LAPORAN KASUS
Disentri
Disusun oleh: dr. Firyal Soraya Nurhidayati
Pembimbing: dr. Arifian Wijaya Lana Putra
PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA RSU SAMARINDA MEDIKA CITRA SAMARINDA 2017
1
BAB I RESUME
Identitas
Nama
: An. AA
Umur
: 6,5 Bulan
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Arjuna RT.001 Samarinda
Tanggal masuk
: 02 Agustus 2017
No. RM
: A 09.46.88
Anamnesis 1. Keluhan Utama
BAB cair 2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 3 hari SMRS pasien mengalami BAB cair. Frekuensi BAB lebih dari tujuh kali sehari. Feses memiliki konsistensi cair, berwarna kuning disertai ampas, disertai lendir dan darah sejak 1 hari SMRS. Selain itu pasien juga mengalami demam sejak 5 hari SMS. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perutnya. Pasien tidak mengalami muntah maupun batuk pilek. Pasien mau minum. 3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah memiliki keluhan yang serupa sebelumnya dan tidak pernah menjalani rawat inap. 4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ditemukan keluarga dengan riwayat keluhan serupa. 5. Riwayat Kehamilan , Persalinan, dan Post Persalinan
Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan. Selama hamil ibu mengaku tidak mengalami penyakit yang mengganggu. 6. Riwayat Makanan & Minuman
2
ASI dari lahir sampai umur 2 bulan. Sejak usia 2 bulan mulai diberikan susu formula. ASI diberikan secara penuh. Bubur mulai diberikan saat pasien berusia 6 bulan. 7. Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib lengkap •
Hepatitis B
:
2 kali
•
BCG
:
1 kali
•
Polio
:
3 kali
•
DPT
:
2 kali
•
Campak
:
-
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: komposmentis
Tanda-tanda vital
Frekuensi nadi
: 160x/menit, kuat angkat, regular
Frekuensi nafas
: 35x/menit
Suhu
: 37,8oC
Status Gizi
Berat Badan
: 6,9 kg
Tinggi Badan
: -
BB/U
: Z-skor
dalam rentang -2 SD - +2 SD (Gizi Baik)
3
Status generalisata Kepala
Bentuk
: Normochepali
Rambut
: Hitam, tidak mudah dicabut, rambut jagung (-)
Mata
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, refleks cahaya (+/+), mata cowong (-) Hidung
: Nafas cuping hidung (-|-) , secret (-)
Mulut
: Mukosa basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis, sianosis
(-) Leher •
KGB
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax •
Inspeksi
: Ictus cordi nampak jelas pada ICS V 2 cm lateral MCLS,
gerakan dinding dada simetris, retraksi (-) •
Palpasi
: Fremitus raba simetris, thrill (-), ictus cordis teraba pada
ICS V 2 cm lateral MCLS •
Perkusi
: Sonor di semua lapangan paru
•
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), ronchi (-/-), spilting
S2 (-), murmur (-) , gallop (-) Abdomen •
Inspeksi
: Tampak cembung, simetris, scar (-)
•
Palpasi
: Soefl, organomegali tidak teraba, turgor kulit normal
•
Perkusi
: Redup
•
Auskultasi
: Bising usus normal
Ekstremitas
Superior & Inferior
:
Akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-), tidak
edema
Pemeriksaan Penunjang:
4
Hematologi Rutin 02/08/2017 Lab
Nilai
Haemoglobin Leukosit Trombosit Hematokrit
11,1 11.700 161.000 34,7
12-16 g/dl 4500-11000/mm3 150000-350000/mm3 36,0-46,0 %
Diagnosa Kerja
Diare Akut, Disentri form, Tanpa dehidrasi
Penatalaksanaan
1. IVFD Ringer lactat 700 cc/ 24 jam 2. Zinc 1 x 1 tab po 3. Metronidazole 2 x 300 mg iv 4. Paracetamol 3 x 70 mg iv 5. Ranitidin 2 x 15 mg iv 6. Kalnex 3 x 70 mg iv
Prognosis •
Vitam
: Dubia
•
Functionam
: Dubia
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gastroenteritis adalah inflamasi membran mukosa lambung dan usus halus yang di tandai dengan muntah-muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gejala keseimbangan elektrolit. Diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu (IDAI, 2009). Disentri adalah diare yang disertai darah (WHO, 2009).
