UJIAN TENGAH SEMESTER STRATEGI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN INOVASI
DOSEN: DR. ELISA ANGGRAENI, STP, MSC
OLEH: HABIBULLAH NRP. F351170071
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2018
2
Tugas 1. Telaah Kritis
Van Es, H. and Woodard, J. 2017. Innovation in Agriculture and Food Systems in the Digital Age. Pp: 97-104. The Global Innovation Index 2017: Innovation Feeding the World. 2017. Ithaca, Fountainebleau, Geneva. Era pertanian digital telah dimulai dengan tawaran peluang-peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya sekaligus tantangan yang tidak mudah. Artikel ini bertujuan memberikan informasi tentang pertanian presisi tinggi yang mampu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dan mengurangi dampak negatif lingkungan. Karya ini mirip dengan tulisan David et al. (2016) tentang pertanian presisi dan tantangannya. Artikel ini ditulis oleh dua orang, penulis pertama yaitu Harold seorang Professor of Soil and Management, dari Cornel University, dan Woodard sebagai assistant professor Agribusiness & Finance, Cornell University. Pekerjaan keduanya telah disitasi oleh lebih dari 4500 dan 500 orang. Penerapan pertanian presisi telah dimulai dengan adanya adan ya dukungan alat analisis data untuk pengambilan keputusan yang tepat, antisipasi kebutuhan input , antisipasi penyakit, dan malfungsi mesin telah tersedia untuk petani semisal untuk pemilihan benih, penggunaan pupuk, peramalan panen, olah data agronomi, deteksi penyakit, prediksi evolusi penyakit dan yield. Alat tersebut dapat berupa geographical information system, decision support system dan crop models & field history (Sigit et al . 2009), sekaligus ramah lingkungan (Bongiovanni dan Deboer 2014). Hal tersebut didukung oleh peningkatan kapasitas penyimpanan dan kemampuan komputasional dan akses data jarak jauh beresolusi tinggi yang diperkirakan mencapai 40 zetabytes per tahun pada 2020 yang memungkinkan pelaku pertanian untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap sumber daya pertanian secara tepat dan intensif melalui teknologi sensor dan robotik. Kemudian data masing-masing sumber daya tersebut dapat disimpan, baik untuk penanganan lebih lanjut maupu n untuk pengembangannya. Layanan pertanian presisi berhasil diterapkan di Bulgaria dengan dukungan investasi sebesar US$4 milyar dari European Union Common Agricultural Policy pada tahun 2007. Investasi tersebut digunakan untuk dukungan pertanian, pengembangan pedesaan, good management practices, dan ketersediaan pangan. Petani bekerjasama dengan perusahaan untuk menerapkan teknologi presisi modern melalui strategic parnertship dengan Northern American dan Pemimpin Teknologi Eropa seperti teknologi perangkat lunak manajemen pertanian, pemetaan, peralatan aplikasi presisi, pemantauan cuaca, dan monitoring dari satelit, peralatan irigasi, hingga melatih tenaga professional. Faktor keberhasilan tersebut juga terjadi karena adanya dukungan produksi dalam skala luas, sistem sewa lahan yang memungkinkan petani swasta mengelola petani-petani kecil, sistemn pembayaran langsung dari European Union, dan kerjasama strategis antara penyedia jasa teknologi. Harold dan Woodard (2017) juga merangkum tantangan penerapannya seperti dukungan infrastruktur, research and development (RnD), informasi teknis, sumber daya dengan pendidikan yang relevan. Selain itu, juga dapat diketahui biaya investasinya tinggi. Kemudian dirinci lebih jauh mengenai faktor lainnya seperti faktor luas lahan pertanian, data, kesenjangan manajemen
3
dan analitik, kesenjangan penelitian dan pendidikan, konektivitas dan kesenjangan digital, serta penyebaran dan pengembangan bisnis. Tantangan pertanian presisi lainnya yaitu membutuhkan membutuhka n teknologi inovatif untuk data yang sulit dikumpulkan dan dikelola, kepemilikan data, hubungan dengan manajemen data dan penggunaannya, keterampilan spesifik seperti scrum master, cloud manager, data scientist, community manager, dan lainnya (David et al. 2016), sedangkan apabila pertanian presisi diterapkan di Indonesia, sumber daya manusia petani sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu sekitar 42% tidak tamat SD, 38% tidak tamat SD, dan presentase yang berpendidikan tinggi hanya sekitar 1,3% (Kementan 2014) sehingga perlu dicarikan alternatif lain agar siap dari segi sumber daya manu sia.
