LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESARIA ATAS INDIKASI GAGAL DRIP OKSITOSIN
Nama : Ayuandi Enggal Enggal Putri NPM : 1510105120 1510105120
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SEBELAS APRIL SUMEDANG 2017
1. DEFINISI
1.1 Sectio Caesaria Ada teori tentang definisi Sectio Caesaria (SC), dan masing-masing mempunyai pengertian mempunyai pengertian yang berbeda tetapi makna yang sama yaitu : Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009) Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2007). 1.2 Induksi Persalinan Induksi persalinan adalah suatu tindakan merangsang uterus untuk memulai terjadinya persalinan (Saifuddin, 2002) Induksi persalinan menurut Gilert (2003) yaitu semua usaha memulai kontraksi uterus sebelum kejadian persalinan spontan seagai fasilitas persalinan pervaginam. Induksi persalinan dilakukan sebelum tanda dan gejala persalinan terjadi, sedangkan pada akselerasi tanda dan gejala persalinan telah terjadi. 2. KLASIFIKASI KLASIFIKASI SEKSIO CAESARIA
2.1 Seksio Caesaria Primer ( efektif ) Dari semula sudah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara sectio caesaria, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit (Conjugata Vera kurang dari 8 cm) 2.2 Sectio Caesaria Sekunder Dalam hal ini kita mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan sectio caesaria.
2.3 Sectio Caesaria Ulang (Repeat Caesarean Sectio) Ibu pada kehamilan terdahulu mengalami Sectio Caesaria (previous Caesarian Secti) dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan Sectio Caesaria ulangan. 2.4 Sectio Caesaria Histerektomi (Caesarean Sectio Histerektomy) Adalah suatu operasi dimana setelah dilahirkan secara sectio caesaria, langsung dilakukan histerektomi karena suatu indikasi. a. Atonia uteri b. Plasenta accrete c. Myoma uteri d. Infeksi intra uteri berat
2.5 Opersai Porro (Porro Operation) Adalah suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari cavum uteri (tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat. Sectio Caesaria oleh ahli kebidanan disebut obstetric panacea, yaitu obat atau terapi ampuh dari semua masalah obstetrik. (Mochtar, 2000) 3. JENIS SECTIO CAESARIA
Menurut Mochtar (2000), ada 3 jenis sectio caesaria : 3.1 Abdomen (Sectio Caesaria Abdominalis) A. Sectio caesaria klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. 1) Kelebihan : a. Mengeluarkan janin lebih cepat b. Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih c. Sayatan biasa di perpanjang proksimal atau distal. 2) Kekurangan :
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik. b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri spontan. B. Sectio Caesaria Ismika atau Profunda atau Low Cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim. 1) Kelebihan : a. Penjahitan luka lebih mudah b. Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik. c. Tumpang tindih dari peritoneal Flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum. d. Perdarahan kurang e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan kurang atau lebih kecil 2) Kekurangan : a. Luka melebar ke kiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan pedarahan yang banyak. b. Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
3.2 Sectio Caesaria Ekstra Peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis. Sectio Caesaria ekstra peritonealis dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi nifas, dengan kemajuan terhadap terapi infeksi, teknik ini tidak lagi dilakukan karena tekniknya sulit, juga sering terjadi ruptur peritoneum yang tidak dapat dihidarkan.
3.3 Vagina (Sectio Caesaria Vaginalis) Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan sebagai berikut: a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kroning b. Sayatan melintang (transfersal) menurut Kerr
c. Sayatan huruf T (T- incition)
4. ETIOLOGI
Manuaba (2005) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut: 4.1 CPD (Chepalo Pelvik Disproportion) Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. 4.2 PEB (Pre-Eklamsi Berat) Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi. 4.3 KPD (Ketuban Pecah Dini) Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu. minggu. 4.4 Bayi Kembar Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
4.5 Faktor Hambatan Jalan Lahir Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas. 4.6 Kelainan Letak Janin 1)
Kelainan pada letak kepala a. Letak kepala tengadah Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul. b. Presentasi muka Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %. c. Presentasi dahi Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
2)
Letak Sungsang Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, s empurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
5. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi
dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, dll , untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis f isiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan gangguan rasa nyaman. Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat regional dan umum. Namun anestesi
umum lebih banyak
pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadangkadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus. Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi. konstipasi.
6. METODE INDUKSI PERSALINAN
Induksi persalinan dapat dilakukan dengan cara pemecahan ketuban, pemberian
oksitosin,
prostaglandin,
pemberian
pemasangan
misoprostol,
laminaria,
pemberian
pemasangan
balon
hormon kateter.
