LAPORAN PENDAHULUAN
CA RECTI
Oleh Hilda Fauziyyah, 1306377884
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Anatomi dan Fisiologi
Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau Intestinum mayor panjangnya ± 1,5 m, lebarnya 5-6 cm. Banyak bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri ini juga penting untuk fungsi normal dari usus. Fungsi usus besar, terdiri dari :Menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri E.Coli, tempat feses. Usus besar (kolon), terdiri atas:
Sekum
Sekum (bahasa latin: caecus, "buta") dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Di bawah sekum terdapat appendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya ± 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.
Kolon Asendens
Kolon assendens mempunyai panjang 13 cm, terletak di abdomen bawah sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
Kolon Transversum
Panjangnya ±38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke kolon desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapaat fleksura lienalis.
Kolon Desendens
Panjangnya ±25 cm terletak di abdomen bawah bagian kiri membujur dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.
Kolon Sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai S, ujung bawahnya berhubungan dengan rektum
Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal dengan panjang sekitar 12-13 cm (Sloane, 2004). Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Sfingter anal internal otot polos (involunter) dan sfingter anal eksternal otot rangka (volunter) mengitari anus (Sloane, 2004). Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa. Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal (anal), yaitu lipatan-lipatan vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena (Sloane, 2004).
Definisi Ca Colorectal
Ca Kolorectal merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian rekti yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel epitel yang tidak terkendali (Black & Hawks, 2014). Kanker rekti adalah kanker yang berasal dalam permukaan rektum/rectal. Umumnya kanker kolorektal berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas, terdapat adenoma atau berbentuk polip.
Klasifikasi Ca Rekti
Metode penahapan kanker yang digunakan adalah klasifikasi duke sebagai berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
Duke
Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga (submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
Stadium II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada kelenjar getah bening (Duke B).
Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum pada organ tubuh lainnya (Duke C).
Stadium IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium
T
N
M
Duke
0
Tis
N0
M0
-
I
T1
T2
N0
N0
M0
M0
A
II A
II B
T3
T4
N0
N0
M0
M0
B
III A
III B
III C
T1-T2
T3-T4
Any T
N1
N1
N2
M0
M0
M0
C
IV
Any T
Any N
M1
D
Keterangan
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada
lamina propria
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau
ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis
Etiologi dan Patofisiologi Ca Rectal
Beberapa faktor risiko/faktor predisposisi terjadinya kanker rectum menurut Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever (2010) sebagai berikut:
Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt (1971) dalam Price & Wilson (2012) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
Lemak
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.
Polip diusus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum, dan sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar polip bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.
Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon (misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki risiko yang lebih besar.
Riwayat kanker pribadi
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena kanker colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium), atau payudara mempunyai tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker rectal.
Riwayat kanker rektal pada keluarga
Jika mempunyai riwayat kanker rekti pada keluarga, maka kemungkinan terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika terkena kanker pada usia muda.
Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang lebih besar terkena kanker colorectal serta kebiasaan sering menahan tinja/defekasi yang sering.
Usia di atas 50
Kanker rekti biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah usia 50 tahun ke atas.
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari perkembangan kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut transformasi maligna (Ignatavicius & Workman, 2006). Karsinogen adalah substansi yang mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi sel menjadi sel yang bersifat otonom dan maligna.Trasformasi maligna diduga mempunyai sedikitnya tiga tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi, dan progresi (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010), yaitu:
a. Inisiasi (Carcinogen)
Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memicu sel menjadi ganas. Perubahan ini disebabkan oleh status karsinogen berupa bahan kimia, virus, radiasi atau sinar matahari yang berperan sebagai inisiator dan bereaksi dengan DNA yang menyebabkan DNA pecah dan mengalami hambatan perbaikan DNA. Perubahan ini mungkin dipulihkan melalui mekanisme perbaikan DNA atau dapat mengakibatkan mutasi selular permanen. Mutasi ini biasanya tidak signifikan bagi sel-sel sampai terjadi karsinogenesis tahap kedua.
b. Promosi (Co-carcinogen)
Pemajanan berulang terhadap agen menyebabkan ekspresi informasi abnormal. Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara faktor kedua dengan sel yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor kedua sebagai agen penyebabnya disebut complete carcinogen karena melengkapi tahap inisiasi dengan tahap promosi. Agen promosi bekerja dengan mengubah informasi genetik dalam sel, meningkatkan sintesis DNA, meningkatkan salinan pasangan gen dan merubah pola komunikasi antarsel. Pada masa antara inisiasi dan promosi merupakan kunci konsep dalam pencegahan kanker, karena bila pada tahap ini dilakukan pencegahan pemaparan karsinogen ulang seperti makanan berlemak, obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat menurunkan risiko terbentuknya formasi neoplastik.