4
ssay Tugas 2. E ssay PEMERINTAH DAN STRATEGI KEBIJAKAN MENGHADAPI REVOLUSI 4.0 Kata kunci: strategi, bisnis, kebijakan pemerintah, umkm, industri 4.0
Berdasarkan siaran pers kemenperin tersebut dapat diketahui pemerintah merespon revolusi industri 4.0 dengan empat strategi berikut: 1. Mendorong agar angkatan kerja di Indonesia terus belajar dan meningkatkan keterampilannya untuk memahami penggunaan teknologi internet of things atau mengintegrasikan kemampuan internet dengan lini produksi di industri. 2. Pemanfaatan teknologi digital untuk memacu produktivitas dan daya saing bagi industri kecil dan menengah (IKM) sehingga mampu menembus pasar ekspor melalui program e smart IKM. 3. Meminta kepada industri nasional dapat menggunakan teknologi digital seperti Big Data, Autonomous Robots, Cybersecurity, Cloud , dan Augmented Reality. 4. Inovasi teknologi melalui pengembangan startup dengan memfasilitasi tempat inkubasi bisnis. Strategi kebijakan pemerintah di atas dapat ditelaah dengan memahami faktor-faktor sebagai berikut: A. Analisa Situasional 1. Industri 4.0 Industri 4.0 harus dipahami terlebih dahulu dalam perspektif obyektif yang mempertimbangkan keseluruhan dampak yang ditimbulkan, baik tantangan maupun peluangnya. Industri 4.0 tentunya tidak muncul begitu saja tanpa adanya revolusi industri sebelumnya. Transisi industri pada setiap fase perlu diketahui terlebih dahulu. Berdasarkan literatur yang ada fase kemunculan revolusi industri terjadi dalam tahapan berikut: a. Industri 1.0 Revolusi industri pertama terjadi ditandai oleh produksi yang dilakukan secara manual digantikan oleh mesin. Revolusi ini dimulai sekitar 1800an yang menyebabkan kapabilitas produksi meningkat, meningk at, bisnis tumbuh dari kepemilikan individu yang mengurusi men gurusi bisnisnya sendiri menjadi lebih terorganisir dengan pemilik, manajer, hingga pekerja yang melayani pelanggannya (Crandal 2017). Sumber lain menyebutkan revolusi 1.0 dimulai pada 1780an yang mengenalkan mesin produksi (Thinkspace 2016). b. Industri 2.0 Industri kedua mulai terjadinya produksi massal, membutuhkan lebih banyak energi, dan lebih banyak tenaga manusia, sebagai akibat penemuan tenaga listrik yang dijadikan sumber utama energi yang menggerakkan mesin pada awal abad ke-20. Penemuan tersebut menjadikan bisnis terus berorientasi pada kerja mesin, peningkatan efisiensi, keefektifan proses manufaktur, dan produksi massal yang meningkatkan produktivitas (Crandal 2017).
5
c. Industri 3.0 Industri ketiga terjadi pada akhir abad ke-20 sekitar tahun 1960an atau sekitar 30 tahun setelah revolusi industri 1.0 dengan pembuatan programmable logistic controller (PLC) Modicon 084 (Thinkspace, 2016). Sumber lain menyebutkan tentang penemuan perangkat elektronik seperti transistor dan integrated circuit chips yang dapat melakukan otomatisasi secara penuh untuk menggantikan operator. Periode ini menghasilkan pengembangan software systems untuk mengkapitalisasi perangkat keras elektronik (Crandal 2017). d. Industri 4.0 Industri terus berkembang hingga saat ini sampai pada revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 terjadi pada akhir abad ke-20 atau awal abad ke-21 yang mengoneksikan internet of things (IoT) dengan teknik manufaktur yang memungkinkan sistem untuk berbagi informasi, menganalisisnya, dan menggunakannya sebagai panduan tindakan intelijen, di dalamnya termasuk robotik, kecerdasan buatan, material maju, dan teknologi kognitif lainnya (Crandal 2017). Pendapat lain menyebutkan bahwa industri 4.0 bukan sebuah revolusi tetapi lebih tepat disebut sebagai evolusi dari industri 3.0, karena industri 4.0 ditandai dengan terjadinya perubahan secara bertahap yang akhirnya sampai pada tahap digitalisasi perusahaan (Engelberthink dan Woudstra, 2017). Erol et al. (2015) merumuskan proses atau kerangka terjadinya revolusi industri dengan gambar berikut:
