REKONSTRUKSI TAFSIR DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN: STUDI TERHADAP PENAFSIRAN T.M. HASBY ASH-SHIDDIEQY MENGENAI AYAT-AYAT AHKAM DALAM TAFSIR AN-NUR Akrimi Matswah*
ABSTRAK The study of Islamic law should be reviewed again and again through a new ijtihad in order to see whether it is still appropiate with the local context. Therefore, the concepts of Islamic law which are irrelevant must be replaced with the new alternatives in accordance with the Indonesian paradigm. In this case, the Qur'an becomes a primary aspect in the process of Islamic legal construction. Therefore, the interpretation of the Qur’an by paying attention to the Indonesian context becomes an important effort to construct the Islamic law which are relevant with the sociocultural society in Indonesia. In relation to this discourse, it is significant to study hasby’s interpretation, one of the Indonesian scholars who concentrated in the field of Islamic law. Therefore, it becomes one of the important aspect to construct of Islamic law in Indonesian society. KATA KUNCI: Interpretation, Islamic law
*Dosen
Sunan Giri Ponorogo. E-mail: Email:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Kajian interpretasi terhadap alQur’an telah melahirkan sederet karyakarya tafsir oleh para sarjana Islam, mulai dari klasik hingga modern. Hal tersebut bisa dilihat dari karya tafsir ulama klasik yang diwakili dengan munculnya tafsir Jâmi’ al-Bayân karya atTabari, kemudian dari abad pertengahan dengan tafsir al-Kasysyâf karya azZamakhsyari, hingga era modern yang diwakili dengan munculnya tafsir alManar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Dari situ tampak bahwa semangat para sarjana Islam dalam mengkaji al-Qur’an terus berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupi mereka. Hal tersebut merupakan respon para sarjana Muslim untuk menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup sepanjang masa. Semangat itu pula tampak pada upaya para ulama Muslim di Indonesia dalam mengkaji al-Qur’an. Semangat dalam merespon al-Qur’an tersebut dapat dilihat dengan munculnya pengajaran tata cara membaca al-Qur’an sesuai dengan kaidah tajwid hingga kajiankajian mendalam mengenai kandungan al-Qur’an yang dilakukan oleh ulamaulama Indonesia (Gusmian, 2003: 48). Selain itu juga dapat dibuktikan dengan banyaknya karya tafsir ulama Indonesia yang muncul sejak awal abad ke 20 hingga era modern saat ini, dimana karya tafsir di Indonesia mengalami perkembangan sangat signifikan. Pada generasi pertama sekitar awal abad 20 misalnya telah muncul penerjemahan dan penafsiran, akan tetapi didominasi oleh model tafsir yang masih terpisah-pisah. Pada generasi kedua sekitar tahun 1960-an, model tafsirnya sudah mengalami perkembangan dengan adanya beberapa catatan, terjemahan kata perkata, catatan kaki dan sebagainya. Selanjutnya pada pada generasi ketiga sekitar tahun
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 1970-an karya tafsir yang muncul mulai lengkap dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks al-Qur’an yang diterjemahkan (Federspiel, 1994: 129). Pada era tahun 1960-an itulah muncul Tafsir Al-Qur'anul Majid atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir an-Nur. Tafsir ini adalah salah satu karya monumental ulama Indonesia yang berasal dari Aceh, yaitu Tengku Muhammad Hasby ash-Shiddieqy. Dalam tulisan ini akan dibahas terkait penafsiran Hasby ash-Shiddieqy mengenai ayat-ayat tentang hukum jilbab, poligami dan hukum potong tangan dalam Tafsir an-Nur tersebut. Tema tersebut diharapkan dapat merepresentasikan kajian tafsir ahkam dalam konteks keindonesiaan. Hal ini sebagai respon para ulama dalam membumikan pesan al-Qur’an dalam konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia sebagaimana pada awal-awal perkembangan kajian tafsir al-Qur’an di Indonesia. A. Biografi Tengku Muhammad Hasby ash-Shiddieqy 1. Perjalanan intelektual dan karyakarya Hasby ash-Shiddieqy Muhammad Hasby ash-Shiddieqy lahir di Lhok Seumawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904 dalam lingkungan keluarga pejabat negeri, ulama, pendidik dan pejuang. Ayahnya, Al Hajj Teungku Muhammad Husen Ibn Muhammad Su’ud adalah seorang Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Ibunya, Teungku Amrah adalah putri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi yang setelah wafat posisinya sebagai Qadli Chik digantikan oleh ayahnya tersebut (Shiddiqi, 1997: 3). Ketika berusia enam tahun, tepatnya pada tahun 1910 ibunya meninggal dunia. Dia kemudian diasuh oleh saudara ibunya, Tengku Syam. Akan tetapi dua tahun kemudian Tengku Syam meninggal dunia. Sepeninggal Tengku
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-1-
IAIS Sambas Syam, Hasby tidak kembali ke rumah Ayahnya yang telah menikah lagi. Dia memilih tinggal dirumah kakaknya, Tengku Maneh. Dia berjumpa Ayahnya hanya pada waktu belajar atau mendengarkan fatwanya dalam menyelesaikan suatu perkara. Pada usia delapan tahun Hasby telah khatam mengaji al-Qur’an. Setahun berikutnya dia belajar qira’ah dan tajwid serta dasardasar tafsir dan fiqh kepada ayahnya sendiri. Ayahnya kemudian menganjurkan Hasby untuk pergi nyantri ke dayah. Selama delapan tahun lamanya Hasby meudagang (nyantri) dari dayah ke dayah. Pada tahun 1912 dia dikirim meudagang ke dayah Tengku Chik di Piyeung untuk belajar Bahasa Arab. Setahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Kemudian pindah ke dayah Tengku Chik di Blang Kabu Geudong. Kemudian pindah lagi ke dayah Tengku Chik di Blang Manyak. Pada tahun 1916 ia kembali pindah ke dayah Tengku Chik Idris. Di salah satu dayah terbesar di Aceh ini Hasby khususnya belajar fiqih. Setelah itu dia pindah meudagang ke dayah Tengku Chik Hasan di Kruengkale untuk belajar hadis dan memperdalam Fiqh. Pada tahun 1920 Hasby memperoleh syahadah (ijazah) dari Tengku Chik Hasan di Kruengkale sebagai tanda ilmunya telah cukup dan berhak membuka dayah sendiri. Akan tetapi, Hasby merasa ilmu yang diperolehnya selama di dayah sangat sedikit dan terbatas pada kitab-kitab yang bermadzhab Syafi’i. begitu pula dengan metode pengajarannya hanya mendengarkan gurunya tanpa melibatkan anak didik dalam proses berfikir. Hal tersebut menjadikan tidak ada kemandirian dalam berfikir dan menjadikan budaya taklid terhadap pendapat para ulama sebelumnya. Selain itu jiwa kritis telah tumbuh sejak Hasby masih kecil, yang menjadikannya
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 terus berupaya membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan terus berupaya melakukan pembaharuan dalam pemikiran Islam (Shiddiqi, 1997:7-14). Oleh karena itu, setelah dari Kruengkale Hasby kemudian berguru dengan Syaikh Muhammad Ibn Salim alKalali, salah seorang dari kelompok pembaharu pemikiran Islam di Indonesia yang bermukim di Lhokseumawe. Melalui Syaikh al-Kalali tersebut dia mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab yang ditulis oleh peloporpelopor kaum Pembaharu pemikiran Islam. Selain itu juga dia berkesempatan membaca majalah-majalah yang menyuarakan suara-suara pembaharuan yang diterbitkan di Singapura, Pulau Pinang dan Padang. Dengan Syaikh al-Kalali inilah Hasby mendiskusikan konsep tujuan pembaharuan pemikiran Islam. Melihat potensi dan kemampuan Hasby untuk dikembangkan menjadi tokoh yang menggerakkan pemikiran pembaharuan Islam di Aceh, Syaikh al-Kalali kemudian menganjurkan Hasby untuk belajar di perguruan al-Irsyad yang diasuh oleh Syaikh Ahmad as-Surkati. Pada tahun 1926 Hasby pergi ke perguruan al-Irsyad Surabaya, Setelah dites ia diterima di kelas takhashshus. Di jenjang ini Hasby memusatkan perhatiannya pada kemampuan Bahasa Arab. Disitulah pendidikan formal yang terakhir ditempuh oleh Hasby (Shiddiqi, 1997:15-16). Hasby tidak pernah belajar ke luar negeri. Selesai belajar di al-Irsyad dia mengembangkan keilmuannya dengan belajar secara otodidak, yaitu dengan membaca buku-buku. Berkat minat baca dan semangat menulisnya yang tinggi, Hasby banyak menghasilkan buku dan artikel. Dia memulai aktifitas menulisnya sejak awal tahun 1930-an. Karyanya mencakup empat bidang kajian yaitu alQur’an, hadis, kalam dan fiqh (Wahyudi, 2007: 14). Diantara karyanya yaitu:
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-2-
IAIS Sambas a. Koleksi Hadis-hadis Hukum Jilid 2-9. b. Mutiara Hadis jilid 1-5 c. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir d. Pengantar Hukum Islam e. Konsep Fiqh Indonesia f. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid dan Kalam g. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis h. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir i. Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah j. Tafsir Alquran al-Madjied atau lebih populer dengan Tafsir An-Nur k. Pedoman Haji l. Tafsir al-Bayân Tafsir al-Bayân ini juga merupakan karya Hasby ash-Shiddieqy dalam bidang tafsir al-Qur’an yang ditulis sekitar tahun 1960-1970-an. Jika dilihat dari tahun penerbitannya pertama kali, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir tersebut ditulis setelah Hasby menulis Tafsir anNur. Dalam karyanya tersebut Hasby membahas secara lengkap tafsir alQur’an 30 juz, tetapi dalam format terjemahan disertai foot note pada bagian-bagian ayat yang membutuhkan penjelasan. Sehingga mungkin lebih tepat disebut terjemahan al-Qur’an dibandingkan tafsir. Selain itu dalam satu surat, dibagi-bagi menjadi beberapa tema pembahasan sesuai dengan bagianbagian ayat yang setema. Tafsir al-Bayân terdiri dari 4 jilid. Jilid pertama mengkaji al-Qur’an juz 1-5. Jilid kedua mengkaji alQur’an juz 5-13. Jilid ketiga mengkaji alQur’an juz 13-24. Sedangkan jilid keempat mengkaji al-Qur’an juz 24-30 (ash-Shiddieqy, t.th).
2. Perjalanan organisasi dan karir politik Hasby ash-Shiddieqy Pada waktu Hasby melanjutkan perjuangan di Aceh, lahir gerakan-gerakan politik keagamaan dan pendidikan yang organisir oleh kaum pembaharu. Oleh karena itu Hasby bergabung dalam organisasi “Islam Mendjadi Satoe” yang
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 didirikan oleh Syaikh al-Kalali. Dimana organisasi tersebut bergerak di bidang pendidikan agama. Pada tahun 1913 Hasby dan beberapa temannya mendirikan cabang “Jong Islamieten Bond” (JIB) yang merupakan pecahan dari Jong Java. Mereka tidak sepakat dengan sikap Jong Java yang netral terhadap masalah agama. Akan tetapi karena aktif di organisasi tersebut, gerak gerik Hasby di awasi Belanda dan mengharuskan Hasby untuk pindah dari Lhokseumawe pada tahun 1933. Hasby kemudian pindah ke Kutaraja (Banda Aceh) (Shiddiqi, 1997: 34-36). Kepindahannya ke ibu kota karesidenan ini membuka peluang bagi Hasby untuk lebih banyak bergerak. Dia kemudian bergabung dengan organisasi Nadil Ishlahil Islami (Kelompok Pembaharuan Islam). Dalam rapat umum organisasi tahun 1933, Hasby ditunjuk sebagai wakil redaktur Soeara Atjeh, salah satu organ dari Nadil Ishlahil Islami. Disamping bergabung dengan Nadil Ishlahil Islami, Hasby juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhammadiyah. Ia pernah menjadi ketua cabang Muhamadiyah Kutaraja dan ketua Majelis Wilayah Muhamadiyyah Aceh (Shiddiqi, 1997:37-38). Karena sikap pembaharuannya, di awal kemerdekaan Indonesia Hasby ditangkap dan dipenjara oleh Gerakan Revolusi Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama satu tahun lebih. Hasby banyak menghabiskan waktunya di tahanan untuk menulis. Selama di dalam tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan tulisan naskah buku yang berjudul al-Islam setebal 1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Selain itu dia juga menyusun naskah Pedoman Dzikir dan Do’a (Shiddiqi, 1997: 54). Hasby baru dibe-baskan dari penjara setelah ada desakan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-3-
IAIS Sambas dari Pimpinan Muhamadiyyah dan surat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Akan tetapi ia masih berstatus tahanan kota. Setelah dibebaskan ia pulang ke Lhok Seumawe dan menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam di sana. Status tahanan kotanya kemudian dicabut pada tanggal 28 Februari 1948. Dia pun kembali aktif bergerak. Dia kemudian bergabung dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan menjabat sebagai ketua cabang Aceh Utara (Shiddiqi, 1997:46-51). Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1949 Hasby mewakili Muhammadiyh bersama Ali Balwi yang mewakili PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Muslim Indonesia (KMI) ke XV. Dalam kongres itu Hasby dikenalkan oleh Abu Bakar Atjeh kepada Kyai Wahid Hasyim, Menteri Agama saat itu. Perkenalannya dengan Kiai Wahid Hasyim membawanya kembali ke Yogyakarta dua tahun kemudian untuk mengajar di PTAIN. Karena keahliannya dalam ilmu hadits, tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Hadis. Sejak itu ia juga diangkat sebagai Dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga tahun 1972. Ia juga diangkat sebagai dekan fakultas Syari’ah IAIN Banda Aceh. Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Teungku Hasby ash-Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan di antaranya adalah Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975 dan Anugerah Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jogjakarta tahun 1975 (Shiddiqi, 1997: 28-56). Ketika menjabat sebagai anggota konstituante, pada tahun 1957 Hasby berangkat ke Pakistan untuk menghadiri International Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of Punjab. Dalam acara ini Hasby menyampaikan makalah dalam
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 bahasa Arab dengan judul ”Sikap Islam terhadap Ilmu Pengetahuan”. Dari situ tampak bahwa Hasby sangat konsisten sebagai perintis tradisi kaum pembaharu Indonesia dengan terus menulis dan berkarya (Shiddiqi, 1997: 53). Pada tanggal 9 Desember 1975, Hasby mengikuti karantina guna menunaikan Ibadah haji, namun Allah memanggilnya. Hasby meninggal dalam usia 71 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat, Jakarta. Buya HAMKA dan Mr. Mohammad Roem turut memberi sambutan pada acara pelepasan dan pemakamannya (Shiddiqi, 1997: 60-61).
B. Tela’ah Terhadap Tafsir an-Nur Karya Hasby ash-Shiddieqy 1. Latar belakang penulisan Tafsir anNur Tafsir an-Nur merupakan karya monumental Hasby dalam kajian alQur’an yang ditulisnya setelah menetap di Yogyakarta sejak tahun 1951. Pada tahun 1961 dia menyelesaikan naskah Tafsirnya tersebut sebanyak 30 jilid. Penulisan tafsir an-Nur tersebut dilatar belakangi oleh kegelisahan Hasby mengenai konisi umat Islam yang lemah dan mengalami kemunduran dikarenakan menjauhkan diri dari al Qur’an. Kegelisahan Hasby tersebut juga terkait dengan dukungan Hasby terhadap gerakan kembali pada al-Quran dan Sunnah. Sebuah gagasan yang dicetuskan Gerakan Paderi yang mendapatkan inspirasi kuar dari Wahabi ini dilanjutkan oleh organisasi semisal Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad. Mereka menghukum amaliah, yang menurut mereka tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Diantara amaliah yang mereka kritik yaitu talkin, tahlil, dan ziarah kubur sebagaimana yang dipraktekkan kaun tradisionalis. Hasby pun bertekad memberantas segala macam bentuk TBC demi kejayaan Islam.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-4-
IAIS Sambas Ia mengatakan, melalui makalahnya” Penoetoep Moeloet”, bahwa amaliah kaum tradisionalis semisal talkin, menggunakan lafadz ushalli dalam niat shalat dan selamatan sebagai perbuatan bid’ah (Kusdar, 2007: 119). Selain itu kondisi umat Islam yang lemah dan mengalami kemunduran juga dikarenakan mereka tidak mau mengkaji al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan mereka keliru dalam memahami alQur’an. Hal tersebut sebagaimana pernyataan Hasby dalam muqaddimah tafsirnya (Ash-Shiddieqy, 1965: 4): ” Djika ada orang mengatakan: Kalau demikian keadannja Al-Qur’an, gerangan apakah sebabnya kita dapati ummat Islam mundur dan lemah? Ummat Islam mundur dan lemah, sebab mendjauhkan diri dari Al-Qur’an. Ada mereka jang tidak mau mempergunakan pikiran buat memahamkan Al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dan masa. Dan ada mereka jang lantaran salah asuhan keliru pengertiannja.”Oleh karena itu Hasby merasa bahwa umat Islam perlu untuk menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskan kandungan-kandungannya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menela’ah terlebih dahulu literatur-literatur kitab Tafsir dari para ulama terdahulu, terutama bagi mereka yang menguasai Bahasa Arab. Adapun bagi mereka yang tidak bisa menguasai Bahasa Arab dapat dilakukan dengan menela’ah karya mufasir Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu hal yang mendorong Hasby untuk membuat karya tafsir, yaitu agar masyarakat Indonesia dapat menghayati perkembangan tafsir dalam bahasa Indonesia. Selain itu untuk memperbanyak literatur Islam di Indonesia dan mewujudkan suatu tafsir yang sederhana, yang menuntun para pembacanya kepada pemahaman ayat dengan perantara ayat itu sendiri, sebagaimana diktum ”alQur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dh”. Penafsiran
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 yang ditawarkannya pun meliputi penafsiranpenafsiran yang dapat diterima akal dan berdasarkan pada ilmu dan pengalaman, serta berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar (kitab-kitab tafsir yang telah teruji kebenarannya) dan kitab-kitab hadis yang mu’tamad (kitab-kitab hadis yang otentik) semisal, kitab Shahih alBukhari dan Shahih Muslim, dan kitabkitab as-Sunan, serta kitab sirah yang terkenal (Ash-Shiddieqy, 1965: 4-5). 2. Metode penulisan Tafsir an-Nur Dalam menyusun tafsir an-Nur, Hasby menerapkan lima langkah sebagai berikut (Ash-Shiddieqy, 1965: 5-10): a. Menyebut satu, dua atau tiga ayat sebagaimana urutan tartib mushaf (urutan mushaf) kemudian ditafsirkan maksudnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut, Hasby berpedoman kepada sejumlah tafsir induk, yaitu kitab tafsir yang menjadi pegangan bagi para penulis tafsir, baik kitab tafsir bi al-ma’tsur maupun kitab-kitab tafsir bi al-ma’qul. Sebut saja di antaranya, tafsir Jami` alBayan karya At-Thabari, Tafsir alQur’an al-`Azhim karya Ibnu Katsir, tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, dan Tafsir alKabir karya Fakhruddin ar-Razi. Selain itu Hasby juga berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang menguraikan tafsir induk, terutama ’Umdat atTafsir ’an al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Manar, Tafsir al-Qasimy, Tafsir alMaraghy dan At-Tafsir al-Wadhih. Selanjutnya dalam menafsirkan, Hasby membagi ayat kepada beberapa bagian, kemudian masing-masing bagian tersebut ditafsirkan sendirisendiri sebagaimana model penafsiran Tafsir al-Maraghy. Sedangkan terkait materi tafsir, Hasbi banyak merujuk kepada Tafsir al-Maraghy, dimana Tafsir al-Maraghy banyak meringkas uraian Tafsir al-Manar. Hal tersebut
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-5-
IAIS Sambas kemudian memunculkan banyak asusmi bahwa Tafsir an-Nur secara sepintas tampak seperti terjemahan dari Tafsir al-Maraghy. Akan tetapi dalam mukaddimah cetakan kedua Hasby telah mengklarifikasi dan menjelaskan. Penulis pun melihat bahwa persamaannya pada susunan dan bentuk penafsiran yang dalam menafsirkan, Hasby membagi ayat kepada beberapa bagian, kemudian masing-masing bagian tersebut ditafsirkan sendiri-sendiri sebagaimana dalam tafsir al-Maraghy. Akan tetapi penafsirannya agak berbeda, meskipun ada sedikit persamaan di dalam menafsirkan beberapa ayat, tetapi hanya persamaan pendapatnya saja. Adapun ayat dan hadis yang di kutip dalam Tafsir an-Nur tersebut terdapat dalam tafsir-tafsir induk dan tafsir yang mengambil dari tafsir induk seperti Tafsir al-Maraghi. Oleh karena itu Hasby selalu membandingkan apa yang ditulis oleh al-Maraghi, alQasimy, dengan tafsir-tafsir yang dikemukakan oleh kitab-kitab tafsir induk. Sehingga secara garis besar, Tafsir an-Nur tersebut terpengaruh dari Tafsir al-Maraghy, al-Manar dan al-Qasimy. b. Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahami dan dengan memperhatikan maknamakna yang dikehendaki masingmasing lafadz. Dalam hal ini Hasby berpedoman pada Tafsir Abu Su’ud, Tafsir Shiddieq Hasan Khan dan Tafsir al-Qasimy. Sehingga terjemahan lafadz-lafadz al-Qur’an dalamTafsir anNur berdasarkan kepada penafsiran ketiga karya tafsir tersebut. c. Menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan menunjuk pada makna intinya. d. Menerangkan ayat-ayat yang setema atau yang berkaitan dengan ayat
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 yang ditafsirkan. Hal tersebut dilakukan dengan mencantumkan foot note pada ayat tersebut. Dalam hal ini Hasby berpegang pada Tafsir Ibn Katsir, dimana menurutnya Tafsir Ibn Katsir tersebut sudah dikenal dengan tafsir yang menafsirkan ayat dengan ayat. e. Menerangkan asbab an-nuzul ayat jika memperoleh atsar yang shahih yang di akui oleh ahli-ahli atsar (ahli hadis). Dari langkah-langkah tersebut dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, Hasby menggunakan metode tahlili. Suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan (Al-Farmawi, 1977: 24). Metode tahlili dalam Tafsir an-Nur bisa terlihat dari kecenderungan Hasby dalam menjelaskan pemahaman dan penafsiran terhadap kandungan didalam ayat-ayat al- Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik dari berbagai aspek seperti asbab an-nuzul ayat, bahasa, makna, pendapat ulama dan sebagainya. Sehingga pemahaman terhadap ayat terasa lebih luas. Adapun bentuk penafsiran yang dipakai Hasby yaitu bi al-ra’yi (ijtihad). Akan tetapi, Hasby juga tidak meninggalkan riwayat dari Nabi, sahabat, tabi’in atau bahkan mufassir dalam menafsirkan alQur’an. Sehingga, bentuk penasirannya bi al-ra’y, sedangkan pemakaian riwayat dalam tafsir bi al-ra’y hanya sebagai legitimasi, tidak menjadi subjek penafsiran. Hal itu memungkinkan karena tafsir dalam bentuk bi al-ra’y tidak melarang pemakaian riwayat karena yang menjadi ciri utama tafsir bi al-ra’y ialah menempatkan pemikiran rasional sebagai titik tolak dalam penafsiran. Dalam menafsirkan, Hasby
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-6-
IAIS Sambas juga mengutip pendapat-pendapat mufassir-mufassir sebelumnya dan membandingkannya, kemudian ia pun berpendapat mengenai penafsirannya. Adapun corak dari tafsirnya, penulis melihat tafsir an-Nur tersebut bercorak adabi ijtima’i, dalam pengertian bahwa Hasby banyak merespon permasalahanpermasalahan dan kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat, yang kemudian dikaitkan dengan pembahasan ayat al-Qur’an dan menafsirkannya. Hal tersebut sebagai upaya dalam memberikan solusi permasalahan yang terjadi di masyarakat ketika itu. Selain itu dalam menguraikan penafsirannya, Hasby menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, sehingga inti dan maksud yang hendak diuraikannya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca. Terutama jika melihat kondisi masyarakat Indonesia ketika itu keilmuannya politik yang rancu di era pasca kolonial.
C. Penafsiran Hasby ash-Shiddieqy Mengenai Ayat-ayat Ahkam: Konstruksi Tafsir dalam Konteks Keindonesiaan Hasby as-Shiddiqy merupakan orang pertama di Indonesia yang memunculkan gagasan Fiqh Indonesia sekitar tahun 1940-an. Dengan artikel pertamanya yang berjudul “Memoedahkan Pengertian Islam”, Hasbi menyatakan perlunya dibina fiqh yang berkepradian Indonesia, sehingga penting untuk mengambil ketetapan fiqh dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Hasbi terlihat gamang akan prospek dan masa depan hukum Islam di Indonesia yang tidak mempunyai arah yang jelas. Menurutnya, pengkultusan (taqdis) atas pemikiran hukum Islam yang telah terjadi dan yang hingga sekarang masih berlangsung, harus ditinjau ulang dalam kerangka dasar meletakkan sendi ijtihâd baru. Konsep dan pemikiran hukum Islam
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 yang terasa tidak relevan dan asing harus segera dicarikan alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikan di Indonesia (Shiddiqi, 1997: xx), (Muhammad, 2006: 238-239). Penulis melihat gagasannya terkait fiqh Indonesia tersebut akan berpengaruh pada penafsirannya terhadap ayatayat ahkam dalam konteks keindonesiaan. Bagaimanapun produk ijtihad fiqh tidak mungkin lepas dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis yang merupakan sumber utama dalam pengambilan hukum, terlebih Hasby menyuarakan gagasan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Dalam hal ini penulis akan mengkaji penafsirannya mengenai poligami, jilbab dan hukum potong tangan terhadap kasus pencurian sebagai tema yang merepresentasikan gagasan tafsirannya, terutama terkait dengan fiqh dalam konteks keindonesiaan. 1. Penafsiran terhadap ayat tentang jilbab Pembahasan mengenai jilbab selalu terkait dengan pembahasan mengenai aurat perempuan. Oleh karena itu wacana mengenai hukum jilbab tersebut masih menjadi pro kontra di antara para ulama (Thohari, 2011: 75). Adapun ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai jilbab yaitu surat al-Ahzab ayat 59: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteriisterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-7-
IAIS Sambas mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam menafsirkan ayat tersebut Hasby pertama-tama mengutip riwayat sebagian ahli tafsir bahwa sebab turunannya ayat tersebut adalah pada suatu peristiwa dimana wanita merdeka dan budak pada permulaan Islam yang keluar dimalam hari untuk buang hajat dikebun sering diganggu oleh sekelompok pemuda karena mereka mengira perempuan yang keluar tersebut adalah budak. Oleh karena itu turun ayat yang menyuruh perempuan merdeka agar memakai jilbab untuk membedakan perempuan merdeka dengan budak, dan agar mereka tidak diganggu (Ash-Shiddieqy, 1975: 45). Dari asbab an-nuzul ayat tersebut Hasby kemudian menyimpulkan sebagaimana pernyataannya (Ash-Shiddieqy, 1975: 46): “Riwajat2 jang mengenai ayat 59 ini memberi suatu kesimpulan bahwa pakaian wanita merdeka dan wanita budak pada mula2nja adalah sama. Oleh karena itu banjak orang2 jang berbudi pekerti rendah selalu mengganggu para wanita dengan tidak ada perbedaannya, turunlah ayat ini untuk mewudjudkan suatu pakaian jang membedakan wanita merdeka dari wanita budak itu. Maka dapatlah kita mengambil suatu pengertian bahwa perintah ini adalah mengingat sesuatu keprluan menurut tempat dan masa sadja.“ Dalam karya tafsirnya yang lain yaitu Tafsir al-Bayân, Hasby juga menguraikan penjelasan terhadap ayat tersebut,, teruta,a terkait perlunya pakaian yang membedakan perempuan merdeka dengan budak. Hasby meng-ungkapkan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 pendapat Ahmad Ibn Isa, dimana dalam menyikapi ayat tersebut dia mengistimbatkan bahwa para ulama boleh membuat pakaian tertentu agar mereka mudah dikenal (Ash-Shiddieqy, t.th: 1140). Hasby kemudian mengemukakan inti dari perintah untuk berjilbab tersebut adalah perintah untuk menjaga diri dari hal-hal yang menimbulkan fitnah, sebagaimana dalam penyataannya (AshShiddieqy, 1975: 46): “Maka menurut pendapat kami, bahwa hukum yang dipantjarkan oleh ajat ini ialah kewadjiban para wanita mendjauhkan diri dari segala sikap2 jang bisa menimbulkan fitnah atau tuduhan dan berpakaian setjara jang lajak dan sopan jang dapat menjauhkan diri daripada ketjederaan. Tak ada suatu keterangan yang membuktikan bahwa para wanita dipermulakan Islam menutup mukanya sebagai suatu kewajiban agama. Bahkan riwajat2 itu membuktikan bahwa para wanita pada masa itu bertjampur dengan orang2 lelaki, mengerdjakan berbagai-bagai rupa pekerdjaan dalam keadaan terbuka muka dan tangannja.” Penafsiran yang serupa terhadap ayat tersebut juga dikemukakan oleh Hamka. Menurutnya, yang menjadi pesan pokok yang dikehendaki al-Qur’an yaitu perintah untuk berpakaian yang menunjukkan kesopanan dan pakaian yang menunjukkan Iman kepada Allah, sedangkan model dan bentuknya tidak ditentukan oleh al-Qur’an. (Hamka, 1988: 98). Adapun menurut al-Maraghy dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ayat tersebut mengandung arti keharusan bagi perempuan yang akan keluar rumah untuk menutup seluruh tubuh dan kepalanya, sehingga tidak terlihat sesuatu pun dari bagian-bagian tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah, seperti bagian kepala, dada, dua lengan dan lain sebagainya. Hal tersebut untuk memudahkan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-8-
IAIS Sambas pengenalan bahwa mereka wanita terhormat, sehingga tidak diganggu (AlMaraghi, 1989: 61). Adapun dari uraian penafsiran Hasby tersebut tampak bahwa ia berupaya menafsirkan makna perintah berjilbab secara substantif yaitu perintah untuk menjaga diri dari hal-hal yang menimbulkan fitnah. Hal tersebut bagi perempuan dapat dilakukan dengan berpakaian yang layak dansopan. Adapun ukuran kesopanan adalah berkaitan dengan kondisi sosio kultural tiap-tiap daerah maupun negara, oleh karena itu tidak bisa digeneralisir. Selain itu menurutnya tidak ketererangan yang membuktikan bahwa para wanita diper-mulakan Islam menutup mukanya sebagai suatu kewajiban agama. Hal ini karena substansi dari perintah agar perempuan berjilbab adalah perlindungan. Perempuan Berjilbab adalah Perlindungan terhadap perempuan, dan hal tersebut tidak harus dilakukan dengan menutup seluruh tubuh perempuan. Dalam konteks Indonesia (sekitar tahun1960-an) misalnya, dimana bentuk jilbab yang umum dipakai oleh mereka yaitu hanya sehelai kain atau selendang yang dipakai di kepala dan tidak menutup kepala secara keseluruhan. Hal tersebut sudah merupakan ukuran kesopanan dan bentuk perlindungan terhadap perempuan. Dengan demikian, perintah untuk berjilbab adalah terkait dengan ruang dan waktu, serta terkait dengan kondisi sosio-kultural. Dari situ tampak bahwa penafsiran Hasby tersebut merupakan ijtihadnya dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia dengan melihat konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia ketika itu. Oleh karena itu pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an hendaknya didialogkan dengan realitas manusia, agar pesan-pesan yang terkandung dida-
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 lamnya dapat menjadi pedoman manusia sepanjang masa. 2. Penafsiran terhadap ayat tentang poligami
Poligami selalu menjadi topik perbincangan dan perdebatan yang menarik, dimana para pelaku poligami sering menjadikan agama sebagai justifikasi pelegalan poligami. Adapun ayat alQur’an yang berbicara mengenai poligami yaitu surat an-Nisa’ ayat 2 dan 3:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
-9-
IAIS Sambas mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dalam menafsirkan ayat tersebut Hasby menjelaskan sebab turunnya ayat ini, sebagaimana pernyataannya (Ash-Shiddieqy, t.th: 183): “Al Buchary dan Muslim meriwajatkan dari Urwah Ibn Zubair, bahwa beliau menanja kepada saudara ibunja ‘Aisjah tentang ajat ini. ‘Aisjah berkata: wahai anak saudaraku, ajat ini diturunkan mengenai wanita jatim jang dipelihara oleh walinja, jang harta serta ketjantikannja menarik hati siwali, lalu siwali ingin mengawininya dengan tidak berlaku adil terhadap mas kawin jaitu: tidak mau memberikan sebagai jang diberikan kepada orang-orang lain yang sebabnya (setarafnja). Ayat ini menegah mereka berbuat demikian dan memerintahkan mereka mengawini wanita-wanita lain.” Hasby kemudian menjelaskan bahwa jika menikahi anak yatim akan dapat merusak hak-haknya, maka janganlah menikahi mereka dan jangan pula menghalangi mereka untuk bersuami. Kemudian Allah memberi jalan untuk beristri dengan wanita lain, satu, dua, tiga atau empat orang. Akan tetapi jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya beristri dengan satu wanita. Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa yang boleh beristri lebih dari satu adalah orang yang benar-benar percaya bahwa dirinya dapat berbuat adil, tanpa sedikitpun ada keraguan (Ash-Shiddieqy, t.th: 181). Hasby kemudian menjelaskan bahwa adil yang dimaksud ayat ini adalah kecondongan hati. Sebagaimana
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 pernyataannya (Ash-Shiddieqy, t.th:182) :
“Adil jang dimaksud disini, ialah: “Ketjondongan hati”. Kalau demikian, memastikan adanja adil yang sempurna, adalah suatu hal yang sukar ditjapai” Dari situ jelas bahwa kebolehan beristri lebih dari satu disempitkan dan di perbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil dan terpelihara dari berbuat curang. Dengan begitu kekhawatiran berbuat curang dijadikan sebab haramnya poligami. Selain itu juga sudah ditegaskan bahwa berlaku adil merupakan hal yang tidak akan mungkin sanggup dilakukan. Hasby mengatakan (Ash-Shiddieqy, t.th:182) : “Diterangkan oleh Al Amir Ali dalam kitab Sirrul Islam, bahwa ulamaulama besar Mu’tazilah (dan mereka itu dari golongan Islam), berpendapat bahwa tidak boleh seseorang lelaki beristeri dengan jang kedua, semasih ada ditangannja seorang isteri. Mereka mempersaksikan dengan seksama segala bentjana-bentjana dan kesukarankesukaran jang disebabkan oleh poligami. Mereka menginsafi, bahwa diantara dasar-dasar sjari’at Muhammad, ialah memberikan kepada alat (wasilah), hukum jang diberikan kepada tudjuan. Kita lihat bahwa pengaruh berbilang-bilang isteri itu sangat buruk, jang tidak dapat dipandang baik oleh akal dan tidak diridlai oleh agama. Karena itu, mereka haramkan.”
