LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI VETERINER I (ENDOPARASIT) PEWARNAAN CACING DAN PEMERIKSAAN PARASIT DARAH
NAMA
: INDRI ERDIANAN
NIM
: O111 15 010
KELOMPOK
:I
ASISTEN
: IIN MUTMAINNAH
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Parasit adalah hewan renik yang dapat menurunkan produktivitas hewan yang ditumpanginya. Parasit dapat menyerang manusia dan hewan, seperti
menyerang
kulit
manusia. Parasitoid adalah
parasit
yang
menggunakan jaringan organisme lainnya untuk kebutuhan nutrisimereka sampai orang yang ditumpangi meninggal karena kehilangan jaringan atau nutrisi yang dibutuhkan. Parasitoid juga diketahui sebagai necrotroph. Penyakit parasit adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh agen-agen parasitic, dimana agen parasitic tersebut adlah organisme yang dapat merugikan hewan yang ditumpangi (hospes). Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian munculnya penyakit atau disebut dengan segitiga epidemiologi, yaitu faktor host, agent, dan environtment. Tempat hidup parasit terbagi ke dalam 2 golongan berdasarkan tempat hidupnya yaitu endoparasit seperti nematoda, cestoda, trematoda, dan protozoa yang menyebabkan gangguan pertumbuhan, anemia, dan diare. 1.2. Tinjauan Pustaka 1. Parasit Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergantung adanya organisme lain yang dikenal sebagai induk semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit seperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek moyang kita. Hewan-hewan parasit telah dikenal dan dibicarakan semenjak zamannya Aristoteles (384-322 SM) dan Hipocrates ( 460-377 SM ) di Yunani tetapi ilmu parasitnya sendiri baru berkembang setelah manusia menyadari pentingnya ilmu parasit dalam bidang biologi. Redi, (16264698 ) seorang Itali menemukan larva di dalam daging yang kemudian berkembang menjadi lalat (Anonim, 2011). Endoparasit atau entoparasit atau entozoon. Endoparasit adalah parasitparasit yang berlokasi didalam jaringan tubuh hospesnya kecuali yang hidup dipermukaan tubuh dan di dalam liang-liang kulit. Contoh-contoh endoparasit: Di dalam saluran pencernaan. Saluran pencernaan tampaknya
lokasi yang banyak disenangi sebagai tempat tinggal atau predileksi parasit. Parasit dan berbagai spesies cacing nernatoda, trematoda dan cestoda banyak tinggai di dalam lumen atau di dalam mukosa dinding saluran pencernaan (Anonim, 2011). Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000). 2. Nematoda Nematoda adalah cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit. Badannya tidak bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada kedua ujungnya. Badannya dibungkus oleh lapisan kurtikula yang dilengkapi dengan gelang-gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa, atau bisa juga licin dan mempunyai garis-garis penebalan longitudinal. Kutikula relatif tebal dan bersambung dengan lapisan kutikula rongga mulut, esophagus, rectum, dan bagian distal dari saluran genital (Kusumamihardja, 1992).
Strongylus spp merupakan cacing yang biasa disebut dengan cacing benang karena ukurannya yang lebih kecil dari cacing tambang dan di dalam telur terdapat larva yang melengkung mirip dengan benang. Berdasarkan Soulsby (1982) cacing in termasuk dalam : -
Filum
: Nemathelminthes
-
Kelas
: Nematoda
-
Ordo
: Strongylida
-
Famili
: Strongylidae
-
Genus
: Strongylus
-
Spesies
: Strongylus vulgaris, Strongylus equinus.
Morfologi cacing Strongylus spp mulutnya dilapisi oleh kapsul mulut yang bentuknya hampir bulat. Ditengah tengah pada bagian dorsalnya terdapat lekukan yang berisi saluran esophagus dorsal. Pada bagian anterior
kapsul mulut ini terdapat saluran-saluran kutikula seperti pagar yang disebut daun mahkota atau corona radiata. Daun mahkota ini terdiri atas sejumlah penjuluran runcung yang lembut yang timbul dari sisi luar lubang mulu atau dari sisi dalamnya (Soulsby, 1982) Lubang mulutnya menuju rongga yang mempunyai dinding kutikula yang tebal dan dapat berisi struktur seperti gigi, atau menuju kedalam faring yang biasanya silindris dan dikelilingi oleh tenunan muskuler atau langsung masuk kedalam esophagus. Gigi terdapat pada dasar kapsul mulut (Soulsby 1982). Cacing Strongylus jantan dewasa panjangnya mencapai 26-35 mm, lebarnya 1,1 – 1,3 mm, sedangkan yang betina 38 – 55 mm panjangnya, dan lebarnya sekitar 1,8 – 2,3 mm. Ujung depannya menyempit dibandingkan bagian badannya. Kapsul mulut berbentuk oval dan memiliki daun mahkota, baik disebelah dalam maupun di sebelah luar. Di dasar kapsul mulut terdapat sebuah gigi atas yang besar dan dua buah gigi bawah yang ukurannya lebih kecil (Soulsby 1982). Siklus hidup Strongylus spp memiliki
siklus
hidup
langsung.
Cacing betina dewasa bertelur dan mengeluarkan telurnya bersamaan dengan tinja kuda. Di luar tubuh telur akan berkembang (Subronto, 2007). Perkembangan sel telur setelah terjadi pembuahan membagi diri menjadi dua, lalu menjadi empat dan seterusnya.
