit kok mulai sering berak cair ya...” tanyaku kepada setiap dokter yang mengunjungi dan memeriksa Radit. Saat dokter Nia, seorang dokter muda sedang memeriksa detak jantung Radit aku tanyai. “Coba saya periksa...” dr. Nia pun memeriksa perut Radit.. “Ini ada suara seperti mau berak Radit di lambungnya... ini normal pak.. kalau tidak bersuara justru berbahaya” kata dr. Nia “Ini hati nya juga normal.... baik kok... coba saya cek lingkar perutmu ya saya... “kata dr. Nia sabar. “Sepertinya tidak membesar perutmu ya...” kata dr. Nia “OK nggak papa.. istirahat ya sayang...” kembali dr. Nia berkata P a g e | 65
Aku hanya menyimpan tanya.. Radit hampir 24 jam kesakitan perutnya kok dibilang gak papa. Aku terkadang frustrasi dengan para dokter dan suster yang menangani Radit. Radit kesakitan selalu ditenangkan dengan kata tidak apa-apa kok... istirahat saja. Selama Radit di isolasi, hampir 24 jam aku tidak tidur, kecuali dibantu oom nya Radit yang menggantikan pada sore hari, sementara aku tidur mempersiapkan jam malam panjang bersama Radit yang kesakitan. Radit tertidur hanya untuk melupakan sakitnya.... “Pak .. enakan tidur pak... karena sakitnya hilang saat tidur...” Kata Radit memelas “Ini sedang diobati dik.. semoga bisa mengurangi sakitmu obatobatnya...” kataku. “Bapak belum pernah sakit.. jadi bisa ngomong gitu.. ini sakit .. perih.. gak tahu lah...” kata Radit setengah berteriak. Tampak sekali dia sangsi dengan kata-kataku. “Aku nggak kuat pak.....aku nggak kuat...” kata kata yang terakhir ini menghantam ulu hatiku yang paling dalam.... “Pasti sembuh dik... ingat pasti sembuh... terus pulang” kataku menahan perih...menyaksikan anakku berjuang sendiri menahan sakitnya. “Tolong pak... Allahuakbar.... Allahuakbar... Astaghfirullaah......pak.... tolong pak sakiiittt” kata Radit sambil memegang pinggir tempat tidur. “Aku pijit ya...” kataku berusaha sabar. “Pijit pak... pijiiiiit.. pakek minyak pak...” pinta Radit dengan terengah-engah.. menahan sakit... Saking gugupnya aku.... minyak tawon yang biasa aku gunakan mengusapi perut Radit terjatuh..... Byar.... berkeping tiga dan tumpah isinya ke lantai... “Aduh.. minyakmu Pecah dik.. maaf … pake minyak kayu putih aja ya... “ kataku meminta maaf kepada Radit... P a g e | 66
“Iya..iya... pakek minyak kayu putih... aja pak.. cepat...sakit” kata Radit menahan sakitnya. Bersama itu.. datang 3 perawat membawa peralatan Sonde, yang akan dipasangkan di hidung Radit. “Raditya.. ini ibu suster akan memasang selang ke hidung kamu ya.. tidak sakit kok, asal Radit mau bekerja sama ya....” kata suster “Mau diapain aku... apa lagi to pak.... mau diapain aku...” kata Radit. Tampak sudah puncak frustrasi Radit sudah tidak tertanggungkan lagi. Banyak kejutan-kejutan traumatik yang membuat Radit tak berdaya. “Biar sembuh dik.. “ kataku pendek karena sulit menelan ludah. “Iya mas Radit.. nanti biar mas Radit cepat sembuh dipasangi selang ini ya...sayang” kata suster sambil memegangi Radit. “Bapaknya Radit memegangi dadanya ya.. tolong di tenangkan anaknya” kata suster Akupun merebahkan di dada Radit sambil memegangi tangannya sesuai istruksi Suster. “Paaaak aku mau diapain pak.....” kata Radit mulai menangis.. “Jangan menangis sayang.. nanti selangnya susah masuknya...” Kata suster. Aku hanya pasrah saja mendengarkan sambil merebahkan kepalaku ke dada Radit. Radit mulai meronta-ronta saat selang coba dimasukkan ke lubang hidungnya. Ada rasa tidak terima anakku disakiti demikian, akan tetapi ini jalan satu-satunya untuk membuat Radit lebih baik walaupun menyakitkan. Radit berteriak-teriak mengiris hatiku. “Jangan suster...jangan suster... sakit suster...ampuuuuuuuun suster ampuuuunn” teriak Radit memelas “Ditelan Radit... ditelan..” Kata Suster berkali-kali.. Tampak Radit tidak dapat menerima selang yang dimasukkan di Hidungnya. Penolakkannya kuat sekali, sehingga susterpun sempat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Radit kalau kamu tegang..nanti sakit masuk selangnya....” Kata P a g e | 67
suster menegaskan kepada Radit. “Di telan Radit.. coba ditelan saja...” Kataku sambil mencoba menjelaskan proses memasukkan selangnya. Kembali Radit berteriak-teriak tidak mau dimasukkan selangnya, sehingga susterpun mulai kembali dari sisi yang lain. Tampaknya Radit sudah menyerah tenaganya habis, dikerubut 4 orang dewasa termasuk bapaknya. Akupun memberikan aba-aba kepada Radit, allhamdulillah Radit mendengarkan aba-aba bapaknya dan selang sondepun masuk...... “Ampun pak....ampun pak......sakit ….. pppaaaakkkk” kata Radit sesenggukan di dalam tangisnya yang dalam dan keputus asaan. “Sudah.. sudah kok..sudah... ini sudah selesai sayang... Radit anak pintar...” kata suster “Sembuh Radit..sembuh....” kataku... Radit otomatis mencoba mencabut selang Sonde.. karena tidak nyaman, namun kemudian dicegah suster... “Nanti dimasukkan lagi lho..jangan di tarik-tarik...” kata suster tegas kepada Radit....Keringat bersimbah. AC ruang isolasi yang rusak membuat Radit kekurangan oksigen, sehingga segera aku beri oksigen Radit supaya lebih tenang. “Pak .. ampun pak...sakit sekali pak...” kata Radit pelan-pelan kehabisan tenaga. “Pak ini lambung Radit masih penuh cairan agak merah... nanti akan bening.. setelah bening lapor saya ya.. nanti saya ajari cara memasukkan cairan sonde untuk makan adik Radit ya... biar cepat sembuh ya sayang...” kata suster sambil membelai rambut Radit. Proses mengerikan memasukkan sonde membuat trauma Radit semakin bertambah-tambah. Anak sekecil ini harus menerima perlakuan-perlakuan kejam pengobatan. Aku sendiri sangat sulit menerima kenyataan ini, dan berharap sekali lagi ini hanya mimpi burukku... ternyata ini bukan mimpi buruk.. ini kenyataan yang harus ku hadapi. P a g e | 68
Karena terlalu capek, akupun digantikan Oom untuk menunggui Radit. Akupun terlelap dalam kesunyian malam tanpa harap, dengan terngiang teriakan-teriakan kesakitan Radit terbawa dalam mimpiku. Tengah malam... akupun terbangun suara gaduh di tempat Radit.... akupun terbangun dan aku dapat informasi kalau selang sonde Radit tercabut oleh tangan Radit, sehingga proses memasukkan selang Sonde harus dimulai dari awal lagi. Aku sempat emosi, marah, tanpa kendali dengan memukul lantai tempat aku tidur. “Biaddddaaaaaaappppppp” tanpa jelas makianku, akupun memperhatikan ooom dan suster mencoba masuk. Aku masih sempoyongan dalam proses tersadar dari bangun tidur, akhirnya aku kembali mendekap Radit dengan metode pemasangan yang sama seperti di awal pemasangan. Suster sudah pada panik dan tidak mampu menenangkan Radit, akan tetapi mendengar suara Bapaknya Radit sedikit reda penolakannya. Dengan aba-abaku proses pemasukkan selang kembali menjadi lebih mudah, walaupun waktu penyelesaian pemasangan tidak jauh berbeda dengan pemasangan sonde yang pertama. Tampaknya Radit lebih memercayai aba-abaku dibanding para suster. “Terimakasih Tuhan.... proses Sonde ke dua yang membuat Trauma Radit bertambah-tambah ini sudah berakhir lagi” “Pak aku kapok.. pak tidak menarik-narik selang sonde lagi...pak ampun aku pak..maaf aku telah menarik selang itu pak... maaf aku pak...maaf” kata Radit memohon-mohon ampun kepadaku. “Tidak apa-apa nak... yang penting sembuh ya...” kataku menciumi kepala Radit yang penuh dengan rambut Rontoknya. “Pak... ampun pak... aku tidak akan menarik selang ini lagi.. aku jannnnnnji pak” sambil menangis kelelahan Radit memon ampun lagi. Trauma Radit tampaknya sudah dipuncak sehingga tampak matanya hampa dalam kesakitan dan proses penyembuhan yang P a g e | 69
belum pernah terbayangkan. “Pak tolong doakan Radit pak... supaya Allah mengampuni Radit yang minta sakit pak” kata Radit menyalahkan doanya yang meminta sakit. “Ya.. ya .. ayo kita berdoa lagi...” akupun mendoakan Radit.. supaya di cabut permintaan sakit Radit, dan semoga minggu depan Radit sembuh dan pulang kembali ke Rumah. Selang Sonde ini membuat banyak daftar selang yang masuk ke tubuh Radit, menyulitkan aku untuk memandikannya. Sehingga beberapa hari ini tidak aku mandikan Radit. Di samping itu Radit jarang berkeringat saat ini, entah mengapa kalau habis minum penurun panas biasanya Radit bersimbah peluh, saat ini tidak sama sekali. Bahkan panasnya masih bertengger di angka 38-40.
Puasa yang menyakitkan, diare, dan dehidrasi Pasca pemasangan Sonde.. lambung Radit masih memerah sehingga masih di suruh puasa untuk tidak minum dulu. “Puasa Radit ini untuk menghindari asupan darah ke otak biar stabil dulu, berbahaya jika Radit makan dan minum” kata dokter. Sejak itu Radit mulai puasa dan ini cukup menyakitkan Radit, karena Radit tidak diperbolehkan minum. “Kok aku nggak boleh minum gimana to pak....sampe jam berapa” kata Radit merengek minum “Sabar ya Radit.. biar kamu sembuh tidak minum dulu ya” kataku menenangkan Radit.. “Sabar, sabar, sabar.... aku haus pak... mau minum pak gimana to” emosi Radit Setelah berbagai proses menyakitkan ini, tampaknya Radit sudah diujung Trauma berkepanjangan. Apalagi sakit Radit masih saja menyakitkan sepanjang waktu. Radit jadi emosi, gampang marah, sensitif terhadap orang lain.