Hasby kemudian menanggapi (AshShiddieqy, t.th:182): “Oleh karena itu, hendaklah pemukapemuka hukum dan ahli-ahli fatwa jang mejakini, bahwa menolak bentjana didahulukan atas menarik mashlahat dan diantara dasar-dasar agama menolak kemelaratan dari segala pihak, mempeladjari tjara memperbaiki keadaan jang sangat rusak ini dan membuat undang-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 10 -
IAIS Sambas undang jang dapat mendjamin kemashlahatan dan menolak kemfasdatan.”
Penafsiran yang serupa dikemukakan oleh Hamka mengenai ayat tersebut, dimana menurutnya ayat ini pertamatama menekankan bahwa jika tidak takut berlaku jujur terhadap anak yatim, maka menikahlah dengan perempuan lain yang dikehendaki. Tetapi jika tidak dapat berlaku adil, maka menikahlah dengan satu perempuan saja. Sehingga satu istri lebih di unggulkan. Selain itu dikuatkan dengan ayat 128 dari surat anNisa’ yang menegaskan sulitnya berbuat adil. Oleh karena itu kita harus berhatihati dalam bertindak. Jangan sampai perilaku poligami hanya karena keinginan hawa nafsu semata (Hamka, 1983: 241). Adapun penafsiran sedikit berbeda di ungkapkan al-Maraghy. Dalam menafsirkan ayat tersebut berpandangan bahwa prinsip dari pernikahan adalah monogami, sehingga poligami pada dasarnya bertentangan dengan citra kasih sayang yang merupakan tiang penyangga dalam hidup berumah tangga. Akan tetapi seorang Muslim boleh berpoligami dalam keadaan darurat dan disertai kepercayaan diri untuk berbuat adil. Keadaan darurat dalam hal ini diantaranya yaitu, bila seorang suami beristrikan seorang wanita mandul atau telah menopause sedangkan laki-laki ingin memperoleh keturunan, bila suami merasa tidak cukup hanya mempunyai seorang istri dikarenakan kapabilitas seksualnya yang mendorongnya untuk berpoligami, serta bila diketahui jumlah perempuan dalam suatu negara lebih banyak dari pada laki-laki dengan kapasitas yang mencolok (Al-Maraghi, 1986: 328-331). Dari penafsiran alMaraghy tersebut dapat dilihat bahwa ia lebih condong kepada pembolehan poligami. Jika menilik kembali pada penafsiran Hasby, maka dapat dilihat bahwa
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Hasby memandang poligami sebagai sesuatu yang lebih banyak membawa mudharat, sehingga lebih baik dihindari. Sebagaimana menolak bencana didahulukan atas menarik maslahat. Pandangannya tersebut dipengaruhi oleh pemikiran ulama besar mu’tazilah yang mengharamkan poligami disebabkan bencana-bencana dan kesukaran yang disebabkan poligami. Selain itu, ketika mengkaji ayat di atas hendaknya menekankan pada tujuan dari di turunkannya ayat tersebut, yaitu perlindungan terhadap anak yatim dan perempuan. Hasby juga mengemukakan perlu adanya undang-undang untuk menjamin kemaslahatan dalam pernikahannya, utamanya terkait poligami (Ash-Shiddieqy, t.th:182). Selanjutnya jika melihat konteks sosial masyarakat Indonesia ketika itu, bahwa selama tahun 1920 hingga 1960 angka poligami dan perceraian meningkat di berbagai daerah di Indonesia. Angka ter sebut meningkat karena lemahnya peran negara dalam mengendalikan akses pernikahan poligami dan perceraian. Oleh karena itu, kemudian muncul Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai bentuk peran negara dalam mengatasi poligami dan perceraian. Kemunculan UU ini kemudian dinilai menurunkan angka pernikahan poligami pada tahun 1960, sejak dimulai pembahasan mengenai UU Perkawinan (Blackburn, 2009: 201). Dari situ tampak bahwa penafsiran Hasby merupakan respon terhadap realitas sosial Indonesia ketika itu, yang kemudian ia carikan solusinya melalui al-Qur’an. 3. Penafsiran terhadap ayat mengenai hukum potong tangan terhadap pencuri Had potong tangan bagi pencuri yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an pada dasarnya tidak diterapkan dalah hukum formal di Indonesia. Begitu pula had lain seperti rajam untuk yang berzina, atau qisas bagi orang yang
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 11 -
IAIS Sambas membunuh. Hal tersebut terkait dengan wacana pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang masih menimbulkan pro dan kontra. Beberapa alasan penolakan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia di antaranya yaitu terkait dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dalam segi agama serta nilai-nilai budayanya. Selanjutnya, terkait had, dalam pembahasan berikut, penulis akan menguuraikan penafsiran Hasby mengenai salah satu had yang di uraikan dalam alQur’an, yaitu had potong tangan. Adapun ayat yang berbicara mengenai hukum potong tangan terhadap pencuri yaitu sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 38: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hasby menguraikan bahwa ayat tersebut secara tegas menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, akan tetapi batas minimum barang yang dicuri yang dapat dikenai had potong tangan tidak dijelaskan. Menurutnya, hal tersebut merupakan hikmah dari alQur’an, dimana ayat tersebut ditutunkan kepada Nabi dalam posisi Nabi sebagai hakim. Oleh karena itu dalam menentukan batas pencurian diserahkan kepada hakim sesuai dengan kondisi dan masanya. Sebagaimana pernyatannya (Ash-Shiddieqy, t.th:110): “Ajat ini menghadapkan titahnja kepada Nabi dalam fungsi beliau selaku hakim. Maka dalam menetukan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 batas pentjurian itu, terserahlah kepada hakim, mengingat masa, tempat dan keadaan.” Dari penafsirannya tersebut dapat dilihat bahwa menurutnya had potong tangan terhadap pencuri merupakan keharusan. Akan tetapi batas minimum barang yang dicuri yang dapat dikenai had potong tangan tergantung pada situasi dan kondisi yang berlaku pada tiap-tiap tempat (bersifat kontekstual). Padahal jika melihat kondisi sosiokultural Indonesia yang plural, dimana hukum Islam bukan menjadi satu-satunya otoritas mutlak dalam penerapan hukum nasional, maka hukum potong tangan tersebut terasa tidak relevan dan bertentangan dengan HAM. Dengan demikian, jika melihat upayanya dalam mengwujudkan fiqh dalam konteks Indonesia, penulis melihat bahwa gagasannya meng enai perlunya fiqh dalam konteks Indonesia tidak tampak pada penafsirannya terhadap ayat mengenai had, seperti had bagi pencuri, pezina ataupun pembunuh. D. Analisa Terhadap Penafsiran Hasby ash-Shiddieqy Dari uraian diatas dapat diuraikan analisa penulis terhadap metode penafsiran dan penafsiran Hasby ash-Shiddieqy mengenai ayat-ayat ahkam dalam beberapa poin berikut: 1. Tafsir an-Nur merupakan karya tafsir yang cukup representatif dalam kajian tafsir al- Qur’an yang ditulis oleh ulama Indonesia, yaitu Hasby ash-Shiddieqy. Dengan menerapkan metode tahlili, tafsir yang ringkas namun lengkap tersebut menjelaskan dan menguraikan maksud dari setiap ayat secara komperehensif. Selain pembahasan ayat-ayatnya disertai dengan keterangan hadits, dalil, dan pendapat dari mufasir-mufasir terdahulu. Akan tetapi penulis melihat bahwa Hasby dalam menafsirkan al-Qur’an tidak banyak mengkaji serta meng-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 12 -
IAIS Sambas eksplorasi dari segi bahasa, dan lebih banyak mengungkapkan riwayat hadis dan pendapat ulama, kemudian menjelaskan pendapatnya mengenai inti atau maksud dari ayat yang ditafsirkannya. 2. Penafsiran Hasby terhadap ayatayat ahkam merupakan ijtihadnya dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia.Oleh karena itu, penafsirannya merupakan respon terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia ketika itu. Hal tersebut antara lain tampak pada penafsirannya terhadap ayat tentang jilbab, dimana makna perintah berjilbab secara substantif yaitu perintah untuk menjaga diri dari hal-hal yang menimbulkan fitnah. Hal tersebut bagi perempuan dapat dilakukan dengan berpakaian yang layak dan sopan. Adapun ukuran kesopanan adalah berkaitan dengan kondisi sosio kultural tiap-tiap daerah maupun negara. Dalam konteks Indonesia (sekitar tahun 1960-an) misalnya, bentuk jilbab yang umum dipakai oleh mereka yaitu hanya sehelai kain atau selendang yang dipakai di kepala dan tidak menutup kepala secara keseluruhan. Hal tersebut sudah merupakan ukuran kesopanan dan bentuk perlindungan terhadap perempuan. Dengan demikian, pemerintah untuk berjilbab adalah terkait dengan ruang dan waktu, serta terkait dengan kondisi sosiokultural. Begitu pula penafsirannya terhadap ayat tentang poligami, dimana Hasby secara tegas menolak poligami. Gagasannya tersebut juga merupakan respon terhadap konteks sosial masyarakat Indonesia ketika itu, dimana selama tahun 1920 hingga 1960 angka poligami dan perceraian meningkat di berbagai daerah di Indonesia karena lemahnya peran negara dalam mengendalikan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 akses pernikahan poligami dan perceraian. 3. Adapun penafsirannya terhadap ayat tentang hukum potong tangan akan terlihat bahwa gagasannya mengenai perlunya fiqh dalam konteks Indonesia tidak tampak pada penafsirannya terhadap ayat mengenai had, seperti had bagi pencuri, pezina ataupun pembunuh. Hal tersebut karena menurutnya had potong tangan terhadap pencuri merupakan keharusan. Padahal jika melihat kondisi sosio-kultural Indonesia yang plural, dimana hukum Islam bukan menjadi satusatunya otoritas mutlak dalam penerapan hukum nasional, maka hukum potong tangan tersebut terasa tidak relevan dan bertentangan dengan ham.
Simpulan
Penafsiran Hasby ash-Shiddieqy merupakan upayanya untuk mendialogkan pesan-pesan yang terkandung dalam alQur’an dengan realitas manusia, yang dalam hal ini adalah realitas sosiocultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penafsirannya tersebut dapat menjadi poin penting dalam konstruksi tafsir dalam konteks keindonesiaan, yaitu penafsiran al-Qur’an yang relevan dengan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Selain itu penafsirannya juga menjadi salah satu langkah penting untuk mengkonstruk ijtihad hukum Islam dalam konteks keindonesiaan, sebuah alternatif baru dalam bidang hukum Islam yang lebih memungkinkan untuk dipraktikan di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana cita-cita Hasby ash-Shiddieqy mengenai perlunya dibina fiqh yang berkepradian Indonesia, sehingga penting untuk mengambil ketetapan fiqh dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 13 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Al-Farmawi, ‘Abd al-Hay. 1997. al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyah Maudhu’iyah. Kairo: Mathba’at al-Hadlarah al-Arabiyyah.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1989. Tafsir al-Maraghi. terj Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang: CV Toha Putra.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasby. 1965. Tafsir al-Bayân. Bandung: PT Al-Ma’arif ----------, Tafsir al-Qur’anul Madjied An-Nur. Jakarta: Bulan Bintang.
Blackburn, Susan. 2009.Terj Esrom Aritonang, Perempuan dan Negara Dalam Era Indonesia Moderen. Jakarta: Kalyanamitra.
Federspiel, Howard M. 1994. Kajian al-Qur’an di Indonesia, Terj Tajul Arifin. Bandung: MIZAN.
Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi. Yogyakarta: Teraju.
Hamka. Tafsir al-Azhar. 1988. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Kusdar. Dinamika Fiqh di Indonesia: Telaah Historis Lahirnya Fiqh Keindonesiaan. 2007. Jurnal MAZAHIB, Vol. IV, no 2. Desember.
Muhammad, Husein. 2006. Modul Dawrah Fiqh Perempuan. Cirebon: Fahmina Institute.
Shiddiqi, Nourouzzaman. 1997. Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thohari, Chamim. 2011. Konstruks Pemikiran Quraish Shihab Tentang Hukum Jilbab: Kajian Hermeneutika Kritis. Jurnal Ulumuddin. Vol 14. No 1.
Wahyudi, Yudian. 2007. The Hasbi’s Theory in The Context of Indonesian Fiqh. Yogyakarta: Nawasea.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 14 -
RELEVANSI PANDANGAN IMAM ASY-SYAF'I TENTANG IJTIHAD DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM MASA KINI Dedeng Alamsyah *
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam yang merupakan elemen vital dalam menata kehidupan bermasyarakat. Tidak dipungkiri bahwa, laju pertumbuhan “segala aspek” di tengah dunia yang renta ini, mengundang banyak masalah yang menyangkut persoalan hukum. Oleh karena itu, apa yang menjadi dasar pertimbangan Asy-Syafi’i dalam menetapkan Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam layak di ketengahkan kembali. Selain itu, dimaksudkan juga untuk menyelami lebih mendasar beberapa perubahan fatwa yang merupakan ijtihad sang Imam, sehingga dikalangan umat Islam dikenal adanya Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Sifat penelitian ini adalah yuridis-normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dibidang hukum. Data data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber hukum dalam Islam secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar : Pertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal, dan permanen, tidak pernah berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum dalam alQur'an dan hadis mutawatir yang penunjukannya telah jelas (qat'i ad-dalalah). Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan permanen, dapat berubah dan diubah. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Kerangka berfikir absolut dan relatif ini sering muncul dikalangan para ahli hukum Islam (ahli usul fiqh) dan pakar pembaruan dalam Islam. Jamak terjadi di kalangan ahli teori hukum Islam adanya dikotomi antara dalil qat'i dan zanni, baik dari segi eksistensinya maupun penunjukannya. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan pasti bahwa kemungkinan mengadakan perubahan dan pembaruan ajaran Islam yang bersifat relatif, termasuk bidang hukumnya, adalah sangat mungkin dan terbuka lebar. Kesempatan tersebut, tentunya dibatasi oleh kemampuan dalam menguasai ilmu-ilmu penunjang yang digunakan sebagai alat utama. KATA KUNCI: Hukum Islam, Ijtihad, dan Pembaharuan
*Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Iqra’ Kapuas Hulu
IAIS Sambas PENDAHULUAN Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlaq dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunahnya, sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nas al-Qur’an atau as-Sunnah. Namun pada masa-masa berikutnya ketika Nabi SAW telah wafat dan Islam mengalami perkembangan pesat yang ditandai dengan adanya kontak bangsa Arab dengan corak kebudayaan yang beragam segera menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan hanya sekedar keterangan nas semata-mata.(Lahmuddin Nasution,2001: 3). Demi memenuhi kebutuhan fatwa yang terus meningkat seiring perkembangan Islam yang semakin meluas dan kompleks, maka para sahabat merumuskan kaidahkaidah sebagai pedoman dalam berijtihad (mengambil keputusan). Dalam kenyataannya mereka tidak selalu sama antara ulama yang satu dengan yang lain. Sejak masa sahabat telah muncul dua aliran yang berbeda dalam sikap ijtihadnya, yakni Ahl al-Hadis dan Ahl ar-Ra’yi yang kemudian terpusat pada mazhab Malik (w. 179) dan mazhab Abu Hanifah (150). Pada gilirannya mazhab asy-Syafi`i lahir pula dan membangun jalan tengah di antara kedua mazhab tersebut. (Ibnu Khaldun, t.th: 446). Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam mazhab asy-Syafi`i dapat diartikan sebagai pertanda adanya potensi untuk berubah dan sifat dinamis dalam mazhab tersebut. AsySyafi`i sendiri selalu menganjurkan kepada murid-muridnya (ashab) agar senantiasa berijtihad dan melakukan tinjauan ulang atas fatwa-fatwanya yangtelah dibukukan. Hal 2
Dalam hal ini asy-Syafi'i mengatakan bahwa 'urf tidak dipandang sebagai sumber hukum, namun ia dapat mempengaruhi penerapan hukum yang menyangkut kebiasaan daerah tertentu. Oleh karena itu, pada tingkat tertentu penerapan hukum yang terkait dengan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 ini terbukti dengan adanya Qaul Qadim yang difatwakan kembali karena dianggap lebih kuat (rajih) Sejalan dengan perbedaan kaidahkaidah yang dirumuskan, fatwa-fatwa yang lahir sebagai hasil ijtihad juga banyak yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Lebih dari itu tidak jarang terjadi seorang ulama yang telah berfatwa tentang suatu kasus tertentu kembali mengeluarkan fatwa yang lain, terutama ketika berada pada waktu atau daerah yang lain pula. Adalah asy-Syafi`i (w. 204) cukup terkenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya yang dibedakan atas waktu dan wilayah beliau berfatwa. Secara umum, fatwa-fatwa tersebut merupakan produk sosial budaya dalam suatu periode dan daerah tertentu. Sesungguhnya ilmu selalu terkait dengan kondisi masyarakat, demikian juga ilmu hukum juga tidak terkecuali. Hukum mengatur masyarakat, tetapi kebiasaan yang berlaku turut pula menjadi sumber hukum itu sendiri. Dalam hukum Islam, ketentuan hukum yang terkait dengan atau diatur berdasarkan `urf2 cukup banyak jumlahnya. Pada satu sisi fiqh adalah penjabaran dari nas al-Qur’an dan asSunnah. Jadi sepanjang nas-nas itu tidak berubah, tentu fiqhnya pun akan tetap sama. Akan tetapi pada sisi lain, fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan, maka besar kemungkinan fiqh terpengaruh oleh lingkungan si mujtahid. (Lahmuddin Nasution, 2001: 169).
pertimbangan 'urf harus senantiasa mengikuti 'urf tersebut. Perubahan 'urf mutlak menuntut perubahan hukum yang terkait dengannya. Baca Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 169
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 15 -
IAIS Sambas A. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM 1. Pengertian Ijtihad. Secara etimologis, kata “ijtihad” yang mengikuti wazan “ifti’al” diderivasi dari kata “jahd” yang merupakan bentuk isim masdar dari kata “jahada-yajhadu". (Ilyas Supena dan M. Fauzi, 2002: 175). Kata “Jahd”dan“Juhd”mempunyai arti “taqah” (kemampuan, kekuatan). Ada juga yang membedakan kedua makna tersebut, yaitu “jahd" berarti “masyaqqah”, sedangkan "juhd" mempunyai arti "taqah" Ibnu alAsir berkata, kata "jahd" berarti "masyaqqah", dan ada juga yang mengartikannya dengan “mubalagah” (sungguh-sungguh) dan “gayah” (maksimum, klimaks). Sedangkan kata "juhd" berarti "wus'u" (kemampuan, kekuatan, kesungguhan), dan "taqah". Namun ada juga yang berpendapat bahwa baik kata "jahd" maupun "juhd" memiliki arti “wusu” dan “taqah” apabila diartikan dengan “masyaqqah” dan “gayah” maka huruf jimnya harus dibaca fathah (jahd). (Ilyas Supena dan M. Fauzi, 2002: 175). Merujuk beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa secara etimologis ijtihad berarti suatu kemampuan, kesanggupan dan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Pernyataan ini menunjukkan adanya pekerjaan yang sangat sulit dan berat untuk dilakukan. al-Gazali (w.505/111I) menyatakan, bahwa kata ijtihad hanya dapat dipakai dalam konteks mencakup perbuatan yang di dalamnya mengandung unsur kesulitan dan hal yang berat. Karena itu, dapat dibenarkan bila ijtihad dikatakan dengan istilah “Ijtihada fi Haml Hajar alRaha” (seorang berusaha keras membawa batu penggiling). Senada dengan al-Gazali, ar-Razi (w. 606/1209) mengemukakan bahwa ijtihad hanya dapat dihubungkan dengan sesuatu yang berat, sehingga dikatakan “Istafraqa Wus'ahu fi Haml alSaqil" (seseorang berdaya upaya membawa sesuatu yang berat). Dalam pengertian inilah, kata ijtihad dan yang semusytaq
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 dengannya dipakai dalam hadis Nabi SAW. Di antaranya adalah: واﻣﺎ اﻟﺳﺟود ﻓﺎﺟﺗﮭدوا: ﻗﺎل رﺳول ﷲ ص م.ﻓﻰ اﻟدﻋﺎء ﻓﻘﻣن ان ﯾﺳﺗﺟﺎب ﻟﻛم ﺑﺟﺗﮭد ﻓﻰ اﻟﻌﺷﻰ: ﻛﺎن رﺳول ﷲ ص م ھذا: ﻗﺎل اﺑو ﻋﯾس:اﻷواﺧر ﻣﺎﻻ ﯾﺟﺗﮭد ﻓﻰ ﻏﯾرھﺎ .ﺻﺣﯾﺢ ﻏرﯾب-ﺣدﯾث ﺣﺳن Sementara itu dikalangan para ulama memberikan pengertian istilah ijtihad dengan penjelasan yang berbedabeda. Menurut Ibn al-Human misalnya, ia mengatakan bahwa ijtihad adalah: (Ibnu al-Hamman, t.th: 523). ﺑذل اﻟطﺎﻗﺔ ﻓﻰ اﻟﻔﻘﮭﯾﺔ ﻓﻰ ﺗﺣﺻﻠﻰ ﺣﻛم ﺷرﻋﻰ .ظﻧﻰ Sedangkan menurut Abu Zahrah, t.th: 379). ﺑذل اﻟﻔﻘﯾﺔ وﺳﻌﮫ ﻓﻰ اﺳﺗﻧﺑﺎط اﻷﺣﻛم اﻟﻌﻣﻠﯾﮫ ﻓﻰ .ادﻟﺗﮭﺎ اﻟﺗﻔﺻﻠﯾﺔ Sementara as-Saukani mengatakan: بذل اﻟوﺳﻊ ﻓﻰ ﻧﯾل ﺣﻛم ﺷرﻋﻰ ﻋﻠﻰ ﺑطرﯾﻖ .اﻻﺳﺗﻧﺑﺎط Pengertian ijtihad secara terminologis di atas, ternyata mempunyai definisi yang berbeda-beda.Perbedaantersebutmempunyai karakteristik dua sudut pandang. Pertama dari segi pemakaian kata, dan kedua dari ada atau tidaknya kata yang dijadikan qayyit (batasan) dalam definisi. Kelompok pertama memandang ijtihad dengan lebih menitik beratkan pada perbuatan mujtahid, adapun kelompok kedua memandang ijtihad bukan sebagai perbuatan mujtahid, melainkan sebagai sebuah “malakah” (sifat yang melekat dalam jiwa mujtahid). (Muhammad as Saukani, t.th: 250). Menelaah defenisi ijtihad versi usuliyun di atas, telah terlihat adanya limitasi ruang lingkup ijtihad, karena dari pernyataan yang terdapat dalam definisi, nampak adanya obyek ijtihad hanyalah dalam lapangan hukum syara, yang kemudian dispesifikasikan menjadi hukum amali (fiqh), sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah i’tiqad atau kalam dan akhlak tidak mendapat tempat.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 16 -
IAIS Sambas Sementara itu, Harun Nasution (Harun Nasution, 1991: 109), mamaknai ijtihad dalam arti yang lebih luas mencakup bidang tasawuf dan lainnya. Pernyataan tersebut senada dengan Jallaludin Rahmat, ia cenderung memperluas arti ijtihad sebagai pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara, baik yang amaliyah, ittiqadiyah dan khuluqiyah dari dalil-dalil yang rinci. Dengan kata lain, beliau memahami suatu teks atau presedens yang relevan dimasa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk merubah aturan tersebut dengan merubah atau membatasi, memodifikasi secara lebih teliti sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi baru. (Jamaluddin Rahmad, 1998: 183). Berbicara mengenai ijtihad maka tidak bisa lepas dari yang namanya term “hukum” itu sendiri. Istilah “hukum” dalamtermenologiusul fiqhadalahkhitab syari' (ucapan dan perbuatan Allah dan RasulNya) yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa talab (tuntutan), takhyir (pilihan) atau wad’iy (penetapan yang menjadi sebab, syarat, atau man’i’ (penghalang) suatu hukum). Berdasarkan pengertian ini, maka hukum dapat dibagi menjadi dua;taklifi (pembebanan) dan wad’iy (penetapan). Sedangkan hukum dalamterminologi fuqaha adalah dampak yang timbul sebagai akibat khitab syari' tersebut dalam tindakannya; seperti dalam hukum wujub,hukum, danibahah.(IlyasSupena, 185). Berkaitan dengan hukum ijtihad dari kaca mata syar'i, al-Syahrastani (w.548/1153) sebagaimana yang dikutip oleh Ilyas Supena mengatakan bahwa, hukum ijtihad termasuk fardu kifayah, dan bukan fardu 'ain. Artinya, apabila sudah ada satu orang saja yang melakukannya, gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Sebaliknya, apabila suatu penduduk pada suatu masa meniggalkan ijtihad, maka mereka telah berbuat maksiat dan mendekatkan dirinya pada bahaya yang besar. Alasannya
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 adalah hukum-hukum syara yang ijtihadi itu (sebagaimusabab) tergantung kepada ijtihad (sebagai sebab). Apabila sebabnya (ijtihad) tidak ditemukan, maka hukum tersebut akan menjadi kosong, dan seluruh pendapat menjadi salah. Hal ini tentu mengharuskan adanya ijtihad yang berarti juga harus ada mujtahid. Di sini, al-Syahrastani hanya menyebut satu bentuk hukum saja, yaitu fardu kifayah, dengan tidak membuka kemungkinan bentuk hukum lain sebagai alternatif. Sedangkan hukum ijtihad menurut Ibnu al-Qayyim (w.731/1350), dengan memperhatikan keadaan simustafti (penanya) atau si mas'ul (mufti). Sementara keadaan si Mufti atau Mas'ul itu sendiri ada dua macam. Pertama ia tidak mengetahui (bodoh) tentang hukum yang ditanyakan kepadanya, dan yang kedua, tidak mengetahuinya. Apabila si mas'ul bodoh tentang hukum, maka ia haram memberikan fatwa. Jika tetap memberikan fatwa, maka ia berdosa atas perbuatannya, dan juga menanggung dosa si sa'il (penanya). Sedangkan apabila si mas'ul tahu tentang hukum yang ditanyakan berdasarkan pemberitahuan orang lain tanpa tahu yang sebenarnya, maka dalam menjawab hendaknya mengatakan, bahwa dalam masalah tersebut terdapat perbedaan ulama, dan menjelaskan (perbedaan itu) apabila ia mampu. Apabila si mas'ul tahu benar tentang hukum yang ditanyakan kepadanya, maka dilihat keadaan sa'ilnya. Apabila sa'il hadir langsung dan benarbenar butuh bertanya, maka seketika itu juga si mufti wajib memberikan jawaban, tanpa boleh menunda-menunda. Sedangkan bila sa'il bertanya tentang kejadian yang belum terjadi, maka si mufti tidak wajib menjawab. Ketentuan hukum berfatwa atau berijtihad menurut Ibnu al-Qayyim hanya ada tiga macam; haram, wajib, dan tidak wajib. Ketentuan hukum haram, dikaitkan dengan kualitas si mufti; apakah dia mengetahui hukum atau tidak (bodoh).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 17 -
IAIS Sambas Mufti yang bodoh haram memberikan fatwa, di samping itu, hukum haram juga dihubungkan dengan bertentangan atau tidaknya ifta' dengan nas. Apabila nyata bertentangan dengan nas maka jelas hukumnya adalah haram. Pada perkembangan selanjutnya, hukum ijtihad diperluas dengan dipilahpilah mendekati kategori al-Ahkam alKhamsah. Wahbah al-Zuhayli membagi hukum ijtihad menjadi:3 a. Ijtihad menjadi wajib 'ain apabila seorang mujtahid dihadapkan pada peristiwa baru dan ia tidak mengetahui hukumnya. Atau, apabila ditanyakan kepadanya tentang hukum suatu peristiwa yang terajadi, dan tidak ada mujtahid selainnya. b. Ijtihad menjadi wajib kifayah apabila di wilayah tersebut terdapat lebih dari seorang mujtahid, dan khawatir belalunya peristiwa hukum yang dimaksud. Apabila sudah ada sebagaian mujtahid yang memberikan ketentuan hukumnya, maka gugurlah tuntutan ijtihad bagi lainnya. Jika mereka mampu, namun tidak bersedia berfatwa, maka semuanya berdosa. c. Ijtihad hukumnya manzub, apabila terkait dengan peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi, tetapi bakal terjadi dalam waktu dekat. d. Ijtihad berubah haram hukumnya, apabila bertentangan dengan nas alQur'an atau as-Sunnah yang qat'iy tau betentangan dengan ijma' Berkaitan dengan hal ini imam alHaramain mengatakan bahwa asy-Syafi'i memberikan tatanan ijtihad yang baik yaitu sebagai berikut: "Bila ada peristiwa yang mengharuskan mujtahid mencari hukumnya, maka ia harus memeriksa penegasan-penegasan 3
Wahbah az-Zuhayli, 'Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Da>r al-Fikr, 1996), II:1055-1056
