vii
i
59
Umur Planlet (minggu)
Tinggi Planlet (cm)
Umur Planlet (minggu)
Jumlah Daun (helai)
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
PERBANYAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott.) SECARA IN VITRO DI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI, LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA, BOGOR
Oleh:
Thalya Dwi Merdianty
NIM A1L014059
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
PERBANYAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta (L.) Schott.) SECARA IN VITRO DI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI, LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA, BOGOR
Oleh:
Thalya Dwi Merdianty
NIM A1L014059
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
Oleh:
Thalya Dwi Merdianty
NIM A1L014059
Diterima dan disetujui
Tanggal:
Pembimbing I Pembimbing IIIr. Slamet Rohadi Suparto, M.Agr.St. Tri Handayani, M. Si.NIP. 19590405 198803 1 001 NIP. 19840506 201012 2 001Mengetahui:Wakil Dekan Bidang Akademik,Dr. Ir. Heru Adi Djatmiko, M. P.NIP. 19601108 198601 1 00112 Mei 2017
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Slamet Rohadi Suparto, M.Agr.St. Tri Handayani, M. Si.
NIP. 19590405 198803 1 001 NIP. 19840506 201012 2 001
Mengetahui:
Wakil Dekan Bidang Akademik,
Dr. Ir. Heru Adi Djatmiko, M. P.
NIP. 19601108 198601 1 001
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan yang berjudul "Perbanyakan Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) Secara In Vitro Di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor". Laporan Praktik Kerja Lapangan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kewajiban perkuliahan di Strata Satu (S1) pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, yaitu Praktik Kerja Lapangan.
Penulis menyadari bahwa tersusunnya Laporan Praktik Kerja Lapangan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terimakasih kepada :
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan ijin pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan.
Komisi Praktik Kerja Lapangan Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman.
Ir. Slamet Rohadi Suparto, M.Agr.St. selaku pembimbing pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan.
Tri Handayani, M.Si. Selaku pembimbing lapang Praktik Kerja Lapangan, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan di Laboratorium Botani.
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor yang telah memberikan ijin lokasi Praktik Kerja Lapangan.
Kedua orang tua yang telah memberikan doa dan segenap fasilitas selama menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan.
Teman-teman seperjuangan, Berta Dwi Pratuty, Anisa Imantia Tanzila dan Hilman March Rafidan yang sudah membantu selama pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan di Bogor.
Semua pihak yang telah membantu dalam persiapan pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan.
Penulis meminta maaf apabila dalam laporan ini masih terdapat kesalahan penulisan karena penulis mengakui bahwa pengalaman yang dimiliki masih kurang dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan.
Purwokerto, Mei 2017
Penulis,
Thalya Dwi Merdianty
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Praktik Kerja Lapangan 4
Sasaran Praktik Kerja Lapangan 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Teknik Kultur Jaringan 5
Media Kultur Jaringan 12
Tahap-Tahap Kultur Jaringan 14
Kultur Jaringan Talas 16
METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN 19
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan 19
Materi Praktik Kerja Lapangan 19
Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan 19
HASIL DAN PEMBAHASAN 21
Profil Umum Pusat Penelitian Biologi LIPI 21
Pengenalan Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman 26
Kegiatan Kultur Jaringan Colocasia esculenta (L.) Schott. di Pusat Penelitian Biologi LIPI 29
KESIMPULAN DAN SARAN 45
DAFTAR PUSTAKA 47
LAMPIRAN 50
RIWAYAT HIDUP 59
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Komposisi Medium Talas 30
Diagram Kode Subkultur Talas 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Kantor Pusat Penelitian Biologi, Bidang Botani dan Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia 23
Ruang preparasi Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman 27
Ruang Pembuatan Media Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman 28
Ruang pertumbuhan Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman 29
Alat-alat pembuatan media kultur (a) gelas ukur (b) timbangan analitik (c) magnetic stirrer (d) water destilation (e) pH meter 32
Proses sterilisasi ruang 34
(a) autoclave manual (b) bak pencucian 36
(a) Kegiatan multiplikasi talas di dalam LAF (b) Hasil kultur talas sehat (c) Hasil kultur talas yang terkontaminasi jamur 39
(a) Eksplan talas hasil multiplikasi, (b) Planlet talas berumur 2 minggu, (c) Planlet talas berumur 3 minggu, (d) Hasil multiplikasi tampak atas, (e) Hasil multiplikasi tampak samping, (f) hasil multiplikasi tampak bawah 40
Grafik Pertumbuhan Kultur Talas 41
Grafik Pertumbuhan Daun Kultur Talas 41
Bahan-bahan untuk aklimatisasi (a)Campuran media, (b)Pupuk daun 42
(a) Planlet talas yang akan di aklimatisasi, (b) Planlet yang sudah ditanam, (c) Penutupan dengan sungkup plastik 43
(a) Tanaman talas setelah 1 minggu aklimatisasi, (b) Proses panen talas, (c) Hasil panen talas 44
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Data Pengamatan Pertumbuhan talas minggu pertama 50
Data Pengamatan Pertumbuhan talas minggu kedua 51
Data Pengamatan Pertumbuhan talas minggu ketiga 52
Jadwal Harian Praktik Kerja Lapangan 53
Lembar Penilaian Praktik Kerja Lapangan 56
Surat Keterangan Telah Melaksanakan PKL 57
Kelompok Praktik Kerja Lapangan di Pusat Penelitian Biologi, LIPI 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman talas merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki peranan cukup strategis tidak hanya sebagai sumber bahan pangan, dan bahan baku industri tetapi juga untuk pakan ternak. Tanaman talas memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir sebagian besar bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk dikomsumsi manusia. Tanaman talas yang merupakan penghasil karbohidrat berpotensi sebagai substitusi beras.
Kebutuhan karbohidrat meningkat di seluruh dunia, penyediaan karbohidrat dari serealia saja tidak mencukupi, sehingga peranan tanaman penghasil karbohidrat dari umbi-umbian sangat penting khususnya talas. Oleh karena itu talas berperan dalam kaitannya terhadap upaya penyediaan bahan pangan non beras, diversifikasi/penganekaragaman konsumsi pangan lokal, subsitusi gandum/terigu, pengembangan industri pengolahan hasil dan agroindustri serta komoditi strategis sebagai pemasok devisa melalui ekspor.
Talas mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan karena berbagai manfaat dan dapat dibudidayakan dengan mudah sehingga potensi talas ini cukup besar. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemampuan bagian umbi talas dalam hal penyediaan zat gizi bagi tubuh cukup tinggi. Apabila dibandingkan dengan ubi jalar dan ubi kayu, talas mempunyai keunggulan dalam kandungan protein, vitamin B1, unsur P dan Fe yang lebih tinggi dan kadar lemak yang rendah mulai dari bagian daun hingga ke umbinya. Daunnya mengandung protein 23% berat kering serta kaya akan unsur Ca, P, Fe, vitamin A, riboflavin dan niasin (Richana, 2012). Pengolahan talas saat ini kebanyakan memanfaatkan umbi segar yang dijadikan berbagai hasil olahan, diantaranya yang paling populer adalah keripik talas.
Perbanyakan tanaman talas yang umum dilakukan petani adalah secara vegetatif yaitu dengan menggunakan bibit yang berasal dari anak-anakan yang tumbuh di sekitar umbi pokok. Perbanyakan secara vegetatif juga dapat dilakukan dengan menggunakan sulur atau dengan menggunakan pangkal umbi yang berada di bawah pelepah daun dengan cara mengikutsertakan sebagian tangkai daunnya (Lingga, 1990). Namun, tipe perbanyakan tanaman ini masih terbatas dan belum bisa menghasilkan tanaman yang seragam seperti yang diharapkan oleh petani pada umumnya.
Masalah muncul akibat terbatasnya ketersediaan bahan tanam talas yang seragam. Untuk mengatasi masalah tersebut, perbanyakan in vitro diadopsi dengan tujuan membuat bahan tanam talas tersedia bagi petani. Dengan kultur in vitro, dapat dihasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang relatif singkat.
Perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan budidaya tanaman yang dilakukan dalam botol dengan media khusus dan menghendaki kondisi aseptik dan bebas dari kontaminasi mikroba. Dengan perlakuan yang aseptis tersebut diharapkan in vitro dapat menghasilkan bibit tanaman yang sehat. Sistem perbanyakan dengan in vitro dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang singkat (Wattimena, 2011). Beberapa kelebihan lain penggunaan sistem perbanyakan in vitro dibandingkan dengan perbanyakan konvensional adalah :
Tidak tergantung pada musim karena lingkungan tumbuh in vitro terkendali.
Bahan tanaman yang digunakan sedikit sehingga tidak merusak tanaman induk.
Tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit meskipun dari induk yang mengandung patogen internal.
Tidak membutuhkan tempat yang luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak.
Melalui perbanyakan konvensional sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan bibit yang sangat banyak dengan waktu relatif cepat. Dengan demikian, teknologi kultur jaringan telah terbukti dapat digunakan sebagai teknologi pilihan yang sangat menjanjikan untuk pemenuhan kebutuhan bibit tanaman talas yang akan dieksploitasi secara luas. Namun demikian, ada faktor tertentu yang harus diantisipasi, yaitu penyimpangan genetik yang dapat terjadi karena metode in vitro. Untuk itu, perlu dimengerti mekanisme fisiologi apa yang terjadi, faktor apa saja yang menyebabkannya sehingga mutasi dapat dihindarkan (Mariska, 2002).