Kemudian
embrionya
berkembang menjadi masa morula dan kemudian masa kecil yaitu ujung anteriornya lebar dan embrionya melingkar dua kali. Pada akhirnya larva lengkap terbentuk dan telur siap untuk menetas. Telur strongylus akan menetas antara suhu 8oC sampai 38oC. Pada kondisi tropis di indonesia yang
suhunya normal telur akan berkembang menjadi L3 dalam waktu 3 – 4 hari (Soulsby, 1982). Gejala klinis dari infeksi cacing ini adalah proses perubahan patologis yang terjadi akibat infeksi antara cacing dengan inangnya. Jenis dan perluasan dari kontak parasit dengan jaringan inang ditentukan oleh mekanisme biologis yang tak terpisahkan antara parasit dan proses fisiologis untuk induk semang yang merespon masuknya cacing (Subronto, 2007). Efek patogenik dari spesies cacing ini di sekum dan kolon adalah sama dimana mereka membentuk formasi nodul pada dinding usus sebagai jalan untuk melengkapi migrasi dan mendapatkan makanan. Bentuk nodul pada dinding usus tampaknya merupakan bagian dari mekanisme migrasi cacing dari serosa ke submukosa tanpa kebocoran isi usus ke rongga peritoneum. Setelah cacing berjalan keluar menuju lumen usus, mereka meninggalkan nodul ulser. Nodul ini berukuran beberapa centimeter sebagai akibat klinik ringan pada usus besar kuda, yang ukurannya 12 kaki lebih panjang dari ukuran hewan itu sendiri. Ketika cacing ini menancapakan kepalanya pada mukosa usus besar dan menghisap darah. Infeksi berat bisa menimbulkan anemia normokhromik atau normositik karena itu umur butir darah menjadi lebih pendek. Pada saat dinekropsi terlihat ulser pendarahan yang akan meninggalkan spot atau titik merah dan dalam sehari terjadi kehilangan darah 30 mg akibat infeksi tersebut (Johnson, 2003). Pada bekas gigitannya terjadi tukak darah karena dalam rongga mulutnya terdapat pengait mukosa. Cacing tersebut berpindah dan setiap kali pindah menimbulkan luka bekas gigitan, kadang-kadang luka kecil itu menyatu menjadi luka yang lebih besar oleh karena itu banyaknya tukak melebihi banyaknya cacing (Subronto, 2007). Diagnosa, latar belakang pemeliharaan sangat penting sebagai landasan diagnosis. Tetapi pemeriksaan tinja akan mendukung diagosa dimana dalam pemeriksanaan tersebut akan terlihat ada atau tidaknya terlur strongylus. Identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi akan sangant menolong karena lebih akurat (Soulsby, 1982).
Pencegahan dan pengobatan yang paling efektif dilakukan adalah melakukan rotasi kandang. Menurut Soulsby (1982) daftar anthelmintika yang efektiff terhadap strongylus spp adalah : - Thiabendazole : dosis 44mg/kg BB, efektif terhadap strongylus dalam usus ; 440 mg/kg BB efektif terhadap larva yang sedang menigrasi. - Mebendazole : dosis 10 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa. - Fenbendazole : dosis 7,5 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa. - Cambendazole : dosis 20 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa. - Oxibendazole : dosis 5 – 10 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa. - Pyrantel emboate : dosis 19 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa - Dichlorvos : dosis 26 – 32 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa - Avermectin BIA : dosis 0,2 mg/kg BB efektif terhadap strongylus dewasa dan larva. 3. Cestoda Cestoda, Cestodaidea merupakan cacing pipih yang biasa disebut cacing pita. Kepala cacing pita disebut skolek yang dilengkapi dengan kaitkait, organ penghisap (batil hisap) atau keduanya. Dibawah skolek terdapat leher (zona proliferasi) dan tubuh yang biasa disebut strobila, tubuhnya bersegmen-segmen yang disebut proglotida (Noble, 1989). Setiap proglotida yang masak biasanya terdapat saru perangkat organ betina dan satu perangkat organ jantan, sehingga cacing pita sering dianggap bukan satu individu melainkan satu koloni. Cestoda tidak memiliki saluran pencernaan, maka sehari-hari makanan diperoleh lewat tegumen dengan cara difusi atau transport aktif (Gandahusada, 2000). Sistem saraf terdiri atas ganglia serebral diujung anterior cacing, dari situ menjulur dua batang popo lateral yang membentang sepanjang tubuh. Sistem aksretoris terdiri atas flame cell yang berhubungan dengan tubulus kolektifus melintang dan longitudinal. Fungsi sebenarnya masih diragukan, selain peranan yang biasa ialah mengeluarkan sisa-sisa metabolik tertentu dari tubuh, tubulus-tubulus tersebut membantu mengatur tekanan hidrostatik (Noble, 1989). Taksonomi dari Taenia saginata (Ideham dan Pusarawati, 2007):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Cestoidea
Ordo
: Cyclophyllidea
Famili
: Taeniidae
Genus
: Taenia
Spesies
: saginata
Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya (Soedarto, 2008). Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih (CFSPH, 2005). Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo dan Margono, 2008). Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15–30 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005). Siklus hidup cacing ini hampir sama seperti cacing pita babi. Hospes definitif Taenia saginata adalah manusia, yang berlaku sebagai hospes perantara adalah sapi atau kerbau. Cacing Taenia saginata menjadi dewasa setelah 10-12 minggu (sekitar 2 bulan) (Gandahusada, 2000)
Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir serupa dengan infeksi Taeniasis solium. Pada taeniasis saginata terjadi inflamasi sub-akut pada mukosa usus (Ideham dan Pusarawati, 2007) Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti
apendiks,
uterus,
duktus
biliaris,
dan
nasofaring
sehingga
menyebabkan appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang langka, dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi (Gandahusada, 2000). Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas. Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing (Handojo dan Margono, 2008). Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham). Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium (Garcia et al., 2003). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita. Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99% (WHO, 2009). Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakantindakan sebagai berikut (Soedarto, 2008): a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto, 2008). b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring semua kasus yang sangat ringan (Soedarto, 2008). c. Memasak daging sampai di atas 50oC selama 30 menit, untuk membunuh kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008). d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat (WHO, 2009).
e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008). f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008). g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan (Garcia et al., 2003). h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan kemoterapi (WHO, 2009). i. Meningkatkan
pendidikan
komunitas
dalam
kesehatan
(kebersihan,
mempersiapkan makanan, dan sebagainya) (WHO, 2009).
