24
PEMBEKUAN
Defenisi Pembekuan
Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Mutu hasil pembekuan masih mendekati segar walaupun tidak dapat dibandingkan dengan mutu hasil pendinginan. Pembekuan dapat mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik daripada metoda lain, karena pengawetan dengan suhu rendah (pembekuan) dapat menghambat aktifitas mikroba mencegah terjadinya reaksi kimia dan aktifitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan.
Pada skala domestik, pangan yang akan dibekukan diletakkan di dalam freezer, dimana akan terjadi proses pindah panas yang berlangsung secara konduksi (untuk pengeluaran panas dari produk). Proses ini berlangsung selama beberapa jam, tergantung pada kondisi bahan pangan yang akan dibekukan. Di industri pangan, telah dikembangkan metode pembekuan lainnya untuk mempercepat proses pembekuan yang memungkinkan produk membeku dalam waktu yang pendek. Pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil sehingga akan meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang dibekukan. Selain itu, proses pembekuan cepat juga menyebabkan terjadinya kejutan dingin (freezer shock) pada mikroorganisme dan tidak terjadi tahap adaptasi mikroorganisme dengan perubahan suhu sehingga mengurangi resiko pertumbuhan mikroorganisme selama proses pembekuan berlangsung (Permana, 2015).
Pembekuan Ikan
Pembekuan ikan berarti menyiapkan ikan untuk disimpan dalam suhu rendah. Pembekuan itu sendiri bukanlah sebuah cara pengawetan. Pembekuan ikan harus dilakukan menurut garis-garis tertentu, sebab jika tidak dilakukan dengan semestinya, pembekuan justru merusak ikan. Baik pembekuan maupun penyimpanan berikutnya mempunyai banyak aspek yang harus diperhatikan. Selama pembekuan, banyak sekali perubahan yang terjadi baik fisik, kimia maupun biologi yang menyebabkan kerusakan ikan. (Murniati dan Sunarman, 2006).
Prinsip Pembekuan Ikan
Seperti halnya proses pendinginan, proses pembekuan juga bertujuan mengawetkan sifat-sifat alami ikan. Pembekuan menggunakan suhu lebih rendah, yaitu jauh dibawah titik beku ikan. Pembekuan mengubah hampir seluruh kandungan air pada ikan menjadi es, tetapi pada waktu ikan beku dilelehkan kembali untuk digunakan keadaan ikan harus kembali seperti sebelum dibekukan. Ikan-ikan yang dibekukan untuk dikonsumsi mentah (sashimi) mutlak memerlukan terpeliharanya sifat-sifat ikan segar yang dibekukan, agar ikan beku yang dilelehkan tidak dapat dibedakan dari ikan segar.
Keadaan beku menyebabkan bakteri dan enzim terhambat kegiatannya, sehingga daya awet ikan beku lebih besar dibandingkan dengan ikan yang hanya didinginkan. Pada suhu -12°C, kegiatan bakteri telah dapat dihentikan, tetapi proses-proses enzimatis masih terus berjalan (Murniati dan Sunarman, 2006).
Proses Pembekuan Ikan
Selama proses pembekuan berlangsung, terjadi pemindahan panas dari tubuh ikan yang bersuhu tinggi ke refrigerant yang bersuhu rendah. Dengan demikian kandungan air di dalam tubuh ikan akan berubah bentuk menjadi kristal es. Kandungan air ini terdapat di dalam sel jaringan dan ruang antarsel. Sebagian besar air dalam tubuh ikan tersebut merupakan air bebas (free water) sebanyak 67% dan selebihnya merupakan air tak bebas (bound water), yakni cairan tubuh yang secara kimiawi terikat kuat dengan substansi lain di dalam tubuh ikan, seperti molekul protein, lemak dan karbohidrat.
Berdasarkan urutannya, proses pembekuan ikan akan dimulai dari bagian luar menuju bagian dalam tubuh. Cairan tubuh yang pertama kali membeku, disebut eutectic point dan biasa berkisar antara -55°C sampai -65°C. Penurunan suhu lingkungan selanjutnya akan meningkatkan jumlah cairan tubuh ikan yang akan membeku dan akhirnya akan mencapai air tak bebas. Biasanya proses pembekuan ikan dianggap selesai bila suhu tubuhnya telah mencapai -12°C. Karena pada suhu tersebut sebagian besar cairan yang terdapat di dalam tubuh ikan telah membeku. Penurunan suhu hingga -30°C tidak banyak mengubah jumlah cairan tubuh yang membeku (Afrianto E dan Liviawaty E, 1989).
Menurut Adawyah (2007) menyatakan bahwa tubuh ikan mengandung air sekitar 60%-80% yang terdiri atas cairan yang terdapat di dalam sel, jaringan, dan ruangan-ruangan antar sel. Cairan itu berupa larutan koloid encer yang mengandung berbagai macam garam (terutama kalium fosfat dasar) dan protein. Sebagian besar dari cairan itu (±67%) berupa free water dan selebihnya (±5%) berupa bound water. Bound watermerupaka air yang terikat kuat secara kimia dengan substansi lain dari tubuh ikan. Ikan mulai membeku pada suhu antara -0,60°C sampai -20°C, atau rata-rata pada -10°C. Yang mula-mula membeku adalah free water, disusul oleh bound water. Pembekuan dimulai dari bagian luar dan bagian tengah membeku paling akhir. Tapi sangat sulit sekali membekukan keseluruhan cairan yang terdapat pada ikan, karena air terikat (bound water) sangat sulit dibekukan dan memiliki titik beku yang sangat rendah, serta sulit tercapai dalam kondisi komersial. Pada umumnya, jika pembekuan sudah mencapai -120°C hingga -300C°C dianggap telah cukup.
Secara singkat, proses pembekuan cairan di dalam tubuh ikan dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
Pada fase pertama terjadi penurunan suhu wadah penyimpanan yang segera diikuti dengan penurunan suhu tubuh ikan. Meskipun suhu telah menurun, proses pembekuan baru akan terjadi setelah suhu tubuh ikan mencapai 0°C dengan ditandai terbentuknya kristal-kristal es. Pada fase ini, pembentukan Kristal es akan berlangsung sangat cepat dan dimulai dari tubuh bagian luar menuju bagian dalam.
Penurunan suhu lebih lanjut akan meningkatkan pembekuan cairan tubuh. Biasanya proses pembekuan ini akan segera berhenti apabila suhu tubuh telah mencapai -12°C. Kisaran suhu ini disebut pula sebagai daerah kritis (critical zone) karena sebagian besar cairan ikan akan mengalami pembekuan. Untuk menurnkan suhu tubuh dari 0 °C – (-12)°C disebut priode pembekuan (thermal arrest period) yaitu waktu yang diperlukan untuk melintasi daerah kritis (critical zone).