Keberhasilan induksi tergantung kondisi serviks yang matang. 6.1 Pemecahan Ketuban Menurut Varney (2004) pemecahan ketuan disengaja merupakan bentuk induksi maupun akselerasi aksele rasi persalinan. Dengan keluarnya sebagian air ketuban terjadi pemendekan otot rahim sehingga otot rahim lebih efektif berkontraksi. Pernyataan saifuddin (2002) pemecahan ketuan menimbulkan
pembentukan
prostaglandin
yang
akan
merangsang
persalinan dengan meningkatkan uterus. 6.2 Pemerian Oksitosin drip Oksitosin adalah suatu peptida yang dilepaskan dari bagian hipofisis posterior. Oksitosin meningkatkan kerja sel otot polos yang diam memperlambat
konduksi
aktivitas
elektrik
sehingga
mendorong
pergerakan serat-serat serat -serat otot ot ot yang leih banyak kontraksi dan akibatnya akan meningkatkan kekuatan dari kontraksi yang lemah (Caldeyro, 1957 dalam Henderson & Jones, 2006). Pemberian oksitosin drip dilakukan pemerikasaan dan pengawasan terhadap : skor bishop, tekanan darah, denyut nadi, kontraksi uterus, relaksasi uterus, denyut jantung janin, kecepatan cairan infus oksitosin. Oksitosin mulai diberikan melalui infuse dektrose atau gram fisiologis dengan ketentuan : 2,5 unit oksitosin dalam 500 cc dektrose, pemberian mulai dari 10 tetes/menit, tetesan dinaikan 10 tetes setiap 30 menit sampai kontraksi lebih kuat. Kontraksi adekuat yang diharapkan adanya 3 kali
kontraksi yang lamanya lebih dari 40 detik. Jika kontraksi uterus adekuat maka infus dipertahankan sampai kelahiran bayi (Saifuddin, 2002) 7. INDIKASI INDUKSI PERSALINAN
Menurut May dan Mahlmeister (1990) indikasi dilakukannya induksi persalinan yaitu, hipertensi dalam kehamilan, penyakit diabetes, ketuban pecah dini, post term, kondisi yang membahayakan janin. Maka induksi persalinan tidak dapat dilakukan pada kondisi yang normal baik pada ibu maupun janin. 8. KONTRA INDIKASI
8.1 Kontra Indikasi SC Dalam praktek kebidanan modern, tidak ada kontra indikasi tegas terhadap sectio caesaria, namun demikian sectio caesaria jarang dilakukan bila keadaan-keadaan sebagai berikut : 1) Janin mati 2) Terlalu prenatur untuk bertahan hidup 3) Ada infeksi pada dinding abdomen, syok 4) Anemia berat yang belum diatasi 5) Kelainan Kongenital 6) Tidak ada / kurang sarana / fasilitas / kemampuan (Cunningham, 2006) 8.2 Kontra Indikasi Induksi Menurut May dan Mahlmeister (1990) Kontra indikasi induksi persalinan diantaranya didasarkan pada kondisi ibu dan janin. Kontra indikasi menurut ibu adalah (1) riwayat trauma pada uterus, (2) abnormalitas dari uterus, vagina atau panggul, (3) adanya plasenta previa atau dugaan obrupsio placenta, (4) adanya herpes type II dalam traktus genetalis (5) grandemultipara, dll
9. PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
9.1 Elektroensefalogram (EEG) Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang. 9.2 Pemindaian CT Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. 9.3 Magneti resonance imaging (MRI) Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT. 9.4 Pemindaian positron emission tomography ( PET ) Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak. 9.5 Uji laboratorium 1) Fungsi lumbal
: menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit 3) Panel elektrolit 4) Skrining toksik dari serum dan urin 5) AGD 6) Kadar kalsium darah 7) Kadar natrium darah 8) Kadar magnesium darah
10. K OMPLIKASI OMPLIKASI
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah : 10.1 Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi menjadi: 1) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari 2) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung 3) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
10.2 Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri. 10.3 Bekuan darah di kaki (tromboflebitis), organ-organ dalam panggul, yang kadang-kadang sampai ke paru-paru. 10.4 Luka kandung kemih 10.5 Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga bisa terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya. 10.6 Ruptur uteri pada kehamilan berikutnya. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru yang sangat jarang terjadi. (Wiknjosastro, 2005) 11. PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN MEDIS
11.1 Perawatan awal 1) Letakan pasien dalam posisi pemulihan 2) Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai sadar 3) Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi 4) Transfusi jika diperlukan 5) Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah 11.2 Diet Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh. 11.3 Mobilisasi Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : 1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar 3) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya. 4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler) 5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
11.4
Pembalutan dan perawatan luka
1) Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak jangan mengganti pembalut 2) Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk mengencangkan 3) Ganti pembalut dengan cara steril 4) Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih 5) Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC 6) Jika masih terdapat perdarahan a. Lakukan masase uterus b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin.
