1
BAB I PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya dari dari berc bercoco ocok k tanam tanam,, maka maka dari dari itu tidak tidak meng menghe heran ranka kan n bila bila hasil hasil berco bercoco cok k tanamnya beraneka ragam. Salah satunya adalah tanaman jenis umbi-umbian seperti singkong, ketela rambat, kentang dan lain-lain. Tanaman jenis ini (umbi) banyak ditemukan di daerah tropis dan dekat garis katulis katulistiwa tiwa seperti seperti Indone Indonesia, sia, karena karena itu jenis jenis tanaman tanaman ini banyak banyak ditemuk ditemukan an diberb diberbag agai ai temp tempat at di Indon Indones esia. ia. Sifat Sifat peny penyes esua uaian ianny nyaa yang yang tingg tinggii terha terhada dap p lingkungan tempat hidupnya menyebabkan tanaman ini mampu tumbuh diberbagai tempat, baik subur maupun tandus. Daerah penghasil singkong pada umumnya adalah daerah perbukitan atau pegunungan, pegunungan, karena daerah ini biasanya biasanya kurang subur sebagai sebagai akibat sulitnya sulitnya perolehan perolehan air, sehingga sehingga tidak banyak jenis tanaman tanaman yang dapat tumbuh tumbuh di daerah ini. Di Yogyakarta tanaman ini banyak ditemukan di daerah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Di Jawa Tengah tanaman ini banyak ditemukan di daerah Wonogiri. Daer Daerah ah yang yang sebag sebagian ian besar besar hasil hasil perk perkeb ebun unan anny nyaa singk singkon ong, g, biasa biasany nyaa singkon singkong g dibuat dibuat gaplek. gaplek. Karena Karena kurang kurangnya nya pengeta pengetahuan huan petani petani tentang tentang cara pendayagun pendayagunaan aan singkong, singkong, akhirnya akhirnya ketela dibuat dibuat pada kisaran itu saja. Akibatnya Akibatnya pemanfaatan pemanfaatan ketela ketela tidak dapat memberik memberikan an hasil yang maksimal. maksimal.
2
Untuk memberikan hasil usaha yang maksimal, pendayagunaan singkong sebaiknya tidak hanya dijadikan gaplek saja tetapi dicoba pendayagunaan lainnya, salah satunya yaitu pemanfaatan singkong menjadi criping.
1.1. Latar Belakang
Kemajuan zaman yang pesat menuntut kita untuk bekerja lebih efektif dan efisien dengan mencoba meninggalkan pola kerja lama yang banyak mengandalkan tenaga manusia dengan mesin. Term Termasu asuk k dalam dalam pros proses es pemb pembua uatan tan cripi criping ng,, bila bila sebe sebelu lumn mnya ya hamp hampir ir keselur keseluruhan uhan proses proses dilaku dilakukan kan dengan dengan tenaga tenaga manusia manusia,, kini kini direncan direncanakan akan mesin mesin perajang singkong singkong dengan dengan sumber sumber penggerak penggerak motor sehingga sehingga akan didapatkan didapatkan peningkatan peningkatan hasil produksi produksi dengan cara mempercepat mempercepat proses perajangan perajangan singkong. singkong. Mesin ini juga dirancang untuk mengatasi kekurangan yang ada pada peralatan sebelumnya, sebelumnya, seperti seperti ketebalan perajangan perajangan yang tidak teratur teratur dan criping pecahpecah pecah. Sebelum direncanakan direncanakan dan dibuat mesin perajang ini, masih menggunakan menggunakan cara sederhan sederhanaa yaitu yaitu hanya hanya dengan dengan mengg menggunak unakan an pisau pisau untuk untuk merajan merajang g ketela ketela tersebut. Setelah dengan pisau kemudian coba dikembangkan alat perajang manual dengan putaran engkol. Dengan melihat dan mengamati alat yang ada tersebut, kini kami kami coba coba merenca merencana na dan mengem mengemban bangk gkanny annyaa lagi lagi agar agar produ produktif ktifitas itas dapat dapat meningkat dan pekerjaan yang dilakukan dapat lebih efektif dan efisien.
1.2. Tujuan dan Manfaat
3
1.2.1. Tujuan
Tujuan perancangan ini dibedakan menjadi dua yaitu tujuan akademis dan tujuan teknis. a. Tujuan juan Akadem ademis is -
Meme Memenu nuhi hi tugas tugas mata mata kuli kuliah ah Eleme Elemen n Mesi Mesin n III, III, Progr Program am Studi Studi Strata I pada Jurusan Teknik Mesin, ISTA, Yogyakarta
-
Mene Menerap rapka kan n ilmu yang yang didap didapat at selam selamaa pend pendid idika ikan n secara secara terpad terpadu, u, seka sekalig ligus us meng mengem emba bang ngka kan n
kreat kreatifi ifitas tas dalam dalam meng mengem emba bang ngka kan n
gagasan ilmiah b. Tujuan Tujuan Teknis Teknis Tujuan perancangan mesin perajang singkong ini adalah untuk mengubah pola kerja lama yang pada awalnya banyak menggunakan menggunakan tenaga manusia, manusia, menjadi pola kerja yang lebih banyak menggunakan mesin.
1.2.2. Manfaat Manfaat
a.
Dihasilkan teknologi tepat guna yang sangat dibutuhkan oleh
industri, terutama industri kecil / rumah tangga b.
Diperoleh Diperoleh prodiktifitas, prodiktifitas, efektifitas dan dan efisiensi efisiensi kerja yang yang semakin baik
1.3. Batasan Masalah
Bagian-bagian Bagian-bagian pokok yang direncanakan direncanakan dalam pembuatan pembuatan mesin perajang singkong ini adalah : 1. Pi Piringan da dan Pisau Perajang
5. Sa Sabuk
4
2. Motor Listrik
6. Bantalan
3. Poros
7. Pasak
4. Puli
8. Las
Sementara untuk komponen lain (baut, mur dan lain-lain) dapat digunakan menurut standar yang ada. Perencanaan mesin perajang singkong ini juga dilengkapi dengan gambar konstruksi sesuai perhitungan perancangan dan gambar bagian-bagian untuk data-data diambil dari pengamatan alat yang sudah ada, survey ke lapangan dan dari pustaka-pustaka.
1.4. Metodologi Penulisan
Untuk merencanakan suatu alat yang dapat berfungsi dengan baik memerlukan data-data yang cukup, untuk mendapatkan data-data tersebut dilakukan dengan cara : 1.
Studi Pustaka Mempelajari buku referensi yang berhubungan dengan perencanaan dan berbagai katalog lainnya.
2. Observasi Mencari informasi dibeberapa tempat, misalnya bengkel atau pabrik. 3. Konsultasi Melakukan tukar pikiran dengan pihak-pihak yang berpengalaman dalam bidang perancangan dan pembuatan, misalnya melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing. 1.5. Sistematika Penulisan
5
Sistematika penulisan yang akan dilakukan pada merencana mesin ini meliputi 5 bab, yaitu terdiri dari : BAB I
Pendahuluan Pada bab pendahuluan berisi tentang pembahasan latar belakang masalah, tujuan, batasan masalah, metodologi penulisan dan sistematika penulisan
BAB II
Landasan Teori Pada bab ini berisi tentang teori dasar perencanaan dan perancangan mesin. Terutama elemen-elemen mesin yang digunakan pada mesin perajang singkong.
