Vol. II, No. 7, Juli 2017
Jurnal Akuntansi dan Manajemen (Jurakunman)
MINAT MAHASISWA UNTUK MENJADI WIRAUSAHAWAN (Studi Kasus: Mahasiswa Universitas Pelita Harapan)
Oleh: Zoel Hutabarat Universitas Pelita Harapan
[email protected] Abstrak Dunia usaha menjadi tulang punggung perekonomian bangsa Indonesia dan masyarakatnya. Saat ini semakin banyak pengusaha-pengusaha bermunculan terutama pengusaha usia muda. Kapan pengusaha-pengusaha ini mulai belajar berusaha? Siapa yang mengajari mereka? Apa dan bagaimana memulai sebuah usaha? Pertanyaan ini kerap muncul diantara mahasiswa karena keingintahuan dan mencoba meniru untuk menjadi pengusaha. Kewirausahaan sejatinya dimulai dari dalam diri sendiri, bagaimana seseorang memiliki niat, keyakinan pribadi yang kuat dan disiplin untuk menjadi pengusaha. Tentunya hal ini juga dibantu oleh lingkungan nya yang tak lain adalah keluarga dan teman bermainnya. Artinya menjadi seorang pengusaha itu dapat dipelajari. Pendidikan formal kewirausahaan juga memiliki peran dalam pembentukan pola pikir kewirausahaan mahasiswa. Namun bagian mana yang memberi pengaruh paling besar dalam diri mahasiswa untuk menjadi pengusaha? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan depth interview dan studi literatur serta responden nya adalah mahasiswa Universitas Pelita Harapan. Kata kunci: kewirausahaan, metode kualitatif, self-efficacy, niat menjadi wirausaha. 1. Latar Belakang Saat ini, ragam profesi dan bidang usaha semakin berkembang, salah satunya adalah wirusaha. Banyak orang yang menyebut dirinya adalah seorang pengusaha atau pewirausaha dengan hanya menjual produk pada media sosial. Banyak istilah yang muncul untuk menyebut pengusaha sebagai pewirausaha, pedagang, atau bahkan tukang jualan atau penjual, semua hanya soal istilah. Kewirausahaan didefinisikan sebagai proses dimana individu mengejar peluang tanpa tergantung kepada sumber daya yang saat ini mereka kuasai untuk tujuan pemanfaatan barang dan jasa di masa depan. Seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki intensi atau niat, keinginan, untuk membuat suatu hal yang baru atau menambahkan nilai kepada suatu produk atau jasa tidak hanya pada bentuk akhirnya namun juga pada proses-proses pendukung pembuatan produk atau tersebut agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi konsumen. (Barringer & Ireland, 2016). Seiring meningkatnya minat kalangan muda menjadi wirausaha, institusi pendidikan di Indonesia mulai menawarkan pendidikan tinggi dengan konsentrasi kewirausahaan atau entrepreneurship yang dikemas ke dalam berbagai bentuk atau istilah seperti Sociopreneur, Technopreneur, dan sebagainya. Kurang lebih sejak 10 tahun terakhir perkembangan perguruan tinggi dengan jurusan manajemen dan konsentrasi kewirausahaan mulai berkembang dan memiliki banyak peminat. Jauh sebelum perguruan tinggi menawarkan jurusan kewirausahaan, banyak orang yang sudah memulai untuk membuat usahanya sendiri atau yang sekarang dikenal dengan startup. Tidak diketahui pasti apa latar belakang pendidikan dari orang-orang yang telah mendirikan usahanya sendiri selama ini namun yang pasti ketika ditanyakan kebanyakan menyebutkan untuk memenuhi kebutuhan dan hidup keluarga, kepepet, dan alasan lainnya. Pertumbuhan startup dan wirausaha muda di indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun (Eka, 2010). Hal ini juga disadari oleh pemerintah, pemilik modal, dan pihak-pihak lainnya sehingga untuk mendukung semangat kewirausahaan ini mulai muncul berbagai macam seminar-seminar dan lomba yang 22
berlatar belakang entrepreneurship, dan bahkan tren baru yang terdapat di masyarakat adalah adanya sebuah tempat yang memang diciptakan khusus untuk memfasilitasi wirausaha untuk bekerja, berinteraksi satu dengan lainnya. Belum lama ini, pemerintah Indonesia sangat mendukung pertumbuhan startup baru, hal ini dapat dilihat melalui regulasi dan peraturan-peraturan yang sedang dan akan dibentuk untuk memudahkan startup untuk tumbuh di indonesia. Pemerintah memberikan dukungan berupa pembentukan kebijakan dan deregulasi sehingga meningkatkan intensi masyarakat untuk menjadi wirausahawan. (Ryza, 2016) Namun kembali lagi apakah semua startup baru yang didukung pemerintah