11.5
Hal – Hal Hal lain yang perlu diperhatikan
1) Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi 2) Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma. 3) Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
4) Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis. 5) Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi 6) Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat. 7) Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra abdomen 8) pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin
disebab-kan
karena
pengaruh
obat-obatan,
anestetik,
narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV TTV setiap 1015 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali. 9) Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi. 10) Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan 11) Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau general perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan abdomen, persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter fole.
12. PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
12.1 PENGKAJIAN Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan
meliputi
distress
janin,
kegagalan
untuk
melanjutkan
persalinan, malposisi janin, prolaps tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa. 1) Identitas atau biodata klien Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register, dan diagnosa keperawatan. 2) Keluhan utama 3) Riwayat kesehatan a. Riwayat kesehatan dahulu : Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung, hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus. b. Riwayat kesehatan sekarang : Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang keluar pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tandatanda persalinan. c. Riwayat kesehatan keluarga : Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada klien.
4) Pola-pola fungsi kesehatan a. Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat b. Pola Nutrisi dan Metabolisme c. Pola aktifitas d. Pola eleminasi e. Istirahat dan tidur
f. Pola hubungan dan peran g. Pola penagulangan sters h. Pola sensori dan kognitif
5)
i.
Pola persepsi dan konsep diri
j.
Pola reproduksi dan sosial
Pemeriksaan fisik a. Tanda-tanda vital Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun. b. Kepala Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan c. Telinga Biasanya
bentuk
telingga
simetris
atau
tidak,
bagaimana
kebersihanya, adakah cairan yang keluar dari telinga. d. Mata Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning e. Hidung Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadangkadang ditemukan pernapasan cuping hidung f. Leher Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena adanya proses menerang yang salah g. Dada Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiper pigmentasi areola mamae dan papila mamae h. Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
i.
Genitalia Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
j.
Anus Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur
k. Ekstermitas Pemeriksaan
odema
untuk
terlihat
kelainan-kelainan
karena
membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
12.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN 1) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dalam pembedahan (SC) 2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik sekunder terhadap efek anestesi 3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
12.3 INTERVENSI 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik ( post op SC ) Kriteria Hasil : mampu mengontrol nyeri, melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan manajemen nyeri a. Kaji skala nyeri Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri pasien b. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan Rasional : Untuk mengetahui perkembangan keadaan pasien c. Ajarkan tekhnik non farmakologi berupa nafas dalam Rasional : Pernafasan yang dalam dapat menghirup oksigen secara adekuat sehingga otot-otot menjadi relaksasi dan dapat mengurangi rasa nyeri d. Kelola pemberian obat analgesik
Rasional : untuk mengurangi skala nyeri
2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik sekunder terhadap efek anestesi Kriteria Hasil : dapat melakukan aktifitas seperti biasa tanpa disertai peningkatan nadi, tekanan darah dan dan respirasi a. Monitor respon fisik pasien Rasional
:
mengetahui
sejauh
mana
kemampuan
pasien
melakukan aktivitas fisik b. Latih pasien untuk miring kanan dan kiri Rasional : menghindari luka tekan dan mempercepat kesembuhan c. Monitoring tekanan darah nadi dan respirasi sebelum dan sesudah melakukan aktivitas Rasional : mengetahui ada perubahan tidak setelah melakukan aktifitas
3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive Kriteria Hasil ; pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi a. Kaji tanda dan gejala infeksi Rasional : mengetahui keadaan pasien b. Lakukan perawatan luka Rasional : meminimalisir resiko infeksi c. Motivasi untuk diit TKTP Rasional : makanan dengan tinggi kalori dan protein dapat mempercepat penyembuhan luka d. Kelola pemberian antibiotic Rasional : membantu meminimkan resiko infeksi
13. DAFTAR PUSTAKA
Wiknjosastro Hanifa, Saifuddin, Abdul Bari, Rachimhadhi Trijatmo. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Edisi 3, Cet. 7. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Mochtar Rustam. 2000. Sinopsis Obstetri: Obstetri Operatif Obstetri Sosial. Jilid 2, Edisi 2, Jakarta : EGC. Muchtar. 2005. Obstetri patologi, patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC Mansjoer, A. 2007. Asuhan Keperawatn Maternitas. Maternitas . Jakarta : Salemba Medika. Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu 2009. Ilmu Kebidanan, Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta : mocaMedia Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 . 2005-2006 . Jakarta: Prima Medika Cunningham, Gary F. 2006. Obstetri Williams. Edisi 21, Volume 1. Jakarta : EGC. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126580-TESIS0488%20Emi%20N08pPengalaman%20primivara-Literatur.pdf