4. Trematoda Pada umumnya trematoda berbentuk gepeng dorsoventral, tetapi ada beberapa yang panjang dan ramping serta pula yang berbentuk daun. Kutikula atau tegumennya ada yang licin dan ada pula yang berduri, sebagai pembungkus badan juga secara faal merupakan struktur yang dinamis, yang bertanggung jawab dalam melaksanakan makanan (Kusumamihardja, 1992). Saluran pencernaan dimulai dengan mulu yang dilingkari oleh penghisap mulut. Mulut disambung oleh faring yang berotot tebal dan terus ke esophagus, selanjutnya ke usus yang biasanya bercabang dua dan berakhir dengan kantong buntu (sekum). Sistem eksresinya terdiri atas sebuah kantung yang menjadi pusat pengumpulan cairan eksresi. Dari kantung tersebut keluarlah saluran-saluran yang masuk ke parenkim, berakhir di sel obor yang merupakan ciri khas dari cacing pipih (Gandahusada, 2000). Semua trematoda adalah hemaprodit kecuali Schistosomatidae, dimana dalam tubuh terdpaat satu alat kelamin jantan dan satu alat kelamin betina. Umumnya terlur cacing trematoda mempunyai operkulum dan pada sebagian besar telurnya berkembang dalam uterus, sehingga siap untuk menetas pada waktu keluar (Kusumamihardja, 1992). Cacing hati atau cacing Fasciola hepatica bentuknya seperti daun dan mempunyai bahu, panjangnya 30 mm lebar 13 mm, batil isap mulut dan batil isap perut hampir sama besarnya dan letakknya berdekatan. Tracustus digestifus mempunyai caecum yang bercabanga-cabang. Cacing ini hermafrodit, telur mempunyai operkulum, ukuran 140 x 80 mikron (Safar, 2009).
Klasifikasi dari Fasciola hepatica berdasarkan Soulsby (1986) : Kingdom
: Animalia
Filum
: Plathyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Digenea
Famili
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
: Fasciola hepatica, Fasciola gigantica
Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ±1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucu terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang – cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang – cabang (Soedarto, 2008). Telur cacing ini berukuran 140x90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air selama 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar mencari keong air (Lymnaea spp). Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi metaserkaria. Siklus hidup Fasciola hepatica pada kambing (Safar, 2009) : 1. Telur keluar ke alam bebas bersama feses sapi. Bila menemukan habitat basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium. 2. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan Sporokista. 3. Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia 4. Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh siput menempel pada rumput dan berubah menjadi metaserkaria. 5. Metaserkasria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya.
Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut maupun kronis. Kasus yang akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta terjadinya perdarahan ke dalam peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari. Fasciolosis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati. Fasciolosis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi (Subronto, 2007). Gejala klini dari Fasciola hepatica Sapi yang terserang Fasciola sp. akan tampak pucat, lesu, matanya membengkak, tubuhnya kurus, dan bulu kasar serta kusam atau berdiri Fasciola sp. yang masih muda merusak sel-sel parenkim hati dan cacing dewasa hidup sebagai parasit dalam pembuluh-pembuluh hati. Sapi yang terserang Fasciola sp. mengalami gangguan fungsi hati, sehingga timbul peradangan hati dan empedu, obstipasi serta pertumbuhannya terganggu (Guntoro, 2002). Fasciolosis subakut kurang memperlihatkan gejala atau tidak sama sekali bahkan dapat mengakibatkan kematian mendadak. Fasciolosis kronis banyak dijumpai pada sapi-sapi yang dipelihara dengan pakan ternak segar yang dipetik dari daerah yang basah. Batang padi dari daerah basah sampai ketinggian dua pertiga panjang batang terbukti banyak mengandung kista cacing. Gambaran klinis fasciolosis kronis berupa kekurusan, kelemahan umum, kachexia, anoreksia, anemia, sampai tidak mampu bangun banyak dijumpai di lapangan. Oedema submandibular juga merupakan akibat dari anemia yang berat. Suara jantung mendebur sering ditemukan pada pemeriksaan sistem sirkulasi. Feses cair atau setengah cair berwarna hitam juga sering diamati (Subronto, 2007). Pencegahan dan kontrol Fasciolosis. Pencegahan tidak dapat dilakukan secara efektif. Hal ini disebabkan oleh sapi dan kerbau yang dipekerjakan sebagai hewan pembajak sawah untuk pertanian rakyat yang merupakan tempat hidup siput sebagai inang antara Fasciola sp. (Kusumamihardja, 1992). Menurut
Subandriyo dkk(2004) kontrol fasciolosis pada ruminansia kecil di Indonesia dapat
dilaksanakan
dengan
manajemen
pemberian
pakan,
pemberian
anthelmentik, kontrol biologi, vaksinasi, dan suplemen nutrisi. Manajemen pakan adalah menghindarkan padang rumput lembab sebagai tempat hidup inang antara dan mencegah hewan merumput di tempat tersebut sehingga hewan tidak memakan bahan pakan yang mengandung metaserkaria. Selain itu, Subandriyo dkk (2004) merekomendasikan agar temak diberi pakan segar yang tidak terendam dalam air. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa temak yang diberi pakan rumput yang dipotong sekitar 10 cm di bawah air mempunyai resiko lebih tinggi menderita fasciolosis daripada temak yang diberi pakan rumput kering. Kusumamihardja (1992) menyatakan bahwa kasus fasciolosis meningkat pada musim kemarau pada domba dan kambing di daerah Garut, hal ini dikarenakan petani mengambil rumput dari daerah sekitar selokan, saat musim hujan daerah tersebut terendam dan merupakan tempat menempelnya metaserkaria. Pemberian anthelmentik bertujuan untuk memusnahkan Fasciola sp. dari hati hewan menggunakan obat-obatan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan bahan alami dan obat-obat komersial. Beberapa jenis obat yang digunakan sampai tahun 1990-an antara lain Clioxanide dan Rafoxanide, bithionol sulfoxide juga mempunyai efektivitas yang cukup tinggi untuk membunuh Fasciola gigantica. Pemberian obat perlu disesuaikan dengan lingkungan seperti pada persawahan irigasi, pemberian obat dilakukan sebelum masa panen dan dua bulan setelah masa panen sedangkan pada padang rumput yang jauh dari areal persawahan, pemberian obat disesuaikan dengan musim (Subronto, 2007).
