Koagulasi Darah: Hemostasis dan Regulasi Thrombin Kenichi A.Tanaka, Nigel S. Key, Jerold H. Levy Perdarahan perioperatif merupakan salah satu masalah yang menantang karena saat ini telah terjadi peningkatan penggunaan obat-obatan antitrombotik poten. Memahami konsep koagulasi terkini merupakan hal yang penting dalam menentukan resiko perdarahan preoperatif pada pasien dan penatalaksanaan terapi hemostatik secara perioperatif. Serine protease thrombine memainkan peranan yang penting dalam mengaktivasi sejumlah serine protease zymogens (prekurson enzimatik inaktif), kofaktor dan reseptor permukaan sel. pembentukan thrombin hampi selalu diregulasi secara lokal untuk mencapai hemostasi yang cepat pasca-cedera tanpa harus menimbulkan thrombosis sistemik yang tak terkontrol. Selama pembedahan, terdapat beberapa
gangguan
perdarahan/hemodilusi,
dalam transfusi
koagulasi darah,
dan dan
sistem
inflamasi
stres pembedahan.
karena
Perdarahan
postoperatif (pasca-operasi) seringkali memerlukan transfusi darah alogenik, yang mendukung terjadinya pembentukan thrombin dan hemostasis. Namun, aktivitas prokoagulasi dan inflamasi mengalami peningkatan pada periode pasca-operasi; sehingga, terapi antithrombotik mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi thrombotik perioperatif. Sudah ada beberapa kemajuan dalam penatalaksanaan hemostasis dan thrombosis perioperatif sejak adanya pengenalan obat-obatan hemostatik dan antitrombotik jenis baru. Namun, salah satu keterbatasan terapi terkini adalah uji pembekuan darah konvensional tidak dapat menunjukkan keseluruhan proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh, sehingga kita sulit untuk mengoptimalkan terapi farmakologis. Memahami mekanisme regulasi in vivo dan modulasi farmakologis pembentukan thrombin dapat membantu mengendalikan perdarahan tanpa meningkatkan resiko prothrombik. Dalam tinjauan ini, kami fokus terhadap mekanisme regulasi hemostasis dan pembentukan thrombin dengan menggunakan beberapa model koagulasi sederhana. (Anesth Analg 2009;108:1433– 46)
Darah sudah dianggap sebagai hal yang suci sejak zaman kuno. Karakter huruf China untuk darah berasal dari simbol hieroglif yang artinya adalah ‘hal suci yang disimpan dalam pembuluh’ (gambar 1). Kemampuan untuk mentransformasi komponen darah dari cair menjadi padat merupakan representasi dari aktivasi dan inhibisi enzimatik. Konsep moderen koagulasi diperkenalkan pada tahun 1964 dalam bentuk model Waterfall/Cascade (model riam atau air terjun), yang mana konsep ini dianggap terlalu rumit oleh para non-hematolog (gambar 2A). Model ini telah mengalami sejumlah perbaikan, hingga menghasilkan model berbasis sel yang dapat menguraikan jaringan kompleks ari berbagai elemen koagulasi (gambar 2B). Selama ini, koagulasi darah telah menjadi mekanisme pertahanan yang sangat rumit untuk mendeteksi cedera pada tubuh dan mencegah eksanguinasi (perdarahan berlebihan) agar dapat meningkatkan kemampuan bertahan hidup. Sistem pengawasan aksi koagulasi hemostatik yang terlokalisasi merupakan hal yang sangat penting karena terdapat banyak gangguan integritas vaskuler yang berlangsung setiap saat di sepanjang hidup manusia. Artikel ini menyajikan suatu perspektif terkini mengenai mekanisme dasar koagulasi, hemostasis dan pembentukan thrombin. Mekanisme koagulasi dasar. Untuk memahami evolusi hemostasis, kita harus meneliti sistem koagulasi primitif mahluk invertebrata. Kepitung sepatu kuda (Limulus) sudah ada di muka bumi ini lebih dari 350 juta tahun; sehingga, mereka seringkali disebut sebagai fosil yang hiduo. Di darah Limulus (hemolymph/hemolimfe), oksigen dihantarkan oleh protein hemocyanin yang mengandung tembaga. Sel darah yang bersirkulasi hanya amoebocytes (hemocytes) yang mengandung bakterisida dan protein zymogen koagulasi. Komponen kunci koagulasi Limulus adalah protease serine, protein pembekuan darah (coagulagen/koagulagen, Faktor C), dan transglutaminase (suatu enzim yang menyerupai Faktor XIII). Ketika amaebocyte/amebisit terpapar ooleh endotoksis (di dalam air laut) setelah cedera, protein serine mengkonversi koagulagen menjadi coagulin/koagulin, yang mana komponen ini akan dipolimerisasi oleh
transglutaminase. Sistem koagulasi dasar ini memungkinkan Limulus agar mengisolasi cedera dan patogen yang menginvasi (gambar 3A).
Gambar 1: Huruf China untuk darah. Sebuah garis diagonal di atas simbol piring, berarti ‘persembahan yang diletakkan di atas piring’.