2.2 Epidemiologi Walaupun dianggap sebagai penyakit ringan, gastroenteritis akut tetap menjadi salah satu penyebab kesakitan dan kematian tertinggi pada anak di dunia Diperkirakan terdapat 520.000 kematian pada anak berusia kurang dari 5 tahun setiap tahunnya atau sekitar 10% dari kematian anak di seluruh dunia (Adam, 2016) Sampai saat ini diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. WHO memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak dibawah umur 8 tahun. Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) (Adam, 2016). Diketahui bahwa angka mortalitas dari penyakit ini menurun setiap tahunnya, dari 4,6 juta penderita pada tahun 1970-an menjadi 3 juta pada 1980-an dan menjadi 2,5 juta pada tahun 1990-an. Sampai saat ini virus masih merupakan penyebab tersering gastroenteritis pada anak, walaupun beberapa spesies bakteri dan parasit juga menjadi penyebab penyakit ini (Adam, 2016). Shigella diperkirakan menyebabkan 1 juta kematian dan 165 juta kasus diare di seluruh dunia setiap tahunnya. Tidak ada perbedaan berdasarkan ras
6
maupun jenis kelamin pada diare yang disebaban infeksi shigella. Diare shigella sering terjadi pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun (Joyann, 2016). Diare yang disebabkan infeksi amoeba diperkirakan terjadi sebanyak 50 juta kasus setiap tahunnya di seluruh dunia dan menyebabkan 100.000 kematian. Hal ini menunjukkan suatu fenomena puncak gunung es, karena hanya sekitar 10-20% dari seluruh individu terinfeksi yang bersifat simptomatik. Kejadian infeksi amoeba lebih tinggi di negara berkembang. Infeksi amoeba dapat terjadi pada semua golongan usia dan terjadi frekuensi kejadiannya tidak memandang jenis kelamin (Vinod, 2017).
2.3 Etiologi Penyebab utama gastroenteritis adalah adanya bakteri, virus, parasit. Faktor penyebab gastroenteritis meliputi (Marni & Rahardjo, 2012) 1. Faktor infeksi Faktor infeksi dapat bersumber dari internal dan parenteral. Penyebab utama gastroenteritis pada anak yang berasal dari infeksi internal antara lain infeksi bakteri
(Shigella,
Salmonella, E.Coli,
Vibrio),
infeksi
virus
(Rotavirus,
Adenovirus, Norwalk), infeksi parasit ( Protozoa, E.Histolitica, Giardia Lamblia, Balantidium coli, Ascaris, Trichuris, Strongiluides). Selain itu, sumber infeksi parenteral antara lain infeksi di luar alat pencernaan seperti otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, dan lainnya. Disentri amoeba adalah penyakit infeksi usus yang ditimbulkan oleh Entamoeba histiolytica, suatu mikroorganisme anaerob bersel tunggal. Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan banyak terdapat di negara subtropis dengan tingkat sosioekonomi rendah dan higiene yang kurang. Penyebarannya biasanya melalui makanan yang terinfeksi. Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amoeba. Kista ini memegang peranan dalam penularan bila terbawa makanan atau air minum oleh lalat atau tangan manusia (Soewandojo, 2002). 2. Faktor malabsorbsi: a. Malabsorbsi karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa), mosiosakarida ( intoleransi glukosa, dan fruktosa)
7
b. Malabsorbsi lemak c. Malabsorbsi protein 3. Faktor makanan Makanan basi, beracun dan alergi terhadap makanan. 4. Faktor psikologis Rasa takut dan cemas (jarang tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar).
2.4 Patofisiologi Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah: 1. Gangguan sekresi Akibat gangguan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare tidak karena peningkatan isi rongga usus. Patogenesis infeksi E.histolytica diyakini tergantung pada 2 mekanisme, yaitu kontak sel dan pajanan toksin. Bila trofozoid E.histolytica menginfeksi usus akan menyebabkan respon radang lokal. Makanan atau air yang terkontaminasi akan mengalami kolonisasi di ileum terminalis/kolon lalu invasi ke sel epitel mukosa kemudian terjadi multiplikasi menyebabkan penyebaran intrasel dan intersel
memproduksi
enterotoksin
sehingga
terjadi
hipersekresi
usus.