Karena sebagian besar cairan tubuh ikan telah banyak yang membeku pada periode sebelumnya, pada fase ini proses pembekuan akan berlangsung lambat, meskipun suhu diturunkan hingga mencapai -30°C (Afrianto E dan Liviawaty E, 1989). Adapun grafik proses pembekuan cairan tubuh ikan dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Proses pembekuan cairan tubuh ikan
Perubahan suhu Selama Pembekuan
Pembekuan membutuhkan pengeluaran panas dari tubuh ikan. Prosesnya sebagai mana terlihat pada kurva di bawah ini, terbagi atas tiga tahapan sebagai berikut :
Pada tahapan pertama suhu menurun dengan cepat hingga saat tercapainya titik beku.
Kemudian, pada tahapan kedua suhu turun perlahan karena dua hal :
Penarikan panas dari ikan bukan berakibat pada penurunan suhu, melainkan berakibat pada pembekuan air di dalam tubuh ikan;
Terbentuk es pada bagian luar dari ikan merupakan penghambat bagi proses pendinginan dari bagian-bagian di dalamnya.
Pada tahapan ketiga, jika kira-kira ¾ bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan suhu berjalan cepat kembali.
Bagian yang diblok berwarna kuning pada kurva Gb (terletak antara 0°C dan -5°C) disebut thermal arrest, yang secara harfiah berart hambatan panas. Pada tahapan ini, sebagian besar air (75%-80%) mengkristal menjadi es. Dengan kata lain, daerah yang diblok ini merupakan daerah pembekuan kristal es yang terbanyak. Waktu yang dibutuhkan ikan di dalam pembekuan untuk melintasi daerah ini disebut thermal arrest time. Adapun hubungan grafik suhu ikan dan waktu dalam pembekuan dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Grafik suhu Ikan dan Waktu dalam Pembekuan
Berdasarkan panjang pendeknya waktu thermal arrest ini, pembekuan ikan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Pembekuan cepat (quick freezing), yaitu proses pembekuan dimana thermal arrest period kurang dari dua jam.
Pembekuan lambat (slow freezing), yaitu proses pembekuan dimana thermal arrest period lebih dari dua jam.
Kristal-kristal es yang terbentuk selama pembekuan dapat berbeda-beda ukuran, tergantung pada kecepatan pembekuan. Pembekuan cepat menghasilkan kristal yang kecil-kecil di dalam jaringan daging ikan. Jika dicairkan kembali, Kristal-kristal yang mencair diserap kembali oleh daging dan hanya sejumlah kecil kecil yang lolos sebagai drip.
Sebaliknya, pembekuan lambat menghasilkan Kristal yang besar-besar. Kristal es ini mendesak dan merusak susunan jaringan daging. Tekstur daging ketika ikan dicairkan menjadi kurang baik; ia menjadi berongga-rongga (keropos, honey combet), dan banyak sekali drip yang terbentuk. Selain itu pembekuan lambat juga menyebabkan penggumpalan dari garam dan enzim di dalam daging dalam bentuk larutan, menyebabkan enzim menjadi lebih aktif dan membuat perubahan-perubahan tekstur dan rasa yang tidak dikehendaki. (Murniati dan Sunarman, 2006).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pembekuan
Menurut Afrianto E dan Liviawaty E (1989), ada empat faktor penting yang dapat mempengaruhi kecepatan proses pembekuan pada ikan, yaitu :
Cara perambatan panas
Setiap teknik pembekuan mempunyai cara perambatan panas yang khas sehingga akan mempengaruhi kecepatan pembekuan.
Perbedaan suhu awal tubuh ikan dan suhu yang diinginkan
Karena proses pembekuan merupakan peristiwa pemindahan panas, perbedaan antar suhu tubuh ikan semula dengan suhu yang dinginkan dapat mempengaruhi kecepatan pembekuan. Semakin besar perbedaan suhu, semakin banyak waktu yang diperlukan dalam proses pembekuan.
Ukuran ikan
Ukuran tubuh ikan dapat mempengaruhi kecepatan pembekuan. Semakin tebal jaringan tubuh ikan, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik beku.
Wadah yang digunakan
Kecepatan pembekuan ikan juga dapat dipengaruhi oleh wadah yang digunakan. Wadah yang terbuat dari bahan yang bersifat kurang baik dalam maenghantarkan panas sangat menolong proses pembekuan. Wadah semacam ini mampu menghalangi terjadinya kontak dengan udara diluar sehingga suhu di dalam wadah lebih cepat menurun dan ikan lebih cepat membeku.
Berat ikan dapat menyusut karena dehidrasi atau kerusakan fisik selama ikan dibekukan. Kerusakan fisik dapat terjadi karena pengadukan selama pembekuan yang menghasilkan potongan-potongan kecil, seperti yang terjadi pada pembekuanyang menerapkan fluidasi dengan udara.
Kerusakan fisik lain terjadi karena ikan melekat pada baki atau ban berjalan. Jika kehilangan berat dalam melepas ikan dari baki itu berlebihan, baki perlu itu berlebihan, baki perlu disiram dengan air dari bawah. Ikan yang dibekukan dengan pembeku bersinambungan yang menggunakan ban stainless steel dapat kehilangan berat karena ada bagian ikan yang terjepit diantara lubang-lubang di dalam ban.
1.2.5 Berkurangnya Berat Selama Pembekuan
Kehilangan berat di dalam di dalam freezer seharusnya kecil dan tidak lebih dari 1% jika proses pembekuan ditata dengan baik. Kehilangan berat akibat dehidrasi tergantung pada beberapa factor, kehilangan di dalam air blast freezer merupak yang terbesar. Faktor yang mempengaruhi dehidrasi di dalam freezer adalah jenis freezer, waktu pembekuan, jenis produk, kecepatan udara dan kondisi operasi freezer.
Ikan-ikan kecil kehilangan berat dalam persentase yang lebih besar daripada ikan-ikan besar. Kecepatan kehilangan berat itu sebanding dengan luas permukaan yang lebih besar terhadap beratnya daripada ikan besar. Ikan yang dibekukan dalam bentuk tunggal akan kehilangan berat lebih banyak daripada ikan yang dibekukan dalam blok, karena alasan yang sama dengan di atas. Adapun berat ikan yang hilang selama berlangsungnya proses pembekuan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Berat Ikan yang Hilang Selama Pembekuan
Produk
Cara Pembekuan
Berat Ikan yang Hilang
Udang IQF
Air blast
2% - 2,5%
Haddock IQF
Air blast
1,2 %
Haddock IQF
Pembeku karbondioksida
0,6 %
Produk-produk IQF
Pembeku nitrogen
0,3% - 0,8%
Fillet dalam baki
Air blast
1%
Ikan besar atau blok ikan
Air blast
0,5%
Blok ikan
Contact Freezer
0%
Ikan dalam karton
Contact Freezer
0,5%
Metode Pembekuan
Air-blast Freezing
Air Blast Freezing ialah dengan membekukan produk yang ditaruh dalam ruangan yang ditiupkan udara beku didalamnya dengan blower yang kuat. Pembekuan berlangsung cepat. Alatnya digolongkan Air Blast Freezer (Ilyas S, 1988).
