KELUARGA SEJAHTERA Banyak negara, organisasi dan perorangan memperhatikan masalah kemiskinan dan
kesejahteraan kesejahter aan suatu keluarga tetapi bagaimana cara mengukur kemiskinan
dan kesejahteraan suatu keluarga yang akurat dan tepat? Dan bagaimana mereka bisa tahu apakah usaha mereka berdampak? Pertanyaan ini penting karena ada berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan kesejahteraan suatu keluarga, dan tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya cukup beragam. Dengan keadaan desentralisasi dan peningkatan peran pemerintah lokal, setiap kabupaten mempunyai kesempatan untuk menyesuaikan indikator kesejahteraan suatu
keluarha
dan
kemiskinan
dengan
keadaan
lokal
untuk
mengawasi
kesejahteraan keluarga dan kemiskinan daerah sendiri, walaupun sebagian indikator ini alangkah baiknya ditarik dari standar-standar nasional untuk mendukung perbandingan antar wilayah. Undang No. 10 tahun 1992 menyebutkan bahwa Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota, serta antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Menurut laporan hasil pendataan keluarga tahun 2006, saat ini, 56 persen (dari sekitar 47, 419 juta keluarga Indonesia) termasuk dalam kategori pra sejahtera dan sejahtera I. (Laporan (Laporan Tim Gemari, 2006). 2006). Keluarga Pra Pra Sejahtera adalah adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, belum mampu melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya masing-masing, memenuhi kebutuhan makan minimal dua kali sehari, pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian, memiliki rumah yang bagian lantainya bukan dari tanah, dan belum mampu untuk berobat di sarana kesehatan modern.
Selain Keluarga prasejahtera ada pula yang disebut dengan keluarga Miskin. Keluarga miskin adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan hidup
2
yang syah, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup material yang layak khususnya dibidang kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan (Rhina, 1999 didalam buku Asuhan Keperawatan Keluarga) .
Menurut laporan Tim gemari saat ini ada sekitar 56 % keluarga di Indonesia masih berada dalam tingkat pra sejahtera dan sejahtera I. Sedangkan kriteria yang ditetapkan BPS (Biro Pusat Statistik) tentang garis kemiskinan ialah kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makan 2.100 kalori perhari perkapita. Menurut kriteria BPS tersebut sekarang tinggal 11,5% penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, sedangkan menurut kriteria BKKBN adalah 40,33% penduduk Indonesia yang belum sejahtera. Bahkan dari dengar pendapat di DPR-RI terungkap lebih dari 50% penduduk Indonesia masih Pra Sejahtera garagara kriteria lantai tanah. Oleh sebab itu kemudian dicanangkanlah gerakan gotong royong melaksanakan pemelesteran pada rumah-rumah yang masih berlantai tanah.
A. Pengertian 1. Indikator Indikator adalah statistik dari hal yang normatif yang menjadi perhatian kita yang dapat membantu kita dalam membuat penilaian ringkas, komprehnsif, dan berimbang terhadap kondisi-kondisi atau aspek-aspek penting dari suatu masyarakat (Depkes, 2003). Sedangkan menurut Green
indikator adalah
variabel-variabel yang mengindikasikan atau memberi petunjuk kepada kita tentang suatu keadaan tertentu, sehinga dapat digunakan untuk mengukur perubahan. Dari definisi diatas jelas bahwa indikator adalah variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.
2.
Keluarga Sejahtera Undang-Undang
No.
10
tahun
1992
menyebutkan
bahwa
Keluarga
Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
3
selaras. dan seimbang antar anggota, serta antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Suprajitno, 2004, mendefinisikan Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dilihat berdasarkan kemampuan keluarga untuk memehuhi kebutuhan dasar, kebutuhan psikososial, kemampuan memenuhi ekonominya dan aktualisasi keluarga di masyarakat, serta memperhatikan perkembangan negaranya.
Sedangkan menurut Miles dan Irvings di dalam penelitian Seonarnatalina tahun 2007, yang dimaksud dengan Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dapat melaksanakan fungsi keluarga dengan terpadu dan serasi. Beberapa fungsi keluarga adalah fungsi keagamaan, kebudayaan, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialiasasi dan pendidikan, ekonomi, dan pemeliharaan lingkungan. Apabila fungsi keluarga dijalankan secara baik oleh keluarga, maka kesejahteraan keluarga akan terjamin. Dari beberapa definisi diatas maka dapat diimpulkan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikososial, kebutuhaan ekonomi yang layak serta dapat melaksanakan
fungsi
keluarganya
dengan
baik.