Gambar 2: (A) Model riam konvensional untuk menjelaskan koagulasi (karena bentuk alur mekanismenya menyerupai air terjun). Model air terjun/riam (cascade) terdiri atas dua awalan jalur yang berbeda, jalur intrinsik (kontak) dan ekstrinsik, yang berakhir pada persatuan jalur di tingkat Faktor Xa (jalur bersama). (B) Regulasi pembentukan thrombin. Koagulasi terpicu oleh (terinsiasi oleh) faktor VIIa yang bersirkulasi dan faktor jaringan (TF/tissue factor) lokal. Pembentuka fXa dan thrombin diregulasi oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan antithrombin (AT). Jika sudah mencapai ambang batas, terbentuklah thrombin, lalu thrombin
mengaktivasi platelet, Faktor V, faktor VIII dan faktor XI untuk semakin memperkuat produksi thrombin (efek propagasi/perambatan)
Koagulasi Limulus memiliki beberapa implikasi langsung untuk manusia. Pertama, tes Limulus (amoebocyte lysate) digunakan secara klinis dan komersial untuk mendeteksi kontaminasi bakteri dalam darah, material (seperti mikrochip) dan lingkungan. Kedua, tahap terakhir koagulasi manusia menyerupai Limulus, yakni thrombin (protease serine) mengkonversi fibrinogen (protein pembekuan darah) menjadi monomer fibrin, yang kemudian dipolimerisasi oleh Faktor XIII yang sebelumnya telah teraktivasi oleh thrombin (salah satu jenis transglutaminase) (gambar 3B). Kita dapat bertanya, jika tahap terakhir hemostasis memang sederhana dan sudah efektif selama ratusan juta tahun, lalu apa manfaat sejumlah faktor koagulasi dan jalur kompleks yang ada di tubuh manusia jika kita hanya bertujuan untuk mencapai fungsi pembekuan darah yang sama seperti pada invertebrata? Di antara vertebrata nonmamalia dan mamalia, rangkaian asam amino prothrombin dan fibrinogen telah terbentuk dengan baik. Perbedaan evolusioner antara sistem koagulasi vertebrata dan invertebrata adalah terletak pada kebutuhan untuk menghasilkan thrombosis terlokalisasi dalam suatu jaringan pembuluh darah tertutup bertekanan tinggi yang hanya ditemukan pada vertebrata, sedangkan pada invertebrata, jaringan pembuluh darahnya terbuka dan bertekanan rendah. Inisiasi Koagulasi Sama halnya pada amoebosit yang mendeteksi kebocoran pembuluh darah pada cangkang kepiting tapal kuda, pada manusia, darah yang beredar bereaksi cepat terhadap disrupsi endotel vaskuler untuk membatasi perdarahan. Respon awal hemostatic dipicu oleh Tissue Factor (TF; tromboplastin) yang diekspresikan pada subendotelial perisitdan fibroblast. Acivated factor VII (fVIIa), sebuah protease serin yang normalnya beredar dalam darah dengan konsentrasi rendah, berikatan dengan
lTF untuk mengaktifkan Faktor X menjadi fXa. Selanjutnya, fXa (yang juga merupakan protease serin) menghasilkan sejumlah (0.1-1 nM) thrombin. Terdapat dua inhibitor yang meregulasi respon prokoagulan yang dipicuoleh TF, sehingga membatasi aksi protease serin di lokasi cedera vaskuler (Gambar 2B). Inhibitor jalur faktor jaringan (Tissue factor pathway inhibitor/TFPI) menetralisasi fXa ketika bentuk ini dalam sebuah kompleks dengan TF-fVIIa. Regulator lain respon prokoagulan yang dipicu TF, yaitu antitrombin (AT, sebelumnya disebut antitrombin III; sebuah inhibitor protease serin; SERPIN), yang beredar dalam konsentrasi yang tinggi (150 µg/mL) dan menetralkan pembentukan awal fXa dan thrombin. Sehingga, prokoagulan memicu reaksi hanya terjadi ketika TF terekspos cukup tinggi pada kadar yang melebihi inhibisi TFPI dan AT (Gambar 2B). dalam kata lain, fVIIa mengikuti sirkulasi dalam mencari lokasi kerusakan vaskuler (misalnya dimana TF terekspos), dan melacak jumlah fXa dan thrombin sebagai suara “alarm” adanya bahaya potensia;. Aktivitasi ini dipantau secara ketat oleh inhibitor yang muncul secara alami untuk mencegah “alarm palsu” atau “respon yang terlalu berlebihan”. Propagasi Koagulasi Platelet yang beredar berkontribusi untuk melokalisasi formasi thrombus pada lokasi kerusakan vaskuler dengan pertama-tama berikatan dengan kolagen subendotelial – faktor von Willebrand (vWF) melalui reseptor glikoproten (GP) Ibmereka. Thrombin yang
dihasilkanoleh
TF-fVIIa/fXa
(“jalurekstrinsik”)
mampu
mengaktivasi
perlekatan platelet dengan sekitarnya melalui reseptor protease teraktivasi (protease activated receptors) 1 dan 4 (PAR1 dan PAR4). Platelet yang teraktivasi oleh Trombin memainkan peran yang sangat penting dalam kelanjutan proses koagulasi dalam beberapa cara. Pertama, reseptor platelet GPIbberikatandenganfaktor XI, dan juga melokalisasi FaktorVIII kelokasi disrupsi endotel melalui protein pembawanya vWF. Kemudian, secara terpisah, Faktor V teraktivasi, dilepaskandari platelet αgranulpadaaktivasi platelet. Faktor XI, VIII, dan V dilibatkan dalam mempertahankan respon prokoagulan (“jalur intrinsic”) setelah aktivasi mediasi thrombin (Gambar 2B). Protease serin Faktor XIa memediasi aktivasi Faktor IX menjadi fIXa, dan
fVIIIa sebagai kofaktor fIXa. FaktorIXa, sebuah protease serin mengaktivasi Faktor X menajadi fXa, dan fVa sebagai kofaktor fXa. Dengan tidak adanya fVIIIa atau fIXa, seperti yang terjadi pada Hemofilia A atau B, masing-masing, inisiasi koagulasinya berjalan normal, tapi, tahap propagasinya sangat berkurang (Gambar 2B). pasien dengan hemophilia mengalami perdarahan berulang pada otot dan sendi karena rendahnya ekspresi TF (sehingga, inisiasi koagulasi diredam secara cepat oleh TFPI dan AT). Dengan menggunakan rekombinan fVIIa dosis tinggi (90-120 µg/kg), perdarahan rekuren dapat dikurangi dengan meningkatkan produksu fXa hingga melebihi TFPI dan AT (sehingga memperbaiki pembentukan thrombin) pada pasien hemophilia dengan antibody penghambat melawan Faktor VIII atau Faktor IX. Tiga komponen kunci (substrat, ensim, akselerator [kofaktor]) yang terkonsentrasi padapermukaan platelet teraktivasi dibutuhkan untuk menghasilkan thrombin secara lokal.satu platelet yang teraktivasi thrombin mengekspos lebih dari 12.000 salinan reseptor GPIIb/IIIa yang dapat mengonsentrasi fibrinogen untuk formasi fibrin yang efisien. Lebih lanjut lagi, Faktor XIII turunan plasma dan platelet diaktivasi oleh thrombin menjadi fXIIIa, sebuah transglutaminasi yang secara cepat menyerangkan monomer fibrin. Sehingga, fibrinogen danfaktor XIII terlokalisasi merupakn substrat akhir thrombin yang memiliki peran yang sangat penting dalam menstabilkan penyumbatan hemostatik primer. Pada defisiensi fibrinogen berat, platelet terlokalisasi oleh interaksi vWF-GPIb tapi tidak dapat mengerahkan molekul fibrinogen kereseptor GPIIb/IIIa. Kurangnya formasi fibrin pada permukaan platelet menyebabkan terlepasnya tautan platelet. Secara klinis, situasi ini terlihat sebagai perdarahan rekuren, dan sebuah thrombosis paradoksikal pada afibrinogenemia kongenital. Koagulasi In Vitro Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) sejauh ini merupakan tes skrining yang paling sering digunakan pada abnormalitas koagulasi. Tes ini masing-masing berhubungan dengan jalur ekstrinsik dan intrinsic model Waterfall/Cascade (Gambar 2A). PT awalnya dikembangkan oleh Quick untuk
mengukur kadar prothrombin dengan menambahkan sejumblah besar TF (ekstrak otak kelinci) ke plasma. Sekarang telah dipahami bahwa PT dipengaruhi oleh reduksi Faktor VII, X, V dan prothrombin seperti yang terjadi pada terapi antagonis vitamin K atau penyakit hepar berat (Tabel 1). Pada pemeriksaan PT, jumlah TF yang digunakan untuk memicu pembekuan in vitro lebih besar dibandingkan dengan kondisi in vivo, menyebabkan pembentukan thrombin secara cepat, dan umpan baliknya aktivasi Faktor V (Gambar 2B). Bagaimanapun, jelas bahwa mekanisme koagulasi in vivo tidaksecarapenuh ditunjukkan oleh PT karena perdarahan rekuren terjadi pada hemofilia (defisiensiFaktor VIII ataufaktor IX) meskipunnilai PT normal. Konsentrasi
TF
nampaknyalebihrendahpadain
dimodifikasiuntukmengevaluasi
vivo,
plasma
sehingga,
PT
hemofilikmenggunakan
“tromboplastinparsial” (misalnya fosfolipiddengan minimal TF yang diisolasidari tromboplastin mentah oleh ultrasentrifugasi dan dilusi). Padates PTT (partial thromboplastin time), produksifXadan thrombin mediasi fVIIa dibatasi olehkondisi TF rendah, dan, sebagaihasilnya, aktivitas fIXa dan fVIIIa sebagai alternative sumber fX menjadi penting untuk pembekuan (Gambar 2). PTT selanjutnya dikembangkan untuk reprodusibilitas dengan menambahkan activator kontak (misalnya kaolin, celite, atau asam elagik) menjadi sebuah pemeriksaan yang dikenalsebagaiactivated PTT (aPTT). Denganadanya activator sistemkontak, rentetanaktivasi protease serin terjadi dalam urutan desenden FaktorXIIaXIaIXaXa, menghasilkan pembetukan thrombin
(Gambar
2A).
