LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
"Pengujian Efek Antiinflamasi"
8 April 2014
Shift C1
Kamis, 13.00-16.00
KELOMPOK 6
Panji Dwipa Rendra 2601101200153 (Pembahasan)
Desi Rohadatul Aisy 2601101200155 (Prosedur, Editor)
Hanifa Nuraini 2601101200156 (Pembahasan, Kesimpulan)
Gabriella Rosalina 2601101200157 (Alat & Bahan, Data Pengamatan)
Andhiani Sharfina A 2601101200158 (Tujuan, Prinsip, Teori Dasar)
LABORATORIUM FARMAKOLOGI ORGAN
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2014
Nilai
Asisten
PENGUJIAN EFEK ANTIINFLAMASI
Tujuan
Mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.
Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan.
Prinsip
Penyuntikkan secara subkutan karagenan pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang diberikan sebelumnya.
Volume udem diukur dengan alat Plethysmometer dan dibandingkan terhadap udem yang tidak diberikan obat.
Aktivitas obat antiinflamasi dinilai dari persentase yang diberikan terhadap pembentukan udem.
yang mematikan 50% dari jumlah binatang
b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat
c. Rumus :
Indeks Terapi = DL50/DE50 yang mematikan 50% dari jumlah binatang
b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat
c. Rumus :
Indeks Terapi = DL50/DE50 yang mematikan 50% dari jumlah binatang
b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat
c. Rumus :
Indeks Terapi = DL50/DE50Teori Dasar
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat – zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur zat perbaikan jaringan. Inflamasi juga merupakan proses yang vital untuk semua organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai penyakit yang dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat – obat anti inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator target obat (Mycek, M.J., dkk., 2001).
Fenomena inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor dan function lease atau dengan kata lain secara mikroskopis, inflamasi menunjukkan gambaran yang kompleks seperti dilatasi arteriol, kapiler dan venul; peningkatan permeabilitas dan arus darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; migrasi leukosit ke fokus inflamasi. Akumulasi leukosit yang disusul dengan aktivasi sel merupakan kejadian sentral dalam patogenesis hampir semua inflamasi ( Lutfianto, 2009).
Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Pengurangan peradangan dengan obat-obat antiinflamasi sering mengakibatkan perbaikan rasa sakit selama periode yang bermakna. Obat-obat AINS yang digunakan untuk penyakit rematik mempunyai kemampuan untuk menekan gejala peradangan. Beberapa obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi efek antiinflamasinya membuat obat-obat ini bermanfaat dalam menanggulangi kelainan rasa nyeri yang berhubungan dengan intensitas proses peradangan (Lumbanraja, 2009).
Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis untuk memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh berupaya untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh lingkungan yang merugikan (Lutfianto, 2009)
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Anonim, 2009).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Anonim, 2009).
Mekanisme terjadinya radang
Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimi tertentu yang akn menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut, diantaranya adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang lambat, sel darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir. Makin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh darah makin lama makin banyak. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi, meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Lumbanraja, 2009).
AlaaAlat dan Bahan
Hewan Percobaan
Tikus Putih
Alat
Alat suntik 1 mL
Plethysmometer
Sonde Oral
Timbangan tikus
Bahan
Asetosal
Larutan karagenan 1% dalam air
PGA 3%
Piroxicam
Gambar Alat
Alat suntik 1 ml
Plethysmometer
Sonde Oral 4. Timbangan tikus
Prosedur
Sebelum memulai percobaan, masing-masing tikus dikelompokkan dan ditimbang bobot badannya, kemudian diberi tanda pengenal. Setelah itu diberikan tanda batas pada kaki belakang kiri untuk setiap tikus dengan menggunakan spidol.
Langkah pertama yaitu volume kaki masing-masing tikus diukur pada alat Plethysmometer dan dinyatakan sebagai volume dasar (Vo). Setiap pengukuran volume, tinggi cairan air raksa pada alat diperiksa dan dicatat volumenya. Kemudian masing-masing tikus sesuai kelompoknya diberikan obat atau larutan kontrol secara intraperitonial. 30 menit kemudian, diberikan 0,1 mL larutan karagenan yang diberikan pada telapak kaki kiri tikus secara subkutan. Selanjutnya volume kaki tikus yang diberikan karagenan diukur pada menit ke-45 menit, 60 menit, 75 menit, dan 90 menit lalu dicatat perbedaan kaki pada masing-masing tikus untuk setiap 15 menit pengukuran dan dinyatakan sebagai Vt.