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 al-Kitab, bila tidak ketemu ia beralih kepada nas-nas khabar mutawatir, bila tidak ketemu ia beralih ke nas-nas khabar ahad, bila tidak juga ditemukan ia harus melakukan pencarian kepada zawahir (petunjuk lahir) al-Kitab. Akan tetapi petunjuk zahir tidak dapat diamalkan sebelum memperhatikan hal-hal yang mungkin men-takhsis-nya. Kemudian jika tidak ditemukan maka ia beralih kepada zawahir khabar mutawatir, dengan memperhatikan kemungkinan takhsis seperti tadi, dan selanjutnya kepada khabar ahad dan jika masih tetap belum menemukan hukum yang dicari itu, ia belum boleh melakukan Qiyas, tetapi harus terlebih dahulu memperhatikan kaidah-kaidahumumsyara'yangmengandung kemaslahatan. Bila masalahnya tidak terkait dengan kemashalahatan umum maka harus mencari Ijma'. Jika ulama setempat telah menegaskan adanya Ijma' maka ia tidak perlu mencari lagi lebih lanjut. Jika masalahnya tercakup oleh masalah yang telah ada nas-nya , maka harus melakukan Qiyas dengan memperhatikan kesesuaian 'illah dengan hukum (ikhalah, munasabah, dan isy’ar). Qiyas dapat diamalkan sepanjang tidak ada yang menentangnya. Bila dua Qiyas lkhalah (yang 'illah-nya sesuai dengan hukum) bertentangan, maka ia harus melakukan tarjih. Dan bila Qiyas Ikhalah tidak berhasil ditegakkan barulah ia boleh mencari Qiyas syabah, jika itu dianggapnya sebagai hujjah.4 Lebih lanjut al-Haramain mengatakan, bahwa seorang mujtahid boleh mendahulukan Ijma' untuk difatwakan. Sebab dibanding dengan semua dalil lainnya, Ijma' berada dalam tingkatan yang lebih tinggi (Muqaddam ’ala Kulli Maslak fi alMartabah al-'Aliyyah).5 4
Imam al-Haramain, Al-Burhan fi Usul alFiqh, (Qathr: Al-Yayaikh Khalifah ibnu al-Shani, 1199), II: 1337-1339. 5
Ibid., hlm. 1339
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 18 -
IAIS Sambas Sementara itu, al-Gazali di dalam kitab al-Mankhul mengemukakan langkah-langkah ijtihad yang menurut asy-Syafi'i harus ditempuh oleh seorang mujtahid—al-Gazali menyatakan, bahwa urutan langkah-langkah (tadrij annazar) yang dikemukakan oleh asySyafi'i adalah—di mana ia menempatkan ijma setelah khabar. Tetapi ini adalah sekedar urutan menurut martabat, bukan dalam tindakan penggunaan. Sebenarnya ijma harus didahulukan atas khabar. Sebab penggunaan khabar itu sendiri bersandar kepada Ijma'. Artinya khabar itu dijadikan karena para sahabat telah sepakat (Ijma') mengamalkannya.6 Berdasarkan kutipan dan komentar dari kedua tokoh yang mengikuti faham asy-Syafi'iyah tersebut, maka terlihatlah bahwa langkah-langkah operasional ijtihad asy-Syafi'i adalah mencari hukum secara berturut-turut mulai dari:7 a. Nas-nas al-Qur'an. b. Nas-nas khabar mutawattir. c. Ijma' ulama terdahulu. d. Nas-nas khabar ahad. e. Petunjuk zahir alQur'an dan as-Sunnah f. Qiyas, dengan memperhatikan urutan : 6
Al-Gazali, Al-Mankhul min Ta'liqat alUsul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 466-467 7
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 164 8
Lihat. Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazahab Syafi'i, cet. I (Bandung: Rosda Karya, 2001), hlm. 61. 9
Pada saat Rasulullah SAW wafat, dinamika pengambilan ketetapan hukum Islam yang kontemporer (yang tidak terdapat dalam nas baik al-Qur'an maupun as-Sunnah) semakin mengalami ketimpangan yang sangat mendasar, hal inilah yang mendorong untuk mencari ketetapan hukum terbaik sekaligus mencari jawaban dari semua persoalan yang telah berkembang di tengah-tengah umat Islam dewasa ini. Oleh karenanya, para sahabat tidak
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 -
Kaidah-kaidah kulliyah. Cakupan nas atau Ijma' Qiyas mukhil Qiyas al-Syabah
2. Sumber Penetapan Hukum Islam dalam Pandangan asy-Syafi'i. Sepanjang masa hidup Nabi Muhammad SAW hampir tidak ada kasus yang lepas dari perhatian asy-Syafi'i, di mana hukum-hukum sepenuhnya diatur dengan ketetapan wahyu, baik berupa nas al-Qur'an maupun as-Sunnah. Tindakan hukum yang dalam keadaankedaan tertentu dilakukan oleh para sahabat tanpa pertunjuk langsung dari nas, khususnya dalam kasus-kasus yang terjadi di luar Madinah, segera dilaporkan kepada beliau untuk mendapatkan penetapan lanjut. Jadi, walaupun mereka kadang-kadang melakukan ijtihad, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Rasulaullah SAW.8 Namun, kedaan ini segera berubah setelah Nabi SAW wafat,9 karena tidak ada rujukan lain, maka fatwa atau keputusan dari para sahabatlah yang menempati posisi puncak dalam penataan hukum. Untuk setiap kasus
hanya dihadapkan pada masalah-masalah baru, tetapi juga krusial terutama polemik tentang siapa yang pantas mengganti Nabi untuk meminpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapat legalitas syara'. Satu-saatunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada al-Qur'an, al-H{adi>s\ dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan. Ragam kasus yang muncul pada periode kepemimpinan Khalifah mulai berkembang. Selain hukum tentang keluarga, hukum transaksi (perdagangan) juga hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti hak-hak dasar manusia, hak untuk mendapatkan kemerdekaan, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara. Baca. Amir Mu'allim dan Yusdani, Ijtihad, hlm. 18.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 19 -
IAIS Sambas yang telah diatur sebelunmya, mereka senantiasa mengindahkan ketentuan nas. Akan tetapi, jika berhadapan dengan kasus-kasus baru, mereka harus berupaya menemukan hukumnya dari petunjuk yang diberikan secara tidak langsung oleh nas al-Qur'an atau asSunnah. Upaya inilah yang kemudian dikenal sebagai ijtihad. Ijtiihad perlu dilakukan dalam rangka untuk memahami dan menjabarkan makna serta nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, tentu saja ijtihad itu dapat dilkukan oleh ulama terkemuka (memiliki ilmu agama yang tinggi). Untuk memenuhi semua kebutuhan fatwa yang terus meningkat, mereka melakukan ijtihad dengan mengggunakan metode dan pendekatan tertentu yang dinilainya paling baik. Dalam hal ini ternyata pilihan mereka tidak selalu sama.10 Dua aliran yang muncul sejak masa sahabat kecil, yaitu: Ahlu al-Hadis dan Ahlu ar-Ra'yi, yang terutama dapat dibedakan berdasarkan corak ijtihadnya masing-masing. Mengingat bahwa ijtihad itu sendiri merupakan upaya memahami dan menjabarkan petunjuk dalil-dalil terhadap hukum, maka penetapan tentang apa saja yang dipandang sah sebagai dalil menempati posisi yang sangat penting dalam setiap tatanan ijtihad. Hal ini selalu dibahas secara sistematis dalam kajian usul al-fiqh sejak asy-Syafi'i mulai memperkenalkan kitab ar-Risalah-nya pada pengunjung abad ke-2 H.11 10
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 62. 11
Kitab ar-Risalah yang dikenal sebagai kitab usul al-fiqh pertama ini lahir untuk memenuhi permintaan Abd ar-Rahman ibn al-Mahdi (seorang tokoh Ahl al-Hads pada masa itu) agar asy-Syafi'i menuliskan pedoman-pedoman dasar mengenai kedudukan serta cara-cara menggunakan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai dalil dalam melakukan ijtihad. Sebenarnya, ada juga riwayat yang
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Pada bagian awal kitab tersebut asySyafi'i menegaskan bahwa dalam alQur'an terdapat petunjuk mengenai setiap kasus yang akan timbul (nazilah) pada seseorang. Untuk menopang pendirianya tersebut, ia mengutip beberapa ayat. Tentu saja peryataan ini bersifat global dan tidak berarti bahwa segala-galanya diuraikan secara tegas atau rinci di dalam al-Qur'an. Petunjuk yang dimaksudkan meliputi petunjuk langsung dan petunjuk tidak langsung, yang dekat dan yang tidak demikian. Sehubungan dengan itu, maka berbagai penjelasan mutlak diperlukan, dan untuk itulah ia membahas al-bayan (penjelasan) dengan segala macam dan jenisnya. Penjelasan itu mungkin berupa ayat al-Qur'an menjelaskan ayat lainnya, as-Sunnah menjelaskan ayat al-Qur'an, as-Sunnah menetapkan hukum-hukum tertentu yang belum disinggung di dalam al-Qur'an, atau ijtihad menjelaskan hukum yang tidak tersebut di dalam alQur'an dan as-Sunnah.12 Bertolak dari ini semua, asy-Syafi'i selanjutnya menegaskan pula bahwa tidak seorang pun boleh berbicara tentang halal dan haram kecuali berdasarkan ilmu (min jihah al-'ilm) yakni berupa khabar dari al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma', atau Qiyas. Dari penegasan ini diketahui bahwa hanya empat dalil inilah yang benarbenar sah sebagai landasan hukum.13 Berikut ini, dikemukakan secara singkat pokok-pokok pikiran dan kaidah-kaidah ijtihad yang dirumuskan oleh asy-Syafi'i mengenai keempat dalil tersebut satu persatu: menyebutkan bahwa Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan, keduanya murid Abu Hanifah, telah menulis buku pedoman sejenis untuk kalangan Hanafiyah. Lihat Khudhari Bek, Tarikh Tasyri' alIslami, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 186 12
Asy-Syafi'i, Ar-Risalah, (Beirut: Dar alFikr, 1309 H), hlm. 20 13
Ibid., hlm. 26-38.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 20 -
IAIS Sambas a. Pengertian Al-Qur'an Menurut Asy-Syafi'i. Asy-Syafi'i menegaskan bahwa alQur'an membawa petunjuk, menerangkan yang halal dan haram, menjanjikan balasan bagi yang taat dengan surga, serta neraka bagi yang durhaka, dan juga memberikan perbandingan dengan kisah-kisah umat terdahulu.14 Semua yang diturunkan Allah dalam al-Qur'an adalah hujjah (dalil, argument) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat kaitannya dengan pengetahuannya tentang isi alQur'an. Orang yang berilmu adalah yang mengetahui al-Qur'an, sedangkan yang jahil adalah yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an, baik yang diperoleh dari nas (penegasan ungkapan) maupun melalui istinbat (penggalian hukum). Menurut asy-Syafi'i, setiap kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai dalil dan petunjuk dalam al-Qur'an. Sementara itu, dalam bab pembuka kitab ar-Risalah, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hasan15 asy-Syafi'i membicarakan posisi al-Qur'an dalam hukum dan membuktikannya sebagai landasan dari semua pengetahuan hukum. Ia berpendapat bahwa al-Qur'an adalah sumber pokok hukum dari semua pengetahuan dasar hukum—dengan mengatakan bahwa al-Qur'an mengandung tuntunan bagi semua masalah apa pun yang mungkin timbul (nazilah) dikalangan kaum muslimin. Selanjutnya asy-Syafi'i memberikan beberapa katagori yang dapat memperlihatkan bahwa perintah14
Baca Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 64.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 perintah al-Qur'an itu memiliki makna yang jelas, meskipun sebagian ayat ada yang jelas maknanya dari pada yang lain.16 Katagori yang pertama, bahwa alQur'an terdiri dari ketentuan-ketentuan hukum yang khusus, seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan larangan-larangan nyata atau perbuatan-perbuatan buruk tertentu seperti zina, minum-minuman keras serta memakan darah, bangkai, dan daging babi. Kedua, meliputi kewajiban-kewajiban tertentu yang perinciannya diterangkan oleh Sunnah Rasul, seperti banyaknya zakat, nisab zakat dan batasan waktunya. Ketiga, terdiri dari ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapakan oleh Rasulullah dan tidak diberikan oleh teks-teks al-Qur'an. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa al-Qur'an menjadikan kepatuhan kepada Rasulullah sebagai suatu hal yang wajib bagi kaum muslimin. Keempat, terdiri dari aturan-aturan yang diturunkan melalui jalan ijtihad. Kemudian, asy-Syafi'i mengkaji alQur'an secara mendalam dan megklasifikasi peryataan-peryataan alQur'an menjadi umum ('am) dan khusus (khas). Ia menayatakan bahwa ada pernyataan-pernyataan tertentu yang mutlak bersifat umum, dan dimaksudkan untuk bersifat umum; ada pernyataan-peryataan lain yang juga umum, dan dimaksudkan demikian, tetapi juga merujuk pada situasi atau kejadian khusus tertentu; juga ada pernyataan-pernyataan yang tanpaknya bersifat umum, tetapi maknanya tidak dapat dipastikan kecuali bila diterapkan pada keadaaan-keadaaan khusus.17 Dari sini terlihat, bahwa tampaknya as-Syafi'i tidak memberikan batasan 16
Ibid., hlm. 169-170.
17
Ibid., hlm. 170
15
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah Garnadi, cet. I (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 169
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 21 -
IAIS Sambas difinitif terhadap al-Qur'an, tetapi lebih berdasarkan pada berbagai uraiannya. Para pengikutnyalah yang telah merumuskan defenisi al-Qur'an secara mendalam, misalnya, al-Gazali memberikan defenisi sebagai berikut: اﻷﺣرف ﻣﺎﻧﻘل اﻟﯾﻧﺎ ﺑﯾن دﻓﺗﻰ اﻟﻣﺻﺣف ﻋﻠﻰ .اﻟﺳﺑﻌﺔ ﻧﻘﻼ ﻣﺗواﺗرا18 Taj ad-Din as-Subki (w.771) menyatakan: اﻟﻠﻔظ اﻟﻣﻧزل ﻋﻠﻰ ﻣﺣﻣد ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم .ﻟﻼﻋﺟﺎز ﺑﺳورة ﻣﻧﮫ اﻟﻣﺗﻌﺑد ﺑﺗﻼوﺗﮫ19 Kedua pengertian tersebut menunjukkan unsur-unsur penting yang menbentuk pengertian, bahwa al-Qur'an adalah kalam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, termuat di dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, merupakan mukjzat dan membacanya adalah ibadah. Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa masih adanya beberapa persoalan yang harus digaris bawahi tentang esensi al-Qur'an itu sendiri, di antaranya; apakah al-Qur'an itu membatalkan as-Sunnah atau tidak?. Dalam hal ini, asy-Syafi'i mempunyai pendapat bahwa jika al-Qur'an membatalkan suatu as-Sunnah Rasulullah, sedangkan Rasulullah sendiri tidak menunjukkan pembatalannya, maka ini berarti semua perintah dari beliau yang tidak sesuai dengan alQur'an dianggap dibatalkan oleh alQur'an. Bagi pembatalan suatu Sunnah, asy-Syafi'i berpendapat, adalah perlu bahwa Rasulullah memberitahukannya kepada orang banyak secara khusus, terlebih jika as-Sunnah tersebut dibatalkan oleh al-Qur'an. Tidak ada asSunnah Rasul yang bertentangan dengan al-Qur'an, akan tetapi sebaliknya as18
Al-Gazali, Al-Mustafa min Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), I: 101.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Sunnah merupakan perincian atas alQur'an.20 Hal ini dapat ditemukan misalnya dalam perintah-perintah yang jelas, maka as-Sunnah mengikuti alQur'an sepenuhnya, sedang dalam kasus perintah-perintah yang umum, atau bermakna ganda, maka as-Sunnah menjelaskan dan memperincinya.21 Asy-Syafi'i membahas masalah naskh secara panjang lebar dalam kitabnya ar-Risalah. Ia mengemukakan bahwa perintah-perintah al-Qur'an hanya dapat dibatalkan oleh al-Qur'an saja. Ia menentang pandangan bahwa asSunnah dapat membetalkan al-Qur'an dan sebaliknya hal ini didukung oleh firman Allah SWT: ﻣﺎﻧﻧﺳﺦ ﻣن اﯾﺔ ﻣن آﯾﺔ او ﻧﻧﺳﮭﺎ ﻧﺄت ﺑﺧﯾر ﻣﻧﮭﺎ .اوﻣﺛﻠﮭﺎ22 Menurut asy-Syafi'i, bahwa secara eksplisit ayat tersebut berbicara tentang pembatalan al-Qur'an oleh al-Qur'an. Dalam surat-surat Makiyyah mengandung toleransi terhadap agresi kaum kafir. Segala perintah mengalah (mundur), diwahyukan dalam situasi ketika kaum muslimin dalam keadaan lemah dan tidak dapat membalas agresi kelompok kafir. Sedangkan perintah jihad diwahyukan setelah kaum muslimin tumbuh besar. Jadi kedua peraturan yang berbeda ternyata memiliki latarbelakang yang berbeda pula. Artinya tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Setiap aturan-aturan al-Qur'an yang diwahyukan dalam keadaan yang berbeda-beda dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan perspektif dan konteks situasionalnya. Teori klasik naskh tidak mungkin berasal dari Rasulullah. Perubahan arti 20
Asy-Syafi'i, Ar-Risalah, hlm. 17-18
21
Ibid., hlm. 17.
22
Al-Baqarah (2): 106.
19
Taj ad-Din as-Subki, Jam'u al-Jawami', (Kairo: Dar Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah, tt), hlm. 228.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 22 -
IAIS Sambas dalam berbagai tahap perkembangan, menjadi sejumlah kerancuan yang menyelubunginya, karena ajaran alQur'an ditujukan bagi setiap zaman dan tempat, maka sangat sulit dipercaya bahwa Rasulullah telah menyerahkan persoalan yang demikian penting tentang pemahaman al-Qur'an kepada orang banyak. Lebih jauh di antara para sahabat dikabarkan telah berbeda pendapat mengenai pembatalan ayatayat tertentu secara praktis.23 2. Esensi as-Sunnah dalam Ijtihad As-Syafi'i. Secara sederhana, istilah as-Sunnah dan al-Hadis memiliki arti yang sama, yaitu tradisi Nabi. Kajian kritis tentang istilah ini telah memperlihatkan bahwa dalam fase perkembangan awalnya kedua istilah tersebut tidaklah identik. as-Sunnah pada pokoknya berarti “jalan setapak”, "perilaku", "praktek", "tindaktanduk" atau "perilaku". Istilah ini secara tidak langsung mempunyai arti praktek normatif atau model perilaku, apakah baik atau buruk, dari seseorang, kelompok atau masyarakat tertentu. Cara di mana Allah bertindak terhadap suatu kaum di masa lampau dalam alQur'an di istilahkan dengan 24 Sunnahtullah. Istilah as-Sunnah, baik dipergunakan dalam pengertian praktek masyarakat atau perilaku seseorang, tetap memiliki unsur normatif. Sifat normatifan inilah yang membedakannya dari kata-kata sinonim lainnya. Sejauh ini kita telah membahas etimologi istilah as-Sunnah yang digunakan dalam doktrin hukum Islam, khususnya 23
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Haya', tt), V: 138. 24
Kata as-Sunnah bukanlah suatu hal yang baru bagi kaum muslimin. Sebenarnya ia telah lama menjadi mode dikalangan bangsa Arab pra-Islam. Orang-orang Arab telah menggunakannya bagi adat istiadat lama dan contoh perilaku yang telah
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 praktek normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah, karena hal ini merupakan hak istimewa beliau ketika masih hidup. Pada generasi-generasi selanjutnya istilah as-Sunnah berarti praktek umum kaum muslimin yang mencerminkan Sunnah Nabi. Perlu diketahui bahwa menurut peristilahan para ahli hadis, yakni di masa setelah asy-Syafi'i, alHadis dan as-Sunnah dianggap identik, padahal keduanya tidaklah sama. alHadis dan as-Sunnah adalah dua hal yang berbeda dan mempunyai makna yang berbeda pula. al-Hadis adalah penuturan dan prilaku Rasulullah sedangkan asSunnah adalah hukum yang disimpulkan dari penuturan tersebut. Dengan kata lain, al-Hadis adalah "pembawa" dan "kendaraan" dari as-Sunnah. Jadi, asSunnah sudah terkandung dalam alHadis.25 Sering kita jumpai dalam literaturlitaratur fiqh adanya kesimpulan yang menyatakan bahwa perbedaan arti di masa awal antara as-Sunnah dan alHadis ialah bahwa yang pertama secara keseluruhan membawa tradisi yang telah dikenal baik, praktek-praktek umum yang sudah mapan dari kaum muslimin, sedangkan yang kedua adalah peraturan hukum-hukum yang sudah pasti dinyatakan oleh Rasulullah. Akan tetapi asy-Syafi'i menentang arti asSunnah yang telah berlaku tersebut, dan mendesak untuk mengartikan as-Sunnah sebagai tradisi yang dijamin asli berasal dari Rasulullah. Ia lebih mengutamakan al-Hadis dari Rasulullah yang dijamin keaslianya daripada praktek mapan yang disepakati oleh kaum muslimin. Dengan diturunkan oleh para pendahulu mereka berupa adat istiadat atau hukum yang umum di antara mereka yang telah dianggap sebagai norma dalam kehidupan sosial. Baca A. Hasan, Pintu Ijtihad, hlm.76. 25
Ibid., hlm. 78.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 23 -
IAIS Sambas demikian as-Sunnah dan al-Hadis baginya mempunyai kesamaan arti.26 Qur’an berulang kali menyuruh kaum muslim untuk mematuhi perintah Rasulullah dan menyatakan perilaku beliau sebagai perilaku yang ideal—di mana al-Qur'an telah mempergunakan kata “uswah”27 bagi "prilaku-teladan" dari Rasulullah. Dengan demikian, sebagai suatu konsep hal itu tidak memiliki ikatan sedikitpun dengan asSunnah-nya. Memang tidak disangsikan bahwa sebagian besar bangsa Arab praIslam memberlakukan tradisi tersebut, walaupun tidak sedikit adat-istiadat dan sebagian di antaranya telah diperbarui oleh Rasulullah.28 Mengenai perkembangan awal asSunnah, harap dicatat bahwa lembaga ini mengalami suatu proses evolusi semenjak dari awalnya. Bagi mazhab hukum yang awal mempunyai pendapat bahwa as-Sunnah merupakan praktek umat yang didukung oleh tradisi. Rasulullah atau tindakan para sahabat atau para tabi'in. Di pihak lain, asy-Syafi'i memandang setiap hadis yang dijamin keotentikannya meskipun berstatus sebagai hadis syaz (menyendiri atau soliter) dan apakah didukung oleh praktek atau pun bukan, tetap dianggap sebagi Sunnah Rasul. Perselisihan mazhab-mazhab awal dengan asy-Syafi'i berkisar pada status hadis syaz yang tidak dikenal dalam praktek masyarakat umum. Hal inilah yang telah menuntun Schacht, sebagaimana yang dikutip oleh A. Hasan untuk menyimpulkan bahwa: Pertama, as-Sunnah pada mulanya merupakan perkembangan baru. Kedua, setelah konsep ini diterima maka yang terjadi adalah pemalsuan besar-besaran terhadap al-Hadis, sehingga sangatlah
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 sulit suatu hadis itu bisa dijamin asli atau murni berasal dari Rasulullah semata.29 Setelah kekuasaan Bani Umayyah membuka satu era baru lagi mengenai perkembangan as-Sunnah. Maka dalam periode ini, ruang lingkup as-Sunnah lebih meluas lagi. Kini, as-Sunnah mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan dan otoritas-otoritas pemerintah dan konsensus para ahli hukum dari masingmasing daerah. Kita temukan jejak-jejak bukti dari kandungan as-Sunnah yang baru ini dalam sejumlah pernyatan dari otoritas-otoritas yang awal. Contohnya, al-Syaybani menisbatkan kepada Mu'awiyyah atau Abdul Malik tentang praktek pengambilan keputusan atas dasar seorang saksi disertai dengan sumpah oleh penuntut, dan praktek demikian dikatakan sebagai as-Sunnah oleh Malik. Ibnu al-Muqaffa (w. sekitar 140 H) menyatakan bahwa darah telah ditumpahkkan atas dasar kewenangan as-Sunnah; tetapi ketika as-Sunnah ini diteliti lebih seksama, jawaban yang muncul adalah bahwa Abdul Malik atau sesorang penguasa (amir) yang lain berperilaku begini atau begitu. Abu Yusuf mempersalahkan al-Awza'i dan para ahli hukum Hijaz karena mereka sering mempergunakan ungkapan mazhab as-Sunnah (demikianlah asSunnah di masa lalu). Menurutnya, asSunnah yang menjadi rujikan mereka mungkin sekali hanyalah keputusan seorang inspektur pasar atau sejumlah gubernur wilayah. asy-Syafi'i menjadi sadar akan perbedaan antara as-Sunnah Rasul dan evolusinya dan kemudian ia berkunjung ke Iraq setelah dari Madinah al-Munawwarah.30 Terpacunya pemikiran bebas individu dalam hukum, maka pendapat-
26
Ibid., hlm. 79
29
Ibid., hlm. 82
27
Al-Ahzab (33): 21
30
Ibid., hlm. 88.
28
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad, hlm. 79-80
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 24 -
IAIS Sambas pendapat pribadi dari para mufti akhirnya juga menjadi bagian dari asSunnah di berbagai daerah. Itulah sebabnya mengapa Abu Yusuf berpendapat, bahwa mereka yang mempunyai pemahaman di bidang hukum (fuqaha) dapat dipegangi sebagai sumber hukum. Jadi as-Sunnah dan ijma telah semakin dekat antara keduanya dan sulit untuk menggariskan perbedaan keduanya. Oleh karenanya, imam Malik dalam beberapa hal menolak tradisi dari Rasulullah, dan mendahulukan pendapat seorang sahabat atau tabi'in.31 Hal ini terjadi karena adanya praktek yang mapan dan telah disepakati di kota Madinah. Kenyataan inilah yang menjadikan para faqaha Iraq dan asySyafi'i memberikan tuduhan sebagai tindakan mengabaikan al-Hadis. Alasan bagi penekanan al-Hadis oleh orangorang Iraq dan asy-Syafi'i dibandingkan dengan fuqaha Madinah ialah bahwa kota Madinah mempunyai praktek mapan yang diturunkan oleh Rasulullah, sedangkan Kufah atau Basrah tidak mempunyai sedikitpun. Hingga akhirnya orang-orang Iraq menciptakan tradisinya sendiri dengan memadukan al-Hadis dan Ra’yi. Sementara asy-Syafi'i menghendaki untuk meletakkan suatu pembakuan universal dari tradisi Rasul terhadap tradisi-tradisi setempat.32
3. Esensi Ijma dalam Ijtihad asySyafi'i. Menyangkut masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qur'an ataupun as-Sunnah, sehingga hukumnya 31
Ibid., hlm. 92.
32
Ibid., hlm. 93.
33 Asy-Syaf'i'i, al-Um, (Beirut: Dar alFikr, tt), VII: 299. 34
Secara bahasa, Ijma' berarti al-'Azm (berketetapan hati untuk melakukan sesuatu) dan atTasmim (berketetapan hati untuk mengambil keputusan). Baca Jaih Mubarok, Metodelogi Ijtihad
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbada pendapat. Berekenaan dengan hal ini, para mujtahid diberi kebebasan, bahkan keharusan, untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syafi'i dengan mengatakan: ان ﻣﺎ ﻟﯾس ﻓﯾﮫ ﻧص ﻛﺗﺎب وﻻﺳﻧﺔ اذا طﻠب ﺑﺎاﻻﺟﺗﮭﺎد ﻓﯾﮫ اﻟﻣﺟﺗﮭدون وﺳﻊ ﻛﻼ اﻧﺷﺎء ﷲ ان ﯾﻔﻌل .اوﯾﻘول ﺑﻣﺎرآه ﺣﻘﺎ33 Lebih lanjut, fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalahmasalah tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi para ulama yang datang kemudian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, setelah mereka melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing, maka seluruh ulama sampai kepada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti itu disebut Ijma'34 dan dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan adanya suatu Ijma', kajian terhadap masalah tersebut dianggap telah selesai. Pada dasarnya, para fuqaha telah sepakat bahwa Ijma' merupakan salah satu dalil hukum. Akan tetapi, masih ada perbedaan pendapat mengenai beberapa hal, yakni tentang pengertian Ijma' itu sendiri, ke-hujjah-annya, kemungkinannya, serta kedudukannnya dalam urutan dalil-dalil. Oleh karena itu, asy-Syafi'i menegaskan bahwa Ijma' Hukum Islam, cet. I (Yogyakarta: UII Pres, 2002), hlm. 141. Sementara menurut istilah, pengertian ijma' setiap ulama' memiliki definisi yang berbedabeda sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf yang mencoba meberikan definisi ijma' secara idealis yaitu: "Semua mujtahid bersepakat tentang (suatu) hukum pada suatu waktu dari beberapa waktu. Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul al- Fiqh, hlm. 45.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 25 -
IAIS Sambas merupakan dalil yang kuat, pasti, serta berlaku secara luas, pada semua bidang. اﻻﺟﻣﺎع ﺣﺟﺔ ﻋﻠﻰ ﻛل ﺷﺊ ﻷﻧﮫ ﻻﯾﻣﻛن ﻓﯾﮫ 35.اﻟﺧطﺎء Sesuatu yang telah disepakati oleh genarasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan al-Qur'an atau asSunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur berdasarkan asSunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata bersumber dari ra'yu (pendapat), karena, ra'yu akan selalu berbeda-beda. Secara berhati-hati, asy-Syafi'i menegaskan Ijma' yang tidak didukung oleh al-Hadis, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan al-Hadis. Jadi, dalam hal ini, kesepakatan mereka itulah yang dikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat dalam al-Hadis, tentu di antara mereka yang mengetahui dan tidak mungkin mereka semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW.36 atau sepakat atas sesuatu yang salah. Untuk menegaskan ke-hujjah-an Ijma' itu, asySyafi'i memberikan landasan berdasarkan firman Allah AWT: وﻣن ﯾﺷﺎﻗﻖ اﻟرﺳول ﻣن ﺑﻌد ﻣﺎﺗﺑﯾن ﻟﮫ اﻟﮭدى وﯾﺗﺑﻊ ﻏﯾر ﺳﺑﯾل اﻟﻣؤﻣﻧﯾن ﻧوﻟﮫ ﻣﺎﺗوﻟﻰ وﻧﺻﻠﮫ ﺟﮭﻧم وﺳﺎءت 37.ﻣﺻﯾرا Ayat ini jelas menyatakan ancaman terhadap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. 35
Ibid., hlm. 293
36
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 88. 37
An-Nisa' (3): 115.
