Dengan adanya tindakan pemegang profesi sebagai malpraktik membawa konsekuensi penanganan / penindakan berdasarkan disiplin organisasi profesinya maupun hukum. Dalam hal penindakan menurut hukum meliputi baik dari segi hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi. C. Etika Profesi dan Cita Ketuhanan Yang Maha Esa Pelaksanaan etika profesi menyangkut masalah hati nurani, maka diperlukan integritas moral dari para pemegang profesi. Untuk itu diperlukan penghayatan dan pengamalan agama. Demikian juga masalah etika berkaitan dengan pandangan hidup dan persoalan-persoalan kesusilaan. Pandangan hidup ini dalam kerangka Bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dengan Falsafah Pancasila, sehingga sila-¬sila Pancasila harus menaungi tuntunan yang ditentukan dalam etika profesi. Oleh sebab itu pe laksanaan etika profesi merupakan realisasi tingkah laku fungsional profesi yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersemangat persatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Pendek kata unsur agamis menjadi masukan pelaksanaan etika profesi terutama, yang mendasar menyangkut cita Ketuhanan Yang Maha Esa. Sistem peradilan pidana dikaitkan dengan agama, perlu kita telaah ketentuan dalam UU No. 14 Tahun 1970, yang menghendaki peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Kemudian hasil putusannya pun disyaratkan mencantumkan tulisan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasar Ketuhan Yang Maha Esa (Pasal 197 KUHAP). Hal ini mempunyai hubungan, sebagai landasannya yakni Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mana Esa, dan Negara menjamin Kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Disini rnemperlihatkan bahwa dalam penegakan hukum, diperlukan masukan-masukan yang bersifat agamis, agar tujuan untuk mencapai kejujuran, keadilan, penghargaan martabat manusia dapat terwujud, O1eh sebab itu, sehagaimana dikemukakan Bismar Siregar, bahwa membicarakan etika, budaya, dan hukum selalu dikaitkan dengan Pancasila, utamanya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat dikatakan etika, budaya, dan hukum kita adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Siregar, 1990 : 10). Selanjutnya dijelaskan hal tersebut dapat dihubungkan dengan pengamalan Pancasila, yang konsekuensi dari adanya sila pertama perwujudannya adalah iman, yang tidak lain sebagai tauhid, dan merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sila-sila dari Pancasila yang keempat lainnya pun, pengamalannya berdasarkan sila pertama dalam rangka hubungan antar sesama manusia. Dengan demikian berbicara tentang Pancasila tidak mungkin berbicara hanya berdasarkan Pan¬casila, melainkan harus dikaitkan dengan tauhid, yang bagi orang beragama bukan merupakan keanehan, karena itulah awal imannya, kalau terdapat rasa keganjilan dan keanehan, mungkin bagi mereka yang be1urn menempatkan agarna sebagaimana mestinya. Ini diartikan apa pun yang dilakukannya tidak terlepas sebagai umat yang beragama. Dalam mekanisme penegakan hukum, para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, disamping diatur oleh aturan-aturan hukum khususnya Hukum Acara Pidana, juga harus menaati etika profesi. Dalam hal Ini diketenqahkan oleh Soebjakto, bahwa pada hakikatnya etika setiap profesi tercermin dalam kode etiknya. Kode etik ini berupa suatu ikatan, suatu aturan (tata), atau norma yang harus diindahkan (kaidah) yang berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota organisasinya, tantang larangan-larangan yaitu apa yang tidak boleh diperbuat atau dilakukan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan profesinya, tetapi kadang-kadang juga menyangkut tingkah laku mereka pada umumnya dalam masyarakat (Widyadharma, 1991 : 38). Etika profesi sangat berkaitan dengan integritas moral, karena kesadaran moral merupakan faktor penentu agar tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila. Ini akan membawa akibat timbulnya kesadaran untuk menaati norma-norma yang diharapkan sesuai dengan tuntutan profesi. Etika profesi tersebut dikaitkan dengan apa yang te lah disampaikan Bismar Siregar, maka etika profesi pun tidak dapat dilepaskan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai manifestasi iman yang merupakan esensi sikap keagamaan. Hal ini dapat diperoleh dengan mengkaji beberapa Kode etik profesi dari aparat penegak hukum masing-masing, baik penasihat hukum atau advokat, hakim, jaksa, maupun kepolisian. Dalam Kode Etik Advokat Indonesia dapat ditemukan ketentuan mengenai Kepribadian Advokat, yang dinyatakan bahwa Advokat Indonesia adalah warga negara yang bertagwa terhadap Tuhan