ini memiliki latah belakang pendidikan kewirausahaan? Atau para pengusaha start up ini belajar secara otodidak? Sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi, Universitas Pelita Harapan (UPH) telah menyadari peningkatan minat pada jurusan manajemen konsentrasi kewirausahaan. Di UPH sendiri konsentrasi kewirausahaan baru dibentuk kurang lebih 5 tahun yang lalu. Konsentrasi kewirausahaan di UPH merupakan konsentrasi yang unik karena pada konsentrasi ini mahasiswa akan dibimbing untuk membentuk sebuah usaha baik individual maupun berkelompok. Didukung dengan pengajar yang memiliki latar belakang beragam, tidak hanya akademisi namun juga orang yang telah sukses di dunia bisnis. Tidak hanya diberikan bekal mengenai hal-hal berbau manajerial, namun juga diajarkan mengenai keuangan, etika kerja, pemasaran, sampai valuasi sebuah usaha. Untuk masuk dalam konsentrasi ini, mahasiswa harus melewati tahap seleksi dimana mahasiswa diminta membuat sebuah rencana bisnis lalu dipresentasikan kepada juri yang merupakan pengajar di konsentrasi ini. Hal inilah yang membuat konsentrasi ini berbeda dengan konsentrasi lain seperti keuangan, pemasaran, bisnisi insternasional, dan manajemen sumber daya manusia. Sebagai institusi pendidikan, dengan membuka konsentrasi kewirausahaan tentunya UPH ingin mencetak lebih banyak lagi wirausaha-wirausaha muda. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan jumlah lulusan fakultas ekonomi Universitas Pelita Harapan sebelum dan sesudah dibukanya konsentrasi kewirausahaan. Sebelum konsentrasi kewirausahaan dibuka, mahasiswa yang menjadi pengusaha sekitar 40%, saat ini setelah dibuka konsentrasi kewirausahaan jumlah mahasiswa yang menjadi pengusaha sekitar 60% dan itu sudah dimulai sejak mahasiswa belum menyelesaikan studi mereka. Hal inilah yang menjadi dasar pertanyaan peneliti mengenai pertumbuhan minat mahasiswa untuk menjadi seorang wirausahawan di kampus UPH khususnya setelah mahasiswa mendapatkan ilmu kewirausahaan. Apakah mereka hanya mengikuti tren atau memang benarbenar memiliki niat untuk menjadi pengusaha? Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi kontribusi bagi UPH dan kampus-kampus lain untuk melihat peluang pengembangan dunia usaha yang dimulai dari sektor pendidikan. 2. Tinjauan Pustaka Kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai proses dimana individu mengejar peluang tanpa memperhatikan sumber daya saat ini mereka kendalikan untuk tujuan mengeksploitasi barang dan jasa di masa mendatang (Barringer & Ireland, 2016). Selain itu, seorang pengusaha adalah orang yang bekerja sendiri yang dimulai dari mengatur, mengelola, dan bertanggung jawab untuk bisnis. Pengusaha menerima risiko atas keuangan pribadi dengan memiliki bisnis tetapi juga memberi manfaat langsung dari potensi keberhasilan bisnis. Menjadi seorang pengusaha sering dipandang sebagai pilihan permusuhan karir yang dihadapkan dengan kehidupan, pekerjaan dan situasi sehari-hari yang penuh dengan peningkatan ketidakpastian, hambatan, kegagalan, dan frustrasi yang berhubungan dengan proses penciptaan perusahaan baru (Campbell, 1992). Proses kewirausahaan, yang didefinisikan oleh Bygrave dan Hofer (1991) sebagai fungsi, kegiatan dan tindakan yang berhubungan dengan persepi peluang dan penciptaan organisasi. Kewirausahaan tidak lebih dari disiplin, dan disiplin itu bisa dipelajari (Drucker, 1985). Poin utama Peter Drucker sebagai Bapak Manajemen dan inovasi, adalah bahwa inovasi bukan merupakan kegiatan terbatas pada kelas khusus segelintir orang namun terbuka buat siapa saja yang benar-benar mempunyai keinginan dan disertai disiplin dalam menjalankannya. Salah satu faktor didalam ke Self-efficacy dipengaruhi oleh faktor-faktor kontekstual seperti pendidikan dan 23