P a g e | 70
“Pak.... Air.. pak.... sedikitttt ajaaaa to pak.....” teriak Radit sambil menangis.. “Kamu masih puasa dik.. nanti bapak dimarahi dokter “ kataku kehabisan kata-kata. “Sampai jam berapa.... sampai jam berappppaaaaaaaaa!!!!!” teriak Radit. “Jam dua ya dik.. sabar, sabar dan istighfar ya....” kataku “Jam dua paaakkkk.. jangan bohooong pak jam dua..” sambil melototin jam Radit pun mulai tak sabar menunggu jam dua. Akupun konsultasi ke dokter apakah boleh minum, kata dokter dibasahi nggak papa. Ada perawat yang tidak memperbolehkan minum, ada perawat lain yang tidak mempermasalahkan untuk minum. Aku jadi bingung.... akhirnya jam dua, akupun memberikan beberapa sendok air ke mulutnya Radit. Tampak sekali ia menikmati minum yang dia tunggu-tunggu... “ehhhhhhh” kata Radit setelah meminum air putih yang aku suapkan satu sendok ke mulutnya. Betul kata dokter, Radit gampang tersedak, sehingga memang membahayakan dirinya jika terlalu banyak minum. “Pak panggilkan dokter pak.. panggilkan suster pak.. panggilkan dokter Deni pak.. panggilkan prof. Taryo pak.. cepaaaatttt” kembali teriakan Radit meminta semua dokter ke ruangan isolasinya. Akupun terkadang bingung untuk memanggil dokter, hal ini membuat Radit semakin emosi. “Bapak itu ngeyel (jw. keras kepala)... bapak itu ngeyel... panggilkan dokter pak... itu itu ada dokter itu panggilkan paaakk.. Radit sakit.. pak dokter... prof. Taryo Radit sakitttttt sakittttttt tollongggg” teriak-teriak Radit. “Dokter sedang keliling Radit.. nanti pasti ke sini” kataku “Panggilkan dokter pak... sekarrraaaaang” kata Radit kembali berteriak dengan keras. Akupun memanggil dokter Nia yang sedang tugas, untuk P a g e | 71
memeriksa Radit. “Apa sayang...” sapa dokter Nia “Dokter aku sakit … perutku dokter....aku sakit dokter perutku... ini dadaku panas... dokter” kata Radit kebingunan sakitnya. “Iya dokter periksa ya Sayang...” kata dokter cukup simpatik “Dokter sakit perutku dok...” kata Radit “Sudah berak belum pak? tanya dokter kepadaku “ Sudah kemarin... warnanya coklat tua dok” kataku “Tidak hitam to...” kata dokter. Hitam.... tampaknya tidak hitam hanya coklat tua pikirku. “Hanya coklat tua bu dokter” kataku menjelaskan “masih puasa..” kata dokter Nia “Masih.. tapi minum-minum boleh kan dok” kataku “Boleh...” kata dokoter “Teh anget boleh dok” tanya Radit menyla. Karena diperbolehkan minum teh, Radit aku pesankan teh buatan ibunya yang disukai Radit. “Teh bikinan ibu paling enak” Kata Radit.... Ibunya Radit segera membuatkan teh hangat kesukaannya. Dan Radit tampak menikmati teh panas yang biasanya sering dibuatkan ibunya. Radit suka minum teh hangat, dan air putih dari Pure It. Sehingga setelah puasa air, Radit semakin suka minum air putih dan teh hangat. “Minuman isotonik boleh dok “ suatu saat aku tanyakan kepada dokter jaga “Boleh ...minum apa saja boleh kok” penjelasan dokter ini mencerahkan aku untuk menyediakan minuman yang disukai oleh Radit. Setelah 2 hari Meropenem berhasil meredakan panas Radit, pada hari ke tiga Meropenem tampak tak bereaksi dengan infeksi Radit. Radit kembali panas.. dan Oh My God... diare Radit semakin sering. Cairan lambung Radit masih saja merah, dan terkadang di P a g e | 72
Spool oleh perawat. Diare radit cenderung sering dengan warna coklat gelap... cenderung hitam. Saat pergantian dokter jaga, aku laporkan jika Radit mencret dengan warna cenderung hitam. Dokter cukup was-was dengan laporanku. “Tolong dipantau ya pak.. saya akan ikut pantau Radit setiap jamnya ke depan” kata Dokter jaga yang mulai menjaga Radit setiap jam dengan mengukur nadi di kaki, dan tangan setiap jamnya. Perilaku aneh Radit bertambah-tambah saja... saat malam-malam Radit sudah sulit tidur.. dia hanya memandang ke arah koridor masuk ruangan yang selalu terlihat di ruangan Isolasi. Tampak Radit sudah tidak memerhatikan TV dan bisa menikmati acaraacara kesukaannya karena sakit di perutnya yang tidak dapat dialihkan ke kegiatan yang lain. “Pak … bapak dipanggil ibu tu.. di sana tu... pak... itu ibu manggilmanggil bapak tu...bapaaaaak itu dipanggil ibu” kata Radit menunjuk-nunjuk ruangan kosong gelap di seberang ruang isolasi. “O..ya..ya...” aku berlagak memang dipanggil istriku. “Itu cepat ke sana pak.. dipanggil ibu tu..tu..tu... gimana to bapak ini diem aja itu dipanggil ibu itu di sana itu … ya bu .. ya ..bu ini bapak ini lho ..ngeyel ...bapak ngeyel..ini” kata Radit setengah berteriak. Akupun dengan terpaksa keluar ruangan untuk mengikuti keinginan aneh Radit. Di tengah malam pintu bangsal di tutup sehingga sepi jarang ada lalulintas orang di sini kecuali penghuni bangsal sendiri. “Pak.. mau E Ek pak....” kata Radit tiba-tiba... dan akupun gugup mempersiapkan tempat berak Radit. “Tidak usah keburu-buru pak .. bikin kaget Radit aja.. gimana to bapak ini...” kata Radit emosi, karena kegugupanku mempersiapkan tempat beraknya. “Pak sekalian pipis pak.... ambilin tempat pipis pak... nggak tahan neeh” kata Radit... akupun dengan cekatan coba mengambil P a g e | 73
pispot dan akan aku masukkan “burung” Radit ke dalam Pispot.. belum sampai masuk ke pispot burung Radit sudah keluar ari kencing Radit membasahi pakaian dan sprei tempat tidurnya. “Waduh sudah … pipis ya...” kataku. Tampaknya Radit tersinggung dengan kata-kataku iapun sedikit marah “Sudah nggak tahan pak.. bapak lambat... gimana to pak... “ kata Radit emosi. Akupun mencoba untuk bersabar untuk mengganti sprei dan baju Radit. Mengganti Sprei dan Baju Radit dengan posisi Radit di Infus, ada selang Sonde, dan selang oksigen di samping kondisi Radit yang lemah tidak dapat turun dari tempat tidur merupakan proses rumit yang membutuhkan kesabaran dalam menggantinya. Panas AC macet menjadikan siksaan ini semakin menjadi-jadi. Akupun sudah bertekat untuk sabar, teliti, dan menikmatinya supaya tidak stress. Demi Radit anakku, aku rela berbuat apapun dan itu tulus aku kerjakan. Tampaknya Radit sangat memahami ketulusanku sehingga terkadang Radit minta mengelus-ngelus kepala Bapaknya. Setelah itu terkadang memarahi tanpa sebab, karena Radit meminta didatangkan dokter atau suster saat itu juga jika ia merasa sakitnya sudah tidak tertahankan. Sprei dan Baju Radit sudah aku ganti, sehingga semua cukup bersih, sehingga cukup nyaman buat Radit tidur. “Pak Radit mau E Ek lagi...” katanya membuyarkan lamunanku. Dengan sigap akupun mengambil tempat Berak Radit... dan Byar... ternyata masih ada air Berak Radit yang belum aku buang sehingga tumpah di lantai bawah tempat tidur Radit. Tampaknya penderitaan ini belum berakhir dengan tumpahnya beraknya Radit yang tadi. Karena Radit sudah tidak tahan dengan perutnya, akupun mencoba menempatkan Radit pada tempat berak yang sedikit kotor terkena tumpahan tersebut. Akupun dengan sigap menyiapkan tempat pipis Radit untuk berjaga-jaga jika dia keburu keluar pipisnya. Dengan kebiasaan ini, akhirnya aku mempunyai P a g e | 74
pola menempatkan tempat buang air besar dan kecil Radit supaya lebih efektif. Proses ini aku hapalkan tempatnya, kemudian bagaimana cara membersihkannya. Sudah punya pola yang efektif hingga membuang dan membilas berak dan kencing Radit. Akhirnya pola ini mudah aku lakukan kapanpun Radit minta berak dan pipis baik bersamaan maupun tidak. “Pak dokter.. Radit sudah berak ke 3 ini, pak tolong diperiksa pak...” Kataku pada dokter jaga, dan hal ini menyenangkan Radit karena permintaan dokternya kepadaku aku penuhi dengan datangnya dokter muda yang jaga malam. “Tolong bapak beli resep yang saya buat ya pak, ini ada Zinc sama larutan pengganti diare adik supaya tidak dehidrasi. Tolong minumnya adek juga diperbanyak ya, di laporan ini minum adik sangat kurang”. Kata dokter... sambil memberi resep akupun meminta istriku untuk membelikan obat resep ini secepatnya. Malam ini panas Radit sangat tinggi.. lebih dari 40, dengan kaki yang dingin. Akupun memberikan bantal panas dipunggung dan kakinya yang dingin. Aku gosokkan minyak kayu putih, serta aku tindih kakinya supaya hangat. Kali ini Radit menggigil cukup keras.. akupun agak sedikit bingung, aku peluk kaki Radit untuk menghangatkan. Peluhku bercucuran, akan tetapi Radit tidak mengeluarkan keringat sedikitpun. “Pak dinggiiiiiiiin sekali pak.... tolong kakiku pak diduduki pak.. biar hangat” kara Radit berteriak “Pak... diangeti ya pak kakiku.. enak.. pak....kalau bapak duduk di ujung kaki” kata Radti dalam gigil dan permintaan untuk menghangati ujung kakinya yang dingin. “Pak... E Ek... pak.. “ Tiba-tiba Radit minta berak. Akupun dengan sigap mengambil wadah berak. “Aku mau pipis pak bukan berak...”Tiba-tiba Radit mengalihkan keinginannya untu pipis saat itu.Hal ini berkali-kali terjadi, tampaknya Radit sudah tidak menguasai rasa sakitnya sehingga P a g e | 75
informasi yang diinginkan berbeda dengan informasi yang diucapkannya. Hari ini betul-betul Radit dengan bapaknya tidak tidur sama sekali. Sakit Radit menjadi-jadi dan diarenya mulai hampir setiap jam. Sudah 7 kali diare aku laporkan ke dokter jaga. Aku khawatir Radit terlalu kecapekan dan dehidrasi. Pagi ini badan sudah tidak keruan karena hampir 24 jam aku dan Radit tidak tidur sama sekali. Hawa panas kamar karena AC mati betul-betul menyiksaku. Saat mandi, menjadi saat yang paling tepat untuk menyegarkan diri, merenung, berkontemplasi sebentar, menata hati untuk tidak terhanyut dengan kondisi Radit yang semakin tidak menentu. Hampir lupa.. saat ini ganti infus Radit.. aku harus cepat-cepat mandinya dan menenangkan Radit. “Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit” ini semacam puisi yang pernah dipuji Radit. Kata Radit bapak pinter bikin kata-kata, seperti “Suntik tidak sakit, Hanya untuk sembuh Radit..” semacam puisi berakhiran IT... semua. “Pak hari ini ganti infus ya....” Kata Radit, setiap ganti infus selalu menjadi momok buat Radit. Tampaknya hari ini Radit lebih tenang menghadapi ganti infus. Mungkin karena sudah putus asa dengan deraan tindakan medis yang begitu membombardir ketakutanketakutan yang tidak ada dalam pikiran alam anak seperti Radit ini. Tampak Radit sudah pasrah tidak menangis lagi menghadapi jarum suntik. “Tangan ku tidak akan kaku pak.. biar nggak sakit... “ kata Radit pasrah. “Iya... ingat Suntik tidak sakit, hanya untuk sembuh Radit...” aku mengingatkan... “Tangan kananku sudah 3... nih... kiriku sudah 4.. belum suntik mengambil darah pak... “ kata Radit mengeluh pasrah “Dik Radit.. ganti Infus ya... sayang..sudah empat hari nanti ndak P a g e | 76