Mikroorganisme memproduksi eksotoksin sehingga terjadi infiltrasi sel radang, terjadi nekrosis sel epitel mukosa berkembang menjadi ulkus-ulkus kecil menuju eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus sehingga tinja bercampur darah (Nelson, 2000). 2. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat di serap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. 3. Gangguan motilitas usus
8
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare, sebaliknya jika peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
2.5 Penegakkan Diagnosis Manifestasi Klinis Pada anamnesi perlu digali hal-hal sebagai berikut: •
Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsistensi tinja, lendir dan/darah dalam tinja
•
Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil terakhir, demam, sesak, kejang, kembung
•
Jumlah cairan yang masuk selama diare
•
Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengkonsumsi makanan yang tidak biasa
•
Penderita diare di sekitarnya dan sumber air minum
Pemeriksaan Fisik •
Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
•
Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus, turgor kulit abdomen menurun
•
Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir, mulut dan lidah
•
Berat badan
•
Tanda gangguan keseimbangan basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan dalam (asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau hipernatremia) (IDAI, 2009). Tanda untuk diagnosis disentri adalah BAB cair, sering dan disertai dengan
darah yang dapat dilihat dengan jelas. Shigellosis menimbulkan tanda radang akut meliputi nyeri perut, demam, kejang, letargis, prolaps rektum (WHO, 2009): Disamping itu, sebagai diare akut bisa juga menimbulkan dehidrasi, gangguan pencernaan dan kekurangan zat gizi. Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat antara lain rewel atau gelisah, letargis/kesadaran berkurang, mata
9
cekung, cubitan kulit perut kembalinya lambat, haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum. Perlu dipikirkan kemungkinan invaginasi dengan gejala dan tanda dominan lendir dan darah, kesakitan dan gelisah, massa intra abdominal dan muntah (WHO, 2009). Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja: •
Makroskopis : konsistensi, warna, lendir, darah, bau
•
Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasit, bakteri
•
Kimia : pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
•
Biakan dan uji sensitifitas tidak dilakukan pada diare akut Jika memungkinkan, lakukan kultur feses dan tes sensitivitas. Di rumah
sakit diharuskan pemeriksaan feses untuk mengindentifikasi trofozoit amuba dan Giardia. Periksa apakah ada kondisi lain seperti alergi susu sapi, atau infeksi mikroba lain, termasuk resistensi terhadap antibiotik yang sudah dipakai (WHO, 2009).
2.6 Penatalaksanaan Anak dengan gizi buruk dan disentri dan bayi muda (umur < 2 bulan) yang menderita disentri harus dirawat di rumah sakit. Selain itu anak yang menderita keracunan, letargis, mengalami perut kembung dan nyeri tekan atau kejang mempunyai risiko tinggi terhadap sepsis dan harus di rawat di rumah sakit. Yang lainnya dapat dirawat di rumah (WHO, 2009). Penatalaksanaan pada kasus diare meliputi lintas diare, yakni : 1. Cairan
10
(WHO, 2009) a. Tanpa Dehidrasi Pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian. Jika anak memperoleh ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan. Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang. Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan berdasarkan usia yaitu umur <1tahun sebanyak 50-100 ml, umur 1-5 tahun sebanyak 100-200 ml, dan umur di atas 5 tahun semaunya. Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain seperti tidak mau minum, muntah terus menerus, diare frekuen dan profus (WHO, 2009). b. Dehidrasi Ringan-Sedang Cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar diberikan sebanyak 75 ml/kgBB dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5-10 ml/kgBB setiap diare cair. Rehidrasi parenteral diberikan bila anak muntah setiap diberi minum walaupun telah diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau melalui pipa nasogastrik. Cairan intravena yang diberikan adalah ringer laktat
11
atau KAEN 3B atau NaCl dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan (WHO, 2009). •
Berat badan 3-10 kg : 200 ml/kgBB/hari
•