Selanjutnya setelah didapatkan volume sebelum pemberian obat (Vo) dan volume setelah pemberian obat (Vt) dilakukan perhitungan persentase radang. Kemudian dicantumkan dalam tabel pada setiap kelompok tikus. Lalu dihitung persentase inhibisi radang dan dibuat grafiknya.
Data Pengamatan
Data berat tikus perobaan
Kelompok
Data Tikus
Berat Tikus
Volume Obat
Berat Tikus
Volume Obat
Berat Tikus
Volume Obat
1
369,5 gr
3,695 mL
304,5 gr
3,045 mL
267,5 gr
2,675 mL
2
270 gr
2,7 mL
321 gr
3,21 mL
377 gr
3,77 mL
3
298 gr
2,98 mL
262,5 gr
2,625 mL
177,8 gr
1,778 mL
4
238,5 gr
2,385 mL
264 gr
2,64 mL
267 gr
2,67 mL
5
258,2 gr
2,582 mL
266,7 gr
2,667 mL
195 gr
1,95 mL
6
191 gr
1,91 mL
283 gr
2,83 mL
237 gr
2,37 mL
KEL UJI
TIKUS NO
WAKTU (menit)
45
30
75
90
Kontrol (Suspensi PGA)
1
45,16
19,35
48,39
16,13
2
75
100
110
120
3
6,06
18,18
27,3
31,82
4
4,35
39,13
39,13
47,83
5
10,71
17,86
32,14
57,14
6
19,23
38,46
15,38
46,15
Jumlah
160,51
232,98
272,34
319,07
Rata-rata
26,752
38,83
45,39
53,18
Uji 1 (Asetosal)
1
0
0
0
0
2
11,70
11,76
17,64
52,94
3
70,58
88,24
170,59
129,41
4
14,28
15,38
0
14,67
5
0
11,11
7,41
22,22
6
6,89
34,48
27,58
31,03
Jumlah
103,45
160,97
223,22
250,27
Rata-rata
17,24
26,82
37,2
41,71
Uji 2 (Piroxicam)
1
70,37
40,74
22,22
14,81
2
83
84,5
81,33
76,46
3
37,14
117,14
31,42
2,86
4
34,62
21,21
38,46
26,09
5
26,32
10,53
36,84
57,89
6
3,57
7,14
7,14
3,57
Jumlah
255,02
281,26
217,41
181,68
Rata-rata
42,5
46,88
36,235
30,28
Perhitungan
Volume Obat yang Diberikan
Berat tikus200 ×0,2
Mencit I
191200 ×0,2=1,91 mL
Mencit II
283200 ×0,2=2,83 mL
Mencit III
237200 ×0,2=2,37 mL
Perhitungan % aktivitas antiinflamasi
% Aktivitas Asetosal
% Inhibisi = kontrol- asetosal kontrol×100%
= 41,04-30,7441,04 x 100%
= 25,097%
% Aktivitas Piroxicam
% Efektivitas = amitriptilin I- kontrol kontrol×100%
= 41,04-38,9741,04 x 100%
= 5,04%
Grafik
Persentase Inhibisi Radang Terhadap Waktu
Pembahasan
Pada praktikum kali ini yang berjudul Pengujian Efek Antiinflamasi, praktikan dapat mencapai tujuan yaitu praktikan mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis dan praktikan dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan. Prinsip percobaan pada praktikum kali ini adalah dengan penyuntikkan secara subkutan keregenan pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat anti-inflamasi yang diberikan sebelumnya. Aktivitas obat antiinflamasi dinilai / diukur dari persentase proteksi yang diberikanterhadap pembentukkan udem. Teknik percobaan yang sering dilakukan adalah pembentukkan udem dengan karagenan, yaitu suatu polisakarida sulfat yang berasal dari suatu tanaman Chondrus crispus. Pembentukkan yang disebabkan oleh keragenan tidak menyebabkan kerusakkan jaringan meskipun udem dapat bertahan bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24 jam meninggalkan bekas.