BAB III
Perencanaan dan Perhitungan Bab ini akan membahas mengenai perencanaan secara umum, langkahlangkah perencanaan, alternatif pemilihan rancangan, perhitungan dan gambar kerja.
BAB IV
Perawatan dan Perbaikan Bab empat ini berisi mengenai perawatan dan perbaikan mesin.
BAB V
Penutup Bab ini berisikan ulasan langkah dari apa yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya yang berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II
6
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Mesin
Mesin perajang singkong ini komponen utamanya terdiri atas piringan dan pisau perajang, motor, poros, sabuk, bantalan, puli dan pasak. Dalam perencanaan mesin ini hanya ada satu gerakan yaitu berputar. Dengan memberikan daya input dari suatu motor maka alat ini akan bekerja sesuai perencanaan. Besarnya kecepataan piringan tergantung dari besarnya kecepatan input tetapi juga dipengaruhi oleh keliatan atau kekerasan singkong dan juga ketajaman pisau perajang. Pisau perajang apabila sudah tumpul bisa dipertajam kembali atau diganti, karena pisau pengiris dikonstruksi untuk dapat dilepas atau diganti.
2.2. Piringan dan Pisau Perajang
Piringan memiliki fungsi sebagai tempat memasang pisau perajang, sedangkan pisau perajang berfungsi untuk merajang singkong menjadi ukuran tipis dengan cara berputar. Pisau ini berjumlah dua buah seperti Gambar 2.1.
pisau perajang
piringan
Gambar 2.1. Piringan dan pisau perajang 2.3. Motor Listrik
7
Motor ini sebagai tenaga penggerak dari mesin perajang singkong. Sebagai suatu sistem penggerak menggunakan motor listrik dengan daya dan jumlah putaran yang sesuai untuk mesin ini. Jika N adalah daya rata-rata yang diperlukan maka harus dibagi dengan efisiensi mekanis η dari sistem transmisi untuk mendapatkan daya penggerak mula yang diperlukan. P =
N
η
.......................................................
1
Keterangan : P
= daya output motor penggerak (kW)
N
= daya rata-rata yang diperlukan (kW)
η
= efisiensi mekanis sistem transmisi
Jika P adalah daya nominal output dari motor penggerak, maka berbagai macam faktor keamanan diambil dalam perencanaan. Jika faktor koreksi adalah f c maka daya rencana P d (kW) adalah : P d = f c · P
...................................................
2
Keterangan : P d
= daya rencana (kW)
f c
= faktor koreksi
P
= daya output motor penggerak (kW)
_________________________ 1 2
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 7 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 7
Tabel 2.1. Faktor-faktor koreksi daya yang akan ditransmisikan, f c
8
2.4. Poros
Poros merupakan salah satu bagian terpenting dari setiap mesin. Hampir semua mesin meneruskan tenaga bersama-sama dengan putaran. Peranan utama transmisi seperti itu dipegang oleh poros. Poros untuk meneruskan daya diklasifikasikan menurut pembebanannya sebagai berikut : a.
Poros Transmisi Poros transmisi ini mendapat beban puntir murni atau puntir dan lentur. Daya ditransmisikan kepada poros ini melalui kopling, roda gigi, puli sabuk atau sproket rantai, dan lain-lain. Poros transmisi ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Poros transmisi ( Sumber : Niemann, G., 1986 )
b.
Spindel Poros transmisi yang relatif pendek, seperti poros utama mesin
perkakas, dimana beban utamanya berupa puntiran, disebut spindel seperti
9
Gambar 2.3. Syarat yang harus dipenuhi poros ini adalah deformasinya harus kecil dan bentuk serta ukurannya harus teliti.
Gambar 2.3. Spindel ( Sumber : Niemann, G., 1986 )
c. Gandar Poros seperti ini dipasang diantara roda-roda kereta barang, dimana tidak mendapat beban puntir, bahkan kadang-kadang tidak boleh berputar, disebut gandar yang ditunjukkan Gambar 2.4. Gandar ini hanya mendapat beban lentur, kecuali digerakkan oleh penggerak mula dimana akan mengalami beban puntir juga.
Gambar 2.4. Gandar ( Sumber : Niemann, G., 1986 )
10
Menurut bentuknya, poros dapat digolongkan atas poros lurus umum, poros engkol sebagai poros utama dari mesin torak dan lain-lain, poros luwes untuk transmisi daya kecil agar terdapat kebebasan bagi perubahan arah dan lain-lain. Untuk merencanakan sebuah poros hal yang harus diperhatikan antara lain kekuatan poros, kekakuan poros, putaran kritis, korosi, dan bahan poros. Poros untuk mesin umum biasanya dibuat dari baja batang yang ditarik dingin dan difinis, baja karbon konstruksi mesin (disebut bahan S-C) yang dihasilkan dari ingot yang dideoksidasi dengan ferrosilikon dan dicor, kadar karbonnya terjamin. Poros pada umumnya meneruskan daya melalui sabuk, roda gigi dan rantai. Jika daya yang diberikan dalam daya kuda (PS), maka harus dikalikan dengan 0,735 untuk mendapatkan daya dalam kW. Momen puntir (disebut juga sebagai momen rencana) adalah T ((kg · mm), maka : P d =
(T / 1000)(2π n1 / 60) 102
......................... 3
Sehingga, T = 9,74 × 105
P d n1
Keterangan :
n1
= putaran poros (rpm)
P d
= daya rencana (kW)
T
= momen puntir (kg · mm)
_________________________
................................... 4
11
3 4
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 7 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 7
Tegangan geser yang diijinkan τ a (kg/mm2) untuk pemakaian umum pada poros dapat diperoleh dengan berbagai cara. τ a dihitung atas dasar batas kelelahan puntir yang besarnya diambil 40% dari batas kelelahan tarik yang besarnya kira-kira 45% dari kekuatan tarik σ B (kg/mm2). Jadi batas kelelahan puntir adalah 18% dari kekuatan tarik σ B
,
sesuai dengan standar ASME. Untuk harga 18% ini faktor
keamanan diambil sebesar 1/0,18 = 5,6. Harga 5,6 ini diambil untuk bahan SF dengan kekuatan yang dijamin dan 6,0 untuk bahan S-C dengan pengaruh masa dan baja paduan. Faktor ini dinyatakan dengan Sf 1. Untuk memasukkan pengaruh pengaruh ini dalam perhitungan perlu diambil faktor yang dinyatakan sebagai Sf 2 dengan harga sebesar 1,3 sampai 3,0. Dari hal-hal di atas maka besarnya τ a dapat dihitung dengan : τ a = σ B / (Sf 1 × Sf 2)
..................................... 5
Keterangan : τ a
= Tegangan geser yang diijinkan (kg/mm2)
σ B
= Tegangan tarik maksimum (kg/mm2)
Sf 1
= faktor keamanan 1
Sf 2
= faktor keamanan 2
Poros tersebut mengalami beban puntir dan lentur sehingga pada permukaan poros akan terjadi tegangan geser τ (= T/Z p) karena momen puntir T dan tegangan σ (= M/Z ) karena momen lentur. Pada poros yang pejal dengan penampang bulat, σ = 32 M/πd s3 dan τ = 16 T/πd s3, sehingga :
12
_________________________ 5
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 8
τmax =
5,1 3 d s
M 2
+ T 2
...........................