Berat badan 10-15 kg : 175 ml/kgBB/hari
•
Berat badan >15 kg : 135 ml/kgBB/hari
c. Dehidrasi Berat Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat 100 ml/kgBB dengan cara sebagai berikut (WHO, 2009):
Cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat minum, dimulai dengan 5ml/kgBB selama proses rehidrasi 2. Seng
Seng terbukti secara ilmiah dapat menurunkan frekuensi BAB dan volume tinja sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. SengZink elemental diberikan selama 10-14 hari meskipun anak sudah tidak mengalami diare dengan dosis untuk anak umur <6 bulan sebanyak 10 mg/hari dan untuk anak umur >6 bulan sebanyak 20 mg/hari (IDAI, 2009). 3. Nutrisi
Diet yang tepat sangat penting karena disentri memberi efek samping pada status gizi. Namun demikian, pemberian makan seringkali sulit, karena anak biasanya tidak punya nafsu makan. Kembalinya nafsu makan anak merupakan suatu tanda perbaikan yang penting. Pemberian ASI harus terus dilanjutkan selama anak sakit, lebih sering dari biasanya. Anak-anak berumur 6 bulan atau lebih harus menerima makanan mereka yang biasa (WHO, 2009). Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x sehari), rendah serat, buah buahan diberikan terutama pisang (IDAI, 2009). 4. Medikamentosa
12
Jangan pernah memberikan obat untuk menghilangkan gejala simtomatis dari nyeri pada perut dan anus, atau untuk mengurangi frekuensi BAB, karena obat-obatan ini dapat menambah parah penyakit yang ada (WHO, 2009). Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah) atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile akan tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik (IDAI, 2009). Yang paling baik adalah pengobatan yang didasarkan pada hasil pemerikaan tinja rutin, apakah terdapat amuba vegetatif. Jika positif makan diberikan metronidazol dengan dosis 50 mg/kgBB dibagi tiga dosis selama 5 hari. Jika tidak ada amuba maka dapat diberikan pengobatan untuk Shigella. Beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang sensitif terhadap sebagian besar strain Shigella(WHO, 2009). Untuk disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan data sensitifitas setempat, bila tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang dipakasi saat ini, yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian siprofloksasin sebagai lini kedua. Bila kedua antibiotik tersebut sudah resisten makan lini ketiga adalah sefiksim. Pada bayi muda (umur < 2 bulan), jika ada penyebab lain seperti invaginasi, rujuk anak ke spesialis bedah. 5. Edukasi
Orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan Kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut: demam, tinja berdarah, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum mebaik dalam 3 hari (IDAI, 2009). Anak yang datang untuk kunjungsn ulang setelah dua hari, perlu dilihat tanda perbaikan seperti tidak adanya demam, berkurangnya BAB, nafsu makan meningkat. Jika tidak terjadi perbaikan setelah dua hari, maka (WHO, 2009): •
Ulangi periksa feses untuk melihat apakah ada amuba, giardia, atau peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapangan pandang untuk mendukung adanya diare bakteri invasif.
•
Jika memungkinkan lakukan kultur feses dan tes sensitifitas
13
•
Periksa apakah ada kondisi lain seperti alergi susu sapi, atau infeksi mikroba lain, termasuk resistensi terhadap antibiotik yang sudah dipakai
•
Hentikan pemberian antibiotik pertama dan beri antibiotik lini kedua yang diketahui efektif melawan shigella
2.7 Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien disentri adalah (WHO, 2009) •
Kekurangan kalium
•
Demam tinggi
•
Prolaps rekti
•
Kejang
•
Sindroma hemolitik-uremik
14
BAB III PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. AA umur 6 tahun 5 bulan tahun datang ke IGD RS SMC pada tanggal 02 Agustus 2017 dengan keluhan BAB cair. Diagnosis masuk dan diagnosa kerja pasien ini adalah Disentri. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis Kasus
Teori
o
Jenis kelamin : perempuan
o
Tidak membedakan jenis kelamin
o
Usia 6 tahun 5 bulan
o
Disentri shigella sering terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Disentri amoeba dapat terjadi pada semua golongan usia
o
BAB cair terjadi sejak 3 hari SMRS,
BAB
berlendir
o
dan
BAB lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Konsistensi cair. Pada disentri BAB
berdarah mulai 1 hari SMRS.
cair disertai darah.