BAB II MATERI DAN METODE 2.1. Materi 2.1.1. Alat dan Bahan
1. Alat : a. Object glass b. Cover glass c. Mikrosop d. Pipet tetes e. Tabung EDTA f. Wadah g. Meja h. Kursi i. Handscoon j. Masker 2. Bahan : a. Metanol b. Aquades c. Giemsa d. Darah Anjing e. Minyak emersi f. Semischon’s carmine g. Alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, 100% h. Xylol i. HCl-Alkohol 0,5 – 1 % j. Cacing (parasit) 2.2. Metode 1. Pewarnaan Cacing a. Menyiapkan alat dan bahan b. Mendehidrasikan cacing menggunakan alkohol bertingkat masingmasing selama 15 menit. c. Merendam dalam larutan Semichon’s carmine selama 1 jam
d. Mencuci menggunakan alkohol 70% selama 15 menit e. Menetesi menggunakan HCl-alkohol 0,5 – 1 % f. Mendehidrasikan dengan alkohol bertingkat g. Merendam dalam Larutan Xylol selama 1 menit h. Mengamati diatas Mikroskop 2. Pemeriksaan Parasit Darah 1. Uji Natif a. Menyiapkan alat dan bahan b. Menuangkan darah setetes diatas object glass c. Menutup menggunakan Cover glass d. Mengamati dibawah mikroskop. 2. Ulas Darah Tebal a. Menyiapkan alat dan bahan b. Menuangkan darah setetes diatas Object glass c. Menggunakan object glass yang lain, hapus darah setetes tadi ke kanan atau kiri, atau kedepan, Keringkan d. Menfiksasi dengan metanol, keringkan. e. Tuangkan Giemsa, Keringkan 15 menit. f. Mencuci menggunakan air mengalir. g. Tambahkan minyak emersi h. Mengamati di mikroskop. 3. Ulas Darah Tipis a. Menyiapkan alat dan bahan b. Menuangkan darah setetes (lebih sedikit) diatas Object glass c. Menggunakan object glass yang lain, hapus darah setetes tadi ke kanan atau kiri, atau kedepan, Keringkan d. Menfiksasi dengan metanol, keringkan. e. Tuangkan Giemsa, Keringkan 15 menit. f. Mencuci menggunakan air mengalir. g. Tambahkan minyak emersi h. Mengamati di mikroskop.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Hasil 1. Uji Natif
Gambar 1 Pengamatan darah anjing dibawah mikroskop
2. Ulas Darah Tebal
Gambar 2 Pengamatan darah anjing dibawah mikroskop
3. Ulas Darah Tipis
Gambar 3 Pengamatan darah anjing dibawah mikroskop
4.
Pemeriksaan Darah Merpati
Gambar 5 Pemeriksaan darah merpati secara ulas darah
Gambar 4 Pemeriksaan darah merpati secara uji natif
5. Protozoa Tryporosoma sp. Pembahasan Pada praktikum kali ini membahas mengenai pewarnaan cacing dan pemeriksaan parasit darah. Dimana dalam percobaan pewarnaan cacing dilakukan dengan perendaman pada larutan alkohol bertingkat yaitu didehidrasikan kan. Lalu direndam pada Semichon’s carmine selama 1 jam yang berfungsi untuk menransparankan badan dari cacing. lalu dicuci dengan alkohol 70% selama 15 menit, lalu ditetsi menggunakan HCl-alkohol 0,5 – 1%. Lalu didehidrasikan lagi menggunakan alkohol bertingkat, dan direndam dilarutan xylol yang berfungsi sebagai pembersih dari larutan-larutan yang tertinggal ddi badan cacing dan
Gambar 6 Tampakan Trypanosoma sp. dari mikroskop
berfungsi sebagai penghilang lendir dari badan cacing. Lalu hasilnya diamati di bawah mikroskop.
Pada pemeriksaan parasit darah dilakukan tiga cara yaitu uji natif, ulas darah tipis, dan ulas darah tebal. Dimana percobaan pertama yaitu uji natif darah yang dilakukan dengan menetesi darah pada object glass lalu ditutupi dengan cover glass diperhatikan dibawah mikroskop. Lalu percobaan kedua yaitu ulas darah tipis. Dilakukan dengan meneteskan darah pada object glass lalu menggunakan object glass yang lain untuk menghapus darah ke depan hingga tipis dan ada juga yang tebal. Setelah itu dibelikan metanol yang berfungsi untuk fiksasi. Dikeringkan setelah kering diberikan larutan giemsa yang berfungsi memberikan warna pada sel darah. Lalu cuci menggunakan aquades yang mengalir untuk menghapus cairan giemsa pada object glass.