Sumber: Erol et al. 2015
6
2. Tantangan dan Peluang Industri 4.0 Revolusi industri 4.0 bertumpu pada teknologi digital disruptif yang membawa potensi perubahan pada sektor manufaktur yang sulit dikenali dan membawa dampak pada sepanjang proses rantai bisnis, diantaranya seperti prediksi potensi kerusakan pada sistem produksi, automatisasi dengan rekaman parameter akurat, robotik dan minimasi human-error, analisis optimasi secara cepat, perbaikan mutu, dan lain sebagainya (McKinsey&Company 2017). Pergerakannya tumbuh menjadi momentum penting yang didukung oleh pertumbuhan volume data, daya komputasi, dan konektivitas melalui analisis data-analitik, intelijen bisnis yang membentuk interaksi baru manusia terhadap mesin. Industri 4.0 diharapkan mampu meningkatkan produktivitas seperti yang terjadi pada revolusi industri pertama pertama kali. Negara-negara Asia Tenggara yang memiliki komponen manufakatur berpotensi memperoleh keuntungan produktivitas mencapai $216 miliar sampai $627 miliar (McKinsey&Company 2018). Data dunia saat ini telah tersedia hingga 90%, biaya Internet of Thing (IoT) terus menurun dan diprediksi terus turun hingga lebih dari 50%, dan biaya penyimpanan data juga menurun, sedangkan kecepatan processor dan kesiapan masyarakat menggunakan internet terus meningkat secara global (McKinsey&Company 2017). Hal ini menunjukkan industri 4.0 sedang berada pada fase tumbuh dan data menjadi bagian integrasi dari kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Engelbertink dan Woudstra (2017) merangkum beberapa studi literatur bahwa industri 4.0 setidaknya memiliki 13 atribut kunci sebagai berikut: 1. Horizontal integration: transparansi dalam perusahaan dan fleksibilitas dengan level yan g tinggi yang menyebabkan optimisasi global dan daya saing. 2. Vertical networking of smart production systems: cyber-physiscal systems yang bereaksi cepat terhadap perubahan dan kesalahan mesin, sehingga perusahaan bisa memproduksi produk spesifik untuk konsumen tertentu. 3. Through-engineering: Dampak pada proses value chain tidak hanya mengoptimasi proses produksi tetapi juga membuat smart end product . 4. Acceleration through exponential technologies: Solusi produk untuk setiap masing-masing individu, penurunan biaya, fleksibelitas kerja, sebagai contoh 3D printing . 5. Suppliers: Jejaring dari perusahaan ke pemasok dan sistem produksi memberikan peluang untuk mencari pemasok alternatif dan kapasitas secara real time. 6. Supply chain: Rantai pasok merespon secara dinamis pada permintaan dan kesalahan dalam rantai pasok, kemudian mesin mengadaptasikan kesalahan tersebut dan memperbaikinya. 7. Raw materials: Bahan baku dapat digunakan secara efisien, dan informasi limbah dapat digunakan untuk dilakukan re-use sehingga menyederhanakan proses produksi. 8. Product: Kebutuhan terhadap produk intelijen untuk mengetahui kapabilitas dan efisiensi dalam prosesnya, sehingga konsumen dapat mengetahui proses produksi dan dampak produksi dari produk yang diciptakan.
