LATARBELAKANG
Pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2.
Menurut Prof Dr.H. Zainuddin Ali.MA Pemilihan umum adalah salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa Selepas rezim Orde Baru, Pemilu dengan segera diyakini oleh banyak kalangan di indonesia bahwa pemilihan umum merupakan sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Karena demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan membuat pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan warga Negara dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk pemberantasan KKN.
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
Salah satu parameter pemilu yang demokratis adalah dengan adanya komponen pemilih yang semakin plural seiring dengan semakin kompleknya pemilu. Ini artinya pemilih adalah pendukung utama yang sangat penting dalam proses pemilu yang demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap pemilih dalam pemilihan umum tidak akan terlepas dari latar belakang politis maupun sosiologis pada saat itu, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan mereka, inilah yang disebut perilaku pemilih.
Dinamika prilaku pemilih sangat kompleks dalam setiap pemilihan umum. Apalagi Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu lebih dari lima kali. hal ini dipengaruhi oleh pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tungkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum. Tingkat pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance.
Sehingga, tujuan dari diadakanya pemilihan umum untuk mewujudkan demokratisasi, mewujudkan hak-hak rakyat dan mewujudkan partisipasi rakyat dalam politik untuk melakukan pendidikan dan pembangunan politik tidak akan pernah tercapai dengan baik[3].
Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas ( status sosial ), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan (Gaffar, Affan, 1992 : 43 ).
Kelemahan mazhab ini antara lain;
a.Sulitnya mengukur indikator secara tetap tentang kelas dan tingkat pendidikan karena kemungkinan konsep kelas dan pendidikan berbeda antara Negara satu dengan lainnya;
b.Norma sosial tidak menjamin seseorang menentukan pilihannya tidak akan menyimpang.
Mazhab Michigan menekankan pada faktor psikologis pemilih artinya penentuan pemilihan masyarakat banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya yang merupakan akibat dari proses sosialisasi politik. Sikap dan perilaku pemilih ditentukan oleh idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan dan kehendak hati. 1.
Karakteristik pemilih
1.1.Terdapat beberapa daerah/wilayah yang merupakan kumpulan komunitas masyarakat yang terbentuk atas dasar sistim kekerabatan dan paguyuban berdasarkan keturunan (
gemeinschaft by blood
), dan yang menjadi pemuka masyarakat tersebut berasal dari keluarga / kerabat asli keturunan dari orang yang dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka karena ketokohannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri dan sikapnya terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan adanya dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku serta orientasi warga bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Paternalisme sikap dan perilaku warga masyarakat secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya tidak pernah berubah, meskipun terdapat berbagai perubahan
dalam kondisi sosial ekonomi, namun hal tersebut tidak menjadi faktor yang mempengaruhi adanya perubahan sosial budaya masyarakat setempat. Kecenderungan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya, terbatas pada adanya sistem ide atau gagasan dari pemuka masyarakat untuk memodifikasi sistem sosial dan sistem budaya yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan dinamika masyarakat. Faktor ini menjadi kendala bagi kandidat atau calon legislatif untuk menerobos masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut dalam rangka sosialisasi atau sekedar silaturahmi. Jika calon legislatif berhasil masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut, hanya sebatas etika pergaulan masyarakat yaitu menerima setiap tamu yang bersilaturahmi, tetapi tidak akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kandidat/calon legislatif yang bersangkutan. 1.2.
Ikatan primordialisme keagamaan dan etnis menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatife. Jika seorang kandidat memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantong-kantong basis massa yang ditandai dengan adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu.
1.3.Komunitas masyarakat yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional, pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap
ambivale
n, berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian
diperlukan adanya kandidat / calon yang memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis ( memiliki kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu mempengaruhi sikap dan orientasi komunitas masyarakat tersebut), atau popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut.
2.Kandidat yang diharapkan
Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok pemilih. Seberapa besar syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ; kapabilitas intelektual, kapabilitas kepemimpinan, kapabilitas etika dan moral. Kejelasan tentang visi dan misi serta program yang disampaikan kandidat, apakah pemilih memahami akan visi dan misi dan program yang disampaikan/ dilakukan seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak atau tidak. Jika hal tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat, maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan orientasinya ke kandidat lain.