6
Keterangan : τmax
= tegangan geser maksimum (kg/mm2)
d s
= diameter poros (mm)
M
= momen lentur (kg · mm)
T
= torsi (kg · mm)
Selanjutnya diameter poros ditentukan dengan menganggap bahwa kedua momen diatas seolah-olah dibebankan pada poros secara terpisah. Dari kedua hasil perhitungan ini kemudian dipilih harga diameter yang terbesar. Namun demikian, pemakaian rumus ASME lebih dianjurkan dari pada metode ini. Maka diameter poros dapat ditentukan menggunakan rumus :
d s
5,1 2 2 K M K T ≥ ( ) + ( ) t m τ a
1/ 3
Keterangan : d s
= diameter poros (mm)
τ a
= tegangan geser yang diijinkan (kg/mm2)
K m
= faktor koreksi momen lentur
K t
= faktor koreksi momen puntir
M
= momen lentur (kg · mm)
T
= torsi (kg · mm)
.......... 7
13
_________________________ 6 7
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 17 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 18
a. Faktor koreksi K t untuk momen puntir : 1). 1,0 jika beban dikenakan secara halus 2). 1,0-1,5 jika terjadi sedikit kejutan atau tumbukan 3). 1,5-3,0 jika terjadi kejutan atau tumbukan besar b. Faktor koreksi K m untuk momen lentur : 1). 1,5 untuk pembebanan momen lentur yang tetap 2). 1,5 dan 2,0 untuk beban tumbukan ringan 3). 2 dan 3 untuk beban dengan tumbukan berat Besarnya deformasi yang disebakan oleh momen puntir pada poros harus dibatasi juga. Untuk poros yang dipasang pada mesin umum dalam kondisi kerja normal, besarnya defleksi puntiran ( θ ) dibatasi sampai 0,25 atau 0,3 derajat. Perhitungan defleksi puntiran dilakukan untuk memeriksa harga yang diperoleh masih dibawah batas harga yang diperbolehkan untuk pemakaian yang bersangkutan. Dalam hal baja, harga modulus geser (G) = (8,3 × 10 3 (kg/mm2). Defleksi puntiran ( θ ) :
θ = 584
Tl Gd s
4
........................................... 8
Keterangan : G
= modulus geser (8,3 × 10 3 kg/mm2)
T
= momen puntir (kg · mm)
l
= panjang poros (mm)
14
d s
= diameter poros (mm)
_________________________ 8
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 18
2.5. Puli dan Sabuk 2.5.1. Puli
Puli pada mesin berfungsi sebagai penerus putaran dan daya dari motor melalui sabuk ke poros dan sebagai roda gila untuk menyimpan tenaga agar poros tetap berputar apabila mendapat beban. Konstruksi puli terbuat dari besi tuang atau baja dan bisa juga dari kayu, tetapi puli kayu sudah tidak banyak digunakan lagi karena tidak efektif. Untuk konstruksi ringan ditetapkan puli dari aluminium. Ada beberapa jenis puli diantaranya : a. Puli datar Puli datar biasanya dibuat dari besi tuang dan ada juga yang dari baja. Puli datar ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Puli datar b. Puli Mahkota Puli ini lebih efektif dari pada puli datar, karena memiliki sudut ketirusan yang bermacam-macam dengan batas maksimum 1/8 inchi dalam 1 feetnya. Puli mahkota terlihat pada Gambar 2.6.
15
Gambar 2.6. Puli mahkota c. Puli Alur V Puli jenis alur V ini sering digunakan untuk mesin industri umum karena murah dan mudah didapat. Puli jenis alur V ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Puli alur V
2.5.2. Sabuk
Transmisi dengan elemen mesin yang luwes dapat digolongkan atas transmisi sabuk, transmisi rantai dan transmisi kabel atau puli. Transmisi sabuk dibagi atas tiga kelompok, yaitu : a. Sabuk Rata Sabuk ini dipasang pada puli silinder dan meneruskan momen antara dua poros. Jaraknya dapat mencapai 10 meter dengan perbandingan putaran
16
1:1 sampai 6:1. Sabuk rata biasanya digunakan untuk mesin-mesin penggilingan padi, mesin press, mesin tempa dan lain-lain. Bahan yang digunakan pada sabuk ini biasanya terbuat dari kulit, kain, plastik atau campuran antara plastik dan kain. Sabuk rata ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Sabuk rata ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
b. Sabuk V Sabuk ini mempunyai penampang trapesium sama kaki. Sabuk V dipasang pada puli dengan alur dan meneruskan momen antar dua poros yang jaraknya dapat mencapai 5 meter dengan perbandingan 1:1 sampai 7:1. Sabuk ini biasanya berbahan karet dan permukaannya diperkuat dengan pintalan kain, sedang dibagian dalam dari sabuk diberi serat-serat kain, seperti terlihat pada Gambar 2.9. Daya yang ditransmisikan dapat mencapai 500 kW.
Gambar 2.9. Sabuk V ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
c. Sabuk Bergigi (Sabuk Gilir)
17
Sabuk bergigi digerakan dengan sproket pada jarak pusat mencapai 2 meter dan meneruskan putaran secara tepat dengan perbandingan 1:1 sampai 6:1. Sabuk ini digunakan secara luas dalam industri mesin jahit, komputer, mesin fotokopi dan sebagainya. Sabuk bergigi ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Sabuk bergigi ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
Sebagian besar transmisi sabuk menggunakan sabuk V karena kemudahan dalam penanganan dan harganya murah. Pada Gambar 2.11. diberikan berbagai proporsi penampang sabuk V yang umumnya dipakai.
Gambar 2.11. Penampang transmisi puli dan sabuk V ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
18
Jarak yang jauh antara dua buah poros sering tidak memungkinkan transmisi langsung dengan roda gigi. Dengan demikian, cara transmisi putaran atau daya yang lain dapat diterapkan, dimana sebuah sabuk luwes atau rantai dibelitkan sekeliling puli atau sproket pada poros. Transmisi sabuk V hanya dapat menghubungkan poros-poros dengan arah putaran yang sama. Karena sabuk V biasanya dipakai untuk menurunkan putaran, maka perbandingan yang dipakai ialah : n1 n2
=i=
D p d p
=
1
; u=
u
1 i
........................... 9
Keterangan : n1
= putaran puli penggerak (rpm)
n2
= putaran puli yang digerakkan (rpm)
d p
= diameter puli penggerak (rpm)
D p
= diameter puli yang digerakkan (rpm)
u
= perbandingan putaran
i
= perbandingan reduksi
Kecepatan linier sabuk V adalah : v=
π d p n1 60 × 1000
Keterangan : v
= kecepatan linier (m/s)
d p
= diameter puli (mm)
_________________________ 9 10
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 166 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 166
............................................ 10
19
n1
= putaran puli (rpm)
Dalam pemilihan sabuk V sangat dipengaruhi oleh putaran (n) dan daya (kW) yang ditransmisikan. Hal ini ditunjukkan oleh diagram pemilihan sabuk pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Diagram pemilihan sabuk V ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
Panjang sabuk dapat ditentukan dengan rumus L (mm), yaitu : L = 2C +
π 2
( d p + D p ) +
Keterangan : D p
= diameter puli besar (mm)
d p
= diameter puli kecil (mm)
L
= panjang sabuk (mm)
C
= jarak sumbu poros (mm)
_________________________ 11
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 170
1 4C
( D p − d p ) 2
...... 11
20
Dalam perdagangan terdapat bermacam-macam ukuran sabuk. Namun, mendapatkan sabuk yang panjangnya sama dengan hasil perhitungan umumnya sukar. Jarak sumbu poros C dapat dinyatakan sebagai :
C =
b + b2
− 8( D p − d p ) 2
..................... 12
8 dimana, b = 2 L − 3,14( D p
+ d p )
............................. 13
Gambar 2.13. Perhitungan panjang sabuk ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
Pada pasangan puli dan sabuk V, terjadi kontak atau persinggungan antara puli dan sabuk. Persinggungan atau kontak yang terjadi antara puli dan sabuk membentuk sebuah sudut yang dinamakan sudut kontak θ seperti ditunjukkan pada Gambar 2.14.