Hewan uji yang digunakan pada praktikum kali ini adalah hewan uji tikus. Hewan uji tikus yang digunakan pada percobaan ini menggunakan 3 ekor tikus yang dibedakan menjadi kelompok uji, kelompok kontrol 1 dan kelompok kontrol 2, dimana setiap kelompok dibedakan berdasarkan zat yang diberikan. Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pengujian efek anti-inflamasi ini adalah jarum suntik 1 mL. Jarum suntik ini digunakan untuk menyuntik tikus secara Intraperitorial , yaitu dengan menyuntikkan zat pada perut tikus yang telah dibagi menjadi empat bagian dan diberi titik pada bagian perut kiri bawah, dengan tujuan yaitu agar obat langsung masuk kedalam bagian lambung tikus dan tidak mengenai paru-paru yang dapat mengakibatkan kematian pada hewan uji tikus. Dan dengan menggunakan jarum suntik tikus diberi zat dengan cara subkutan pada bagian telapak kaki belakang sebelah kiri. Kemudian alat yang digunakan adalah Plethysmometer yang fungsinya adalah sebagai alat pengukur untuk mengukur volume udem yang terjadi dan kemudian dibandingkan terhadap udem yang tidak diberikan obat. Prinsip kerja alat ini adalah berdasarkan Hukum Archimedes, yaitu penambahan volume air raksa sebanding dengan volume kaki tikus yang dimasukkan.
Bahan yang digunakan pada percobaan anti-inflamasi ini adalah PGA ( Gom Arab) dimana fungsi zat gom arab ini adalah sebagai zat bagi kelompok uji. Zat yang lainnya adalah Aspirin yang merupakan obat-obat AINS menghambat berbagai reaksi biokimiawi, selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrian, yang diketahui berperan dalam inflamasi. Efek terapi maupun efek samping dari obat-obat anti-inflamasi ini tergantung dari penghambatan biosintesis prostaglandin. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara berbeda dan juga sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan). Aspirin juga memiliki efek antikoagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung. Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai pada tahun 1918 ketika terjadi pandemik flu di berbagai wilayah dunia.
Kemudian adalah piroxicam obat ini merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam. Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorpsi berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus enterohepatik. Indikasi piroxicam hanya untuk penyakit inflamasi sendi misalnya arthritis reumatoid, osteoarthritis, spondilitis ankilosa dengan dosis 10-20 mg sehari. Dan zat yang terakhir adalah karagenan, yaitu uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus yang disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat antiradang yang paling banyak digunakan di klinik untuk menekan edema macam ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu zat antiradang nonsteroid yang banyak dipakai, pada mulanya ditentukan oleh uji karagenan.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Aspiin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus akatif serin dari enzim ini. Dan trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya. Sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklo oksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari.
Secara skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :
1.Eritem : vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh perubahan permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding pembuluh.
2.Ekstravasasi : keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan menyebabkan udem.
3.Suppurasi dan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang disebabkan oleh penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.
4.Degenerasi jaringan : tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk pembentukan pembuluh darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen yang tidak berfungsi.
Prosedur yang dilakukan adalah pertama-tama memilih tikus yang akan di uji cobakan. Setelah dipilih tikus yang akan digunakan, terlebih dahulu diberi tanda penomoran pada tikus untuk memudahkan praktikan melakukan uji dan agar tidak tertukar antar tikus satu dengan tikus yang lainnya. Setelah diberi penomoran kesetiap tikusnya, tikus ditimbang dengan menggunakan timbangan, dan didapatkan berat tikus 1 yaitu 191 gr, tikus 2 yaitu 283 gr, dan tikus 3 yaitu 237 gr. Setelah dilakukan penimbangan kesetiap tikusnya, dihitung masing-masing dosis zat yang akan diberikan sesuai dengan berat bobot badan dari tiap tikusnya. Kemudian diberi tanda batas dengan menggunakan spidol pada bagian kaki belakang sebelah kiri, hal ini bertujuan agar batas pemasukkan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama. Kemudian, pada tahap pendahuluan volume kaki tikus diukur dan menjadi data sebagai volume dasar. Pada setiap pengukuran volume dengan menggunakan alat plethysmometer, cara melihat volume dengan menggunakan alat ini adalah dengan mencelupkan kaki kiri belakang tikus yang ke dalam air raksa secara hati-hati agar air raksa tidak tumpah, dan sangat berbahaya jiksa terkena kulit pada manusia, karena dapat mengakibatkan kanker. Setelah kaki kiri belakang tikus dicelupkan, diperhatikan tinggi cairan air raksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran.