38
Asy-Syafi'i, Ar-Risalah, hlm. 475-476
Secara bahasa, qiyas berarti اﻟﺘﻘﺪﯾﺮ واﻟﺘﺴﻮﯾﮫ (menduga dan mempersembahkan). Pengertian qiyas secara bahasa yang lebih dekat kepada pengertian qiyas seacara istilah yaitu mempersamakan cabang kepada yang pokok ( ﺗﺴ ﻮﯾﺔ )اﻟﻔﺮع اﻟﻰ اﻷﺻ ﻠﻰ. Sedangkan definisi qiyas secara istilah dijelaskan oleh al-Qad}i Abi Bakar 39
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Menurut asy-Syafi'i orang yang tidak mengikuti Ijma' berarti talah mengikuti jalan lain, selain jalan orang mukmin. Jadi, orang yang tidak mengikuti Ijma' mendapat ancaman dari Allah SWT. Dengan demikian, jelaslah bahwa Ijma' wajib diikuti dan karena itu adalah hujjah. Selanjutnya, asy-Syafi'i juga mengemukakan beberapa al-Hadis yang memerintahakan agar tetap bersama jama'ah ummat Islam. Menurutnya, satusatunya penafsiran yang benar bagi perintah itu adalah kesamaan pendirian dalam masalah halal dan haram; bukan kebersaman secara fisik. Jadi, siapa yang berpandangan dengan ummat, itulah yang dianggap bersama jama'ah (lazimah jama'atahum) sesuai dengan perintah tersebut. Kelalian hanya mungkin terjadi dalam perpecahan, sedangkan jama'ah, secara keseluruhan, tidak mungkin lalai akan makna al-Kitab, as-Sunnah, dan Qiyas.38
4. Esensi Qiyas dalam Ijtihad asySyafi'i. Sesungguhnya Qiyas39 atau ra'yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa asy-Syafi'i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat: Abu Bakar r.a, Umar r.a. dan lain-lain. Penggunaan ra'yu itu meluas sedemikian rupa sehingga mewarnai salah satu aliran fiqh yang dikenal dengan Ahl ar-Ra'yi, yang berkembang sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok, ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qiyas adalah "membawa sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang lain yang diketahui pula untuk menetapkan hukum atau melarang keduanya kareana ada sesuatu yang sama di antara keduanya, baik hukum atau sifatnya". Baca Jaih Mubarok, Metodelogi Ijtihad, hlm. 98-99. seabagai perbandingan lihat juga, Asy-Syafi'i, Ar-Risalah. hlm. 501-504. Untuk mengetahu metode atau unsurunsur qiyas, baca Amir Mu'allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cet. II (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 64-67.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 26 -
IAIS Sambas pesat dsibawah kepemimpinan Abu Hanifah. Akan tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jrelas tetang hakikat, batasan-batasan, dan kedudukannya sebagai dalil. Asy-Syafi'i-lah yang pertama kali memberikan bentuk, batasan, syarat-syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi Qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum.40 Ia menempatkan Qiyas dalam urutan keempat, baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya. Berbicara tetang Qiyas, dalam kitabnya ar-Risalah, asy-Syafi'i menegaskan beberapa pokok pikirannya, antara lain sebagai berikut:41 1) Bahwa setiap kasus yang terjadi atas orang muslim pasti ada hukumnya. Kalaupun hukum itu tidak dinyatakan secara tegas, pasti ada petunjuk ke arahnya; dan hukum itu dapat dicari dengan ijtihad—yaitu melalai Qiyas. 2) Bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan Qiyas itu adalah benar secara zahir dan hanya berlaku bagi orang yang menemukannya, tidak bagi semua ulama, sebab hanya Allah yang mengetahui hal-hal yang gaib. 3) Qiyas itu ada luas tingkatan. Pertama, sesuatu yang diQiyas-kan itu tercakup oleh pengertian asl (kasus pokok) sehingga tidak akan ada perbedaan dalam meng-Qiyas-kannya. Kedua, sesuatu itu mempunyai kesamaan dengan beberapa asl; dalam hal ini ia harus di-Qiyas-kan kepada asl yang paling mirip dengannya, namun orang40
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 97.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 orang mungkin akan berbeda pendapat dalam menentukannnya. 4) Hukum masalah yang tidak ada nas-nya haruslah dicari dengan Qiyas, namun kita hanya dibebani dengan apa yang kita anggap benar (alhaqq 'indana) dan kebenaran itu bertingkat-tingkat sesuai kekuatan tunjukan dalildalilnya. 5) Jika terjadi perbedaan pendapat, para mujtahid harus mengamalkan hasil ijtihadnya masing-masing. Sebab, pada lahirnya itula hyang benar baginya, walaupun pada hakikatnya dua pendapat yang berbeda tentang sesuatu tidaklah mungkin sama-sama benar. Akan tetapi, jika seorang ulama telah berijtihad dengan meneliti dalil-dalil seraya memohonkan pertolongan ('inayah) dan taufiq dari Allah, berarti ia telah melaksanakan kewajibannya. 6) Sekalipun dalam keadaan tidak mampu mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, orang tetap tidak boleh bertindak hanya berdasarkan ra'yu (pendapat pribadi) semata-mata, tanpa dalil. Bagi asy-Syafi'i, Qiyas merupakan upaya menemukan sesuatu yang dicari melalui dalil-dalil sesuai dengan khabar yang ada pada al-Kitab atau as-Sunnah. Ijtihad berarti mencari sesuatu yang telah ada, tetapi tidak nampak ('ain qa'imah mugayyabah), sehingga untuk menemukannnya diperlukan petunjuk 41
Asy-Syafi'i, Ar-Risalah, hlm. 477-494.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 27 -
IAIS Sambas dalil-dalil, atau upaya mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang ada.42 Oleh karena itu, tidak jarang jika dalam berbagai uraiannya, asy-Syafi'i menggunakan kata Qiyas dan ijtihad secara bergantian dan menegaskan bahwa kedua kata itu adalah dua nama bagi satu makna (ismani li ma'nan wahid).43 B. DINAMIKA HUKUM MAZHAB ASY-SYAFI'I. 1. Penge rtian Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam Perke mban gan Fiqh asySyafi'i yah Islam diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur'an sendiri menjelaskan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.44 Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap umat manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern dengan tantangan 42
Ibid., hlm 505
43
Ibid., hlm. 477
44
Baca As-Saba (34): 28 dan Al-Anbiya
(21): 107
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 modernitasnya, maka Islam dituntut dapat meghadapi tantangan modernitas tersebut. Pada dasarnya, ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok ajaran: Pertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal, dan permanen, tidak pernah berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur'an dan hadis mutawatir yang penunjukannya telah jelas (qat'i ad-dalalah). Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan permanen, dapat berubah dan diubah. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad.45 Kerangka berfikir absolut dan relatif ini sering muncul dikalangan para ahli hukum Islam (ahli usul fiqh) dan pakar pembaruan dalam Islam. Di kalangan ahli teori hukum Islam dikenal dikotomi antara dalil qat'i dan zanni, baik dari segi eksistensinya maupun penunjukannya Pernyataan tersebut menunjukan bahwa kemungkinan mengadakan perubahan dan pembaruan ajaran Islam yang bersifat relatif, termasuk bidang hukumnya, adalah sangat besar.46 Hukum Islam yang berakar dari nas zanni inilah yang merupakan wilayah ijtihadi, yang produknya disebut fiqh. Hukum Islam dalam pengertian ini yang telah memberikan kemungkinan epistimologi hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum secara berbedabeda. Hal ini tercermin pada kecenderungan-kecenderungan sistem hukum di negara-negara muslim dewasa 45
Harun Nasutian, "Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam", dalam Haidar Baqir (ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 112 46
Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 12.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 28 -
IAIS Sambas ini. Kejadian ini bukan hanya disebabkan oleh perbedaan sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor sejarah, sosiologis dan kultur47 masing-masing negara muslim tersebut. Dalam berijtihad asy-Syafi'i memiliki model yang sama sekali tidak dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya. Adanya perubahan fatwa-fatwa yang dikeluarkam dalam waktu yang relatif singkat dalam satu periode, merupakan bukti bahwa ketelitiannya sangat dikedepankan dalam berijtihad. Selain mengeluarkan pendapat dalam bentuk fatwa sebagai hasil dari ijtihad yang telah sempurna, asy-Syafi'i juga terkadang mengeluarkan dua Qaul sebagai alternatif dengan disertai dalil yang kuat (tarjih).48 Bahkan dalam keadaan tertentu, karena kekurangan bahan pertimbangan, terdapat pula beberapa qaul yang dikemukakan secara bersyarat, bergantung pada penelitian lebih lanjut atas suatu aspek yang tidak dapat dilakukan pada saat pembahasan (ketika masalah itu muncul). Setelah mengemukakan berbagai kemungkinan penyelesaian ia sering berkata. 49ﻓﺎذا ﺻﺢ اﻟﺣدﯾث ﻓﮭو ﻣذھﺑﻰ Asy-Syafi'i muncul pada titik balik sejarah yurisprudensi Islam yang membawa nafas baru dalam perkembangan teori hukum. Ia tidak terikat secara kuat pada suatu lingkup daerah kegiatan hukum tertentu yang dapat membuatnya dicurigai memiliki pandangan terbatas mengenai prinsipprinsip hukum50. Adanya perbedaan antara asy-Syafi'i dengan mazhab47
Amrullah Ahmad dkk (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. XI
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 mazhab awal tetapi perbedaan tersebut tidaklah menyangkut hal-hal yang bersifat fundamental, melainkan detildetil dalam persolan hukum, dan karenanya ia tidak dapat ditempatkan sejajar dengan mereka. Kajian yang dilakukan secara luas dan perdebatannya dengan ahli hukum di berbagai daerah dalam merumuskan prinsip-prinsip hukum baru yang teguh adalah alasan utama tentang ketidak sepahamanya dengan para pendahulunya. Ia dapat dikatakan sebagai seorang perintis dari satu sistem hukum yang kemudian diikuti oleh para ahli hukum di masa-masa selanjutnya 51 Di sini muncul pertanyaan, apakah pernah terdapat sejumlah prinsip hukum yang eksplisit dan konkrit sebelum asy-Syafi'i, ataukah ia seorang pemikir hukum yang pertama kali merumuskan prinsip-prinsip tersebut. Pada umumnya dikatakan bahwa asySyafi'i-lah yang pertama kali menggariskan teori hukum Islam dalam bentuk yang sistematis.52 Pengamatan terhadap adanya sejumlah qaul yang bebeda di keluarkan dalam waktu singkat, merupakan satu bukti dan fakta penting yang membuktikan bahwa asy-Syafi'i melakukan ijtihad secara berkelanjutan. Artinya dalam pembahasan masalahmasalah yang hukumnya tidak diatur secara tegas oleh dalil-dalil qat’i, maka ijtihad itu merupakan suatu keharusan. Hal ini dijelaskan oleh asy-Syafi' sebagai berikut:53 50
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah Garnadi, cet. I (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 167 51
Ibid.
52
Ibid., hlm. 168-169
48
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazahab Syafi'i, cet. I (Bandung: Rosda Karya, 2001), hlm. 243. 49
Ibid., hlm.
53 Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, hlm. 244
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 29 -
IAIS Sambas وﻣﻧﮫ ﻣﺎﻓرض ﷲ ﻋﻠﻰ ﺧﻠﻘﮫ اﻻﺟﺗﮭﺎد ﻓﻰ طﻠﺑﮫ .واﺑﺗﻠﻰ طﺎﻋﺗﮭم ﻓﻰ اﻻﺟﺗﮭﺎد ﻛﻣﺎ اﺑﺗﻠﻰ طﺎﻋﺗﮭم ﻓﻰ ﻏﯾره Dengan menggunakan petunjukpetunjuk yang tidak pasti, maka hasil yang dicapai pun tidak pasti pula. Jadi, kebenaran yang diperoleh sebagai kesimpulan dari ijtihad tidaklah mutlak, melainkan hanya relatif dan tidak lepas dari sifat subjektif54. Oleh karena itu, menurut asy-Syafi'i setiap masalah tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad selama hukumnya belum mendapatkan kesepakatan dalam bentuk ijma. Perbedaan pendapat dalam masalah ijtihad adalah suatu kewajaran dan bagi setiap mujtahid bebas mengamalkan hasil ijtihadnya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syafi'i dalam pernyataannya: "Bahwa suatu masalah yang tidak diatur secara tegas oleh nas al-Qur'an dan as-Sunnah, dan para mujtahit mencari hukumnya melalui ijtihad, maka masing-masing mereka boleh bertindak atau berfatwa sesuai dengan apa yang dianggapnya paling benar"55
Karena hasil ijtihad itu bersifat relatif, sedangkan kebenaran perlu ditemukan atau didekati sedekat mungkin, maka ijtihad sebagai proses pencapaian kebenaran perlu terus dilakukan terhadap masalah-masalah yang perlu dipertanyakan kembali hukumnya.56 Sesungguhnya inilah yang melatar belakangi mengapa sejumlah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh asySyafi'i sering berubah-ubah secara tidak menentu. Karena menurutnya untuk mencapai suatu kebenaran maka tidak mungkin dicapai tanpa melalui 54
.Ibid.
55
Asy-Syaf'i, Al-Um, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), VII: 299, VII: 299, 56
Syarifuddin Prawira Negara, Islam di Lihat dengan Kaca Mata Modern, cet. II, (Jakarta: Idaya pres, 1978), hlm.14-15
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 kesalahan-kesalahan. Itulah sebabnya ia berpendapat bahwa keputusankeputusan yang diambil berdasarkan ijtihad, semuanya benar secara lahiriyah (zahiran) dan tidak pada hakekatnya (batinan).57 Kenyataan ini membuat munculnya pandangan yang berbeda terhadap asySyafi'i itu sendiri. Pada satu sisi sebagian orang menganggap bahwa pendiriannya kurang stabil dapat menyelesaikan setiap masalah secara tuntas. Akan tetapi di sisi lain ada yang memandang hal itu justru menunjukkan keutamaan, baik dalam keilmuan maupun dalam sikap keagamaannya. Menurut mereka kemampuan membatasi “kebenaran” hanya pada dua kemungkinan, sehingga selain itu adalah keliru dan ini menunjukkan pandangan yang kuat, kemudian kesiapannya mengatakan bahwa ia belum dapat menentukan pilihan akhir, menunjukkan kejujuran ilmiah yang sangat tinggi58. Asy-Syafi'i tidak hanya gemar melakukan ijtihad tetapi juga menganjurkan hal yang sama kepada pengikut dan generasinya yang memiliki kemampuan berijtihad. Untuk kalangan ulama mujtahid, asy-Syafi'i tidak membenarkan taqlid, menerima pendapat orang lain tanpa memeriksa dalil-dalilnya59. Pola dan sikap yang dicontohkan serta dianjurkan asy-Syafi'i ini benar-benar dipedomani oleh para pengikutnya dalam berijtihad sebelum mereka memberikan fatwa. Hal ini tentunya menimbulkan pendapatpendapat baru yang tidak jarang berbeda dengan pendapat asy-Syafi'i sendiri. 57 Ahmad Hasan, Pintu ijtihad sebelum tertutup, terj, penerbit pustaka, th 1984, hlm. 193 58
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam.hlm.243- 244 59
Ibid., hlm.245
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 30 -
IAIS Sambas Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, bahwa Qaul Qadim dan Qaul Jadid asy-Syafi'i dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan asy-Syafi'i pada periode pertumbuhan mazhabnya di Bagdad di sebut Qaul Qadim, sedangkan fatwafatwa yang dikeluarkan setelah ia berada di Mesir di sebut Qaul Jadid. Fatwa-fatwa Qaul Qadim kebanyakan tertuang dalam ar-Risalah dan al-Hujah yang disebut dengan Kitab al-Qadim. Kitab al-Hujah dan fatwafatwa lainnya pada periode ini terutama diriwayatkan oleh empat orang sahabatnya di Baghdad yaitu al-Karabisi (w. 248 H), al-Za`farani (w. 260 H), Abu Saur (w. 240) dan Fiqh Ahmad Ibn Hambal (w. 241). Sementara, Qaul Jadid yang dikemukakan asy-Syafi`i setelah ia berdomisili di Mesir tertuang dalam kitab-kitabnya ar-Risalah, al-Umm, alAmalli, al-Wala’ dan lain-lain.60 Ketika masih berada di Bagdad maupun di Mesir, asy-Syafi'i telah berhasil mendapatkan perhatian yang besar dari sejumlah penuntut ilmu yang datang berguru demi menjadi muridnya. Melalui hubungan yang baik dalam belajar sehingga mereka mengagumi, memahami, menguji sekaligus mampu menguasai metodologi ijtihad asy-Syafi'i dengan sebaik-baiknya dan diajarkan kepada generasi berikutnya61. Sesuai dengan tahap perkembangan mazhab tersebut, maka para penerus asy-Syafi'i tersebut terbagi ke dalam dua kelompok yakni kelompok para perawi Qaul Qadim yang belajar kepadanya di Baghdad, dan perawi Qaul Jadid yang ada di Mesir. Artinya pada masa awal pengembangan mazhab asy-Syafi'i berlangsung pada dua tempat yang berbeda dan dengan corak yang berbeda pula—di mana kalau Bagdad bercorak 60
Ibid., hlm. 173-174.
61
Ibid., hlm. 225
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Qadim dan Mesir dengan corak Jadid. Sebenarnya proses perpaduan kedua Qaul ini terjadi pada penulisan tiga kitab. Kalau periode pertama hanya menulis satu Qaul, maka pada karya- karya yang ditulis berikutnya memuat dua Qaul sekaligus. Secara umum menurut an-Nawawi fatwa- fatwa Qaul Jadidlah yang harus diamalkan, karena itulah yang lebih sahih dan dianggap sah sebagai mazhab asy-Syafi'i, karena pada prinsipnya semua fatwa Qaul Qadim yang bertentangan dengan Qaul Jadid itu telah ditinggalkan (marju’ anh) dan tidak dapat dipandang lagi sebagai mazhab asy-Syafi'i.62 Itulah sebabnya kitab-kitab yang ditulis pada periode pengayaan, mazhab tersebut selalu memuat fatwa Qaul Jadid lengkap dengan dalil-dalil yang mnguatkannya, mendukungnya, serta fatwa lanjutan yang lahir sebagai proyeksi darinya (meliputi Qaul Mukharraj dan yang wajh diperoleh dari tafri' atau takhrij), sedangkan fatwafatwa Qaul Qadim hanya dimuat sebagai bahan perbandingan dalam setiap kajian. Selain upaya-upaya untuk memproyeksikan fatwa-fatwa Qaul Jadid, ijtihad mereka juga meliputi peninjauan ulang terhadap fatwa serta dalil dan wajh istidlal yang mendukungnya. Melalui ijtihad yang berkelanjutan ini, maka mereka menemukan adanya beberapa fatwa Qaul Qadim yang ternyata lebih kuat dari pada fatwa Qaul Jadid dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwafatwa. Tentang adanya Qaul Qadim yang ditarjih sebagai pengecualian dari ketentuan umum tentang kesahihan Qaul Jadid, telah diakui secara luas. Dalam hal ini masih ada perbedaan tentang jumlahnya, penunjukan satuan62 An-Nawawi, Al-Majmu' Syarh alMuhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), I: 67
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 31 -
IAIS Sambas satuan masalah dan dalam hal tarjih terhadap masalah-masalah tersebut. Menurut an-Nanawi, pembatasan jumlah masalah tersebut tidak dapat diberikan secara tepat. Sebab di samping masalahmasalah yang biasa dikemukakan, masih terdapat banyak Qaul Qadim lain yang di-tarjih oleh sebagian sahabat. Akan tetapi masih ada juga sahabat yang beranggapan bahwa adanya kesamaan antara Qaul Jadid dan Qaul Qadim, sehingga yang di tarjih itu sebenarnya bukanlah Qaul Qadim.63
2. Latar Belak ang terjad inya Perub ahan Fatwa -fatwa asySyafi'i dari Qaul Qadim ke Qaul Jadid. 64 Dari kasus-kasus yang nampak tentang perubahan fatwa syafi'i dari Qaul Qadim ke Qaul Jadid, terlihat jelas bahwa kajian atau diskusi yang disajikan oleh asy-Syafi'i selalu berkisar pada meteri dalil yang digunakan dan wajh istidlal atau cara pandang terhadap dalil 63 64
Ibid., hlm. 66-67.
Misalnya adalah: "orang yang telah meninggal dunia dan meniggalkan puasa pada bulan ramadhan wajib menggantinya segera, sebelum masuk bulan ramadhan berikutnya. Dalam kaitan ini, para ulama berbeda pendapat tentang orang yanmg meninggal dunia sebelum meng-qada puasanya, padahal tidak ada 'uzur untuk melambatkannya. Pada Qaul Jadidnya, asy-Syafi'I menegaskan bahwa dari harta orang tersebut harus
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 sebagai sarana untuk sampai kepada kesimpulan yang dimaksudkan. Artinya perubahan hukum dari Qaul Qadim ke Qaul Jadid dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut:65 a) Perbedaan ayat atau hadis yang digunakan sebagai dalil, misalnya pada kasus air musta’mal. Qaul Qadim merujuk surat al-Furqan ayat 48 sebagai dasar bahwa air tersebut dapat digunakan kembali untuk bersuci, tapi pada Qaul Jadid dalil yang dikemukakan adalah surat alMaidah ayat 6. Mengenai batas waktu shalat maghrib, Qaul Qadim merujuk dari hadis Abdullah ibn Umar yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda "waktu magrib berlanjut sebelum sebelum hilang cahaya syafaq." Sedangkan Qaul Jadid menggunakan hadis ibn Abbas yang menerangkan bahwa shalat magrib yang dilakukan Nabi SAW bersama Jibril dua hari berturut-turut adalah sama, yakni pada saat orang boleh berbuka puasa atau hadis jabir yang mengatakan bahwa mereka masih dapat melihat sasaran dalam perlombaan memanah setelah melakukan shalat maghrib dengan Rasul Allah SAW. b) Wajh istidlal atau cara pandang dalam memahami ayat ataupun hadis yang sama, misalnya pada pembahasan penyaksian rujuk,
dikeluarkan kaffarahnya, berupa makanan bagi orang miskin, satu mud untuk setiap hari puasanya yang tertinggal. Menurut sebagain riwayat, pada Qaul Qadim ia mengatakan bahwa wali dapat melakukan puasa pengganti atas nama orang yang telah meninggal tersebut. Untuk mengetahui lebih rinci mengenai contoh-contoh kasus tersebut, baca Lahmuddin Nasution, Pembaruan hukum Islam, hlm. 207-208 65
Ibid., hlm. 219-220
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 32 -
IAIS Sambas Asy-Syafi'i tidak mengemukakan ayat lain untuk Qaul Jadidnya yang berubah hanyalah pemahamannya terhadap ayat yang bersangkutan. Pada Qaul Qadim, ia menganggap perintah yang ada menunjukkan wajib sesuai dengan pengertian asalnya, sedangkan pada Qaul Jadid, dengan alasan yang ditemukan kemudian, mengatakan bahwa perintah itu telah menunjukkan demikian. Hadis tentang penarikan zakat dari orang kaya dikemukakan pada Qaul Qadim, hal ini dikemukakan sebagai dalil meniadakan kewajiban zakat dari orang yang berutang tidaklah termasuk orang kaya. Jadi hadis tersebut tidak menunjukkan bahwa orang berhutang tidak kaya. Jadi hadis tersebut tidak relevan dan karena itu hukum yang ditemukan pada ijtihad lama harus diubah. c) Perbedaan pandangan terhadap adanya ijma, misalnya pada Qaul Qadim, asy-Syafi'i menganggap perintah umar dan pendapat ibn Abas tentang masalah zakat zaitun sebagai ijma, karena tidak ada sahabat yang memerintahnya. Akan tetapi setelah melakukan penelitian yang lebih cermat pada Qaul Jadid, beliau berasumsi bahwa tidak adanya bantahan terhadap hal tersebut, itu tidak berarti mereka sependapat dengan pendapat hukum tersebut, melainkan sekedar perbuatan yang mematuhi Umar r.a. sebagai kewajiban mengeluarkan aturan sesuai dengan hasil ijtihadnya selaku penguasa. 66
Ibid, hlm.221-222
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 d) Perbedaan asl atau 'illat pada qiyas yang digunakan, misalnya pada Qaul Qadim, ia menjadikan nikah sebagai asl bagi rujuk, sehingga kesaksian diwajibkan pada rujuk seperti diwajibkan pada nikah. Tetapi pada Qaul Jadid , rujuk diqiyaskan kepada jual beli dan kesaksianpun menjadi tidak wajib lagi. Pada Qaul Qadim ia berpendapat bahwa 'illat wajibnya zakat buahbuahan adalah makanan, dan dapat disimpan lama, maka buah zaitun dapat dikenakan kewajiban zakat. Tetapi setelah meneliti kembali, maka pandangannya berubah pada Qaul Jadid. Di sini yang menjadi 'illat adanya zakat adalah makanan pokok, sehingga buah zaitun diwajibkan untuk dizakati. e) Perbedaan pandangan terhadap kedudukan Qaul Sahabi, misalnya pada Qaul Qadim, zakat zaitun didasarkan atas dasar pendapat Umar dan Ibn Abbas, yakni Qaul Sahabi yang ketika itu dipandangnya sebagai hujjah, tetapi hukum tersebut berubah pada Qaul Jadid, setelah ia tidak lagi mengakui Qaul Sahabi sebagai hujjah. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengaruh dalil dan wajh istidlal terhadap perubahan fatwa-fatwa dari Qaul Qadim sangat nyata adanya. Pada sisi lain, dari kasus-kasus yang dibahas di atas tersebut, ditemukan adanya argumentasi yang merujuk atau terkait dengan kondisi obyektif dari kebiasaan perilaku masyarakat seperti misalnya66 pada kajian tentang air musta'mal, dikemukakan kebiasaan sahabat dalam menggunakan air ketika bersuci yakni menumpahkan, tanpa
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 33 -
IAIS Sambas menampungnya kembali. Namun hal itu dikemukakan sebagai sesuatu yang umum, tidak terkait dengan kondisi Bagdad ataupun Mesir. Dengan demikian, walaupun tidak termasuk sebagai dalail hukum, kondisi dan situasi lingkungan tidaklah dapat diabaikan dalam berfatwa. Setidaksetidaknya latar belakang kasus dan kemaslahatan setiap pencari fatwa yang bersangkutan haruslah turut dipertimbangkan dalam memberikan fatwa. Namun, sebagaimana dikatakan al-Subki, perubahan hukum sesuai dengan perubahan zaman tidak dapat dianggap mutlak karena sesungguhnya hukum itu telah sempurna sejak zaman Rasulullah SAW dan tidak ada hukum baru sejak wahyu tidak turun lagi. Perkataan 'Izz al-Din ibn al-Salim, "Ada hukum-hukum Allah yang terjadi ketika terjadi sebabnya", tidak berarti adanya hukum baru dalam arti yang sebenarnya. Sikap ar-Ruyani yang mengutamakan sisi larangan dalam beberapa tarjih-nya dengan alasan rusaknya akhlak masyarakat (li fasadi az-zaman) juga tidak berlaku secara mutlak. Bagaimanapun juga, pendapat yang tidak sahih tidaklah dapat diterima.67 Merunut uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa hukum dan fatwa dalam mazhab asy-Syafi'i mempunyai daya gerak yang memadai untuk merespon kondisi obyektif masyarakat dari masa ke masa. Setidaktidaknya, pada tataran penerapan, hukum-hukum dalam mazhab ini tidak lepas dari pengaruh perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitarnya. Sehingga, itu pula sebabnya 67
'Alwi ibn Ahmad as-Saqif, "Fawaid alMakkiyah", dalam Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t), hlm. 68 68
Imam al-Haramain, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh, (Qathr: Asy-Syaikh Khalifah ibn as-Sani, 1199), II: 1352
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 sebagian ulama tidak membenarkan taqlid kepada mujtahid yang telah wafat, karena mujtahid yang masih hidup dianggap lebih mengerti tentang hakikat masalah yang terjadi pada masanya.68 Fakhru ad-Din ar-Razi, jelas menunjukkan kecenderungannya terhadap pendapat tersebut, walaupun ia tidak memberikan komentar terhadap pendapat lain yang mengatakan bahwa pada masanya telah ada Ijma' untuk membenarkan taqlid kepada mujtahid yang telah wafat.69 Akan tetapi, pentingnya perhatian terhadap kondisi sosio-kuktural masyarakat tersebutr tidak berarti hukum harus mengikuti dan menyesuakan diri dengan tuntuan zaman atau lingkungan. Pengaruh itu, sebagaimana dikemukaan oleh al-Subki, tidak bersifat mutlak. Bagaimana pun juga, hukum Islam senantiasa bersifat mengikat dengan aturan yang menjamin kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. SIMPULAN Dari kenyataan adanya perubahan fatwa asy-Syafi'i dari Qaul Qadim ke Qaul Jadid, nampak jelas bahwa hukum dalam mazhab asy-Syafi'i bersifat dinamis. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum yang ditemukan dari ijtihad itu bersifat relatif (zanni), bukan mutlaq, maka ia tetap terbuka bagi pengkajian dan kemungkinan berubah. Dari sejumlah kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya mazhab asy-Syafi'i menghendaki agar hukum yang difatwakan harus selalu baru. Setiap 69
Hal ini dapat diartikan bahwa menurut Fakhru ad-Din ar-Razi , sampai pada masanya masih ada mujtahid yang mu'tabar dalam ijma' dan ikhtilaf. Sebab itu, tentu kesepakatan yang ada tidak akan dapat dianggap sebagai ijma'. Baca. Fakhru ad-Din ar-Razi, Al-Mahsul fi Ilm al-Usul, (Beirut: Dar alKutub al-'lmiyah, 1990), II: 5216
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 34 -
IAIS Sambas kejadian memerlukan fatwa dan menuntut ijtihad itu sendiri. Ijtihad terdahulu yang dilakukan sehubungan dengan kasus yang pernah terjadi, yaitu pada perinsipnya tidak terlebih dahulu untuk kasus serupa bila terjadi pada waktu atau kondisi yang berbeda, terutama bila si mujtahid melihat adanya hal-hal (dalil-dalil atas pertimbangan lainnya) yang mengharuskan peralihan potensi. Kodifikasi hukum Islam dengan alasan mendapatkan kesatuan dan kepastian hukum, sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip yang diharapkan oleh iman asy-Syafi'i. Prinsip bahwa setiap kejadian memerlukan ijtihad tersendiri tidak sejalan dengan kodifikasi hukum yang jelas mengekang kebebasan mujtahid. Jadi hakim tidak boleh bertaqlid mengikuti pendapat orang lain, termasuk pendapat-pendapat yang telah dikodifikasi. Akan tetapi masalah ini terdapat di dalam lingkup asSiyasah. Maka pengaturan penguasa harus berorientasi kepada kemaslahatan ummat. Jadi jika kodifikasi sudah dianggap sebagai bentuk kemaslahatan, maka penguasa boleh melakukannya. Itulah sebabnya masalah khilafiyah tidak berlaku terhadap tindakan penguasa. Hal terpenting untuk diperhatikan adalah agar ijtihad itu dilakukan secara benar, sesuai dengan hakikat kaidah hukum, supaya hukum yang diistimbatkan dapat dipertangungjawabkan sebagai hukum Islam. Oleh karena itu, siapapun tidak diperbolehkan berbicara tentang halal dan haram tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksudkan adalah al-Qur'an, asSunnah, Ijma dan Qiyas70 yang dikuasai baik melalui pendekatan kebahasaan maupun penalaran. Dengan melakukan metode istimbat asy-Syafi'i, maka seseorang mujtahid (mutlak muntasib) 70
Ibid., hlm. 262
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 akan tetap mempunyai kebebasan dalam berijtihad untuk merespon dan memberikan jawaban atas setiap sikap masalah yang terjadi dalam setiap perkembangan zaman. Apabila melalui ijtihad mutlak belum tercapai, para ulama mazhab asySyafi'i akan dapat memberikan jawabanjawaban melalui ijtihad muqayyad dengan melakukan tafri', memproyeksikan hukum-hukum berdasarkan kesamaan jenis dan sifatnya mengingat besarnya perbendaharaan fatwa dalam mazhab ini, diharapkan masalah-masalah baru dapat dicarikan rujukannya dalam kajian yang telah ada. Seorang tokoh mazhab asy-Syafi'i, imam al-Haramain, seperti yang dikutip oleh Lahmuddin Nasution pernah berkata: “Kecil kemungkinan ditemukan masalah yang hukumnya sama sekali belum ditegakkan, tidak tercakup oleh makna penegasan (mansus) dan tidak pula masuk dalam jangkauan suatu kriteria (zabit) yang ada dalam mazhab asy-Syafi'i".71 Bahkan dengan memiliki sekedar kemampuan memilah dan memilih (tarjih) sajapun, sudah cukup banyak masalah yang dapat diambil jawabannya dari perbendaharaannnya. Melalui kasus-kasus imaginer (masa'il alfardiyah) yang terdapat dalam mazhab ini, para ulama telah melakukan kajian dengan estimasi yang jauh ke depan. Jika suatu masalah telah terdapat kajian seperti itu, para ulama masa kini hanya dituntut untuk memeriksa kembali dasar-dasar setiap pendapatan dan kemudian menetapkan pilihan (tarjih) berdasarkan kekuatan dalil-dalilnya dengan memperhatikan kemaslahatan terkait. 71
Ibid., hlm.262
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 35 -
IAIS Sambas Ulama yang tidak mampu menetapkan pilihannya sendiri, karena tidak menguasai ilmu-ilmu usul al-fiqh, dapatlah mengikuti (taqlid) hasil tarjih dari mereka yang mampu. Para muztahid tarjih dalam mazhab ini senantiasa memberikan pelayanan untuk mengikutinya dengan menulis kitab-kitab “baru” yang terus diperbaharui dengan fatwa-fatwa mutakhir. Bagaimanapun juga, tidak dapat diingkari bahwa perkembangan pesat pada zaman modern ini akan senantiasa menuntut responsi hukum terhadap berbagai perubahan sosial. Kebutuhan akan ijtihad tetap terus ada, bahkan cenderung semakin meningkat dari masa ke masa. Perbendaharaan fatwa mazhab mungkin juga (bahkan, disebut-sebut telah lama) tidak cukup lagi untuk merespons perubahan tersebut sehingga derajat ijtihad yang diperlukan pun meningkat kalau sebelumnya ijtihad muqayyad dan tarjih telah mamadai, maka pada gilirannya hajat akan menuntut ijtihad mutlak atau mutlak mustaqil. Dengan mengamati sejarah perkembangan, tampak bahwa mazhab asy-Syafi'i tidaklah menghambat melainkan juga mendukung proses ke arah itu. Sebagaimana terungkap dengan uraian sebelumnya, peralihan dari Qadim ke Jadid dalam mazhab ini hanya terjadi pada fatwa-fatwa hukum sebagai hasil ijtihad, melainkan juga terjadi pada sebagian kaidah-kaidah ijtihad itu sendiri. Koreksi ashab terhadap pendapatnya tampak jelas meliputi kedua bidang. Perbedaan pendapat dan saling koreksi dalam kajian ushul al-fiqh dikalangan asy-Syafi'iyyah tidak kalah “ramai” nya dengan yang terjadi pada kajian fatwa mazhab. 72
Untuk mengetahui lebih jelasnya baca, Amir Mu'allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cet II, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 3-6.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Secara historis ijtihad asy-Syafi'i muncul karena adanya persentuhan antara ajaran Islam di satu sisi dan muatan realitas kehidupan manusia di lain pihak;72perekembangan ilmu pengetahuan selalu terkait dan saling mempengaruhi dengan kemajuan politik, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Ketika kekuatan politik umat Islam mengalami disintegrasi pada abad pertangahan, kegiatan ilmiah, termasuk ijtihad tidak terlepas dari pengaruhnya. Semangat ijtihad melemah dan sikap taqlid semakin meluas bahkan termasuk dikalangan ulama sendiri. Sejak lama, dari abad 4 H, tidak ada lagi ulama yang mengaku sebagai mujtahid mutlak mustaqil; berijtihad lepas dari segala keterikatan dengan pendapat orang lain. Kegiatan ijtihad menjadi terbatas hanya dalam mazhab panutan masing-masing. Meskipun demikian, di antara ulama yang menulis dalam bidang usul al-fiqh tetap saja mengatakan bahwa keberadaan mujtahid mutlak itu merupakan "fardu kifayah". Dengan demikian apabila ada mujtahid mutlak (walaupun dalam tingkat muntasib), berarti umat ini telah gagal melaksanakan salah satu kewajibannya. Tidak dapat diingkari bahwa proses pencapaian tingkat ijtihad mutlak itu tidak sederhana, karena kriteria persyaratan yang harus duipenuhi cukup berat. Akan tetapi sejak lama, banyak juga ulama sebagaimana dihikayatkan oleh ibn ash-Shabbag (W.477), yang mengatakan bahwa itu telah menjadi lebih mudah untuk dipelajari,73 dibanding dengan keadaan pada masa imam mujtahid yang hidup pada abad ke-2 dan ke-3. Alasan yang di kemukakannya ialah bahwa ilmu-ilmu pendukung ijtihad, seprti tafsir, hadis, 73
As-Suyuti, Ar-radd 'ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna al-Ijtihad fi Kulli 'Ashr Fardh, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), hlm. 87.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 36 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
dan ushul al-figh, telah banyak dibukukan. Dengan semakin banyaknya kemudahan yang dpat menunjang pendidikan pada zaman modern ini diharapkan mencapai tingkat ijtihad itu akan menjadi lebih mudah lagi dibandingkan dengan masa ibn ashShabbagh. DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad, Tafsir al-Manar, Jil V, Kairo: Dar al-Haya', tt.