_________________________ 12 13
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 170 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 170
21
Gambar 2.14. Sudut kontak ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
Adapun rumus persamaan sudut kontak (θ ) adalah : θ = 180o
−
57( D p
−
C
d p )
........................... 14
Keterangan : θ
= sudut kontak ( o)
2.6. Bantalan
Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerakan bolak-baliknya dapat berlangsung secara halus, aman dan panjang umur. Bantalan juga harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta elemen mesin lainnya bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak berfungsi dengan baik maka prestasi seluruh sistem akan menurun atau tidak dapat bekerja secara semestinya.
_________________________ 14
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 173
22
Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Atas Dasar Gerakan Bantalan Terhadap Poros a.
Bantalan Luncur
Pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara poros dan bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalan dengan perantaraan lapisan pelumas. Macam-macam bantalan luncur terlihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15. Macam-macam bantalan luncur ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
b. Bantalan Gelinding Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti bola (peluru), rol atau rol jarum dan rol bulat. Macam-macam bantalan gelinding seperti terlihat pada Gambar 2.16.
23
Gambar 2.16. Macam-macam bantalan gelinding ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
2. Atas Dasar Arah Beban Terhadap Poros a. Bantalan Radial Arah beban yang ditumpu bantalan ini adalah tegak lurus sumbu poros. b.Bantalan Aksial Arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros. c. Bantalan Gelinding Khusus Bantalan ini dapat menumpu beban yang arahnya sejajar dan tegak lurus sumbu poros.
24
Suatu beban yang besarnya sedemikian rupa sehingga memberikan umur yang sama dengan umur yang diberikan oleh beban dan kondisi putaran sebenarnya disebut beban ekivalen dinamis. P r = X V F r + Y F a
.................................... 15
Keterangan : P r
= beban ekivalen dinamis (kg)
F r
= beban radial (kg)
F a
= beban aksial (kg)
X , V dan Y
= faktor-faktor pada bantalan (Tabel 7.8.)
Adapun analisa terhadap bantalan, dilakukan untuk menghitung umur bantalan berdasar beban yang diterima oleh bantalan. Faktor kecepatan untuk bantalan peluru dihitung dengan rumus : 1/ 3
f n
33,3 = n
......................................... 16
Keterangan : n
= kecepatan putar
Faktor umur f h dihitung menggunakan rumus : f h
= f n
C P
.................................................
Keterangan : f n
= faktor kecepatan
P = beban ekivalen dinamis (kg) _________________________ 15
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 135 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 136 17 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 136 16
17
25
Perhitungan umur bantalan tersebut menggunakan rumus, yaitu :
Lh
= 500 f h3
...............................................
18
Keterangan : Lh
= umur bantalan (jam)
f h
= faktor umur
2.7. Pasak Baut
Baut dan mur merupakan alat pengikat yang sangat penting. Untuk mencegah kecelakaan atau kerusakan pada mesin, pemilihan baut dan mur sebagai alat pengikat harus dilakukan dengan seksama untuk mendapatkan ukuran yang sesuai. Dalam Gambar 2.17. diperlihatkan berbagai jenis baut dan mur. Pada mesin perajang singkong ini baut berfungsi sebagai : 1. Pengikat pada kedudukan motor penggerak 2. Pengikat cover dan rangka 3. Pengikat bantalan 4. Pengikat puli, piringan dengan poros
_________________________ 18
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 136
26
Gambar 2.17. Baut dan mur ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
Pertama-tama akan ditinjau kasus dengan pembebanan aksial murni. Dalam hal ini, persamaan yang berlaku adalah : σ t
=
W A
=
W
π d 2 1 4
................................... 19
Keterangan : σ t
= tegangan tarik dibagian berulir (kg/mm2)
W
= beban tarik aksial pada baut (kg)
d 1
= diameter inti (mm)
_________________________ 19
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 296
27
Pada sekrup atau baut yang mempunyai diameter luar d > 3 (mm),
2
umumnya besar diameter inti d 1
≈
0,8 d , sehingga
d 1 ≈ d
0,64. Jika σ a (kg/mm2)
adalah tegangan tarik yang diijinkan, maka ukuran ulir adalah : d ≥
4W πσ a
× 0,64
...................................... 20
Keterangan : d
= diameter ulir (mm)
W
= beban tarik aksial pada baut (kg)
σ a
= tegangan tarik yang diijinkan (kg/mm2)
Harga σ a tergantung pada macam bahan yaitu, SS, SC atau SF. Jika difinis tinggi faktor keamanan dapat diambil sebesar 6-8 dan jika difinis biasa besarnya antara 8-10. Pada baja liat yang mempunyai kadar karbon 0,2-0,3 %, tegangan tarik yang diijinkan ( σ a ) adalah 6 kg/mm2 jika difinis tinggi dan 4,8 kg/mm 2 jika difinis biasa.
Dalam profil mur, jika tinggi yang bekerja menahan gaya menyebabkan terjadi tekanan permukaan seperti dalam Gambar 2.18., maka jumlah ulir z dan tinggi mur H (mm) dapat dihitung dengan persamaan :
z =
H p
_________________________
....................................................
21
28
20 21
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 296 Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 297
Keterangan : z
= jumlah ulir
p
= jarak bagi (mm)
H
= tinggi mur (mm), menurut standar = (0,8-1,0)
Keterangan : (1). ulir dalam
(2). ulir luar
Gambar 2.18. Tekanan permukaan pada ulir ( Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991 )
2.8. Las
Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Las adalah nama kumpulan sejumlah besar teknologi untuk memperoleh sambungan mati. Pengelasan dapat diklasifikasikan dalah tiga kelas utama yaitu : 1. Pengelasan Cair
29
Pengelasan cair adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau semburan api gas yang terbakar.
2. Pengelasan tekan Pengelasan tekan adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan dan kemudian ditekan hingga menjadi satu. 3. Pematrian Pematrian adalah cara pengelasan dimana sambungan diikat dan disatukan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah. Dalam hal ini logam induk tidak ikut mencair.
30
Gambar 2.19. Metode las ( Sumber : Stolk, Jac dan C. Kros, 1984 )
Las listrik dengan elektroda terbungkus adalah cara pengelasan yang banyak digunakan saat ini. Dalam pengelasan ini digunakan kawat elektroda logam yang dibungkus dengan fluks. Dalam Gambar 2.20. dapat dilihat dengan jelas bahwa busur listrik terbentuk diantara logam induk dan ujung elektroda. Karena panas dari busur ini maka logam induk dan ujung elektroda tersebut mencair dan kemudian membeku bersama.