7
9. Machines: Mesin intelijen dapat beradaptasi pada pekerjaan dan lingkungan yang berbeda yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. 10. Manual Labour: Para pekerja didukung oleh data, dan pekerjaannya dapat dioptimalkan karena lebih banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan dengan biaya rendah. 11. Robotic: Robot sebagai proses kunci dan beradaptasi secara cepat pada perubahan dan pekerja dengan fleksibelitas yang tinggi. 12. Warehouse: Gudang memiliki penanggung jawab invetaris intelijen yang dapat menginformasikan kebutuhan perusahaan baik dalam proses maupun mejaga persediaan gudang. 13. End-user customer: Konsumen memberikan detail mengenai bagaimana produk yang diproduksi oleh perusahaan digunakan untuk meningkatkan fleksibelitas perusahaan. Kombinasi elemen-elemen dan fitur tersebut akan meningkatkan daya saing secara massif karena meningkatkan flexibility dan agility perusahaan. Selain itu, diketahui bahwa perusahaan kecil lebih mudah menerapkan industri 4.0 karena tidak memerlukan perubahan besar dalam sistem perusahaan dibandingkan perusahaan besar. Perusahaan besar butuh waktu lebih lama untuk menerapkan industri 4.0 karena adanya pabrik yang besar, pekerja yang banyak, dan hirarki yang dilalui. Hanya saja perusahaan kecil memiliki sumberdaya yang lebih terbatas untuk melakukan perubahan (Engelberthink dan Woudstra 2017). 3. Syarat Keterampilan Industri 4.0 Mutula dan Brakel (2007) meneyebutkan keterampilan utama yang diperlukan diantaranya network engineers, information and technology (IT) support and maintenance, software engineers, telecom engineers, programmers, techniques analysis, dan web desainer. Sumber lain menyebutkan pekerjaan yang dibutuhkan diantaranya data scientist, analytics engineer, analytics translator, transformation coach (McKinsey 2017). Keterampilan spesifik seperti scrum master, cloud manager, data scientist, community manager, dan lainnya (David et al. 2016). Berdasarkan paparan diatas dapat diketahui bahwa industri 4.0 menuntut penguasaan dan pemahaman terhadap teknologi informasi secara mendalam serta bersifat intelijen. 4. Kondisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia UMKM merupakan penopang perekonomian rakyat Indonesia yang ditandai oleh 99,99% dari proporsi total usaha di Indonesia dengan sumbangan penyerapan tenaga kerja yang mencapai 98,7% (Barlian et al. 2013; Bank Indonesia 2016). Kepemilikan usaha dan tenaga kerja UMKM di Indonesia biasanya berasal dari rakyat atau penduduk asli Indonesia, dibandingkan industri besar yang didominasi oleh kepemilikan dan pekerja asing melalui skema penyertaan modal di pasar modal. Selain itu, semua usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dikelompokkan ke dalam industri besar oleh UU nomor 20 tahun 2008. Menurut Harris (2017) secara umum sebagian besar UMKM belum siap mengimplementasikan teknologi industri 4.0 karena terlalu kompleks, dan banyak yang tidak menyadari tentang industri 4.0, serta takut mengimplementasikan industri 4.0 yang dapat
8
membawanya pada kegagalan. Penelitian Muller et al. (2017) memperlihatkan beberapa jenis respon industri kecil dan menengah terhadap revolusi industri 4.0 melalui gambar berikut:
Sumber: Muller et et al. 2017 UMKM memiliki respon yang berbeda terhadap revolusi industri 4.0. Ada tingkatantingkatan sudut pandang yang harus dilalui, d ilalui, mulai dari yang sangat siap dan juga ada yang merasa tidak memerlukannya sama sekali, sehingga dapat dipastikan hanya pelaku tertentu yang dapat memaksimalkan peluang industri 4.0 tersebut. Kondisi ini menunjukan masing-masing UMKM memerlukan kebijakan dan penanganan yang berbeda untuk membantu mereka tumbuh dan berkembang dalam memanfaatkan momentum industri 4.0. Daya saing UMKM Indonesia menurut global value chain (GVC) masih rendah akibat keterbatasan modal keuangan, informasi, kapasitas manajemen, dan teknologi, serta akses terhadap pasar (Wignaraja, 2012). Partisipasi terhadap GVC dapat ditingkatkan dengan meningkatkan foreign linkage, skala usaha, kematangan usaha, inovasi dan akses biaya dan produktivitas (Harvie et al., 2010). Produktivitas UMKM Indonesia hanya sekitar $1.355, sedangkan UMKM Thailand $12.263 dan Malaysia $20.609 (Bank Indonesia, 2017). Berdasarkan data World Bank Enterprise produktivitas tenaga kerja Indonesia menurun sebesar -0,7% pada tahun 2015. Produktivitas tenaga kerja UMKM tahun 2009-2013 masih sekitar 13,3 juta, sedangkan pada rentang waktu yang sama, produktivitas tenaga kerja usaha skala besar mencapai 334,8 juta rupiah. Selain itu, tingkat penguasaan teknologi dan inovasi UMKM Indonesia juga lebih rendah dibandingkan rata-rata negara ASEAN (Bank Indonesia, 2016).