Banyak hal yang harus dipelajari dan dikuasai untuk melakukan perbanyakan tanaman secara in vitro seperti mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju transportasi, sifat persistensi, daya aktivitas dari berbagai komponenen organik dan anorganik penyusun media tumbuh serta faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur in vitro. Untuk memecahkan masalah tersebut juga memperluas sumber informasi tentang budidaya jaringan, terutama tanaman talas, maka perlu dilakukan pelatihan langsung perbanyakan tanaman talas secara in vitro seperti yang dilakukan di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Tujuan Praktik Kerja Lapangan
Tujuan dari pelaksanaan Praktik Kerja Lapang ini yaitu:
Mempraktikan dan mendalami kegiatan perbanyakan tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) secara in vitro di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Mengetahui visi, misi, kelembagaan, struktur organisasi dan kegiatan- kegiatan di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Sasaran Praktik Kerja Lapangan
Sasaran dari pelaksanaan Praktik Kerja Lapang ini yaitu:
Diperoleh pengetahuan dan keterampilan mengenai kegiatan perbanyakan tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) secara in vitro di Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Diperoleh pengentahuan visi, misi, kelembagaan, struktur organisasi dan kegiatan-kegiatan melalui penelurusan informasi dari arsip dan pustaka yang tersedia serta wawancara dengan SDM di Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA
Teknik Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan dilakukan dengan sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan tanaman yang disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam medium padat atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. Cara tersebut dapat menjadikan sebagian sel pada permukaan irisan mengalami proliferasi dan memebentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan ke dalam medium diferensiasi yang cocok maka akan terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet (Panjaitan, 2005).
Budidaya in vitro adalah suatu budidaya di atas media dengan nutrisi dalam kondisi yang steril. Ini dapat dikerjakan dengan berbagai cara, misalnya:
Embryo culture
Embryo Culture atau kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara in vitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang lengkap. Embrio culture adalah salah satu teknik kultur jaringan yang pertama kali berhasil. Menurut Nasir (2002), kultur embrio berguna dalam menolong embrio hasil persilangan seksual antara spesies atau genera yang berkerabat jauh yang sering kali gagal karena embrio hibridanya mengalami keguguran. Kultur embrio telah digunakan untuk menghasilkan hibrida untuk beberapa spesies tanaman. Media kultur embrio mencakup garam-garam anorganik, sukrosa, vitamin, asam amino, hormon, dan substansi yang secara nutrisi tidak terjelaskan seperti santan kelapa. Embrio yang lebih muda membutuhkan media yang lebih kompleks dibandingkan dengan embrio yang lebih tua. Perpindahan embrio dari lingkungan normal dalam biji akan mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh kulit biji yang sulit ditembus.
Kultur embrio belum matang yang diambil dari biji memiliki 2 macam aplikasi. Dalam beberapa hal, incompatibilitas antar spesies atau kultivar yang timbul setelah pembentukan embrio akan menyebabkan aborsi embrio. Embrio seperti ini dapat diselamatkan dengan cara mengkulturkan embrio yang belum matang dan menumbuhkannya pada media kultur yang sesuai. Aplikasi lain kultur embrio adalah untuk menyelamatkan embrio yang sudah matang agar tidak mati akibat serangan hama dan penyakit (Sugito, 2004).
Seed culture
Tanaman Angiospermae mengalami proses yang berurutan, yaitu penyerbukan dan pembuahan, menyebabkan terjadinya zigot, embrio dan hasil pembuahan gandanya menghasilkan endosperm. Ini semua menyebabkan terjadinya biji dari bakal biji (ovulum) dan pembentukan buah yang terjadi dari bakal buah (ovarium). Dari hasil tersebut, dimanfaatkan untuk budidaya kultur biji. Kultur biji merupakan teknik kultur dengan eksplan berupa biji atau seeding (Suryowinoto, 1994).
Meristem culture
Meristem adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai sifat selalu membelah. Sel-selnya kecil, inti sel relatif besar, penuh plasma, vakuola –bila ada- kelihatan kecil sekali dan banyak, hingga terlihat seperti busa. Dinding tipis, biasanya masing-masing terdiri dari dinding primitif yang tersusun atas zat pektin atau protopektin. Ada sel-sel biasa yang terangsang menjadi berkeadaan meristematis, atau dinamakan meristematoid, yaitu jaringan nonmeristematis. Bila terangsang, akan menjadi bersifat meristematis atau mempunyai kemampuan kembali bersifat embrionik. Disinilah kunci budidaya in vitro agar dapat merangsang jaringan dewasa yang hidup atau jaringan supaya menjadi meristematis kembali (Pierik, 1982).
Suspension culture dan atau cell culture
Berbagai spesies tanaman dapat diregenerasikan secara in vitro melalui berbagai cara tetapi semuanya memerlukan titik awal. Titik awal dapat berupa apapun baik sel tunggal, jaringan atau bagian organ, maupun potongan diferensiasi jaringan (atau organ) yang disebut eksplan. Kultur yang digunakan untuk tumbuh harus diperhatikan. Ada berbagai jenis kultur tanaman yang berguna untuk berbagai tujuan di antaranya kultur embrio, kultur organ, kultur kalus, dan kultur sel. Dalam kultur sel, massa sel yang disebut kalus merupakan materi yang pertama dibutuhkan. Selanjutnya kalus disuspensikan dalam media cair yang mengandung berbagai nutrisi dan senyawa-senyawa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal yang menyebabkan sel menjadi tidak terdiferensiasi.
Suspensi sel selanjutnya diletakkan di atas shaker (mesin penggoyang/pemutar) yang menyebabkan agregat sel menjadi kumpulan sel-sel kecil dan sel tunggal yang tersebar merata dalam media cair. Sel-sel tersebut akan tumbuh terus sampai salah satu faktor menjadi pembatas menyebabkan pertumbuhan sel lambat. Sebelum hal tersebut terjadi, sel-sel dapat dipindahkan dalam media yang mengandung hormon yang dapat mengaktifkan pertumbuhan spesifik. Misalnya media yang mengandung auksin, dapat mengaktifkan pertumbuhan akar-akar adventif, sedangkan media yang mengandung sitokinin dapat memacu proliferasi tunas aksilar dan tunas adventif dan mengatur diferensiasi. Setelah tanaman berkembang sempurna, selanjutnya dapat dipindahkan ke tanah untuk tumbuh lebih lanjut (Hutami, 2009).
Kultur suspensi sel tanaman pada umumnya digunakan untuk penelitian biokimia dari fisiologi sel, pertumbuhan, metabolisme, fusi protoplas, transformasi dan pada skala besar atau menengah digunakan untuk produksi metabolit sekunder. Untuk tujuan tersebut kultur suspensi ditumbuhkan dalam tabung erlenmeyer yang selalu diaduk dengan mesin shaker dan disubkultur secara teratur dengan interval yang pendek (antara 1-2 minggu) (Schumacher et al. 1994).
Ada beberapa metode kultur suspensi yang telah dikembangkan. George dan Sherington (1984) menetapkan dua tipe utama kultur suspensi, yaitu:
Batch cultures, yaitu sel-sel ditumbuhkan dengan pemberian nutrisi dalam medium dengan volume tertentu sampai tumbuh.
Continuous cultures, yaitu sel ditumbuhkan dan dipelihara di dalam media nutrisi steril yang selalu diganti-ganti.
Anther dan pollen culture
Kultur anther merupakan teknik baru yang telah dikembangkan pada beberapa tanaman untuk mendapatkan galur murni melalui produksi tanaman haploid ganda. Produksi kalus dan embrio somatik dari kultur anther dan pollen telah berhasil dilakukan pada berbagai spesies. Yang menarik adalah produksi embrio haploid, yaitu embrio yang hanya memiliki 1 set dari pasangan kromosom normal. Ini dihasilkan dari jaringan gametofitik pada anther. Jumlah kromosom dapat digandakan kembali dengan pemberian bahan kimia seperti kolkisin, dan tanaman yang dihasilkan akan memiliki pasangan kromosom identik, homozigot (Winarto dan Rachmawati, 2007).
Teknik kultur anther memberi peluang mendapatkan tanaman homozigot murni atau homozigot haploid ganda yang dapat digunakan sebagai tetua persilangan maupun tanaman donor untuk tujuan produksi benih dalam waktu yang lebih singkat (Gosal et al. dalam Sripichitt et al. 2000). Meskipun kultur anther sering digunakan dalam pemuliaan tanaman, namun teknik ini dibatasi oleh rendahnya induksi kalus androgenik dan regenerasi tanaman. Pembelahan cepat pada dinding jaringan anther dapat terjadi, tetapi menghasilkan tanaman yang tidak seragam dalam ploidinya. Sementara kultur mikrospora mempunyai keuntungan dibanding kultur anther karena teknik ini selalu menghasilkan tanaman homozigot dan populasi tanaman yang seragam.
Protoplasts culture
Kultur protoplas merupakan langkah lanjutan dari kultur suspensi sel, dimana dinding sel dari sel-sel yang disuspensikan, dihilangkan dengan menggunakan enzim untuk mencerna selulosa sehingga didapatkan protoplasma, yaitu isi sel yang dikelilingi oleh membran semipermeabel. Dengan penghilangan dinding sel, materi asing dapat dimasukkan, termasuk materi genetik dasar DNA dan RNA, atau memfusikan sel-sel dari spesies-spesies yang sepenuhnya berbeda. Pada tahun terakhir ini protoplas menjadi sangat penting karena merupakan penyedia bahan utama sebagai titik permulaan berbagai teknik budidaya in vitro (Henuhili, 2013).