pengalaman masa lalu (Hollenbeck & Hall, 2004). Self-efficacy merupakan salah satu komponen inti dari model niat kewirausahaan dan sebagian besar dioperasionalkan sebagai kelayakan, meskipun ada beberapa perbedaan teknis halus antara mereka (Ajzen, 2002; Segal, Borgia & Schoenfeld, 2005). Bahkan, pendidikan meningkatkan efektivitas kewirausahaan mahasiswa melalui penyediaan pengalaman penguasaan, model peran, persuasi sosial dan dukungan dengan melibatkan mereka dalam tangan-kegiatan pembelajaran, pengembangan rencana bisnis, dan berjalan simulasi atau usaha kecil yang nyata (Fiet, 2000; Segal, Borgia & Schoenfeld, 2005). Menjadi wirausaha memiliki beban dan tantangan tersendiri dimana semua itu dimulai dari dalam diri sendiri. Keinginan untuk menjadi pengusaha didasarkan atas adanya self-efficacy, tindakan proaktif dan keberanian akan resiko yang diambil yang dihadapi oleh pengusaha. Selfefficacy adalah keyakinan pribadi yang kuat dalam hal keterampilan dan kemampuan untuk memulai tugas dan menyelesaikannnya hingga sukses (Bandura, 1997). Keterampilan yang diperlukan oleh pengusaha terbagi ke dalam tiga kategori yang berbeda: keterampilan teknis, keterampilan manajemen bisnis, dan keterampilan kewirausahaan pribadi. Keterampilan teknis termasuk tertulis dan komunikasi lisan, manajemen teknis, dan keterampilan mengorganisir. Keterampilan manajemen bisnis termasuk keterampilan manajerial seperti perencanaan, pemasaran, pengambilan keputusan dan akuntansi. Pengusaha juga harus memiliki keterampilan pribadi seperti inovasi, pengambilan risiko, dan ketekunan (Henry et.al, 2005) 2.1 Minat Berwirausaha Keinginan menjadi wirausaha adalah elemen penting untuk membentuk kebiasaan orang menjadi seorang wirausaha (Pribadi, 2005). Ini merupakan sebuah keadaan pemikiran yang mengarahkan dan membimbing aktifitas dari individu, wirausaha, yang mengarah kepada pengembangan dan penerapan sebuah konsep bisnis baru (Bird, 1998). Minat berwirausaha adalah keinginan, ketertarikan serta kesediaan untuk bekerja keras atau berkemauan keras untuk berdikari atau berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merasa takut dengan risiko yang akan terjadi, serta berkemauan keras untuk belajar dari kegagalan(Fu’adi, dkk., (2009:92), Sedangkan menurut Santoso (Fu’adi, dkk., 2009:92), minat wirausaha adalah gejala psikis untuk memusatkan perhatian dan berbuat sesuatu terhadap wirausaha itu dengan perasaan senang karena membawa manfaat bagi dirinya maupun orang lain. Minat berwirausaha dapat dilihat sebagai niat untuk menciptakan suatu organisasi atau usaha baru atau sebagai prilaku yang berani mengambil risiko untuk memulai bisnis baru (Edy Dwi Kurnianti, 2015). Minat berwirausaha adalah pilihan aktivitas seseorang karena merasa tertarik, senang dan berkeinginan untuk berwirausaha serta berani mengambil risiko untuk meraih kesuksesan (Suryana,2011). Menurut Santoso dalam Maman Suryaman (2006: 22) minat wirausaha adalah gejala psikis untuk memusatkan perhatian dan berbuat sesuatu terhadap wirausaha itu dengan perasaan senang karena membawa manfaat bagi dirinya. Inti dari pendapat tersebut adalah pemusatan perhatian yang disertai rasa senang. Menurut Aris Subandono, minat wirausaha adalah kecenderungan hati dalam diri subjek untuk tertarik menciptakan suatu usaha yang kemudian mengorganisir, mengatur, menanggung risiko dan mengembangkan usaha yang diciptakannya tersebut. Menurut Edy Dwi Kurniati (2015: 71-72) yang memepengaruhi minat berwirausaha secara garis besar dapat diklompokkan menjadi dua faktor, yaitu: pertama factor Intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul karena penagruh rangsangan dari dalam individu itu sendiri yaitu pendapatan, Harga diri, perasaaan senang. Faktor Ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi individu karena pengaruh rangsangan dari luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi individu karenan pengaruh rangsangan dari luar yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, peluang, dan pendidikan. Minat berwirausaha tidak dibawa sejak lahir tapi tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi tumbuhnya keputusan untuk berwirausaha merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor yaitu karakter kepribadian seseorang dan lingkungannya. Menurut Lambing dan Kuehl (2007), hasil penelitian terbaru menunjukkan ada empat hal yang mempengaruhi keputusan berwirausaha, yaitu diri pribadi, lingkungan budaya, kondisi sosial, dan kombinasi dari ketiganya. Sedangkan menurut Hisrich, et al. (2005: 18) dan Alma (2010: 12), faktor yang mempengaruhi minat wirusaha adalah lingkungan pendidikan, kepribadian seseorang dan lingkungan keluarga.