Abu Zahrah, Muhammad, Ilmu al-Usul al- Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
ad-Din ar-Razi, Fakhru, Al-Mahsul fi Ilm al-Usul, Jil. II, Beirut: Dar al-Kutub al-'lmiyah, 1990.
ad-Din as-Subki, Taj, Jam'u al-Jawami', Kairo: Dar Ihya' al-Kutub alArabiyyah, tt.
Ahmad, Amrullah, dkk (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Al-Gazali, Al-Mankhul min Ta'liqat al-Usul, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Al-Gazali, Al-Mustafa min Ilm al-Usul, Jil. I, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Hamam, Ibnu, "At-Tahrir", Kairo: Mustafa al-Babi al-Hakabi wa Auladu, tt.
al-Haramain, Imam, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh, Jil. II, Qathr: Al-Yayaikh Khalifah ibnu al-Shani, 1199.
Alwi ibn Ahmad as-Saqif, "Fawaid al-Makkiyah", dalam Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
An-Nawawi, Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, Jil. I, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
as-Saukani, Muhammad, Irsyad al-Juhud, Beirut: Dar Ihya ' al-'Arabi, tt.
As-Suyuti, Ar-radd 'ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna al-Ijtihad fi Kulli 'Ashr Fardh, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983.
Asy-Syaf'i'i, al-Um, Jil. VII, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Asy-Syafi'i, Ar-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 37 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
az-Zuhayli, Wahbah, 'Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, Jil. II, Bairut: Dar al-Fikr, 1996.
Djamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I, Jakarta: Logos Publishing House, 1995.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa Agah Garnadi, cet. I, Bandung: Pustaka, 1984.
Khaldun, Ibn, Al-Muqaddimah, ttp: Mustafa Muhammad, tt.
Khudhari Bek, Tarikh Tasyri' al-Islami, Bairut: Dar al-Fikr, tt.
Mu'allim, Amir dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi: Antara Teori danFfungsi, cet. I, Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997.
Mu'allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cet. II, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Muslim, Imam, Sahih Muslim, Jil. I, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992.
Muslim, Imam, Sahih Muslim, Jil. II, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992
Nasution, Harun, "Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam", dalam Haidar Baqir (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988.
Nasution, Harun, Ijtihad Sumber ke Tiga Islam, Jakarta: UI Press, 1991.
Nasution, Lamhuddin, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi'i, cet. I, Bandung: Rosda Karya, 2001
Prawira Negara, Syarifuddin, Islam di Lihat dengan Kaca Mata Modern, cet. II, Jakarta: Idaya pres, 1978.
Rahamat, Jalaluddin, Ijtihad Sulit: Tapi Perlu, Jakarta: Raja Grafindo, 1998.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, cet. I, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 38 -
Agama dalam Konstitusi dan Perundang-undangan: Negara, Citizenship dan Kebebasan Beragama & Berkeyakinan Deni Irawan, Sos.I, M.S.I*
ABSTRAK Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan yang makin meningkat. Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga masalah bagi seluruh anak bangsa. Dan bisa dipastikan pula bahwa tidak ada solusi tunggal untuk keluar dari masalah yang begitu komplek ini. KATA KUNCI: Agama, Konstitusi, Beragama, Berkeyakinan
*Dosen
Fakultas Tarbiyah Dak’wah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang. Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami prubahan meski telah empat kali mengalami amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Itu tidak berarti, bahwa tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usahausaha tersebut. Rapat-rapat MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 satu ayat lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, diantaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, normanorma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi). Menarik pula dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti dditetapkan dalam sidang PPKI. (Sekretariat Jendral MPR RI, 546-547). Maka tidak berlebihan untuk mengatakan di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil. Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam. Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 39 -
IAIS Sambas menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran. Dari wacana di atas, setidaknya penulis akan mencoba membahas lebih jauh mengenai kebebasan beragam dan berkeyakinan yang ditinjau dari sudut pandang konstitusi dan perundang-undangan negara tepatnya dikaitkan dengan passal 29 UUD 1945. A. Konstitusi dan Negara dalam Kebebasan Beragama Konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (supreme law of the land) merupakan fondasi dasar dari sistem ketatanegaraan suatu bangsa. Antara satu negara dengan negara lain tentunya mempunyai konstitusi dengan ciri dan karakteristik berbeda-beda yang dapat mempengaruhi terbentuknya konsep negara. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, maka kita seringkali mendengar pembedaan antara konsep negara agama, negara sekuler, dan lain sebagainya. Tad Stahnke dan Robert C. Blitt (2005) dalam penelitiannya mengenai hubungan dan peran konstitusi terhadap kebebasan menjalankan agama, membagi negara-negara berpenduduk mayoritasMuslimdi dunia menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara yang mendeklrasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak memiliki deklarasi apapun di dalam konstitusinya, seperti Indonesia, Sudan, dan Siria.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Jika Indonesia dimasukan dalam kategori negara yang tidak mendeklarasikan bentuk apapun dalam hal hubu0ngan antara negara dengan agama di dalam konstitusinya, maka menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep yang sebenarnya diusung oleh para founding people negara kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, Mahfud M.D mencoba menjelaskannya melalui konsepsi prismatik dengan meminjam istilah dari Fred W. Riggs. Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Menurutnya, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlahpemelukmasing-masing(Mahfud M.D., 2007). Kebebasan beragama dan kepercayaan adalah hak yang tidak diciptakan masyarakat atau negara, melainkan suatu anugerah yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok keagamaan atau kepercayaan melalui hakikat kemanusiaan. (Zakiyuddin Baidhawi, 2005: 2). B. Norma-norma Kebebasan Beragama Ada beberapa inti norma yang dapat digambarkan dan norma inilah yang melukiskan landasan pokok hak asasi manusia dalam hal beragama dan berkepercayaan. Norma ini kemudian tertuang dalam sebuah deklarasi yang terkenal sebagai The Universal Declaration of Human Rights (1948). Norma-norma inti yang menyusun hak asasi manusia dalam beragama dan berkepercayaan disarikan dalam beberapa instrumen hak asasi manusia internasional yaitu
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 40 -
IAIS Sambas Universal Declaration of Human Rights (UDHR, 1948), Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR, 1966), European Converntion for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (1950). Norma itu meliputi: (Tore Lindholm, 2004: ix). 1. Norma Kebebasan Internal, setiap orang memiliki hak atas kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Hak ini termasuk di dalamnya kebebasan bagi semua orang dan memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaan itu.(Deklerasi Universal Manusia, pasal 18Komite HAM PBB menyatakan bahwa kebebasan untuk memiliki bahwa kebebasan untuk memiliki dan mengadopsi suatu agama atau kepercayaan mengandung arti kebebasan untuk memilih suatu agama atau kepercayaan termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercaan yang diyakini dengan pandangan-pangdangan atheistik atau pandangan lainnya, sekaligus hak untuk memelihara agama atau kepercayaan seseorang. (Zakiyuddin Baidhawi, 2005: 4). 2. Norma Kebebasan eksternal, didefinisikan sebagai upaya individu untuk memanifestasikan kepercayaan dalam empat wilayah khusus dalam dominan eksternal yaitu ajaran, praktik didefinisikan sebagai upaya individu untuk memanifestasikan kepercayaannya dalam empat wilayah khusus dalam domain eksternal yaitu ajaran, praktik, ibadah, dan ketaatan. Artinya kebebasan ini bukan hanya terbatas pada persoalan individu dan pribadi. Namun, bisa dimanifestasikan baik dalam pribadi mau pun publik, sendiri atau bersamasama dalam sebuah komunitas. (Zakiyuddin Baidhawi, 2005: 8). 3. Norma Tanpa Paksaan, mensyaratkan bahwa tidak seorang pun di muka bumi ini harus tunduk
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 pada paksaan, tekanan, intimidasi represi yang akan mengganggu atau menghalangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang didasarkan atas pilihan masing-masing. (Lihat ICCPR pasal 18 ayat 2). 4. Norma Tanpa Diskriminasi, negara diwajibkan menghargai dan menghormati sekaligus memastikan pada semua individu didalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada yuridiksi hak untuk bebas beragama dan kepercayaan tanpa membedakan jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal usul kebangsaan atau lainnya, kekayaan status kelahiran maupun status lainnya. (UDHR pasal 2; ICCPR pasal 2 ayat 1). C. Kebebasan Beragama di Era Orde Baru Selama 32 tahun masa kekuasaaannya kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri. Anas Saidi (ed), 20044: 15). Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. UndangUndang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 41 -
IAIS Sambas (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (UUD 1945). Hal ini senada dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18, yakni: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajar kannya, melakukannya, beribadat dan manaatinya, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut. Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. /PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UndangUndang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dikukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa. Siti (Musdah Mulia, 2007: 216-217). Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagaimana yang tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945. Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No.XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 42 -
IAIS Sambas dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)”. Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan. Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Kelompok-kelompok yang jelas menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan. Pada saat yang sama kehadiran UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No.5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru. Tidak heran jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Kelompokkelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Dalam Islam misalnya, kasus penimpangn terhadap tafsir mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. Dengan pola intervensi ini tak heran berbagai varian dalam kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan. Yang mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru. Sebut saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam Jamaah yang dianggap menyimpang dari arus maenstream. Dengan mendukung partai penguasa dan merubah nama menjadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda dengan yang dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok “terlarang”. Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi melalui Islamisasi atau Kristenisasi. Situasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 43 -
IAIS Sambas penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945 dan bersifat mengarahkan atau memaksa pada salah satu agama resmi. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama.
D. Dasar Konstitusi Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat dilihat pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini: UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), 2006: 4-5). 1. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 2. UU No.12Tahun 2005TentangPengesahan Kovenan Internasional Tentang HakHak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 4. UU No.1/PNPS/1965, jo.UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agamaagama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuanbantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 44 -
IAIS Sambas penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hukum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agamaagama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang disebutkan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”. Dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu: (Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib Lie, 2004: xxxix). 1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untukmenganut atau menetapkanagamaataukepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya. 2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikanagama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya. 3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya. 4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.
E. Perspektif Sosio-Kultural Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi adalah tonggak penting bagi kehidupan kebebasan beragama hingga sekarang ini, dari yang positif hingga yang mengancam nilai reformasi itu sendiri. Bagi sebagian masyarakat Muslim di tanah air, era transisi itu seperti menjadi momentumbagi ‘kebangkitan’ Islam di tanah air Setidaknya terdapat tiga corak organisasi keagamaan berkembang di era reformasi. Pertama, kelompok eksklusif, moderat dan progresif. Dalam deretan kelompok eklusif, bahkan cenderung berhaluan “keras” beberapa nama yang bisa disebut adalah Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, Majlis Mujahidin Indonesia, Hizbuttahrir Indonesia Laskar Jundullah, Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Dalam aksinya sebagian mereka tak segan-segan melakukan aksi-aksi kekerasan. Di level ideologi, ciri khas sebagian kelompok ini adalah perjuangan mereka menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Usaha mereka terbilang gigih dan mendasar hingga kalangan akar rumput. Cukup mendapat respon di lingkungan kampuskampus umum. Mereka memanfaatkan momentum kebijakan otonomi daerah dalam mendesakkan agenda Islamisasi mereka. Sementara itu peran moderasi tetap dimainkan oleh ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Kelompok keagamaan yang lebih bercorak sufistik seperti kelompok Majelis Az-zikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dan kelompokkelompok zikir yang sekarang berkembang juga dapat dimasukan dalam kelompok berhaluan moderat. Di luar keduanya, tumbuh kelompokkelompok yang tidak hanya terbuka tapi
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 45 -
IAIS Sambas juga kritis terhadap isu keagamaan dan sosial. Beberapa nama bisa disebut disini: Wahid Institute Jakarta, Lakpesdam NU, Institute for Interfaith Dialog (Interfidei) di Yogyakarta, ICIP, Indonesian Conference on Religion and Peace (dan Maarif Institute. Tak hanya di Pusat, kelompok ini juga menjamur di tingkat lokal. Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal. Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan mayoritas dan tekanan kelompokkelompok Islamis sehingga mengorbankan mereka yang sesungguhnya adalah korban kekerasan. Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dalam sebuah forum pertemuan dengan pihak MUI yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional MUI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungannya atas keluarnya 10 Kriteria versi MUI. Sikap ini menunjukkan kecenderungan keberpihakan negara terhadap agama tertentu yakni Islam. Dari ini bisa juga dimulai untuk melihat posisi Majlis Ulama Indonesia dalam struktur kelembagaan dan tata pemerintahan Indonesia. Seperti diketahui, konteks khusus terbentuknya MUI di era Orde Baru telah menjadikan lembaga ini “istimewa” dan seperti setara dengan lembaga independen lain yang juga dibiayai negara melalui APBN seperti halnya Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal jika merujuk pada anggaran dasar MUI, lembaga ini jelas dinyatakan sama kedudukannya sebagai organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Jika alasan ini bisa diterima, maka pola hubungannya negara terhadap MUI tak berbeda dengan ormas lainnya. Hanya saja dalam realitas politik Indonesia, pemerintah, baik langsung maupun tak langsung, kerap kali merujuk fatwafatwa MUI untuk mengambil kebijakan. (http://www.mui.or.id/mui_in/about.p hp?id=2 diakses 7 Nop 2009). Bahkan pasca dikeluarkannya 11 fatwa MUI pada Juli 2005 lalu, presiden memberikan dukungan penuh atas fatwa-fatwa tersebut. Wajar jika sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Syafii Anwar, Ulil AbsharAbdala, dan Weinata Sairin menolak fatwa-fatwa tersebut karena dinilai bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila. Tak ketinggalan, Hazim Muzadi, Ketua Umum PBNU juga menilai mundur fatwa MUI tersebut terutama bagi kehidupan antar umat beragama.
F. Ranah Politik; Suara Partai Politik Era Reformasi Bergulirnya era reformasi berpengaruh terhadap kehidupan berdemokrasi masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat, berorganisasi, bahkan mendirikan partai politik menjadi warna tersendiri di era ini. Tercatat pada pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu, pemilu 2004 menciut menjadi 24 parpol saja. Namun demikian jumlah tersebut sudah merupakan jumlah yang signifikan dibanding dengan era Orde Baru. Kebijakan publik seperti perundanganundangan yang dihasilkan oleh parpol di parlemen pun mengalami kemajuan, meski belum sesuai dengan yang kita harapkan. Paling tidak terkait dengan masalah kebebasan beragama yang dalam UUD 1945 dipatrikan pada pasal 28 dan 29 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya tidak mengalami
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 46 -
IAIS Sambas perubahan. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya partai politik kita cenderung untuk tetap mempertahankan koridor kebebasan beragama sebagaimana telah dirancang para pendiri bangsa (founding fathers) ini sejak tahun 1945 silam. Sayangnya, persoalan kebebasan beragama nampaknya tak cukup hanya diatur melalui pasal-pasal dalam UUD tersebut. Entah karena cara menafsirkan dan implementasinya yang berbedabeda pada tataran pelaksanaan atau kekurangjelasan para implementator di lapangan terhadap isi dari pasal-pasal dimaksud. Yang terang, sejumlah peristiwa yang mencederai konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan terus berlangsung hingga hari ini. Kekerasan bernuansa agama yang masih kerap terjadi di berbagai daerah dan menimpa berbagai kelompok masyarakat dan komunitas agama. Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional menanyakan kenapa sekarang dengan alasan agama kita bisa memerangi orang lain, padahal negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya masalah ini persoalan yang serius untuk segera ditangani dan ada hal-hal yang perlu dievaluasi. Karena berdasarkan amanah konstitusi, sesungguhnya negara wajib melindungi setiap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. SIMPULAN Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan yang makin meningkat. Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga masalah bagi seluruh anak bangsa. Dan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 bisa dipastikan pula bahwa tidak ada solusi tunggal untuk keluar dari masalah yang begitu komplek ini. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi untuk pihak-pihak/ lembaga/ instansi yang tersebut di bawah ini, yang mungkin berguna sekaligus bagian dari kontribusianakbangsaterhadapmasalah yang masih sedang dihadapi negeri ini. 1. DPR. Diharapkan menjadi lembaga pengontrol yang efektif bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia; tetap bersepakat bahwa negara ini bukanlah negara berdasarkan agama, tapi berdasarkan Pancasila seperti ditunjukkan sepanjang sejarah parlemen Indonesia terkait isu kebebeasan beragama. DPR diharapkan untuk melanjutkan pembahasan mengenai RUU Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan LSM/NGO yang concern terhadap masalah ini, sehingga RUU tersebut akhirnya dapat disahkan menjadi UU. 2. Kepada Presiden dan WakilPresiden. Jika kita sepakat bahwa negara ini berdasarkan Pancasila, bukan negara agama, maka sepatutnya untuk bersikap netral terhadap setiap problem keagamaan dan kepercayaan, khususnya menyangkut keyakinan, seperti diamanahkan konstitusi. Presiden dan Wakil Presiden menyerahkan masalah agama dalam urusan internal mereka masing-masing. Meposisikan Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga seperti ormas-ormas keagamaan lain. Tetapi sebagai pimpinan penyelenggara negara, Presiden dan Wakil Presiden juga berkewajiban untuk memfasilitasi semua agama dan kepercayaan yang dipeluk warganya agar berkembang secara secara prima. Misalnya penyediaan guru agama, fasilitas pendirian rumah ibadah dan lain-lain.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 47 -
IAIS Sambas 3.
4.
Menteri Kabinet. Khususnya kepada Menteri Agama, sudah seyogyanya pula untuk tidak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Betapapun Menteri Agama adalah aparat negara yang seyogyanya bersikap netral. Dalam pandangan konstitusi, Jabatan Menteri Agama tidak dipandang sebagai mewakili agama atau kepercayaan tertentu. Tidak pula mewakili mainstream pemikiran dalam agama atau kepercayaan tertentu. Mahkamah Agung. Agar mengawal proses singkronisasi antara Undang-
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
5.
Undangyangsudahdisahkansebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan. Misalnya keberadaan Perda-Perda berbasis agama (syari’at) yang diberlakukan di sejumlah daerah. Media) untuk kritis terhadap pemberitaan media khususnyadalam isuisu kebebasan beragama.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 48 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Anas Saidi (ed), Menekuk Agama, Membangun Tahta (Depok; Desantara, 2004), Cetakan ke-1. Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan di Indonesia, (Jakarta; Komnas HAM, 2006). http://www.dpr.go.id, 23 Januari 2008. Diakses pada 7 Nop 2009. http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Nop 2009.
http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0711/03/nas11.htm. Diakses pada 7 Nop 2009. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/utama/1937905.htm. Diakses pada 7 Nop 2009. Suara Merdeka, 6 Nopember 2007. Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR, 1966).
Penjelasan Bapak Nur Ichwan pada pertemuan ke 3 perkuliahan tanggal 11 Nopember 2009. Sekretariat Jendral MPR RI, Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc BP MPR, Buku Kedua Jilid 3C Jakarta.
Siti Musdah Mulia, Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Abd Hakim dan Yudi Latif (penyunting), Bayang-bayang Fanatisisme, PSIK Universitas Paramadina, Cetakan I, Juli 2007. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Netherland, Martinus Nijhoff Publishers, 2004. Undang-Undang Dasar 1945.
Universal Declaration of Human Rights (UDHR, 1948).
Zakiyuddin Baidhawi, Kredo Kebebasan Agama (Jakarta Pusat: Juniardi Firdaus, 2005).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 49 -
METODE PENELITIAN TAFSIR Hadari, M.Th.I*
ABSTRAK Metodologi tafsir berarti kerangka kaidah, atau cara yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, aspek sumber-sumper penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem pemaparan atau keluasan tafsirannya guna menca-pai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Metodologi tafsir mencakup beberapa macam metode dilihat dari aspek yang mendasarinya, baik itu aspek sistematika penyusanannya, aspek sumbernya dan aspek keluasan tafsirannya. . KATA KUNCI: Metode, Penelitian, Tafsir
*Dosen
Sambas
Fakultas Adab & Ushulludin Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin
IAIS Sambas PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Al-Qur’an bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (hudan) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam menjalani setiap sisi kehidupannya (QS. Al-Baqarah: 185) Ibarat katalog sebuah produk barang, AlQur’an adalah guide bagi khalifatullah di muka bumi ini agar dapat berfungsi dengan baik. Dan hal tersebut tergantung pada sejauh mana pemahaman manusia terhadap petunjuk Al-Qur’an. (Muchlis M. Hanafi, 2007: 1). Mengingat fungsi tersebut, maka mempelajari tafsir Al-Qur’an sebagai upaya untuk memahaminya menjadi sesuatu yang urgen dalam rangka menempatkan ibadah manusia pada jalur yang benar sesuai dengan kehendak Allah swt. serta dapat menyentuh petunjuk Allah yang lain menyangkut akidah, syariat dan akhlak dengan harapan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. (Abd. Hayy al-Farrma, 2002: 6). Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an relatif tidak mudah, mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya dan keluasan makna ayatayatnya yang tidak semua dapat dijangkau oleh pemahaman manusia, dengan kata lain redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. (M. Quraish Shihab, 1993: 75). Pada dasarnya, kegiatan menafsirkan AlQur’an telah mulai dan berkembang sejak masa-masa awal petumbuhan Islam, hanya saja masih dalam bentuk yang sederhana, dimana pada masa itu Nabi Muhammad saw. mengambil peran sebagai mubayyin (penjelas) terhadap apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan segala persoalan umat.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Penafsiran Rasulullah itu ada kalanya berupa sunnah qauliyah (perkataan), sunnah fi’liyah (perbuatan) ataupun sunnah taqririyah (ketetapan). (Aqil Husain AlMunawwar, 1994: 31). Disamping itu, jika ada yang sesuatu dari Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh para sahabat, maka mereka dapat langsung menanyakan kepada Nabi saw. Sepeninggal Nabi Muhammad saw. para sahabat menggunakan beberapa pendekatan dalam menafsirkan AlQur’an, diantaranya dengan melakukan penafsiran dengan ayat Al-Qur’an itu sendiri ataupun dengan riwayat-riwayat shahih yang bersumber dari Nabi saw. . Penafsiran inilah yang kemudian kita kenal dengan tafsi>r bil ma’tsur. Penafsiran yang lain yaitu apa yang kita sebut sebagai tafsi>r bil ra’yi>, yaitu metode penafsiran yang menekankan sumbernya pada akal dan ijtihad. Pada masa selanjutnya, kebutuhan kepada penafsiran Al-Qur’an semakin besar, untuk itu para mufassir terus menerus mengembangkan metodologi penafsiran Al-Qur’an sehingga kita bisa melihat berbagai macam model penafsiran dalam berbagai kitab tafsir. Mulai dari tafsir tradisional sampai dengan tafsir modern. (Zainul Muhibbin, 2003: 37). Hal ini tidak terlepas dari perkembangan zaman dan semakin kompleksnya masalahmasalah yang timbul di masyarakat yang menuntut reinterpretesiAl-Qur’an hingga bisa menjadi solusi dalam berbagai persoalan kehidupan yang ada. Oleh karena itu, meskipun studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual Islam dan baru berkembang jauh setelah pertumbuhan tafsir, (Samsul Bahri, t.th: 37), pengembangan metode penafsiran Al-Qur’an sendiri akan terus dilakukan sehingga fungsi Al-Qur’an terus dapat teralisasi, yaitu menjadi petunjuk dan pedoman sentral bagi kehidupan manusia.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 54 -
IAIS Sambas Tulisan ini akan memaparkan beberapa metode penafsiran Al-Qur’an yang telah dikembangkan para mufassir yang bertujuan sebagai alat untuk bisa memahami pesan Al-Qur’an dengan tepat dan benar. Melihat latar belakang yang dipaparkan diatas lebih di fokuskan kepada bagaimana metodologitafsir dan bagaimana aplikasinya? PEMBAHASAN Istilah metodologi tafsir terdiri atas dua terms, yaitu metodologi dan tafsir. Kata“metode” berasaldaribahasaYunani yaitu methodohos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris disebut method, sedang bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan kata logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga pembentukan dari kata-kata tersebut berarti ilmu tentang tata cara yang dipakai untuk mencapai tujuan (ilmu pengetahuan) Adapun Term tafsi>r, mempunyai dua pengertian, pertama, tafsir adalah pengetahuan atau ilmu yang berkenaan dengan kandungan al-Qur’an dan ilmuilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya. Dan yang kedua, tafsir diartikan sebagai cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hokum-hukum, dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an. (Mardan, 2009: 278. Maka isitilah metodologi tafsir berarti kerangka,kaidah, atau cara yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, aspek sumber-sumber penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Metodologitafsir berbeda-beda dilihat dari aspek yang mendasarinya. Jika ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, metodologi tafsir terbagi menjadi dua, yaitu:
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 1. Sistematika tarti>b mushafiy, yaitu sistematika penyusunan tafsir AlQur’an sesuai dengan tertib susunan surat dan ayat dalam mushaf. 2. Sistematika tarti>b nuzuliy, yaitu sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan kronologis turunnya suratsurat Al-Qur’an. Dan yang ketiga, sistematika maudhuiy, yaitu sistematika penyusunan penyusunan Al-Qur’an dengan berdasarkan tema/topic dengan permasalah yang akan dibahas. Ditinjau dari aspek sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran, metodologi Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Tafsi>r bil ma’tsu>r (riwayat), 2. Tafsi>r bil ra’yi> (nalar) dan 3. Tafsir bil isya>ri (isyarat-isyarat supra natural). Terakhir, metodologi Al-Qur’an jika ditinjau dari aspek system pemaparan dan keluasan tafsirannya dikenal ada empat macam metode yang digunakan oleh para mufassir. Yaitu: 1. Metode Ijma>li (global), 2. Metode Tahli>li (analitis), 3. MetodeMuqa>ran(perbandingan) dan 4. Metode Maudhu>’i (tematik). (Zainul Muhibbin, 2003: 38-39). Keempat metode inilah yang akan menjadi pokokpembahasan dalam makalah ini. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: 1. Metode Ijma>li (Global). Secara lughawi, kata al-ijma>li berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. (Ahmad Izzan, 2007: 105). Sehingga yang dimaksud dengan metode ijma>li adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan kandu-ngannya secara ringkas dan tapi meyeluruh, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. (Nashrudin Baidan, 2003: 13). Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an, kita akan menemukan bahwa Nabi dan para sabahat menafsirkan Al-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 55 -
IAIS Sambas Qur’an secara ijma>li, dalam artian tidak memberikan penafsiran secara rinci dan panjang lebar, akan tetapi secara ringkas. Oleh karena itu dalam tafsiran mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang medetail. Maka, banyak berpendapat bahwa metode ijm>ali adalah metode penafsiran yang paling awal muncul. (Nashrudin Baidan, 2003: 13). Ketika menggunakan metode ijma>li, seorang mufasir hanya perlu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, penyajiannya pun tak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an, seakan-akan pembacanya masih tetap mendengar AlQur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirannya. Namun, pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir tahli>li (analitis). (Nashrudin Baidan, 2003: 14). Dengan kata lain, pembahasan tafsir ijm>ali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Termasuk dalam karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsi>r al-Fari>d li al-Qur’an al-Madji>d karya Dr. Muhammad ‘Abd al-Mun’im yang hanya mengedapankan arti kata-kata (al-mufradah), sabab an-nuzu>l dan penjelasan singkatnya. Begitu juga tafsi>r Jala>lain karya Jalal ad-Di>n asSuyu>ti> dan Jalal ad-Di>n al-Mahally, serta Fath al-Baya>n fi> Maqa>shid alQur’an karya Shiddiq Hasan Khan. (Ali Hasan Al-Aridh, 1994: 74). Kitab yang terakhir disebut ini oleh Abd Muhyi Ali Mahfuz disebut-sebut sebagai salah satu kitab yang pantas dijuluki “mutiara yang tiada bandingnya” karena isinya terlepas dari kisah-kisah israiliyat, perdebatan mazhab fiqih, dan perbantahan kalam (teolog). Hal ini disebabkan pengarangnya lebih berkosentrasi menerangkan makna seluruh ayat dengan bahasa dan ungkapan yang mudah dipahami. (Ahmad Izzan, 2007: 106).