macet ya...” kata suster “Pelan-pelan ya Suster...” ini merupakan kata-kata default saat Radit mau disuntik baik lewat infus maupun langsung ke tangan Radit. “Oo.. iya pas Radit sayang.. ini pake jarum yang paling kecil kok...” kata suster menenangkan. Saat jarum suntik masuk.. Radit kembali teriak untuk mencubit bagian tangan yang lain untuk mengalihkan rasa sakit suntiknya. “Jiwit pak....jiwit pak.....jiwit pak sing banter....*(Jw. Cubit pak...cubit pak..yang keras...) aku sudah hapal sekali dengan teriakan Radit. Walaupun ia berusaha tabah masih saja menangis.. mungkin traumanya sudah menjadi-jadi semenjak pemasangan sonde. Duh gusti.... sebenarnya aku sudah sangat jenuh sekali melihat penderitaan anak saya... apabila engkau memang maha pengasih dan penyayang sembuhkanlah anakku ya...Tuhan. Mungkin katakataku yang selalu terucap saat jenuhku begitu mendera. Jika engkau berkehendak lain.. mungkin itu lebih baik.. Doa pasrahkupun keluar... melihat penderitaan Radit yang bertubitubi. “Pak ampun pak... jangan dimasukkan lagi selang ke hidungku pak... “ Sambil tersedu-sedu Radit kembali ingat proses Sonde yang mendera ketakutannya. Isakannya dalam.. seperti mengiris dalam luka di kedalaman hati bapaknya. “Tidak Radit.. ini hanya proses penyembuhanmu.. sebentar lagi kamu sembuh ya..” kataku menyemangatinya kembali “Dah selesai dik Radit...” kata suster sambil memplester infus barunya Radit. “Terimakasih suster... “ kataku Radit masih terdiam... dan mulai tangannya masuk ke mulut untuk mengambil darah-darah kering yang ada di gusi dan bibirnya. Akupun tersentak mengingat pesan dokter untuk tidak P a g e | 77
memasukkan tangan Radit ke mulut, karena bisa mengakibatkan infeksi dan pendarahan. Tampaknya ketakutanku membuat Radit cukup marah. “Bapak ini membikin aku kaget saja.. ini cuma ngambil yang ganjel di mulutku ini lhoooooooo” kata Radit berteriak keras “Nanti kamu infeksi dik... panas lagi... biar cepet sembuh ya... bapak aja yang mbersihin” kataku mencoba pelan. “Perut ku sakiiiit sekali... pak.. panggilkan dokter pak.... “ mendadak sakit Radit datang lagi.. dan minta dipanggilkan dokter “Dokter... dokter.. ini sakiiiiit lagi dokter... panggilkan dokter Deni pak.. tolong.. Prof Taryo... Prof Taryo... sakiit ….. panggilkan dokter pak...itu itu … itu...” kata Radit berteriak-teriak sambil melihat ke koridor jalan masuk. “Iya... sebentar lagi dokternya datang...” kataku “Mana pak... Radit.. nggak tahan pak... dokternya mana pak.....??” kata Radit memegang perut bawahnya. Tampaknya sakit Radit bertambah di sisi bawah perut, tidak seperti kemarin yang persis di ulu hatinya. “Ini bapak panggilkan .. sebentar ya” kembali aku gugup. Tampaknya Radit sudah tidak percaya dengan janji-janji saya. Dan Radit tahu kelemahan saya, dimana aku paling tidak enak kalau selalu minta dokter datang ke tempat Radit terus. “Panggilkan pak.. nggak kuat aku pak....” kata Radit kembali.. Akupun ke dokter Nia yang terlihat dan melaporkan sakit Radit yang masih belum hilang. Dr. Nia kebetulan mau dateng ke tempat Radit dan mencoba menenangkan Radit. “Ada apa dik Radit...sayang” kata dokter Nia saat di ruang isolasi Radit. “Ini bu dokter perut Radit kok nggak sembuh-sembuh.. “ kata Radit sambil memandang dalam dr. Nia memohon kesembuhan darinya. “Iya dokter periksa ya....” kata dokter Nia sambil memegang perut P a g e | 78
Radit, dan menggunakan steteskopnya mendengarkan perut dan dada Radit. “Nggak papa kok Radit... kamu istirahat saja ya.. biar sakitnya hilang dan sembuh ya..” kata dokter. Hal ini sudah aku perkirakan... biasa saja, tidak apa-apa, nanti pasti sembuh, kamu istiraha…tya... kata yang sudah sering aku dengar. Radit pun mungkin frustrasi dengan kata-kata dokter yang klise, tanpa tindakan yang membuat rasa kesakitan Radit berkurang. “Tapi perut Radit sakit dokterrrrrrr...” kata Radit sambil memegang tangan dokter Nia... “Iya pasti sembuh..ya nanti saya kasih obat buat perutmu ya...” kata dokter Nia sambil meninggalkan Radit. Tampaknya dokter Nia menginstruksikan untuk menyuntik kembali Radit dengan obat penghilang rasa nyeri perut Radit. Obat yang diberikan dr. Nia pun tampaknya kurang membawa efek kepada rasa sakit perut Radit. Buktinya Radit masih tetap mengeluh sakit dan akupun memijit punggung Radit agak keras untuk mengurangi rasa sakit Radit. Keingingan Radit ditunggui dokter cukup tinggi. Setiap kali melihat orang-orang berjalan di koridor depan Isolasi, pasti berteriakteriak minta tolong menandakan kesakitan yang luar biasa di perutnya. “Pak panggilkan dokter lagi pak... panggilkan pppppak...”kata Radit mengulangi permintaannya. “Iya nanti ke sini dokternya dek... sabar ya....” kataku kembali galau “Aku nggak tahan pak... sakitnya pak.. kapan sembuhnya... pak doain pak...doain “ kata Radit kembali minta di doain supaya sakitnya sembuh. Akupun dengan sigap aku elus kembali perut Radit dan aku doain... tampaknya Radit kelelahan dalam sakitnya diapun tertidur kesakitan dengan mata tidak terpejam akan tetapi pupil hitam ke atas. Pemandangan yang memilukan, dan sebenarnya aku tidak sampai hati melihat penderitaan Radit yang P a g e | 79
begitu berat. Mulut Radit tidak dapat menutup karena kering, dan darah kering mengental di gigi depannya. Mencret Radit menjadi semakin sering, berbentuk cair dan berwarna coklat kehitaman. Di samping itu spool dari perut Radit juga masih merah warnanya, menandakan bahwa di perut Radit masih ada darah yang masuk ke lambung. Dokter akhirnya meminta transfusi darah jenis FFP (Fresh Frozen Plasma) yang digunakan untuk membekukan darah pada luka yang terjadi atau karena merembesnya darah ke luar tubuh Radit. “Pak aku pengen pulaaaang pak..” kembali keinginan pulang Radit muncul kembali, sambil berekspresi sakit serta menangis dalam. Kata ‘pulang’ ini benar-benar tidak aku sukai, kemudian aku jawab jika sudah sembuh pasti pulang. “Aku pengen sekolah pak... sama temen-temen...” kata Radit memohon-mohon kepada saya. “Iya nanti kamu sembuh, pulang, terus sekolah lagi..” kataku menghibur. “Pak aku pengen banget beli es di sekolahan … es lilin … ennaaaaak banget” tiba-tiba Radit agak melupakan sakitnya tapi mengingat-ingat jajanan di sekolahannya. “Iya nanti setelah sembuh beli sama bapak aja.. ya .. bapak janji.. sama beli apa?” kataku menghibur Radit “Aku mau beli es Doger… di sekolahan …. enak buanget pak.. besuk kalau aku sembuh boleh ya pak beli es itu... “ kata Radit memohon-mohon kepada saya “Tentu saja boleh ya...” kataku trenyuh “Bapak sering minum es to... waktu bapak nyimpan es di botolbotol sirup punya oom..” kata Radit. Ternyata Radit masih ingat, aku memang terkadang menyimpan botol air putih dingin tempat bekas sirup punya Oom. Dan karena Radit tidak tahan dingin, dan ada amandel di ternggorokannya, maka terkadang aku larang minum es. P a g e | 80
“Aku diam-diam sering minum es nya bapak........ enaaak banget.. boleh to pak..jangan marah ya” kata Radit jujur mengharukan. “Nggak pa pa... bapak melarang Radit minum es karena Radit amandel to.. bapak khawatir kalau Radit sakit” Kataku menjelaskan. Akan tetapi tampaknya Radit tidak bisa menerima penjelasanku tersebut, setahu dia bapaknya tidak memperbolehkan minum es. “Pak......” panggil Radit dengan mata penuh dengan air mata... “Ada apak dek....” kataku memandang Radit dengan terheranheran. “Aku pernah jatuh dari tangga sekolahan pak.. jangan marah ya...” kata Radit masih dalam tangisan terisak yang dalam. “Nggak bapak nggak marah... kok kamu baru cerita sekarang...” kataku... “Aku takut bapak marah.....” kata Radit masih terisak-isak “Nggak kan bapak marah kalau Radit nakal kan.....” kataku menjelaskan prinsip marahku sekali lagi. “Aku di nakalin sama teman-teman... cewek pak.. terus aku jatuh dari tangga” kata Radit terisak-isak. “Sudah.. jangan kamu ingat-ngat lagi .. ingat-ingat yang baik saja.. kamu sudah maafkan kan teman-temanmu itu” kataku menasehatinya. Radit hanya mengangguk-angguk pelan...sambil menahan sakitnya yang datang lagi.... “Pak mau E...Ek pak....” kata Radit.. akupun segera membawa tempat Berak Radit dan betul .. Radit berak cari kental berwarna hitam sangat banyak sekali... Akupun segera mengambil pispot untuk menampung air pipisnya. Aku heran air pipisnya cukup sedikit dan berwarna kemerahan. Aku laporkan ke dokter dan dokter minta mengambil sampel berak Radit dan Urine nya. “Wah sudah saya buang tadi pak dokter... nanti kalau berak dan pipis akan saya tampung pak” kataku menyesali tindakanku P a g e | 81
membuang berak Radit dan pipisnya. “ Iya pak untuk pemeriksaan jaringan nanti pak” kata dokter menjelaskan.
Diare dan diare... dan Shock Sepsis AC kamar Radit akhirnya dibenahi... saat berpindah aku sedang ke Kantor dan membetulkan Gadget Radit supaya dapat diisi dengan game-game kesayangan Radit. Saat aku pulang kembali ke bangsal Isolasi Radit.. AC telah diperbaiki dan cukup dingin. Aku lihat Radit tertidur pulas.. apa ini akibat perbaikan AC ya.. batinku. Aku raba kepala Radit... masih panas.. dan aku cek lagi kakinya.. hmmm dingin.. pasti ini akan demam lagi Radit. Kekhawatiranku demam selalu terjadi kalau aku raba kaki Radit dingin. Terkadang lalu aku panaskan kaki Radit dengan bantal elektrik panas, untuk mengurangi dingin kaki Radit. “Lho pak … aku dimana ini.. ini apa ini pak... pak ini apa... aku dimana ini pak? tiba-tiba Radit bangun dengan berteriak-teriak. “Di rumah sakit nak... sabar...nak” kataku sambil memijit kakinya. “Whaaaah.... “ tampak kecewa Radit berteriak keras... tampaknya Radit bermimpi telah sembuh dari penyakitnya. Dan saat terbangun ia menghadapi kekecewaan itu.. tubuhnya masih diinfus, selang sonde masih ada..serta selang oksigen masih di hidungnya. “Pak …. panggilkan Dokter pak... pakkkkk panggilkan dokter pak.. aku sudah nggak tahan pak...cepat pak panggilkan dokter...” teriak Radit berulang-ulang. Untung dokter jaga hari ini cukup baik .. sering ke tempat Radit untuk memeriksa denyut nadi di kaki, temperatur, serta menanyakan diare Radit. Keinginan ditunggui dokter, sangat tinggi sehingga kadang aku merasa nggak enak dengan dokter-dokter maupun suster yang sedang bertugas karena seringnya aku melapor keadaan Radit.
P a g e | 82
Beruntung sekali dokter Deni mampir di tempat Radit, dan Radit tempak tenang saat dr. Deni masuk dan memeriksanya. “Panasnya masih tinggi ya pak...” tanya dr. Deni padaku “Awal-awal Meropenem masuk dulu.. sudah stabil pak panasnya.. tapi sekarang kok kembali panas lagi...” keluhku. “Nggak pa pa.. gimana Radit masih pusing, pandangan kabur, telinga berdenging.. “ pertanyaan default dr. Deni kalau bertemu Radit. “Nggak dokter.. cuman perut Radit sakit dokter...tolong dokter” kata Radit menghiba kepada dr. Deny. “Iya.. ini dokter tolong.. tapi kamu istirahat ya.. tidur dulu biar cepat sembuh” kata dr. Deny “Sudah berhari-hari Radit sulit tidur dok” kataku menjelaskan “Oo... tidur ya Radit biar cepat sembuh” kata dr. Deni sambil memeriksa mulut Radit yang masih berdarah karena trombocitnya yang masih rendah. “Pak tolong mulutnya Radit dibersihin ya pak, pakai kassa lembut atau pake cotton bud” kata dr. Deni kepada saya. Saat dr. Deni akan pergi, Radit kembali meminta dr Deni untuk tetap di sisi Radit menungguinya. “Dokter Deni keliling dulu ya mas Radit... masih banyak pasien Radit baik-baik kok.. pasti sembuh” kata dokter Deni saat akan pergi keliling ke pasien lain. “Jangan dokter di sini aja... perutku sakit dokter.. dokter di sini saja” kata Radit memegang tangan dr. Deni. “Masih banyak pasien dr. Deni dik yang menunggu.. kasian mereka kan...” kataku membujuk Radit. Tampak dengan berat hati Radit melepaskan pegangan tangannya dan dr. Deni pun berlalu ke bangsal yang lain. Dr. Deni sosok dokter yang perhatian sekali terhadap Radit.. mungkin terhadap pasien yang lain juga. Istriku terkesan dengan keramahan dr. Deni dan ketulusannya dalam membantu pasien dan keluarganya. Tampak Radit juga terkesan P a g e | 83