Isu Strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan dijawab oleh seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri masih terdapat pemilih yang emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri.
Fera Hariani Nasution :Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Secara Langsung Di Kabupaten Labuhan Batu(Studi Kasus : di Kelurahan Bakaran Batu, Kabupaten Labuhan Batu) 2009.USU Repository © 2009
Pemilih dalam hal ini dapat berupa konsituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstiuen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik dan seorang pemimpin.20Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pilkada secara langsung. Pemberian suara atau vottingsecara umum dapat diartikan sebagai; "sebagai sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan ikut menentukan konsnsus diantara anggota kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil".Adapun perilaku pemilih menurut Surbakti adalah : "Akivitas pemberian suara oleh individu yang bekaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote)didalam suatu pemilihan umum (Pilkada secara langsung )Bila votersmemutuskan untuk memilih (to vote) maka votersakan memilih atau mendukung kandidat tertentu".Pemberian suara dalam Pilkada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat dalam memilih pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdpat loyalitaspemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya Ibid., hal 105.Gosnel F Horald. Log.cit. hal 32Fera Hariani Nasution :Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Secara Langsung Di Kabupaten Labuhan BatuStudi Kasus : di Kelurahan Bakaran Batu, Kabupaten Labuhan Batu)2009.USU Repository 2009
kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal Serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.Perilaku pemilih juga sarat dengani deologyantara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideology yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokkan antara ideology yang dibawa kontestan. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi sama dibawa dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka.Perilaku pemilih dapat dianalisis dengan tiga pendekatan yaitu :
1)Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosioligis sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di Amerika dan pendidikan Eropa. Karena itu, flananngan menyebutnya sebagai mode l sosiologi po litik Eropa. David
Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai social determinism approach Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan- pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dsb) dan karekteristik atau latar belakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin,umur dsb) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pendek kata, pengelompokan sosial seperti umur (tua muda perempuan);agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi
-
organisasi keagamaan, organisasi organisasi frofesi; maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan,ataupun kelompok kelompok kecil lainnya., merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok kelompok inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
2)Pendekatan Psikologis
Pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari Eropa Barat, pendekatan Psikologis merupakan fenomena Amerika serikat karena dikembangkan depenuhnya oleh Amerika Serikat melalui Survey Research Centre di Universitas Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini juga disebut sebagai Mazhab Michigan . Pelopor utama pendekatan ini adalah Angust Campbell.Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Variabel -variabel itu tidak dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang. Penganut pendekatan ini menjelaskan sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis
23
Muhammad Asfar.
Pemilu dan Perilaku Memilih 1955
-
2004 .
Pustaka Eureka.
Fera Hariani Nasution :
Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Secara Langsung Di
Kabupaten Labuhan Batu
(Studi Kasus : di Kelurahan Bakaran Batu, Kabupaten Labuhan Batu)
, 2
009.
USU Repository
©
2009
menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan
emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu
-
isu dan orientasi
terhada
p kandidat.
3)
Pendekatan Rasional
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh
ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya
analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Apabila s
ecara
ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos
sekecil
-
kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar
-
besarnya, maka
dalam perilaku politikpun maka masyarakat akan dapat bertindak secara rasional,
yakni memberikan suara k
e OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan yang
sebesar
-
besarnya dan menekan kerugian.
1.5.3.1
Orientasi Pemilih
24
1.
Orientasi Policy
-
Problem Solving
Ketika pemilih menilai seorang kontestan dari kacamata "policy
-problem-
solving" yang terpenting bagi mereka adala
h sejauh mana kontestan mampu
menawarkan program kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada. pemilih
akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kontestan yang
memiliki kepekaan terhadap masalah nasional (daerah) dan kejelasan
-
kejela
san
2006, hal 137
-144
Fera Hariani Nasution :
Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Secara Langsung Di
Kabupaten Labuhan Batu
(Studi Kasus : di Kelurahan Bakaran Batu, Kabupaten Labuhan Batu)
, 2
009.