B. Indikator Keluarga Sejahtera dan Indikator Meenetukan Garis kemiskinan
Indikator Keluarga Sejahtera Menurut BKKBN Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Data kemiskinan dilakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu: Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III, Keluarga Sejahtera III plus.
Untuk lebih jelasnya, indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan oleh BKKBN adalah sebagai berikut :
a.
Keluarga Pra Sejahtera
4
Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal (basic needs) seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan. Atau keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator keluarga Sejahtera tahap I,
b.
Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal tapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya yaitu kebutuhan pendidikan, keluarga berencana (KB), interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Indikator Keluarga sejahtera Tahap I : 1. Melaksanakan ibadah menurut agama masing-masing yang dianut. 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau l lebih. 3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. 5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa kesarana/petugas kesehatan.
c. Keluarga Sejahtera tahap II Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal serta telah memenuhi kebutuhan pengembangan, yaitu kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. Keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis 6 sampai 14 yaitu : 6. Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur. 7. Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk. 8. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun. 9. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah. 10. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat. 11. Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun
5
keatas mempunyai penghasilan tetap. 12. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin. 13. Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini. 14. Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)
d. Keluarga Sejahtera Tahap III yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial
psikologis
dan
kebutuhan
pengambangan,
tetapi
belum
dapat
memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat secara teratur (dalam waktu tertentu) dalam bentuk material dan keuangan untuk sosial kemasyarakatan, juga berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasayakaran atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan dan lain sebagainya. Bisa disimpulkan bahwa keluarga ini adalah keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu : 15. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. 16. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga. 17. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga. 18. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. 19. Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan. 20. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah. 21. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.
e.
Keluarga Sejahtera Tahap III Plus Adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhanya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun pengembangan, serta telah mampu memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Atau Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu : 22.
Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan
6
sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil. 23.
Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
f.
Keluarga Miskin. Adalah keluarga
yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan hidup yang
syah, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup material yang layak khususnya dibidang kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan (Rhina, 1999 didalam buku Asuhan Keperawatan Keluarga) . Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1996 tentang pembangunan keluarga sejahtera dalam rangka peningkatan penanggulangan kemiskinan, keluarga miskin adalah keluarga prasejahtera dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Tidak bisa makan dua kali sehari atau lebih b. Tidak bisa menyediakan daging/ikan dan telur sebagi lauk pauk Paling kurang sekali seminggu. c. Tidak bisa memiliki pakaian yang berbeda untuk setiap aktivitas d. Tidak bisa
memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dalam
Setahun terakhir e. Bagian terluas lantai rumah dari tanah f.
Luas lantai rumah kurang 8 M2 untuk tiap penghuni.
g. Tidak ada anggota keluarga berusia 15 tahun mempunyai penghasilan tetap h. Bila anak sakit?PUS ingin ber-KB tidak bisa ke fasilitas Kesehatan i.
Anak berumur 7 – 15 tahun tidak bersekolah
g. Keluarga miskin sekali. Adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih. b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian. c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
7
INDIKATOR KELUARGA MENURUT MODEL TINGKAT KONSUMSI
Model ini diperkenalkan oleh Sayogyo (1971) dengan menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan dengan membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan dengan ukuran untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun.
Tabel 1. Ekuivalen Konsumsi Beras Pedesaan (Kg/ Per Orang/Tahun) 180 240 320
Kriteria 1. Melarat 2. Sangat Miskin 3. Miskin Sejalan
dengan
Sayogyo,
BPS
(Badan
Pusat
Perkotaan (Kg/ Per Orang/Tahun) 270 360 480 Statistik)
kemudian
juga
memperkenalkan model penghitungan angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Inti dari model ini adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan “garis kemiskinan” (GK) yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan.
Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk
pendidikan dan kesehatan2. BPS pertama kali
melaporkan penghitungan jumlahdan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah
dan persentase penduduk miskin
mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional).