24
2.2 Pendidikan Kewirausahaan Pendidikan kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan lembaga pendidikan untuk menanamkan pengetahuan, nilai, jiwa dan sikap kewirausahaan kepada mahasiswa dan peserta didik guna membekali diri menjadi manusia yang mandiri, kreatif dan inovatif. Hal ini juga bertujuan untuk menciptkan wirausahawirausaha baru yang handal dan berkarakter dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan kewirausahaan adalah cara mengatasi pengangguran dan kemiskinan, dan menjadi tangga menuju impian setiap masyarakat untuk mandiri secara finansial, memiliki kemampuan membangun kemakmuran individu, sekaligus ikut membangun kesejahteraan masyarakat (Jamal Ma’mur Asmani 2011). Menurut Agus Wibowo (2011, 76), terdapat dua cara untuk menanamkan mental kewirausahaan kepada para mahasiswa di kampus. Pertama, mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum. Kedua, aktivitas ekstrakurikuler mahasiswa perlu dikemas sistemik dan diarahkan untuk membangun motivasi dan sikap mental wirausaha. Pendidikan kewirausahaan secara umum adalah proses pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum terintegrasi yang dikembangkan di sekolah maupun diperguruan tinggi. Minat adalah kecenderungan yang menetap dalam subyek untuk merasa tertarik pada bidang tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam hal itu (Winkel dan Widiyatnoto, 2013, 5). Menurut Suhartini (2011, 44), minat adalah seperangkat mental yang terdiri dari suatu campuran perasaan, harapan, pendirian, kecenderungan yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu. Sedangkan menurut Hurlock (1993:144), minat merupakan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang untuk melakukan apa yang mereka inginkan dan mereka bebas memilih. Bahkan, pendidikan meningkatkan efektivitas kewirausahaan mahasiswa melalui penyediaan pengalaman penguasaan, model peran, persuasi sosial dan dukungan dengan melibatkan mereka dalam tangan-kegiatan pembelajaran, pengembangan rencana bisnis, dan berjalan simulasi atau usaha kecil yang nyata (Fiet, 2000; Segal, Borgia & Schoenfeld, 2005). Selanjutnya, pendidikan memainkan peran penting dalam mengembangkan efikasi kewirausahaan siswa melalui melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan kewirausahaan dan meningkatkan keinginan mereka untuk melangkah ke penciptaan usaha dengan menyoroti manfaat, nilai-nilai dan keuntungan kewirausahaan (Segal, Borgia & Schoenfeld, 2005); serta mendorong dan mendukung mereka untuk start-up bisnis mereka sendiri. Teori menunjukkan bahwa pendidikan yang ditargetkan dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan tingkat self-efficacy. Menurut Maina (2011: 448), seorang wirausaha menemukan peluang dalam kewirausahaan bergantung kepada informasi yang berhasil dikumpulkan dan diolah oleh wirausaha itu sendiri. Informasi ini dapat diperoleh dari program pendidikan yang bertujuan membangun pengetahuan dan kemampuan baik tentang atau untuk tujuan kewirausahaan, umumnya, sebagai bagian dari program pendidikan yang diakui pada tingkat pendidikan dasar, menengah atau pun lanjutan (Corduras et al., 2010). Institusi pendidikan memiliki dampak yang positif pada keinginan berwirausaha dengan mengajarkan keahlian dan membagi pengetahuan berwirausaha (Peterman & Kennedy, 2003; Rae, 2006). Kewirausahaan menjadi isu yang cukup hangat dibicarakan hingga saat ini. Isu ini melibatkan banyak stakeholder dan juga dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi pelaku dan masyarakat di sekitarnya. Peningkatan pelaku kewirausahaan atau wirausaha di Indonesia sesuai dengan data yang dihimpun oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil menunjukkan hingga saat ini jumlah pelaku usaha di Indonesia telah mencapai 3,1 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Angka ini meningkat secara signifikan bila dibandingkan dengan data yang dihimpun pada tahun 2013/2014, jumlah pelaku usaha di Indonesia baru mencapai 1,67 persen dari penduduk Indonesia. Pandangan umum menyatakan bahwa sebuah negara idealnya memiliki jumlah pelaku usaha sebanyak 2 persen dari penduduknya, dimana dengan jumlah tersebut diatas, Indonesia telah melampaui batas idealnya dan menunjukkan iklim usaha di Indonesia semakin baik. Menurut Rachbini (2002), kemajuan atau kemunduran ekonomi suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberadaan dan peranan dari kelompok kewirausahaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kewirusahaan menjadi salah satu persoalan penting di dalam perekonomian suatu bangsa 25