Sumardika P, dkk (2014), menerangkan bahwa ikan dibekukan dalam ruangan yang diberi hembusan udara dingin (Air Blast) dengan cara ikan dalam kondisi utuh atau individual maupun block dimasukkan dalam ruangan yang telah dilengkapi dengan alat pendingin (evaporator) dan untuk lebih memeratakan aliran udara dingin biasanya evaporator dilengkapi dilengkapi fan atau blower. Pembekuan dengan menggunakan cara ini biasanya memerlukan waktu yang lebih lama karena ikan tidak kontak secara langsung dengan alat pendinginnya. Produk yang dihasilkan dengan menggunakan sistem ini biasanya bentuk ikan tidak mulus (firm), bisa saja bengkok-bengkok karena pada saat pembekuan dilakukan daging ikan mengalami pengkerutan. Berbeda dengan sistem kontak plate dari bawah dan atas atau dari samping kiri dan kanan tergantung dari type freezer yang digunakan apakah vertical atau horizontal. Salah satu contoh air blast freezer dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Air Blast Freezer
1.3.2 Immersion Freezing
Immersion Freezing adalah membekukan produk dalam air (larutan garam) yang direfrigrasi, pembekuan berlangsung cepat, sering dipraktekkan di kapal penangkap udang dan tuna. Alatnya adalah brine freezer (Ilyas S, 1988).
Jenis freezer ini khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh seperti tuna, udang dengan kepala dan ikan sebelah. Cara pembekuan ini sudah tidak popular lagi. Sebagai gantinya, dipakai cara pembekuan dengan blast dan plate freezer.
Cara pembekuan dengan brine freezer ini yaitu dengan mencelupkan ikan kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17°C atau dengan menyemprotkan ikan memakai brine dingin itu. Ikan yang hendak yang hendak dicelup ditaruh di dalam keranjang atau peti, sedangkan larutan garam ditampung dalam tangki pembekuan yang dinginnya dilingkari pipa-pipa pendingin yang berfungsi sebagai evaporator. Apabila bahan pendinginnya ammonia maka pipa-pipa itu disebut direct expansion ammonia coils (Moelyanto, 1992).
Pencelupan atau perendaman (emmersi) ikan ke dalam larutan garam (brine) yang didinginkan, hampir sama dengan Refrigrated Sea Water (RSW) hanya saja suhu larutan garam lebih dingin (larutan air garam 22,4%), selain untuk membekukan ikan sistem ini biasanya juga digunakan dalam pembuatan es balok (Putu S, dkk, 2014).
Pada perendaman freezer, makanan kemasan dilewatkan melalui cairan pipa glikol yang didinginkan, air garam, gliserol atau larutan kalsium klorida pada conveyor jala terendam. Berbeda dengan pembekuan kriogenik, cairan tetap mencair selama operasi pembekuan dan perubahan bagian tidak terjadi (P. Fillow, 2000).
Cryogenic Freezing
Cryogenic Freezing ialah dengan membekukan produk dengan semprotan bahan cryogen, misalnya karbondioksida cair dan nitrogen cair. Pembekuan berlangsung sangat cepat. Alatnya liquid adalah carbon dioxide freezer dan liquid nitrogen freezer, (Ilyas S, 1988). Cara pembekuannya adalah dengan memasukkan ikan ke dalam ruangan melalui ban berjalan (conveyor) setelah ikan berada di dalam ruangan kemudian disemprotkan pendingin/pembekunya (Putu, S, 2014). Salah satu model freezer dengan menggunakan cairan nitrogen dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4. Seafood IQF Liquid Nitrogen Tunnel Freezer
Pada freezer ini, produk bersinggungan langsung dengan bahan pendingin. Ikan di atas ban stainless steel mula-mula bersinggungan dengan gas nitrogen bersuhu -50°C. Makin jauh, suhu bahan pendingin secara berangsur-angsur berubah menjadi -196°C. Pada tahap awal pendinginan tadi. Ikan didinginkan dan dibekukan sebagian oleh gas nitrogen. Ini merupakan pendahuluan (precooling) sebelum melintasi semprotan cairan nitrogen. Jika langsung disemprot tanpa precooling. ikan akan tusak akibat penurunan suhu yang mendadak.
Pada tahap precooling ini, 50% panas telah dikeluarkan dari ikan. Dan sisanya dilepaskan di daerah yang sempit di bawah semprotan. Setelah daerah semprotan, tahap terakhir digunakan untuk menyeimbangkan suhu ikan sebelum ikan keluar dari freezer.
Keuntungan utama penggunaan freezer nitrogen ialah pembekuan berlangsung sangat cepat dan ukuran freezer sangat kecil. Freezer tidak membutuhkan mesin pendingin (kompresor, kondensor, cooler, dll.) dan oleh karena itu sedikit sekali memerlukan pemeliharaan dan listrik yang diperlukan untuk menjalankan freezer sangat kecil.
Cairan nitrogen tidak dapat disimpan secara ekonomis di dalam bejana; dan waktu ke waktu diperlukan pembocoran agar isi bejana tetap dingin dan tekanannya tidak terlalu tinggi. Diperkirakan 0,5% isi bejana dibuang setiap hari untuk keperluan itu Selain itu, kurang lebih 10% hilang pada saat pemindahan dan tanker ke dalam bejana penyimpan meskipun ini bukan tanggungan konsumen. Oleh karena itu, metode pembekuan ini lebih mahal daripada metode yang lain, sekurang-kurangnya 4 (empat) kali biaya air blast freezer, bahkan dapat lebih tinggi jika freezer ini hanya digunakan sewaktu-waktu dengan beban yang tidak penuh.
Meskipun ukuran freezer kecil dan tidak memerlukan mesin pendingin, diperlukan ruang penyimpanan yang besar dan akses untuk tangki nitrogen.
Kerugian utama di kebanyakan negara berkembang ialah mahalnya biaya penyediaan nitrogen dan kontinuitas penyediaannya.
Contact-plate Freezing
Contact Plate Freezing adalah dengan membekukan produk diantara rak-rak yang direfrigrasi, pembekuan berlangsung cepat. Alatnya adalah Contact Plate Freezer (Ilyas S, 1988). Sistem kontak langsung antara ikan dengan plate pendingin yaitu dengan cara ikan dimasukkan ke dalam almari / cabinet pendingin baik secara individu ataupun secara block dan langsung bersentuhan dengan plate yang dialiri oleh media pendingin (refrigerant) selama beberapa waktu tergantung dari ketebalan ikan dan suhu refrigrantnya (Putu S, dkk, 2014). Di bawah ini merupakan salah satu contoh contact plate freezer.