dengan dr. Deni, hal ini terlihat apabila kesakitan nama dr. Deni selalu disebut di samping prof. Taryo. Diare Radit masih berkepanjangan.. dengan bentuk berak cair kehitaman, kemudian pipis berwarna kemerahan. Saat aku akan mandi, posisiku digantikan oleh oom nya Radit. Aku bisa membayangkan betapa repotnya oom, yang baru pertamakali harus menghadapi penyakitnya Radit, serta diarenya yang tidak surut. Badanku sudah tidak karu-karuan, dan aku khawatir akan sakit melihat tenggorokanku sudah sangat sakit untuk menelan. Badanku terkadang mengigil kedinginan, ini menandakan aku dalam keadaan yang cukup kelelahan dan kecapekan. Istriku tahu akan hal ini, dan khawatir jika aku sakit siapa yang akan menunggui Radit. Dengan kondisi Radit seperti itu, tidak ada yang tega menungguinya kecuali bapaknya. Oom nya Radit berkali-kali tidak tahan melihat penderitaan Radit, dan terlihat menangis meskipun disembunyikan dari Radit. Saat aku ganti kembali posisi oom yang menjagai Radit.. memang betul terlihat kerepotannya. Karena penanganan diare Radit, serta pipis yang belum terstruktur sehingga pipis dan berak Radit banyak menempel di selimut dan sprei nya. Hal ini tentu kurang bersih dan aku khawatir infeksi Radit bertambah-tambah. Oleh karena itu akupun memutuskan untuk mengganti sprei dan baju Radit saat itu. Diare Radit selalu muncul hampir setiap 2 jam, dan perut Radit selalu sakit keluhnya. Omongan Radit terkadang melantur, dan emosinya meledak-ledak saat aku tunggui. “Pak .. panggilkan dokter pak....itu ada dokter … panggilkan pak” kata Radit kembali. “Iya nanti pasti ke sini.. sabar ya...” kataku gugup karena permintaan ketemu dokter kembali Radit. “Bapak itu … kalau aku suruh minta Dokter ke sini pasti nggak mau.... nggak seperti Oom...” kata Radit kesal terhadap bapaknya. “Iya nanti kan ke sini Radit.. pasti dokter akan kesini.. nunggu P a g e | 84
waktu kan..” kataku menjelaskan kepada Radit... “Waaaah..... bapak itu ngeyel..(jw. keras kepala) bapak itu ngeyel... cepat panggilkan dokter !!!” kata Radit sambil membelalakkan mata. Akupun jadi teringat jika aku marah terhadap Radit aku akan bersikap hal yang sama seperti Radit membelalakkan mata kepada Radit. Radit biasanya takut saat aku bersikap seperti itu. Dan Radit saat inipun membalas kebiasaanku marah seperti itu kepadaku. Rasa sesal menyesak di dadaku.. tidak tertahankan melihat sikap Radit seperti ini. “Cepat pak... panggilkan... atau aku lebih baik meninggal saja......” kata Radit ketus dan mengagetkan aku. Dapat dari mana anak ini mengancam bapak nya menggunakan kata-kata seperti itu. . akupun hanya bisa lemas dan mencoba mencarikan dokter jaga saat itu. Kebetulan dokter jaga mau aku suruh ke ruangan Radit untuk memeriksa keadaan Radit. “Nih .. ibu dokter datang... bapak kan juga seperti ooom kan..memanggilkan dokter” kataku sambil menunjuk dokter yang datang. Dokter memeriksa keadaan Radit..kembali seperti biasa tidak ada perubahan tindakan kecuali memeriksa denyut nadi kaki, tangan, dan pergi begitu saja. Aku lihat catatan harian kesehatan Radit.... hmmm... hampir 7 kali lebih hari ini Radit berak. Tentu sangat melelahkan dan sakit keadaanya. “Pak pipis pak...” kata Radit....kemudian aku ambilkan pispot pipisnya. “Gimana to bapak ini... aku mau E Ek kok .. bukan pipiiiiis “ kata Radit ketus menyalahkan aku. Sudah beberapa hari ini Radit memang sering kebingungan antara pipis dan berak sehingga akupun maklum selalu dimarahin Radit. Saat Radit berak.. terkadang pipisnya tidak dapat ditahan dan kemudian mengenai Sprei nya,sehingga akuputuskan untuk meminta sprei yang tahan air... akan tetapi tentu membuat Radit sedikit gerah tidak nyaman. P a g e | 85
Malam ini aku betul-betul tidak tidur sama sekali.. karena berak Radit cukup sering dan banyak. Cair dan mulai sedikit ada gumpalan-gumpalannya, menurutku akibat dari transfusi FFP mungkin darah Radit banyak yang menggumpal walaupun prosentase airnya cukup tinggi. Aku laporkan keadaan Radit yang cukup banyak kehilangan cairan kepada dokter, dan kemudian dokter mempercepat tetesan infusnya. Akupun mulai memasukkan cairan pengganti diare melaui sonde, serta obatobat yang lain. Pagi ini kaki Radit sangat dingin... dan tampak tertidur kecapekan. Pagi-pagi dokter Lia memeriksa denyut nadi Radit.. di kaki.. kemudian memeriksa menggunakan stetoskop di dadanya. Tampaknya ada keresahan dr. Lia memeriksa Radit.. “Hmm…. Kok bising…. Kok bising… “ sambil geleng-geleng kepala mendengarkan suara stetoskop di dada Radit. Akupun merasakan kegelisahannya. Berkali-kali dokter Lia menanyakan, berapa kali diare tadi malem... “Malem saja ada 5 kali dok..belum pagi sampe sore.. mungkin sekitar 6... di catatannya kan ada dok” kataku menjelaskan. Aku hanya berpikir saja.. apa dokter ini tidak melihat catatan-catatan Radit sebelumnya sehingga menanyakan hal yang telah aku laporkan pada pelaporan catatan cairan Radit. Tanpa berkata apa-apa dr. Lia tampak gugup ke luar ruangan isolasi dan kemudian datang dokter lainnya ke ruangan Radit. Beberapa membawa peralatan suntik dan infus, kemudian melakukan beberapa tindakan untuk memasukkan cairan ke infus Radit. “Permisi pak.. saya yang bertanggung jawab di bangsal bawah dan atas ini .. nama saya dokter Kris pak... kondisi anak bapak sedang shock ini.. karena kekurangan cairan” kata dokter menjelaskan. “Dokter Lia.. tolong jelaskan apa itu shock.. pada bapak ini...
P a g e | 86
cepat... panggil dokter muda dan perawat untuk membantu saya” kata dokter Kris dengan cepat. Aku melihat dokter ini cukup cekatan dan tegas memerintahkan anak buahnya. “Tolong hangatin kakinya, periksa nadinya... terus masukin cairan ke infus sebanyak-banyaknya ... tolong periksa detak jantungnya...” kata dokter Kris dengan sigap. Akupun tidak mengerti mengapa dokter-dokter ini tergesa-gesa menangani Radit... tidak biasanya mereka gugup seperti ini. “Tolong Radit di bangunkan .. dan ajak komunikasi …” kata dr Kris cepat menyuruh dr. Lia dan asistennya membantu. “Dokter Lia.. tolong jelasin ke bapak ini ya.. apa itu Shock di ruangan jaga dokter cepat.. jelasin kemungkinan buruknya … ” kata dr Kris kepada dr. Lia Aku menduga keadaan Radit mungkin semakin parah.. aku hanya pasrah saja dengan keadaan anakku. Aku di panggil di ruangan tertentu walaupun aku masih bisa melihat ruangan isolasi Radit... dari tempatku duduk. Banyak perawat, dokter muda, co ass yang masuk ke ruangan Radit membantu dr. Kris melakukan tindakan darurat. “Begini pak.. kondisi Adik Radit terkena Shock karena dehidrasi yang parah “ kata dokter Lia. “Kondisi ini bisa berulang pak.. karena kondisi Radit yang gampang terkena infeksi setelah komoterapi” kata dokter Lia sambil sesekali melihat ke arah ruang isolasi Radit “kami sedang memasukkan cairan sebanyak-banyaknya untuk mengimbangi kekurangan carian adik Radit..” kata dokter Lia. Itu saja apa yang dikatakan dokter Lia. kemudian akupun membantu dokter Kris di Isolasi.. “Sudah pak sudah di jelaskan kondisi Radit tadi” kata dokter Kris “Sudah.. sekilas tadi” kataku sambil membantu menghangatkan kaki Radit. “Sekilas bagaimana... sudah jelaskan bapak” kata dokter Kris agak P a g e | 87
meninggi kepada saya. “Sudah tadi... ya sekilas saja” kataku tanpa dose... “Duh … gimana ni dokter LIa... suruh menjelaskan kok hanya sepotong-sepotong....” tampak dokter Kris risau dengan koleganya. “Pak saya jelaskan lebih detail pak mari ke ruangan dokter jaga...” kata dokter Kris.. sambil teriak memanggil dokter Lia.. dan memberikan instruksi kepada perawat yang menangani Radit. “Bapak … Radit telah komoterapi.. dan keadaanya ternyata masih belum stabil. Tubuh Radit sudah tidak punya tentara untuk menyerang segala infeksi yang masuk ketubuhnya. Sel darah putihnya tinggal 140.. seharusnya 4000 minimal, kekebalan tubuhnya Nol sama sekali sehingga mudah terinfeksi. Keadaan ini menjadikan infeksi rentan terjadi di seluruh tubuhnya. Infeksi Radit disebut Sepsis, dimana terjadi infeksi di seluruh tubuhnya adek Radit. Infeksi sepsis ini diawali diare atau infeksi di usus adek.. makanya perut adek sering sakit dan diare berkepanjangan. Infeksi sepsis ini akan menyebar, sehingga adek akan demam dan sesak napas, hal ini infeksinya sudah mencapai paru-paru” kata dokter Kris menjelaskan dengan gamblang. “Dokter.. tadi malem Radit menggigil hebat.. tidak biasanya Radit menggigil seperti itu.. dan dia sering bilang nafasnya seperti habis nangis.. padahal tidak nangis” kataku menjelaskan. “Betul bapak.. shock septik ini sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian jika tidak ditanggulangi dengan segera bapak. Saya tidak menakut-nakutin akan tetapi kondisi terburuk ini harus saya jelaskan kepada bapak. Shock septik ini bisa berulang bapak.. jadi kami harus waspada kondisi Radit yang mengkhawatirkan seperti ini” Mendengar penjelasan dokter aku hanya bisa pasrah... melihat kondisi Radit yang semakin melemah seperti ini terkadang harapanku musnah sudah. Mengapa Radit yang masih belum tahu P a g e | 88
apa-apa ini harus menanggung sakit yang sedemikian hebatnya... terkadang aku tidak habis pikir mengapa Tuhan yang maha penyayang ini memberikan kesakitan dan penderitaan kepada anak kecil bernama Radit anakku ini. … kenapa harus Anakku... ketidak berdayaan ini terkadang tidak kuat aku tanggung. Aku seorang yang rasional... sehingga terkadang aku berpikir bahwa inilah yang disebut seleksi alam... siapa yang dapat bertahan dalam keadaan yang tidak diperkirakannya ia akan selamat. Aku ingat teori evolusinya Darwin tentang Survival of the fittest untuk menghibur kegalauanku. Dalam 100.000 orang terdapat kemungkinan 4 terkena leukemia seperti anakku derita.. dan Anakkulah yang terpilih di antara ratusan ribu orang tersebut. “Anak bapak sudah dapat kami tangani dengan baik .. sehingga bapak tidak perlu khawatir.. kondisinya sudah berangsur-angsur normal.. Bapak siapkan saja satu kantong PRC atau darah merah buat Radit segera ya pak..” kata dokter Kris “Saya akan pantau terus perkembangan Radit pak..” kata dokter Kris kembali “Terimakasih dokter perhatiannya, sebelum shock itu Radit memang sulit saya ajak berkomunikasi.. terkadang omongannya ngelantur dan tidak nyambung... mengapa ya dok? kataku menanyakan tentang keadaan Radit yang akhir-akhir ini agak aneh sikapnya. Radit sangat santun dalam bersikap, cenderung pemalu dan introvert serta gampang marah. “Itu pertanda awal shock septik ini pak, biasanya Radit bingung, ngomong tidak nyambung, tanpa arah.. terkadang seperti halusinasi, hal ini karena pasokan darah ke otak menurun pak.. sehingga terkadang tidak dapat berkomunikasi dengan baik” kata dokter. “Betul dok tidak biasanya Radit teriak-teriak, ngomong aneh-aneh, dan gampang tersinggung” kataku menjelaskan kondisi akhir-akhir ini Raditya. P a g e | 89
“Sabar ya pak.. memang demikian.. biasanya sesak nafas, terus produksi pipisnya berkurang, bibir kering dan pucat.. ini pertanda sepsis pak” kata dokter. Memang betul semua yang dikatakan dokter ini, Radit akhir-akhir ini pipisnya sangat kurang sekali.. biasanya banyak akan tetapi terakhir-terakhir setelah banyak diare pipiskan sangat kurang sekali aku jelaskan kepada dokter kondisi pipis Radit yang banyak berkurang. “Ya.. ya.. nanti kita berikan lasik untuk memperlancar kencing adek Radit” kata dokter.