Kemudian tikus diberi larutan kontrol secara intraperitorial. Kemudian setelah 30 menit, telapak kaki tikus diukur volume pembengkakannya dan didapat nilai data yaitu Vo. Dan kemudian diberi larutan karagenan 0,1 mL secara subkutan dibagian telapak kaki tikus. Dan kemudian dihitung volume perubahan edema yang dialami kaki tikus untuk setiap perbedaan waktu, yaitu pada menit ke-45 menit, 60 menit, 75 menit, dan 90 menit. Dan didapat nilai Vt.
Perlakuan yang diberikan pada tikus I pada setiap kelompok, sebagai kontrol, adalah pemberian suspensi PGA secara peroral, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan, lalu diamati pembengkakan yang terjadi setiap 15 menit selama 60 menit. Suspensi PGA berfungsi sebagai injeksi untuk kontrol, yakni sebagai pelarut dari kedua obat (piroksikam tidak larut dalam air, sehingga pada tikus uji I dan uij II obat yang diinjeksikan dilarutkan dalam PGA), PGA digunakan untuk memperoleh efek yang sama, atau dengan kata lain, sebagai blangko. Suspensi PGA diberikan secara peroral untuk memperoleh efek sistemik. Karagenan berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan secara subkutan pada telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek lokal yang cepat. Pengamatan setiap 15 menit selama 60 menit dilakukan dengan tujuan mengukur besarnya inflamasi yang terjadi pada kaki tikus akibat injeksi karagenan. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada t ke 1 ( setelah 15 menit penyuntikan) diperoleh persentase radang berbeda diantara keenam kelompok, dimana dari kelompok 1 sampai dengan 6 diperoleh persentase radang masing – masing sebesar 45,16%, 75%, 6,06%, 4,35%, 10,71%, dan 19,23%.
Selanjutnya, pada t ke 2 (setelah 30 menit penyuntikan diperoleh persentase radang yang meningkat secara umum dari setiap kelompok, kecuali kelompok 1, dimana secara berurutan masing – masing persentase radang yang diperoleh yaitu 19,35%, 100%, 18,18%, 39,13%, 17,86%, dan 38,46%. Pada t ke 3 (setelah 45 menit penyuntikan) diperoleh persentase radang yang meningkat secara umum dari setiap kelompok kecuali kelompok 4 dan kelompok 6. Pada kelompok 6 persentase radang yang diperoleh sama dengan t sebelumnya sedangkan pada kelompok 6 terjadi penurunan persentase radang menjadi 15,38%. Pada t ke 4 (setelah 60 menit penyuntikan) secara umum terjadi peningkatan persentase radang pada setiap kelompok, kecuali kelompok 1 yang mengalami penurunan, yakni sebesar 16,13%.
Tikus kontrol ini berguna untuk membandingkan antara volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang tidak diberi obat antiinflamasi dengan volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang diberi obat antiinflamasi. Inflamasi yang terbentuk diamati, dan ternyata terbukti bahwa volumenya lebih besar daripada volume inflamasi pada tikus uji. Dalam hal ini, karagenan yang dinjeksi secara subkutan berhasil menimbulkan efek inflamasi sebagaimana fungsinya yakni untuk membentuk udem. Pembentukan udem oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24 jam menghitung tanpa meninggalkan bekas.
Pada tikus II setiap kelompok, sebagai tikus uji, mendapat perlakuan yakni pemberian oral Asetosal, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan lalu diamati setiap 15 menit selama 60 menit. Aspirin diberi secara per oral. Percobaan ini dilakukan untuk menguji efektivitas Aspirin pada pembentukan anti inflamasi. Setelah penyuntikan karagenan, pengamatan dilakukan dengan cara yang sama pada tikus I. Yakni tiap 15 menit, kaki tikus dicelupkan dalam air raksa dan diamati tinggi air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada t ke 1 (setelah 15 menit penyuntikan) diperoleh persentase radang masing – masing kelompok secara berurutan adalah 0%, 11,7%, 70,58%, 14,28%, 0%, dan 6,89%/ Selanjutnya, pada t ke 2 (setelah 30 menit penyuntikan) terjadi peningkatan pada semua persentase radang pada semua kelompol. Pada t ke 3 (setelah 45 menit penyuntikan) secara umum terjadi peningkatan persentase radang, kecuali pada kelompok 5 dan 6 yang mengalami penurunan. Pada t ke 4 (setelah 60 menit penyuntikan) secara umum terjadi peningkatan persentase radang kecuali pada kelompok 2 dan 3 yang mengalami penurunan.