Budidaya protoplas dapat dipakai untuk cloning maupun untuk menghasilkan varian-varian dari chimaera, hingga mendapatkan soma variation. Hal ini didukung karena protoplas merupakan sel tunggal tanpa dinding, suatu sistem kromosom tunggal, mempunyai waktu pembelahan yang singkat dan mudah diawasi. Tujuan budidaya protoplas adalah menghasilkan sel, kemudian jaringan dan akhirnya suatu plantula yang lengkap berdaun, bertunas dan berakar. Tahap pertama untuk kesuksesan budidaya protoplas menurut Suryowinoto (1996), adalah keberhasilan protoplas untuk membentuk dinding sel baru dan melakukan pembelahan mitosis.
Somatic cross
Hasil fusi protoplas, yang masing-masing berasal dari sel-sel tubuh atau sel somatik, apabila berhasil dengan baik –artinya sitoplasma maupun nuclei dapat melebur menjadi satu- maka hasilnya dinamakan silangan somatik, somatic cross atau somatic hybrid. Publikasi silangan somatik pertama kali di Amerika Serikat maupun di negeri Belanda dan sangat menarik perhatian. Silangan itu dikerjakan antara kentang (Solanum tuberosum) dengan tomat (Solanum lycopersicum). Silangan ini dinamakan pomato. Hasil-hasil silangan somatik tentu akan mengubah pemikiran secara teoritis maupun secara praktis dalam bidang ilmu keturunan (genetika), maupun di bidang pemuliaan (Suryowinoto, 1996).
Pathogen free tissues culture
Morel (83) dalam Suryowinoto (1996) disebutkan telah banyak melakukan cloning pada berbagai silangan anggrek. Pada saat akan mengadakan cloning anggrek Cyibidium, karena merasa sayang memakai eksplantat yang sehat karena harganya mahal, maka diambillah Cyibidium yang terserang hebat oleh suatu penyakit virus. Tunas diambil, disterilisasi, mata-mata tunas dipotong-potong, diambil dan ditanam menurut metode cair yang agitatif. Ternyata setelah menjadi plantula Cyibidium yang dihasilkan semua bebas virus. Sejak itu, banyak penelitian yang ditunjukkan untuk mendapatkan tanaman bebas pathogen melalui budidaya in vitro.
Tanaman bebas virus bisa merupakan bahan induk untuk pemuliaan. Di samping itu, tanaman yang bebas pathogen dapat bergerak bebas melintasi batas-batas internasional (melewati karantina). Oleh karena itu penemuan Morel (83) untuk mendapatkan tanaman bebas virus melalui budidaya in vitro sangat penting. Mulanya teknik ini banyak disebut dengan tanaman bebas pathogen, namun kerap kali tanaman diganggu banyak patogen, hingga bebas patogen berarti bebas dari segala penyakit. Saat ini lebih condong dipakai istilah bebas virus, yang dimaksud adalah bebas dari salah satu virus (Suryowinoto, 1996).
Callus culture
Teknik perbanyakan mikro, produksi kalus biasanya dihindari karena dapat menimbulkan variasi. Terkadang eksplan menghasilkan kalus, bukan tunas baru, khususnya jika diberikan hormon dengan konsentrasi tinggi pada media. Dalam hal lain, kalus sengaja diinduksi karena potensinya untuk produksi massal plantlet baru. Potensi terbesar penggunaan kultur kalus adalah dimana sel-sel kalus dapat dipisahkan dan diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi embrio somatik. Secara morfologi, embrio ini mirip dengan yang ada pada biji, tapi tidak seperti embrio biji, mereka secara genetik bersifat identik dengan tanaman tetua (Henuhili, 2013).
Media Kultur Jaringan
Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya. Ada dua penggolongan media tumbuh yaitu media padat dan media cair. Media padat umumnya berupa padatan gel seperti agar, nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak tergantung kebutuhan (Hemawan dan Na'iem 2006).
Metode kultur jaringan menekankan pada lingkungan yang cocok agar eksplan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Lingkungan yang cocok akan terpenuhi bila media yang digunakan sesuai dengan yang diperlukan oleh tanaman. Kebutuhan tiap tanaman akan komposisi dan jumlahnya berbeda-beda (Santoso dan Nursadi, 2004). Media yang digunakan tidak hanya mengandung unsur hara makro dan unsur hara mikro saja, tetapi juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat berasal dari gula yang ditambahkan dalam media. Gula berfungsi menggantikan karbon yang biasanya diperoleh dari hasil fotosintesis (Gunawan, 1995). Dua macam media yang dapat digunakan yaitu media cair dan media padat. Media cair digunakan untuk menumbuhkan suspensi sel, sedangkan media padat digunakan untuk menumbuhkan kalus dan organ tanaman. Media kultur yang baik adalah media yang mengandung makronutrien dan mikronutrien. Unsur makronutrien terdiri dari N, P, K, S, Ca, dan Mg sedangkan unsur mikronutrien terdiri atas Co, Mn, Fe, Cu, Zn, B dan Mo (George dan Sherrington, 1984).
Menurut Gunawan (1995), media kultur tersusun dari beberapa atau seluruh komponen berikut ini:
Unsur hara makro yang digunakan pada semua jenis media
Unsur hara mikro hampir selalu digunakan. Terdapat beberapa komposisi media yang hanya menggunakan besi atau besi-kelat
Vitamin, umumnya ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi
Gula, merupakan komponen yang harus ada dalam media, kecuali untuk tujuan khusus
Asam amino dan N organik
Bahan-bahan alami yang mengandung senyawa kompleks seperti jus tomat, ekstrak kentang, air kelapa, ekstrak ragi (yeast extract) dan sebagainya
Buffer, terutama buffer organik
Arang aktif, sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar
Zat Pengatur Tumbuh. ZPT yang biasa digunakan yaitu auksin dan sitokinin. Zat Pengatur Tumbuh merupakan komponen yang sangat penting dalam media kultur dengan jenis dan konsentrasi ZPT sesuai dengan jenis tanaman dan tujuan tanaman tersebut dikultur
Bahan pemadat yaitu agar.
Salah satu kendala dalam pengadaan media kultur jaringan adalah harga bahan-bahan kimia penyusun media yang cukup mahal. Penggunaan pupuk cair dan ekstrak buah dapat menjadi alternatif pengganti vitamin sintetik dan unsur-unsur lain yang dikandungnya. Pada saat pembuatan media dapat ditambahkan bahan-bahan organik seperti air kelapa, ekstrak tomat, ekstrak tauge dan ekstrak buah pisang sebagai sumber gula, vitamin, Zat Pengatur Tumbuh dan asam amino (Ummi, 2008).
Tahap-Tahap Kultur Jaringan
Proses replikasi tanaman dalam jumlah banyak dapat dibantu dengan teknik kultur jaringan yang melalui serangkaian proses ataupun tahapan. Adapun tahapan-tahapan kultur jaringan menurut Henuhili (2013), meliputi:
Pembuatan Media
Media merupakan faktor penting dalam teknik kultur jaringan. Media dapat berupa vitamin, garam mineral, maupun hormon. Media yang akan digunakan biasanya harus steril, sehingga sebelum proses kultur dilakukan, media ditempatkan di tabung reaksi dan dipanaskan dengan autoklaf. Media yang diambil harus dipersiapkan di greenhouse agar bebas kontaminan jika dikultur nanti.
Inisiasi
Proses pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikultur serta inisiasi pertumbuhan baru disebut inisiasi. Sumber eksplan yang harus jelas jenis, spesies, varietas, serta bebas hama dan penyakit. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk keberlangsungan teknik ini adalah tunas. Setelah eksplan dipersiapkan, eksplan tersebut dikultur dengan harapan akan menginisiasi pertumbuhan baru sehingga memungkinkan pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat untuk perbanyakan tanaman pada tahap berikutnya.
Sterilisasi
Sterilisasi sangat penting dalam kultur jaringan. Setiap proses yang dilakukan harus di tempat yang steril, yakni di laminar air flow dan menggunakan alat-alat yang steril. Peralatan yang akan digunakan biasanya lebih dulu disterilisasi dengan menyemprotkan etanol. Selain itu, orang yang melakukan teknik kultur juga harus dalam keadaan steril.
Multiplikasi
Multiplikasi merupakan kegiatan memperbanyak calon tanaman baru dengan menanam eksplan yang telah dipilih pada media. Untuk mencegah gagal tumbuhnya eksplan, proses ini sebaiknya dilakukan pada laminar air flow.
Pengakaran
Pengakaran merupakan tahapan setelah multiplikasi, fase dimana eksplan membentuk akar dan pucuk tanaman baru yang cukup kuat sehingga dapat bertahan hidup ketika dipindahkan dari lingkungan hidup in vitro ke lingkungan luar. Peristiwa ini menandakan bahwa proses kultur berjalan dengan baik.
Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan tahapan memindahkan eksplan ke lingkungan luar dari lingkungan hidup in vitro. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yakni dengan memberikan sungkup. Sungkup akan dilepaskan jika tanaman baru hasil kultur sudah dapat berdaptasi dengan lingkungannya. Agar tanaman baru tersebut dapat tumbuh sesuai harapan, harus dilakukan pemeliharaan yang prinsipnya cenderung serupa dengan pemiliharaan tanaman generatif.
Kultur Jaringan Talas
Kultur in vitro merupakan suatu teknik penumbuhan bagian tanaman (sel, jaringan dan organ) di dalam media buatan secara aseptik. Sel, jarigan dan organ yang akan ditumbuhkan itu memiliki kemampuan totipotensi (total genetik potensial) untuk berkembang menjadi tanaman baru yang lengkap. Tanaman baru yang dihasilkan tersebut dapat ditanam pada media non aseptic (Hussey dan Stacey, 1984).