Kepahitan Radit Kondisi Radit berangsur normal.. akan tetapi sikap-sikap Radit cukup emosional, dan seperti tidak terkontrol. Semua mengalir deras emosinya Radit, saya sering kena marah karena melarangnya memasukkan jari ke mulut, kelamaan mengambil pispot, tidak mau memanggilkan suster atau dokter setiap Radit inginkan. “Bapak mau manggilkan dokter nggak....? tanya Radit suatu kali.. “Apa yang sakit Radit...” tanyaku pelan “Wahhhh... ya sakit semua.. mbok mikir bapak itu” kata Radit emosi “Iya sabar dek jangan gitu..nggak baik “ kataku mencoba sabar “Lha bapak itu ngeyel...ngeyeeeeeeeellllll... berpikir pak berpikir.... dadaku sesek...” kata Radit sambil memukul-mukul dadanya. Katakata Radit tampak tidak asing bagiku, karen kata “berpikir” itu sering aku ucapkan kalau lagi jengkel dengan Radit atau Dita kakaknya. Tampak kata-kata kasar istriku, kata-kataku semua betul-betul di rewind oleh Radit. Aku begitu nelangsa mendengar ucapan ucapan Radit seperti itu. “Ayo bapak mau nggak manggilkan suster?... dokter … dokter
P a g e | 90
Dany... Radit sakit dooook.... dokterr... ke sini.. prof. Taryo.... prof Taryo.... ke sini dokter...” kata Radit sambil seolah-olah mau bangun. Akupun dengan cepat menahannya khawatir terjatuh. “Wah.... jan bapak itu... gimana to... panggilkan dokter to..... “ kata Radit sambil berkerut keningnya, dan membentak-bentak bapaknya. Dalam seumur hidupku.. baru kali ini aku betul-betul tidak tahu apa yang aku perbuat menghadapi kemarahankemarahan Radit. Tampak sekali Radit menyimpan dendam kepada Bapaknya sehingga segala kemarahannya dia ungkapkan tanpa ada penghalang. “Bapak tu lambaaattttt .. lambaattttt... ngapain aja kok lama.... ambilkan tempat E Ek pakk.. Radit mau E Ek...” Kata Radit tibatiba. Akupun dengan sigap mencari tempat berak Radit dan tempat pipis. Terkadang memang Radit kebingungan apakah mau berak atau kencing. Karena aku langsung meloncat mencari tempat berak Radit, hal ini mengagetkan Radit dan kembali Radit marah bukan kepalang. “ Wah jan.... bapak ki... ngagetin aja... mbok alon alon to paaaaaaak9 “ kata Radit berteriak panjang. “Ya..ya. dek sabar ya.... mau pipis atau E Ek...” kataku mencoba pelan-pelan “Mau pipis pakk.. gimana to.. ndadak tanya bapak ki... tuh.. dah keluar kan...” Kata Radit sudah pipis membasahi celana dan sprei tempat tidurnya. Dengan sabar akupun mengelap pipis dan mengganti celananya. Aku lelah menghadapi Radit setelah Shock Sepsis nya.. betul-betul berat. Semua kata-kata kasar Istri ku keluar dari mulutnya Radit,... dan aku tidak sampai hati menyampaikan hal tersebut kepada istriku. Sikap kasarku terhadap Radit yang dahulu pernah aku 9
Pelan-pelan to pak (jw)
P a g e | 91
ucapkan.. ternyata keluar saat Radit minta sesuatu kepadaku... “Bapak ki.. tak tendang.. lho.... sana panggilkan Dokter … cepppaaaat atau aku mati aja.. biar bapak nggak keluar duit banyak...ya too...” kata-kata Radit ini yang begitu menyakitkan dan mengiris emosiku. Logika dari mana Radit bisa mengatakan demikian.. terkadang aku hanya berfikir ini efek dari sakitnya Radit yang tidak tertahankan sehingga dia bisa berkata-kata demikian. “Ayo... pergi... ayo cepat.... wah jan... kalau mau pergi gini repooottt semua... wah jaaaaan.... sesek dadaku...sesek dadaku....” kata Radit sambil memelototin aku. Tampaknya Radit kembali berhalusinasi apabila mau bepergian ke sekolah selalu saya dan istri menyuruh cepat-cepat sehingga tidak terlambat. “He... kamu..... “ sambil menuding ke arah ku “Kamu tak pukul lho kamu... nek wani karo aku... he...he...” sambil berteriak Radit memelototi bapaknya. Aku hanya bisa diam dan mencoba pasrah terhadap keadaan Radit yang demikian. Kecapekan dengan marahnya Radit pun tertidur.. dalam tidur dalemnya. Aku sangat jenuh sekali sehingga aku hanya mondarmandir sambil melihat ke luar ruangan.. melihat ke taman di luar bangsal yang terlihat dari jendela Isolasi.. masih seperti kemarin.. tidak ada perubahan. “Oh my God..... mengapa anak ini penuh dengan kemarahan … ooooh. .mengapa anak ini penuh dengan kepahitan... maafkan aku ya Tuhan.. jika memang engkau ada.... ampunilah aku … ampunilah Radit... ya Allah.... hilangkanlah kepahitan-kepahitan di diri Radit ya Allah.... cabutlah kepahitan-kepahitan....... inilah yang membuatnya sakit Ya Allah.. ya Tuhan... anak sekecil ini sudah penuh dengan kepahitan.... redakanlah amarahnya ya Allah .. ya Tuhan...” Rintih diriku. “Paaaakk... itu … dipanggil ibu.. tu... paaaak.... lambbbaaaaat banget ngapain to paaaaak” tiba-tiba Radit bangun sambil menunjuk ke koridor Kosong. Halusinasi Radit melihat istri saya P a g e | 92
memanggil-manggil saya. “Pak itu lho.. dipanggil ibu... piye to... malah bingung..” kata Radit membelalakkan mata. “O ya... bapak keluar sebentar ya ketemu ibu” kataku pura-pura menemui istriku.. sambil dilihat terus oleh Radit aku keluar ruangan dan pura-pura ketemu istri saya. “Dari mana bapak.... dari mana.....” tiba-tiba Radit berubah dengan topik yang lain “Itu dari nemui ibu... tadi Radit dengar to... ibu memanggil bapak” kataku sambil mengingatkan Radit “Pak .. panggilkan ibu pak... please.... toloong... bilang ibu .. Radit sakit sekali... tolongg... panggilkan ibu” kata Radit sambil teriak teriak. Pada kondisi seperti ini aku khawatir istri aku tidak akan tahan dengan sikap-sikap Radit sehingga aku berusaha menahan agar Radit tidak bertemu istri saya. Istriku pasti sangat tidak tahan dengan sikap-sikap Radit yang tidak terkontrol, apalagi sering mengungkapkan kata-kata kasar yang sering diucapkan istriku maupun aku sendiri. Aku baru sadar… kata-kata menyakitkan ternyata tidak baik efeknya. Anak akan mengingatnya dan hal ini sungguh tercermin dari sikap-sikap Radit yang tidak terkontrol. “Kalau bapak nggak mau manggilkan ibu.. mana HP bapak mannaaaaaaaa..maaannnaaaaa” kata Radit berteriak-teriak. Aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memberikan HP ku kepada Radit. Aku heran Radit jarang menggunakan HP bapaknya tapi tahu nomor ibunya di HP ku. Nomor istriku aku beri nama Mami IM3, dan Radit dapat menemukan dengan cepat.. dari mana dia tahu nomor ibunya di HP ku.. “Halo.. ibuk... ini Dadit bu.. ini bapak itu ngeyel...ngeyel .. ibu ke sini bu... aku nggak mau sama bapak...ibu kesini bu...” Radit menangis di telepon.. mungkin membuat istriku bingung. Semenjak mulut Radit kering dan sering keluar darah.. ucapan P a g e | 93
Radit agak tidak jelas.. sehingga mungkin istriku agak tidak paham dengan kata-kata Radit saat itu. Saat Radit telepon mengatakan tidak mau sama bapaknya merupakan pukulan telak bagi saya dalam mendampingi Radit hampir 2 minggu ini. Aku sudah berniat akan memperbaiki sikapku terhadap Radit selama ini, dan itu sudah aku janjikan kepada Radit. Istriku tidak kunjung datang.. dan Raditpun lupa dengan permintaannya. Saat datang.. Radit menjadi teringat lagi akan kemarahannya kepada bapaknya. Istriku minta di dampingi saat bersama Radit.. khawatir tidak tahan dan menangis di dapan Radit. Menangis adalah tindakan yang sangat tidak disukai Radit terhadap siapapun yang menungguinya. Saya pernah pesan kepada istriku untuk jangan sekali-kali menangis di depan Radit. “Bu .. Radit minta es boleh ya.. bu.... sekaliiii aja” kata Radit saat ibunya di hadapannya. Karena istri saya tidak tahu kondisi Radit, maka dia dengan enteng menjawab. “Lho Radit kan masih sakit, nanti saja ya esnya” kata istriku. Tampaknya jawaban ini membuat Radit marah. “Ibu ini lho selalu khawatir saja.. salalu khawatir saja .. apa-apa nggak boleh…” Kata Radit marah “Ya .. nanti dibelikan dek... ibu kan sayang sama adek....” kataku sambil berkedip menandakan sesuatu kepada istri saya. “O ya.. nanti ya .. ya..ya.” kata istri saya gugup menanggapi Radit. Saat Radit memasukkan tangan di mulutnya, istri saya pun terkejut dan mencoba memegang tangan Radit. “Wah ..jan…. Ibu… ki… ini cuman ngambil kotoran di lidah Radit… ini lho… gimana to …. “ kata Radit marah lagi, membuat istri saya tampak nelangsa dengan sikap-sikap Radit yang cukup mengagetkan. Khawatir dengan keadaan istri saya, akupun bilang.. bahwa ibu mau mengambil obat.. biar Radit bersama bapaknya P a g e | 94
saja. Tampaknya Radit sudah cukup stabil tidak begitu marah saat istri saya aku suruh ke luar ruangan. Radit kembali tertidur… setelah istri saya ke luar ruangan. Setalah AC diperbaiki tampaknya Radit menjadi sering tertidur, mungkin ia ingin melupakan kesakitan yang dideritanya. Namun aku terkadang harus waspada dengan sikap Radit yang tidak terduga sehingga akupun selalu terjaga jika Radit minta sesuatu.
Minta Maaf Aku semakin jenuh di ruangan ini, mau nonton televisi tidak dapat menikmati, mau diam saja.. aku paling nggak betah diam saja…mengawasi Radit.. tidak tahan dengan kondisinya yang semakin kurus kering, cekung matanya, mulutnya tidak dapat menutup dengan baik, rambutnya yang sudah semakin tipis, dadanya yang terlihat iga-iga kurusnya. Begitu cepat.. Radit yang dulu cukup gemuk berisi dengan dada bidang..kalau makan ayam seperti kesetanan.. apalagi paha ayam.. pasti mau nambah berapapun Radit mampu makan banyak. Namun sekarang kondisinya tinggal tulang seperti anak Ethiopia kekurangan makan. Dulu Radit tinggi tubuhnya dengan dada yang cukup berisi.. terkadang banyak orang yang tertipu dengan tingginya Radit.. dikira sudah kelas 6 atau SMP.. padahal Radit masih kelas 3 dan masih baru saja berhenti ngompolnya. Sekarang mungkin beratnya tidak lebih dari 25 kg, saat aku bopong suntik MTX aku bisa merasakan berat tubuh Radit.. yang biasa aku gendong di belakang punggungku.. cukup mantab berat badannya.. sekarang cukup ringan saat aku bopong. Saat habis puasa kemarin, Radit minta teh bikinan ibunya.. karena teh ibunya sangat digemari Radit… Setelah itu pasti Radit minta teh hangat ibunya yang dikirim dari depan Bangsal Estella tempat istirahat dan tidur para penunggu pasien. Mengingat pasien hanya
P a g e | 95
boleh ditunggu 1 orang saja dan tidak boleh di bezuk.. maka keluarga biasa tidur beralaskan tikar mengusir hawa dingin di area terbuka depan bangsal Estella. Hari-hari penuh was-was.. tergesa mencari obat.. bersitegang dengan dokter, suster, ataupun pegawai rumahsakit… mimpi buruk yang ingin aku akhiri secepatnya. Lenguhan Radit.. kesakitan Radit… Ingin pulang Radit.. air mata Radit… kemarahan Radit.. refleksi pengalaman hidupnya. “Bapaaaak”.. panggil Radit pelan. Akupun mendekat “Sudah bangun ya nak..” sambil membelai kepala Radit.. tanganku pun penuh dengan rambut Radit yang rontok. “Banyak yang rontok rambutku pak” kata Radit.. “Iya gak pa pa dik.. nanti bapak bersihkan” kataku pelan. “Terimakasih pak… terimakasih….terimakasih bapak..” kata Radit berkali-kali.. kata terimakasih ini sering diucapkan Radit kepadaku akhir-akhir ini. “Nggak usah berterimakasih gitu.. bapak kan sayang Radit… Radit tuh sayang bapak nggak siih” kataku… tanpa aku duga Radit memintaku untuk memeluknya… “Iya pak… bapak dan anak yang berjuang melawan sakit” kata Radit.. sudah dua kali aku dengar Radit mengatakan hal ini.. dan dari mana dia mendapat kata-kata seperti ini. “Dit… kamu pasti sering mengingat bapak marah ya…” tanyaku pada Radit. “Iya pak… tapi bapak kan sudah janji tidak marah lagi to… janganjanan setelah Radit sembuh.. nanti bapak marah lagi” kata Radit pelan..