USU Repository
©
2009
program kerja partai
-
politik atau kontestan pemilu yang arah kebijakannya tidak
jelas akan cenderung tidak dipilih.
2.
Orientasi Ideologi
Pemilih yang cenderung mementingkan ideology suatu partai atau
kontestan, akan mementingkan ikatan "ideologi" suatu
partai atau kontestan, akan
menekankan aspek
-
aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, norma,
emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kontestan pemilu,
pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kontest
an
tersebut.
1.5.3.2
Jenis
-
Jenis Pemilih
1)
Pemilih Rasional
Pemilih jutamakan kemampuaenis ini memiliki orientasi yang tinggi
terhadap
policy-Problem-Solving
dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi.
Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai p
olitik atau calon
peserta pemilu dengan program kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut
melalui kinerja partai atau kontestan dimasa lampau, dan tawaran program yang
ditawarkan sang calon atau partai politik dalam menyelesaikan berbagai
permasalaha
n yang sedang terjadi.
Pemilih jenis ini memiliki cirri khas yang tidak begitu mementingka n
ikatan Ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Hal yang
24
Agung Wibawanto.
Menangkan Hati dan Pikiran Rakyat.
Yogyakarta:
Fera Hariani Nasution :
Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Secara Langsung Di
Kabupaten Labuhan Batu
(Studi Kasus : di Kelurahan Bakaran Batu, Kabupaten Labuhan Batu)
, 2
009.
USU Repository
©
2009
terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan
oleh
sebuah partai atau seoranng kontestan pemilu.
2)
Pemilih Kritis
Proses untuk menjadi jenis pemilih ini bisa terjadi melalui 2 hal yaitu
pertama
, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk
menentukan kepada partai atau kontestan pemilu
mana mereka akan berpihak dan
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah
dilakukan.
Kedua,
bisa juga terjadi sebaliknya di mana pemilih tertarik dulu
dengan program kerja yang ditawarkan sebuah paartai/kontestan baru kemudian
m
encoba mamahami nilai
-
nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan
sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka
akan selalu menganalisis kaitan antara sistem partai ideology dengan kebijakan
yang dibuat.
3)
Pemilih Tradis
ional
Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu
yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat
mengutamakan kedekatan sos
ial
-
budaya, nilai, asal
-
usul, paham dan agama
sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik atau kontestan pemilu.
Kebijakan seperti yang berhubungan dengan masalah ekonomi, kesejahteraan,
pendidikan dll, dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jeni
s ini sangat mudah
Pembaruan. 2005
Fera Hariani Nasution :
Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Secara Langsung Di
Kabupaten Labuhan Batu
(Studi Kasus : di Kelurahan Bakaran Batu, Kabupaten Labuhan Batu)
, 2
009.
USU Repository
©
2009
dimobilisasi selama masa kampanye, pemilih jenis ini memiliki loyalitas yang
sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang dikatakan oleh seorang
kontestan pemilu atau partai politik yang merupakan suatu kebenaran yang tidak
bisa ditawa
r lagi.
4)
Pemilih Skepsis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideology yang cukup tinggi dengan
sebuah partai politik atau kontestan pemilu, pemilih ini juga tidak menjadikan
sebuah kebijakan menjadi suatu hal penting. Kalaupun mereka berpartisipasi
dalam pemilu, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka
berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya
sama saja, tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terbagi bagi kondisi
Daerah/Negara.
Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kontestan pemilu nanti harus
bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara pemilih tersebut,
yaitu tentunya melalui kampanye. Karena dengan memahami jenis pemilih yang
ada, kemungkinan untuk memenangkan pemilu me
njadi semakin kuat. Mereka
harus mampu meraih suara dari setiap jenis pemilih yang ada. untuk itu mereka
pada umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh
-
tokoh ataupun hal
-
hal yang
membuat setiap jenis pemilih diatas mau mendukung mereka dalam pemilu
(Pilkada)
nanti.