1. Parasit Darah a. Babesia sp. Klasifikasi Phylum III
: Apicomplexa
Subclass
: Piroplasmia
Ordo
: Piroplasmida
Family
: Babesiidae
Genus
: Babesia
Spesies
: Babesia sp. (Levine 1990)
Babesia sp. adalah parasit darah yang dapat menyebabkan babesiosis. Klasifikasi parasit ini menurut Levine (1990), termasuk dalam subfilum Apicomplexa, kelas piroplasma dan famili babesiidae. Jenis Babesia sp. yang menginfeksi sapi adalah Babesia bigemina, Babesia bovis, Babesia divergens, Babesia argentina, Babesia major. Babesia sp. dapat menyebabkan penyakit yang serius pada sapi, yaitu penyakit Cattle Tick Fever, Texas Fever, Red Water Fever, Piroplasmosis (Soulsby, 1982). Babesia sp. yang biasanya menginfeksi sapi-sapi yang ada di Indonesia adalah Babesia bigemina dan Babesia bovis. Morfologi Menurut Levine (1990), merozoit dalam eritrosit berbentuk bundar, atau tidak teratur. Pada Babesia bovis ditemukan bentuk ”cincin - signet”
bervakuol, yang mempunyai merozoit-merozoit berukuran kira – kira 1,5 – 2,4 µm dan terletak di bagian tengah eritrosit. Sedangakan Babesia bigemina dalam eritrosit berbentuk piriform, bulat, oval atau tidak teratur. Merozoit yang piriform ditemukan secara khas berpasang – pasangan dan berbentuk bulat dengan diameter 2 – 3 µm panjang 4 – 5 µm Siklus Hidup Merozoit Babesia sp. terdapat dalam eritrosit sapi, parasit bekembang biak dengan cara membelah diri. Pada beberapa spesies dibentuk dua merozoit yang keluar dari eritrosit baru, sedangkan pada yang lain terbentuk tetrat yang terdiri dari 4 merozoit. Hewan yang terinfeksi Babesia sp. dengan jumlah besar dan sekaligus, dapat menyebabkan kematian hewan tersebut. Sedangkan hewan yang terinfeksi Babesia sp. dalam jumlah sedikit dan secara bertahap, maka hewan akan memiliki kekebalan terhadap parasit ini. Menurut Soulsby (1982) Babesia sp. ditularkan oleh caplak yaitu, Boophilus sp. dan Rhipicephalus sp. Setelah caplak menghisap darah yang mengandung eritrosit yang berisi gametosit Babesia sp. dari sapi maka terjadi perkembangan di dalam usus caplak betina kemudian parasit masuk ke dalam saluran reproduksi caplak dan menginfeksi telur. Kemudian telur caplak menetas, keluar larva yang kemudian berkembang menjadi caplak dewasa. Parasit berkembang di dalam tubuah caplak dan akhirnya masuk ke dalam sel kelenjar ludah caplak dalam bentuk sporozoit (Levine, 1992). Proses perkembangbiakan ini memakan waktu 2-3 hari (Levine, 1961). Parasit stadium sporozoit masuk kedalam tubuh sapi melaui gigitan caplak, sporozoit berkembang menjadi tropozoit, tropozoit terjadi pembelahan dan berkembang menjadi merozoit (Levine, 1992). b. Theileria sp. Klasifikasi Phylum III
: Apicomplexa
Subclass
: Piroplasmia
Ordo
: Piroplasmida
Family
: Theileriidae
Genus
: Theileria
Spesies
: Theileria sp. (Levine 1990)
Theileria sp. menurut derajat patogenitasnya dibagi atas Theileria sp. yang patogen dan Theleria sp. yang non patogen. Jenis Theleria sp. yang patogen pada sapi adalah Theileria annulata, Theileria bovis, Theileria laurenct dan Theileria parva, penyebab penyakit east coast fever, mediterran theileriosis, corridor disease atau rhodensian red water disease. Sedangakan jenis Theileria sp. yang bersifat non patogen adalah Theileria mutan, Theileria buffeli, Theileria sergenti dan Theileria orientalis (Levine, 1990). Morfologi Menurut Soulsby (1982) bentuk Theileria sp. dalam eritrosit yang paling menonjol adalah bentuk batang yang memiliki ukuran kira-kira 1,5 – 2,0 X 0,5 – 1,0 µm. Bentuk lain yang umumnya dijumpai pada eritrosit adalah bundar, oval dan dapat juga berbentuk koma. Siklus Hidup Daur hidup Theileria sp. terjadi dalam tubuh caplak dan di tubuh induk semang. Mekanisme perkembangan di tubuh caplak Boophilus sp. (Levine, 1990) dimulai sejak larva menghisap darah inang yang berparasit dan ditemukan sporozoit di dalam kelenjar ludah nimfe atau pada caplak dewasa. Mekanisme infeksi di tubuh inang dimulai dari masuknya sporozoit yang dilepaskan oleh caplak dari kelenjar ludah caplak ketika menggigit tubuh inang. Kemudian di dalam eritrosit inang ditemukan piroplasma. Infeksi Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari adanya perubahan bentuk piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, zigot, dan kinet di dalam usus caplak dan kemudian ditemukan sporozoit dalam kelanjar ludahnya. Caplak yang telah kenyang menghisap darah inang yang terinfeksi akan jatuh ke tanah. Bentuk Theileria sp. yaitu ada yang berbentuk bundar, koma, dan berbentuk kumparan dengan ukuran 0,5 – 1 µm. Di dalam tubuh caplak paada selang waktu 24 sampai 48 jam, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi cincin yang berukuran 1 –
2 µm, dengan sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu 48 sampai 72 jam bentuk cincin berubah bentuk menjadi makrogamet, yang berbentuk bundar dan lonjong, berukuran 3 sampai 4 µm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasma bersifat basofilik. Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet, berbentuk seperti kumparan yang berukuran panjang 5 µm Tiga sampai lima hari setelah infeksi, di dalam usus nimpa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar lonjong berukuran 4 sampai 5 µm dengan sitoplasma berwarna biru terang. Hari ke-6 setelah infeksi, jumlah zigot dalam usus akan mulai berkurang dan hari ke-8 zigot hilang dari dalam usus. Hari ke-9 di dalam epitel usus nimpa akan ditemukan Theileria sp. dengan ukuran 4 sampai 5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Pada hari ke-13, Theileria sp. membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus. Ookinet akan terbentuk setelah terlihat bentuk zigot, dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah caplak (Soulsby, 1982). Setelah caplak menginfeksi inang sporozoit dilepaskan dengan proses yang pasif melalui kelenjar ludah, sporozoit langsung menginfeksi leukosit, sporozoit yang masuk ke dalam inang tergantung dari sel aktin cytoskeleton. Kemudian di dalam limfosit, sporozoit membesar dan intinya membelah berulang-ulang sehingga membentuk skizon dengan banyak inti yang disebut makroskizon agamon (= koch’s blue bodies) (Soulsby, 1982). Makroskizon ini akan melekat pada mikrotubuli sel limfosit dan membelah terus dengan proses mitosis. Selama memperbanyak diri, makroskizon akan melepaskan
makromerozoit
untuk
menginfeksi
monosit,
sehingga
makromerozoit akan berubah menjadi makroskizon baru yang akan menyebar ke seluruh tubuh. Setelah itu dalam waktu 2 minggu sejak makroskizon membelah dengan proses mitosis, maka akan ditemukan mikroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit di dalam monosit. Mikromerozoit akan langsung menginfeksi eritrosit dan akan berubah bentuk menjadi piroplasma yang akan menulari caplak (Soulsby, 1982). c. Anaplasma sp.