31
Gambar 2.20. Las busur listrik elektroda terbungkus ( Sumber : Wiryosumarto, Harsono dan Toshie Okumura, 2004 )
Dalam konstruksi las selalu digunakan logam las yang mempunyai kekuatan dan keuletan yang lebih baik atau paling tidak sama dengan logam induk. Dalam hal logam las, sifat ini dipengaruhi oleh keadaan, cara dan prosedur pengelasan. Selain itu tipe pengelasan juga mempengaruhi kekuatan las yang dihasilkan. Secara umum jenis atau tipe lasan yang digunakan pada rangka yang telah dibuat ada dua macam yaitu las temu (butt weld ) dan las sudut ( fillet weld ). Kegunaan utama dari las temu adalah untuk menghubungkan struktur yang mempunyai bidang sama. Karena las temu biasanya dimaksudkan untuk mentransmisikan beban penuh struktur-struktur yang dihubungkannya, maka las yang digunakan harus memiliki kekuatan yang sama dengan struktur-struktur yang dihubungkannya. Las
sudut
merupakan
jenis
las
yang banyak digunakan
karena
penggunaannya tidak memerlukan persiapan khusus seperti pada las temu. Selain itu las sudut mudah untuk difabrikasi serta lebih hemat. Ukuran luas untuk tipe las temu atau las sudut merupakan hasil kali tinggi leher las (h) dengan panjang kampuh las (l ). Pada las temu tinggi leher adalah sama
32
dengan ketebalan pelat yang akan disambungkan, seperti pada Gambar 2.21. Sedangkan pada las sudut tinggi leher merupakan jarak nominal terpendek dari akar ke muka las. A = h
× l
...................................................
22
Keterangan : A
= luas penampang memanjang dari las (mm2)
h
= tinggi leher las (mm)
l
= panjang kampuh (mm)
Gambar 2.21. Las temu ( Sumber : Shigley, Joseph E. dan Larry D. Mitchell, 1999 )
_________________________ 22
Sukrisno, Umar, 1984, hal : 161
Untuk pembebanan tarik ataupun tekan, tegangan normal rata-rata adalah σ =
F A
......................................................
23
Keterangan : σ
= tegangan normal rata-rata yang terjadi pada lasan (kg/mm2)
F
= beban (kg)
A
= luas penampang memanjang kampuh (mm2)
33
_________________________ 23
Sukrisno, Umar, 1984, hal : 161
BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN
3.1. Cara Kerja Mesin
Putaran dari motor listrik ditransmisikan melalui puli dan sabuk untuk menggerakkan poros. Poros ditumpu oleh dua buah bantalan agar berputar dengan
34
stabil. Pada ujung poros terdapat piringan yang telah dipasang pisau. Singkong yang sudah dikupas kulitnya dimasukkan melalui corong atas, lalu diterima oleh piringan, sehingga singkong teriris menjadi ukuran yang tipis. Hasil irisan jatuh melalui celah di depan pisau dan keluar melalui corong bawah.
3.2. Piringan dan Pisau Perajang
Piringan berfungsi sebagai tempat memasang pisau perajang. Piringan ini direncanakan dibuat dari bahan aluminium dengan ketebalan 15 mm dan berdiameter 275 mm. Pada piringan dibuat lubang untuk tempat keluaran hasil pemotongan dan tempat pisau. Piringan diikat pada poros menggunakan pasak baut. Untuk pisau dibuatkan tempat dudukan tersendiri yang diikat dengan baut pada piringan, sehingga dapat diatur tebal tipisnya pengirisan dengan cara menaik turunkan pisau. Pisau perajang dibuat dari baja dengan ketebalan 1 mm, panjang 75 mm dan lebar 25 mm.
3.3. Motor Listrik
Diagram alir perencanaan daya motor : Menentukan kapasitas ( Q )
Mencari putaran output (n2)
35
Mencari berat total pada piringan ( W total ) : berat piringan, gaya iris dan berat beban
Mencari daya untuk menggerakkan piringan ( N prg )
Daya motor ( P )
Gambar 3.1. Diagram alir perencanaan daya motor 1) Kapasitas yang direncanakan ( Q ) : 55 kg/jam 2) Putaran output (putaran piringan) ( n2 ) : n2
=
Q m
Keterangan : n2
= putaran output (rpm)
Q
= kapasitas yang direncanakan (kg/menit)
m
= berat yang terpotong per putaran (kg/put) Dari hasil percobaan diperoleh massa satu irisan singkong 1,67
gram, dengan ketebalan 1 mm. Sehingga berat singkong per putaran dengan jumlah pisau 2 buah dan jumlah corong 1 buah adalah: m
= 2 x 1 x 1,67 gram = 3,34 gram/put = 0,0033 kg/put
36
Maka, n2
=
=
Q m
55kg / jam 0,0033kg / put
= 16666,67 put/jam x
1 jam 60menit
= 277,78 put/menit (rpm) 3) Berat total pada piringan (W total ) : a. Berat piringan (W prg ) : 1,54 kg b. Gaya iris ( F iris) : Proses percobaan pengirisan singkong yaitu menggunakan pisau. Singkong diletakkan pada timbangan dan pisau ditekan kemudian pada skala timbangan tertera gaya untuk mengiris singkong. Adapun data percobaan pengujian gaya pengirisan singkong adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1. Data percobaan pengirisan singkong No
Percobaan
Gaya ( F iris) (kg)
1
I
2,2
2 3
II III
2,1 2,1 6,4
∑ F iris
Jadi gaya yang dibutuhkan untuk mengiris singkong adalah : F iris
=
6,4 3
37
= 2,13 kg c. Berat beban (W sng ) : Bila berat satu singkong rata-rata 345 gram, direncanakan ada 1 corong pemasukan dimana berisi 1 singkong. Sehingga total beban yang diterima piringan adalah : W sng