P a g e | 96
“ Lho bapak sudah janji pada Radit to… janji bapak pasti bapak tepati untuk Radit” kataku mantab “Perut Radit masih sakit pak…. Kalau bapak pas berdoa dan menarik sakitnya Radit… kadang hilang sakit Radit… bapak sakti ya..” Kata Radit kembali. Ternyata akting doa mengambil sakit Radit cukup berkesan, dan nampak efek placebo ini cukup meringankan sakit Radit sehingga saat sakit yang tidak tertahankan, aku sering diminta berdoa mencabut sakit dari Radit. “Radit coba kamu ingat-ingat apa yang membuat aku sayang terhadap bapak.. kebaikan-kebaikan bapak coba kamu ingat apa saja” kataku kepada Radit untuk mencoba menyembuhkan kepahitan-kepahitan yang ada pada diri Radit. “Bapak yang ngajari gitar Radit…Bapak yang ngajari Radit bersepeda…Bapak ngajak naik pesawat…Bapak sering ngajak bepergian jauh..Bapak sering mandiin Radit..” kata Radit pelan sambil mata ke atas mengingat-ingat hal yang baik “Sekarang bapak minta maaaaaaaf kalau bapak pernah menyakiti Radit, memukul pake sandal Radit, menjewer Radit, dan Memukul kepala Radit” kataku kepada Radit… Raditpun menangis.. sambil mengangguk angguk.. “Bapak marah karena Radit nakal…. Bapak sudah aku maafkan pak” kata Radit pelan… “Coba kamu ingat-ingat lagi… apa kebaikan ibu..” kataku pelan sambil mengusap air mata Radit “Teh yang ibu bikin enak sekali… aku sukaaaa banget pak…” kata Radit “Nanti dibikinin lagi sama ibu ya…” kataku mantab
P a g e | 97
“Lalu apa yang Radit ingat kebaikan mbak Dita…” kataku memancing ingatan hal baik terhadap kakaknya. “Mbak Dita selalu maen dengan Radit… ini membelikan aku jam Tangan yang aku pake” Kata Radit sambil memperlihatkan jam tangan pembelian kakanya, Semenjak diberikan kepada Radit sampai saat itu masih dipake terus jam itu. Pernah jam 01.00 malem jam tangan itu berbunyi.. dan Raditpun mematikan alarm yang dia coba setel tersebut. “Coba ingat kebaikan teman-teman dan Gurumu… semua yang baik aja yang kamu ingat ya.. jangan yang nakal dan jelek” Kataku kembali mengingatkan hal-hal yang baik teman-teman dan gurunya. “Kamu maafkan semua ya kesalahan ibu dan mbak Dita…” kataku sembari memegang tangan Radit “Sudah aku maafkan semua pak.. semua mua nya.. Bapak, Ibu, mbak Dita, Pak Guru, Ibu Guru.. teman teman Radit sudah aku maafkan” kata Radit sambil melihat TV, walaupun angannya tidak mengikuti acara di TV tersebut… aku tahu itu… Setelah permintaan maafku terhadap Radit.. ocehan dan perangai Radit.. yang aneh-aneh agak berkurang dan jauh berkurang. Ini efek dari permintaan maafku ini dapat melarutkan semua kerak kepahitan yang ada di hati Radit. Betul-betul seperti memutar kaset kusut lama yang penuh dengan kotoran. Radit begitu menyimpan dendam terhadap semua orang, semua teman, semua yang pernah menyakitinya baik secara fisik maupun non fisik. Tampaknya Radit sangat lega dengan permintaan maaf kolektif ku dari bapaknya, ibunya, oomnya, kakaknya hingga teman yang sering berbuat jahat kepada Radit. Radit anak penakut, sehingga mungkin di sekolahan dia sering digodain teman-temannya. Radit juga pemaaf… hal ini terlihat anggukan maafnya sungguh sangat P a g e | 98
dalam … dan setelah itu kepahitan-kepahitan yang terungkap dalam tindakannya saat sakit sudah tidak ada lagi. Akupun lega dengan hal ini, semoga semua kepahitan Radit yang sudah aku angkat ini akan membuat Radit semakin baik kondisi psikisnya… dan semoga merembet pada kondisi kesehatan yang akan berangsur pulih.
Cefepime “Hasil lab kultur sudah keluar pak… nanti obat antibiotik Radit akan kami ganti sesuai dengan hasilnya pak” Kata dokter yang merawat Radit. Sudah banyak dokter yang berganti-ganti merawat Radit, yang aku ingat nya dokter Prof. Taryo, dr. Dany, dan dr. Lia. Yang lain aku sudah malas menghapalkan, karena memang tidak ada hal yang istimewa dari para dokter ini. “Oya.. lalu gimana dok” kataku sambil menanyakan tindakan selanjutnya. “Obat pengganti Meropenem sudah diputuskan untuk diberikan tapi sudah saya cek di Farmasi tidak tersedia, coba saya konsultasikan dahulu dengan prof Taryo mau ganti apa ya pak.. sesuai dengan hasil pemeriksaan kultur jaringan” kata dokter jaga berjilbab yang menangani Radit saat ini. “O ya pak sesuai dengan istruksi dr. Mulat.. anak bapak sudah sangat kecil lekositnya sekitar 140 saja.. maka diperlukan obat yang namanya Leucogen untuk memacu dan meningkatkan darah putihnya” kata dokter kembali “O iya.. apa harus kami beli jika memang tidak ada” kataku semangat untuk mempercepat sembuhnya anakku. “Obat-obat ini tidak ada di farmasi rumah sakit, terpaksa bapak harus membeli di luar” kata dokter yang berawat anakku.
P a g e | 99
“Baik dok.. kami akan beli saja di luar.. daripada menunggu proses amprah yang terlalu lama” kataku kembali. “OO ini sudah ada informasi dari prof Taryo, untuk mengganti Meropenem dengan Cefepime, ini obat lebih baik dibanding yang terdahulu karena seuai dengan uji kultur jaringan adek Raditya” kata dokter menjelaskan. “Baik dok segera saya belikan saja, mohon resepnya dok” kataku tidak sabar. “Baik coba saya hitung dahulu ya.. berat adik berapa ya? Tanya dokter “Waktu masuk 32,5… mungkin saat ini sudah sangat kurang sekali dok beratnya” kataku mengingat berat Radit. “Baik.. saya hitung dosisnya dahulu ya..” sambil menghitung dosis untuk anak saya.. dokter menyerahkan resep untuk kami beli. Panas Radit.. cukup tinggi mencapai 40, sehingga aku berharap dengan obat terakhir Raditya ini dapat menghentikan infeksi yang diderita Radit. Transfusi darah merah PRC dilakukan lagi untuk Radit mengingat banyak darah yang sudah keluar dari tubuh Radit melalui berak diare, urin Radit,dan lambung Radit yang masih sakit. Aku pernah dengar satu dokter bergumam…walaupun ia merasa tidak ada yang mendengarkan.. tapi sempat aku dengar.. “duh… kok nggak berhenti-berhenti ya…” kata dokter yang sedang memeriksa Radit. Walaupun hanya bergumam, akan tetapi cukup membuat hatiku tidak karuan. Rasa pesimis kembali merasuk dalam.. membuat kepalaku semakin berat.. dan kondisi tubuh ini semakin menurun saja. Setiap aku berjalan menuju kamar Isolasi rasanya seperti pergi ke medan perang….. perang batin yang berat. Rasanya pengen lari dari semuanya.. melupakan semuanya.. kembali ke kehidupan normalku yang dulu… Saat naik P a g e | 100
tanggal bangsal Estella, merupakan tangga terberat yang pernah aku naiki. Setiap jengkal tangga beban beribu-ribu ton pada kepala… ulu hati… perut… bahkan kakiku. Saat aku membasuh tanganku dengan Alkohol… merupakan saat yang tidak terperi… perih … ingin aku banting botol alkohol ini…. Ingin aku keluar dari isolasi…. Sesak rasanya… jenuh luar biasa..
Kangen Ibu Pandangan kosong, mata cekung, kesakitan, dan tangisan pengen pulang… menyayatku kembali. Saat malam hening di isolasi… merupakan saat tersunyi yang pernah aku rasakan… aku pandangi wajah kurus anakku… dengan mata setengah terpejam.. mulut setengah tertutup.. mendengkur… hmmmm anak ku mendengkur.. pertanda dalam tidurnya… dengkur yang tidak asing anakku… “Kamu terlalu lelah ya nak… sakitmu cepat lah berlalu ya…” kataku perlahan. Ya… Tuhan…. Setelah aku singkap selimut Radit… oh My God…. Radit ternyata berak dalam tidur.. badannya penuh dengan kotorannya.. tampaknya Radit pipis pula dalam tidur mendengkurnya….. Saat itu merupakan saat yang sangat tersulit dan terberat dalam membangunkan Radit dalam tidurnya. Setelah hampir 3 minggu tidak dapat tidur mendengkur… ternyata bapak harus membangunkan kamu untuk aku ganti dari sprei, celana, sarung gulingmu.. bajumu.. oh Tuhan.. begitu berat cobaan mu nak. Dalam ketidak tegaan, aku bangunkan Radit dan aku ganti semuanya. Aku telanjangi tubuh kurus Radit.. dan iapun menggigil kedingingan.. menusuk rasa iba hatiku…Mengganti baju dengan infus, dan sonde serta selang oksigen.. memang cukup ruwet
P a g e | 101
butuh kesabaran. Apalagi ditambah dengan mengganti sprei tempat tidur Radit. Radit sendiri tidak mungkin bangun karena terlalu lemah… untuk bapaknya sudah cukup terampil melakukannya sehingga tanpa waktu yang terlalu lama, baju, celana dalam, celana luar, sprei, perlak, dan sarung bantal sudah harum lagi. Aku cukup puas karena Radit kembali tertidur dalam mimpi sembuhnya…. Dengkuran Radit terdengar lagi.. menjadikan aku cukup damai mendengarnya.. pertanda Radit cukup terlelap.. tidur yang tidak ia nikmati hampi 3 minggu. Aku berhadap dengan tidur ini Radit akan semakin segar… dan sembuh…. Pulang… sekolah… dan jalanjalan ke Gembira Loka.. Ke Bandung.. dan ke Lampung Naik Pesawat.. janjiku kepada Radit… dan yang penting janji yang harus ditepati adalah “Bapak tidak marah-marah lagi” itu yang ingin dibuktikan Radit. Malam ini Radit hanya minta buang air besar sekali.. dan itupun tidak terlalu banyak…sayapun berharap diarenya Radit segera berhenti… dan akupun ingin mendengar kabar baik yang aku tunggu-tunggu….. Radit boleh pulang…. Itu saja isi doaku…. Dr. Dany.. mampir pagi itu.. dan mencoba memeriksa Radit cukup lama.. perhatian dokter satu ini memang cukup bagus terhadap Radit… sekali lagi mungkin terhadap semua pasien dr. Deni ini semua diperlakukan sama.. namun perasaanku dokter ini cukup perhatian dengan anakku. “Beraknya sudah berkurang pak… “ kataku mantab “Syukurlah bapak… semoga semakin baik” kata dokter sambil masih memeriksa Radit dengan detail. Nampak dokter ini cukup serius dengan pemeriksaannya, berkali-kali ia memeriksa nadi di kaki dan di jempol serta melakukan tensi mengukur tekanan darah menggunakan alat tensi kuno yang besar. Aku heran kok dokter ini P a g e | 102
repot-repot menggunakannya, menggunakan alat modern penjepit jempol saja kan cukup sebenarnya. Aku sering melihat penjepit jempol kaki atau jempol tangan untuk mengukur sesuati..tampaknya detak jantung yang diukur. “Dokter perutku sakiiit selai…… kok masih sakiiit to dok” keluh Radit terhadap dokter Deny. “Iya ini mencret biasa kok….gak papa” kembali jawaban dokter Deni seperti yang lain. “Ini ada bakteri E Coli pak.. jadi mencret Radit ini bukan karena apa-apa akan tetapi bakteri E Coli saja” kata dokter Deny. “Dulu waktu Balita.. Radit pernah mondok lama dokter, karena diare.. mungkin ada hubungannya dengan sakit diarenya saat ini ya dok” kataku menjelaskan “Ooooo dulu pernah diare ya pak…” kata dokter Deni agak terkejut. “Iya dokter hampir lebih 2 minggu di Panti Rapih” kataku “Ya..ya… baik nanti transfusi FFP lagi ya.. untuk membekukan darah adek Radit yang belum dapat membeku” kata dokter Deny. “ O ya.. kataku…” semoga transfusi ini juga membantu penyembuhan diare Radit. Aku optimis kondisi Radit akan membaik. Karena kondisiku tidak fit, akhirnya oomnya Radit menggantikan posisiku.. sementara. Akupun istirahat makan, mandi dan tidur sebentar menanti kabar baik yang aku butuhkan. Aku tidak tahu badanku rasanya berat sekali.. kepala pusing sekali sehingga untuk istirahat rasanya berat sekali. Entah mengapa aku ingin menengok Radit yang ditunggui Oomnya.. saat itu. Betul.. ternyata Radit sedang transfusi FFP.. akan tetapi saat kantong pertama belum selesai.. panas Radit
P a g e | 103
tinggi sekali di atas 40… sehingga menggigil. Akhirnya transfusi FFP dihentikan sementara menunggu suhu tubuh Radit turun hingga 38. Akupun menunggu dengan tegang.. karena transfusi FFP dibatasi tenggat waktu sehingga FFP nya tidak rusak. Alhamdulilah… panas Radit turun ke posisi 38, dan transfusi FFP dilanjutkan… hingga selesai. Belum selesai ketegangan FFP.. dokter Deni mengingatkan untuk mencari trombocit lagi 7 kantong. Mengapa kondisi anakku belum pulih.. itu saja yang aku pertanyakan… walaupun semua tindakantindakan tampaknya baik-baik saja. Malam ini tampaknya tidur tenang adalah hal yang tidak diperbolehkan, karena perut Radit masih melilit dan sakit menjalar di sisi bawah perut Radit. Aku lihat perut Radit tidak membesar, sehingga kekhawatiranku terhadap pembesaran perut Radit tidak terbukti. “Pak tolong panggilkan dokter pak… cepat pak.. jangan ngeyel pak…ya…tolong aku sakit sekali Suwer (swear)… tahu suwer nggak pak…kalau nggak tahu suwer.... sumpah… sumpah sakit sekali pak…” kata Radit sambil mengacungkan dua jari tanda Swear “Ya dik aku panggilkan dokter…” akupun berpura-pura keluar.. mencari dokter “Sebentar ya dik… dokternya baru keliling” aku berbohong kepada Radit “Coba cari di ruangaan jaga itu pak… tolllong pak.. sakit pak” kata Radit sambil menunjuk-nunjuk ruangan dokter Jaga. Saat akan berpura-pura keluar.. para dokter co ass ternyata pas datang. “ini dokternya dek.. Radit” kataku mantab. Akan tetapi Radit tampak kecewa ternyata yang datang bukan dokter yang ia inginkan. Saking marahnya Radit.. saat termometer akan dipasangkan di ketiak Radit.. ia menolakknya dengan kasar.