Gambar 5. Contact Plate Freezer
Sharp Freezing
Menutur Ilyas (1988), sharp freezing adalah pembekuan dengan produk ditaruh di atas lilitan pipa evaporator (refrigerated coll). Pembekuan berlangsung lambat (slow freezing). Alatnya digolongkan ke dalam pembeku lambat (Sharp Freezer). Adapun contoh sharp freezer dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Sharp Freezer
P ENYIMPANAN BEKU
Defenisi Penyimpanan Beku
Penyimpanan beku adalah pengusahaan penyimpanan produk ikan beku dalam suasana suhu beku yang sangat rendah agar dapat mempertahankan semua faktor mutu yang diinginkan pada produk dengan daya awet sepanjang mungkin sesuai yang diinginkan dalam batas-batas daya dan biaya yang masih menguntungkan.
Fungsi penyimpanan beku adalah menyimpan produk beku pada tingkat suhu rendah yang diinginkan yang dapat mempertahankan kondisi dan mutu produk beku itu selama jangka waktu yang ditetapkan. Dalam praktek, fungsi penyimpanan beku dilaksanakan oleh gudang beku (cold storage). Cold storage adalah kamar yang diinsulasi dan direfrigerasi yang khusus dirancang bagi penyimpanan beku.
Persyaratan penyimpanan beku telah digariskan oleh FAO Roma akan saran dan petunjuk prakteknya. Persyaratan FAO adalah hasil kompromi sedunia dan hanya menyatakan syarat minimum. Mengingat negeri atau perusahaan pembeli dapat saja menuntut syarat atau standar tersendiri. maka pembekuan dan penyimpanan beku ikan beku yang akan diekspor, persyaratannya perlu dikonsultasikan dengan pembeli. Perbedaan informansi atau standar mungkin karena perbedaan kriteria yang digunakan dalam menetapkan faktor mutu dan dalam merumuskan batasan waktu penyimpanan maksimum, yang mungkin didasarkan pada produk bermutu tinggi atau hanya pada batas mutu "dapat dimakan".
Pada berbagai rekomendasi, waktu penyimpanan yang dinginkan (yang diinginkan) sering dinyatakan bagi suhu penyimpanan yang berlainan; berarti suhu desain gudang beku itu hanya cukup untuk menyimpan produk satu jenis saja. Sehubungan dengan itu, gudang beku harus dibangun menurut persyratan yang dituntut paling utama, misalnya didasarkan pada penyimpanan beku ikan berlemak dengan waktu simpan cukup panjang, satu tahun. Berarti suhu desain gudang beku itu harus lebih rendah (Ilyas S, 1993).
Teknik Penyimpanan Beku
Semua diperkirakan penyimpanan pada suhu -10°C sudah cukup baik karena pada suhu itu kegiatan mikrobiologi terhenti. Akan tetapi pada suhu ini pada suhu ini reaksi kimia masih berjalan dan dalam beberapa minggu produk dapat mengalami perubahan-perubahan yang merugikan. Untuk menghindari reaksi ini harus dicari keseimbangan antara rendahnya suhu, mutu, pertimbangan-pertimbangan teknis, ongkos produksi dan tujuan pengawetan. Akhirnya disimpulkan bahwa suhu -18°C sampai -20°C cukup baik untuk suhu penyimpanan, sedangkan untuk penyimpanan yang lebih lama disarankan memakai suhu -25°C sampai -30°C. Apabila pengangkutan dilakukan dengan kapal, gerbong kereta api dan truk. Cukup dengan suhu -20°C sampai -25°C. Sebab, secara ekonomis dan teknis masih dapat dipertanggungjawabkan.
Cara penyimpanan produk beku di dalam cold storage juga harus mengikuti cara-cara yang baik dan terencana. Sebaiknya produk beku disimpan sesudah dikemas dengan baik, karton-karton atau peti disusun rapi sesuai dengan waktu pengolahannya. Pengangkutan untuk menyimpan dan mengeluarkan produk harus dapat dilakukan dengan cepat dan aman serta tidak menyebabkan fluktuasi suhu di dalam cold storage. Sistem pengeluaran dan pemuatan produk beku dari dalam cold storage ke dalam container (peti kemas) hendaknya mengikuti sistem FIFO (First in first out) sehingga tidak ada produk lama tersimpan dalam cold storage (Mulyanto, 1992).
2.3 Pengaruh Penyimpanan Beku Terhadap Bakteri
Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap jenis bakteri pembusuk. Pertumbuhan bakteri pembusuk tertahan pada deret suhu antara -1°C hingga 5°C. Pembusukan ikan secara bekterial kelihatannya lebih menonjol pada ikan dasar (kakap, bawal dan lain-lain). Pada jenis ikan pelagik (kembung, layang dan lemuru) pembusukannya lebih bersifat ketengikan oksidatif berhubung tingginya kadar lemak pada jenis ikan pelagik (Ilyas S. 1988). Berdasarkan hasil penelitian dari Siburian, dkk (2012), bahwa pertumbuhan bakteri dan fungi pada suhu beku (-6°C) dan suhu dingin (10°C) selama 24 jam baik pada pengenceran 10-2 dan 10-3 adalah nol atau tidak ada pertumbuhan bakteri dan fungi (Tabel 2). Prinsip proses pendinginan dan pembekuan adalah mengurangi atau menghentikan sama sekali aktifitas penyebab pembusukan (Imam 1999 dalam Siburian, dkk 2012). Terbukti bahwa penyimpanan daging ikan bandeng lebih aman pada suhu beku (-6°C). Pada suhu beku (-6°C) dan suhu dingin (10°C) selama 24 jam pada ulangan I dan II pengenceran 10-2 dan 10-3 terdapat fungi yang terdiri dari khamir dan kapang yaitu 4.102 - 3.102 coloni/gr. Pada penyimpanan 48 jam ulangan I dan II pengenceran 10-2 dan 10-3 coloni/gr pertumbuhan bakteri semakin meningkat dengan jumlah 1,91.104 - 8,3.105 coloni/gr, sedangkan pertumbuhan fungi mengalami pertumbuhan 2.102 - 6.103 coloni/gr. Pada penyimpanan 72 jam ulangan I dan II pertumbuhan bakteri 1,8.104 - 9,4.105 coloni/gr sedangkan pertumbuhan fungi 3.102 - 1.103 coloni/gr.
Pada suhu dingin (10°C) selama 24 jam pengenceran 10-2 dan 10-3 terdapat fungi 7.102 - 6.103 coloni/gr. Pada penyimpanan 48 jam, terdapat bakteri yang pertumbuhan sebanyak 1,89.104 - 1,43.105 coloni/gr dan pertumbuhan fungi 9.102 - 9.103coloni/gr. Penyimpanan 72 jam, pertumbuhan bakteri 1,95.104 - 1,31.105 coloni/gr dan pertumbuhan fungi 12.102 - 10.103 (Tabel 3).