= 1 x 1 x 345 gram = 345 gram = 0,345 kg
Sehingga, berat total pada piringan ( W total ) : W total
= berat piringan (W prg ) + gaya iris ( F iris) + berat beban (W sng ) = 1,54 kg + 2,13 kg + 0,345 kg = 4,015 kg
4) Daya untuk menggerakkan piringan ( N prg ) :
N prg
=
W total ⋅ 2π ⋅ r ⋅ n2 60 ⋅ 75 ⋅ 100
Keterangan : N prg
= daya untuk menggerakkan piringan (HP)
W total
= berat total pada piringan (kg)
r
= jari-jari piringan (cm)
n2
= putaran output (rpm) N prg
= W total ⋅ 2π ⋅ r ⋅ n 2 60 ⋅ 75 ⋅ 100
38
=
4,015 ⋅ 2π ⋅ 13,75 ⋅ 277,78 60 ⋅ 75 ⋅ 100
= 0,21 HP Berdasarkan efisiensi mekanis (η ) pada sistem transmisi yaitu transmisi sabuk V dengan η = 90% (Shigley, Joseph E. dan Larry D. Mitchell, 1999, hal : 348) maka daya output motor penggerak ( P ) adalah : P
=
=
N prg
η 0,21 0,9
= 0,23 HP Jadi, daya motor listrik yang digunakan adalah P = 0,25 HP
Spesifikasi motor listrik yang digunakan: 1. Single Phase AC Motor 2. Voltase 110/220 V, 2,4 A, 50 Hz 3. Daya ( P ) : 0,25 HP 4. n : 1400 rpm
3.4. Puli dan Sabuk V
Diketahui : 1. Diameter puli penggerak ( d p ) : 2 inchi = 50,8 mm 2. Putaran poros ( n2 ) : 277,78 rpm
39
3. Jarak sumbu puli d p ke D p (C ) : 285 mm 4. Daya motor listrik ( P ) : 0,25 HP 5. Putaran motor listrik ( n1 ) : 1400 rpm Perhitungan : 1)
Daya yang ditransmisikan P = 0,25 HP = 186,5 Watt
2)
Perbandingan putaran yang ditransmisikan : n1 n2
=
D p =
=
D p d p
n1 × d p n2 1400 × 2 277,78
= 10,08 inchi atau 256,032 mm Jadi, diambil diameter puli ( D p ) : 10 inchi atau 254 mm 3)
Penampang sabuk V : tipe A
4)
Kecepatan linier sabuk V (v) : v
=
=
π d p n1 60 ⋅1000 3,14 ⋅ 50,8 ⋅ 1400 60 ⋅ 1000
= 3,72 m/det 5)
Panjang sabuk ( L) : L
= 2C +
π 2
( d + D ) + p
p
1 4C
( D − d ) 2 p
p
40
= 2 ⋅ 285 +
π 2
( 50,8 + 254 ) +
1 4 ⋅ 285
( 254 − 50,8) 2
= 570 + 478,54 + 36,22 = 1084,76 mm Panjang nominal sabuk V berdasarkan Tabel 7.6 (Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991) adalah No. 43, L = 1092 6) Jarak sumbu poros (C ) : b
= 2 L − 3,14( D p
+ d p )
= 2 ⋅1092 − 3,14( 254 + 50,8) = 2184 − 957,07 = 1226,93 mm
Sehingga,
C
=
b + b2
− 8( D p − d p ) 2 8
=
1226 ,93 + 1226 ,93 2 8
=
1226 ,93 + 1084 8
= 288,87 mm 7)
Sudut kontak (θ ) : θ
= 180o
−
57( D p
−
C
d p )
− 8( 254 − 50,8) 2
41
= 180o
57( 254 − 50,8)
−
228,87
= 180o – 50,61 = 129,39o 8)
Tegangan pada sabuk V : Daya yang ditransmisikan oleh motor ( P ) = 0,25 HP, 1 HP : 76,06 kg · m/det (Arismunandar, Wiranto, 1988, hal : 5). P
=
F
=
F ⋅ v
...................................................
76,06
24
0,25 ⋅ 76,06 3,72
= 5,11 kg
_________________________ 24
Khurmi, R. S., J. K. Gupta, 1982, hal : 669
Tegangan pada sabuk (T) : = ( T 1
F
2,3 log
T 1 T 2
− T 2 )
= µθ
.......................................... 25
..................................................
26
Keterangan : µ
= koefisien gesek 0,25 (antara karet dan aluminium paduan)
θ
= sudut kontak (rad) = 180o + 2 α sin α =
=
D p
− d p
2C 254 − 50,8 2 ⋅ 288,87
...............................................
27
42
= 0,35
α
= arc sin 0,35 = 20,49o
Maka, θ = 180o + 2 ⋅ 20,49o = 220,98o = 220,98o ×
π 180
= 3,85 rad
_________________________ 25
Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, hal : 171 Khurmi, R. S., J. K. Gupta, 1982, hal : 666 27 Shigley, Joseph E. dan Larry D. Mitchell, 1999, hal : 335 26
Tegangan sabuk V adalah : 2,3 log
log
log
T 1 T 2 T 1 T 2
T 1 T 2 T 1 T 2 T 1 T 2
= µθ
=
0,25 ⋅ 3,85 2,3
= 0,42
= log-1 0,42
= 2,63
T 1 = 2,63 T 2
43
− T 2 )
F
= ( T 1
5,11
= 2,63 T 2
5,11
= 1,63 T 2
− T 2
T 2 = 3,13 kg
T 1
= 5,11 + 3,13
T 1
= 8,24 kg
Jadi :
T 1
= Tegangan sisi kencang pada sabuk = 8,24 kg
T 2
= Tegangan sisi kendor pada sabuk
= 3,13 kg
3.5. Poros
Poros yang direncanakan ditumpu oleh dua buah bantalan. Panjang poros direncanakan 455 mm. Bantalan dipasang pada jarak 215 mm dari ujung atas poros dan 80 mm dari ujung bawah poros. Diketahui : 1. Bahan poros : S30C 2. Tegangan tarik maksimum ( σ t ) : 48 kg/mm2 3. Putaran poros ( n2 ) : 277,78 rpm 4. Daya rencana ( P d ) : 0,25 HP Perhitungan poros : 1)
Momen puntir (T ) :
44
1 HP = 0,746 kW (Arismunandar, Wiranto, 1988, hal : 5)
T
P d
= 9,74 × 10 5
n2 0,25 × 0,746
= 9,74 × 105
277,78
= 653,94 kg · mm 2) Gaya yang bekerja pada poros P 1 = gaya pada puli
= T 1 + T 2
= 8,24 + 3,13
= 11,37 kg
P 2 = gaya iris
= 2,13 kg
P 3 = berat beban + berat piringan + berat poros + berat puli = 0,345 + 1,54 + 0,5 + 0,95 = 3,34 kg 3) Konstruksi pembebanan pada poros P1z = 11,2 kg
9,82o
P1y = 1,94 kg
P2 = 2,13 kg
C R Az
80 mm
P1 = 11,37 kg
A R Ay R Bz
160 mm
B R By
P3 = 3,34 kg
D
215 mm
Gambar 3.2. Konstruksi pembebanan poros 4) Gaya reaksi dan momen pada poros a. Reaksi vertikal
P2 = 2,13 kg
HA+B
P3 = 3,34 kg A
B
D
R Ay 160 mm
215 mm
45
C P1y = 1,94 kg