BAB sebanyak 7 kali sehari, konsistensi
cair
berampas
berwarna kuning. o
Pasien mengeluhkan nyeri perut
o
dan demam.
Pada disentri dapat timbul tanda radang akut seperti nyeri perut, demam, kejang, letargis, prolaps rektum
o
Kemauan minum pasien biasa
o
Disentri sebagai diare akut dapat menimbulkan dehidrasi. Salah satu
penandanya adalah anak selalu haus atau bahkan sudah malas minum
Analisis
15
Pada kasus ini didapatkan hasil anamnesis yang sesuai dengan manifestasi klinis pada disentri, dimana didapatkan keluhan BAB cair sebanyak 7 kali sehari dengan konsistensi cair disertai lendir dan darah. Selain itu juga pasien mengalami gejala dari terjadinya reaksi radang yakni demam dan nyeri perut. Dari gejala pasien tidak didapatkan dehidrasi, karena kemauan pasien minum seperti biasa.
Pemeriksaan Fisik Kasus o
Kesadaran: Komposmentis
Teori
Salah satu tanda terjadinya dehidrasi
o
adalah
kesadaran
menjadi
letargis/koma o
Tanda-tanda vital:
o
Salah satu tanda terjadinya dehidrasi
N : 160 x/ menit, kuat angkat
bisa dilihat dari tanda-tanda vital
RR : 35 x/ menit
salah satunya nadi yang teraba
T : 37,8 0C per aksila
lemah. o
Bisa
terdapat
tanda
gangguan
keseimbangan basa dan elektrolit berupa napas cepat dan dalam. o
Demam
merupakan
terjadinya
reaksi
penanda
radang
dalam
tubuh. o
o
o
Kepala leher: anemis (-/-), ikterik
o
Tanda-tanda dehidrasi ringan atau
(-/-), mata cowong (-/-), mukosa
dehidrasi berat antara lain mata
bibir basah.
cekung,
Thoraks : rhonki (-/-), wheezing (-
lambat, mukosa bibir atau mulut
/-), s1 s2 tunggal reguler
kering.
Abdomen : bentuk cembung, BU (+) , NTE (-), hepatosplenomegali
o
Bisa
cubitan
terjadi
perut
kembali
invaginasi
bila
ditemukan massa intraabdominal
(-), organomegali (-),turgor kulit kembali cepat o
Ekstremitas : akral hangat
16
Analisis
Pada pemeriksaan fisik dalam kasus ini, hemodinamik ditemukan masih stabil, walaupun ditemukan peningkatan suhu tubuh yang menunjukkan reaksi infeksi atau inflamasi pada tubuh pasien. Pemeriksaan kepala leher, thoraks abdomen dalam batas normal, begitu juga pada pemeriksaan ekstremitas. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda dehidrasi pada pemeriksaan fisik pasien ini.
Pemeriksaan penunjang Kasus o
o
Terjadi sedikit peningkatan kadar
Teori
Nilai leukosit tidak menunjukkan
o
leukosit pada hasil pemeriksaan
tanda yang berarti. Leukosit dapat
hematologi pasien, yang lainnya
normal, meningkat atau bahkan
dalam batas normal
menurun.
Tidak dilakukan pemeriksaan tinja
o
pada pasien ini
Pemeriksaan
tinja
tidak
rutin
dilakukan pada diare akut, kecuali apabila terdapat tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Di
rumah
sakit
sehausnya
dilakukan pemeriksaan feses untuk mengidentifikasi trofozoit amuba. o
Jika
memungkinkan
dilakukan
pemeriksaan
dapat kultur
feses, terutama pada pasien yang dicurigai terinfeksi shigella.
Analisis
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini tidak menunjukkan tanda yang berarti, walaupun terjadi leukositosis. Kadar leukosit pada pasien disentri dapat normal, terjadi leukositosis maupun leukopenia. Sementara itu, pemeriksaan feses maupun kultur feses tidak dilakukan pada pasien ini.