Kultur talas pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, salah satunya oleh Ying Ko, Ping Kung dan Rohan pada tahun 2007. Percobaan talas dilakukan dengan kultur meristem pada media Murashige dan Skoog dengan penambahan BA dan IAA memberikan pembentukan dan perkembangan eksplan terbaik. Respon eksplan terbaik menghasilkan jumlah tunas tertinggi (5,9) berada pada media MS ditambah dengan 6-8 mg L-1 BA dan 3 mg L-1 IAA dibandingkan dengan kombinasi 4 mg L-1 BA dan 1 mg L-1 IAA.
Selain kultur talas yang dilakukan oleh Ying Ko et al, pernah juga dilakukan penelitian kultur talas Jepang oleh Feranita pada tahun 2012 di Makassar. Bagian talas yang diteliti adalah pembentukan umbi mikro dan multiplikasi tunas. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu memperoleh media substitusi yang dapat digunakan pada multiplikasi tunas dan umbi mikro talas Jepang secara in vitro, mengetahui dan memahami komposisi konsentrasi hara terhadap multiplikasi tunas talas Jepang secara in vitro serta mengetahui dan memahami komposisi konsentrasi hara, tiamin, dan jenis sitokinin terhadap morfo-anatomi umbi mikro talas Jepang secara in vitro.
Pembentukan umbi terbagi menjadi dua tahap, yaitu induksi pengumbian dan pembesaran atau pertumbuhan umbi. Tahap pembesaran umbi merupakan tanda pertama yang dapat dilihat dari terjadinya induksi pengumbian (Chapman, 1976). Menurut Chapman (1976) pembesaran umbi terjadi terutama karena meningkatnya jumlah sel dalam umbi dan bukan karena peningkatan ukuran sel. Umbi mikro berukuran kecil dengan bobot basah antara 50 sampai 150 gram umbi-1, yang dihasilkan secara aseptik (Warnita et al., 2000).
Kriteria umbi mikro berkualitas adalah berdiameter 5-10 mm, persentase bahan kering lebih dari 14% dan bobot basah umbi lebih dari 100 mg (Wattimena,2000). Menurut Wattimena dan Purwito (1989) untuk memperoleh umbi mikro pada tanaman kentang dilakukan melalui tiga tahap. Tahap-tahap tersebut adalah perbanyakan tunas, pertumbuhan tunas dan pengumbian.
Produksi umbi mikro dapat membantu pemecahan kegagalan proses aklimatisasi. Pembentukan umbi mikro secara in vitro mempunyai beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan metoda konvensional yaitu (a) bahan tanaman yang dibutuhkan lebih sedikit, (b) lingkungan tumbuh aseptik dan terkendali, (c) kecepatan perbanyakan lebih tinggi, (d) membutuhkan tempat/ruang yang relatif kecil untuk menghasilkan jumlah benih relatif besar, (e) dapat diproduksi sepanjang tahun dan tidak tergantung dari musim (Winata, 1987).
METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN
Waktu dan Tempat Praktik Kerja Lapangan
Praktik kerja lapang dilakasanakan ± 25 hari antara bulan Januari - Februari 2017 di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor
Materi Praktik Kerja Lapangan
Materi praktik kerja lapangan ini adalah perbanyakan tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) secara in vitro di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Metode yang digunakan dalam praktik kerja lapangan adalah metode magang yaitu mengikuti setiap kegiatan yang ada di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer
Data primer diperoleh dari pengamatan secara visual, praktik secara langsung, pencatatan data di lapangan, wawancara dengan staff dan pihak-pihak lain yang turut dalam kegiatan serta dokumentasi yang diambil saat pelaksanaan kerja praktik.
Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari arsip atau dokumentasi instansi, literatur, buku dan telaah pustaka lain yang berhubungan dengan perbanyakan Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) secara in vitro.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Umum Pusat Penelitian Biologi LIPI
Profil
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terletak di Cibinong Science Center (CSC) Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46 Cibinong 16911 Bogor, Indonesia. Pusat Penelitian Biologi merupakan salah satu pusat penelitian di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), selain Pusat Penelitian Bioteknologi dan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.
Sejarah Pusat Penelitian Biologi (P2B) dapat ditarik kembali semenjak era kolonial sekitar tahun 1800-an. Pada 1834 Raffles, Gubernur Jawa, mendirikan kebun raya di Bogor, yang kemudian dikembangkan menjadi stasiun penelitian bernama Land Plantentuin. Seiring dengan perkembangannya, penelitian juga memberi perhatian terhadap perkembangan ilmu serangga (entomologi) sejalan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu serangga merupakan hama utama bagi pertanian. Hal tersebut memberi jalan bagi berdirinya Museum Zoologicum Bogoriense, atau Museum Zoologi Bogor 1894.
Seiring berjalannya waktu, hasil-hasil penelitian mendominasi forum ilmiah internasional, institusi ini menjadi semakin kuat dan kuat lagi. Oleh karena lembaga ini sangat berarti bagi dunia ilmiah internasional, lembaga ini tidak terpengaruh oleh perang yang berkecamuk selama awal abad ke-20. Pada masa setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengubah nama Land Plantentuin menjadi Lembaga Hortus Botanicus Pusat (LHBP), atau Kebun Raya Indonesia (KRI), atau Kebun Raya Bogor (KRB). Lembaga ini berada dibawah administrasi Djawatan Penelitian Alam (DPA), yang kemudian diganti namanya menjadi Lembaga Pusat Penyelidikan Alam (LPPA) dibawah Departemen Pertanian.
Berdasar dekrit MPR No. II, 1960 yang diterbitkan pada tahun 1962, Kebun Raya Bogor dan LPPA itu sendiri dipisahkan dari Departemen Pertanian, dan diganti namanya menjadi Lembaga Biologi Nasional (LBN) dibawah administrai Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam perkembangan selanjutnya berdasar dekrit presiden No.I, 1986 tentang reorganisai LIPI, nama Lembaga Biologi Nasional diganti menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, yang diikuti dengan didirikannya dua lembaga baru yaitu Puslitbang Bioteknologi dan Puslitbang Limnologi.
Berdasar Keputusan kepala LIPI No. 23/kep/D.5/1987 P2 Biologi ditugaskan untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu biologi, memperbaiki kemampuan komunitas ilmiah, dan mengembangkan jasa-jasa dan distribusi informasi biologi dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap keragaman biologi Indonesia.
Gambar 1. Kantor Pusat Penelitian Biologi, Bidang Botani dan Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Visi dan Misi
Visi
Visi organisasi menggambarkan kondisi ideal yang diharapkan akan terwujud dalam jangka waktu tertentu. Visi dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yaitu menjadi pusat acuan terpercaya bidang pemberdayaan dan konservasi aset keanekaragaman hayati Indonesia.
Misi
Misi organisasi adalah perumusan upaya organisasi dalam rangka mewujudkan visi yang telah ditetapkan. Misi dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia adalah:
Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberdayakan dan melestarikan aset keanekaragaman hayati Indonesia agar menjadi pendorong utama dalam pembangunan berkelanjutan bangsa yang berwajah kemanusiaan;
Ikut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tersedianya peneliti yang professional, teknisi yang andal, dan staf pendukung penelitian yang mumpuni serta prasarana dan sarana yang terakreditasi sehingga mampu menjadi center of excellence dalam bidang konservasi dan pengungkapan potensi sumber daya hayati Indonesia;
Memperkuat kerjasama dan membentuk jaringan diantara pemangku kepentingan yang bergerak dalam isu keanekaragaman hayati, ekosistem, dan lingkungan agar masyarakat Indonesia menjadi peduli, berdaya, mandiri, cerdas dalam memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayatinya;
Meningkatkan peran serta masyarakat dan sektor swasta serta mendorong otonomi daerah dalam menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya alamnya secara optimum, lebih adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Memberikan landasan ilmiah untuk pengambilan kebijakan serta tersusun dan tegaknya supermasi hukum terutama undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hayati dan nir-hayati serta lingkungan, merancang dan mematuhi peraturan pemerintah pusat dan daerah terutama rencana dan tata ruang wilayah, serta menghormati kearifan masyarakat adat dan tradisional untuk memperkokoh persatuan bangsa sekaligus memperluas daya saing masyarakat.
Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman
Botani lahir sebagai akumulasi kegiatan riset di Herbarium Bogoriense yang dirintis sejak tahun 1841 oleh J. Reinwardt dan aktivitas riset di Laboratorium Treub yang berdiri sejak tahun 1884 oleh Melchior Treub. Bidang Botani mengemban tugas utama dalam riset keanekaragaman hayati tumbuhan tropika Indonesia dengan perhatian khusus pada upaya memperkuat riset dasar yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan berwajah kemanusiaan.
Salah satu laboratorium yang ada di Pusat Penelitian Biologi adalah Biak Jaringan dan Sel Tumbuhan. Kegiatan Laboratorium Biak Jaringan dan Sel Tumbuhan yaitu menumbuhkan sel, jaringan atau organ dalam tabung (in vitro) berisi medium dan lingkungan buatan sehingga tumbuh sesuai tujuan kita (berlipat ganda atau beregenerasi menjadi banyak tanaman). Teknologi in vitro sangat powerfull untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman.
Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tumbuhan didukung oleh tenaga peneliti dan teknis yang kompeten. Staf peneliti terdiri dari 2 S3 dan 2 S1, 4 asisten peneliti S1, 3 teknisi SMU dan beberapa tenaga pendukung. Selain itu fasilitas yang tersedia juga lengkap, hampir segala teknik teknologi in vitro dapat dilakukan di laboratorium. Laboratorium menempati ruang seluas 200 m2 dan terdiri dari dapur, ruang preparasi medium, ruang transfer, dan 3 ruang kultur. Peralatan laboratorium meliputi 8 laminar air flow cabinet, 4 shaker, waterbath, centrifuge, 2 mikroskop inverted, mikroskop stereo, mikroskop diseksi, fasilitas cryopreservasi dan fasilitas pembibitan.
Pengenalan Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman
Laboratorium di Puslit Biologi LIPI yang melakukan kegiatan kultur jaringan yaitu Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman (BSJT). Laboratorium ini terdiri dari ruangan-ruangan yang dipisahkan berdasarkan fungsinya, yaitu ruang persiapan (preparation area), ruang pembuatan media, ruang penanaman (transfer area) dan ruang pertumbuhan (growing area). Keempat ruang tersebut merupakan ruang utama yang harus ada selain ruang pertemuan, ruang kerja peneliti dan teknisi. Ketiga ruang ini juga harus terpisah dari kebun bibit dan green house untuk menghindari masuknya kontaminasi ke dalam ruang kultur.
Ruang Persiapan (preparation area)
Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tumbuhan memiliki dua ruang persiapan dan letaknya terpisah. Ruang pertama berada dalam satu lingkup ruang laboratorium dan saling terhubung, sedangkan ruang yang kedua berada di luar dan lebih terbuka dekat dengan green house. Kedua ruangan ini memiliki fungsi yang serupa, yaitu untuk membersihkan alat-alat yang akan dan telah digunakan pada kegiatan kultur jaringan, hanya saja ruang kedua lebih dikhususkan untuk membersihkan botol-botol yang sudah terpakai juga bekas media yang terkontaminasi. Ruangan tersebut dipisah agar mampu meminimalisir kontaminasi yang mungkin terjadi karena spora jamur sangat mudah terbawa oleh angin dan bertahan di suatu ruang.
Gambar 2. Ruang preparasi Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Ruang persiapan juga digunakan untuk pemasakan media/dapur dan sterilisasi baik media, alat kultur maupun wadah kultur. Ruang persiapan di laboratorium ini dilengkapi dengan bak untuk mencuci serta kran untuk aliran air mengalir, meja yang permukaanya dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan dan rak-rak untuk menyimpan peralatan. Peralatan yang digunakan dalam ruang persiapan adalah kompor, autoclave dan oven.
Ruang Pembuatan Media
Bagian terpenting dalam kegiatan kultur jaringan yaitu media, untuk mendapatkan hasil yang baik maka dibutuhkan media yang baik juga. Pada ruang pembuatan media disimpan berbagai alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat media. Bahan-bahan kimia disusun rapih di rak dan diurutkan sesuai abjad untuk mempermudah pencarian. Selain itu terdapat 2 lemari pendingin yang berisi bahan kimia yang mudah rusak pada suhu tinggi dan beberapa bahan lain yang diupayakan lebih tahan lama apabila suhunya dijaga agar tetap rendah.
Ruang pembuatan media memiliki banyak meja panjang yang digandakan fungsinya sebagai lemari penyimpanan, yaitu menyimpan cawan dan gelas yang telah distrerilisasi. Terdapat juga bak cuci serta kran yang dimanfaatkan sebagai jalur pembuangan air dari alat water destillation. Peralatan lain yang ada di ruang pembuatan media yaitu timbangan analitik, pH meter, magnetic stirrer, hot stirrer, water distillation, komputer dan lain sebagainya.
Gambar 3. Ruang Pembuatan Media Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Ruang Penanaman (transfer area)
Ruang penanaman di laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman digunakan untuk isolasi, inokulasi dan subkultur (penjarangan) dalam kondisi steril. Pada ruangan ini alat yang paling utama yaitu LAF (Laminar Air Flow). Alat ini dilengkapi oleh penghembus udara yang steril sehingga dapat mencegah terjadinya kontaminasi. Keuntungan lain dari alat ini yaitu mampu mengurangi jumlah partikel debu dan bakteri dalam seluruh ruang laboratorium karena adanya penyaringan udara secara berulang dalam laboratorium itu sendiri. Alat ini dilengkapi dengan lampu ultra violet (UV) sehingga dapat membunuh kuman. Untuk melakukan kerja di ruang penanaman, peneliti harus melengkapi diri dengan jas lab, sarung tangan lateks dan masker sehingga tidak membawa bakteri serta jamur dari luar ruang inkubasi. Sebelum melakukan penanaman, LAF dan semua alat yang akan digunakan perlu disemprot dengan alkohol 76% agar menjaga lingkungan LAF yang steril.
Ruang Pertumbuhan (growing area)
Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman LIPI memiliki dua ruang kultur yang saling bersebelahan, masing-masing ruang berukuran sama dan diisi dengan rak-rak yang penuh dengan hasil kultur. Selain rak, fasilitas lain yang tersedia di ruang pertumbuhan yaitu pendingin udara (AC) dan penyinaran. Sirkulasi udara dan kebersihan juga merupakan hal penting yang tidak terlepas dari ruang pertumbuhan, setiap harinya ruang selalu dibersihkan dengan vacuum cleaner. Seluruh fasilitas tersebut disediakan untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan kultur yang ditanam secara in vitro.
Gambar 4. Ruang pertumbuhan Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Kegiatan Kultur Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) di Pusat Penelitian Biologi LIPI
Pembuatan Larutan Stok dan Media Tanam
Pertumbuhan kultur jaringan sangat berpengaruh terhadap berbagai kandungan nutrisi yang disediakan oleh media. Seperti yang dijelaskan oleh Paramanik dan Rachmawati (2010), bahwa jenis media dan komposisi unsur kimia yang dibutuhkan berbeda didasarkan pada komoditas, fase pertumbuhan dan jaringan tanaman yang dikulturkan. Untuk pertumbuhan kultur talas di laboratorium BSJT, media yang digunakan adalah formulasi yang telah dikembangkan oleh Murashige and Skoog (MS). Media MS talas ditambahkan hormon tumbuh berupa Benzyladenine (BA) dengan takaran yang sudah disesuaikan.
Hormon BA tergolong dalam kelompok sitokinin. Aplikasi sitokinin eksogen pada beberapa spesies meningkatkan rasio sitokinin:auksin pada tanaman untuk menghilangkan dominansi apikal sehingga mengontrol pola percabangan dan bentuk tanaman serta menginduksi pertumbuhan kuncup lateral. BA telah terbukti dapat meningkatkan percabangan dan proliferasi tunas bila dibandingkan dengan media tanpa BA (Wulansari et al, 2013). Campuran yang dibuat mampu mendukung pertumbuhan kultur talas dengan baik seperti yang dilaksanakan pada praktik kerja lapangan kali ini.
Tabel 1. Komposisi Medium Talas
Komponen
Konsentrasi (mg L-1)
Larutan Stok Makro
NH4NO3
16500
KNO3
19000
CaCl2.2H2O
4400
KH2PO4
1700
MgSO4.7H2O
3700
Larutan Stok Mikro (100x)
MnSO4.H2O
1690
ZnSO4.7H2O
860
H3BO3
620
KI
83
Na2MoO4.2H2O
25
CuSO4.5H2O
2.5
CoCl2.6H2O
2.5
Larutan Stok FeNaEDTA
Na2EDTA.2H2O
3670
Larutan Vitamin MS
Glycine
400
Pyridoxine
100
Thiammne HCl
20
Nicotinic Acid
100
Media MS
Larutan Makro MS
100 mL
Larutan Mikro MS
10 mL
FeNaEDTA
10 mL
Vitamin MS
5 mL
Myoinositol
100
Gula
30000
Hormon BA
2
Sumber : Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman, Pusat Penelitian Biologi LIPI
Pembuatan media MS melalui berbagai tahap seperti penimbangan, pengukuran, pencampuran dan pemasakan, alat-alat yang digunakan untuk membantu proses pembuatannya ditampilkan pada Gambar 5. Biasanya larutan stok sudah dibuat terlebih dahulu dan disimpan dalam lemari pendingin agar tidak rusak, tujuannya adalah mempermudah dan menekan kemungkinan kontaminasi pada media akibat proses pembuatan yang lama. Penimbangan dan pengukuran dilakukan dengan timbangan analitik dan alat ukur.
Campuran media MS diaduk agar homogen dengan bantuan stirrer magnetik lalu kemudian ditakar dengan penambahan aquades hingga 1 L. Media yang baik harus memiliki pH yang sesuai, yaitu 5,7-5,8. PH larutan medium diukur dengan menggunakan pH-meter. Bila pH kurang dari 5,7 maka ditambahkan NaOH 1 N hingga pH sesuai, bila pH lebih dari 5,7 maka ditambahkan HCl 1 N untuk mengurangi kebasaan.
cba
c
b
a
ed
e
d
Gambar 5. Alat-alat pembuatan media kultur (a) gelas ukur (b) timbangan analitik (c) magnetic stirrer (d) water destilation (e) pH meter
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Media perlu ditambahkan pemadat, bisa berupa agar sebanyak 7 g L-1 atau gelrite sebanyak 3 g L-1. Bahan pemadat biasanya dicampurkan sebelum media dimasak, dengan tujuan menjaga kondisi media. Larutan media dimasak hingga mendidih, selama proses pemasakan media terus diaduk. Satu liter larutan media yang sudah masak dibagi menjadi 40 botol media atau masing-masing 25 mL, setiap botol ditulis tanggal pembuatan dan kodenya masing-masing. Proses pengisian botol tidak perlu menunggu hingga media dingin, karena kecepatan dan ketepatan pembuatan media dapat menekan kemungkinan kontaminasi. Setelah semua media terbagi, botol segera ditutup rapat kemudian disusun dalam autoklaf untuk disterilisasi.