R By 80 mm
Gambar 3.3. Reaksi vertikal
∑ X
= 0
H A+B − P 3 = 0 H A+B
= P 3
H A+B
= 3,34 kg
∑Y
= 0
P 1 y + R Ay + R By R Ay + R By
( →)
− P 2 = 0
= P 2 − P 1 y
R Ay
+ RBy = 2,13 − 1,94
R Ay
+ RBy = 0,19
∑ M Ay
kg
= 0
P 1 y ⋅ 80 − R By ⋅ 160 + P 2 ⋅ 375 = 0
− RBy ⋅ 160 = −1,94 ⋅ 80 − 2,13 ⋅ 375 − RBy = R By
− 1,94 ⋅ 80 − 2,13 ⋅ 375
= 5,96
160
kg
( ↑)
46
R Ay
= 0,19 − 5,96
R Ay
= −5,77
kg
(↓
- Momen lentur reaksi vertikal : M Cy
= 0
M Ay
= P 1 y ⋅ 80 = 1,94 ⋅ 80 = 155,2 kg · mm
M By
= P 1 y ⋅ 240 + R Ay ⋅ 160 = 1,94 ⋅ 240 + ( −5,77) ⋅160 =
M Dy
− 457,6
kg · mm
= 0
b. Reaksi horisontal
P1z = 11,2 kg
C
A
B
R Az 80 mm
D
R Bz 160 mm
215 mm
Gambar 3.4. Reaksi horisontal
∑Y
= 0
− P 1 z + R Az + R Bz = 0
47
R Az + R Bz = P 1 z R Az + RBz = 11,2 kg
∑ M Az = 0
− P 1 z ⋅ 80 − RBz ⋅ 160 = 0 − R Bz ⋅ 160 = P 1z ⋅ 80 − RBz =
11,2 ⋅ 80 160
( ↓)
R Bz
= −5,6
R Az
= 11,2 − (−5,6)
kg
R Az = 16,8 kg
(↑
- Momen lentur reaksi horisontal : M Cz
= 0
M Az
=
− P 1z ⋅ 80
=
− 11,2 ⋅ 80
=
− 896
=
− P 1 z ⋅ 240 + R Az ⋅160
=
− 11,2 ⋅ 240 + 16,8 ⋅160
M Bz
= 0 M Dz
= 0
kg · mm
48
5) Diagram gaya dan momen a. Diagram gaya dan momen reaksi vertikal
49
P2 = 2,13 kg
HA+B
P3 = 3,34 kg C
B
A
P1y = 1,94 kg
R Ay 80 mm
R By 160 mm
3,34 kg
1,94 kg
215 mm
(-)
3,34 kg
2,13 kg
2,13 kg
NFD
(+)
(+) 3,83 kg
D
SFD
(-)
457,6 kg · mm
(-)
BMD (+) 155,2 kg · mm
Gambar 3.5. Diagram gaya dan momen reaksi vertikal
b. Diagram gaya dan dan momen momen reaksi reaksi horisontal horisontal
50
P1z = 11,2 kg
C
B
A R Az
80 mm
D
R Bz 160 mm
215 mm
5,6 kg
5,6 kg
(+)
SFD (-) 11,2 kg
896 kg · mm
(-)
BMD
Gambar 3.6. Diagram gaya dan momen reaksi horisontal 6) Reak Reaksi si ban banta tala lan n gabu gabung ngan an :
R A
= =
R Ay
2
+ R Az 2
(5,77)
2
+
(16,8)
= 17,76 kg
R B
= =
R By
2
+ R Bz 2
(5,96) 2
= 8,18 kg
+ (5,6) 2
2
51
7) Mome Momen n len lentu turr gab gabun unga gan n ( M M R) :
M R1 R1
= =
M Ay
2
+ M Az 2
(155,2) 2
+ (896) 2
= 909,34 kg · mm
M R2 R2
= =
M By
2
+ M Bz 2
(457,6) 2
+ (0) 2
= 457,6 kg · mm 8) Dengan Dengan bahan bahan poros poros S30C S30C (kekua (kekuatan tan tarik tarik = 48 kg/m kg/mm m 2), angka-angka keamanan Sf 1 = 6, dan Sf 2 = 2. Maka : τ a = σ B / (Sf (Sf 1 × Sf 2) 48
= 6× 2 = 4 kg/mm2 9)
Diam iameter poros ros Diketahui : - Tegangan geser geser yang diijinkan (τ (τ a) = 4 kg/m kg/mm m2
- Faktor koreksi momen lentur ( K m ) - Momen lentur ( M ) - Faktor koreksi momen puntir ( K t - Torsi ( T ) Sehingga,
= 1,5 = 909,34 kg · mm
)
= 2 = 653,94 kg · mm
52
d s
5,1 2 2 ( ) ( ) K M K T ≥ + t m τ a
1/ 3
5,1 2 2 ≥ (1,5 ⋅ 909,34 ) + ( 2 ⋅ 653,94) 4
≥ [1,275 ≥ 13,41
1860523,28 + 1710550,09
]
1/ 3
1/ 3
mm
Jadi, diameter poros yang digunakan adalah 15 mm
3.6. Bantalan
Bantalan ini berfungsi untuk tumpuan poros utama agar lebih stabil. Bantalan yang digunakan adalah bantalan gelinding bola radial alur tunggal. Berdasarkan Tabel 7.7 (Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991), bantalan yang digunakan adalah tipe 6202 dengan pertimbangan mampu menerima beban dinamis sebesar 600 kg dan beban statis sebesar 360 kg. Data bantalan gelinding yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Diameter kecil (d )
= 15 mm
b. Diameter besar ( D)
= 35 mm
c. Kapasitas nominal dinamis spesifik (C )
= 600 kg
d. Kapasitas nominal statis spesifik (C o)
= 360 kg
Perhitungan : 1) Beban ekivalen dinamis : P r = X V F r + Y F a Diketahui :
53
- X, V, Y
= faktor bantalan (Tabel 7.7)
- X
= 0,56
- V
= 1
- Y
= 1,45
- Beban radial ( F r ) = Reaksi bantalan yang terbesar R A = 17,76 kg - Beban aksial ( F a) = berat beban + berat piringan + berat poros + berat puli = 0,345 + 1,54 + 0,5 + 0,95 = 3,34 kg Maka, P r = X V F r + Y F a = 0,56 ⋅1 ⋅ 17,76 + 1,45 ⋅ 3,34 = 14,79 kg 2) Umur nominal bantalan ( Lh ) -
Faktor kecepatan ( f n) 1/ 3
f n
33,3 = n
1/ 3
33,3 = 277 , 78 = 0,49
-
Faktor umur ( f h)
54
f h
= f n
C P
= 0,49
600 14,79
= 19,89 Maka,
Lh
= 500 f h 3 = 500 ⋅ 19,89 3 = 3934362,34 jam
Jadi, umur pemakaian bantalan adalah 3934362,34 jam.
3.7. Las
Untuk menyambung dua buah benda dengan bahan sama digunakan las. Pada mesin ini penyambungan pada rangka dilakukan dengan las busur listrik. Bahan rangka adalah besi siku 40 x 40 x 3 mm. Diketahui : - Beban ( F )
= 16 kg
- Tinggi leher las (h)
= 3 mm
- Panjang kampuh (l )
= 40 mm
Tegangan normal rata-rata ( σ ) : σ =
dimana,
F A
55
A
= h × l
A
= 3 × 40
A
= 120 kg/mm2
Maka,
σ
=
σ
=
16 120 0,13 kg/mm2
Elektroda yang digunakan adalah jenis AWS E6013, tegangan luluh 38,7 kg/mm 2 (Wiryosumarto, Harsono dan Toshie Okumura, 2004, hal : 14). Sehingga tegangan ijin lasan adalah 0,60 × 38,7 = 23,22 kg/mm 2 (Shigley, Joseph E. dan Larry D. Mitchell, 1999, hal : 445). Cek
: 0,13 kg/mm2 ≤ 23,22 kg/mm 2
Berdasarkan perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa rangka mesin perajang singkong adalah aman.