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat penafsiran yang diberikan imam as-Suyu>thi dalam kitabnya Tafsi>r Jala>lain ayat awal surah Al-Baqarah, sebagai berikut: اﻟم ( ﷲ اﻋﻠم ﺑﻣراده ) )ﺑﺳم ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم ﺑذاﻟك )ذاﻟك ( اي ھذا )اﻟﻛﺗﺎب ( اﻟذي ﯾﻘرؤه ﻣﺣﻣد )ﻻرﯾب( ﺷك )ﻓﯾﮫ ( اﻧﮫ ﻣن ﻋﻧد ﷲ Dalam penafsiran di atas, tampak bahwa imamas-Suyu>thi hanya menerangkan makna ayat dengan sangat singkat dan global, tidak dengan perincian yang panjang lebar. Yang perlu diingat dari metode ini, bahwa cirinya tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan mushaf atau sebagian saja. Akan tetapi, yang menjadi patokan metode ini adalah pola dan sistematika pembahasan. Maka selama mufasir hanya menafsirkan ayat secara ringkas tanpa uraian yang mendetail, tanpa perbandingan dan tidak juga mengikuti tema tertentu, maka penafsiran tersebut dikategorikan dalam tafsir ijma>li, meskipun hanya satu dua ayat. 2. Metode Tahli>li (Analitis). Secara etimologis metode tahli>li adalah suatu cara menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. (Syahrin Harahap, 2000: 17). Dalam metode ini, mufasir menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan runtutannya dalam mushaf utsmani. Dimulai dengan menganalisis ayat dengan mengemukakan arti kosa kata (mufradat), ungkapan dan konotasi kalimatnya. Selanjutnya menerangkan arti yang dikehendaki ayat dan sasaran yang dituju ayat tersebut. Menjelaskan apa yang dapat di istimbatkan dari ayat tersebut, berikut kolerasi antara ayatayat dan hubungannya dengan surah sebelum dan sesudahnya. Penafsir juga merujuk pada asbabun nuzul untuk sampai pada pesan yang
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 56 -
IAIS Sambas dimaksud, tak ketinggalan pendapatpendapat yang berkenaan dengan ayatayat tersebut. Baik itu yang berasal dari Nabi, sahabat para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya. (Rohimin, 2007: 67). Metode ini disebut juga dengan metode tajzi>’iy (parsial), hal ini untuk membedakannya dengan metode tawhi>dy (utuh/menyeluruh) pada tafsir maudhu>’i (tematik). Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini adalah sebagai berikut: 1. Menyebutkan sejumlah ayat yang akan dibahas dengan memperhatikan urutan-urutan ayat dalam mushaf. 2. Menjelaskan arti kosa kata (mufradat) yang terdapat dalam ayat yang dibahas. 3. Memberikan garis besar maksud beberapa ayat sehingga pembaca memperoleh gambaran umum maksud dari ayat tersebut. 4. Menerangkan konteks ayat, ini berarti dalam memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat, kita harus melihat konteks kata tersebut dengan seluruh kata dalam redaksi ayat tersebut. 5. Menjelaskan asbab an-nuzul ayat tersebut hingga dapat membantu memahami maksud ayat tersebut. 6. Menjelaskan munasabah ayat tersebut. 7. Memperhatikan keterangan-keterangan yang bersumber dari Nabi, sahabat dan tabi’in (Rohimin, 2007: 69). 8. Memberikan penjelasan final mengenai maksud ayat tersebut dari berbagai aspeknya berdasar pada penjelasan yang telah diperoleh. Aplikasi metode ini dapat dilihat dalam berbagai karya tafsir diantaranya: Ja>mi’ al Baya>n fi> at-Tafsi>r al-Qur’an karangan imam Ibnu Jarir at-Thabary, Tafsi>r al-Maraghi, Tafsi>r Al-Qur’an alAdzhi>m karya imam Ibnu Katsi>r, Mafa>tih al-Ghaib karya al-Fakhr arRa>zi> dan lain sebagainya.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Sebagai contoh metode ini, kita dapat melihat penafsiran al-Maraghi sebagai berikut: وﺣﻘﯾﻘﺗﮫ, اﻟﺷك: )ﻻ رﯾب ﻓﯾﮫ ( اﻟرﯾب و اﻟرﯾﺑﺔ ﻗﻠﻖ اﻟﻧﻔس واﺿطراﺑﮭﺎ ﺳﻣﻲ ﺑﮫ اﻟﺷك ﻻﻧﮫ ﯾﻘﻠﻖ : وﻗد ﺟﺎء ﻓﻲ اﻟﺣدﯾث, اﻟﻣﻔس و ﯾزﯾل ﻣﻧﮭﺎ اﻟطﻣﺎﻧﯾﻧﺔ ﻓﺎن اﻟﺷك رﯾﺑﺔ و اﻟﺻدق, دع ﻣﺎﯾرﯾﺑك اﻟﻲ ﻣﺎ ﻻﯾرﯾﺑك .طﻣﺎﻧﯾﻧﺔ واﻟﻣﻌﻧﻲ ان ھذا اﻟﻛﺗﺎب ﻻﯾﻌﺗرﯾﮫ رﯾب ﻓﻲ ﻛوﻧﮫ ﻣن ﻋﻧد ﷲ وﻻﻓﻲ ھداﯾﺗﮫ وارﺷﺎده وﻻ ﻓﻲ اﺳﻠوﺑﮫ ﻓﻼ ﯾﺳﺗطﯾﻊ اﺣد ان ﯾﺎﺗﻲ ﺑﻛﻼم ﯾﻘرب ﻣﻧﮫ.وﺑﻼﻏﺗﮫ )وان ﻛﻧﺗم ﻓﻲ: ﺑﻼﻏﺗﮫ وﻓﺻﺎﺗﮫ و اﻟﻲ ھذااﺷﺎر ﺑﻘوﻟﮫ .( رﯾب ﻣﻣﺎ ﻧزﻟﻧﺎ ﻋﻠﻲ ﻋﺑدﺗﺎ ﻓﺎﺗوا ﺑﺳورة ﻣن ﻣﺛﻠﮫ اﻧﻣﺎﻧﺷﺎ ﻋن ﺟﮭل, وارﺗﯾﺎب ﻛﺛﯾر ﻣن اﻟﻧﺎس ﻓﯾﮫ ﺑﺣﻘﯾﻘﺗﮫ او ﻋن اﻣﻲ ﺑﺻﯾرﺗﮭم او ﻋن اﻟﺗﻌﻧﺔ ﻋﻧﺎدا .واﺳﺗﻛﺑﺎر واﺗﺑﺎﻋﺎ ﻟﻠﮭوا وﺗﻘﻠﯾداﻟﺳواھم Dari contoh diatas, didapatkan bahwa al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut memberikan uraian yang bersifat analitis (rinci) dengan menggunakan berbagai pendapat yang didukung oleh fakta dan argumenargumen, baik berasal dari Al-Qur’an sendiri, hadis-hadis Nabi serta pendapat para ulama. (Nashrudin Baidan, 2003: 19). Metode tahli>li adalah metode yang kebanyakan digunakan oleh para ulama pada masa dahulu. Akan tetapi berbeda pada pola pemaparannya. Ada yang mengemukakan secara panjang lebar (ithna>b), ada yang singkat (I’jaz), dan ada pula yang secukupnya (musa>wah). (Aqil Husain Al- Munawwar, 1994: 36) Selanjutnya, dalam perkembangannya, penafsiran dengan metode tahli>li ini dikenal dengan berbagai macam corak, yaitu: al-tafsi>r bi al-ma’tsu>r, al-tafsi>r bi al-ra’yi>, tafsi>r shu>fi, tafsi>r fiqhi, tafsir> falsafi, tafsir ‘ilmi, tafsi>r ada>b alijtima>’I, tafsir muna>sabah dan lain sebagainya. (Nashruddin Umar, 2008: 12). 3. Metode Muqa>ran (Komparasi). Yang dimaksud dengan metode muqa>ranadalah metode yang menggunakan pendekatan perbandingan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.(Ahmad Izzan, 2007: 106).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 57 -
IAIS Sambas Pengertian ini bisa dipahami dalam beberapa bentuk, yaitu: Pertama, metodemuqa>ranbisa diartikan sebagai metode yang digunakan dengan cara membandingkan teks (nash) ayatayat Al-Qur’an yang memiliki kemiripan redaksi tetapi maksudnya berbeda, atau memiliki redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama. Kedua, membandingkan ayat alQur’an dengan hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan. Ketiga, membandingkan berbagai pendapat para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an serta mem bandingkan segi-segi dan kecenderungan mereka yang berbeda-beda dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an. (Nashrudin Baidan, 2003: 65). Sebagai contoh penerapan metode ini, ayat 151 dari surat al-An’am: ﻋﻠَ ْﯾ ُﻛ ْم أَﻻ ﺗُﺷْرِ ﻛُوا ﺑِ ِﮫ َ ﻗُ ْل ﺗَﻌَﺎﻟَوْ ا أَﺗْ ُل ﻣَﺎ ﺣَرﱠ َم رَ ﺑﱡ ُﻛ ْم ق ٍ ﺷ ْﯾﺋًﺎ وَ ﺑِﺎﻟْوَ ا ِﻟدَﯾْنِ إِﺣْ ﺳَﺎﻧًﺎ وَ ﻻ ﺗَ ْﻘﺗُﻠُوا أَوْ ﻻدَ ُﻛ ْم ﻣِ نْ إِﻣْﻼ َ ﻧَﺣْ نُ ﻧَرْ زُ ﻗُ ُﻛ ْم وَ إِﯾﱠﺎ ُھ ْم وَ ﻻ ﺗَﻘْرَ ﺑُوا ا ْﻟﻔَوَ اﺣِ شَ ﻣَﺎ َظﮭَرَ ﻣِ ْﻧ َﮭﺎ ﻖ ذَ ِﻟ ُﻛ ْم ِ ّ وَ ﻣَﺎ ﺑَطَنَ وَ ﻻ ﺗَ ْﻘﺗُﻠُوا اﻟﻧﱠﻔْسَ اﻟﱠﺗِﻲ ﺣَرﱠ َم ا ﱠ ُ إِﻻ ﺑِﺎ ْﻟ َﺣ (١٥١) َوَ ﺻﱠﺎ ُﻛ ْم ﺑِ ِﮫ ﻟَﻌَﻠﱠ ُﻛ ْم ﺗَ ْﻌ ِﻘﻠُون Terjemahnya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (Depaq RI, 2005: 199). Dengan ayat 31 dari surat al-Isra, yaitu: ق ﻧَﺣْ نُ ﻧَرْ زُ ﻗُ ُﮭ ْم ٍ ﺷﯾَﺔَ إِﻣْﻼ ْ وَ ﻻ ﺗَ ْﻘﺗُﻠُوا أَوْ ﻻدَ ُﻛ ْم َﺧ (٣١) وَ إِﯾﱠﺎ ُﻛ ْم إِنﱠ ﻗَﺗْﻠَ ُﮭ ْم ﻛَﺎنَ ﺧِ ْطﺋًﺎ َﻛﺑِﯾرً ا Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Depaq RI, 2005: 388). Dari kedua ayat di atas kita menemukan redaksi yang berbeda tetapi maksudnya sama, yaitu melarang (mengharamkan) pembunuhan anak hanya karena takut miskin. Namun, jika kita lihat lagi, sasaran dan aksentuasinya berbeda jauh. Ayat pertama (QS. Al-An’am, 6: 151) redaksi khitabnya ditujukan kepada orang-orang miskin, sedang ayat yang kedua (QS. Al-Isra’, 17: 31) khitabnya ditujukan pada orang-orang kaya (aghniya>’). Pemahaman itu diperoleh dari bentuk redaksi kedua ayat tersebut. Pada ayat pertama, redaksi yang digunakan adalah min imla>q (takut kelaparan) yang menunjukkan kelaparan itu seudah dan sering terjadi, dan yang mereka takutkan adalah kelaparan itu terus-menerus terjadi, sedangkan pada ayat kedua redaksinya adalah khasyata imla>q, kelaparan yang belum tentu terjadi. Perbedaan redaksi yang lain juga bisa dilihat dari kalimat “kami memberikan rezki” (narzuq) yang berbeda kata gantinya. Menurut sebagian mufasir kata min imla>q dan nahnu narzuqukum wa iyya>hum pada ayat 151 surat al-An’am member isyarat bahwa orang-orang miskinlah yang sedang mengalami kelaparan, meski dengan alasan itu mereka tetap diharamkan membunuh anak-anaknya dan bahwa Allahlah yang menjamin rezki mereka dan anak-anaknya. Sebaliknya pada ayat 31 surat Al-Isra, kata khasyata imla>q mengisyaratkan bahwa kelaparan belum terjadi, sehingga khitab dari ayat ini adalah orang-orang kaya yang merasa khawatir dari kelaparan yang disebabkan oleh anak-anak mereka yang turut memakan hartanya. Oleh karena itu Allah menekankan bahwa Dialah yang menjamin rezki anak-anak mereka, bahkan orang tuapun bisa mendapatkannya. Itulah sebabnya rahasia penempatan kata narzuquhum
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 58 -
IAIS Sambas yang didahulukan dari kata wa iyya>kum. (Ahmad Izzan, 2007: 109). Secara umum, langkah-langkah dalam menggunakan metode muqa>ran adalah sebagai berikut: 1. Menginventarisir ayat-ayat atau hadis yang akan diperbandingkan. 2. Meniliti kasus dan asba>b an-nuzu>l/ asba>b al-wuru>d ayat atau hadis tersebut, apakah sama atau tidak. 3. Melakukan penafsiran terhadap ayat atau hadis yang diperbandingkan. (Syahrin Harahap, 2000: 21). 4. Mengemukakan perbedaan pendapat para ulamaterkait denganpenafsiran ayat atau hadis tersebut. 5. Metode Maudhu>’i (tematik). Perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan manusia menuntut adanya metode baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang memproduksi penafsiran yang dapat menjadi solusi bagi tiap permasalahan tersebut. Salah satunya dalah metodemaudhu>’i (tematik). Metode ini berarti menafsirkan AlQur’an dengan cara menghimpun seluruh ayatayat Al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah atau tema yang bertujuan sama untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara dan syarat tertentu untuk menerangkan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya, serta menghubung-hubungkan antara yang satu dan yang lainnya dengan kolerasi yang bersifat komfrehensif. (Ahmad Izzan, 2007: 115). Kajian tafsir maudhu>’i dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu: pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya uang bersifat umum dan khusus, menjelaskan munasabah antara ayat dalam surat tersebut sehingga surat itu tampak sebagai satu kesatuan yang utuh. Kedua, menghimpun ayat-ayat dari keseluruhan Al-Qur’an dibawah satu
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 tema yang sama. (Abd. Hayy al-Farmawy, 1996: 35-36. Dengan metode maudhu>’i, selain mufasir mencoba mengkaji Al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus, mufasir juga dapat mengarahkan pandangannya pada problem baru dan berusaha memberikan solusi melalui petunjuk Al-Qur’an sambil memperhatikan hasil pemikiran dan pemenuan manusia, sehingga muncul karya ilmiah menurut topic tertentu dalam prespektif Al-Qur’an, misalnya : al-Insa>n fi> Al-Qur’an, al-Mar’ah fi> alQur’an dan lain sebagainya. (Nashruddin Umar, 2008: 12). Jika dilihat dari sejarahnya, Tafsir Maudhu>’i bukanlah merupakan fenomena baru. Menurut Al-Farmawy, benih penafsiran seperti ini sudah ada sejak zaman Nabi saw. sebab penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an menurutnya merupakan embrio bagi munculnya tafsir maudhu>’i selain merupakan tafsi>r bi al-ma’tsur. Akan tetapi, istilah tafsir al-maudhu>’i itu sendiri diperkirakan baru lahir pada sekitar abad empat belas hijrah (19 M), ketika metode tafsir ini ditetapkan sebagai matakuliah dijurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin di Jami’ah al-Azhar yang diprakarsai oleh Ahmad Sayyid alKumy dan Abd. Hayy al-Farmawy. Adapun di Indonesia, tafsir dengan metode ini diprakarsai oleh M. Quraish Shihab yang bisa dilihat dalam karya tafsirnya. Karya-karya tafsir dengan menggunakan metode ini diantaranya adalah tafsir karya Fakhr al-Ra>zi, al-Qurthu>by> dan Ibn ‘Ara>bi. Disamping itu, kita juga bisa melihat penerapan metode ini dalam kitab al-Baya>n fi> Aqsa>m al-Qur’an karya Ibn Al-Qayyim, kitab Maja>z alQur’an karya Abu ‘Ubaidah dan lain sebagainya. Langkah dalam menerapkan metode maudhu’i adalah sebagai berikut: 1. Memilih tema yang akan dibahas 2. Menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 59 -
IAIS Sambas 3. Menentukan urutan ayat-ayat sesuai dengan waktu turunnya serta menjelaskan asbab an-nuzulnya 4. Menjelaskan munasabah atau relevansi ayat-ayat tersebut. 5. Mengemukakan hadis-hadis bahkan penemuan ilmiah yang terkait dengan tema yang dibahas. 6. Menyusun pembahasan dalam dalam satu kerangka yang sempurna 7. Mengkaji ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau mengembalikan yang ‘am kepada yang khas, muthlaq kepada muqayyad. Ataupun mengkompromikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga ditemukan penafsiran yang menyeluruh dan utuh. (Syahrin Harahap, 2000: 19). Setelah melihat defenisi dan langkahlangkah penerapan keempat metode tafsir diatas, sebenarnya sudah dapat diambil kesimpulan mengenai perbedaan metode-metode tafsir tersebut. Metode ijma>li misalnya, adalah metode yang pola pembahasannya hanya bersifat ringkas tanpa uraian yang mendetail, berbeda dengan metodetahli>li (analitis) yang menghendaki penafsiran secara panjang lebar dan terperinci. Metode Muqa>ran lain lagi, dalam metode ini yang ditekankan adalah perbandingan (komparasi). Maka ketika penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan dengan membandingkan antara ayat satu dengan lainnya atau ayat Al-Qur’an dengan hadis, atau juga membandingkan berbagai pendapat ulama, maka cara seperti ini dikategorikan sebagai metode muq>aran. Begitu juga dengan metode maudhu>’i (tematik), ketika penafsiran Al-Qur’an dilakukan dengan menghimpun ayatayat yang memiliki maksud yang sama dibawah satu topic atau tema maka ini dikategorikan kedalam metode maudhu>’i. dengan kata lain, penekananmetode maudhu>’i adalah pembahasan terhadap tema tertentu.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Adapun perbedaan antara metode maudhu>’idengan metodetahli>li di antaranya : pertama, metode tahli>li terikat dengan susunan ayat-ayat dalam mushaf sedang metode maudhu>’i lebih terikat pada urutan masa turunnya ayat atau kronologis kejadian. Kedua, metode maudhu>’i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung sebuah ayat, tapi hanya yang berkaitan denga tema yang sudah ditentukan. Sedang metode tahli>li membahas segala sisi yang ditemukan dalam ayat tersebut. Ketiga, penafsiran dengan metode maudhu>’i berusaha untuk menuntaskan permasalahan yang menjadi pokok bahasan, sedang dalam metode tahli>li, mufasir hanya mengemukakan penafsiran ayatayat secara berdiri sendiri dan melebar, sehingga permasalahan menjadi tidak tuntas. (Quraish Shihab, 1993: 181). Pada dasarnya, fungsi metodologi tafsir adalah sebagai alat bantu dalam memahami pesan dan petunjuk yang dikandung oleh Ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik dan benar. Akan tetapi, bagaimanapun bentuk sebuah metodologi, tetap saja merupakan hasil ijtihadi manusia, oleh karena itu disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. (Nashrudin Baidan, 2003: 21). Dalam kaitannya dengan ini, metode ijma>li yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami hadis-hadis Nabi saw. memiliki kelebihan sebagai berikut : a. Praktiks dan mudah dipahami karena lebih ringkas dan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu metode ini sesuai dengan pemula, dalam artian sesuai dengan orang yang baru belajar tafsir Al-Qur’an dan bagi orang-orang yang ingin memahami kandungan AlQur’an dalam waktu yang singkat dan tidak menginginkan penjelasan secara detail.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 60 -
IAIS Sambas b. Dengan mengunakan metode ini, dapat membendung pemahamanpemahaman yang terlalu jauh dari makna ayat yang dimaksud. Hal ini dikarenakan dengan metode ijma>li, kita hanya mendapatkan makna yang dikandung secara ringkas dan jelas. (Syahrin Harahap, 2000: 22). c. Bahasanya cenderung lebih mudah dimengerti dan enak dibaca. Disamping kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, metode ini juga memiliki kekurangan, di antaranya: a. Menjadikan petunjuk yang dikandung dalam sebuah ayat bersifat parsial. (Syahrin Harahap, 2000: 22). Kerena boleh jadi ayat tersebut memiliki penjelasan atau hubungan dengan ayat atau hadis yang lain. Sehingga makna yang kita pahami dari sebuahayat dengan menggunakan metode ijma>li ini belum merupakan makna final dari makna yang seharusnya. b. Kita tidak memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih banyak sehubungan dengan ayat yang dimaksud. Sehingga bagi orang-orang yang ingin memahami ayat secara rinci dan lebih jauh lagi tidak bisa mencapai tujuannya dengan menggunakan metode ini. Adapun Kelebihan dari metode tahli>li diantaranya adalah: a. Ruang lingkupnya luas sehingga mem perkaya kita denganberbagai pengetahuan sehubungan dengan ayat tersebut. oleh karena itu metode ini sesuai dengan orang yang ingin mengetahui secara rinci tentang suatu ayat. b. Metode tahli>li memuat berbagai macam ide dan pemahaman, karena metode ini memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjelaskan kandungan satu ayat yang bisa jadi berbeda dengan oranglain. Hal ini yang mungkin membuat metode ini lebih pesat perkembangannya dibanding metode ijma>li>. (Nashrudin Baidan, 2003: 54).
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Adapun kekurangan metode tahli>li, antara lain: a. Menjadikan petunjuk yang dikandung sebuah ayat bersifat parsial, sama halnya dengan metode ijma>li. Hal ini kemungkinan besar karena dalam metode tahli>li, tidak ada keharusan untuk membandingkan satu ayat dengan ayat Al-Qur’an lainnya atau hadis-hadis yang terkait. hingga bisa jadi makna yang diperoleh tidak lengkap bahkan menjadi tidak benar. (Nashrudin Baidan, 2003: 56). b. Terkadang melahirkan penafsiran yang subjektif. Selain itu pendekatan dengan metode ini membuka pintu bagi berbagai macam pemikiran, termasuk israiliyat. Metodemuqa>ranpunterdapatkelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihan dari metode ini adalah memberikan pengetahuan yanglebihluas dibandingmetode-metode yang lain, karena dengan metode ini kita didorong untuk mengkaji berbagai ayatayat al-Qur’an, hadis serta pendapatpendapat ulama mengenai ayat dan hadis yang kita maksud. Selain itu, dengan metode ini memungkinkan kita mengetahui makna sebenarnya dari sebuah ayat atau hadis. Adapun kekurangan metode ini diantaranya bahwa metode muqara>n tidak cocok dipakai bagi pemula dan orang yang menginginkan makna sebuah ayat atau hadis secara cepat dan ringkas. Hal ini disebabkan pembahasan didalamnya sangat luas. Kekurangan yang lain, metode ini kurang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada karena pada dasarnya penekanan metode ini adalah pada perbandingan bukan pemecahan masalah seperti yang dihasilkan oleh metode tematik. Disisi lain kita juga mengenal metode maudhu’I (tematik), Kelebihan metode maudhu>’i> selain karena dapat menjawab tantangan zaman dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan rumit,
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 61 -
IAIS Sambas metode ini juga memiliki kelebihan yang lain, di antaranya: a. Penerapannya praktis dan sistematis, hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk alQur’an dan hadis dengan waktu yang lebih efektif dan efesien. b. Metode tematik membuat tafsir AlQur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga, masyarakat tertarik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini didapatkan dari ketiga metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang pokok. c. Dengan ditetapkannya tema tertentu, maka pemahaman kita terhadap Ayatayat Al-Qur’an menjadi utuh. Kita hanya perlu membahas segala aspek yang berkaitan dengan tema tersebut tanpa perlu membahas hal-hal lain diluar tema yang ditetapkan. Adapun kekurangannya, metode ini terikat pada tema yang telah ditetapkannya dan tidak membahas lebih jauh hal-hal diluar dari tema tersebut, sehingga metode ini kurang tepat bagi orang yang menginginkan penjelasan yang terperinci mengenai suatu hadis dari segala aspeknya. Pada dasarnya, pemilihan terhadap berbagai metode tafsir ini kembali kepada kebutuhan kita masing-masing, jika kita hanya membutuhkan penafsiran global dan singkat maka yang tepat digunakan adalah metode ijma>li bukan tahli>li. Begitujuga berlakudengan ketiga metode yang lain. M. Quraish shihab memberikan ilustrasi metode tahli>li (analitis) sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu>’i (tematik) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentunya akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan dimeja prasmanan. banyak persoalan ummat sekarang ini yang membutuhkan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 penyelesaian yang cepat. Maka metode maudhu>’i lah yang paling tepat digunakan. Akan tetapi, yang mesti tetap diingat adalah tepat tidaknya pemilihan metode tafsir yang digunakan adalah kembali kepada kebutuhan mufasir itu sendiri.
SIMPULAN Metodologi tafsir berarti kerangka kaidah, atau cara yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, aspek sumber-sumper penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Metodologi tafsir mencakup beberapa macam metode dilihat dari aspek yang mendasarinya, baik itu aspek sistematika penyusanannya, aspek sumbernya dan aspek keluasan tafsirannya. Urgensi metodologi tafsir secara umumadalahuntukmemperolehpemahaman yang baik dan benar terhadap pesan dan petunjuk Allah yang terangkum dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Masing-masing metode tafsir memiliki kelebihan dan kekurangan, adapun tepat tidaknya suatu metode kembali kepada kebutuhan sang mufasir itu sendiri. Perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat membutuhkan pengembangan alternatife-alternatif metode tafsir, sehingga fungsi Al-Qur’an sebagai hudan yang bersifat universal dan guide dalam setiap sisi kehidupan dapat tercapai.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 62 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Al-Aridl, Ali Hasan. Tari>kh ‘ilm at-Tafsi>r wa Mana>hij al-Mufassiri>n.
diterjemahkan oleh Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir , Cet. II ; Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Farmawi, Abdul Hayy. Al-Bida>yah Fi> At-Tafsi>r Al-Maudhu>’i> :
Dira>sah Manhajiyyah Maudhu’iyah, diterjemahkan oleh Suryan. A.
Jamrah, Metode Tafsir Maudhu’iy : Sebuah Pengantar, Cet. II ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
_______. Al-Bida>yah Fi> At-Tafsi>r Al-Maudhu>’i> : Dira>sah Manhajiyyah Maudhu’iyah, diterjemahkan oleh Rosihon Anwar, Metode Tafsir
Maudhu’I dan Cara Penerapannya, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Al-Munawar, Agil Husain dan Masykur Hakim. I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1994.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Maba>hits fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1999.
Al-Zarqany, Muhammad ‘Abd ‘Adzhim, Mana>hilul ‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m alQur’a>n, Juz. I, Kairo: Makatabah Taufiqiyah, t.th.
As-Shalih, Subhi, Maba>hits fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Cet. V; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Az-Zahaby, Muhammad, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz.I, Cet. VIII; Cairo: Maktabah Wahbah, 2003.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000.
______, Tafsir Maudhu’I : Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta; CV. Kathoda, 2005.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 63 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
Hakim, Baqir, ‘Ulu>m al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq,
Abd.Ghafur dan Salman Fadhlullah, Ulumul Qur’an, Cet. I ; Jakarta: AlHuda, 2006.
Hanafi, M. Muchlis, “Sejarah Tafsir Klasik dan Modern”. Makalah yang
disampaikan pada Short Course Tafsir Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh Ikhlas digital Library of Al-Qur’an, di gedung yayasan Paguyuban Ikhlas, Sabtu, 6 Oktober 2007.
Harahap, Syahrin, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Cet. I ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. I; Bandung: Tafakkur, 2007.
Mardan. Al-Qur’an : Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an secara utuh, Cet. I: Jakarta: Pusataka Mapan, 2009.
Muhibbin, Zainul. “Paradigma Baru Metodologi Tafsir Al-Qur’an sebagai Alternatif”, Kappa edisi khusus sainsi social (2003) : h. 36-43.
Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’a>mul Ma’a al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Salim, Muin, Kata Pengantar dalam Samsul Bahri, Metodologi Ilmu Tafsir, t.t. : Teras, t.th.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Cet.XIII, Bandung : Mizan, 1996. ______, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Terhadap Berbagai Persoalan Ummat, Cet.II, Bandung: Mizan, 2007.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an : Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Cet. V, Jakarta: Penamadani, 2008.
Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, Cet. I, Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2008.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 64 -
TEMPORAL CHANGE PADA PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM SWASTA (Studi Manajemen Perubahan di Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas) Hifza, S.Pd.I, M.S.I*
ABSTRAK Tujuan studi ini adalah untuk mendeskripsikan faktor penyebab dan dampak terjadinya perubahan sesa'at (temporal change) pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perso alan tersebut. Perubahan sesa'at adalah proses perubahan pada internal institusi yang berlangsung hanya sementara dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Padahal upaya perubahan dalam konteks manajemen perubahan (change management) bertujuan untuk meningkatkan eksistensi dan kinerja institusi, karena manajemen perubahan merupakan proses pembaharuan organisasi yang dilakukan secara terus-menerus terkait arah, struktur dan kemampuan untuk melayani kebutuhan yang selalu berubah. Oleh karena itu, studi tentang temporal change pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta ini menjadi sangat penting untuk dipahami, agar menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengelolaan perubahan. KATA KUNCI: Manajemen perubahan, Temporal Change, Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
*Dosen
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Perubahan dalam hidup dan kehidupan ini adalah keniscayaan, karena perubahan bukan sekedar kebutuhan, tetapi juga telah menjadi keharusan untuk mencapai kemajuan. Perubahan merupakan suatu respon terencana atau tak terencana terhadap tekanan-tekanan atau desakan-desakan yang ada, dan upaya untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya peru bahan itu disebut dengan manajemen pe rubahan. (winardi, 2008: 10-11). Perubahan mempunyai man-faat yang besar bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, termasuk Perguruan Tinggi Islam swasta (PTAIS). Tanpa adanya perubahan, dapat dipastikan bahwa usia suatu lembaga pendidikan tidak akan bertahan lama, karena di antara tujuan penting adanya perubahan adalah agar lembaga pendidikan tersebut tidak menjadi statis, melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada bidang pendidikan. (Renald Kasali, 2010: 15-16). Dunia pendidikan yang saat ini dihadapkan pada banyak tantangan dan kompleksnya perubahan lingkungan seiring dengan pesatnya perkembangan globalisasi, menuntut setiap perguruan tinggi untuk selalu mampu beradaptasi. Tingginya tingkat persaingan, terutama dalam aspek pemasaran produk dan jasa layanan pendidikan, baik yang terkait dengan aspek mutu, harga (pembiayaan) dan layanan, merupakan di antara persoalan penting yang menempatkan perlunya setiap perguruan tinggi untuk melakukan penataan dan upaya perubah yagn bersifat konstruktif, agar tetap survive dan mampu bergerak secara maksimal searah dengan tuntutan dan beratnya tantangan zaman, baik di masa sekarang maupun yang akan datang.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Proses perubahan dalam konteks manajemen perubahan (change management) yang berlangsung pada institusi perguruan tinggi sejatinya harus berjalan secara terus-menerus (continues changes), agar perubahan yang dilakukan benar-benar memberikan pengaruh yang positif bagi kemajuan institusi. Akan tetapi, seringkali proses perubahan yang dijalankan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan tidak di antaranya yang gagal dalam melakukan perubahan. Kalaupun perubahan itu sedang atau telah dilakukan, tidak sedikit pula yang berjalan hanya sesaat atau bersifat temporal (temporal changes). Perubahan yang berlangsung sesaat, dalam banyak kasus memberikan dampak yang tidak kondusif bagi perguruan tinggi tersebut. Tujuan perubahan yang sejatinya adalah dalam rangka perbaikan atau pembaharuan, menjadi tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian, perubahan sesaat (temporal change) pada dasarnya adalah antitesa dari perubahan (change) itu sendiri. Perubahan yang bersifat temporal sangat mungkin terjadi pada setiap perguruan tinggi, tak terkecuali PTAIS. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi, baik yang berasal dari dalam maupun luar institusi. Di antara yang terpenting adalah kurangnya inovasi dan tidak terbedayanya unusur-unsur yang menjadi energi pelanjut perubahan. Energi perubahan yang dimaksud, di antaranya berasal dari kesadaran dan partisipasi seluruh unsur (sumber daya manusia) yang ada dalam institusi, termasuk kurangnya dukungan dari unsur teknologi yang menopang upaya perubahan tersebut. Perubahan sesaat yang terjadi pada PTAIS, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh institusi itu sendiri, tetapi juga unsur lain yang terkait. Oleh karena itu, setiap PTAIS harus mampu memahami dan mengidentifikasi segala aspek yang ter-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 69 -
IAIS Sambas kait dengan dinamika manajemen perubahan. Berangkat dari permasalahan di atas, maka kajian terhadap persoalan perubahan yang bersifat temporal (sesaat) pada PTAIS menjadi penting untuk dilakukan, agar aspek-aspek penting yang berhubungan dengan persoalan tersebut dapat diketahuidan dipahami serta dicarikan upaya penyelesaiannya. Untuk itu, fok us pembahasan dalam tulisan ini tertuju pada beberapa aspek penting, yaitu: 1) Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan se-saat pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta?; 2) Bagaimana mengatasi peru-bahan yaang sesaat yang bersifat sesa'at pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta?.