P a g e | 104
“Apa lagi ini….. aku nggak mau…aku nggak mau.. termometer.. paling panas… 38 lagi……” kata Radit tampak frustrasi dengan panasnya. Tidak biasanya Radit ngamuk demikian mungkin karena sakitnya sehingga ia hilang kontrol semuanya. “Nih…nih…sudah nih… tak banting nanti” kata Radit.. sekalilagi kata ini mengingatkan pada kata-kataku sendiri saat marah terhadap Radit. “E.. jangan gitu ya dik.. “ kata co ass yang bertugas. “Bapak itu ngeyel…enak oom yang jaga kalau dengan oom setiap aku minta dokter selalu ada..” kata Radit. Oom biasa menjagai Radit pagi.. sehingga saat visitee dokter banyak di waktu ini sehingga tampak dokter selalu ada di samping Radit sementara aku jaga malem… jarang dokter yang menengok kecuali dokter jaga. Malam ini Radit tidak demam sehingga akupun dapat tertidur dalam duduk di samping Radit. Radit sudah acuh dengan acara TV yang aku hidupkan sepanjang hari.. akupun sudah tidak dapat menikmati acara TV walaupun saat aku lihat kadang bisa cukup membantu menghilangkan suntuk. Duduk sendirian.. merupakan hal yang entah mengapa aku cukup trauma dengan keheningan. Gigi Radit sebelum tidur tadi sudah aku bersihkan. Darah yang mengering di setiap giginya sudah aku bersihkan. Sehingga gigi Radit sudah cukup bersih dan putih kembali, di samping aku suruh Radit kumur dengan betadine untuk menghindari infeksi dari mulutnya. Minum Radit cukup banyak sehingga menumbuhkan rasa optimisku muncul. Temgah malam.. aku terkejut dengan tangisan Radit, dan meminta untuk ketemu ibunya.
P a g e | 105
“Pak tolong pak… panggilkan ibu pak… pak… mohon ampun pak.. tolong panggilkan ibu sebentaaaaar aja… sekarang pak” kata Radit dalam ketidak sabaran. “Pak tolong .. please tolllong pak” kata Radit sambil menyembahnyembah bapaknya. Tak kuasa menahan tangis akupun segera berlari ke pentu bangsal isolasi, supaya titik air di sudut mataku tidak terlihat oleh Radit. Sikap Radit yang tidak biasanya membuat aku sulit bernafas menahan tangis, akan tetapi syukurlah titik air di sudut mataku tidak terjatuh. Tampak ia bangun dari mimpi mungkin mimpi jalan-jalan dengan ibunya. Dan saat terbangun dia menyadari masih di rumah sakit penuh dengan lubang luka bekas infus dan cek darah. Beberapa hari terakhir Radit apabila bangun dari tidur pasti bertanya…. Dimana aku …. Nampak bahwa kerinduan akan aktifitas normal menjadi impiannya setiap hari. Aku melihat .. jam menunjukkan jam 02.15 menit tengah malam… pasti pintu Estella telah dikunci. Akupun segera bertanya kepada suster jaga.. untuk bertemu penanggung jawab yang dapat membuka kunci Estella. “Wah itu dibawa satpam pak.. dan satpam biasanya jalan kalau malam begini” kata suster dalam kemalasannya karena waktu suster tidur aku ganggu. “Ya sudah aku cari saja”.. kataku agak jengkel “ada apa to pak” tanya suter membetulkan tempat tidurnya. “Anak saya pengen ketemu ibunya”.. kataku agak ketus “Lha ibunya kok tidak nungguin to pak” kata suster membuatku agak emosi. Ibunya bukan tidak mau menunggu anaknya, akan tetapi istriku tidak tega melihat kondisi Radit yang semakin hari semakin kurus tanpa daya. Sebagai ibu tentu tidak sampai hati melihat anaknya yang dulu gagah tinggi, paling tinggi di antara P a g e | 106
teman-temannya, manja, dan dimanjakan istri saya..pintar…lebih pintar dari kakaknya waktu seumur dia… tiba-tiba harus tergolek tanpa daya.. semakin kurus.. tanpa masa depan.. karena sakitnya yang mungkin bisa bertahun-tahun dideritanya.. mana bisa tahan. Dari bangun pagi.. Radit tidak pernah jauh dari ibunya.. hingga tidurpun masih satu ranjang dengan ibunya.. jadi hampir 24 jam Radit sangat dekat dengan ibunya.. ibu mana yang bisa tahan melihat kondisi anaknya dalam waktu belum sampai 1 bulan sudah berubah drastis. Tergolek, lunglai, kesakitan, penuh airmata… tidak dapat berkomunikasi dengan lancar…. Akupun berlari ke bawah untuk minta informasi kunci di bangsal bawah. Beruntung suster di bawah sangat baik dan memberikan kunci untuk dibuka… Istriku sudah menunggu dalam mata yang sembab.. kurang tidur.. menangis setiap hari… menahan beban kerinduan pada anaknya… berharap kesembuhan.. tidak lepas dari doa permohonan kesembuhan setiap detiknya. “Radit pengen banget ketemu Mami …” aku tak kuasa menahan haru… walaupun aku sembunyikan dalam-dalam. Istriku langsung berlari ke bangsal isolasi, diikuti ibu mertuaku yang setia menunggu. Aku menunggu di luar..saat istriku bersama Radit.. aku tidak tahu apa yang diomongkan anakku kepada ibunya. Aku khawatir Radit mengatakan hal yang tidak-tidak pada ibunya.. dan terbukti.. ibunya menangis terus setelah malam itu. Istriku tidak mengatakan apa-apa padaku…tentang pertemuan malam itu dengan Radit.. hanya menangis kalau ingat pertemuan malam itu. Akupun berusaha tidak bertanya lebih lanjut.. karena beban batinkupun sudah terlalu penuh dengan luapan beban berat yang sudah mulai tumpah tidak kuasa aku tahan. Mungkin istriku menangis saat bertemu dengan Radit.. setelah pertemuan malam itu Radit tidak pernah menanyakan ibunya. Radit tidak mau melihat ibunya menangis.. apalagi bapaknya..
P a g e | 107
sehingga aku berusaha tegar terhadap setiap kejadian yang tidak pasti tentang kesehatan Radit. Setiap detik perubahan cepat terjadi… optimis.. pesimis.. optimis .. pesimis… aku lelah..sekali.. seperti menghitung berhentinya suara tokek di rumah…. Tokek… tokeeek… tok……kek….. tok……..kek…………..tok…… Saat telpon dengan ibunya tampaknya Radit sudah bosan dengan bapaknya. Kata istriku Radit pernah melihat bapak menangis.. dan itu dikatakan Radit pada istriku. Radit tidak bosan dengan bapaknya.. tapi kalau pernah lihat penunggunya menangis, rasa penolakannya akan tinggi. Aku baru sadar..mungkin saat aku melayani Radit.. tanpa sengaja aku menangis… dan itu yang membuat Radit sering marah-marah terhadap bapaknya. Tampaknya Radit menghukum bapaknya saat setelah Shock Sepsis kemarin. Betul-betul Radit “ngerjain’ bapaknya.. Seingatku aku belum pernah menangis di depan Radit.. kecuali saat aku mandi.. karena beban yang cukup berat akupun menangis..mungkin mata sembabku itu yang diketahui Radit.
Suster yang selalu terharu Saat memasukkan obat ke infus Radit, terkadang Radit kesakitan yang amat sangat sehingga secara default Radit akan mengatakan kepada suster “Pelan-pelan ya suster” itu kata yang selalu terucap sebelum memasukkan obat suntik ke infus. Ada dua suster yang sepertinya tidak tahan dengan kondisi Radit. Satu suster bernama Sri dan satunya tidak tahu namanya. “Aku pengen pulang suster.. aku pengen sembuh…” kata Radit.. “Kamu pasti sembuh sayang..” kata suster Sri yang menunggui infus penurun panas habis.
P a g e | 108
“Kenapa aku yang sakit suster…. Aku sudah ngomong sama bapak minta maaf…. minta sakit kepada Allah…waktu dimarahi bapak” kata Radit polos. Tampaknya kata-kata Radit itu menyentuh suster Sri.. aku meliriknya tampak menangis.. mungkin ia tahu kondisi Radit yang tidak ada kabar baik selama ini. “Aku tidak mau merepotkan bapak.. suster” kata-kata Radit kembali menyentuh hati mbak Sri… kali ini sudut matanya sudah menetes air matanya.. tampaknya tidak ingin terlihat Radit dan bapaknya cepat-cepat suster Sri keluar sebentar menyeka air matanya. “Dah dek Radit tidur aja ya…. Biar cepet sembuh” kata suster Sri menyembunyikan rasa harunya. “Iya suster kalau aku tidur.. sakitku hilang suster.. aku pengen tidur lama aja suster biar sakitku hilang” kata Radit polos. Ada rasa pahit di hatiku saat mendengar kata-kata Radit.. aku tidak suka dengan kata-kata itu. “Pak … pijit yang keras pak… jangan ngeyel pak… pijit ya yang keras…” kata Radit menahan sakit “Iya dek… aku pijitin” kataku sambil memijat agak keras kaki-kaki Radit… dan itu menghilangkan sementara sakit yang dideritanya selain di perut sakit yang amat sangat dirasakan di bagian kaki. Aku biasanya memijit dari atas hingga ke bawah kaki Radit.. dan Radit menikmati pijitanku ini. “Gadget android ku mana pak…? Tanya Radit teringat akan Gadgetnya. “Ini dek.. tadi diisi ayat-ayat Al Quran sama oom” kataku menjelaskan Gadgetnya
P a g e | 109
“Bapak baik.. mau membelikan Gadget ya..” Kata Radit memegang dengan susah Gadget 7” Androidnya. “Bapak kan sayang Radit.. janji bapak membelikan Radit Gadget bapak tepati to… kamu suka nggak” tanyaku “Suka pak… nanti kalau aku sembuh .. tolong pasangkan game yang banyak ya pak” kata Radit… membuat rasa optimisku meledak. “Iya nanti kalau kamu sembuh.. mainkan Gadgetmu semaumu..” Kataku berbinar-binar. “Kasian bapak.. bapak kan gak punya uang.. ntar aku ganti dengan tabunganku ya pak” kata Radit sok dewasa. “Nggak papa… Buat Radit kok” kataku sambil memainkan Gadget Radit. Suster Sri, kembali lagi ke bangsal Isolasi Radit sambil membawa sprei pesananku. Karena sprei Radit telah kotor kena pipis dan beraknya. Oom kurang pintar dalam megatur posisi berak dan pipis Radit, sehingga spreinya terkadang kotor sekali, belum lagi baju Radit sering kena noda berak radit. Suster Sri terkadang berlama-lama memandangi aku dalam mengganti baju Radit, mengganti celana Radit, mengganti Sprei, serta mengganti Sarung bantal dan guling Radit. Entah apa yang dipikirkan, aku tidak tahu karena perhatianku tercurah penuh pada Radit. Terkadang Radit meminta sarung guling model tertentu dari rumah, dan kemudian dia tarik dan memegang lipatan tali sarung guling tersebut. “Pak aku suka memegang bagian guling ini lho pak yang ada lipatan-lipatan tali nya” kata Radit mempraktikan kesukaannya.