Progresi (Complete Carcinogen )
Pada tahapan ini merupakan tahap akhir dari terbentuknya sel kanker atau karsinogenesis. Sel-sel yang mengalami perubahan bentuk selama inisiasi dan promosi kini melakukan perilaku maligna. Sel-sel ini sekarang menampakkan suatu kecenderungan untuk menginvasi jaringan yang berdekatan (bermetastasis).
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara pasti. Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas tetapi dianggap bukan sebagai penyebab langsung. Hipotesa penyebab yang lain adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa menyebabkan kanker kolorektal. Diet rendah serat dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Bakteri dapat mengubah asam empedu, yang dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu pencernaan lemak, menjadi suatu senyawa-senyawa yang dapat memicu kanker. Senyawa-senyawa tersebut disebut sebagai asam empedu sekunder. Asam empedu secara normal dikeluarkan oleh tubuh untuk mencerna lemak. Semakin banyak lemak yang dikonsumsi, maka asam empedu yang dikeluarkan oleh tubuh akan semakin banyak pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika beberapa bahan makanan yang banyak mengandung lemak seperti daging merah, serta daging dan makanan olahan lain yang berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat meningkatkan risiko kanker usus. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker usus seperti halnya makanan yang kaya akan gula.
Patologi kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat terjadi pada semua bagian dari usus besar.
Polip jinak dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih; melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon; melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke sistem portal; penyebaran secara transperitoneal; penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain.
Polip adenoma
Polip maligna
Menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya
Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain
Manifestasi Klinis
Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rectal Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever (2010). Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala yang paling menonjol adalah (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
Perubahan kebiasaan defekasi
Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua
Gejala anemi tanpa diketahui penyebabnya
Anoreksia
Penurunan berat badan tanpa alasan
Keletihan
Mual dan muntah-muntah
Usus besar terasa tidak kososng seluruhnya setelah BAB
Feses menjadi lebih sempit (seperti pita)
Perut sering terasa kembung atau keram perut
Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah: evakuasi feses yang tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian (umumnya konstipasi), serta feses berdarah.
Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe, atau vena menimbulkan gejala gejala pada tungkai atau perineum, hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi, atau sering berkemih dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut. Semua karsinoma kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan, obstruksi bila membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional, terkadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses peritoneum.
Tumor pada rekti dan kolon asendens dapat tumbuh sampai besar sebelum menimbulkan tanda-tanda obstruksi karena lumennya lebih besar daripada kolon desendens dan dindingnya lebih mudah melebar. Perdarahan biasanya sedikit atau tersamar. Bila karsinoma Recti menembus ke daerah ileum akan terjadi obstruksi usus halus dengan pelebaran bagian proksimal dan timbul nausea atau vomitus. Pertimbangan gerontologi, insiden karsinoma kolon dan rectum meningkat sesuai usia. Kanker ini biasanya ganas pada lansia, gejala sering tersembunyi yaitu: keletihan hampir selalu ada akibat anemia defisiensi besi primer, nyeri abdomen, obstruksi, tenesmus, dan perdarahan rectal.
Pengkajian
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan.
Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Tanda : Perubahan pada TD.
Integritas Ego
Gejala : Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol, depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada defekasi. Perubahan eliminasi urinarius, nyeri saat berkemih, hematuria, sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
Makanan/Cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak). Anoreksia, mual/muntah. Intoleransi makanan. Perubahan pada berat badan, berkurangnya massa otot.
Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit, edema.
Neurosensori
Gejala : Pusing.
Pernapasan
Gejala : Merokok (hidup dengan seseorang yang merokok). Pemajanan abses.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri bervariasi.
Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari yang lama.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, dampak pada hubungan, perubahan tingkat kepuasan.
Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung.
Riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga.
Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya dan pengobatan yang diberikan.
Pemeriksaan Diagnostik
Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah mikroskop
Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter ani keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula rectum kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau tidak.
Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian bawah, sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum
Endoskopi (protoskopi, sigmoidoscopy atau colonoscopy), dengan menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya polip atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi untuk mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid, karsinoma rektum). Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test diagnostik utama digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan biopsy jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % (20-25 cm dari anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari kolonoskopi direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi pada klien dengan perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah, ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis
Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan menilai reseklabilitas.
Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah indikasi umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker kolorektal.
Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces, karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen ini dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam skreening atau test diagnostik dalam pengobatan penyakit. CEA digunakan sebagai prediktor pada prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan pembedahan.
Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75% karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.
Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi serum protein, kalsium, dan kreatinin.
Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus, konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan pola mukosa normal hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata dalam mendeteksi rektum
X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru
CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren (yang timbul kembali).
Pemeriksaan DNA Tinja.
Masalah keperawatan dan diagnosa yang mungkin muncul
Nyeri kronis
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Diare
Konstipasi
Treatment/Pengobatan dan terapi/medikasi
Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson, 2006). Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen (pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta sfingkter anal)
Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang tidak dapat direseksi)
Sebelum pembedahan, dilakukan radioterapi untuk mencegah sel maligna bermetastasis dan mengurangi ukuran tumor serta membuatnya lebih mudah direseksi. Intervensi lokal terhadap tumor setelah pembedahan adalah implantasi isotop (radium, cesium, dan kobalt) ke dalam area tumor dan elektrokoagulasi.
Kemoterapi
Kemoterapi bertujuan untuk menurunkan metastasis dan mengontrol manifestasi. Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dengan tumor yang menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol (stadium II lanjut dan stadium III).Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole untuk meningkatkan sistem imun dan dapat menjadi substitusi bagi leucovorin.
- 5 hari Fu (Flouro-Uracil 13,5mg/kg BB/hari)
- 5 Fu dan Ca Folinat
Radioterapi
Pada Ca stadium II dan III lanjut, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Radioterapi dapat menjadi terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan risiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.
Rencana Asuhan Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
1.
2.
3.
Nyeri (Akut) berhubungan dgn :
Biologis;aktivitas proses penyakit (kanker,trauma)
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan :
Anoreksia lama/gangguan masukan saat praoperasi dan Adanya diare/gangguan absorpsi.
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan :
Karakter/aliran feses dan flatus dari stoma.
Kriteria Evaluasi :
Menyatakan nyeri hilang atau terkontrol.
Menunjukkan nyeri hilang, mampu tidur/istirahat dengan tepat.
Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan kenyamanan umum sesuai indikasi situasi pasien.
Kriteria Evaluasi :
Mempertahankan berat badan/menunjukkan peningkatan berat badan bertahap sesuai tujuan dengan nilai laboratorium normal.
Merencanakan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Kriteria Evaluasi :
Mempertahankan Integritas kulit.
Mengidentifikasi faktor resiko individu.
Menunjukkan perilaku/teknik peningkatan penyembuhan/mencegah kerusakan kulit.
Mandiri:
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, intensitas (skala 0-10).
Berikan tindakan kenyamanan, mis., perawtan mulut, pijatan punggung, ubah posisi.
Dorong penggunaan tehnik relaksasi, mis., bimbingan imajinasi,visualisasi.
Bantu melakukan latihan rentang gerak dan dorong ambulasi dini. Hindari posisi duduk lama.
Selidiki dan laporkan adanya kekakuan otot abdominal dan nyeri tekan
Kolaborasi :
Berikan obat sesuai indikasi, mis., narkotik, analgesik.
Berikan rendam duduk.
Lakukan/pantau efek unit TENS.
Mandiri :
Lakukan pengkajian nutrisi dengan seksama.
Auskultasi Bising usus.
Mulai dengan makan cairan perlahan.
Identifikasi bau yang ditimbulkan oleh makanan (mis., kol, ikan, kacang-kacangan) dan sementara batasi diet.
Anjurkan pasien meningkatkan penggunaan yogurt dan mentega susu.
Diskusikan mekanisme menelan udara sebagai factor pembentukan flatus.
Kolaborasi :
Konsult dengan ahli diet.