Pada penyimpanan 48 jam, dan 72 jam pada suhu -6°C dan 10°C terdapat peningkatan pertumbuhan bakteri padahal pada media tanam sudah ditambah dengan kloramfenikol atau antibakteri yang berfungsi untuk menekan pertumbuhan bakteri. Namun, kenyataannya bakteri tetap tumbuh. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan tempat jual beli ikan bandeng di Pasar Peterongan. Kondisi pasar lembab karena banyak genangan air, dan percikan air kotor yang berasal dari genangan air tersebut mengenai ikan segar sehingga menyebabkan berkembangnya bakteri pada ikan bandeng. Kondisi ikan bandeng di Pasar Peterongan tidak baik, yaitu terjadi perubahan warna merah muda sampai merah coklat, terdapat sedikit lendir, bau asam mulai nyata sehingga kemungkinan ikan bandeng sudah terkontaminasi oleh bakteri.
Tabel 2. Pertumbuhan bakteri dan fungi pada daging ikan bandeng yang disimpan pada suhu beku (-6oC) 24 jam, 48 jam dan 72 jam
Tabel 3. Pertumbuhan bakteri dan fungi pada daging ikan bandeng yang disimpan pada suhu dingin (10oC) 24 jam, 48 jam dan 72 jam
Tabel 4. Pertumbuhan bakteri dan fungi pada daging ikan bandeng yang disimpan pada suhu kamar (30oC) 24 jam, 48 jam dan 72 jam
Pada suhu kamar (30°C) penyimpanan 24 jam terdapat pertumbuhan bakteri 8,3.103 - 4,5.103 coloni/gr dan terdapat pertumbuhan fungi 5.102 - 2.103 coloni/gr. Pada penyimpanan 48 jam terdapat pertumbuhan bakteri yang semakin meningkat yaitu 1,85.104 - 1,36.105 coloni/gr dan pertumbuhan fungi 1.102 - 1.103 coloni/gr. Sementara, pada penyimpanan 72 jam terdapat pertumbuhan bakteri yang cukup tinggi (meskipun masih di bawah syarat) yaitu 2,01.104 - 1,85.105 coloni/gr dan pertumbuhan fungi 3.102 - 1.103 coloni/gr (Tabel 3).
Pada suhu kamar (30°C), daging ikan bandeng ditumbuhi bakteri dan jamur pembusuk hidup pada suhu 0°C -30°C . Fungi yang tumbuh pada daging ikan bandeng adalah dari kelompok zygomycetes karena zygomycetes bersifat saprofit atau parasitik pada hewan dan ikan yang berada di air payau dan air tawar (Indrawati 2006 dalam Siburian, dkk 2012). Fungi tersebut dapat tumbuh pada suhu 0°C hingga 35°C, dan hadir pada kondisi kualitas air buruk seperti sirkulasi air rendah, kadar oksigen terlalu rendah atau kadar amoniak terlalu tinggi, dan kadar bahan organik tinggi.
Hasil survei di Pasar Peterongan terdapat tempat khusus untuk menjual ikan segar namun ada juga yang berjualan di jalan. Jarak antara sisa pembuangan ikan berupa insang dan usus dibuang dekat dengan ikan segar yang akan dijual sehingga memungkinkan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Kondisi lingkungan pasar tempat penjualan kotor dan lembab karena banyak ditemukan genangan air sehingga memperburuk sanitasi dan higienes ikan. Ikan bandeng yang tidak habis terjual diawetkan dengan menggunakan es batu, dimana es tersebut dibuat di dalam Pasar Peterongan dengan menggunakan air PAM (Sutini 12 Agustus 2010, wawancara) sebagai bahan baku pembuatan es. Tahap-tahap penanganan ikan pertama-tama adalah pencucian, yaitu begitu ikan dipanen segera dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan lumpur yang melekat pada badan ikan. Selanjutnya proses pre-chiling yaitu pendinginan dengan menempatkan ikan dan es dengan perbandingan 1:1, kemudian dilakukan packing yaitu ikan dipak atau disusun pada tempat yang telah disediakan dengan es yang cukup. Survei yang dilakukan di pasar Peterongan tidak demikian kondisinya. Pada proses pendinginan, perbandingan jumlah ikan dan jumlah es yang digunakan adalah 2:1. Hal ini memungkinkan ada sebagian ikan yang tidak terkena es sehingga ikan cepat membusuk. Teknik pengawetan ikan segar ini akan bertahan selama satu hari.
Berdasarkan penelitian Marada H (2012) bahwa hasil perhitungan jumlah bakteri pada ikan cakalang yang disimpan pada suhu freezer selama 5 hari, 10 hari, 15 hari dan 20 hari dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Hasil Pengamatan dan Analisis Varians Jumlah Bakteri pada Ikan Cakalang Selama Penyimpanan Pada Suhu Freezer
Ulangan
Lama Penyimpanan Hari ke-
F
Sig
5
10
15
20
I
3x103
5,1x102
1x103
7,7x102
1.047
0,423
II
1,4x104
4,2x102
2,5x103
1x104
III
2x103
2x103
8,5x102
3x103
Jumlah
1,9x104
2,9x103
4,4x103
1,4x102
Rata-rata
6,3x103
9,7x102
1,4x103
4,6x103
Kerusakan ikan oleh bakteri terjadi karena bakteri masuk kedalam tubuh ikan sejak ikan masih berada dilaut maupun ikan yang sudah berada pada proses penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ikan cakalang dengan lama penyimpanan 5 hari, 10 hari, 15 hari dan 20 hari pada suhu tetap yaitu suhu freezer 0°C diperoleh bahwa jumlah total bakteri pada ikan selama 5 (lima) hari yaitu 6,33x103CFU/gr, pada hari ke-10 terjadi penurunan jumlah bakteri yaitu 0,97 x 103CFU/gr , pada hari ke 15 jumlah bakteri yaitu 1,45 x 103CFU/gr, sedangkan pada hari ke-20 terjadi peningkatan jumlah bakteri yaitu 4,59 x 103CFU/gr.