meskipun
aktivasi
Faktor
XII
oleh
activator
kontaktidakdianggappentinguntuk hemostasis normal (karenapasiendefisiesiFaktor XII tidakberdarah), aPTT sensitive terhadapreduksibesarFaktor XII, XI, IX, VIII, V, danhinggatingkatynglebihrendah, rothrombin (Tabel 1). Rentetanaktivasi protease serine
berjalansangatlambatpadaaPTTkarenakofaktor,
fVIIIadanfVa,
tidaktersediahingga thrombin dihasilkan untuk mengaktivasi mereka (Gambar 2B). sehingga, aPTT digunakan secaraklinis untuk memantau antikoagulasi unfractioned heparin, argatroban, bivalirudin, dan lepirudin (catatan: kalibrasi spesifik dibutuhkan
untuk setiap antikoagulasi), karena semua inhibitor thrombin ini mereduksi aktivasi umpan balik Faktor VIII dan V yang dimediasi oleh thrombin. Meskipun PT/aPTTdapat diguakan untuk memandu antikoagulasi, beberapa batasan penting harus diperhatikan ketika mereka diukur untuk mengevaluasi perdarahan. Secara
perioperative,
perdarahandisebabkanolehdefekkoagulasi
multiple
karenahemodelusi, kehilangankonsumptif, fibrinolysis, penggunaanantikoagulan, hipotermia, dankerusakanmekaniksertametabolik lain. Pentingbahwa PT/aPTT tidak menyediakan informasi interaksi in vivo platelet dengan faktor koagulasi. Platelet teraktivasi mampu secara lokal mengumpulkan faktor koagulasi, dan dengan demikian, tingkat perdarahan di bawah PT / aPTT berkepanjangan dapat bervariasi sesuai dengan jumlah dan / atau fungsi platelet. Selanjutnya, tidak mungkin untuk memperkirakan stabilitas keseluruhan trombus hemostatik menggunakan PT / aPTT karena kedua tes berhenti sebelum fibrin dipolimerisasi oleh fXIIIa. Defisiensi Faktor XIII congenital dikaitkan dengan perdarahan tali pusat dan perdarahan intrakranial, tetapi kekurangan ini tidak terdeteksi oleh skrining PT / aPTT. PT / aPTT juga tetap normal ketika perdarahan disebabkan oleh meningkatnya kerusakan fibrin (yaitu, keadaan hiperfibrinolitik) seperti terjadi defisiensi kongenital α2-antiplasmin. Berbeda dengan PT / aPTT, penggunaan thrombelastografi/metri memungkinkan aktivitas fungsional fibrinogen, Faktor XIII, dan protein fibrinolitik. REGULASI KOAGULASI ENDOTELIAL Endotelium intak memiliki beberapa fungsi antikoagulan yang mempertahankan darah dalam keadaan cairan (Tabel 2). Endotelium melemahkan aktivitas platelet dengan melepaskan oksida nitrat, prostasiklin, dan ecto-ADPase (yang kemudian mendegradasi adenosin difosfat). Ada beberapa inhibitor koagulasi yang diproduksi oleh sel endotel. TFPI yang diturunkan dari endothelium terlokalisir pada permukaannya, dan dengan cepat dilepaskan ke dalam sirkulasi setelah pemberian heparin, mengurangi aktivitas prokoagulan sel TF-fVIIa. Endotel juga mengeluarkan heparan sulfat, glikosaminoglikan yang mengkatalisis aktivitas antikoagulan dari AT. Plasma AT mengikat heparan sulfat yang terletak pada permukaan luminal, dan
membran basal endothelium. Trombomodulin adalah protein endotelium-terikat lain dengan fungsi antikoagulan dan antiinflamasi. Dalam respon terhadap rangsangan prokoagulan sistemik, aktivator plasminogen tipe jaringan (tissue-type plasminogen activator/TPA) dilepaskan secara transient dari Weibel-Palade sel endotel untuk mendukung fibrinolisis. Endotelium diaktifkan oleh respon prokoagulan modulasi inflamasi dengan menyintesis TF, vWF, inhibitor activator plasminogen (PAI) -1, dan PARs. Area permukaan endotelium yang luas membutuhkan perbaikan konstan, dan dengan demikian, platelet dan faktor koagulasi dikonsumsi pada tingkat basal tanpa adanya cedera vaskular klinis yang jelas. Pembentukan thrombin basal (homeostatis) ditunjukkan oleh sirkulasi kompleks trombin-AT dan penanda koagulasi lain (misalnya, protrombin fragmen 1.2) bahkan tanpa adanya perdarahan terbuka. Demikian pula, konsumsi basal platelet berjumlah sekitar 7 x 103 mm-3 per hari (hitungan normal 150-350 x 103 mm-3), tingkat trombosit yang sesuai dengan ambang batas (≤10 x 103 mm-3) untuk perdarahan spontan. Respon hemostatik umumnya terbatas pada lokasi cedera vaskular karena protease serin kunci terikat membran pada permukaan trombosit yang diaktifkan. Relatif sedikit molekul FXA dan trombin dibawa keluar dari lingkungan setempat. Hilir dari cedera vaskular, kompleks TF-fVIIa/fXa dihambat oleh TFPI. Plasma (bebas) FXA dan trombin dengan cepat dinetralisir oleh AT yang terikat denganheparin. Trombin juga
diambil
oleh
endotel
trombomodulin
permukaan-terikat.