yang sedang berkembang seperti Indonesia. Kondisi ini juga tak lepas dari perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah dengan mendukung beragam event-event kewirausahaan, mengadakan gerakan kewirausahaan secara nasional dan mengajak pihak swasta untuk mendukung program peningkatan jumlah wirausaha di Indonesia. Pemerintah punya Gerakan Kewirausahaan Nasional yang sudah berjalan sejak 2013 (Humas Kementerian Koperasi dan UKM, 2016), Wirausaha Muda Mandiri yang didukung oleh Bank Mandiri, dan beberapa program lainnya. Peningkatan pelaku usaha ini tentunya tidak serta merta terjadi. Waktu yang tidak sebentar dan keterlibatan banyak pihak sangat diperhitungkan. Banyak stakeholder yang terlibat seperti institusi perbankan, institusi pendidikan, LSM, pemerintah pusat maupun daerah, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, stakeholder yang ingin diteliti lebih mendalam adalah institusi pendidikan. Kehadiran institusi pendidikan dalam membantu meningkatkan jumlah pelaku usaha baru dan pelaku usaha muda tidaklah sedikit. Dengan pembekalan dan pembelajaaran kewirausahaan yang dilakukan di kelas-kelas diharapkan jumlah pelaku usaha semakin bertambah. Memperkenalkan dunia usaha kepada para generasi muda, membantu generasi muda memperluas wawasan dan pola pikir akan perencanaan dalam kehidupan mereka setelah menyelesaikan perkuliahan. Wirausaha yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Universitas Pelita Harapan Fakultas Ekonomi dan mengambil jurusan Kewirausahaan. Nara sumber penelitian ini adalah mereka yang telah menerima materi dan mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan. Selain itu mereka juga adalah mahasiswa yang memiliki latar belakang keluarga pengusaha, baik dari orang tua maupun kakek nenek mereka atau dapat dikatakan mereka adalah penerus dari usaha yang sudah dibangun oleh orang tua mereka. Paradigma yang muncul di masyarakat selalu mengatakan bahwa mereka yang lahir di keluarga pengusaha pasti punya darah pengusaha sehingga tidak sulit bagi mereka yang lahir di keluarga pengusaha menjadi seorang pengusaha sukses. Namun ada juga paradigm yang muncul bahwa generasi pertama pengusaha adalah mereka yang membangun kerajaan bisnis dengan susah payah. Kemudian dilanjutkan dengan generasi kedua yang coba mempertahankan dan generasi ketiga yang menghancurkan. Ada lagi paradigma yang mengatakan bahwa masyarakat suku Tionghoa sudah memiliki darah pengusaha, sehingga mereka tidak perlu belajar lagi, pasti bakal jadi pengusaha. Paradigmaparadigma ini coba diuji juga dalam penelitian ini dimana sebagian besar narasumber nya adalah mahasiswa suku Tionghoa dan berasal dari keluarga pengusaha. 3. Metode Analisis dan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apa pengaruh keberadaan konsentrasi kewirausahaan di Universitas Pelita Harapan terhadap pertumbuhan minat mahasiswa untuk menjadi seorang wirausahawan sebelum maupun setelah mereka mendapatkan pelajaran mengenai kewirausahaan. Melalui penelitan sebelumnya, dibuktikan bahwa pengajaran tentang kewirausahaan yang diberikan kepada siswa sebelum memasuki dunia kampus terbukti efektif dalam meningkatkan minat untuk berkarir sebagai wirausaha (Dyer, 1994; Kourilsky, 1995) Penelitian ini akan menggunakan studi kualitatif dengan dukungan data primer yaitu narasumber itu sendiri dan data sekunder yang didapat dari berbagai sumber. Narasumber yang dimaksud adalah para mahasiswa Universitas Pelita Harapan yang sudah berada di semester 9 dan sudah pernah mengambil mata kuliah kewirausahaan. Penulis akan melakukan interview secara mendalam dengan mahasiswa-mahsiswa tersebut. Namun, penelitian ini juga memiliki keterbatasan yaitu hanya membahas hipotesis yang telah diajukan seperti yang telah dicantumkan pada pertanyaan penelitian pada bab 1 dan lingkup penelitian masih diseputar Universitas Pelita Harapan. Peneliti berharap penelitian tentang pengaruh keberadaan konsentrasi kewirausahaan terhadap pertumbuhan minat mahasiswa untuk menjadi seorang wirausahawan dapat juga dilakukan di tempat yang lainnya. 