Dari uraian hasil penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa setiap perlakuan menunjukkan perubahan jumlah bakteri, pada penyimpanan selama 5 (lima) hari terjadi peningkatan jumlah bakteri disebabkan bakteri mengalami fase pertumbuhan logaritmik. Fase pertumbuhan logaritmik adalah fase dimana bakteri membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Selanjutnya pada perlakuan ikan cakalang yang disimpan selama 10 hari dan 15 hari terjadi penurunan jumlah bakteri, penurunan jumlah bakteri ini disebabkan karena bahan makanan atau nitrien yang terkandung didalam tubuh ikan sudah mulai berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan bakteri itu sendiri. Selain itu juga penurunan jumlah bakteri ini disebakan karena persediaan air dalam tubuh ikan sudah mulai berkurang disebabkan air yang ada didalam tubuh ikan mengalami pengkristalan sehingga air tersebut tidak dapat diserap oleh bakteri, akhirnya bakteri tersebut kekurangan air sehingga menyebabkan penurunan jumlah bakteri. Namun pada perlakuan terakhir yaitu pada masa penyimpanan 20 hari terjadi peningkatan kembali jumlah bakteri pada ikan. Hal ini dikarenakan ada beberapa bakteri yang walaupun pada suhu dingin bakteri tersebut tidak mati, yaitu bakteri yang tergolong bakteri psychrophilic, bakteri ini adalah bakteri yang hidup pada suhu rendah yaitu pada suhu 0°C – 30°C.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa ikan yang disimpan didalam suhu freezer meskipun jumlah bakteri belum melebihi santar maksimum cemaran mikroba, namun sudak tidak layak untuk dikonsumsi lagi, namun tidak bisa dipungkiri ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi ikan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi lagi, baik dari faktor fisika maupun kimia. Faktor fisikanya meliputi kondisi fisik dari ikan tersebut seperti perubahan warna daging yang menjadi coklat gelap serta tekstur daging yang sudak tidak kenyal lagi, sedangkan untuk perubahan kimia yaitu terjadi perubahan protein, perubahan lemak dan dehidrasi.
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Penyimpanan Beku
Bentuk dan ukuran cold storage dapat dikaitkan dengan kecepatan pengeringan produk. Cold storage yang kecil mempunyai kebocoran panas melalui dinding yang lebih besar dalam proporsi yang berkaitan dengan jumlah produk yang disimpan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa volume ruangan meningkat lebih besar daripada luas permukaan ruangan. Artinya, satu cold storage yang besar memberikan kondisi penyimpanan yang lebih baik daripada dua cold storage yang kecil dengan jumlah volume yang sama.
Untuk meminimalkan panas yang bocor melalui isolasi ruangan, bentuk cold storage yang paling ideal adalah kubus. Bentuk ini memberi ruang penyimpanan terbesar dengan luas permukaan dinding terkecil. Barang hanya dapat ditumpuk hingga 8 meter tingginya dengan bantuan fork lift. Oleh karena itu, agar diperoleh bentuk kubus ideal pada cold storage yang besar, cold storage harus dibangun bertingkat dengan beberapa lantai. Namun, cold storage bertingkat ini menimbulkan masalah dalam penanganan barang keluar - masuk bangunan. Karena itu, cold storage yang modern hampir semuanya tidak bertingkat, dengan muka yang panjang untuk mempermudah bongkar - muat.
Cold storage dapat dibangun melekat pada struktur yang kokoh atau berdiri sendiri diantaranya keduanya terdapat perbedaan dalam cara konstruksinya. Selain itu, ada sedikit cold storage yang dibangun di bawah permukaan tanah (Murniati dan Sunarman, 2000).
KERUSAKAN – KERUSAKAN AKIBAT PEMBEKUAN DAN PENYIMPANAN BEKU
3.1 Dehidrasi
Pengeringan (dehidrasi) yaitu berkurangnya kadar air selama produk dibekukan dan disimpan beku. Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya salju diatas produk beku atau memutihnya permukaan produk beku itu.
Pendinginan dan pembekuan yang cepat dapat mengurangi tingkat pengeringan. Pendinginan yang cepat akan memperkecil kecepatan penguapan dari dalam produk ke udara. Sedangkan pembekuan yang cepat akan meminimalkan (minimize) produk itu menguap kandungan airnya (Moelyanto, 1992).
Proses pengeringan pada ikan terjadi sejak masuk freezer dan selama penyimpanan dalam cold storage, sampai akhirnya dibeli konsumen. Hal ini disebabkan oleh adanya proses sublimasi, yaitu perpindahan uap air dari produk yang suhunya lebih tinggi pada waktu masuk freezer dan tekanan uap airnya juga relative tinngi.
Uap air itu pindah dan menempel pada cooling coil (evaporator) yang suhunya lebih rendah. Pengeringan akan berjalan makin cepat dengan adanya sirkulasi udara dingin. Akibatnya terbentuk salju (frost) yang menutup cooling coil dan akan mengurangi kemampuan unit pendingin. Itulah sebabnya dalam konstruksi cold storage yang baru, sering dipakai cooling coil yang digantung di langit-langit sebagai pengganti fan (kipas angin). Dibandingkan dengan memakai blower, konstruksi ini lebih mempercepat proses pengeringan. Perubahan suhu penyimpanan yang terlalu besar dan sering juga membantu pengeringan produk.
Untuk memperoleh pendinginan dan pembekuan yang cepat tidak hanya dengan menggunakan udara dingin saja. Akan tetapi, udara dingin ini perlu didistribusikan secara efisien agar dapat menyentuh permukaan produk dengan sistem hembusan atau aliran udara yang efektif (Moelyanto, 1992).
Kecepatan dehidrasi juga banyak ditentukan oleh beberapa factor dalam rancangan dan operasi cold storage. Jika ikan mengalami dehidrasi yang hebat, permukaannya menjadi kering, putih pucat, dan lembek berlubang seperti spons. Makin lama keadaan ini akan merembet juga ke dalam daging hingga akhirnya ikan akan tampak seperti serat dan menjadi ringan. Pengaruh nyata yang tampak pada ikan akibat dehidrasi yang berlebihan disebut freezer burn. Hal ini merupakan istilah yang agak keliru karena kerusakan ini bukan timbul di dalam atau akibat freezer melainkan karena penyimpanan yang lama di cold storage. Jika ikan yang mengalami pengeringan ini direbus, teksturnya seperti kayu; berserat-serat dan berlubang-lubang (honey combed), terutama pada bagian permukaan di dekat kulit.
Ikan beku dapat mengalami pengeringan secara pelan-pelan di dalam cold storage, meskipun pada kondisi operasi yang baik. Hal ini menimbulkan kerugian terutama berupa kehilangan berat. Selain itu, pengeringan pengeringan juga mempercepat denaturasi protein dan oksidasi lemak ikan. Biarpun digunakan pembungkus yang kedap air, kenyataannya dehidrasi itu tetap terjadi di pak.
Dehidarasi di dalam pak itu terjadi jika ruang kosong di dalam pembungkus dan suhu ruang berfluktuasi. Jika hal ini terjadi, pembungkus dapat lebih dingin daripada ikan dididalamnya; dan air akan keluar dari ikan untuk menempel pada sisi dalam pembungkus, yang tampak sebagai salju di dalam pembungkus. Berat total produk tidak berubah, tetapi jika dehidrasi di dalam pak ini berjalan terus, ikan akan rusak karena kehilangan terlalu banyak air (Murniati dan Sunarman, 2006).