P a g e | 110
“Bapak coba.. “ kataku sambil melihat jari Radit yang masuk di antara lipatan-lipatan tali guling. Ini kebiasaan Radit memeluk gulingnya.. makanya saat awal di bangsal Estella ini .. Radit tersiksa jika tidur tanpa guling. Saat gulingnya datang.. Radit sangat bahagia.. dan berbinar-binar matanya menyambut guling kesayangannya. “Wah Radit dekat sama bapaknya ya dari pada ibunya” kata Suster Sri.. kepada kami. Aku hanya diam saja… mungkin suster ini tidak tahu permasalahnnya sehingga ia berkata demikian. Aku hanya tersenyum saja menjawabnya, biar dia artikan sendiri apa arti senyum bapaknya Radit ini. Ketakutan Radit terhadap suntik sudah hilang sama sekali, hal ini terhlihat saat pengambilan darah terakhir untuk pemeriksaan darahnya. Aku menjadi cukup bangga karena Radit sudah tidak histeris lagi saat disuntik. Mungkin deraan ketakutan-ketakutan tindakan medik sudah menjadi hal yang biasa, sehingga rasa ketakutan Radit sudah mulai berkurang. Teriakan Radit hanya ingin bapaknya mencubit keras saat jarum masuk ke pembuluh darahnya… tidak ada air mata lagi. Tidur Radit cukup banyak… aku menduga karena AC ruangan yang cukup nyaman mebuat Radit cukup enak untuk tidur. Walaupun demikian Sakit perutnya Radit masih membuat aku risau.. sampai saat prof Taryo Visitee aku ungkapkan. “Kok masih sakit perut terus ya Prof” tanyaku polos “Nggak papa pak.. nanti coba dilihat anusnya merah tidak” Kata prof Taryo. “Baik prof nanti saya lihat” kataku. Prof Taryo pun mendiskusikan dengan teamnya di ruangan dekat Isolasi. Terus terang dengan team terbaru dari Prof Taryo ini aku kurang begitu suka, di
P a g e | 111
samping mereka orang baru semua.. dokter yang lama kenapa tidak dilibatkan. Mungkin dari laporan-laporan yang terkumpul mungkin bisa di analisa, sayangnya tidak ada koordinasi tugas pergantian tampaknya. Beberapa hal yang sering ditanyakan adalah… masih panas pak… berapa kali berak pak.. minumnya bagaimana… kapan terakhir kemo pak… sudah transfusi apa saja.. lha ini kan pertanyaan-pertanyaan bodoh para dokter baru tersebut. Semua kan sudah ada di laporan, tampak kemalasan membaca laporan dokter-doter pengganti ini, maunya semua ditanyakan ke pasiennya. Kalau pasiennya paham tidak apa-apa.. banyak pasien di sini adalah orang-orang tidak mampu dan kurang terpelajar. Terkadang istilah Transfusi, TC, PRC, FFP, MTX, BMP dan lain-lain tentu tidak tahu. Dokter-dokter di Estella terkadang masuk dengan seenaknya tanpa menggunakan penutup maskter.. baju steril… dengan enaknya pegang pasien ini itu.. tanpa memerdulikan kemungkinan infeksi dapat terjadi karena kecerobohannya ini. Pernah Radit teriak-teriak minta tolong dokter.. saat dokter mengamati dari balik kaca Isolasi… kalau tidak salah dokter Pujo… dokter ini tanpa menggunakan baju steril, penutup muka, masuk dengan terpaksa karena dipaksa anakku untuk masuk. Contoh yang baik adalah Prof Taryo yang selalu konsisten dengan kebersihan kerapian dan ketegasannya. Sayang….. mungkin prof Taryo dengan disiplinnya ini tentu banyak yang menentang. Menurutku… di Estella ini kalau bisa lebih ketat lagi supaya menghindari infeksi yang mudah mengenai anak-anak leukemia ini.
Malam Itu Malam ini aku sangat lelah sekali.. istriku tahu itu.. kemudian memijiti dan ‘kerokan’. Aku belum pernah merasakan nikmatnya “kerokan” karena cenderung sakit dan kulit rasanya mau
P a g e | 112
mengelupas. Malam itu kerokan istriku betul-betul enak sekali, belum pernah aku dapat menikmati kerokan selama ini kecuali malam ini. Saat istrirahat aku digantikan oom nya Radit, sehingga aku dapat tidur sebentar mempersiapkan malam panjang begadang menunggui Radit. Bantal tidur yang melingkar di leher telah dibelikan oleh istriku, karena setiap malam istriku melihat aku tertidur di kursi samping Radit. Sudah hampir sebulan aku tidak tidur, menunggui jagoanku Raditya Rizki Duanda…9 tahun baru kelas 3 SD…yang terkena leukemia di bangsal khusus kanker anak Estella di Sardjito. Akupun bersiap-siap ke atas menuju ke ruang Isolasi Radit. Berat sekali seperti biasa hari ini seperti kemarin, kemarin dan kemarin.. hampir satu bulan… berat seperti berangkat ke medan perang. Jenuh sekali seperti hari-hari kemarin…. Saat di atas.. oom nya Radit sedang asyik dengan laptopnya.. Radit tampak tertidur pulas. Akupun bersiap untuk memakai baju Steril.. dan penutup muka… Suster terharu (istilahku pada suster yang sering menangis melihat kondisi Radit).. masuk dan nampak menyuntikkan sesuatu ke infus Radit.. mungkin Antibiotik yang baru aja aku beli kemarin Cefepime pengganti Meropenem yang sudah tidak ampuh bagi infeksi anakku. Aku menunggu pergantian jaga dengan oom nya Radit, saat membereskan laptop kerjaannya. Saat itu oom nya Radit lari kembali ke Suster yang menyuntikkan Cefepime “Suster itu Radit kenapa suster” kata Oom nya Radit… Suster melapor ke tempat Dokter jaga.. dan beberapa dokter jaga masuk ke ruangan Isolasi. “Mas Radit kenapa mas…. ‘Kata oom sambil menangis. Akupun segera masuk ke Isolasi.. aku lihat Radit sudah susah mengambil nafas. Dokterpun membantu Radit dengan bantuan pernafasan. P a g e | 113
“Tolong pak ke sini pak… cepat.. Lha Ilah ha Ilallah… Lha Ilah ha Ilallah.. Lha Ilah ha Ilallah “ kata dokter yang berjilbab. Nafas Radit satu satu… tidak seperti biasa. Dokter masih saja menekan dada Radit serta membantu pernafasan Radit. Tampak dokter Co Ass kebingungan menghapalkan prosedur menangani nafas buatan. Dokter jaga juga tampak panik. “Lha Illah Ha Illallah..la ilah ha illalah…” kataku mencoba tidak panik. Aku berharap nafas Radit kembali ke seperti sedia kala.. akan tetapi dokter masih saja memompa dada Radit…. Aku lihat dokter memeriksa mata Radit…Oh My God.. pupil Radit tidak bereaksi dengan sinar senter Dokter … “Lha ilah ha ilaallah… lha illah ha ilalllah” aku melihat dokter Jilbab berusaha membantu pernafasan Radit…. Dada yang kurus kering.. iga terlihat jelas ditekan berulang-ulang oleh dokter…. “Pak… bisa kita ketemu sebentar pak” kata Dokter lain yang menangani Radit. Aku sudah menduga tampaknya dokter tidak berhasil menyelamatkan Radit. “Pak Adik sudah jalan pak” kata dokter. Akupun tidak dapat berkata-kata lagi.. kecuali diam…. Lammaaaa sekali… dan… “Dok… bisa minta tolong.. beritahu istri saya di lorong Estella dok” kataku bertahan dalam ketegaran yang rapuh. “Baik..pak” kata dokter Akupun masuk kembali ke ruangan Radit.. Radit tampak sudah “tertidur pulas” di sana… Oh My God… anakku sudah jalan… Wajah kurus kering, tulang dada yang berbaris rapi .. menyambutku… tenang dalam tidur … Aku cium Radit berkalikali… ada bau wangi di tubuh Radit… aku tidak habis pikir.. Radit sudah berhari-hari tidak aku mandiin.. wangi tubuh Radit masih
P a g e | 114
aku rasakan. Dulu tubuhmu padat berisi, tinggi, gemuk, pipimu penuh… pintar… sopan…manja.. penakut.. pemarah… yah… itu hanya bayangan… sekilas. Aku cium keningnya.. aku belai rambut Radit.. yang tampak tersenyum kepadaku. Rontok rambut Radit tidak aku perhatikan. “Radit…ini bapak …” kataku lirih. Oom nya Radit menangis di belakangku.. “Sorry mas……..” sambil menangis di kakiku. “Pak…saya tidak menemukan istri bapak di bawah” kata Dokter “Baik saya yang akan beritahu istri saya” kataku tegar dalam kehampaan. Rasa berat kakiku aku angkat satu persatu.. meninggalkan Radit sendirian ditemani suster terharu…keluar dari Estella seperti tidak sanggup aku. Biasanya pintu dengan mudah aku buka.. ini berat rasanya.. Bayangan Radit meminta pulang dalam tangis.. mengisyaratkan banyak makna ternyata….. “Maafkan bapak nak… tidak dapat memaknai isyaratmu” kataku dalam hati… Anak tangga aku turuni satu persatu seakan penuh paku yang sudah karatan ribuan tahun… perih berat.. bebanku mengucap kata akhir dari Radit cukup berat aku bawa. Rasanya ingin aku bopong Radit.. dalam tawa.. kembali pulang ke rumah kesayangannya…….. tapi itu tidak terjadi… pahit.. gundah… lesu… lelah… Tuhan.. apa engkau benar-benar ada… mengapa kau berikan kekejaman ini kepada anakku… Anakku tidak tahu apa-apa engkau berikan kesakitan luar biasa… Dalam keputus asaan aku cari tempat rebahan istriku.. tampak istriku terkejut saat aku turun dari Estella. Istriku tampak sudah mulai tidur merebahkan tubuh penatnya lari-lari mencari obat
P a g e | 115
Radit.. mencari bantal buat bapaknya Radit untuk tidur terduduk menunggui anaknya berjuang melawan leukemia… “Mi… Mami sudah janji ikhlas to..” kata-kataku pertama yang keluar. “Iya kenapa Pi ….Papi” kata istriku dalam belalak mata bertanyatanya. Aku paham istriku masih optimis keadaan Radit akan membaik..sehingga sebenarnya kepergian Radit yang mendadak ini merupakan tamparan halilintar yang cukup keras bagai keluarga saya. Aku berusaha agar Radit sembuh.. keutuhan keluarga menjadi hal yang utama kesembuhan Radit… tapi ternyata.. semua sia-sia… aku ingat botol minyak Tawon kesayangan Radit aku pecahkan menjadi 3 bagian waktu itu.. menandakan Radit akan segera pamit kepada Aku bapaknya, ibunya, dan kakaknya. Aku ingat…. Kursi makan di rumah berjumlah 4…. Hari-hari terkahir rusak karena keropos satu…. Itu pertanda alam yang mengisyaratkan duka bagi keluarga kecilku. “Radit sudah meninggalkan kita mi” kataku serak hampir tanpa suara…. Membuat histeris istriku. Beberapa keluarga lain yang tertidur di samping tempat kami, bangun dan mencoba menenangkan istriku. Istriku pingsan… dalam tangis histeris meratapi kepergian Radit yang mendadak… dalam optimisme sembuh Radit, dan kami sekeluarga. “Radit sembuh… terus pulang…” Itu kredo yang Radit hapalkan karangan bapaknya. Waktu itu Radit selalu mengatakan; “ Pak pengen pulang…” sambil menangis… aku tidak suka kata pulang .. makanya aku tambahi kata sembuh… Aku antarkan Radit dalam balutan selimut cokelat muda, ke arah Forensik untuk dimandikan. Aku antar pelan-pelan.. berjalan menuju ke bagian pemandian jenazah.
P a g e | 116
Ruangan dingin.. dingin sekali… Radit sudah telanjang.. Oh My God.. anakku .. darah dagingku .. kurus kering dalam ketelanjangan dingin. Aku mandiin untuk terakhir kali… aku ingat.. Radit suka dimandiin bapaknya.. Semenjak Bayi.. hingga Radit SD kelas 3 Ini masih suka aku mandiin. “Akhirnya.. kamu aku mandiin juga untuk terakhir kali Radit” kataku mencium kening Radit. Aku tidak kuasa untuk tidak menangis.. akhirnya aku tumpahkan timbunan air mata yang aku tahan selama ini di depan jenazah Radit.. mungkin bercampur dengan air mandi terakhir Radit.. aku tumpahkan semua.. saat aku sendiri ditemani pengurus jenazah rumah sakit. “Sudah selesai nak…”
Requim Raditya terkena Leukemia jenis AML Acute Myelogenous Leukemia atau AML jenis M1, diindikasikan terjadi pendarahan di otaknya sehingga kesulitan memberikan perintah untuk bernafas. Pendarahan ini disebut dengan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Darah Radit sudah tidak dapat membeku dengan sempurna, walaupun sudah diberi transfusi darah FFP (Fresh Frozen Plasma) dengan intens. Tampaknya suhu tubuh Radit yang tinggi mengakibatkan tidak efektifnya pembekuan darahnya. Infeksi yang mengantarkan Radit meninggalkan kami. “Radit pengen pulang pak” Kata-kata itu yang setiap hari aku dengar dari mulut Radit sambil menangis pilu..……… aku selalu ingat ekspresi Radit saat mengatakan ini… dan ingin aku hilangkan dari benakku tapi sampai saat ini belum bisa.
P a g e | 117
“Sekarang kamu sudah betul-betul pulang dik..” kataku saat tubuh Radit aku bawa ke rumah. Akhirnya Radit pulang .. pulang ke rumah kesayangannya…
Cita-cita Radit menjadi Pilot.. berakhir di sini….
“Bapak tidak suka kamu menjadi Pilot Dik sebenarnya.. bapak ingin kamu menjadi ilmuwan atau tukang insinyur seperti Oom mu… itu yang bapak inginkan sebenarnya, bapak sering terbang ke luar kota.. akan tetapi bapak sebenarnya tidak suka terbang… itulah mengapa bapak tidak suka kamu jadi pilot. Bapak tidak nyaman terbang dengan pesawat… sudah beratus-ratus kali bapak mencoba memahami cita-citamu saat bapak tugas terbang ke luar kota… tapi terakhir kembali aku katakan bapak tidak suka kamu menjadi Pilot…”
P a g e | 118
P a g e | 119
Ini adalah catatan kondisi Radit dari hari ke hari saat awal masuk hingga tanggal 23/02/2012 saat kemoterapi tahap pertama selesai. Tampak lekosit Radit yang begitu tinggi saat awal masuk yaitu 177.200, dan puncaknya tanggal 15/02/2012 mencapai 235.000, padahal nilai normalnya adalah antara 4.000 – 10.000.
P a g e | 120