Sterilisasi
Kultur jaringan tidak bisa terlepas dari keadaan steril, setiap alat dan bahan yang digunakan harus senantiasa digunakan dalam keadaan bebas kontaminan. Terdapat empat hal utama yang perlu melalui proses sterilisasi, yaitu sterilisasi ruang, sterilisasi Laminar Air Flow (LAF), sterilisasi alat dan media kultur.
Sterilisasi ruang
Semua ruang utama, dari ruang persiapan, ruang penanaman dan ruang inkubasi diusahakan harus steril. Sterilisasi ruangan dilakukan dengan menyemprotkan alkohol 90%, dan sterilisasi lantai dengan kain pel yang dibasahi dengan alkohol 90%. Sterilisasi ini mutlak dilakukan menjelang ruang akan digunakan (Sandra, 2013). Begitu pula pada Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman Puslit Biologi, selalu dilakukan pembersihan ruang dengan vacuum cleanear (Gambar 6) dan pengepelan lantai setiap pagi dan setiap selesai pemakaian ruangan juga dibersihkan. Sampah dibedakan tempat pembuangannya, berdasarkan jenisnya, yaitu ada sampah kering, larutan kimia sintetik dan bekas media agar.
Gambar 6. Proses sterilisasi ruang
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Sterilisasi Laminar Air Flow (LAF)
Penggunaan LAF harus senantiasa sesuai aturan, sebelum pemakaian setiap dinding di dalam lingkup LAF dibersihkan dengan alkohol 70% dan dilap dengan tissue. LAF dilengkapi juga dengan lampu UV yang bertujuan untuk membunuh bakteri dan kontaminan yang ada di permukaan. Menurut Tukawa, et al. (2013) sebaiknya Laminar air flow cabinnet disterilisasi dengan alkohol 96% dengan cara disemprotkan dan dilap juga. lampu UV dinyalakan selama kurang lebih 1-2 jam setiap akan dilakukan kerja pada laminar air flow cabinet.
Selain sterilisasi sebelum penggunaan, LAF juga harus dibersihkan setelah pemakaian. Perlu penambahan cairan pembersih kaca karena biasanya setelah melakukan kultur, terdapat sisa-sisa cairan agar yang cukup lengket dan tidak hilang hanya dengan penyemprotan alkohol. Setelah bersih barulah kemudian LAF disterilisasi kembali dengan alkohol 70% lalu kemudian mesin dimatikan.
Sterilisasi alat
Setiap alat yang digunakan dalam kegiatan kultur jaringan, baik yang berbahan logam maupun kaca, harus dalam keadaan steril sehingga perlu melalui proses pemanasan di dalam autoklaf. Alat-alat untuk kultur, seperti pisau, pinset, gunting, meja alas, cawan petridish, dan lain-lain, setelah digunakan harus segera dicuci dengan air mengalir dan sabun. Alat kemudian ditiriskan dan dibungkus dengan plastik yang tahan panas. Tidak lupa bungkusan plastik tersebut ditutup rapat dengan bantuan karet karena bagian yang terbuka bisa membawa kembali kontaminan kepada alat-alat tersebut. Tahap terakhir adalah memasukannya ke dalam autoklaf dengan tekanan 15 atm, suhu 121oC selama 30 menit.
Botol-botol tanam yang sudah berada di dalam ruang inkubasi harus diperiksa setiap hari, karena pertumbuhan kontaminan seperti jamur dan bakteri tidak dapat ditoleransi dalam kegiatan kultur jaringan. Kontaminasi jamur sangat fatal dalam kegiatan in vitro karena spora yang tumbuh di dalam botol sangat mungkin untuk menyebar ke botol lainnya, sehingga botol yang terkontaminan harus segera dipindah dan disterilisasi kembali. Lain halnya dengan kontaminasi bakteri yang tidak begitu cepat menular karena pertumbuhannya cukup lambat.
Botol yang sudah terseleksi dibawa ke ruang persiapan yang berada di luar. Tutup botol kultur tidak boleh dibuka sebelum pencucian, hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyebaran spora jamur kepada botol-botol lainnya yang sudah tercuci. Botol disusun dalam autoklaf, ditutup rapat dan rata diseluruh bagian.
Laboratorium Biak Sel dan Jaringan tanaman memiliki dua jenis autoclave ,yaitu autoclave manual (Gambar 7.a) dan otomatis. Namun, pada saat pelaksanaan praktik kerja lapang, autoclave otomatis sedang dalam proses perbaikan. Oleh karena itu yang dilakukan adalah proses sterilisasi menggunakan autoclave manual. Prinsip kerja kedua alat ini sama, namun penggunaan autoclave manual lebih menguras energi sehingga prosesnya dibantu oleh teknisi-teknisi yang ada di laboratorium.
Tahap pertama penggunaan autoklaf yaitu menyalakan kompor, tunggu hingga jarum autoklaf menunjukan angka 15 atm, suhu 121oC. Dalam keadaan tersebut barulah waktu mulai terhitung 30 menit lamanya. Botol yang sudah melalui proses autoklaf didiamkan hingga dingin, dibersihkan dari kotoran, dicuci lalu direndam semalam dalam larutan air, sabun dan pemutih (bayclin). Perbandingan larutan pembersih ini adalah 1 bak air bersih ditambah 1 botol sabun pencuci piring (tipoll) dan 1 botol pemutih (bayclin). Setelah direndam semalaman barulah botol dicuci di bak cuci (Gambar 7.b) dan dibilas hingga benar-benar bersih, ditiriskan dan kembali di autoklaf sebelum bisa digunakan untuk penanaman.
ba
b
a
Gambar 7. (a) autoclave manual (b) bak pencucian
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Sterilisasi media dan bahan
Pembuatan media dilakukan secara terbuka, walaupun ruangan laboratorium selalu dibersihkan setiap hari. Untuk menjaga pertumbuhan tanaman dalam keadaan in vitro dan menekan kontaminasi maka media perlu melalui proses sterilisasi dalam autoclave. Selain media, kegiatan kultur jaringan juga butuh aquades steril yang tidak lain merupakan aquades yang sudah di sterilisasi. Setiap tahap sterilisasi media dan bahan lainnya sama seperti sterilisasi alat, namun bedanya media hanya membutuhkan waktu 20 menit di dalam autoclave dengan tekanan 15 atm dan suhu 121oC.
Multiplikasi Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.)
Multiplikasi dimaksudkan untuk memperbanyak tunas atau kalus dari hasil tahap pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk memproduksi tunas majemuk (Izzudin, 2013). Talas yang dikultur pada kegiatan praktik kerja lapang ini merupakan subkultur ke-9. Sebenarnya proses multiplikasi sama seperti proses inisiasi, namun sumbernya merupakan planlet yang sudah steril sehingga kemungkinan hidup dalam keadaan in vitro lebih tinggi.
Proses pertama yang perlu dilakukan adalah menyediakan alat dan bahan. Alat yang dibutuhkan berupa pinset, pinset lengkung, cutter, botol media, cawan petridish, meja penahan alat, api bunsen, korek, sprayer, dan spidol. Sedangkan bahan yang dibutuhkan yaitu tissue, alkohol 70% dan 96%, planlet talas dan media MS.
Laminar Air Flow (LAF) diaktifkan dan disterilisasi, kemudian semua alat dan bahan dimasukkan ke dalam LAF. Sebelum memasuki LAF, permukaan alat dan bahan disemprot dengan alkohol 70%. Alat yang digunakan untuk kultur perlu dicelupkan dalam alkohol 96% lalu dibakar di atas api bunsen sebanyak tiga kali dan didinginkan sebelum dipakai untuk memotong. Tujuan pembakaran tersebut adalah membunuh kontaminan yang menempel pada alat.
Planlet talas yang dimultiplikasi sudah berumur 3 bulan dalam botol. Batang talas sudah tumbuh melebihi batas tutup, sehingga bentuknya tidak lagi beraturan dan banyak juga daun yang sudah menguning. Oleh karena itu, untuk mendapatkan bibit talas yang lebih banyak bisa dilakukan multiplikasi pada planlet yang tingginya sudah sama dengan batas tutup, tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama lagi.
Subkultur talas dipotong berdasarkan bagian bonggolnya, sehingga bagian lain seperti daun dan batang dapat dibersihkan. Setelah planlet bersih dari daun, sisakan satu per tiga bagian batang bawah untuk mengetahui ukuran meristem dari talas. Apabila ukuran meristemnya besar, maka bonggol talas bisa dibelah menjadi dua bagian yang sama besar (kanan dan kiri). Namun bila ukuran meristem kecil maka bonggol tidak perlu dibelah. Pada umur tanam 3 bulan, sudah muncul beberapa anakan dari talas dan sudah mampu tumbuh mandiri, sehingga hal tesebut mempengaruhi pemberian kode pada subkultur berikutnya.