Tingkatkan diet dari cairan sampai makanan rendah residu bila masukan oral dimulai.
Berikan makanan enteral/ parenteral bila diindikasikan.
Mandiri :
Lihat stoma/area kulit peristomal pada tiap penggatian kantong. Bersihkan dengan air dan keringkan. Catat iritasi, kemerahan (warna gelap, kebiru-biruan).
Ukur stoma secara periodik, mis,, tiap perubahan kantong selama 6 minggu pertama. Kemudian sekali sebulan selama 6 bulan.
Berikan pelindung kulit yang efektif, mis., wafer stomahesive, karaya gum, Realiseal (Davol) atau produk semacamnya.
Kosongkan, irigasi dan bersihkan kantong ostomi dengan rutin.
Sokong kulit sekitar bila mengangkat kantong dengan perlahan.
Selidiki keluhan rasa terbakar/gatal/melepuh disekitar stoma.
Kolaborasi :
Konsul dengan ahli terapi/enterostomal
Berikan sprei aerosol kortikosteroid dan bedak nistatin sesuai indikasi.
Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesik.
Mencegah pengeringan mukosa oral dan ketidaknyamanan. Menurunkan tegangan otot dan meningkatkan relaksasi.
Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian, sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
Menurunkan kekakuan otot atau sendi. Ambulasi mengembalikan organ ke posisi normal dan meningkatkan kembalinya fungsi ketingkat normal.
Diduga inflamasi peritoneal, yang memerlukan intervensi medik cepat.
Menurunkan nyeri, meningkatkan kenyamanan.
Menurunkan ketidaknyamanan lokal. Menurunkan edema dan meningkatkan penyembuhan luka perineal.
Perangsang kutaneus dapat digunakan untuk menghambat transmisi rangsangan nyeri.
Mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan untuk membantu memilih intervensi.
Kembalinya fungsi usus menunjukkan kesiapan untuk memulai makan lagi.
Menurunkan insiden kram abdomen, mual.
Sensitivitas terhadap makanan tertentu tidak umum setelah bedah usus. Pasien dapat mencoba berbagai makanan sebelum menentukan apakah ini membuat masalah.
Dapat menurunkan pembentukan bau.
Minum melalui sedotan, mengorok, ansietas, merokok, sakit gigi, dan meneguk makanan meningkatkan produksi flatus. Terlalu banyak flatus dapat menjadi factor penyebab kebocoran dari banyaknya tekanan dalam kantong.
Membantu mengkaji kebutuhan nutrisi pasien dalam perubahan pencernaan dan fungsi usus.
Diet rendah sisa dapat dipertahankan selama 6-8 minggu pertama untuk memberikan waktu yang adekuat untuk penyembuhan usus.
Pada kelemahan/tidak toleran terhadap makanan per oral. Hiperalimetasi digunakan untuk menanbah kebutuhan komponen pada penyembuhan dan mencegah status katabolisme.
Memantau proses penyembuhan/keefektifan alat dan mengidentifikasi masalah pada area. Mempertahankan kebersihan/mengeringkan area untuk membantu pencegahan kerusakan kulit. Identifikasi dini nekrosis stoma/iskemia atau infeksi jamur memberikan intervensi tepat waktu untuk mencegah komplikasi serius.
Sesuai dengan penyembuhan edema pascaoperasi (selama 6 minggu pertama) ukuran kantong yang dipakai harus tepat sehingga feses terkumpul sesuai aliran dari ostomi dan kontak dengan kulit dicegah.
Melindungi kulit dari perekat kantong, meningkatkan perekat kantong dan memudahkan pengangkatan kantong bila perlu.
Penggantian kantong yang sering mengiritasi kulit dan harus dihindari.
Mencegah iritasi jaringan/kerusakan sehubungan dengan "penarikan" kantong.
Indikasi kebocoran feses dengan iritasi periostomal, atau kemungkinan infeksi kandida yang memerlukan intervensi.
Membantu pemilihan produk yang tepat untuk kebutuhan penyembuhan pasien, termasuk tipe ostomi, status fisik/mental dan sumber finansial.
Membantu penyembuhan bila terjadi iritasi peristomal/infeksi jamur.
Daftar Pustaka
Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: definitions & classification 2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking for collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir Saunders.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC
Sloane, E. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth's textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.