Pengikatan
trombomodulin ke Exosite I trombin mengoptimalkan aktivitas katalitik trombin terhadap pembentukan alami antikoagulan protein C dan TAFI (trombin-activatable fibrinolisis inhibitor). Dalam sirkulasi sistemik, protein C (APC) teraktivasi telah terbukti mengerahkan beberapa fungsi antiinflamasi dan sitoprotektif dengan memodulasi reseptor protein C endotel dan protease-activated receptor-1 (PAR-1, reseptor trombin) melalui mekanisme yang masih dalam investigation. TAFI juga memberikan efek antiinflamasi dengan memecah bradikinin dan C5a.
Pelepasan terus menerus FXA, trombin, dan fibrin larut ke dalam sirkulasi sistemik mengarah pada aktivasi sistem fibrinolitik (pelepasan tPA), yang melarutkan fibrin tak larut dan mencegah iskemia yang diinduksi oleh deposisi trombus di organ akhir. Multimer besar vWF juga meningkat selama peradangan, dan mereka diturunkan oleh disintegrin dan metalloprotease dengan motif thrombospondin tipe 1, member 13 (ADAMTS-13), yang juga disintesis oleh sel endotel. Pada pasien dengan thrombositopenik purpura trombotik kronis rekuren, aktivitas ADAMTS-13 yang sangat berkurang (<5%) dapat meningkatkan sirkulasi multimers vWF ultralarge, yang berkontribusi terhadap agregasi platelet dan trombosis intravaskular. PERUBAHAN KOAGULASI PERIOPERATIF Pasien trauma dan bedah memiliki derajat cedera pembuluh darah yang bervariasi. Perdarahan massif menyebabkan pengenceran progresif faktor koagulasi sampai 30% dari normal setelah kehilangan 1 volume darah dan turun ke 15% setelah kehilangan 2 volume darah. Dengan adanya hemodilusi berat ini, inisiasi pembentukan trombin tertunda akibat berkurangnya Faktor VII, dan propagasi terdeuksi dengan pengurangan besar dari procoagulan serin zymogens protease dan akselerator. Efisiensi pembentukan trombin selanjutnya berkurang dengan penurunan jumlah platelet, yang menurun hingga 50 x 103 mm-3 karena kehilangan 2 volume darah. PT dan aPTT juga menunjukkan sebuah "keadaan hipokoagulasi" ketika mereka mendekati lebih dari 1,5 kali normal. Dua substrat trombin penting, fibrinogen dan Faktor XIII juga menurun dengan cepat selama hemodilusi; fibrinogen menurun hingga 100 mg / dL setelah kehilangan 142% dari volume darah. Berkurangnya pembentukan trombin, rendahnya fibrinogen, dan rendahnya aktivitas Faktor XIIIa membuat bekuan fibrin rentan terhadap tPA disebabkan fibrinolisis. Pembentukan bekuan fibrin tidak stabil karena fibrinogen yang rendah dan/atau Faktor XIII menyebabkan pendarahan yang berlanjut, tetapi juga mungkin merupakan akibat dari masalah dalam melokalisasi aktivitas prokoagulan. Fibrin polimerisasi tampaknya memiliki peran dalam mengandung kelebihan trombin dan molekul FXA dalam thrombus. Bahkan, AT I yang awalnya digambarkan sebagai protein antikoagulan
ternyata menjadi fibrin. Dalam hemodilusi parah, protein antikoagulan, termasuk TFPI, AT, protein C, protein S, dan endotelium-terikat trombomodulin, secara progresif menurun. Dengan demikian, prokoagulan dan proinflamasi aktivitas trombin mungkin tidak akan cepat ditekan setelah trombin dilepaskan (dari bekuan lemah di lokasi cedera) ke dalam sirkulasi. Defisiensi baik fibrinogen maupun Faktor XIII tampaknya berkaitan dengan peningkatan penanda plasma dari pembentukan trombin. Terapi hemostatik saat ini untuk perdarahan pasca operasi terdiri dari alogenik fresh frozen plasma, kriopresipitat, dan konsentrat platelet. Baru-baru ini, faktor faktor konsentrat plasma, seperti fibrinogen, Faktor XIII, dan fVIIa rekombinan teraktivasi, telah semakin banyak digunakan pada pasien pasca operasi di sebagai terapi empiris. Komponen-komponen ini memungkinkan pemulihan yang cepat terhadap elemen tertentu dari koagulasi tanpa perlu cross-match, sambil menghindari kelebihan volume intravaskular. Selain itu, risiko penularan infeksi menurun karena mereka dipasteurisasi terhadap virus yang dikenal saat ini. Namun, penelitian tambahan diperlukan untuk membuktikan keamanan mereka dalam kondisi perioperatif karena pasien bedah menunjukkan adanya beberapa defisiensi dalam protein prokoagulan dan antikoagulan. Misalnya, perdarahan perioperatif parah setelah transfusi masif sering ditingkatkan dengan penggunaan rekombinan fVIIa (20-90 µg/kg); Namun, ada beberapa lkasus trombosis sistemik yang dilaporkan. Penuruana faktor dan inhibitor koagulasi pulih setelah operasi selama beberapa hari. Respon inflamasi akut terkait dengan cedera pembuluh darah dan penyembuhan luka sering mengakibatkan peningkatan sitokin, jumlah platelet, fibrinogen, vWF-Factor VIII, dan kadar PAI-1 diatas batas normal. Sintesis TFPI dan AT tidak meningkat, dan ekspresi trombomodulin endotel menurun akibat sitokin inflamasi (misalnya, tumor necrosis factor, interleukin-1β). Ketidakseimbangan elemen prokoagulan dan antikoagulan ini dapat meningkatkan risiko komplikasi prothrombotik pada periode pasca operasi. Penggunaan profilaksis terapi antitrombotik harus dipertimbangkan
berdasarkan jenis operasi, riwayat hematologi, dan karakteristik pasien lain (misalnya, usia, obesitas). KONTROL HIPEKOAGULABILITAS Keseimbangan yang terganggu antara prokoagulan dan antikoagulan elemen koagulasi dapat menyebabkan peristiwa prothrombotik dan berkaitan dengan morbiditas serta mortalitas. Trombosis dapat diinduksi oleh fungsi faktor prokoagulan yang berlebihan atau kegagalan protein antikoagulan untuk menekan respon koagulasi. Kondisi ini mungkin akibat dari perubahan fisiologis (misalnya, penuaan), penyebab herediter, penyakit yang diperoleh (misalnya, penyakit ateromatosa, kanker, sindrom antifosfolipid), obat-obatan (misalnya kontrasepsi oral), dan penyebab iatrogenik (misalnya, stent drug-eluting) (Tabel 3). Insidens trombosis vena dan arteri meningkat secara eksponensial seiring dengan bertambahnya
usia, dan ini dapat dijelaskan, sebagian, akibat penyakit lanjut