Klasifikasi Subclass
: Riketsiaeia
Ordo
: Riketsiaeida
Famili
: Riketsiae
Genus
: Anaplasma
Spesies
: Anaplasma sp. (levine, 1990)
Anaplasmosis merupakan penyakit infeksius yang ditularkan pada hewan ternak yang ditandai dengan anemia. Cara penularanya melalui vektor yaitu caplak Boophilus microplus. Infeksi Anaplasma sp. biasanya dapat bersamaan dengan infeksi Babesia sp.. Anaplasma sp. telah lama digolongkan kedalam protozoa, yang menyebabkan Tick-Borne Disease, tapi saat ini secara taksonomi Anaplasma sp. telah digolongkan ke dalam Rickettsia (Soulsby, 1982). Gejala klinis yang tidak jelas pada sapi , kurang dari 1 tahun, dan kejadian fatal, per akut pada sapi lebih dari 3 tahun, gejala klinis yang dapat ditemukan antara lain pyrexia, anemia, jaundice, anoreksia, nafas cepat, penurunan produksi susu, abortus. Anaplasma marginale yang dapat menyebabkan penyakit-penyakit High fever, Anemia, Bilirubinemia,
Bilirubinuria
lebih
patogen
dibandingkan
dengan
Anaplasma centrale, beberapa hewan yang dapat menjadi induk semang dari Anaplasma sp. kerbau, antelops, Elk, bison, unta, biri-biri, kambing (Soulsby, 1982). Morfologi Anaplasma sp. berukuran kecil dan berbentuk bulat seperti bola mempunyai diameter 0,5 μm dan berukuran 1-2 μm terletak di pinggir atau di tengah eritrosit dalam satu eritrosit biasanya terdapat satu Anaplasma sp., tetapi jika sudah dalam infeksi tingkat tinggi bisa mencapai empat Anaplasma sp. dalam satu eritrosit (Soulsby, 1982). Siklus hidup Anaplasma sp. relatif dalam bentuk yang non-patogen (Soulsby, 1982). infeksi Anaplasma sp. secara murni jarang terjadi, biasanya infeksi Anaplasma sp. akan berasamaan dengan Babesia sp. dan atau Theileria sp.. Anaplasma sp. mempunyai masa inkubasi yang sama dengan Theileria sp..
Anaplasma sp. ini diperkirakan memperbanyak diri dalam eritrosit dengan cara pembelahan ganda dengan pembentukan 8 badan-badan kecil “initial bodies” yang bulat (Soulsby, 1982). d. Asciridia sp. Banyak spesies Ascaridia sp yang diketahui menyerang usus halus unggas. Cacing ini meyebabkan enteritis terutama pada unggas muda. Unggas yang diserang antara lain : ayam, kalkun, merpati, puyuh. Siklus hidup cacing ini bersifat langsung, meskipun bisa juga melalui cacing tanah. Salah satu contoh spesies yang sering menyerang ayam adalah Ascaridia galli (Soulsby, 1982). Anak ayam lebih peka terhadap cacing Ascaridia galli daripada ayam dewasa. White Leghorn lebih peka daripada ayam ras yang lain. Lewat umur tiga bulan ayam akan lebih tahan, hal ini berkaitan dengan meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Cacing muda lebih banyak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus, karena larva cacing cenderung membenamkan diri pada mukosa sehingga sering menyebabkan perdarahan dan enteritis (Soulsby, 1982). Morfologi Penyakit cacing oleh Ascaridia galli menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternak. Cacing dewasa hidup di saluran pencernaan, apabila dalam jumlah besar maka dapat menyebabkan sumbatan dalam usus. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa kerugian disebabkan oleh karena cacing menghisap sari makanan dalam usus ayam yang ditumpangi sehingga ayam akan menderita kekurangan gisi (Soulsby, 1982). Ascaridi galli mempunyai ciri-ciri berwarna putih, bentuk bulat, tidak bersegmen dan panjang 6 - 13 cm. Ascaridia galli umumnya yang jantan berukuran lebih besar daripada betina. Pada cacing jantan diameter berukuran 30 - 80 mm, sedangkan pada betina berdiameter 0,5 - 1,2 mm. Gambar .2, memperlihatkan cacing Ascaridia galli (Soulsby, 1982). Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada infeksi cacing A. galli tergantung pada tingkat infeksi. Pada infeksi berat akan terjadi mencret berlendir, selaput lendir pucat, pertumbuhan terhambat, kekurusan , kelemahan umum dan penurunan produksi telur (Soulsby, 1982). Siklus Hidup Siklus hidup Ascaridia galli pada ayam berlangsung 35 hari. Telur cacing akan keluar lewat tinja ayam dan menjadi infektif dalam waktu 5 hari pada suhu optimum, yaitu 32 - 340C. Sewaktu ayam sedang makan, telur infektif tertelan yang kemudian menetas di lumen usus. Larva cacing melewati usus pindah ke selaput lendir. Periode perpindahan terjadi antara 10 - 17 hari dalam masa perkembangan. Dalam waktu 35 hari cacing menjadi dewasa dan mulai bertelur. Sesudah cacing menjadi dewasa akan meninggalkan selaput lendir dan tinggal di dalam lumen usus. Ayam yang masih muda paling peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cacing ini. Apabila cacing genus Ascaris yang ditemukan dalam usus halus terlalu banyak, ayam akan menjadi kurus. Hal ini terjadi karena cacing yang memenuhi usus akan menghambat jalannnya makanan, bahkan cacing mengeluarkan zat anti enzim yang menyulitkan pencernaan makanan (Soulsby, 1982). 2. Tryponosoma sp Trypanosomiasis Gambia adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Trypanosoma
gambiense.