BAB IV
56
PERAWATAN DAN PERBAIKAN
4.1. Perawatan
Perawatan adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara teratur untuk mencegah atau mengurangi penyebab terjadinya kerusakan. Usaha perawatan yang dilakukan secara terencana dan teratur harus dilakuakan pada suatu kegiatan produksi atau lainnya, sehingga kerugian akibat terhentinya produksi dapat ditekan seminimal mungkin. Perawatan yang dilakukan secara periodik perlu diterapkan pada suatu mesin, sehingga kerusakan-kerusakan dapat diketahui secara dini. Sehubungan dengan hal itu ada berbagai perawatan yang harus dilakukan, yaitu meliputi : 1. Perawatan Preventif Perawatan preventif adalah kegiatan yang bersifat pencegahan pada tahap awal agar kerusakan yang terjadi secara dini dapat dihindari. Yang perlu dilakuakan terhadap mesin perajang singkong sehubungan dengan perawatan preventif adalah: .
Pelumasan Pelumasan perlu diberikan pada komponen-komponen : -
Bantalan Komponen ini merupakan salah satu bagian yang terpenting karena dengan bantalan inilah poros dapat berputar dengan halus dan tidak menimbulkan suar berisik karena gesekan, sehingga bila bantalan kotor atau brkarat akan menyebabkan putaran poros tidak lancar dan bila ini terjadi terus menerus akibatnya akan terjadi kemacetan. Untuk mencegah terjadinya hal yang
57
tidak diinginkan ini, maka bantalan harus diberikan pelumasan secara periodik agar tidak terjadi kemacetan dan keawetannya terjaga. -
Baut dan Mur Untuk
mencegah
terjadinya
korosi
yang
dapat
mengakibatkan
ketidaklancaran dalam pelepasannya, maka baut dan mur perlu diberi pelumasan. d.
Pembersihan
Pembersihan dilakukan setiap menggunakn mesin, karena kotoran yang tertinggal dapat menimbulkan korosi. .
Tindakan pengamanan Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: -
Setelah mesin digunakan, mesin dibersihkandan sampai kering untuk menghindari korosi.
-
Motor listrik jangan sampai terkena cairan karena dapat menyebabkan terjadinya hubungan arus pendek yang akan berakhir pada kerusakan.
2.
Perawatan Prediktif Kegiatan ini berupa pemeriksaan yang bersifat dugaan dan dilakukan secara berkala, sehingga apabila terjadi kerusakan setidaknya telah diketahui posisinya dan bisa ditentukan pula penaggulangannya.
Komponen yang perlu diperhatikan pada perawatan ini adalah: -
Mur dan baut pada motor
58
Kekencangan pada baut pengikat pada motor harus diperhatikan karena dengan adanya getaran mesin saat beroperasi akan menyebabkan baut menjadi kendor. Baut yang kendor karena getaran yang terus menerus akhirnya akan terlepas bila tidak segera ditangani. -
Baut pada piringan aluminium Kekencangan baut pada piringan aluminium juga harus diperhatiakan karena baut yang kendor akan mengakibatkan berkurangnya daya ikat aluminium pada poros.
4.2. Perbaikan
Sebenarnya semua alat atau mesin yang digunakan memerlukan perbaikan jika terjadi kerusakan dan mengganti dengan yang baru jika diperlukan. Pada mesin perajang singkong ini, aktivitas utama dalam perbaikan akan dilakukan pada komponen : 1.
Motor
Kerusakan pada motor dapat diperbaiki sendiri menurut pengetahuan atau melalui literatur-literatur yang ada, tetapi jika tidak memungkinkan, maka bisa dibawa ke reparasi atau ke ahli motor listrik. Bantalan Bagian ini perlu diganti bila telah mencapai usia nominalnya, biasanya ditandai dengan terdengarnya bunyi kasar dan getaran pada mesin walaupun telah dilakukan dengan melepaskan bantalan yang lama dan diganti dengan yang baru menurut ketentuan dan standar yang ada.
59
3.Baut dan Mur Apabila komponen ini rusak atau aus, maka perlu diganti dengan yang baru, karena kekuatan baut dan mur membuat kedudukan motor, piringan dan puli menjadi kuat. Pisau Perajang Pisau perajang dapat tumpul dan berkarat, maka pisau harus diasah, namun apabila bibir potong telah habis, maka pisau diganti dengan yang baru.
BAB V PENUTUP
60
5.1. Kesimpulan
Perencanaan mesin perajang singkong ini merupakan usaha pengembangan dari mesin yang sudah ada, tetapi terdapat perubahan pada desain kontruksinya. Mesin ini diharapkan dapat meningkatkan industri kecil dalam rangka mengubah nilai jual komoditas singkong (umbi-umbian). Apabila dimungkinkan mesin ini dapat dikembangkan dan disempurnakan lagi untuk mendapatkan hasil dan kapasitas yang lebih baik. Cara yang diterapkan dalam mengoperasikan mesin ini adalah dengan memasukan singkong melalui corong pemasukan. Selanjutnya motor dihidupkan sehingga piringan akan berputar dan pisau akan merajang sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki (tebal atau tipis). Ketika proses perajang dilakukan maka bagian ujung singkong harus tetap dipegang dan ditahan. Hal ini dilakukan agar hasil potongan dapat dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi lain dari menahan ujung singkong adalah memberi tekanan agar dapat terpotong dengan baik.
5.2. Saran
Berdasarkan dari hasil pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya maka ada beberapa saran yang mungkin
dapat bermanfaat bagi pihak yang akan
memanfaatkan mesin ini. Saran-saran tersebut antara lain: -
Perawatan mesin harus diperhatikan untuk menunjang hasil produksi
dan memperpanjang umur dari mesin.
61
-
Keselamatan kerja merupakan faktor utama sehingga operator harus
memperhatikan gerakan atau putaran pisau agar tidak terjadi kecelakaan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
62
Arismunandar, Wiranto, 1988, Motor Bakar Torak , Penerbit ITB, Bandung. Khurmi, R. S., J. K. Gupta, 1982, A Text Book of Machine Design, Mc. Graw Hill Publishing Company Ltd, New Delhi. Niemann, G., 1986, Elemen Mesin, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sato, G. Takeshi dan N. Sugiarto Hartono, 1992, Menggambar Mesin Menurut Standar ISO, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Shigley, Joseph E. dan Larry D. Mitchell, 1999, Perencanaan Teknik Mesin, Jilid 1 dan 2, Penerbit Erlangga, Jakarta. Stolk, Jac dan C. Kros, 1984, Elemen Mesin, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sukrisno, Umar, 1984, Bagian-Bagian Mesin dan Merencana, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Wiryosumarto, Harsono dan Toshie Okumura, 2004, Teknologi Pengelasan Logam, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
63
LAMPIRAN
Tabel 7.1. Bahan baja karbon dan baja batang yang difinis dingin untuk poros
64
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 3
Tabel 7.2. Bahan baja paduan untuk poros
65
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 3
Tabel 7.3. Ukuran puli V
66
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 166
Tabel 7.4. Diameter minimum puli yang diijinkan dan dianjurkan (mm)
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 169
Tabel 7.5. Panjang sabuk V standar
67
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 168
Tabel 7.6. Faktor koreksi K θ
68
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 174
Tabel 7.7. Nomor dan ukuran bantalan gelinding
69
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 143
Tabel 7.8. Faktor V , X , Y dan X 0, Y 0
70
Sumber : Sularso dan Kiyokatsu Suga, 1991, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 135
Tabel 7.9. Sifat minimum logam las
Sumber : Shigley, Joseph E. dan Larry D. Mitchell, 1999, Perencanaan Teknik Mesin, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal : 444