8
INDIKATOR KELUARGA MENURUT MODEL PEMBANGUNAN MANUSIA Dipromosikan oleh lembagaPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Dengan membuat Human Development Report (HDR). HDR berisikan penjelasan tentang empat index yaitu Index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Indikator-indikator dalam HDR dapat dikelompokkan ke dalam enam dimensi. HDI, HPI dan GDI menggunakan tiga dimensi yang sama, yaitu: Umur yang panjang dan hidup sehat, Pengetahuan, dan Standar hidup yang layak. Sedangkan indikator-indikator pada GEM menggunakan tiga dimensi yang berbeda yaitu: Partisipasi politik, Partisipasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan, Memiliki kekuatan dalam sumberdaya ekonomi.
Pengertian dan Indikator Human Development Report (HDR) adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara
lebih
komprehensif,
di
mana
pembangunan
harus
menjadikan
kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat
pembangunan. Di dalam konsep ini, juga
dijelaskan bahwa pembangunan
manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan
pendidikan dan memiliki akses kepada
sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi.
Pendekatan pembangunan manusia (HDR) jelas
berbeda dengan pendekatan-
pendekatan konvensional seperti pertumbuhan ekonomi,
pembangunan sumber
daya manusia dan pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan
pertumbuhan ekonomi hanya mengejar peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) daripada memperbaiki kualitas hidup manusia. Pendekatan pembangunan sumber daya manusia menjadikan manusia sebagai faktor input dalam proses produksi, sehingga manusia lebih manfaat daripada sebagai agen perubahan dalam proses
9
pembangunan. Dalam konsep pembangunan manusia, pertumbuhan tidak dilihat sebagai tujuan melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Indikator-indikator dalam HDR dapat dikelompokkan ke dalam enam dimensi. HDI, HPI dan GDI menggunakan tiga dimensi yang sama, yaitu: • Umur yang panjang dan hidup sehat • Pengetahuan • Standar hidup yang layak
Sedangkan indikator-indikator pada GEM menggunakan tiga dimensi yang berbeda yaitu: • Partisipasi politik • Partisipasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan • Memiliki kekuatan dalam sumberdaya ekonomi.
Secara lengkap indikator-indikator yang digunakan dalam HDR adalah sebagai berikut: JENIS INDEX HDI
INDIKATOR • Tingkat harapan hidup • Tingkat melek huruf orang dewasa • Rata-rata lama bersekolah • Tingkat daya beli per kapita Kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun Tingkat buta huruf orang dewasa Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan Persentase balita yang kurang makan
HPI
GDI
GEM
Tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan • Tingkat melek huruf orang dewasa laki-laki dan perempuan • Rata-rata lama sekolah untuk laki-laki dan perempuan • Perkiraan tingkat pendapatan lakilaki dan perempuan Persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki dan perempuan Persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi teknis dari laki-laki dan perempuan Perkiraan tingkat pendapatan lakilaki dan perempuan dilihat sebagai alat daripada sebagai tujuan.
ANALISA
10
Tingkat Kesejahteraan seseorang sebenarnya tidak dapat hanya diukur dengan melihat satu variabel/dimensi karena bersifat multidimensional. Indikator hanya memilki suatu kondisi/variabel tertentu. Untuk mengatasi masalah tersebut, dalam mengukur suatu kondisi yang bersifat multi diminsional bisa digunakan indeks atau indikator komposit dari beberapa indikator yang ada. (Seonarnatalina ,2007 )
Indikator yang telah digunakan selama ini (indikator keluarga sejahtera menurut BKKBN) lebih bersifat sebagai bertahap, artinya bila belum memenuhi kriteria suatu tahapan, maka keluarga tersebut masih berada pada tahapan di bawahnya.
Penggunaan kriteria bertahap ini dapat menimbulkan masalah dalam penentuan terhadap keluarga sejahtera. Dimana, jika sebuah Keluarga yang tidak memenuhi satu atau beberapa kriteria pada satu tahap belum tentu tidak memenuhi kriteria tahap di atasnya. Sebaliknya keluarga yang sudah memenuhi kriteria suatu tahapan belum tentu sudah memenuhi semua tahapan di bawahnya (Seonarnatalina ,2007 )
Model apakah yang dapat diterapkan di Indonesia? Untuk mencoba mencari model pengukuran kemiskinan yang tepat yang dapat digunakan di Indonesia, kita harus melihat dari faktor yang benar-benar berhubungan . Misalnya dengan melihat faktor budaya masyarakat Indonesia yang majemuk. Perbedaan budaya dan cara hidup masyarakat yang berbeda beda antara satu daerah dengan daerah lainnya dapat mengakibatkan timbulnya bias dalam melakukan penilaian atas indikator tertentu.