Trypanosomiasis
atau
Penyakit
West
ini
African
disebut Sleeping
juga
West
African
Sickness.Trypanosoma
gambiense merupakan protozoa berflagella yang hidup dalam darah (Haemoflagellates) dan dikelompokkan dalam family Trypanosomidae (Soedarto, 2008). Lalat tsetse, jantan dan betina, bertindak sebagai vektor pambawa parasit ini, terutama Glossina palpalis. Lalat ini banyak terdapat di sepanjang tepi-tepi sungai yang mengalir di bagian barat dan tengah Afrika. Lalat ini mempunyai jangkauan terbang sampai mencapai 3 mil (Soedarto, 2008).
Selain manusia, binatang peliharaan seperti babi, kambing dan sapi serta binatang liar dapat menjadi hospes resevoir bagi parasit ini. Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau dari manusia ke manusia. Klasifikasi Kingdom
: Protista
Subkingdom
: Protozoa
Phylum
: Sarcomastigophora
Subphylum
: Mastigophora
Class
: Zoomastigophora
Order
: Kinetplastida
Family
: Trypanosomatidae
Genus
: Trypanosoma (Levine, 1990)
Morfologi Secara umum Trypanosomidae mempunyai 4 bentuk / morfologi yang berbeda, yaitu (Levine, 1990) : 1. Bentuk Amastigot (Leismanial form) Bentuk bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas serta tidak mempunyai flagela. Bersifat intraseluler. Besarnya 2-3 mikron. 2. Bentuk Promastigot (Leptomonas form) Bentuk memanjang mempunyai satu inti di tengah dan satu flagela panjang yang keluar dari bagian anterior tubuh tempat terletaknya kinetoplas, belum mempunyai membran bergelombang, ukurannya 15 mikron. 3. Bentuk Epimastigot (Critidial form) Bentuknya memanjang dengan kinetoplas di depan inti yang letaknya di tengah mempunyai membran bergelombang pendek yang menghubungkan flagela dengan tubuh parasit, ukurannya 15-25 mikron. 4. Bentuk Tripomastigot (Trypanosome form) Bentuk memanjang dan melengkung langsing, inti di tengah, kinetoplas dekat ujung posterior, flagela membentuk dua sampai empat kurva membran bergelombang, ukurannya 20-30 mikron Daur Hidup
Trypanosoma gambiense mengalami perubahan bentuk morfologi selama siklus hidupnya. Pleomorfik trypanosoma, yang merupakan bentuk infektif, akan terhisap bersama darah , saat lalat tsetse menggigit penderita. Parasit akan masuk ke dalam saluran pencernaan vektor dan mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan multiflikasi. Dalam waktu 3 minggu, parasit akan berubah menjadi bentuk Epimastigot. Bentuk Epimastigot juga mengalami perubahan menjadi bentuk menjadi metacyclic form dan memenuhi kelenjar air liur lalat. Metacyclic form merupakan bentuk infektif pada vektor dan siap untuk ditularkan ke korban selanjutnya (Soulsby, 1982). Waktu yang diperlukan parasit ini untuk berkembang menjadi bentuk infektif dalam tubuh vektor adalah 20-30 hari. Lalat yang mengandung bentuk infektif ini akan tetap infektif seumur hidupnya (Soulsby, 1982). Lalat tsetse menggigit manusia / hewan vertebrata biasanya pada siang hari. Penularan kepada penderita melalui gigitan vektor disebut anterior inoculation. Di dalam jaringan tempat gigitan tersebut, parasit mengalami proses multiflikasa secara belah pasang memanjang. Proses multiflikasi, diawali dengan pembelahan blepharoblast dan parabasal body. Kemudian diikuti pembelahan inti, membran undulating dan terakhir pembelahan tubuh parasit. Flagella dan axonema tidak ikut membelah, tetapi bentuk baru berasal dari blepharoblast yang baru terbentuk tersebut (Soulsby, 1982). Dalam perkembangan selanjutnya, baik hewan vertebrata maupun manusia, Trypanosoma gambiense hidup di dalam darah, kelenjar getah bening, limpa dan bahkan sampai ke susunan saraf pusat (Soulsby, 1982). Patologi dan Gejala Klinis Gejala dan tanda penyakit ini dapat bervariasi dan umumnya dibagi atas 3 fase (Soedarto, 2008) : 1. Fase awal (Initial stage) Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus atau parut ( primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya mereda dalam waktu 1-2 minggu. 2. Fase penyebaran (Haemoflagellates stage) Setelah fase awal mereda, parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia).
Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur, sakit kepala, nyeri pada otot dan persendian. Tanda klinis yang sering muncul antara lain : Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar cervical (Winterbotton’s sign), papula dan rash pada kulit. Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel, sel limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial haemorhagic). Parasitemia yang berat (toksemia) dapat mengakibatkan kematian pada penderita. 3. Fase kronik (Meningoencephalitic stage) Pada fase ini terjadi invasi parasit ke
dalam
susunan
saraf
pusat
dan
mengakibatkan
terjadinya
meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Demam dan sakit kepala menjadi lebih nyata. Terjadi gangguan pola tidur , insomnia pada malam hari dan mengantuk pada siang hari. Gangguan ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang lain dijumpai juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah lekosit normal atau sedikit meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir, penderita sukar dibangunkan. Kematian dapat terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau diperberat oleh penyakit lain seperti malaria, disentri, pneumonia atau juga kelemahan tubuh. Diagnosa Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosa adalah (Soedarto, 2008) : 1. Mengetahui riwayat tempat tinggal dan riwayat bepergian ke daerah endemik. 2. Menemukan tanda dan gejala klinis : Demam yang bersifat periodik Dijumpai reaksi inflamasi lokal (primary chancre) pada tempat inokulasi, rash pada kulit, lympadenopati pada bagian cervical posterior (Winterbotton’s sign)
Gangguan neurologis, terutama pola tidur (diurnal somnolence, nocturnal insomnia), gangguan status mental, gangguan keseimbangan otak kecil, gangguan ekstrapiramidal. 3. Menemukan parasit pada pemeriksaan : Darah tepi dengan pewarnaan. Biopsi aspirasi pada ‘primary chancre’ Cairan cerebrospinal 4. Pemeriksaan Serologi ELISA Immunofluorescent indirek Prognosa menjadi baik bila segera dilakukan pengobatan sebelum mengenai susunan saraf pusat. Bila parasit sampai ke dalam susunan saraf pusat, penyakit dapat berkembang dan menjadi kronis atau bahkan mematikan. Pengobatan Pengobatan dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila dimulai pada permulaan penyakit. Bila susunan saraf pusat telah terlibat, biasanya pengobatan kurang baik hasilnya. Obat-obat yang sering digunakan antara lain (Soedarto, 2008): 1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi, selama 14 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari sampai 30 hari. 2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200 mg untuk test secara IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini tidak menembus blood-brain barrier dan bersifat toksis pada ginjal. 3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari. 4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke 1, 2, 3, 10, 11, 12, 19, 20, 21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg. Enchephalopati dapat muncul sebagai efek pemberian obat ini . Hai ini terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan dari melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran dari Trypanosma (reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul, pengobatan harus dihentikan.
Eflornithine, Suramin dan Pentamine digunakan pada pasien pada fase awal dan penyebaran. Sementara Melarsoprol dapat digunakan pada ketiga fase tersebut. Pencegahan Pencegahan penyakit ini meliputi (Soedarto, 2008) : 1. Mengurangi sumber infeksi 2. Melindungi manusia terhadap infeksi 3. Mengendalikan vektor Pengurangan sumber infeksi dapat dilakukan dengan cara melakukan pengobatan secara tuntas pada penderita, bahkan memusnahkan hewan vertebrata yang terinfeksi (Soedarto, 2008). Kontak terhadap vektor dapat dihindari dengan menjauhi habitat vektor, memakai pelindung kepala dan tubuh, menggunakan kelambu serta memakai reppellent. Dan oleh karena bahayanya penyakit ini, beberapa ahli menyarankan untuk dilakukan skrining serologi pada semua orang yang beresiko dan yang berasal/keluar dari daerah endemik (Soedarto, 2008). Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan mengurangi tempat hidup dan
perindukan
vektor.
Pengendalian
juga
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan insektisida untuk mengurangi jumlah lalat dewasa. Profilaksis secara umum tidaklah direkomendasikan oleh para ahli dan sampai saat ini belum ditemukan vaksin bagi penyakit ini (Soedarto, 2008).
BAB IV Lampiran 1. Pemeriksaan cacing pada darah/ uji natif
Gambar 1. Penetesan darah pada objeck glass
Gambar 2. Hasil miikroskop
2. Pemeriksaan cacing pada darah/ oles tipis
Gambar 3. Penetesan darah pada objeck glass
Gambar 4. Pemberian cairan giemsa diatas darah
Gambar 5. Cairan giemsa dicuci dengan air
Gambar 6.Cacing tampak
mikroskop 3. Pemeriksaan cacing pada darah/ oles tebal
Gambar 7. Penetesan darah pada objeck glass
Gambar 8. Pemberian cairan giemsa diatas darah
Gambar 9. Cairan giemsa dicuci dengan air
Gambar 10.Cacing tampak
mikroskop 4. Pewarnaan cacing
Gambar 11. Cacing diletakkan dalam alcohol 50%
Gambar 12. Cacing dipindahkan dalam alcohol 70%
Gambar 13. Cacing dipindahkan dalam alcohol 90%
Gambar 14. Cacing dipindahkan dalam alcohol 100%
Gambar 15. Cacing diletakkan di objeck glass
Gambar 16. Hasil mikroskop
5. Pemeriksaan darah pada Burung Merpati
Gambar 17. Uji natif
Gambar 18. Apus tipis
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Parasit dan Jenis Parasit. Universitas Gadjah Mada : Malang Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections. Available from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf Gandahusada
S,
Ilahude
HD,
Pribadi
W.
2000.
Parasitologi
Kedokteran.Universitas Indonesia : Jakarta. García, H.H., Gonzalez, A.E., Evans, C.E.A., and Gilman R.H., 2003. Taenia solium Cysticercosis. Lancet Guntoro, S, 2002. Membudidayakan Sapi Potong . Kanisius, Yogyakarta. Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta: Fakultas Kedoktguneran Universitas Indonesia Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press Johnson, P. 2003. Strongylus vulgaris. Gastrointestinal Parasites Grahame book company : Sidney. Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institur Pertanian Bogor : Bogor Levine. N.D., 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Medan : Universitas Sumatera Utara Noble, E. R & Noble, G. A. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Edisi kelima. UGM Press Yogyakarta. Safar, Rosdiana. 2009. Parasitologi Kedokteran Protozoologi Helmintologi Entomologi. Bandung : Yrama Widya. Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Edition, Bailler, Tindall, London. Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University. World Health Organization (WHO), 2009. Report of the WHO Expert Consultation
on
Taeniasis/Cysticercosis.
Foodborne
Trematode Available
Infections
& from:
http://www.who.int/neglected_diseases/preventive_chemotherapy/WHO_H TM_NTD_PCT_2011.3.pdf