ateromatosa, kanker, berbagai prosedur bedah, dan imobilitas. Oklusi trombotik arteri koroner dan serebral berhubungan dengan aktivasi platelet dan koagulasi yang dipicu oleh pecahnya plak aterosklerosis, yang menyebabkan infark miokard dan strok iskemik. Pada pasien kanker, mediator pertumbuhan tumor, termasuk TF dan sitokin lain (misalnya, interleukin-1β), dapat memicu koagulasi dan menurunkan sistem antikoagulan, meningkatkan kejadian tromboembolis vena. Sejumlah obat-obat kemoterapi
juga
dikaitkan
dengan
peningkatan
trombosis
(l-asparaginase,
lenalidomide, tamoxifen, dll). Osteoarthritis dan osteoporosis menjadikan pasien lansia rentan untuk fraktur, dan kemudain mejalani bedah reparatif dan imobilitas, sehinggan meningkatkan risiko trombosis vena. Defisiensi AT, protein C, dan protein S congenital menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengatur pembentukan trombin, dan dengan demikian, mempengaruhi kerentanan individu mengalami trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan emboli paru. Sebuah polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen Faktor V (umumnya Arg506Gln; Factor V Leiden) adalah contoh lain dari regulasi thrombin disfungsional karena inaktivasi yang dimediasi APC pada Factor Va Leiden
lebih lambat dari biasanya. Mutasi Leiden V yang biasa di Eropa utara (heterozigot 5% -10%) meningkatkan risiko untuk trombosis vena oleh tiga sampai delapan kali lipat pada heterozigot, dan hingga 80 kali lipat pada homozigot. Sebuah polimorfisme protrombin (varian G20210A) dikaitkan dengan protrombin plasma tingkat tinggi (>115% dari normal) dan peningkatan risiko trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan emboli paru. sindrom antifosfolipid adalah contoh dari keadaan trombofilik yang diperoleh, dan dikaitkan dengan peningkatan risiko emboli vena dan keguguran. Hal ini ditandai dengan adanya ikatan antibodi fosfolipid (disebut anticoagulant lupus). Meskipun PT dan aPTT memanjang, antibodi lupus tidak mengerahkan antikoagulasi. Sebaliknya, kompleks yang terbentuk antara autoantibodi dan β2-GP I (apolipoprotein H) dianggap mengganggu antikoagulan endogen (misalnya, TFPI, APC) dan meningkatkan koagulasi serta system inflamasi. Meskipun kejadian tromboemboli rendah (3-30 per 10.000 per tahun), penggunaan kontrasepsi oral (kombinasi estrogen dan progestogen) berpotensi dapat menginduksi keadaan prokoagulan. Hal ini disebabkan peningkatan yang Faktor VII, IX, X, dan XIII, dan penurunan AT dan protein S yang diinduksi oleh estrogen.
Gambar 4: Endothelium dan aktivasi protein C. Thrombomodulin (TM) yang diekspresikan pada endothelium intak (utuh) dapat berikatan dengan cepat pada thrombin (fIIa), yang kemudian akan memecah protein C dan thrombin activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI) untuk bisa menghasilkan activated protein C (APC) dan
TAFIa. APC memiliki efek antiinflamasi melalui reseptor protein C endothelial, yang mana hal ini memicu hantaran sinyal sitoprotektif intraseluler. TAFIa juga memiliki efek antiinflamasi dengan cara mendegradasi komplemen (C5a) dan bradikinin. APC mengikat protein S (PS) dan menonaktifkan Faktor V (fV) dan Faktor VIII pada endotelium yang sudah aktif. Inaktivasi fVa mengalami keterlambatan pada Faktor V Leiden. Inaktivasi fVIIIa dapat diperkuat oleh fV.
Gambar 5: Mekanisme prokoagulan heparin-induced thrombocytopenia (HIT). Antibodi IgG (Ab) berikatan dengan kompleks heparin-platelet factor 4 (PF4) pada permukaan platelet. Antibodi ini menginduksi aktivasi platelet dengan cara berikatan dengan reseptor Fc-gamma-RIIA dan menimbulkan mobilisasi kalsium. Aktivasi platelet mendukung pembentukan thrombin sistemik dengan cara mengkatalisasi prothrombinase (kompleks fXa-fVa) dan melepaskan mikropartikel prokoagulan. Pelepasan PF4 dari granule-α platelet juga meningkatkan antigenisitas kompleks PF4heparin.
Gambar 6: Interaksi thrombin (fIIa) dengan fibrinogen, platelet dan DTI. Domain fibrinogen bermuatan negatif dan platelet PAR1 (protease-activated receptor 1) berikatan dengan thrombin melalui Exosite I yang bermuatan positif. Thrombin memecah fibrinogen dan reseptor PAR1 pada domain katalitik, sehingga menghasilkan formasi fibrin dan aktivasi platelet. Argatroban mengikat domain katalitik thrombin, dan menghambat aktivitas enzimatik thrombin. Lepirudin dan bivalirudin mengkiat Exosite I dan domain katalitik thrombin. Setelah diagnosis klinis thrombofilia bermanifestasi dalam bentuk thrombosis arterial dan vena, maka penatalaksanaan antithrombosis profilaksis dan terapeutik biasanya diperlukan untuk mencegah terjadi rekurensi thrombosis, dan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat oklusi vaskuler di organ besar. Karena sejak awal abad ke-20, derivat coumarin dan heparin tak terfraksinasi digunakan sebagai profilaksis dan penatalaksanaan untuk berbagai kondisi thrombosis. Selama lebih dari beberapa tahun terakhir, obat-obatan baru telah dikembangkang, termasuk low molecular weight heparin (LMWH) dan pentasakarida sintetik (Fondaparinux). Dalam sirkulasi arterial, aktivasi platelet dipicu oleh berbagai kondisi thrombosis, suatu proses yang tidak dapat disupresi secara adekuat oleh heparin dan coumarin. Sehingga, terapi antiplatelet merupakan strategi primer untuk mencegah thrombosis arterial. Obat-obatan yang sering digunakan untuk tujuan tersebut adalah aspirin dan
clopidogrel (Plavix). Obat antiplatelet parenteral yang dapat digunakan antara lain inhibitor GP IIb/IIIa, yang mana obat ini dapat diberikan selama intervensi arteri koroner perkutaneus. Beberapa jenis obat antiplatelet IV dan oral saat ini sedang dikembangkan. Seperti yang dirangkum pada tabel 4, ahli anestesi saat ini harus menghadapi berbagai jenis regimen antikoagulan baru yang kompleks. Sehingga kita harus
bisa
memahami
mekanisme
aksi
dan
profil
farmakokinetika
dan