Hasil subkultur diberi kode utama (U) dan anakan (A), kemudian dibagi lagi berdasarkan belah [(x)b] dan tidak belah [(x)]. Untuk kode eksplan U maka tergolong kedalam subkultur indukannya yaitu ke-9 (S9), sedangkan planlet yang memiliki kode A, (A)b dan (U)b tergolong kedalam subkultur berikutnya yaitu ke-10 (S10). Kode subkultur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Diagram Kode Subkultur Talas
U S9
(U)b S10
A S10
(A)b S10
Eksplan yang sudah bersih kemudian ditanam dalam media MS. Setiap botol ditanami 3 sampai 5 potongan planlet dengan kode subkultur yang sama. Proses penanaman eksplan talas ditampilkan pada Gambar 8. Setelah botol terisi dengan tanaman baru, maka botol harus segera ditutup rapat. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi, maka tutup botol perlu di tutup lagi dengan seal plastik.
cba
c
b
a
Gambar 8. (a)Kegiatan multiplikasi talas di dalam LAF (b) Hasil kultur talas sehat (c) Hasil kultur talas yang terkontaminasi jamur
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Hasil multiplikasi disimpan dalam ruang kultur. Setiap minggu selama tiga minggu dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan eksplan talas. Variabel yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah daun dan warna daun. Selama 3 minggu pengamatan, warna daun talas masih menunjukkan warna hijau muda, sedangkan tinggi tanaman dan jumlah daun di setiap minggunya menunjukkan pertambahan yang signifikan. Pertambahan tinggi planlet talas ditunjukkan pada Gambar 10 dan pertumbuhan daun pada Gambar 11. Data diperoleh dari hasil rata-rata setiap planlet yang tumbuh dalam setiap botol. Terdapat 6 botol hasil multiplikasi dengan 3 sampai 5 eksplan setiap botol, sehingga satuan botol dianggap sebagai ulangan.
Kegiatan kultur jaringan tentu memiliki kemungkinan gagal, seperti terkena kontaminasi. Umumnya yang mengkontaminasi adalah jamur dan bakteri dengan jenis yang beragam, namun kegiatan praktik kerja lapangan ini tidak terjadi kontaminasi pada kultur talas yang diamati melainkan botol lain yang tidak menjadi bahan pengamatan. Kontaminasi jamur tidak boleh didiamkan terlalu lama, karena besar kemungkinan untuk menyebar kepada hasil kultur lainnya.
cba
c
b
a
fed
f
e
d
Gambar 9. (a) Eksplan talas hasil multiplikasi, (b) Planlet talas berumur 2 minggu, (c) Planlet talas berumur 3 minggu, (d) Hasil multiplikasi tampak atas, (e) Hasil multiplikasi tampak samping, (f) hasil multiplikasi tampak bawah
Gambar 10. Grafik Pertumbuhan Kultur Talas
Gambar 11. Grafik Pertumbuhan Daun Kultur Talas
Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan penyesuaian kondisi tempat tumbuh dari lingkungan in vitro ke tempat tumbuh di lapangan. Hal ini bertujuan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan yang baru (Herawan, 2000 dalam Izudin, 2013). Teknik yang paling baik untuk aklimatisasi adalah mengacu pada perubahan suhu dan kelembaban yang lebih rendah, tingkat pencahayaan yang lebih tinggi dan adaptasi terhadap lingkungan yang tidak aseptik (Izudin, 2013).
Proses aklimatisasi talas dilakukan di tanah lapang dengan naungan berupa paranet. Sebelum dipindah tanam, botol-botol yang berisi planlet disimpan di luar ruang kultur selama satu malam, tujuannya yaitu menyesuaikan keadaan lingkungan yang baru dan lebih beradaptasi. Planlet dibersihkan dari agar media dengan perlahan agar akar-akar tanaman tidak rusak, kemudian setiap planlet ditanam pada polybag kecil yang ¾ bagian sudah diisi media yang sudah disterilisasi. Media yang digunakan merupakan campuran dari tanah, pasir, cocopeat dan sekam bakar dengan perbandingan masing-masing 2 : 1 : 2 : 1.
ab
a
b
Gambar 12. Bahan-bahan untuk aklimatisasi (a)Campuran media, (b)Pupuk daun
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Sebelum ditanam planlet direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida dengan kadar 2 g L-1 selama 2 sampai 5 menit. Perendaman dilakukan untuk memperkuat pertahanan tanaman dari serangan batkteri dan jamur yang tersebar di udara. Pada umur 3 minggu setelah tanam dalam keadaan in vitro, planlet talas sudah memiliki akar yang cukup panjang seperti gambar 13. Planlet ditiriskan kemudian ditanam dalam tanah dan ditutup hingga sebatas pangkal bawah batang. Setiap tanaman disiram dengan larutan air dan pupuk daun grow more dengan konsentrasi 1-2 g L-1, ditulis tanggal penanaman pada label kemudian setiap polybag ditutup dengan sungkup plastik. Sungkup ini berguna untuk menekan laju penguapan tanaman dan bisa dilepaskan setelah 1 minggu tanam.
cba
c
b
a
Gambar 13. (a) Planlet talas yang akan di aklimatisasi, (b) Planlet yang sudah ditanam, (c) Penutupan dengan sungkup plastik
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
Teknik penyesuaian lingkungan dalam kultur jaringan juga dilakukan dengan mini cutting atau aklimatisasi untuk biakan yang belum memiliki akar. Menurut Sukmadjadja dan Mariska (2003), induksi perakaran yang dilakukan pada saat aklimatisasi dengan terlebih dahulu merendam atau mencelupkan bagian dasar batang dalam larutan yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA atau dengan Top root. Biakan yang berasal dari tahap elongasi yang akan diaklimatisasi dan diinduksi perakarannya harus terlebih dahulu dibuang bagian kalusnya dan dibersihkan pada air mengalir. Mini cutting yang dilakukan selama kerja praktek ini juga dilakukan sebagai bentuk rescue atau penyelamatan pada biakan yang memiliki peluang untuk kegagalan besar jika proses dalam laboratorium diteruskan atau terjadi kontaminasi namun masih ada kemungkinan untuk diselamatkan. Teknik dalam mini cutting sama seperti aklimatisasi biasa.
Setelah satu minggu aklimatisasi, sungkup dilepas. Terlihat bahwa pertumbuhan tanaman sama seperti pada umumnya, rata-rata tanaman sudah memiliki sebuah daun baru. Penyiraman dilakukan secara rutin dengan larutan air yang ditambah pupuk daun. Setelah 3 minggu, talas dapat ditanam langsung di lapang. Pada praktik kerja lapang kali ini juga dilakukan pemanenan tanaman talas hasil kultur jaringan yang sudah ditanam selama 6 bulan. Tanaman tumbuh dengan subur dan memiliki anakan rata-rata 2 buah.
cba
c
b
a
Gambar 14. (a) Tanaman talas setelah 1 minggu aklimatisasi, (b) Proses panen talas, (c) Hasil panen talas
Sumber : Dokumentasi PKL (2017)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, pelaksanaan dan wawancara selama Praktik Kerja Lapangan yang dilaksanakan di Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu dan Penelitian Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Kegiatan perbanyakan tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) secara in vitro di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor meliputi kegiatan sterilisasi medium, pembuatan media, multiplikasi di dalam LAF, pertumbuhan dan pengamatan, serta aklimatisasi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terletak di Cibinong Science Center (CSC) Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46 Cibinong 16911 Bogor, Indonesia. Pusat Penelitian Biologi merupakan salah satu pusat penelitian di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), selain Pusat Penelitian Bioteknologi dan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.
Saran
Perbanyakan kultur talas sangat mudah dilakukan sehingga mampu menghasilkan banyak bibit baru dari prosesnya. Namun perlu dipelajari lebih dalam mengenai cara sterilisasi eksplan baru agar mampu melakukan kegiatan in vitro dengan banyak teknik yang bisa dikembangkan. Selain itu perlu dikembangkan lebih banyak ragam jenis tanaman talas yang dikulturkan agar mengetahui perbedaan karakter masing-masing talas dengan media kultur yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Chapman, H.W. 1976. Crop production. W. H. Freeman an Co. San Fransisco. p. 641.
George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Hand Book and Directory of Comercial Laboratories. Eastern Press, Reading, Berks. England. p. 2-502.
Gunawan, L.W.1995. Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura. Penebar Swadaya, Bogor.
Hadioetomo, P.S. 2006. Mikrobia Dasar Dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Gramedia, Jakarta.
Hemawan T dan Na'iem 2006. Pengaruh Jenis Media dan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Perakaran pada Kultur Jaringan Cendana (Santalum album Linn.). Jurnal Agrosains. Vol 19 (2) : 103-109.
Henuhili, Victoria. 2013. Kultur Jaringan Tanaman. Disampaikan pada Pelatihan bagi Guru Biologi SMA Yogyakarta, FMIPA UNY, Yogyakarta.
Hussey, G., dan N. J. Stacey. 1981. In vitro propagation of potato (Solanum tuberosum L.). Annual Botany. 48; 787.96.
Hutami, Sri. 2009. Penggunaan Suspensi Sel dalam Kultur In Vitro. Jurnal AgroBiogen 5(2): 84-92.
Izudin, E. 2013. Aclimatization Technique for Tissue Culture Plants. Informasi Teknis, 11(2): 49 – 56.
Lestari, E.G. dan S. Hutami. 2005. Produksi Bibit Kencur Melalui Kultur Jaringan. Berita Biologi 7(6): 315-322.
Mariska, Ika. 2002. Perkembangan Penelitian Kultur In Vitro pada Tanaman Industri, Pangan, dan Hortikultua. Buletin AgroBio 5(2): 45-50.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi Molekuler. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Nisa, C. dan Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca L.) Dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin. Bioscientiae. Volume 2 (2): 23-36.