9
5. Faktor-faktor Pengembangan UMKM Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan UMKM diantaranya kebijakan pemerintah (Parsson 1995; Sjaifudian et al. 1997; Mead dan Liedholm 1998), pemasaran (Hubeis 1997; Sjaifuddian et al. 1997; Thoha 2000), Teknologi (Hubeis 1997; Sjaifuddian et al. 1997, Berry et al. 2000), pendapatan per kapita (Anderson 1982; Biggs dan Oppenhegin 1986), permodalan (Sjaifudian et al . 1997), akses ke lembaga keuangan/permodalan (Liedholm, 1993; Tambunan, 1999), sistem informasi (Hubeis 1997), gender (Sjaifuddian (Sjaifuddian et al . 1997), kemampuan manajemen (Hubeis 1997), kemampuan sumberdaya manusia (Yulianus 2014). Faktor internal dianggap lebih banyak memengaruhi kinerja UMKM dibandingkan faktor eksternal, dan skala usaha menengah cenderung memiliki kemampuan bertahan lebih tinggi dibandingkan usaha kecil (Nicolescu, 2009). Penelitian lain menyebutkan pengembangan daya saing UMKM dipengaruhi oleh inovasi, sumberdaya manusia, informasi dan teknologi, dan keunggulan produk (Haq, 2016). 6. UMKM di Era Revolusi Industri 4.0 Revolusi industri 4.0 menuntut perubahan pada sepanjang proses bisnis UMKM yaitu untuk bertahan dan berkembang lebih baik atau tertinggal. Muller et al. (2017) membuat kerangka nilai sebagai dampak industri 4.0 dengan mengelompokkannya menjadi value creation, value offer, value capture sebagai berikut:
Sumber: Muller et al. 2017
10
7. Refleksi Kebijakan Pemerintah Indonesia di Bidang Industri Kebijakan pemerintah selama ini dianggap tidak mampu meningkatkan daya saing industri karena lebih banyak melakukan proteksi yang melindungi UMKM dari persaingan dengan melakukan pendekatan kesejahteraan sosial dibandingkan pendekatan bisnis, misalnya kebijakan bea masuk ditanggung pemerintah p emerintah (BMDTP) 2008-2009 dan penetapan sistem klasifikasi barang tahun 2015 padahal persaingan merupakan lingkungan yang diperlukan untuk tumbuh. (Ameliaet al. 2017). Kebijakan harus berubah dari perlindungan berlebih diganti dengan memberikan fasilitas untuk mendorong produktivitas UMKM melalui perbaikan sumberdaya manusia, strategi pemasaran, inovasi, inova si, kemudahan berusaha, kemudahan akses modal, dukungan infrastruktur, dan siklus bisnis/kondisi ekonomi makro (Bank Indonesia 2016). 8. Kebijakan Pemerintah Negara Lain Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Industri 4.0 berdampak secara global, dan masing-masing pemerintah setiap negara melakukan strategi untuk menghadapinya. China dalam sepuluh tahun terakhir melakukan perubahan penting dalam meningkatkan kapasitas inovasi diantaranya melalui investasi secara besar-besaran di bidang infrastruktur dalam bentuk technology parks sebagai pusat penelitian untuk mengembangkan UMKM, dan sejak tahun 2013 investasi terhadap research and (http://gelookahead.economist.com/).. development (R&D) development (R&D) China berada diatas rata-rata Uni Eropa (http://gelookahead.economist.com/) Jerman merespon industri 4.0 dengan membentuk badan inovasi dengan menyusun strategi penguatan inovasi yang didukung lima pilar utama yaitu kemakmuran dan perbaikan kualitas hidup, memperkuat sumberdaya dan promoting transfer, penguatan inovasi yang lebih dinamis pada industri, menciptakan kondisi inovasi yang lebih baik, serta serta penguatan dialog dan partisipasi (www.hightech-strategie.de 2018). B. Kerangka Strategi Komponen-komponen strategi menghadapi revolusi industri 4.0 dapat dipetakan melalui sudut pandang effective strategy, yaitu dengan menciptakan (create), menangkap (capture), dan mengimplementasikan (deliver) nilai dari revolusi industri 4.0 itu sendiri. Ketiga nilai tersebut dipetakan sebagai berikut: 1) Create yaitu mengidentifikasi peran teknologi, perubahan pasar, dan memetakan peran yang harus diambil pemerintah, dan evaluasi regulasi yang berpotensi menghalangi pertumbuhan bisnis, serta cepat tanggap terhadap regulasi-regulasi baru yang sesuai dengan arah perubahan; 2) Capture, yaitu mendorong industri dengan membangun kapasitas dan kreativitas industri nasional, serta menciptakan tuntutan standar yang dapat mendorong perbaikan yang lebih baik dan insentif terhadap penguasaan teknologi tekn ologi industri 4.0; 3) Deliver yaitu yaitu membuat dan mengimplementasikan strategi sesuai kondisi masing-masing UMKM dengan indikator pertumbuhan yang terukur dan evaluasi yang terus menerus. Pemerintah harus menyadari peran dan posisinya sebagai regulator yang dapat menumbuhkan daya saing industri nasional melalui dukungan kebijakan yang relevan dan tepat sasaran. Kebijakan tersebut dapat berupa intervensi terhadap technological factors, social factors, economic factors, dan political factors yang memberikan keleluasaan UMKM untuk berkembang dan bereksplorasi, misalnya dengan mendorong penguatan pendanaan massal melalui regulasi
11
crowdfunding yang aman, konektivitas melalui crowdsourcing, insentif kreativitas, dan lingkungan inovatif dengan membentuk strategic leader , mendorong percepatan adopsi teknologi dengan membangun infrastruktur teknologi, dan komitmen kestabilan/kebijakan yang berkelanjutan.