farmakodinamika obat-obatan ini. Antagonis Vitamin K Derivat coumarin saat ini digunakan sebagai satu-satunya obat untuk terapi antikoagulan oral (warfarin untuk daerah Amerika Utara dan phenprocoumon untuk daerah Eropa). Derivat coumarin merupakan antagonis vitamin K yang menghambat gamma-carboxylasi zyomogen protease serine, termasuk prothrombin, Faktor VII, IX, X, protein C, dan protein S. Domain gamma-carboxylasi (yang disebut juga Gladomain) merupakan domain yang penting untuk fungsi enzimatik protein yang bergantung pada vitamin K karena domain protein ini berikatan dengan ion kalsium pada permukaan fosfolipid yang bermuatan negatif. Coumarin dapat mengurangi aktivasi enzimatik protease serine, namun coumarin tidak secara langsung berkompetisi dengan aktivitas thrombin, hal ini berbeda dengan kompleks heparinAT. Prokoagulan (prothrombin, Faktor VII, IX, X) dan antikoagulan (Protein C dan S) juga dapat dipengaruhi oleh derivat coumarin, namun efek klinis akhir antagonis vitamin K adalah antikoagulasi karena pembentukan thrombin tertekan oleh prothrombin nonfungsional dan Faktor X. Namun, selama induksi antikoagulasi oral, fungsi Faktor VII dan protein C langsung hilang karena waktu paruhnya yang singkat (6-9 jam), namun prothrombin dan Faktor X tetap berfungsi selama 2-3 hari (waktu paruh masing-masing, 42-72 jam dan 27-48 jam). Meskipun PT dan international normalized ratio (INR) mengalami pemanjangan akibat penurunan faktor VII, pembentukan thrombin in vivo dari Faktor X residual dan prothrombin dapat terus berlanjut selama induksi coumarin. Normalnya, thrombin melakukan regulasi mandiri
untuk membentuk dirinya sendiri melalui aktivasi APC (inaktivasi fVa dan fVIIIa) setelah berikatan dengan thrombomodulin endotelial (gambar 4), namun penurunan yang drastis pada protein C dapat mengakibatkan pembentukan thrombin yang tak terkendali. Gangren ekstremitas dan nekrosis kulit merupakan salah satu komplikasi thrombosis serius dari coumarin. Penggunaan coumarin tidak direkomendasikan pada fase akut thrombosis (seperti pada heparin-induced thrombocytopenia [HIT]) dan induksi coumarin harus ditimpali oleh heparin (jika tidak ada kontraindikasi) atau direct thrombin inhibitor (DTI) untuk menekan aktivitas thrombin residual. Coumarin cukup efektif untuk antikoagulasi pada pasien yang memiliki katup jantung prostetik, fibrilasi atrial, dan stroke iskemik. Seringkali sulit untuk mempertahankan kisaran terapeutik coumarin (INR 2.0-4.0), karena metabolisme coumarin dipengaruhi oleh faktor genetika, berbagai jenis medikasi, dan diet. Perdarahan gastrointestinal dan traktus urinarius terjadi pada 6.5% pasien coumarin tiap tahunnya, sedangkan perdarahan intrakranial, yang merupakan komplikasi paling serius, terjadi pada 1% pasien tiap tahunnya. Penatalaksanaan coumarin pada pasien yang menjalani pembedahan cenderung lebih sulit karena pemulihan fungsi hemostatik butuh waktu beberapa hari, dan perdarahan atau thrombosis tetap dapat terjadi. Warfarain pada umumnya dihentikan dalam 4 hari sebelum memulai pembedahan untuk menormalisasi INR ketika operasi. Penggunaan vitamin K saja, tidak cukup untuk membalikkan efek coumarin secara akut karena onset aksinya yang lambat (4-6 jam setelah pemberian secara IV). Fresh frozen plasma (FFP) paling sering digunakan untuk tujuan ini di AS, namun dosis 30 mL/kg dibutuhkan untuk mencapai kadar hemostatik faktor pendukung vitamin K. Faktor pendukung vitamin K dapat ditemukan di negara-negara Eropa (yang dikenal juga sebagai konsentrat kompleks prothrombin, yang saat ini belum disetujui penggunaannya di AS). Konsentrat ini membutuhkan volume besar dan waktu yang banyak untuk dapat bekerja pada pasien yang menjalani operasi beresiko tinggi.
Gambar 7: Regulasi fibrinolisis. Fibrin menghasilkan residu lysine yang bermuatan positif, yang menjadi tempat ikatan tissue plasminogen activator (tPA) dan plasminogen (Plg), yang mana ikatan ini menghasilkan plasmin (Plm) pada fibrin. Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) menghambat tPA. Thrombin (fIIa) menimbulkan efek antifibrinolitik dengan cara mengaktivasi Faktor XIII dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). fXIIIa berikatan dengan α2antiplasmin (inhibitor plasmin) dan TAFI pada residu lysine. TAFI yang teraktivasi (TAFIa) memecah residu lysine (tempat ikatan plasminogen) dari fibrin, dan mengurangi aktivasi plasmin. Heparin, LMWH, dan Fondaparinux. Heparin merupakan suatu campuran glycosaminoglycan yang berat molekulnya beragam (3000-30.000 Da). Heparin memiliki efek antikoagulan jika berikatan dengan AT, yang bersirkulasi dalam konsentrasi yang lebih tinggi (150 μg/mL, 2.6 μM) jika dibandingkan dengan prothrombin (90 μg/mL, 1.4 μM) maupun Faktor X (10 μg/mL, 0.17 μM). Fraksi molekul heparin besar dapat mengkatalisis interaksi 1:1 antara AT dan thrombin, sedangkan fraksi molekul heparin kecil mengkatalisis interaksi antara AT dan Faktor Xa (fXa). Meskipun memiliki efek antikoagulan, ada beberapa keterbatasan heparin, seperti waktu paruhnya yang singkat (30-90 menit) setelah injeksi IV, farmakokinetikanya yang sulit diprediksi jika diberikan secara subkutan, hipersensitivitas, dan thrombositopenia. LMWH tersusun atas fraksi heparin yang rantai molekulnya lebih pendek (4000-6000 Da). Jika dibandingkan