4. Hasil Keberadaan mata kuliah kewirausahaan sangat mendukung dan memberi kontribusi terhadap keinginan mahasiswa untuk menjadi seorang wirausaha. Penelitian-penelitian sebelumnya sudah menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan antara sikap, kebiasaan, dan keinginan yang timbul dari dalam diri sendiri untuk menjadi seorang wirausaha. Dari seluruh 26
narasumber yang diinterview, semua menyatakan bahwa latar belakang keluarga ternyata sangat memberi pengaruh terhadap keinginan menjadi seorang wirausaha. Hal ini muncul karena setiap hari mereka dapat melihat bagaimana orang tua atau kakek nenek mereka bekerja dan mampu memberi hasil yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Kebiasaan yang sudah menahun ini membuat mereka tidak ingin ketinggalan untuk belajar dan akhirnya ingin berkontribusi terhadap bisnis keluarga mereka. Selain itu bisnis keluarga yang sudah berjalan saat ini, suatu saat nanti jatuhnya ke tangan mereka sehingga mau tidak mau sedikit memaksa mereka untuk belajar bagaimana meneruskan bisnis keluarga mereka. Keberadaan mereka di kampus Fakultas Ekonomi UPH saat ini awalnya berdasarkan keinginan bebas mereka yang ingin sekedar kuliah. Namun tanpa disadari, fakultas ini menjadi sarana mereka untuk mengembangkan bisnis keluarga mereka. Terlebih saat mereka mendapatkan mata kuliah kewirausahaan. Keinginan untuk mengembangkan dan meneruskan bisnis keluarga semakin besar. Ada juga beberapa narasumber yang memiliki keinginan berwirausaha justru setelah mereka tercebur ke dalam konsentrasi kewirausahaan. Awalnya mereka melihat konsentrasi ini sebagai konsentrasi yang eksklusif karena proses seleksi nya yang cukup ketat sehingga ada kebanggaan bila diterima di konsentrasi tersebut. Namun ketika mereka menjalankan dan menerima materi-materi kewirausahaan dengan lebih mendalam, keinginan berwirausaha menjadi semakin besar. Keinginan berwirausaha yang muncul dari para narasumber tersebut ternyata tidak berdasarkan rasisme seperti pendapat yang muncul di masyarakat. Seperti yang sudah disebutkan diatas oleh Peter F Drucker bahwa menjadi seorang wirausaha dapat dipelajari oleh semua orang dan itu valid adanya. Kebiasaan dan lingkungan yang dilihat oleh para narasumber sejak mereka kecil, lebih menjadi pemicu mereka menjadi seorang wirausaha. Tidak ada paksaan dari orang tua ataupun keluarga untuk mereka menjadi apa pun membuat mereka bebas menentukan arah tujuan hidup mereka. Namun pada akhirnya mereka kembali menjadi seorang wirausaha karena siakp, kebiasaan yang sudah mereka jalani sejak kecil Pendidikan yang mereka jalani saat ini menjadi pelengkap atas keinginan mereka menjadi seorang wirausaha. Mereka menjadi benar-benar mengeksplor apa yang harus dipersiapkan untuk menjadi seorang wirausaha. Kondisi ini didukung dengan keberadaan keluarga yang sudah menjalankan usaha sebagai mentor mereka secara langsung. 4. Batasan Penelitian Penelitian yang dilakukan saat ini masih berkisar pada beberapa mahasiswa Fakultas Ekonomi konsentrasi kewirausahaan dan dilakukan sekitar tahun 2017. Dimasa datang diharapkan pengukuran minat mahasiswa yang sudah pernah mendapatkan mata kuliah kewirausahaan baik dengan metode kuantitaitf maupun kualitatif dapat dilakukan dengan lebih luas sehingga dapat memberi kontribusi bagi institusi pendidikan sebagi imbal balik atas materi kewirausahaan yang sudah disampaikan, apakah memberi dampak positif atau tidak bagi pertumbuhan kewirausahaan di negara ini.