Sumber: Grundy 2006 Grundy (2006) juga mengilustrasikan hubungan/keterkaitan antarstrategi five forces porter untuk memahami strategi persaingan kompetitif secara utuh seperti gambar dibawah ini. Berdasarkan ilustrasi tersebut pemerintah dapat mendorong entry barriers, dengan pemanfaatan kearifan lokal, standar lokal semisal memanfaatkan dampak sosial pada komponen keunggulan produk lokal ataupun ataupu n berbasis lingkungan yang berkelanjutan, sehingga menjadi produk dengan ciri khas tersendiri. Kesuksesan strategi ini dapat mengacu pada industri yang berbasis single origin (Geographycal Indication), dan produk yang ramah lingkungan dan berbasis sociocommunity, sehingga mendorong bargaining position industri lokal dan kenggulan di pasar internasional.
12
Sumber: Grundy 2006 Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah juga dapat disesuaikan dengan teori five forces porter sebagai berikut: 1) Relation with suppliers, yaitu membangun keterkaitan antarindustri dengan adanya pusat informasi sumber pasokan bahan baku antarindustri; 2) Relation with buyers, yaitu mendorong keterbukaan industri terhadap produk yang diciptakan melalui teknologi sensor dan traceability products sehingga akan meningkatkan kepercayaan konsumen; 3) New entrants, mendorong starup yang mendorong potensi lokal yang melengkapi ataupun mengembangkan industri yang sudah ada, sehingga meminimalisir new entrants yang mengancam UMKM yang memiliki sumber daya terbatas; 4) Substitute products, mendorong dan memberikan insentif pada industri yang memiliki produk subtitusi berbahan baku impor semisal gandum ataupun substitusi terhadap pangan lokal seperti beras sehingga mengurangi ketergantungan/kecendrungan konsumen pada produk tertentu 5) Rivalry among establish firms, membangun konektivitas dan sharing sumber daya antarindustri lokal dengan mendorong akses pasar global sehingga tidak terjadi perebutan pasar atau persaingan tidak sehat antarindustri seperti yang diinginkan dalam strategi blue ocean.
13
C. Kesimpulan Berdasarkan strategi pemerintah Indonesia di atas, analisa situasional, dan kerangka strategi yang dapat digunakan oleh pemerintah disimpulkan bahwa strategi yang dibuat oleh Kementrian Industri Indonesia belum cukup untuk merangkum pemanfaatan peluang industri 4.0 yang ada di sepanjang rantai industri, dan cenderung terbatas pada langkah persiapan padahal revolusi itu sudah terjadi. Pemerintah perlu melakukan akselerasi kebijakan untuk mengejar ketertinggalan dengan menyusun ulang strategi yang tepat. Eksplorasi menjadi kunci untuk mengadopsi industri 4.0, arahnya terus tumbuh, potensi pengembangannya terus dicari maka pemerintah pun harus melakukan hal yang sama, menemukan tindakan yang workable dengan kondisi industri Indonesia saat ini, serta dan mendorong keaktifan/partisipasi berbagai pihak dalam sebuah ekosistem negara. Kebijakan yang dibuat masih ma sih sempit seperti belum munculnya kebijakan kolaboratif dan pembagian hak dan kewajiban (collaborative and sharing) sebagai bagian dari nilai industri 4.0. Baiknya proporsi anggaran Kemenperin 2018 sudah berorientasi pada teknologi, pengembangan sumber daya manusia dan UMKM sehingga sejalan dengan adopsi industri 4.0, hanya saja perlu diterjemahkan ke dalam strategi yang tepat. Selain itu tuntutan karakter dan kondisi setiap industri yang berbeda-beda tentu membutuhkan kebijakan dan strategi yang juga berbeda, yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, sehingga pemerintah dituntut mampu mengayomi pelaku industri-industri yang ada dengan diwujudkannya stategi kebijakan yang tepat dan cepat sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Pemerintah juga perlu mendorong teknologi dan startup leader yang berorientasi pada pengembangan potensi lokal, sehingga sebagai bagian dari ekosistem yang mendorong terbentuknya lingkungan yang inovatif dan secara snowballing akan meningkatkan inovasi masyarakat. Sebagai contoh, Kabupaten