dengan heparin tak terfraksinasi, LMWH dan fondaparinux memiliki keunggulan bioavaibilitas, waktu paruh yang lebih panjang (3-6 jam), jarang menimbulkan HIT, dan efek samping perdarahan mayor-nya lebih minimal. Sehingga, LMWH dan fondaparinux lebih sering digunakan untuk mengatasi DVT (deep vein thrombosis) pada pasien perioperatif (Tabel 4). LMWH cenderung lebih selektif terhadap fXa jika dibandingkan dengan heparin karena unit sakarida yang lebih panjang dibutuhkan untuk menjembatani thrombin (Exosite II) dan AT. Fondaparinux merupakan suatu LMWH sintetis yang berikatan dengan lima unit sakarida (pentasakarida). AT yang berikatan dengan fondaparinux hanya menghambat fXa. Obat ini sangat efektif dalam menghambat prokoagulan fXa. Namun, PT dan aPTT tidak sensitif dalam memantau terapi LMWH dan fondaparinux karena produksi fXa yang suprafisiologis dalam PT/aPTT. Pemeriksaan aktivitas anti-fXa spesifik dibutuhkan untuk mengukur efek antikoagulasi LMWH dan fondaparinux. Meskipun komplikasi perdarahan hebat jarang ditemukan pada penggunaan LMWH dan fondaparinux jika dibandingkan dengan heparin, aktivitas anti-Xa AT yang ditimbulkan oleh senyawa ini tidak dapat dibalikkan efeknya secara cepat oleh protamine sulfate. Resiko perdarahan dapat meningkat jika obat-obatan ini tidak dihentikan dalam 12-24 jam sebelum dilakukannya prosedur invasif. Tidak seperti heparin, LMWH lebih banyak diekskresikan pada ginjal dan penurunan dosis LMWH harus dipertimbangkan untuk mencegah komplikasi perdarahan pada pasien yang memiliki bersihan creatinine < 30 mL/menit. Heparin dan derivatnya sangat berguna dalammencegah thrombosis akut dan kronik, namun karena ketergantungannya pada AT, suatu SERPIN endogen, maka hal ini bisa menimbulkan masalah. Khasiat heparin dapat menurun jika aktivitas AT mengalami penurunan (<60%). Meskipun defisiensi AT kongenital jarang ditemukan, defisiensi AT dapatan ditemukan pada 10%-20% pasien yang menjalani bedah jantung, yang mana mereka ini merupakan yang sering mendapatkan terapi heparin praoperatif karena heparin meningkatkan kecepatan daur AT. Kondisi klinis lain yang
berhubungan dengan kadar AT yang rendah antara lain kehamilan, luka bakar berat, disfungsi hati, sindrom nefrotik, sepsis, dan penggunaan estrogen, atau Lasparaginase. Heparin berikatan dengan beberapa protein plasma seperti platelet factor 4 (PF4, suatu chemokine yang dilepaskan dari platelet). Pada sekitar 50% pasien yang mendapatkan heparin selama bedah jantung, dapat ditemukan antibodi IgG yang melawan kompleks heparin-PF4. Pada sejumlah pasien yang menjalani bedah jantung (1%-3%), dapat terjadi suatu kondisi thrombositopenia dan keadaan prothrombosis, yang disebut juga dengan HIT. Insidensi HIT (5%) cenderung lebih banyak ditemukan pada pasien bedah ortopedi yang mendapatkan heparin untuk thromboprofilaksis selama lebih dari 2 minggu. In vivo, kompleks PF4-heparin pada permukaan platelet dapat mengaktivasi platelet dengan cara berikatan silang pada reseptor Fc-gamma-RIIa sehingga hal ini menimbulkan mobilisasi kalsium (gambar 5). Proses ini mengakibatkan pelepasan isi granul platelet dan mikropartikel prokoagulan, yang mendukung pembentukan thrombin. Dengan demikian, HIT merupakan suatu kondisi prokoagulan, meskipun sebenarnya terjadi thrombositopenia (50-60 x 103 mm-3). Jika HIT dicurigai terjadi dan ditemukan titer antibodi HIT, maka heparin dan LMWH haus dihentikan dan penggunaan DTI dapat dipertimbangkan. Jika riwayat HIT sudah lama (>3 bulan) dan titer antibodi masih rendah, maka lebih aman memberikan heparin, terutama untuk prosedur operasi pintasan jantung (cardiac bypass). Hal ini karena respon imunitas HIT tidak berhubungan dengan respon anamnestik.
Inhibitor langsung pada thrombin (Direct thrombin inhibitor) Setelah terjadinya aktiviasi proteolitik oleh fXa, thrombin berikatan secara cepat dengan platelet dan fibrinogen melalui Exosite I (lokasi ikatan anion, gambar 6). Thrombin mengaktivasi platelet dengan memecah reseptor PAR1 dan PAR4 pada permukaan platelet dan menghasilkan fibrin dengan cara melepaskan Fibrinopeptide
A dan B. DTI berkompetisi dengan platelet dan fibrinogen untuk berikatan dengan thrombin Exosite I dan/atau lokasi katalitik (Tabel 4; Gambar 6). Argatroban merupakan salah satu lokasi katalitik inhibitor thrombin, sedangkan bivalirudin dan lepirudin merupakan inhibitor bivalen yang mengikat Exosite I dan lokasi aktif (gambar 6). DTI memiliki efek antikoagulan yang tidak bergantung pada AT endoten, dan agen ini ini memiliki ukuran molekul yang lebih kecil jika dibandingkan dengan heparin (Tabel 4). Dengan demikian, DTI menghambat ikatan thrombin pada fibrin, sedangkan kompleks heparin-AT tidak melakukannya. Indikasi penggunaan DTI antara lain antikoagulan untuk HIT, intervensi perkutaneus koroner, dan untuk kondisi kontraindikasi heparin (seperti pada kasus alergi heparin). DTI memiliki efek antithrombik yang poten di arteri dan vena dengan cara menghambat thrombin agar tidak mengaktivasi platelet, Faktor V, dan VIII. Pada pasien HIT, DTI efektif dalam mengurangi komplikasi thrombosis seperti hilangnya ekstremitas. Komplikasi perdarahan penggunaan DTI merupakan salah satu hal yang dikhawatirkan dari penggunaan DTI karena saat ini belum ada antidot untuk DTI. Penyesuaian dosis berdasarkan aPTT merupakan hal yang penting dalam mengurangi komplikasi perdarahan jika inhibitor bivalen digunakan pada pasien gangguan ginjal. Argatroban membutuhakn penurunan dosis pada pasien yang mengalami insufisiensi hepatis. Perbedaan berat molekul pada beberapa jenis DTI memiliki implikasi klinis. Antikoagulan DTI harus dipantau dengan aPTT, diharapkan agar aPTT tetap dipertahankan pada batasan dua hingga tiga kali lipat dari nilai normal. Meskipun lepirudin dan argatroban digunakan pada konsentrasi yang sama pada HIT tunggal, konsentrasi milar argatroban cenderung lebih tinggi dari lepirudin. Pemanjangan PT yang timbul akibat inhibisi thrombin yag berlebihan, cenderung lebih sering ditemukan pada argatroban jika dibandingkan dengan lepirudin meskipun berada pada kadar terapeutik. Pemeriksaan fibrinogen dengan menggunakan metode Clauss juga cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan lepirudin karena penambahan