Pada tikus III semua kelompok sebagai tikus uji, mendapat perlakuan yakni pemberian oral piroxicam, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan lalu diamati setiap 15 menit selama 60 menit. Percobaan ini dilakukan untuk menguji efektivitas piroxicam pada pembentukan inflamasi. Setelah penyuntikan karagenan, pengamatan dilakukan dengan cara yang sama pada tikus I. Yakni tiap 15 menit, kaki tikus dicelupkan dalam air raksa dan diamati tinggi air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada t ke 1 (setelah 15 menit penyuntikan) diperoleh persentase radang masing – masing kelompok adalah sebagai berikut 70,37%, 83%, 37,14%, 34,62%, 26,32%, dan 3,57%. Pada t ke 2 (setelah 30 menit penyuntikan) terdapat tiga kelompok yang mengalami peningkatan, yakni kelompok 2, 3, dan 6, juga terdapat tiga kelompok yang mengalami penurunan, yaitu kelompok 1,4, dan 5. Pada t ke 3 (setelah 45 menit penyuntikan) terdapat 2 kelompok yang mengalami peningkatan persentase radang, yaitu kelompok 4 dan 5, 3 kelompok yang mengalami penurunan persentase radang, yaitu kelompok 1,2, dan 3, sedangkan kelompok 6 tidak mengalami perubahan. Pada t ke 4 (setelah 60 menit penyuntikan) terjadi penurunan di hampir semua kelompok kecuali pada kelompok 5 yang mengalami peningkatan persentase radang.
Adapun perhitungan persentase peradangan (kenaikan volume kaki) dilakukan dengan membandingkannya terhadap volume dasar sebelum menyuntikkan karagenan dengan rumus:
% radang obat=Vt-VoVox 100%
Perhitungan persentase peradangan dilakukan untuk tiap 15 menitnya agar kita dapat mengetahui seberapa besar proses peradangan pada kaki tikus telah terjadi tiap 15 menit. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata dan bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok kontrol pada jam yang sama dan perhitungan persentase inhibisi peradangan dilakukan dengan rumus:
% inhibisi=% radang kontrol-% radang obat% radang obat x 100%
Perhitungan persentase inhibisi peradangan dilakukan agar kita dapat mengetahui seberapa besar penghambatan obat uji (fenilbutazon) terhadap peradangan pada kaki tikus. Lalu grafik persentase inhibisi peradangan terhadap waktu dibuat.
Sebagian besar efek terapi dan efek samping obat analgesik-antipiretik dan antiinflamasi (AINS) berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Dosis rendah aspirin dapat menghambat produksi enzimatis prostaglandin. Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.
Selanjutnya berdasarkan persen inhibisi obat uji piroxicam dibandingkan dengan asetosal. Inhibisi obat asetosal memiliki nilai yang lebih besar yaitu 25,097% daripada inhibisi obat piroxicam yaitu 5,0438% sehingga dari hasil ini bisa diketahui bahwa asetosal memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik daripada piroxicam.
Kesimpulan
Dari hasil percobaan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dapat dipahami dan diperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis bahwa untuk menguji efek antiinflamasi suatu obat, hewan percobaan harus diberi obat antiinflamasi terlebih dahulu baru dibuat inflamasi sehingga persentase inhibisi peradangan dapat diamati. Berdasarkan hasil percobaan asetosal memiliki efek antiinflamasi yang lebih efektif dibandingkan dengan piroxicam yang dilihat dari besarnya persentase inhibisi masing – masing obat.
Beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan dapat ditunjukkan bahwa pembentukan udem oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan selama beberapa jam dan berangsur-angsur akan berkurang tanpa meninggalkan bekas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Obat Antiinflamasi Nonsteroid. Available online at http://fk.unsri.ac.id/2008/02/09/obat-antiinflamasi-nonsteroid-part-1/ (diakses pada 13 Mei 2014)
Lumbanraja, L. B. 2009. Skrining Fitokimia dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Tempuyung (Sonchus arvenis L.) terhadap Radang pada Tikus. Available onine at http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/14501/1/09E02475.pdf (diakses pada 13 Mei 2014)
Lutfianto, I. 2009. Mekanisme pada Injury Jaringan Inflamasi. Available online at http://forbetterhealth.com/2009/01/25/mekanisme-pada-injury-jaringan-inflamasi/ (diakses pada 13 Mei 2014)
Meycek. J.M. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.