Panjaitan, E. 2005. Respon Pertumbuhan Tanaman Anggrek (Dendrobium sp.) Terhadap Pemberian BAP dan NAA secara In Vitro. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. Volume 3 (3): 45-51.
Pramanik, D dan F. Rachmawati. 2010. Pengaruh Jenis Media Kultur In Vitro dan Jenis Eksplan terhadap Morfogenesis Lili Orental. Jurnal Hortikultura, 20 (2): 111-119.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, Boston, Lancaster. p. 344.
Purnamaningsih, R. 2003. Seleksi in vitro tanaman padi untuk ketahanan terhadap alumunium. Thesis. Intitut Pertanian Bogor. p.59.
Rainiyati, D. Martino, Gusniwati dan Jasminarni. Perkembangan Pisang Raja nangka (Musa sp.) Secara Kultur Jaringan Dari Eksplan Anakan dan Meristem Bunga. Jurnal Agronomi. Volume 11 (1): 35 – 40.
Richana, Nur. 2012. Araceae & Dioscorea: Manfaat Umbi-Umbian Indonesia. Penerbit Nuansa, Bandung. p. 9-41.
Sandra, E. 2013. Cara Mudah Memahami dan Menguasai Kultur Jaringan. IPB Press. Bogor.
Santoso, U. dan Nursandi, F. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press, Malang.
Schumacher, H.M. and K.A. Malik. 1994. Aconvinient method to maintain plant cell culturesfor medium terms. Plant Cell, Tissue and Organ Cultures in Liquid Media. p. 143-145.
Sugito, H dan A. Nugroho, 2004. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Yogyakarta.
Sukamdjaja, D dan I. Mariska. 2003. Perbanyakan Bibit Jati Melalui Kutur Jaringan. Hasil Penenlitian. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.
Suryowinoto, Moeso. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Kanisius, Yogyakarta.
_________________.1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sripichitt, P., T. Ozawa, M. Otani and T. Shimada, 2000. Improved Method for Anther Culture of an Indica Rice Cultivar of Thailand. Plant Prod. Sci. 3(3): 254-256.
Tukawa, N.D, E. Ratnasari dan R. Wahyono. 2013. Efektivitas 6-furfuryl amino purine (Kinetin) dan 6-benzylamino purine (BAP) pada Media MS 53 terhadap Pertumbuhan Eksplan Pucuk Mahoni (Swietenia mahagoni) secara In Vitro. Lentera Bio, 2(1): 63–67.
Torres, K.C. 2005. Tissue Culture techniques for Horticultural Crops. Von Hostrand Reinheld, New York.
Ummi, Narimawati. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Agung Media, Bandung.
Warnita., S. Syafei., G. Ismail dan Wattimena. 2000. Growth performan-ce of potato (Solanum tuberosum L.) micro cutting in vitro treated with 2,4-D and BAP and their survival on acclimatization media. Andalas University, Padang.
Wattimena. 2000. Pengembangan Propagul Kentang Bermutu dan Kultivar Kentang Unggul Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kentang Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wattimena, G. A. dan A. Purwito. 1989. Produksi Umbi Mikro Kentang. Laboratorium kultur sel dan jaringan tanaman PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Wattimena, G.A., et al. 2011. Bioteknologi Dalam Pemuliaan Tanaman. IPB Press, Bogor.
Winarto, B. Rachmawati. 2007. Teknik Kultur Anther pada Pemuliaan Anthurium. Jurnal Horti. 17(2): 127-137.
Winata, L. 1987. Tissue culture techniques. Training Course on Seed Technology of Forest Tree. SEAMEO, Bogor.
Whetherell, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Avery Publishing Inc, Wayne, New Jersey.
Wulansari, Aida., et al. 2013. Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas (Colocasia esculenta L.) Diploid Secara Kultur Jaringan dan Konservasinya Mendukung Diversifikasi Pangan. Prosiding Universitas Padjajaran. p. 11-21.
Ying Ko, C., J.Ping Kung dan R. Mc Donald, 2008. In vitro micropro-pagation of white dasheen (Colocassia esculenta). African Journal of Biotechnology Vol. 7 (1), p. 041-043.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengamatan Pertumbuhan talas minggu pertama
Kode Tanaman
Ulangan ke-
Kontaminasi
Letak Kontaminasi
Tinggi Tunas (cm)
Jumlah Anakan
Jumlah Daun
Warna Tunas
Bakteri
Cendawan
Media
Tanaman
T.Ponti B3 (U) S9
1.a
0.7
0
Hijau muda
b
1.3
1
Hijau muda
c
1.2
1
Hijau muda
d
0.7
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
2.a
0.7
1
Hijau muda
b
0.7
1
Hijau muda
c
0.6
1
Hijau muda
d
0.3
0
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
3.a
0.9
1
Hijau muda
b
0.7
1
Hijau muda
c
0.3
0
Hijau muda
d
0.5
0
Hijau muda
e
1.5
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
4.a
0.4
0
Hijau muda
b
0.2
0
Hijau muda
c
0.4
0
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
5.a
0.9
1
Hijau muda
b
0.5
0
Hijau muda
c
0.2
0
Hijau muda
d
1.1
0
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
6.a
0.8
1
Hijau muda
b
0.5
1
Hijau muda
c
1
0
Hijau muda
Lampiran 2. Data Pengamatan Pertumbuhan talas minggu kedua
Kode Tanaman
Ulangan ke-
Kontaminasi
Letak Kontaminasi
Tinggi Tunas (cm)
Jumlah Anakan
Jumlah Daun
Warna Tunas
Bakteri
Cendawan
Media
Tanaman
T.Ponti B3 (U) S9
1.a
3.5
1
Hijau muda
b
6
2
Hijau muda
c
4.7
1
Hijau muda
d
3.5
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
2.a
3.2
1
Hijau muda
b
3.1
1
Hijau muda
c
4.2
2
Hijau muda
d
1
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
3.a
2.9
2
Hijau muda
b
1.7
1
Hijau muda
c
0.5
1
Hijau muda
d
2.6
1
Hijau muda
e
5.6
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
4.a
0.7
1
Hijau muda
b
2.4
1
3
Hijau muda
c
0.5
0
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
5.a
2,9
2
Hijau muda
b
2.5
1
Hijau muda
c
1
1
Hijau muda
d
2.5
2
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
6.a
3.2
2
Hijau muda
b
3.1
1
2
Hijau muda
c
5.4
2
Hijau muda
Lampiran 3. Data Pengamatan Pertumbuhan talas minggu ketiga
Kode Tanaman
Ulangan ke-
Kontaminasi
Letak Kontaminasi
Tinggi Tunas (cm)
Jumlah Anakan
Jumlah Daun
Warna Tunas
Bakteri
Cendawan
Media
Tanaman
T.Ponti B3 (U) S9
1.a
6.5
2
Hijau muda
b
7
2
Hijau muda
c
6
2
Hijau muda
d
8.2
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
2.a
3.7
2
Hijau muda
b
3.5
2
Hijau muda
c
8.2
2
Hijau muda
d
1.7
3
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
3.a
5.3
2
Hijau muda
b
2.7
2
Hijau muda
c
1.4
3
Hijau muda
d
4
2
Hijau muda
e
8.2
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
4.a
0.9
2
Hijau muda
b
4.7
1
3
Hijau muda
c
1
1
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
5.a
4
3
Hijau muda
b
4.3
2
Hijau muda
c
2.2
2
Hijau muda
d
3.5
3
Hijau muda
T.Ponti B3 (U) S9
6.a
7
2
Hijau muda
b
5
1
2
Hijau muda
c
9
2
Hijau muda
Lampiran 4. Jadwal Harian Praktik Kerja Lapangan
Lampiran 5. Lembar Penilaian Praktik Kerja Lapangan
Lampiran 6. Surat Keterangan Telah Melaksanakan PKL
Lampiran 7. Kelompok Praktik Kerja Lapangan di Pusat Penelitian Biologi, LIPI
Gambar peserta PKL periode Januari-Februari 2017 bersama jajaran peneliti dan teknisi Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tanaman, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Thalya Dwi Merdianty. Dilahirkan di Cirebon pada tanggal 19 Maret 1996 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mochammad Hendiana dan Ibu Nina Sutinah. Kakak pertama penulis bernama Aditya Rendrahadi dan adik perempuan bernama Gita Monitri Febriana. Saat ini penulis bertempat tinggal di Jl. Intan 2 blok C9 nomor 12, Rt 09 Rw 14, Permata Harjamukti Cirebon. Nomor telepon yang dapat dihubungi yaitu 083824919196 dan e-mail
[email protected] .
Penulis memulai pendidikan dini di TK Permata Kota Cirebon pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke tingkat dasar di SD Negeri Kalijaga Permai Kota Ciirebon dan lulus pada tahun 2008. Kemudian dilanjutkan ke jenjang tingkat menengah pertama di SMP Negeri 5 Kota Cirebon dan lulus di tahun 2011. Jenjang menengah atas lulus tahun 2014 di SMA Negeri 3 Kota Cirebon sebelum melanjutkan ke Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Selama itu pula penulis aktif menjadi anggota dan pengurus Himpunan Mahasiswa Agroteknologi (HIMAGROTEK) selama kepengurusan 2016/2017. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis yaitu juara 1 News Casting dalam lomba ALICE 2015 yang diselenggarakan oleh SEGA. Selain itu, pada tahun yang sama penulis mendapat posisi sebagai Putri Himagrotek dalam pemilihan yang dilaksanakan.