reagen bovine akan dihancurkan oleh lebih banyak molekul argatroban meskipun masih dalam kadar terapeutik. Meskipun menjadi obat inhibitor thrombin oral pertama, ximelagatran ditarik dari pasar karena obat ini berhubungan erat dengan disfungsi hati, sedangkan obat DTI oral dan IV terbaru hingga saat ini masih dalam tahap percobaan klinis. Golongan obat baru yang merupakan inhibitor faktor Xa (seperti rivaroxaban dan apixaban) merupakan obat-obatan yang paling maju perkembangannya. Perbedaan golongan antara anti-Xa dan DTI dapat memberikan keleluasaan pada kita untuk memiliki terapi antithrombotik sesuai profil farmakokinetika, jenis intervensi, dan kondisi yang mendasari. Obat-obatan Fibrinolitik Intervensi akut dengan obat-obatan fibrinolitik dapat menyelamatkan hidup pasien yang mengalami emboli paru-paru, stroke iskemia (seperti oklusi arteri serebri media), dan pasien yang mengalami infark myokardial akut tanpa harus melakukan intervensi perkutaneus koroner. Komplikasi perdarahan (5%-30%) dapat terjadi jika fibrinolitik diinjeksikan secara sistemik maupun secara langsung ke arteri yang terserang oklusi. Saat ini fibrinolitik yang tersedia antara lain streptokinase, urokinase, dan tPA. Obat-obatan ini mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin, suatu protease serine yang mendegradasi fibrin (ogen) dan Faktor V dan VIII. Di praktek klinis, tPA merupakan jenis obat yang paling sering digunakan karena efek katalitiknya yang terlokalisasi pada aktivasi plasminogen jika terdapat fibrin. Aliran darah ke thrombus merupakan hal yang vital dalam penghantaran tPA, sehingga aktivasi fibrinolisis yang terlokalisasi melalui pemberian obat lewat kateter dianggap lebih baik jika dibandingkan dnegan pemberian sistemik. Fibrinolisis yang terinduksi oleh tPA biasanya diatur oleh inhibitor protease. PAI-1 merupakan suatu inhibitor protease serine yang disintesis dalam hati dan endothelium, dan ekspresinya meningkat pada kondisi inflamasi. PAI-1 berikatan
dengan cepat pada tPA di plasma , saat berikatan, tPA mengalami netralisasi; PAI-1 juga menghambat urokinase namun tidak pada streptokinase. Plasminogen dan tPA berikatan pada residu lysine yang bermuatan positif pada permukaan fibrin. Pada sirkulasi sistemuk, plasmin dihambat dengan cepat oleh α2-antiplasmin, namun plasmin yang berikatan dengan fibrin cenderung lebih resisten terhadap α2antiplasmin (gambar 7). Thrombin memodulasi aktivasi fibrinolitik dengan cara mengaktivasi FXIIIa dan TAFI. Faktor XIII bersirkulasi dalam bentuk heterotetramer yang terdiri atas dua subunit A dan dua subunit B (platelet juga mengandung subunit A Faktor XIII dalam sitoplasmanya). Monomer fibrin mengalami ikatan silang dengan subunit A aktif dari Faktor XIIIa, yang membuat fibrin lebih resisten dari berikatan dengan α2-antiplasmin dan TAFI pada fibrin. konsentrasi thrombin lokal yang tinggi (sekitar 150 nM) dapat tercapai karena aktivasi TAFI, dan aktivasi TAFI akan memecah residu lisin dari permukaan fibrin, sehingga hal ini mencegah ikatan tPA dan plasminogen. APC dan Thrombomodulin Pada orang sehat, pembentukan thrombin untuk hemostasis terjadi secara lokal karena aktivitas antikoagulan pada sel endotelial dapat menghambat pelepasan sistemik thrombin dan protease prokoagulasi lainnya. APC merupakan protease serine yang unik karena memiliki sifat antikoagulan dan antiinflamasi. Protein C zimogen APC bersirkulasi dalam plasma dengan konsentrasi 4-5 μg/mL (0.08 μM) dan diaktivasi secara proteolitik oleh thrombin. Dalam thrombus, tingkat aktivasi protein C mengalami keterbatasan karena kadar fibrinogen plasma yang tinggi (2500 μg/mL, 7.6 μM), sehingga fibrinogen yang lebih banyak dipecahkan oleh thrombin. Namun, ketika thrombin bebas berikatan dengan thrombomodulin endothelial, protein C dapat teraktivasi oleh APC karena thrombodulin memblokade ikatan antara fibrinogen dengan thrombin Exosite I (gambar 4 dan 6). APC menginaktivasi Faktor Va dan Faktor VIIIa, dua kofaktor yang penting dalam pembentukan thrombin (gambar 2B). fungsi Protein S adalah sebagai kofaktor untuk aktivitas enzimatik APC. Kadar
Protein C yang sangat rendah berhubungan erat dengan thrombosis, seperti pada kasus purpura fulminans dan nekrosis kulit yang terinduksi oleh warfarin. Percobaan acak prospektif mengenai APC pada pasien yang mengalami sepsis berat menunjukkan bahwa APC dapat menurunkan tingkat kegagalan organ dan tingkat kematian. Perbaikan tingkat bertahan hidup pada pasien sepsis terjadi karena adanya efek antiinflamasi (bukannya efek antikoagulan) APC. Peranan antiinflamasi APC dimediasi oleh inaktivasi reseptor protein C endotelial, sehingga hal ini memicu sinyal sitoprotektif intraseluler. Kesimpulan Koagulasi darah memainkan peranan penting dalam menjaga agar tidak terjadi kehilangan darah dan dalam proses perbaikan pembuluh darah yang cedera (luka). Seiring dengan bertambahnya usia, cedera vaskuler dapat terjadi melalui berbagai proses penyakit (seperti atherosklerosis, diabetes), yang mana hal ini dapat mengakibatkan aktivasi yang tidak perlu pada respon prokoagulan dan proinflamasi, sehingga hal mengakibatkan oklusi vaskuler thrombotik. Beberapa jenis obat antithrombotik dan antiplatelet telah berhasil dikembangkan untuk mencegah komplikasi vaskuler pada pasien yang rentan dengan menggunakan teknik sintesis kimiawi dan perancangan biomedis. Namun, penatalaksanaan hemostatik perioperatif semakin meningkatkan komplikasi karena adanya kebutuhan untuk mengurangi perdarahan
tanpa
menimbulkan
komplikasi
thrombosis.
Meskipun
begitu,
pemahaman kita mengenai sistem koagulasi telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa abad terakhir, dan perkembangan teknologi juga telah menghasilkan sistem pemeriksaan koagulasi yang lebih terspesialisasi, sehingga kita dapat memantau berbagai fase koagulasi darah. Termasuk pemeriksaan fungsi platelet (agregasi), thrombelastography/metry, dan pemeriksaan pembentukan thrombin yang terkalibrasi. Pemantauan koagulasi akan menjadi topik yang penting di masa depan karena intervensi hemostatik semakin mengalami peningkatan seiring dengan adanya penggunaan konsentrat faktor rekombinan, yang merupakan tambahan untuk terapi
konvensional yang sudah ada sebelumnya, seperti fresh frozen plasma (FFP) dan kryopresipitat. Validasi dan penggunaan alat pemantau koagulasi akan dapat membantu kita dalam meningkatkan pemahaman dan penatalaksanaan mengenai cara menyeimbangkan fungsi hemostatik dan antithrombotik dalam koagulasi darah.