3.2 Denaturasi Protein
Pembekuan menyebababkan protein berubah beberapa fungsinya, karena dalam perubahan ini protein kehilangan sifat alaminya. Perubahan ini biasanya disebut denaturasi protein. Denaturasi tergantung pada suhu, jika suhu turun denaturasi berjalan lambat. Denaturasi juga tergantung pada konsentrasi enzim dan komponen-komponen lain. Ketika ikan membeku, konsentrasi enzim dan komponen-komponen dalam air yang belum membeku makin meningkat. Peningkatan konsentrasi ini mempercepat denaturasi. Jadi ada dua factor yang mempengaruhi kecepatan denaturasi dan keduanya bekerja saling berlawanan jika suhu ikan diturunkan (yang satu makin lemah, yang lain makin kuat pengaruhnya) (Murniati dan Sunarman, 2000).
Proses denaturasi protein dapat menyebabkan terjadinya drip, proses ini merupakan terbentuknya cairan yang berwarna putih pucat yang tidak terserap kembali oleh jaringan daging beku ketika dicairkan kembali. Drip dapat menyebabkan berat ikan menyusut. Drip tersebut mengandung protein terlarut, unsur-unsur nitrogen, vitamin dan mineral. Selain itu pada daging ikan yang disimpan beku, perubahan mikrostruktur yang terjadi selama penyimpanan terlihat rongga-rongga yang sebagian membentukparit atau saluran, sehingga air atau lemak akan mudah mengalir keluar saat thawing. Jumlah air yang dilepaskan dipengaruhi oleh lama pembekuan, suhu pembekuan dan suhu pencairan (Stansby, 1963 dalam Hautawijaya K, 2013).
3.3 Discolorisasi
Mutu ikan sering dinilai dari penampilannya. Oleh karena itu perubahan warna dapat menimbulkan penurunan mutu ikan. Perubahan di dalam daging ikan merupakan penyebab perubahan warna tersebut. Perubahan warna dapat diperlambat dengan penyimpanan pada suhu yang lebih rendah (Murniati dan Sunarman, 2006).
3.4 Pengerasan Daging (Toughness)
Makin lama disimpan beku, daging ikan menjadi makin keras. Menurut hasil penelitian, pengeras daging lebih banyak disebabkan oleh rusaknya struktur jaringan pengikat/penghubung (connective tissue). Kerusakan ini mengakibatkan lepasnya fibril, dan sel-sel menjadi lebih liat/keras.
Ada juga pendapat, bahwa pengerasan daging ikan disebabkan oleh proses denaturasi protein yang dilanjutkan dengan koagulasi (penggumpalan). Sehingga tekstur protein-protein daging lebih kompak. Apabila dihubungkan dengan pengeringan yang terjadi, maka daging ikan lebih keras dibandingkan sewaktu masih segar (Moelyanto, 1992).
3.5 Oksidasi Lemak
Oksidasi lemak menimbulkan bau tengik pada ikan beku yang disimpan lama, antara lain disebabkan oleh aktivitas beberapa enzim yang pada suhu sampai -40°C masih belum berhenti. Diantara enzim-enzim itu adalah cytochrome oxsidase, yang berfungsi sebagai katalisator kuat dengan bantuan garam. Hal inilah yang mempercepat ketengikan ikan yang dibekukan dalam brine freezing,dipercepat dengan adanya kegiatan enzim tersebut.
Daging berwarna hitam atau coklat pada beberapa jenis ikan seperti tuna, relatif cepat menjadi menjadi tengik selama penyimpanan beku dibandingkan dengan daging putih. Hal ini disebabkan oleh aktifnya enzim-enzim oksidase pada daging hitam (Moelyanto, 1992).
3.6 Drip Lost
Drip adalah cairan yang berwarna putih pucat yang tidak berserap kembali oleh jaringan daging ikan beku ketika dicairkan. Drip lost adalah cairan pada ikan yang ikut keluar pada saat dilakukan proses pelelehan (thawing). Drip mengandung air yang melarutkan protein dan unsur-unsur nitrogen lain, vitamin, mineral, komponen pembentuk rasa, dll. Jumlah drip dapat kurang dari 1% dan dapat lebih dari 20% dari berat ikan, tergantung pada faktor berikut.
Jenis ikan : Jika kandungan air tinggi dan kandungan protein rendah maka jumlah drip banyak.
Kecepatan pembekuan : pembekuan lambat menghasilkan banyak drip
Jangka waktu penyimpanan : Makin lama disimpan, makin banyak drip
Kestabilan suhu penyimpanan : Makin besar suhu penyimpanan berfluktuasi, drip makin banyak.
Suhu Pelelehan : Makin tinggi suhu pelelehan, makin banyak drip terbentuk.
Pembentukan drip harus dibatasi sekecil mungkin dengan memperhatikan factor-faktor yang mempengaruhinya. Drip dapat pula dikurangi dengan menggunakan larutan garam atau larutan polifosfat (Murniati dan Sunarman, 2006).
PENCEGAHAN KERUSAKAN AKIBAT PEMBEKUAN DAN PENYIMPANAN BEKU
Perendaman Dalam Brine
Perendaman dalam brine merupakan salah satu usaha untuk mengurangi drip pada pada produk-produk seperti fillet ikan. Jadi, sebaiknya fillet direndam dulu dalam brinedapat mengurang drip, masih belum diketahui. Hanya dikatakan dengan adanya ion-ion Na+ dan K+ yang diserap myosin (bagian dari jaringan daging ikan) dan penambahan muatan listrik pada protein serta serta akibat penambahan NaCl dan KCl, secara sederhana merupakan pengisapan air (hydration) yang bertambah dari bagian-bagian protein, yang muatan listriknya makin besar (Moeljanto, 1992).
Pencelupan Dalam Larutan Fosfat
Larutan polifosfat sudah sering dipakai untuk mencegah pembentukan drip. Fungsi fosfat adalah untuk mempertinggi daya ikat air oleh protein ikan. Oleh karena itu, sebelum dibekukan pada suhu -40°C, fillet ikan dicelupkan dahulu pada larutan Na- fosfat K- fosfat atau campuran dua fosfat. Larutan paling efektif yang pernah dicoba adalah larutan Na-tripolifosfat 12,5 %.
Menurut penelitian, pemakain jenis additive ini tidak menunjukkan akibat sampingan (side effect). Disamping mencegah drip, additive ini juga mampu mengurangi timbulnya warna kuning dan bau tidak enak (off -flavour), yang disebabkan oleh proses ketengikan (rancidity) selama penyimpanan beku (Moeljanto, 1992).
Glazing
Pemberian selimut es (glaze) pada ikan beku dengan cara menyemprotkan, menyapukan air, atau mencelupkan ikan ke dalam air yang bertujuan untuk mengurangi dehidrasi dan oksidasi. Lapisan es tersebut yang akan menyublim di dalam cold storage. Selubung es juga melindungi kontak dengan udara sehingga oksidasi dapat dikurangi.
Untuk membentuk selubung es yang menyeluruh dan merata, maka proses glazing perlu pengendalian yang baik. Jumlah selubung tergantung pada factor waktu glazing, bentuk produk, suhu ikan, suhu air dan ukuran produk.