Pengertian Manajemen Perubahan dan Perubahan Sesa'at pada PTAIS 1. Manajemen Perubahan (Change Management) Manajemen perubahan menurut Wibowo merupakan suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses tersebut, (Wibowo, 2006: 6). (sedangkan Hamalik Oemar secara lebih spesifik menyebutkan bahwa manajemen peru-bahan merupakan perencanaan suatu rangkaian tindakan untuk masa yang akan datang. Perencanaan tersebut bertujuan untuk mencapai seperangkat operasi yang konsisten dan terkoordinasi guna memperoleh hasil-hasil yang diinginkan dan perencanaan tersebut disusun oleh seorang manajer. (Hamalik Oemar, 2010: 98-99). Adapun tujuan perubahan pada suatu organisasi atau lembaga pendidikan, di antaranya adalah: 1) mempertahankan keberlangsungan hidup organisasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang; 2) beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan inter-
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 nal maupun eksternal kelembagaan. Lingkungan internal meliputi perubahan strategi lembaga, tenaga kerja, teknologi dan peralatan yang digunakan serta sikap-sikap personalia, sedangkan lingkungan eksternal terkait dengan perubahan pasar konsumen, teknologi, peraturan dan hukum pemerintah serta lingkup global; 3) memperbaiki efektivitas internal kelembagaan agar mampu bersaing ditengah beratnya persaingan. Aspek ini meliputi perbaikan efektivitas tim kerja dan perbaikan struktur, serta sistem organisasi yang terkait dengan implementasi strategi. (Wibowo, 2006: 22-23). Berangkat dari pemahaman di atas, dapat dipahami bahwa manajemen perubahan merupakan proses pembaharuan organisasi yang dilakukan secara terusmenerus terkait arah, struktur dan kemampuan untuk melayani kebutuhan yang selalu berubah, baik dalam aspek kondisi lingkungan (pangsa pasar), pengguna jasa (custumors) dan sumber daya manusia internal kelembagaan. Dengan demikian, manajemen perubahan pada dasarnya adalah upaya yang ditujukan untuk memberikan solusi yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dengan cara yang terorganisasi dan dengan metode pengelolaan dampak perubahan pada orang yang terlibat didalamnya. Di perguruan tinggi, perubahan selalu dimulai dengan inisiatif dan pandangan pada hasil yang positif bagi pertumbuhan institusi. 2. Perubahan Sesa'at (Temporal Change) Kebutuhan dan keharusan perubahan pada tingkat organisasi atau perguruan tinggi didorong oleh banyak sebab, baik yang terkait dengan fenomena global di berbagai dimensi kehidupan yang tidak dapat dihindari, sehingga memberikan efek yang tidak kecil terhadap organisasi, maupun yang berhubungan dengan kondisi atau perkembangan dari organisasi yang mengalami berbagai
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 70 -
IAIS Sambas persoalan. (TB. Sjari Mankuprawira & Aida Vitayla Hubeis, 2007: 60). Perubahan dalam institusi perguruan tinggi ada yang bersifat inovatif dan ada pula yang bersifat strategis. Perubahan inovatif adalah perbaikan secara kontinyu dalam kerangka sumberdaya yang ada. Sementara perubahan strategis adalah perubahan melakukan sesuatu yang baru. (TB. Sjari Mankuprawira & Aida Vitayla Hubeis, 2007: 63). Dari kedua sifat peru-bahan ini menunjukkan bahwa tujuan perubahan pada dasarnya adalah untuk melaksanakan perbaikan dan/atau pem baharuan pada institusi agar tetap eksis dan mampu mencapai kemajuan sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun pada setiap perubahan, baik yang bersifat inovatif maupun strategis, tentunya akan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam proses penanganannya. Perubahan yang dilakukan pada oleh suatu institusi, berpotensi menimbulkan banyak permasalahan. Di antara permasalahan yang sering muncul adalah terjadinya penolakan atas perubahan (resistance to change) itu sendiri. Penolakan terhadap perubahan memang tidak selalu bernilai negatif, karena justru dengan adanya penolakan maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Penolakan terhadap perubahan dalam prakteknya juga tidak selalu muncul dalam bentuk yang standar. Penolakan yang jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya tindakan protes, ancaman mogok, demonstrasi, dan sejenisnya, sedangkan yang tersirat (implisit) dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan sebagainya. (TB. Sjari Mankuprawira & Aida Vitayla Hubeis, 2007: 60). Banyaknya permasalahan yang muncul dalam proses perubahan tidak mengartikan bahwa perubahan itu harus
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 dihindari atau dianggap tidak penting. Justru sebaliknya, perubahan sangat diperlukan jika ingin menjadi lebih baik. Perubahan yang dapat menjamin keberhasilan pencapaian tujuan di antaranya adalah perubahan yang berlangsung secara terus-menerus (continues changes) dan dijalankan dengan baik sesuai perencanaan yang matang dan dibuat berdasarkan kebutuhan perubahan. Ada pun segala permasalahan yang muncul dalam proses perubahan harus diposisikan sebagai bagian dari dinamika perubahan yang perlu diselesaikan. Namun demikian, menyikapi adanya permasalahan dalam perubahan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Per masalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik akan memberikan berpengaruh yang tidak kecil, terutama terhadap tingkat konsistensi pelaksanaan perubahan. Perubahan yang berjalan konsisten berpotensi melahirkan perubahan yang bersifat temporal (temporal changes), yakni proses perubahan dalam organisasi yang berjalan hanya sesaat atau sementara dan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Proses perubahan ini menyebabkan tujuan yang hendak dicapai dari dilaksanakannya perubahan menjadi tidak tercapai. 3. Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) Pendidikan di perguruan tinggi pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Oleh karena itu, perguruan tinggi sering menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi, yakni penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Untuk itu, setidaknya ada beberapa dimensi makna yang melekat pada perguruan tinggi, yaitu: 1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi); 2) dimensi pendidikan (pendidikan tinggi); 3) dimensi sosial (kehi-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 71 -
IAIS Sambas dupan masyarakat); dan 4) dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggaraan). Di atas semua itu, apabila pendidikan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan martabat manusia, maka dapat diangkat ke dalam dimensi makna yang lebih mendalam, yaitu 5) dimensi etis. (R. Eko Indrajit, 2006: 28). Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu perguruan tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan masyarakat, sekaligus mampu menjawab segala bentuk tantangan yang selaras dengan kepentingan masya rakat secara umum. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi perguruan tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (R. Eko Indrajit, 2006: 28). Terutama untuk perguruan tinggi Islam yang berstatus swasta, peran sebagai lembaga pendidikan tinggi tetaplah sama. Namun, jika diartikan dengan perkembangan dunia pendidikan tinggi tetaplah sama. Namun jika dikaitkan dengan perkembangan dunia pendidikan tinggi dewasa ini, secara kuantitas jumlah perguruan tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) dari hari ke hari mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Setidaknya ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Dengan jumlah yang demikian, dilihat dari sisi kuantitas, perkembangan tersebut patut disyukuri. Akan tetapi, perlu dipertanyakan bagaimana kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan PTAIN dan PTUN?, apakah mereka sudah benarbenar menjadi perguruan tinggi, atau hanya sekedar menjadi lembaga formal
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 yang tidak pernah mengetahui bagaimana kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan makro PTAIS sekarang ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan dengan tugas pemerintah untuk mengembangkan PTAIS. (Arief Furchan, 2004: 117). Seiring berkembang PTAIS secara kuantitas sebagaimana data di atas, sudah tentu tidak terlepas dari berbagai problem yang merintangi perjalanannya. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, mulai dari aspek infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik kualitas dosen dan kualitas lulusan. (Agus Prianto, 2011: 34). Di satu sisi, munculnya dinamika seperti ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang sewajar, karena jika dipandang dari sudut pandang perkembangan organisasi yang berjalan secara bertahap, maka tantangan akan selalu ada. Namun di sisi lain, apabila pihak pemegang kebijakan perguruan tinggi tidak mampu mengelola persoalan-persoalan yang muncul, hal ini justru dapat berakibat pada eksistensi institusi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, terkait agenda perubahan pada PTAIS, perlu diupayakan dan dikelola dengan baik, agar perjalanan PTAIS selalu bergerak dinamis ke arah yang positif bagi dunia pendidikan. 4. Perubahan Sesaat pada PTAIS Sebagai institusi yang terdiri atas banyak organ, PTAIS merupakan refleksi dari suatu wadah yang disebut organisasi. Sebagai organisasi, PTAIS tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena merupakan wadah dimana orang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan bersama. Donelly menyebutkan bahwa organisasi adalah wadah yang me mungkinkan masyarakat untuk meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 72 -
IAIS Sambas sendiri, sedangkan Oteng Sutisna menyatakan bahwa organisasi merupakan mekanisme yang mempersatukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan. (Tim Dosen Adm Pendidikan, 2008: 23). Organisasi yang bergerak di bidang pendidikan seperti perguruan tinggi merupakan suatu perkumpulan yang unik dan kompleks, karena merupakan penyelenggaraan dan pelaksana fungsi-fungsi pendidikan tinggi. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyiapkan peserta didik agar menjadi anggota masyaraat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, memperkaya khanazah ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, termasuk memperkaya kebudayaan (nasional). Hendiyat Soetopo, 2010: 18). Demikian kompleksnya organisasi pendidikan tinggi tersebut, maka dalam memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik khususnya dan masyarakat pada umumnya, maka organisasi pendidikan tinggi perlu dikelola dengan baik. Oleh sebab itu, PTAIS perlu menyadari adanya pergeseran dinamika internal (perkembangan dan perubahan peran) serta tuntutan eksternal yang semakin berkembang. Dinamika tersebut mengisyaratkan bahwa setiap PTAIS per lu melakukan upaya-upaya yang bersifat progresif, baik dalam rangka menyikapi permasalahan pendidikan maupun meng hadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Upaya progresif yang dimaksud, diantaranya adalah dengan melaksanakan agenda perubahan. Hendiyat Soetopo, 2010: 19). Upaya perubahan pada PTAIS adalah dalam rangka membenahi aspek-aspek yang terkait dengan pengelolaan pendidikan, mulai dari sistem, SDM, kurikulum, sarana, dan prasarana, pembiayaan,
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 dan lain sebagainya, sehingga semuanya dapat memenuhi standar layanan pendidikan yang bermutu. Jika proses perubahan pada perguruan tinggi dapat berlangsung secara terus-menerus, harapan untuk adanya perbaikan dan pembaharuan pada proses pengelolaan dan pemberian layanan pendidikan yang berkualitas sangat mungkin dapat dilakukan. Namun, sebaliknya jika proses perubahan hanya berjalan sesaat, maka jaminan untuk terjadinya perbaikan dan pembaharuan tentu akan sulit untuk dicapai, atau bahkan dapat memperpuruk kondisi kondisi PTAIS itu sendiri. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Sesaat pada PTAIS Agenda perubahan yang dilaksanakan oleh PTAIS menjadi tidak berhasil karena disebabkan oleh banyak faktor, terutama yang berhubungan dengan per soalan yang tidak bisa diselesaikan oleh para pelaku perubahan di PTAIS. Ketidakmampuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam proses perubahan, diantaranya disebabkan oleh: 1. Perubahan tidak direncanakan dengan baik, karena memperlakukan perrubahan sebagai peristiwa kebetulan atau hal rutin yang akan dapat diselesaikan dengan baik secara otomatis, tanpa sebuah perencanaan yang baik. Akibatnya, tak jarang perubahan bergulir tanpa kendali atau ber jalan tidak sesuai dengan rencana yang diharapkan. Robbins dalam hal ini menyatakan bahwa perubahan seharusnya merupakan sebuah aktivitas yang terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan, yakni untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi didalam lingkungannya, dan merubah tingkahlaku dari para karyawan. (Steaphen P. Robbins, 2002: 132-133).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 73 -
IAIS Sambas 2. Mengabaikan aspek manusia dalam mengelola perubahan. Menurut Galpin, proses perubahan yang dilakukan pada institusi oleh para pelaku perubahan, kebanyakan lebih memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek teknis, finansial dan operasional, daripada aspek manusia. Akibatnya, upaya perubahan yang dicanangkan sering mengalami kegagalan. Aspek manusia sebagai salah satu sumber daya penting perguruan tinggi tentu tidak bisa diabaikan, karena manusia adalah di antara faktor kunci yang dapat menjamin keberlangsungan proses perubahan. (Timothy, 1996: 42-43). 3. Kegagalan dalam membangun koalisi yang kuat untuk mendorong perubahan. Kegagalan ini tertuju pada praktis perubahan yang lemah dalam membangun kolaisi dengan kemampuan untuk mendorong perubahan. Perubahan yang tidak didukung oleh koalisi yang kuat, bisa saja mengalami kemajuan untuk sementara waktu, namun cepat atau lambat akan muncul perlawanan-perlawanan yang dapat merusak inisiatif perubahan yang sudah dilakukan. (Jonh Kotter, 1996: 55). 4. Kurangnya pengenalan atau sosialisasi tentang tujuan dan aspek-aspek yang berkaitan dengan proses perubahan-perubahan kepada seluruh unsur (sumber daya manusia) yang ada di perguruan tinggi, sehingga memunculkan ketidaksiapan dari unsur-unsur tersebut untuk mendukung perubahan yang telah dicanangkan. Beberapa faktor di atas berlaku umum untuk setiap perubahan yang tidak berjalan sesuai harapan atau bahkan mengalami kegagalan. Adapun perubahan yang berlangsung sesaat (temporal changes), dalam konteks tulisan ini
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 memiliki sifat yang khusus dikarenakan faktor yang menyebabkannya pun lebih bersifat spesifik. Faktor penyebab yang dimaksud terutama berasal dari institusi, yakni: Pertama, kurangnya atau tidak terbedayakannya unsur-unsur yang menjadi energi pelanjut perubahan. Energi pelanjut perubahan yang dimaksud, di antaranya adalah terkait dengan kesadaran dan partisipasi seluruh unsur (sumber daya manusia) yang ada di Perguruan Tinggi. Tidak ketinggalan pula du kungan dari sistem teknologi informasi yang menopang upaya perubahan tersebut juga tidak berfungsi secara baik. Yuniarsih & Suwatno menyebutkan bahwa sumber daya manusia merupakan aset organisasi yang sangat vital. Oleh karena itu, pada beberapa titik peran dan fungsinya tidak bisa digantikan oleh sumber daya yang lain, sehingga dalam setiap agenda apapun yang terkait dengan kepentingan institusi harus dapat diberdayakan secara maksimal. (Tjutju Yuniarsih & Suwatno, 2008: 123). Begitupun sistem teknologi informasi, walaupun tingkat kepentingannya berbeda dengan sumber daya manusia, namun dalam konteks kehidupan saat ini sistem teknologi informasi merupakan sesuatu yang sangat penting jika ingin tetap bertahan dalam dunia yang penuh kompetisi. Menurut Huff dan Munro, sistem teknologi informasi merupakan unsur vital, terutama dalam mendukung peningkatan dalam pengambilan keputusan (kecepatan, akurasi, keterpaduan), pelayanan yang lebih baik kepada customer dan harapan klien, koordinasi kelompok-kelompok yang terpencar, serta menguji kekuatan kontrol terhadap personal maupun pengeluaran, termasukdalam pelaksanaan agenda perubahan. (S.L Huff, M.C Munro, 1985: 252). Kedua, kurangnya inovasi dalam proses perubahan, terutama dari pihakpihak yang bertindak sebagai pelaku
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 74 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
perubahan. Chin dalam Soerjogoeritno mengungkapkan tiga alasan strategis perlunya mengembangkan gagasan inovasi, yaitu: 1) Pengembangan gagasan inovasi disarankan atas alasan yang nyata-nyata rasional dan karena besarnua nilai kegunaan dari pengembangan gagasan inovasi; 2) Pengembangan gagasan inovasi karena norma-norma yang ada dan sikap personil yang mendukung pengembangan gagasan inovasi tersebut; dan 3) Pengembangan gagasan inovasi karena birokrasi atau kekuasaan yang menuntut kesukarelaan. (Soerjogoeritno, 2004: 45). Di dalam organisasi seperti PTAIS, pengembangan gagasan inovasi yang terkait dengan agenda perubahan terletak pada pemimpin atau para pelaku perubahan. Inovasi harus dibangun dalam sistem pengorganisasian pekerjaan dan karenanya setiap pemimpin atau pelaku perubahan di PTAIS seharusnya juga seorang inovator atau agen pembaharuan yang dilakukan tidak mengalami kegagalan ditengah jalan.
ngkatan unsur-unsur yang terdapat dalan insitutsi; Melemahnya semangat dan kinerja dari pihak-pihak yang menginginkan perubahan. Pihak-pihak yang memiliki pemikiran bahwa perubahan sebagai salah satu strategi untuk memajukan Perguruan Tinggi sangat berpotensi menurun kinerjanya karena menganggap peru bahan yang dilakukan tidak sesuai harapan mereka; Menguntungkan pihak-pihak yang cenderung status quo dan berpikir tradisional. Kelompok ini banyak didominasi oleh orang-orang yang tidak menginginkan adanya perubahan karena perubahan dianggap sebagai upaya yang dapat merugikan mereka atau mengubah posisi yang selama ini ddirasakan telah mapan bagi mereka. Keuntungan bagi status quo ini pada dasarnya adalah potensi kerugian bagi seluruh organisasi perguruan tinggi Islam; Resistensi yang umumnya muncul dari pihak-pihak yang tidak menginkan perubahan, bisa menjadi ber balik keadaannya, jika perubahan tersebut berlangsung hanya sementara. Reisistensi atau penentangan justru datang dari pihakpihak yang menginginkan perubahan, namun tidak memperoleh akses yang cuku untuk berperan dalam proses perubahan. Para pelaku penting dalam proses perubahan bisa dianggap dengan tidak serius dan tidak mampu untuk menjalankan perubahan ke arah kemajuan institusi sebagaimana yang dicita-citakan; Fungsi-fungsi pendidikan yang dilaksanakan dalam rangka meningkatkan standar mutu layanan tidak akan mengalami perubahan sesuai yang diharapkan. Jika hal tersebut
Dampak Perubahan Sesaat Bagi PTAIS Perubahan yang hanya berjalan sesaat atau tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan akan memberikan dampak yang tidak kecil bagi eksistensi dan keberlangsungan suatu perguruan tinggi, khususnya PTAIS. Diantara dampak yang ditimbulkan dari perubahan yang berlangsung sesaat (temporal changes) tersebut adalah: 1. PTAIS tidak akan bisa berubah ke arah yang diinginkan untuk menjadi lebih baik, dan sangat mungkin lembaga pendidikan tersebut akan tertinggal dari yang lain; 2. Tahap-tahap yang akan diraih oleh PTAIS melalui upaya perubahan tidak mungkin dapat dicapai, karena perubahan yang berjalan sesaat tidak mampu memberikan pengaruh yang berarti bagi peni-
3.
4.
5.
6.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 75 -
IAIS Sambas terus terjadi, maka akan berpengaruh pada keberlangsungan PTAIS tersebut dikemudian hari. Masyarakat sebagai pengguna layanan jasa pendidikan, tidak mungkin mau memilih lembaga pendidikan yang tidak memiliki kualitas.
Upaya Mengatasi Perubahan yang Bersifat Temporal pada PTAIS Sesungguhnya banyak alternatif yang dapat diupayakan dalam mengatasi bebagai persoalan yang muncul dari manajemen perubahan, termasuk perubbahan yang bersifar sesaat. Hanya saja dalam penerapannya tentu tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Per lu diketahui bahwa dalam konteks manajemen perubahan secara umum, terdapat beberapa tawaran mengenai pengelolaan perubahan agar berjalan dengan baik. Kurt Lewin menyebutkan ada tiga fase besar proses perubahan, yakni: 1) Unfreezing (mencairkan/mengurai kebekuan); 2) Changing (perubahan), yang berlangsung secara bertahap tapi pasti; dan 3) Refreezing (memantapkan/ menyatukan kembali), jika kondisi perubahan yang diinginkan telah tercapai. Fase-fase perubahan ini menunjukkan bahwa dalam proses perubahan diperlu kan adanya pengelolaan yang baik sesuai dengan tahap perkembangan dan dinamika yang muncul dari proses perubahan tersebut. (Kurt Lewin, 1997). Raymond J. Stone secara lebih spesifik menyebutkan sejumlah langkah yang harus dilakukan dalam mengelola perubahan agar dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan, yaitu: 1) menetapkan kebutuhan dalam melakukan perubahan untuk memastikan bahwa perubahan yang akan digulirkan benarbenar sesuai dengan kebutuhan nyata yang ingin dicapai organisasi; 2) mengenali hal-hal potensial yang dapat menghambat proses perubahan; 3)
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 melaksanakan perubahan, di antaranya dengan memperkenalkan (mensosialisasikan) perubahan tersebut pada seluruh unsur yang ada di organisasi, baik oleh manager atau konsultan sesuai dengan tingkat efektifitasnya; dan 4) mengevaluasi perubahan untuk mengukur upaya perubahan yang dilakukan. (Raymond J. Stone, 2006: 221-226). Mengacu pada beberapa kerangka pemikiran di atas, maka upaya yang bisa dilakukan agar perubahan yang akan atau sedang dilakukan dapat berlangsung secara terus-menerus atau tidak bersifat sesaat, setidaknya dapat dilihat dari dua kondisi penting, yakni kondisi awal dan di saat proses. Kondisi awal dimaksudkan adalah sebelum berlangsungnya perubahan atau dimasa persiapan perubahan, sedangkan disaat proses adalah ketiak perubahan tersebut sedang berlangsung secara terus-menerus prubahan tersebut sedang berlangsung. upaya yang dapat dilakukan pada kondisi awal, diantaranya yakni: 1. Merencanakan dengan baik sebelum perubahan digulirkan, khususnya dari pihak-pihak yang menjadi pelaku perubahan dan yang terkait dengan proses perubahan tersebut. 2. Menunjuk praktisi perubahan yang mempunyai kemampuan dalam mengelola perubaha. Orang yang ditunuk sebagai unung tombak pelaksanaan perubahan haruslah seorang yang mempunyai pengalaman, keterampilan dan pengetahuan yang baik dalam mengelola perubahan. 3. Membekali manajemen puncak (top manager/leader) dengan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pengelolaan perubahan agar rencana perubahan dapat disusun dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan mendatangkan pakar perubahan untuk memberikan masukan, atau dengan mengadakan studi banding ke organisasi atau
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 76 -
IAIS Sambas perguruan tinggi yang telah berhasil mengelola perubahan. 4. Membangun koalisi yang solid diantara pihak-pihak yang terkait dengan perubahan, mulai dari pimpinan tingkat atas sampai yang bawah. Dengan solidnya koalisi perubahan dalam internal organisasi akan dapat meningkatkan dukungan terhadap perubahan yang digulirkan dan mencegah terjadinya resistensi terhadap perubahan. Adapun di saat proses atau ketika perubahan tersebut sedang berlangsung, maka upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menjaga keberlanjutan perubahan dan untuk menyingkapi perubahan yang bersifat temporan, di antaranya yakni: 1. Mengatasi resistensi perubahan Guna memastikan proses perubahan dapat berlagsung sesuai dengan rencana, maka resistensi yang muncul harus dapat diatas. Coch dan French Jr. nenawarkan beberapa strategi yang bisa digunakan untuk mengatasi berbagai resistensi dari proses perubahan, yaitu: 1) pendidikan dan komunikasi dengan memberikan penejelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak; 2) Partisipasi, dengan mengajak pi hak untuk mengambil keputusan; 3) Memberikan kemudahan dan dukungan kepada para pegawai guna mengurangi tingkat penolakan; 4) Negosiasi, dengan pihak-pihak yang menentang perubahan ; 5) Manipulasi dan Kooptasi; dan 6) Paksaan, sebagai strategi terakhir dengan memberikan ancaman dan pemberian hukuman siapapun yang menentang perubahan. (Steaphen P. Robbins, 2002: 108-109). 2. Melakukan inovasi Inovasi dalam konteks organisasi menurut John Adair adalah pengembangan dan impelemntasi ide baru yang mempunyai dampak pada teori, prkatek, produk, ataupun perbaikan proses dan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 desain kerja sehari-hari pada organisasi. (Jonh Adair, 2006: 12. Inovasi mencakup aktivitas konsep-tual dan perseptual, dimana seorang inovator maupun menggunakan dua sisi otak (kiri dan kanan) dalam menggagas ide-ide baru atau dalam menyikapi persoalanpersoalan yang dihadapi dalam organisasi. Walaupun dalam prakteknya proses inovasi dalam organisasi jauh le-bih rumit dibandingkan proses inovasi oleh individu, karena proses inovasi da-lam organisasi melibatkan sejumlah individu yang masing-masing memainkan peranan yang berbeda dalam keputusan inovasi, Namun sikap inovatif harus ditumbuhkan, terutama dari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan perubahan. (Everet M.Rogers, 2005: 20). Didalam perubahan yang berlangsung hanya sesaat, sangat mungkin untuk muncul persoalan-persoalan, baik yang sudah ataupun yang belum diperkirakan sebelum dilaksanakannya perubahan. Sikap inovatif dalam hal ini ditekankan pada bagaimana seorang inovator mampu menggagas ide-ide baru yang kiranya sesuai dengan persoalan yang dihadapi, sehingga persoalan tersebut tidak menjadi penghambat keberlangusngan proses perubahan pada per guruan tinggi. Dengan kata lain, dmanapun dan kapanpun PTAIS itu berupaya untuk berkembang dan ingin mencapai kemajuan, maka sikap inovatif ini tidak bisa ditinggalkan. Hanya saja, upaya untuk berinovasi jangan sampai terjebak pada euphoria inovasi, sehingga dilakukan tanpa kendali. Inovasi tetap harus berjalan sesuai dengan kendali organisasi. 3. Memaksimalkan energi perubahan yang ada di PTAIS Energi pelanjut perubahan yang sangat potensial untuk mengatasi proses perubahan yang berlangsung sesaat, terutama pada PTAIS, di antaranya
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 77 -
IAIS Sambas adalah tingginya dukungan dari seluruh unsur (SDM) organisasi, maksimalnya kontrol (pengawasan) serta adanya dukungan dari sistem teknologi dan informasi. Ketiga aspek tersebut dapat menjadi energi pelanjut perubahan yang sangat efektif karena memiliki kekuatan untuk menjaga dan mempertahankan semangat dan kekuatan perubahan dalam organisasi. Adapun uraian yang berkenaan dengan ketiga hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, dukungan dari seluruh unsur organisasi, terutama sekali dari sumber daya manusia yang ada di PTAIS, karena manusia merupakan asset karena itu, pada beberapa titik peran dan fungsinya tidak bisa digantika oleh sumber daya yang lain. Betapapun canggihnya tekhnologi yang digunakan, atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun tanpa sumber daya manusia yang profesional semuanya menjadi tidak bermakna. Dukungan dari seluruh SDM perguruan tinggi dalam suksesi perubahan sangat terkait dengan sosialisasi dan pendekatan yang digunakan. Sosialisasi perubahan biasanya dilakukan sebelum perubahan tersebut dilakukan, sedangkan pendekatan perubahan dapat dilakukan pada saat awal dan ketika perubahan tersebut berlangsung. Melalui pendekatan yang tepat, maka upaya untuk meminimalisasi tingkat kegagalan dalam proses perubahan akan dapat dilakukan, termasuk perubahan yang bersifat temporal. (Tjutju Yuniarsih & Suswanto, 2008: 123). Kedua, Kontrol (controlling) atau pengawasan adalah satu fungsi manajemen yang berupa penilaian, atau bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan kejalan yang benar dengan maksud mencapai tujuan yang sudah digariskan semula. (George R Terry, 2000: 68). Terdapat beberapa tipe pengawasan yang digunakan dalam organisasi
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 diantaranya adalah pengawasan pendahuluan, pengawasan pada saat kerja berlangsung, dan pengawasan Feed Back. (George R Terry, 2000: 71). Dari tipe-tipe pengawasan ini, maka untuk mengatasi proses perubahan yang berlangsung sesaat perlu memaksimal-kan upaya pengawasan disaat kerja orga nisasi (cocurrent control) atau agenda perubahan tersebut berlangsung. Ketiga, terkait dengan sistem teknologi dan informasi adalah beberapa perangkat penting yang tersedia untuk mencapai tingkat efisiensi dan produkti vitas yang lebih tinggi dalam kegiatan organisasi, khususnya saat digabungkan dengan perubahan dalam praktik organisasi dan perilaku manajemen. (Penggunaan teknologi dan informasi memungkinkan organisasi (perusahaan) untuk menciptakan kolaborasi dan pelayanan konsumen yang lebih baik, infor masi strategik, manajemen pengetahuan dan perusahaan virtual. C. Loudon K & J.P Loudon, 2008: 21). Dengan dukungan teknologi informasi, maka level manajerial dalam penyelesaian pekerjaannya dapat dibantu terlebih lagi dalam hal pengambilan keputusan strategis, dimana informansi yang dihasilkan suatu sistem informasi akan sangat membantu memberikan solusi bisnis. (Efraim Turban, JE Aronson & Ting Peng Liang, 2005: 66). Begitupun proses perubahan PTAIS yang didukung oleh sistem teknologi informasi yang baik, maka akan sangat membantu dalam hal akses informasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Melalui dukungan sistem teknologi informasi juga akan mempermudah proses penataan berbagai persoalan yang dihadapi di lapangan. 4. Melakukan pengawasan teknis Pengawasan teknis ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari upaya pengawasan yang menjadi energi pelanjut perubahan. Hanya saja, pengawasan dalam
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 78 -
IAIS Sambas konteks ini lebih bersifat pengawasan teknis, yakni pengawasan yang dilakukan terutama pada persoalan yang sedang atau mungkin dihadapi dalam rangka menjamin keberlanjutan perubahan. Dengan adanya pengawasan teknis, maka fungsi pengawasan PTAIS secara umum dapat diharapkan lebih efektif untuk menjaga keberlangsungan perubahan.