Penyeragaman model pengukuran yang dilakukan secara ketat, seperti yang dilakukan dalam model indikator kesejahteraan BKKBN dapat menimbulkan bias atau berbeda interpretasi terhadap relitas sesungguhnya di lapangan. Contohnya, model BKKBN menetapkan kondisi kesejahteraan dengan menggunakan indikator penggunaan lantai, apakah masih tanah atau sudah memakai keramik misalnya, sebagai indikator untuk menilai apakah keluarga tersebut masuk dalam kategori mampu dan tidak. Indikator ini mengisyaratkan bias budaya karena kita mengetahui bahwa beberapa budaya di Indonesia masih menggunakan rumah panggung dimana model rumah tersebut tidak dimungkinkan menggunakan keramik sebagai lantainya dan juga ini tidak berarti mereka tidak mampu membelinya. Dan juga beberapa masyarakat di pulai jawa masih menggunakan tanah sebagai lantai rumah, juga bukan berarti mereka tidak mampu menggunakan keramik.
11
Indikator yang digunakan BPS dan Sayogyo mengenai konsumsi makanan dan non makanan
dengan
kesejahteraan
penetapan
juga
dapat
penggunaannya. Misalnya
bahan
makanan
menimbulkan
tertentu
persepsi
yang
sebagai
indikator
berbeda
pada
mengenai makanan pokok, tidak semua penduduk
Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Pola-pola konsumsi masyarakat merupakan hasil pembentukan dari budaya dalam lingkungan tempat tinggalnya. Contoh beberapa tempat diwilayah timur Indonesia, mengkonsumsi sagu atau umbi sebagai makanan pokoknya.
Jadi, penetapan secara spesifik komoditi tertentu untuk digunakan menjadi indikator kesejahteraan menjadi kurang akurat untuk dijadikan pedoman. Bias-bias budaya dalam sistem kategorisasi yang dilakukan oleh penetapan model pengukuran seragam tersebut menjadikan penentuan standar kemiskinan menjadi tidak relavan dengan situasi di Indonesia. Sedangkan seperti yang telah dijelaskan di atas, sebuah
indicator
harus
mampu
mengevaluasi
keadaan
atau
status
dan
memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Indikator yang relevan harus dapat mengakomodir keberanekaragaman budaya di Indonesia dengan meminimalisir pola-pola penyeragaman secara nasional dimana daerah diberikan wewenang untuk menspesifikasikan indikator kesejahteraan yang tepat sesuai dengan ciri khas daerahnya. budayanya dan cirri khasnya.
Karena tiap daerah berbeda-beda
12
DAFTAR PUSTAKA
Akibat Kemiskinan Struktural (Sumber : http://203.130.242.190/artikel/670.shtml http://www.gemari.or.id/cetakartikel.php?id=670 diunduh tgl 10 November 2008) Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Peetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota sehat: Jakarta Friedman, M.F. 1998. Keperawatan Keluarga. Teori Dan Praktek. EGC; Jakarta Gemari, 2006. Konsep Keluarga Sejahtera. (Sumber : http://www.gemari.or.id/cetakartikel.php?id=670 diunduh tgl 10 November 2008) Ibu Membunuh Anak Kandung (www.gapri.org/tfiles/file/data%20kemiskinan/IBU%20MEMBUNUH%20ANA K%20KANDUNG.doc ) diunduh tanggal 17 November 2008. Indikator Kekuarga Sejahtera .http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn jatim/html/indikasi.htm (diunduh tanggal 10 November 2008) Profil Keluarga Kota Cimahi.( http://www.cimahikota.go.id diakses pada tanggal 10 November 2008 ) Rencana Kerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2009 http://www.bapeda jabar.go.id/bapeda_design/docs/publikasi_data/20080325_171546.pdf diunduh pada tanggal 10 November 2008). Sari, S.I.Jumlah Keluarga Miskin Terus Bertambah. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/25/brk,2005102568474,id.html diunduh tanggal 10 November 2008) Seonarnatalina . 2007. Pengembangan Indeks Keluarga Sejahtera di Propinsi Jawa Timur. www.bkkbn-jatim.go.id (diunduh tanggal 10 November 2008 Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga.Aplikasi Dalam Praktek. EGC; Jakarta Uu no 10 tahun 1992 ‘Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Sejahtera www.bkkbn.go.id:5000/publish/Data/Lists/Data/Attachments/72/uu_10_1992. doc (diunduh pada tanggal 10 September 2008)