Glazing yang dilakukan pada ikan bersuhu -30°C atau lebih rendah akan menghasilkan selubung es yang retak-retak akibat tekanan termal selama pembentukan es dan mudah lepas dalam penanganan berikutnya. Ikan yang dicelupkan terlalu lama dalam air, menyebabkan selubung es yang terbentuk menjadi tebal tetapi lunak dan mudah lepas.
Pemberian glazing yang baik sangat bermanfaat terutama jika penyimpanan dan pengangkutan kurang baik penanganannya. Glazing yang buruk mengakibatkan pelelehan sebagian dari pembekuan secara perlahan di dalam cold storage dan akan mengakibatkan kerugian yang lebih besar (Adawyah. R, 2006).
Pengaturan Suhu Yang Tepat pada Coldstorage
Semua diperkirakan penyimpanan pada suhu -10°C sudah cukup baik karena pada suhu itu kegiatan mikrobiologi terhenti. Akan tetapi tetap pada suhu ini reaksi kimia masih berjalan dan dalam beberapa minggu produk dapat mengalami perubahan – perubahan yang merugikan. Untuk menghindari reaksi ini harus dicari keseimbangan antara rendahnya suhu, mutu, pertimbangan-pertimbangan teknis, ongkos produksi dan tujuan pengawetan. Akhirnya disimpulkan bahwa suhu -18°C sampai -20°C. Apabila pengangkutan dilakukan dengan kapal, gerbong kereta api dan truk, cukup dengan suhu -20°C sampai -25°C. Sebab secara ekonomis dan teknis masih dapat dipertanggungjawabkan.
Cara penyimpanan produk beku di dalam cold storage juga harus mengikuti cara-cara yang baik dan terencana. Sebaiknya produk beku disimpan sesudah dikemas dengan baik, karton-karton atau peti disusun rapi sesuai dengan waktu pengolahannya. Pengangkutan untuk penyimpanan dan mengeluarkan produk harus dapat dilakukan dengan cepat dan aman serta tidak menyebabkan fluktuasi suhu di dalam cold storage ke dalam container (peti kemas) hendaknya mengikuti system FIFO (First In First Out) sehingga tidak ada produk lama tersimpan dalam cold storage (Moelyanto, 1992).
PENUTUP
Kesimpulan
Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan.
Pembekuan ikan berarti menyiapkan ikan untuk disimpan dalam suhu rendah. Selama proses pembekuan berlangsung, terjadi pemindahan panas dari tubuh ikan yang bersuhu tinggi ke refrigerant yang bersuhu rendah. Dengan demikian kandungan air di dalam tubuh ikan akan berubah bentuk menjadi kristal es. Kandungan air ini terdapat di dalam sel jaringan dan ruang antarsel. Sebagian besar air dalam tubuh ikan tersebut merupakan air bebas (free water) sebanyak 67% dan selebihnya merupakan air tak bebas (bound water), yakni cairan tubuh yang secara kimiawi terikat kuat dengan substansi lain di dalam tubuh ikan, seperti molekul protein, lemak dan karbohidrat.
Ada beberapa Metode Pembekuan yang digunakan, yaitu :
Air-blast Freezing
Air Blast Freezing ialah dengan membekukan produk yang ditaruh dalam ruangan yang ditiupkan udara beku didalamnya dengan blower yang kuat
Immersion Freezing
Immersion Freezing adalah membekukan produk dalam air (larutan garam) yang direfrigrasi.
Cryogenic Freezing
Cryogenic Freezing ialah dengan membekukan produk dengan semprotan bahan cryogen, misalnya karbondioksida cair dan nitrogen cair.
Contact Plate Freezing
Sistem kontak langsung antara ikan dengan plate pendingin yaitu dengan cara ikan dimasukkan ke dalam almari / cabinet pendingin baik secara individu ataupun secara block dan langsung bersentuhan dengan plate yang dialiri oleh media pendingin (refrigerant) selama beberapa waktu tergantung dari ketebalan ikan dan suhu refrigrantnya.
Sharp Freezing
Sharp Freezing adalah pembekuan dengan produk ditaruh di atas lilitan pipa evaporator (refrigerated coll).
Cara penyimpanan produk beku di dalam cold storage harus mengikuti cara-cara yang baik dan terencana. Sebaiknya produk beku disimpan sesudah dikemas dengan baik, karton-karton atau peti disusun rapi sesuai dengan waktu pengolahannya. Pengangkutan untuk menyimpan dan mengeluarkan produk harus dapat dilakukan dengan cepat dan aman serta tidak menyebabkan fluktuasi suhu di dalam cold storage.
Kerusakan sering terjadi selama proses pembekuan dan penyimpanan beku berlangsung, adapun kerusakan-kerusakan adalah sebagai berikut :
Pengeringan (dehidrasi) yaitu berkurangnya kadar air selama produk dibekukan dan disimpan beku.
denaturasi protein adalah pembekuan yang menyebababkan protein berubah beberapa fungsinya, karena dalam perubahan ini protein kehilangan sifat alaminya.
Discolorisasi yaitu perubahan warna yang terjadi selama proses pembekuan dan penyimpnan beku.
Pengerasan daging ikan disebabkan oleh proses denaturasi protein yang dilanjutkan dengan koagulasi (penggumpalan). Sehingga tekstur protein-protein daging lebih kompak. Apabila dihubungkan dengan pengeringan yang terjadi, maka daging ikan lebih keras dibandingkan sewaktu masih segar (Moelyanto, 1992).
Oksidasi lemak yang menimbulkan bau tengik pada ikan beku yang disimpan lama, antara lain disebabkan oleh aktivitas beberapa enzim yang pada suhu sampai -40°C masih belum berhenti.
Drip lost adalah cairan pada ikan yang ikut keluar pada saat dilakukan proses pelelehan (thawing).
Jenis kerusakan – kerusakan ikan tersebut dapat dicegah yaitu dengan cara sebagai berikut :
Perendaman dalam brine merupakan salah satu usaha untuk mengurangi drip pada pada produk-produk seperti fillet ikan.
Larutan polifosfat untuk mencegah pembentukan drip. Fungsi fosfat adalah untuk mempertinggi daya ikat air oleh protein ikan. Oleh karena itu, sebelum dibekukan pada suhu -40°C, fillet ikan dicelupkan dahulu pada larutan Na- fosfat K- fosfat atau campuran dua fosfat. Larutan paling efektif yang pernah dicoba adalah larutan Na-tripolifosfat 12,5 %.
Pemberian selimut es (glaze) pada ikan beku dengan cara menyemprotkan, menyapukan air, atau mencelupkan ikan ke dalam air yang bertujuan untuk mengurangi dehidrasi dan oksidasi.
Pengaturan suhu yang tepat pada coldstorage yaitu suhu -18°C sampai -20°C. Apabila pengangkutan dilakukan dengan kapal, gerbong kereta api dan truk, cukup dengan suhu -20°C sampai -25°C.