Banyuwangi telah mendorong kerjasama dengan penyedia teknologi dan startup mengembangkan potensi daerahnya, hingga tahun 2017 mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,36%, dan indeks pembangunan manusianya juga tumbuh hingga 68,09% (Fanani 2017). Selain itu, dalam membangun strategi inovasi Indonesia seharusnya melibatkan semua aspek dan pihak termasuk riset dari lembaga perguruan tinggi dan mendorong seed fund dari organisasi swasta maupun pemerintah, sehingga semuanya tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan membangun kesamaan visi v isi dan praktek misi secara bersamabe rsamasama untuk mengambil keuntungan dari industri 4.0. Selain teknologi juga harus ada faktor penting lainnya yang harus dipahami pemerintah. Industri 4.0 memang membawa peluang baru, tetapi tidak serta merta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada sebelumnya. Kenyataan tersebut mengharuskan strategi pemerintah dalam memanfaatkan momentum revolusi industri 4.0 harus mampu menyelesaikan permasalahan yang ada sebelumnya semisal mendorong regulasi permodalan melalui platform crowdfunding, konektivitas antarindustri terkait, dan faktor-faktor pengembangan UMKM yang telah dijelaskan sebelumnya. Di sisi lain, pemerintah yang memilih industri makanan dan minuman menjadi salah satu sektor prioritas, perlu memperhatikan ketersediaan pasokan bahan baku lokal sebagai penopang dari sektor tersebut. Data Kementan (2014) menunjukkan sumber daya manusia petani khususnya
14
di Indonesia memiliki tingkat pendidikan sangat rendah yaitu 42% tidak tamat SD, dan 38% tidak tamat SD, dan presentase yang berpendidikan tinggi hanya 1,3% sehingga dikhawatirkan kemampuan Indonesia menghasilkan baku terus menurun dan tidak mampu memasok kebutuhan industri yang pada akhirnya berujung pada ketergantungan bahan baku impor. Berdasarkan pemaparan di atas maka dibuat beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut: 1. Memberikan insentif dan dorongan yang kuat kepada start-up teknologi yang memberdayakan potensi lokal sebagai upaya perbaikan ekonomi masyarakat. 2. Membangun keunggulan industri lokal dengan menciptakan standarisasi keunikan produk berbasis sosial-lingkungan dan berbasis geografis semisal single origin products. 3. Membuat sistem pendampingan intensif bagi perkembangan UMKM dengan memberikan fasilitas konsultasi dari tenaga ahli sesuai yang sesuai dengan jenis industrinya. 4. Membuat kebijakan tepat sasaran dengan mengelompokkan jenis-jenis masing industri berdasarkan tingkatan kesiapan dan kemampuannya dalam menghadapi industri 4.0. 5. Memberdayakan riset dari lembaga pemerintah maupun kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mendorong teknologi yang dapat diterapkan oleh pelaku UMKM. 6. Mendorong konektivitas antarindustri dengan mendorong pertukaran sumber daya, pengetahuan, maupun penguatan modal, dan membentuk regulasi yang mendukung tumbuhnya platform crowdfunding ataupun crowdsourcing. 7. Membuat kebijakan kolaboratif dengan kerjasama berbagai pihak baik industri besar, investor, pelaku UMKM, badan penelitian, institusi keguruan, hingga perguruan tinggi untuk menciptakan ekosistem industri yang inovatif.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amelia L, Purbolaksono A, dan Syahayani Z. 2017. Analisis peta industri makanan dan minuman di Indonesia. Rekomendasi diskusi terfokus. The Indonesia Instituten Center for Public Policy Research. Bank Indonesia. 2015. Profil bisnis usaha mikro kecil dan menengah. Kerjasama LPPI dan Bank Indonesia. Bank Indonesia. 2016. Pemetaan dan strategi peningkatan daya saing UMKM dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dan pasca MEA 2025 Barlian I, Gomulia B, dan Maria E. 2013. Laporan penelitian peranan modal dari keluarga pada 3 UKM di Bandung. Universitas Katolik Parahyangan: Jurusan Manajemen. Bongiovanni R dan Deboer JL. 2004. Precision Agriculture and sustainability. SpringerLink.Volume 5, Number 4, Page 359 Crandal RE. 2017. Industry 1.0 to 4.0: the evolution of smart factories. APICS magazine. http://www.apics.org/apics-for-individuals/apics-magazine-home/magazine-detail page/2017/09/20/industry-1.0-to-4.0-the-evolution-of-smart-factories page/2017/09/20/industry-1.0-to-4.0-the-evolution-of-smart-f actories David P, B Bannier, E Croguennec, R Sedra. 