DAFTAR PUSTAKA Ajzen, I. (2002). Perceived behavioral control, self-efficacy, locus of control, and the theory of planned behavior. Journal of Applied Social Psychology, 1-20. Bandura, A. (1989). Human agency in social-cognitive theory. American Psychologist, 1175-1184. Bandura, A. (1992). Exercise of personal agency through the self-efficacy mechanism. Washington DC: Hemisphere. Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman. Barringer, B. R., & Ireland, R. D. (2016). Entrepreneurship. Edinburgh: PEARSON. Bygrave, W. &. (1991). Theorizing about entrepreneurship. Entrepreneurship Theory and Practice, 13-22. 27
Campbell, C. A. (1992). “A decision theory model for entrepreneurial acts”. Entrepreneurship Theory and Practice, 17(1), 21-7. Chowdhury, S. &. (2005). Gender difference and the formation of entrepreneurial selfefficacy. United States Association of Small Business (USASBE)Annual Conference. CA: IndianWells. Cox, L. M. (2002). The impact of entrepreneurship education on entrepreneurial Self Efficacy. International Journal of Entrepreneurship Education, 2. Drucker, F. P. (1985). Innovation and Entrepreneurship : Practice and Principles (1st Ed ed.). New York: Prentice Hall. Dyer, W. (1994). Toward a theory of entrepreneurial careers. Entrepreneurship Theory and Practice, 7-21. Fiet, J. O. (2000). The theoretical side of teaching entrepreneurship. Journal of Business Venturing, 1-24. Gatewood, E. J. (1995). A longitudinal study of cognitive factors a longitudinal study of cognitive factors. Journal of Business Venturing, 371–391. Henry, C. H. (2005). Entrepreneurship Educational and training: can Entrepreneurship be taught ? Emerald Group Publishing ltd. Hollenbeck, G. H. (2004). Self-confidence and leader performance. Organizational Dynamics, 254-269. Kickul, J. &. (2004). Measure for measure: modeling entrepreneurial self-efficacy onto instrumental tasks within the new venture creation process. Small Business and Entrepreneurship Conference. Dallas: the United States Association. Kourilsky, M. (1995). Entrepreneurship Education: Opportunity in Search. of Curriculum. Business Education, 11-15. Krueger, N. F. (1993). The impact of prior entrepreneurial exposure on perceptions of new venture feasibility and desirability. Entrepreneurship Theory and Practice, 521. Ryza, P. (2016, September 30). Peran Aktif Pemerintah Indonesia Dukung Industri Startup dan Ekonomi Digital. Dipetik Maret 29, 2017, dari DailySocial.id: https://dailysocial.id/post/peran-aktif-pemerintah-indonesia-dukung-industristartup-dan-ekonomi-digital Seagal, G. B. (2005). The motivation to become an entrepreneur. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research, 42-57. Sekaran, U., & Bougie, R. (2015). Research Methods for Business. Wiley. Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Pusat Bahasa Depdiknas. Wyse, S. (2011). What is the Differences between Qualitative Research and Quantitative Research? Zikmund, G. W. (2003). Business Research Methods. Ohio: South Western .
28