Penatalaksanaan
17
Kasus •
IVFD Ringer lactat 700 cc/ 24
Teori o
Anak yang mempunyai risiko tinggi
jam
terhadap sepsis harus dirawat di
•
Zinc 1 x 1 tab po
rumah sakit. Pasien dapat di rawat
•
Metronidazole 2 x 300 mg iv
dirumah kecuali apabila terdapat
•
Paracetamol 3 x 70 mg iv
komplikasi lain seperti tidak mau
•
Ranitidin 2 x 15 mg iv
minum, muntah terus menerus, diare
•
Kalnex 3 x 70 mg iv
frekuen dan profus. o
Penatalaksanaan pada kasus diare adalah lintas diare, meliputi cairan, seng/zinc, nutrisi, medikamentosa, dan edukasi.
o
Pemberian cairan pada kasus diare disesuaikan
berdasarkan
tingkat
dehidrasi. Pada kasus pasien tanpa dehidrasi,
pemberian
ASI
atau
MPASI yang sudah biasa didapat ditingkatkan. Jika anak memperoleh ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan. Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan oralit, cairan makanan atau air matang. Cairan oralit diberikan berdasarkan usia, yakni umur < 1 tahun sebanyak 50100 ml, 1-5 tahun sebanyak 100-200 ml, >5 tahun semaunya. o
Zinc diberikan selama 10-14 hari meskipun
anak
sudah
tidak
mengalami
diare,
dengan
dosis
untuk anak <6 bulan 10 mg/hari dan anak >6 bulan 20 mg/hari.
18
o
Anak berumur 6 bulan atau lebih harus menerima makanan mereka yang
biasa.
Anak
dipuasakan,
tidak
makanan
boleh
diberikan
sedikit-sedikit tapi sering (kurang lebih 6x sehari), rendah serat. o
Tidak
boleh
memberikan
simptomatis mengurangi
seperti nyeri
obat untuk
perut
ataupun
mengurangi frekuensi BAB, karena dapat menambah parah penyakit yang ada. o
Terapi antibiotik yang baik diberikan berdasarkan pemeriksaan tinja rutin, jika
ditemukan
amuba
maka
diberikan metronidazol dengan dosis 50
mg/kgBB
dibagi
tiga
dosis
selama lima hari. Jika tidak ada amuba
maka
dapat
diberikan
pengobatan untuk shigella, yakni kotrimoxazol, siprofloksasin, atau sefiksim.
Analisis
Penatalaksanaan pada kasus diare meliputi lintas diare, yakni cairan, zinc, nutrisi, medikamentosa, dan edukasi. Perawatan inap dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis, seperti anak tidak mau minum ataupun terjadi diare yang profus. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya tanda dehidrasi, sehingga sebaiknya diberikan oralit yang dosisnya diseuaikan dengan umur, selain itu perlu meningkatkan pemberian cairan oral yang sudah biasa didapatkan anak. Cairan infus yang diberikan pada pasien ini kemungkinan hanya sebagai pemenuhan
19
kebutuhan cairan hariannya, yakni 100 ml/kgBB/hari, bukan merupakan terapi rehidrasi. Zinc diberikan guna menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Zinc bekerja dengan menurunkan frekuensi BAB dan volume tinja. Dosis zinc pada pasien ini sudah sesuai dengan berat badannya, yakni 20 mg/hari untuk anak usia >6 bulan. Antibiotik perlu diberikan pada pasien dengan diare berdarah. Pemberian antibiotik yang paling baik adalah pengobatan sesuai hasil pemeriksaan tinja rutin. Karena pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare. Jika positif amuba maka diberikan metronidazol, jika tidak ditemukan amuba maka dapat diberikan pengobatan untuk shigella. Obat-obat simptomatis seperti obat untuk nyeri perut atau obat untuk mengurangi frekuensi BAB, sebaiknya dihindari karena obat-obat tersebut dapat memperparah penyakit yang ada.
20
DAFTAR PUSTAKA
IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI. Joyann, A. (2016, January 20). Emedicine. Retrieved August 13, 2017, from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview#a2 Levine, A. (2016, January 29). Emedicine. Retrieved August 13, 2017, from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/801948-overview Marni, & Rahardjo, K. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nelson, W. (2000). Penyakit protozoa dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak (Vol. 2). Jakarta: EGC. Soewandojo, E. (2002). Amebiasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Vinod, K. (2017, January 16). Emedicine. Retrieved August 13, 2017, from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview#a5 WHO. (2009). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
21