2016. Agricultural Cooperatives and Digital Technology What are the Impacts? What are the challenges. PwC Report. Engelberthink dan Woudstra, 2017. Managing the influences and risks of industry 4.0. University of Twente, The faculty of Behavioural, Management and Social Sciences. Available: http://essay.utwente.nl/72705/1/Engelbertink_BA_BMS.pdf Erol S, A Schumacher, W Shin. 2015. Strategic guidance towards industry 4.0 — a three-stage process model. Austria. International conference on competitive manufacturing. Fanani A. 2017. Bupati Anas Beberkan Prestasi Banyuwangi dalam Rapat Paripurna [Internet]. Tersedia pada: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3441836/bupati-anas-beberkan prestasi-banyuwangi-dalam-rapat-paripurna GE Look Ahead. 2015. Future Scope: Dr Bruce McKern. Available at: http://gelookahead.economist.com/future-scope/bruce-mckern/ Grundy T. 2006. Rethinking and reinventing Michael Porter's five forces model from strategic change 15 (5) pp.213-229, Chichester: Wiley. DOI: 10.1002/jsc.764 Haq AD. 2016. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) di Kabupaten Bantul. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Harris J. 2017. Industry 4.0 for small and medium med ium enterprise (SME) manufactures. Manufacturing technologies, Rockwell Collins. Harvie C, D Narjoko, dan S Oum. 2010. Firm characteristic determinants of SME participation in production Networks. ERIA Discussion paper 11. Hubeis M. 1997. Menuju industri kecil profesional di era globalisasi melalui pemberdayaan manajemen industri. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kementerian Pertanian. 2014. Analisis Data Kesejahteraan Petani Tahun 2014. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian [Internet]. http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Analisis_Kestan_2014.pdf McKinsey&Company. 2017. Developing digitized industry leaders. Digital capability center Singapore. Mckinsey.com
16
McKinsey&Company. 2018. Industri 4.0: Reinvogorating ASEAN manufacturing for the future. Digital capability center Singapore. Mckinsey.com Muller JM, O Buliga, KI Voigt. 2017. Fortune favors the prepared: How SMEs approach business model innovations in industry 4.0. Elsevier. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2017.12.019 Mutula SM dan PV Brakel. 2007. ICT Skills Readiness For The Emerging Global Digital Economy Among Small Business In Developing Countries: Case study of Bostwana. Emerald Group Publishing Limited. Pp. 231-245. DOI 10.1108/07378830710754992 Nicolescu O. 2009. Main Features of SMEs Organization System. Review of International Comperative Management 10(3). Schlaepfer R, Koch M, dan Merkhofer P. 2015. Industry 4.0 challenges and solutions for the digital transformation and use of exponential technologies. Sigit P, B Pramudya, IW Astika, RPA Setiawan, E Rustiadi. 2009. Sistem informasi geografis dalam pertanian presisis aplikasi pada kegiatan pemupukan di perkebunan tebu. Proceeding. Institut Pertanian Bogor. Sjaifudian H, Haryadi D, Maspiyati. 1997. Strategi dan agenda pengembangan usaha kecil. Bandung: Yayasan Akatiga. The New High-Tech Strategy. 2018. The new high-tech strategy. Tersedia pada: https://www.hightech-strategie.de/de/The-new-High-Tech-Strategy-390.php Thinkspace. 2016. From industry 1.0 to Industry 4.0. http://thinkspace.csu.edu.au/mengh/2016/11/27/from-industry-1-0-to-industry-4-0/ Wignaraja G dan Jinjarak Y. 2012. Why do SMEs not borrow more from banks? Evidence from the People’s Republic of China and Southeast Asia. ADBI Working paper 509.