SIMPULAN Dari uraian singkat mengenai perubahan temporal (temporal changes) pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Terjadinya perubahan sesa'at di PTAI disebabkan oleh banyak faktor, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Faktor umum diantaranya adalah perubahan tidak diren canakan dengan baik, mengabaikan aspek manusia dalam mengelola perubahan, kegagalan dalam membangun koalisi yang kuat untuk mendorong perubahan, dan kurangnya sosialisasi tentang program perubahan pada semua unsur institusi. Adapun yang bersifat khusus (spesifik), di antaranya adalah kurangnya inovasi dan tidak terberdayakannya energi pelanjut perubahan. 2. Dampak perubahan yang bersifat temporal bagi PTAIS, di antaranya adalah: 1) Institusi tidak bisa berubah ke arah yang diinginkan dan sangat mungkin tertinggal dari yang lain; 2) Tahap-tahap yang akan diraih institusi melalui perubahan tidak mungkin dapat dicapai; 3) melemahnya
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 semangat dan kinerja dari pihakpihak yang menginginkan perubahan; 4) menguntungkan pihak-pihak yang cenderung status quo dan berpikir tradisional; 5) munculnya resistensi yang justru datang dari pihak-pihak yang menginginkan perubahan; dan 6) fungsi-fungsi pendidikan yang dilaksanakan dalam rangka meningkatkan standar mutu pelayanan sulit untuk direalisasikan. 3. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan yang bersifat temporal pada PTAIS setidaknya perlu memperhatikan dua kondisi penting, yakni kondisi awal dan di saat proses. Untuk proses, hal-hal yang perlu diupayakan diantaranya: 1) mengatasi resistensi perubahan; 2) melakukan inovasi; 3) memaksimalkan fungsi energi perubahan yang ada dalam organisasi; dan 4) melakukan pengawasan teknis.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 79 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2004. Galpin, Timothy J., The Human Side of Change: A Practical Guide to Organization Redesign, California: Jossey-Bass Inc, 1996. Huff, S.L. & Munro, M. C., “Information Technology Assessment and Adoption: A Field Study,” dalam MIS Quarterly, Vol. 9 (4), Desember, 1985, h. 229309. Indrajit, R. Eko, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offiset, 2006. Kotter, John P., Leading Change, Harvard: Bussines School Press, 1996. Lewin, Kurt, Resolving Social Conflicts; and Field Theory in Social Science , American Psychological Association, 1997. Loudon, C. K & Loudon, J.P, Sistem Informasi Manajemen: Mengelola Perusahaan Digital, Edisi 10 Buku 1, Jakarta: Salemba Empat, 2008. Mankuprawira, TB. Sjafri & Hubeis, Aida Vitayala, Manajemen Mutu SDM, PT. Ghalia Indonesia, 2007. Oemar, Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Prianto, Agus, “Pola Interaksi Guru-Siswa dan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Siswa dalam Belajar,” dalam Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, Vol. 40 Februari 2011. Renald Kasali, Change! Manajemen Perubahan dan Harapan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. Rogers, Everet M., “Complex Adaptive Systems and the Diffusion of Innovations” dalam The Innovation Journal, Vol. 10, Issue 3. 2005, h. 126. Soerjogoeritno, “Total Organizational Change Berkelanjutan: Perspektif Manajemen Perubahan,” dalam Majalah Usahawan No. 06, Juni 2004 Soetopo, Hendiyat, Perilaku Organisasi: Teori dan Praktek Di Bidang Pendidikan, Jakarta: Rosda, 2010. Stone, Raymond J., Human Resources Management, ed. 5 Th , Milton, Qld: John Wiley & Sons, 2006. Sutisna, Oteng, Administrasi Pendidikan Dasar Teoretis untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa, 1993. Terry, George R., Principles of Management, terj. Winardi, Bandung: Penerbit Alumni, 2000. Tim Dosen Adminsitrasi Pendidikan Universitas Indonesia, Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfa Beta, 2008. Tobin, Russel, Overcoming Resistance to Change, Kogan Page, 1999. Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 80 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
Turban, Efraim, Aronson, JE & Liang, Ting Peng, decision Support System and Intelligent Systems, 6 th edision, New Jersey, Prentice Hall International, 2005 Wibowo, Manajemen Perubahan , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Winardi, J., Manajemen Perubahan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Yuniarsih, Tjutju & Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Alfabeta, 2008.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 81 -
KAJIAN PEDAGOGIS SURAT LUGMAN AYAT 13-19 Mursidin, S.Ag, M.Ag*
ABSTRAK Tulisan ini berawal dari pemikiran bahwa orang tua adalah orang pertama dan utama yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan agama bagi anak-anaknya di dalam keluarga. Namun kenyataannya banyak orang tua mempercayakan seratus persen pendidikan agama bagi anaknya ke sekolah, mungkin karena di sekolah sudah ada pendidikan agama dan ada guru agama. Sebagian orang tua menambah pendidikan agama bagi anaknya dengan cara menitipkan anaknya ke ‘pesantren sungguhan’, pesantren kilat, atau mendatangkan guru agama ke rumah. Kenyataan ini bisa dimaklumi karena mungkin mereka tidak menyadarinya dan kemungkinan mereka tidak mengerti dan mengetahui apa saja materi dan bagaimana cara memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya di dalam keluarga. Dengan demikian sesungguhnya orang tua perlu mengerti, memahami dan terus menerus menambah pengetahuan agama Islamnya. Pengetahuan ini sangat penting dimiliki oleh keluarga karena untuk membentuk anakanak yang shalih, berkualitas, dan berakhlak karimah. Berdasar hal tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang timbul tadi.
KATA KUNCI: Pedagogis, Surat Lugman
*Dosen
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Bunyi teks surat Luqman ayat 13-19 Selengkapnya adalah:
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 13 Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benarbenar kezaliman yang besar". 14 Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. 15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. 16 (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 83 -
IAIS Sambas 17. Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18 Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. 19Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburukburuk suara ialah suara keledai. Kalau kita kaji dari sisi redaksi surat Luqmân ayat 13-19, secara keseluruhan isi dari pendidikan agama yang dilakukan oleh Luqmân berisi sembilan perintah, tiga larangan dan tujuh ta’lilah (argumentasi). Kesembilan perintah tersebut meliputi; 1) berbuat baik kepada orang tua, 2) syukur kepada Allah dan orang tua, 3) berkomunikasi yang baik dengan orang tua, 4) mengikuti pola hidup anbiya dan shalihin, 5) menegakkan salat, 6) amar ma’ruf, 7) nahi munkar, 8) sederhana dalam kehidupan, 9) bersikap sopan dalam berkomunikasi (Nurwadjah Ahmad EQ, 2013: 169). Adapun yang berbentuk larangan menurut Nurwadjah Ahmad EQ (2013: 169) adalah; 1) larangan melakukan perbuatan syirik, 2) larangan bersikap sombong, dan 3) larangan berlebihan dalam kehidupan. Sedangkan ketujuh argumentasi (ta’lilah) itu adalah; 1) barang siapa bersyukur, sungguh syukurnya itu untuk dirinya sendiri, dan barang siapa kufur, sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. 2) sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang besar. 3) kepada Allah manusia akan dikembalikan, untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. 4) sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, 5) sesungguhnya
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 semuanya itu merupakan ‘azm al-umur, 6) sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong, 7) sesungguhnya sejelek-jeleknya suara adalah suara keledai. (Nurwadjah Ahmad EQ, 2013: 170) Menurut hemat penulis bahwa isi atau materi pokok pendidikan agama yang dilaksanakan Luqman terhadap anaknya pada ayat 13-19 tersebut di atas mencakup tiga aspek penting ajaran Islam, yaitu meliputi aspek; 1). Pendidikan Aqidah, 2) Pendidikan Ibadah dan 3) Pendidikan Akhlaq. 1. Pendidikan Aqidah Ada tiga aspek penting dalam penanaman aqidah agama yang dilakukan Luqman kepada anak nya, yaitu: 1). Keyakinan tauhid yang sebersihbersihnya yaitu larangan mempersekutukan Allah.
2). Kesadaran akan kemakhlukan kita yang wajib mensyukuri segala karunia Tuhan, dan 3). Kesadaran bahwa segala gerak-gerik Kita yang nampak maupun yang tersembunyi tidak lepas dari pengetahuan dan pengawasan Tuhan. Pendidikan aqidah berupa larangan mensyarikatkan Allah swt. Termuat dalam ayat yang berbunyi: “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benarbenar kezaliman yang besar".”(QS. Luqman :13) Menurut al-Maragi dalam tafsir alMaraghi (1992: 153), Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu merupakan kezaliman yang besar. Syirik dinamakan perbuatan zalim, karena
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 84 -
IAIS Sambas meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dan itu dikatakan dosa besar, karena perbuatan itu berarti menyamakan kedudukan Tuhan yang hanya dari Allah lah segala nikmat- dengan sesuatu yang tidak memiliki nikmat apapun, yaitu berhala-berhala. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari Ibnu Mas’ud ra. yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.Al-An’am :82) Lebih lanjut menurut Nurwajdah Ahmad (2013:166-167) mendefinisikan syirik dengan penyimpangan dalam ibadah kepada Allah. Syirik terbagi menjadi dua macam: pertama, syirik akbar yakni yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam; dan kedua, syirik ashgar, yakni penyimpangan dalam perilaku ibadah. Larangan syirik yang disertai ancaman merupakan keharusan hanya taat dan bertauhid kepada Allah. Larangan berbuat syirik diungkapkan dengan fi’l al-mudhari’ yang mengindikasikan li al-istimrar, dalam arti, sejak dini para pendidik harus menciptakan lingkungan yang kondusif agar terbebas dari situasi dan kondisi yang menjerumuskan pada kemusyrikan, serta mendorong anak didiknya agar terus menerus mencari ilmu. Ayat ini mendidik manusia bahwa keyakinan pertama dan utama yang perlu ditanamkan dan diresapkan kepada
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 anak adalah tauhid. Kewajiban ini terpukul kepundak orang tua sebagai pendidik awal dalam pendidikan informal. Tujuan nya adalah agar anak terbebas dari perbudakan materi dan duniawi, sehingga keyakinannya mantap dan akidahnya kokoh, serta keyakinan itu perlu diresapkan sedini mungkin disaat anak telah mulai banyak bertanya kepada orang tuanya. Tidakada bekal yangpalingberharga dari seorang ayah kepada anaknya yang akan menjauhkan anaknya dari kerusakan besar serta menyelamatkannya di dunia dan akhirat, kecuali pendidikan tauhid atau larangan berbuat syirik. Perintah supaya mensyukuri segala nikmat pemberian Allah swt., termasuk perintah supaya mensyukuri atas pengorbanan dan perjuangan orang tua yang telah mengandung, melahirkan, menyapih, membimbing dan mendidik anak-anaknya, sehingga anak wajib berbakti dan taat kepada Ibu bapaknya. Hal ini dijelaskan dalam ayat ke 14 yang berbunyi: “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS.Luqman: 14) Al-Maragi dalam tafsirnya (1992:155) menjelaskan, “Dan Kami perintahkan kepadanya, bersyukurlah kamu kapadaKu atas semua nikmat yang telah Kulimpahkan kepadamu, dan bersyukur pulalah kepada kedua ibu bapakmu.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 85 -
IAIS Sambas Karena sesungguhnya keduanya itu merupakan penyebab bagi keberadaanmu. Dan keduanya telah merawatmu dengan baik, yang untuk itu keduanya mengalami berbagai macam kesulitan sehingga kamu menjadi tegak dan kuat.” Pada Ayat ini Tuhan memerintahkan kepada manusia agar mereka menghormati, memuliakan dan berbuat baik kepada ibu bapaknya, sebab karena keduanyalah manusia dilahirkan ke dunia ini. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika keduanya dihormati dan dimuliakan. Apalagi terhadap ibu yang sudah bersusah payah mengandung nya selama sembilan bulan dengan segala kepayahannya dan puncak kepayahan itu ketika ibu melahirkan anaknya. Setelah lahir, maka kewajiban orang tua khususnya ibu ialah mengasuh, menyusui, menyapihnya hingga usia dua tahun. Dalam proses membesarkan anak, peran ibu lebih banyak daripada ayah. Maka berbakti kepada ibu juga melebihi tiga kali lipat dari ayah. Pendidikan aqidah tentang berupa kesadaran akan muraqabullah (merasa di awasi oleh Allah atas segala gerak gerik kita) dijelaskan dalam ayat ke 16 yang berbunyai: “(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungsuhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allahakanmendatangkannya(membalasinya) Sesungguhnya Allah Maha Halus , lagi Maha Mengetahui.” Ibnu Katsir dalam kitabnya t.th. Tafsîr al-Qur’ân al-Aíîm (t.th : juz 3) berkata: “Sekalipun perbuatan tersebut
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 seberat bijisawi, tersembunyi dan tertutup di dalam batu besar, atau di dalam hutan belantara di kolong langit dan bumi, maka sesungguhnya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Karena bagi Allah tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya seberat zarrah pun baik yang ada di langit atau yang ada di bumi. Itulah sebabnya Allah berfirman,” Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” Yaitu halus dan mengetahui, tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi sekalipun ia kecil dan halus. “Maha mengetahui” meskipun dengan rayapan semut di kegelapan malam yang gelap gulita. Ayat ini menjelaskan tentang kebesaran ilmu Allah dan keesaan-Nya, dan tentang ilmu-Nya yang meliputi semua makhluk ciptaan, tidak ada sesuatupun di langit dan bumi yang lepas dari pengawasanNya. Pada ayat ini dijelaskan seakanakan Luqman mengatakan kepada putra nya,”Janganlah kamu mengira bahwa kamu dapat menyembunyikan diri dari pengamatan Allah swt. atau melepaskan diri dari kekuasaan-Nya. Jika kamu hendak berbuat dosa atau maksiyat, sesungguhnya Allah swt. Melihatmu dan tidak ada sesuatu yang bisa luput dari pandangan kekuasaan-Nya. Penanaman aqidah semacam ini amatlah penting dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya, dan harus diberikan sejak sedini mungkin. Menurut Zakiyah Darajat yang dikutip oleh Ahmad tafsir (2012:100101) bahwa pendidikan keimanan (aqidah) yang tangguh, seharusnya dimulai dalam keluarga, sejak sianak lahir, bahkan sejak sebelum lahir (prenatal), sampai akhir masa remaja. Apabila pendidikan keimanan terabaikan di dalam keluarga, terutama sampai akhir masa kanak-kanak (12 tahun), akan sulitlah bagi anak dalam menghadapi perubahan cepat pada dirinya, yang tidak jarang membawa kegoncangan emosi. Dari luar sianak akan menghadapi pengaruh yang dibawa
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 86 -
IAIS Sambas oleh alat-alat komunikasi, baik media elektronik maupun media cetak dan hubungan langsung yang dibawa oleh tamu-tamu manca negara yang mempunyai kebudayaan dan cara hidup yang tidak sejalan dengan budaya kita bahkan mungkin bertentangan dengan ajaran yang kita anut. Selain ketiga hal pokok di atas perlu penulis kemukakan tentang materi pendidikan aqidah bagi anak di lingkungan keluarga. Menurut Muhammad Nur Abdul Majid (2014: 18) dalam rangka pendidikan aqidah yang benar kepada anak, setidaknya ada lima pola dasar pendidikan aqidah yang harus dilakukan orang tua, yaitu: 1) mendiktekan/membacakan kalimat tauhid, 2) menanamkan cinta kepada Allah swt. 3) menanamkan cinta kepada Rasul Allâh. 4)mengajarkan al-Qur’an dan 5) menanamkan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan. Senada dengan itu, Hamdan Rajih (2012: 162-217) juga mengemukakan bahwa dalam upaya membimbing dan mengarahkan anak kedalam aqidah yang benar dapat ditempuh dengan: a) membangkitkan potensi fitrah anak, b) memperkenalkan nikmat-nikmat Allah, c) menanamkan perasaan muraqabatullah (merasa dipantau oleh Allah), d) mengajarkan al-Qur’an dan e) mengajarkan kalimat tauhid. f) menanamkan rasa cinta kepada Allah. g) menanamkan rasa cinta kepada Rasul Allah, h) menanamkan rasa cinta kepada Sahabat Rasul, i) menanamkan rasa cinta kepada orang tua. 2). Pendidkan Ibadah (Syari’ah) Setelah Luqman mengawali pendidikan dan pengajaran kepada putranya berupa pendidikan aqidah, maka ia melanjutkan pemberian pendidikannya pada aspek ibadah. Pendidikan ibadah mencakup segala tindakan dalam kehidupan seharihari, baik yang berhubungan dengan Allah (habl min Allah), maupun dengan sesama manusia (habl min al-Nas) Hubungan dengan Allah swt, yang terbesar sesudah
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 tauhid adalah mendirikan shalat. Jadi untuk menumbuhkan, memupuk dan memantapkan keyakinan agama itu, maka Luqman memerintahkan kepada anaknya agar mendirikan shalat. Ini berarti melaksanakan ibadah harus dibiasakan semenjak kecil. Perintah ini dinyatakan dalam ayat 17, yang berbunyi: . “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” IbnuKatsir(t.th:461)berkata: “Dirikanlah shalat yaitu dengan semua ketentuannya, kewajibannya, dan waktunya, mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran sebatas kemampuan dan usahamu. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Karena mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran pasti mengalami penyiksaan dari orang lain, sehingga ia diperintahkan untuk bersabar. Firman Allah,”Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” Yaitu, bahwa bersabar atas kejahatan manusia termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Seseorang diperintah bersabar atas kesulitan dunia seperti sakit dan lainnya, agar ia tidak keluar dari kesulitan dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Selanjutnya al-Qurtubi berkata, ”Secara zhahir firman Allah,”Sesunggunya yang demikian,” menunjukkan kepada
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 87 -
IAIS Sambas mendirikan shalat, mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran, bersabar atas penderitaan dan musibah, dan semuanya merupakan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Wahbah Zuhaili seperti dikutip Nurwadjah (2013:168) menjelaskan bahwa penegakan nilai-nilai shalat dalam kehidupan merupakan manifestasi dari ketaatan kepada Allah. Shalat merupakan komunikasi hamba dan khaliknya, semakin kuat komunikasi tersebut, semakin kuat keimanannya. Demikian pula dengan amar ma’ruf nahi munkar, ia merupakan wujud kepedulian terhadap keselamatan sesama. Upaya amar ma’ruf membutuhkan stamina yang kuat, sebab ia mengundang resiko cukup berat. Oleh karena itu pada bagian akhir ayat ini ada perintah bersabar dalam kondisi apapun dan jangan keluar dari taat kepada Allah. Ayat ini menurut hemat penulis secara implisit dan eksplisit menjelaskan bahwa kewajiban orang tua selaku pendidik dalam keluarga untuk memberikan pendidikan tentang shalat dengan memberikan bimbingan, arahan, ketentuanketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah shalat- juga menyuruh anak-anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amar ma’ruf) dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk (nahi munkar) serta mendidik mereka agar untuk berlaku bersabar dalam menghadapi segala ujian, cobaan dan musibah yang menimpanya, terutama bersabar dari perbuatan-perbuatan orangyangmerasa tidak senang dengan ajakan kebaikan kita. Didikan yang diberikan kepada anak tentu saja tidak sekadar bersifat pengetahuan tentang apa yang ma’ruf dan apa yang munkar, tetapi terutama diarahkan pada hal-hal yang bersifat membangkitkan: 1) tekad untuk menegakkan hal-hal yang ma’ruf dan mencegah hal-hal yang munkar, 2) keberanian untuk menanggung resiko dalam menegakkan hal-hal yang ma’ruf dan mencegah hala-hal yang munkar.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Materi pendidikan yang dilakukan oleh Luqman ini mengindikasikan kepada orang tua agar melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya agar kesemuanya itu harus dimengerti, dipahami, dihayati dan dikerjakan oleh anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. 3) Pendidikan Akhlak Materi pendidikan akhlak pada surat Luqman dapat dilihat pada ayat ke 14,15, 18 dan 19. Pada ayat ke 14 dan 15 menjelaskan kepada kita bahwa orang tua telah bersusah payah dalam mengasuh anakanaknya, terlebih lagi adalah ibu. Yang telah bersusah payah mengandung anak nya selama sembilan bulan dan menyapihnya hingga usia dua tahun. Maka Allah memerintahkan agar seorang anak harus bersukur kepada Allah yang telah memberikan segala nikmat-Nya dan bersyukur (berterima kasih) kepada orang tua yang menjadi sebab kehadirannya di dunia ini. Inti dari pendidikan akhlak pada ayat ini adalah agar anak berlaku sopan santun, bertutur kata yang lemah lembut, bergaul dengan penuh kasih sayang, mentaati segala perintahnya selagi perintah mereka tidak menyuruh pada perbuatan yang melanggar agama. Dan jika orang tua mereka berlainan kepercayaan, maka bagi anak tidak wajib mengikuti kepercayaan orang tuanya akan tetapi harus tetap menggaulinya di dunia ini dengan penuh kasih sayang. Pendidikan akhlak selanjutnya diarahkan pada etika bergaul dengan masyarakat. Hal ini terdapat pada ayat ke 18 dan 19, yang berbunyi: ( 18 )
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 88 -
IAIS Sambas .(19 ) “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena som mbong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburukburuk suara ialah suara keledai. Menurut Qurash Shihab (2014: 138139), ayat ini mendidik manusia berkaitan dengan akhlak dan sopan santun berinteraksi dengan sesama manusia. Materi pelajaran aqidah, beliau selingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar peserta didik tidak jenuh dengan satu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Luqman mengajarkan kepadap utranya untuk tidak memalingkan pipinya dari manusia siapa pun dia-didorong oleh penghinaan dan kesombongan. Tetapi tampillah kepada setiap orang dengan wajah berseri penuh rendah hati. Dan bila melangkahkan kaki, janganlah berjalan dimuka bumi denganangkuh,tetapiberjalanlahdengan lemah lembut penuh wibawa. Sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni jangan membusungkan dada dan jangan juga merunduk bagaikan orang sakit. Jangan berlari tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan menghabiskan waktu. Dan lunakkan suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Sesungguhnya seburukburuk suara ialah suara keladai karena awalnya siulan yang tidak menarik dan akhirnya tarikan nafas yang buruk. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili seperti dikutip Nurwadjah (2013:169) mengatakan bahwa ayat tersebut meng andung larangan terhadap sikap takabur di hadapan orang lain, lantaran sikap tersebut merupakan wujud manusia
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 musyrik, bukan hamba yang syakur. Pada ayat 18 larangan takabur lebih ditekankan pada hati, sedangkan ayak ke 19 lebih kepada perilaku yang nampak di lapangan. Waqèid fî mašyika mempunyai makna sederhana dalam hidup dan kehidupan; sedangkan Wagæuæ min èautik mempunyai arti menghargai orang lain dengan cara berkomunikasi secara baik. Menurut hemat penulis bahwa berdasarkan ayat tersebut di atas ada beberapa pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh Luqman: 1. Larangan memalingkan muka ketika berbicara dengan orang lain. Kalau seseorang sedang berbicara berhadapan dengan orang lain hendaklah berhadapan muka, sebab berhadapan muka sebagai pertanda berhadapan hati, karena dengan demikian akan tersinggung perasaan lawan bicara, dirinya tidak dihargai, dan perkataannya tidak sempurna didengarkan. Jangan sampai memalingkan muka dari orang lain karena sombong, ujub dan menghina mereka. Pandangilah dengan penuh perhatian dan kasih sayang apabila yang berbicara anak kecil sehingga ia menyelesaikan pembicaraannya. Orang yang bersikap memalingkan muka dari orang lain akan menyebabkan ia dibenci oleh orang lain dan tidak akan dihargai serta menyebabkan dirinya terkucil dari pergaulan dengan sesamanya, dan ini termasuk dalam akhlak tercela. 2. Larangan berjalan dengan angkuh dan sombong. Luqman mendidik putranya agar tidak memiliki akhlak tercela, seperti berjalan dengan sikap angkuh. Sebab orang yang angkuh selalu sombong dan membanggakan diri ketika berjalan. Perilaku seperti ini akan menimbulkan kebencian dan permusuhan orang lain yang memandangnya. 3. Sederhana dalam hidup dan kehidupan Luqman mendidik putranya agar menjalani hidup dan khidupan ini dengan penuh kesederhanaan. Hidup yang wajar
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 89 -
IAIS Sambas dan sederhana m tidak menunjukka kemewahannya jika ia orang kaya dan tidak terlalu menunjukkan kehinaannya kalaupun ia hidup miskin. Digambarkan disana kalau berjalan dengan langkah yang sederhana, yakni tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Akan tetapi hendaklah yang wajar-wajar saja, tidak dibuat-buat, dan juga tanpa pamer menonjolkansikap rendah diri atau tawadlu. Jadi sikap seseorang itu hendaklah wajarwajar saja, terutama ketika sedang berjalan. 4. Bertutur kata yang lemah lembut. Luqman juga mengajarkan putranya etika sopan santun dalam berbicara Nasehatnya mengarahkanpada putranya agar memiliki etika dalam berkomunikasi dengan orang lain. Berbicara dengan orang lain harus dilakukan dengan menggunakan bahasa komunikasi yang dapat dimengerti oleh keduanya sehingga tidak terjadi kesalah fahaman dan cepat dimengerti serta dengan suara yang wajar, tidak terlalu keras juga tidak terlalu rendah. Dalam berkomunikasi kita bisa menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang baik, dan bentuk-bentuk ini banyak dikemukakan dalam al-Quran, seperti; perkataan yang mulia(qaulan karîman) QS al-Isra’[17]: 23; perkataan yang baik (qaulan ma’rûfan) QS alNisâ’[4]: 5, 8; perkataan yang benar(qaulan sadîdan) QS al-Nisâ’[4]: 9; perkataan lemah lembut (qaulan layyinan) QS Ùâhâ[20]: 44 dan ucapan yang pantas (qaulan maesûran) QS al-Isra’[17]: 28; Perkataan yang berat (qaulan tsaqilan) QS alMuzammil[73]: 5. Selanjutnya perlu penulis tekankan disini bahwa materi Pendidikan Agama yang telah dilakukan oleh Luqman telah mencakup aspek-aspek dasar dari ajaran Islam, yaitu aspek aqidah, syari’ah (ibadah) dan akhlak. Dan yang perlu digaris bawahi bahwa pendidikan agama bagi anak-anak, tidak hanya ditekankan pada segi penguasaan hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Justru yang lebih penting, ialah menanamkan nilai-nilai keagamaan dan membuatnya terwujud nyata dalam tingkah laku dan budi pekerti seharihari. Berdasarkan uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa Luqman telah melakukan kegiatan berupa menanamkan dimensi hidup Ketuhanan atau jiwa rabbaniyyah pada putranya. Jika dicoba untuk merinci wujudnyata atau substansi dari jiwa Ketuhanan itu, maka kita dapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang sangat mendasar dan yang harus ditanamkan kepada anak. Diantara nilainilai yang sangat mendasar itu adalah: Iman, Islam, Ihsan, TakwaI, ikhlash, tawakallah, syukur dan shabar. Selanjutnya bahwa selain pendidikan akhlakyang disebut pada ayat-ayat tersebut di atas, penulis perlu menambahkan materi pendidikan akhlak bagi anak di dalam keluarga yang menurut Nurchlolis Majid (2001: 35-40) perlu dipertimbangkan oleh orang tua. Adapun nilai-nilai akhlak tersebut adalah; 1) silaturrahmi, 2) persaudaraan(alukhuwwah), 3) persamaan (al-musawah), 4) ‘adil (‘adalah), 5) baik sangka (husnu alìan) 6) rendah hati(tawaææu’), 7)tepat janji (al-wafa), 8) lapang dada (inširah), 9) dapat dipercaya (al-amanah) , 10)perwira (‘iffah), 11) hemat (qawamiyah), dan dermawan (al-munfiqun). PENUTUP Orang tua adalah orang pertama dan utama yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan agama bagi anak-anaknya di dalam keluarga. Namun kenyataannya banyak orang tua mempercayakan seratus persen pendidikan agama bagi anaknya ke sekolah, mungkin karena di sekolah sudah ada pendidikan agama dan ada guru agama. Sebagian orang tua menambah pendidikan agama bagi anaknya dengan cara menitipkan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 90 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
anaknya ke ‘pesantren sungguhan’, pesantren kilat, atau mendatangkan guru agama ke rumah. Kenyataan ini bisa dimaklumi karena mungkin mereka tidak menyadarinya dan kemungkinan mereka tidak mengerti dan mengetahui apa saja materi dan bagaimana cara memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya di dalam keluarga. Dengan demikian sesungguhnya orang tua perlu mengerti, memahami dan terus menerus menambah pengetahuan agama Islamnya. Pengetahuan ini sangat penting dimiliki oleh keluarga karena untuk membentuk anak-anak yang shalih, berkualitas, dan berakhlak karimah. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, E.Q, Nurwadjah. 2013. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Bandung: Marja. Al-Maragi. 1992. Tafsir al-Maragi. terj. Bahrun Abu Bakar. Semarang:Toha Putra. cet. Kedua. Depag RI. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV Asy-Syifa.
Katsîr , Al-Hâfií ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ ’Ismâîl Ibn . t.th. Tafsîr al-Qur’ân al-Aíîm. Mesir : Dar Mishr liththaba’ah. Juz 3. Majid, Nurcholis,. 2001. Pendidikan Agama Dalam Rumah Tangga Bagi Pertumbuhan Anak Saleh, dalam Rama Furqona (editor) Pendidikan Agama dan Akhlak Bagi Anak dan Remaja. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Majid, Muhammad Nur Abdul, 2004. Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah li alÙifli, terj. Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Balig Versi Rasul Allah, Yogyakarta: Darussalam Rajih, Hamdan, 2012. Kaifa Nad’u al-Aùfal, terj. Abd. Wahid Hasan., Mengakrabkan Anak dengan Tuhan. Yogyakarta: Diva Press
Syihab, M.Quraisy .2014.Membumikan al-Qur’ân, Bandung: Mizan Cet.XXVII -------------. 2005. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati cet. Kelima.
Tafsir, Ahmad, 2012. Pendidikan Agama dalam Keluarga, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. Keempat. Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 91 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 92 -
IMPLEMENTASI MANAJEMEN KINERJA BERBASIS BALANCE SCORECARD DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS PADA DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS Oskar Hutagaluh, S.Pd, M.M, M.Si*
ABSTRAK Pada tulisan ini dilakukan peng-embangan model manajemen kinerja yang meliputi perancangan proses perencanaan, pengukuran, evaluasi, diagnosis, dan tindakan perbaikan kinerja dengan menerjemahkan visi, misi, dan strategi program studi ke dalam inisiatif strategi, tujuan-tujuan, dan indikator-indikator kinerja dari ke enam perspek tif. Indikator kinerja proses menggambarkan inisiatif strategi dan indikator kinerja hasil menggambarkan tujuan-tujuan strategis. Selanjutnya untuk menilai keberhasilan suatu organisasi dengan menentukan faktor keberhasilan tiap perspektif pada indikator kinerja hasil. Perencanaan kinerja adalah suatu target kinerja yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja. Dengan menghubungkan indikator kinerja hasil dan indikator kinerja proses dapat dilakukan diagnosis dan tindakan perbaikan kinerja. . KATA KUNCI: Manajemen, Balance Scorecard
*Dosen
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu mengadakan bermacammacam aktifitas fisik maupun psikis untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya secara maksimal. Salah satu aktifitas itu ditujukan sebagai sebuah proses untuk menyelesaikan tugas yang diakhiri dengan sebuah karya yang dapat dinikmati oleh manusia. Proses itulah yang dalam kehidupan kita sebut bekerja. Dalam hal ini McGregor dari kutipan Smith dan Wakeley (1972) bahwa “Seseorang bekerja karena bekerja itu merupakan kondisi bawaan untuk aktif dan mengerjakan sesuatu dan aktifitas tersebut bertujuan untuk mendapat kepuasaan dengan didasari motivasi kerja. Motivasi kerja inilah diharapkan dapat menghasilkan suatu prestasi kerja biasanya disebut dengan istilah “prestasi atau kinerja” (job performance) sedangkan seseorang yang bekerja untuk mencapai prestasi sesuai dengan tujuan organisasi ataupun bekerja sesuai kapasitas keahliannya yang berdasarkan visi dan misi organisasi biasa diistilahkan dengan “Profesional” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kinerja sebagai “Sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan ataupun diartikan sebagai kemampuan kerja”. Sedangkan menurut Dr. Bennet Silalahi mengistilahkan dengan istilah kinerja dengan istilah“Unjuk kerja” yang dapat diartikan sebagai “Nilai prilaku seorang karyawan terhadap peranan (function), kegiatan (activities) dan tugas (task) yang dituntut oleh persyaratan jabatan (job requirement)”. Atau bisa diartikan perbandingan luaran dengan prilaku kerja dalam kegiatan kerjanya. Sedangkan menurut Scott A. Snell dan Kenneth N. Wexley mendefinisikan kinerja sebagai “kulminasi tiga elemen antara
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 keterampilan (skill), upaya dan sifat keadaan eksternal” . Secara umum Maier (1965) mengartikan kinerja sebagai “kesuksesan seseorang didalam melaksanakan suatu pekerjaan” dan lebih tegas lagi menurut pendapat Lawler dan Porter (1967) yang menyatakan bahwa kinerja bisa diartikan sebagai “successful role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatannya”. Dari batasan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan kinerja dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh seorang dosen menurut ukuran profesionalisme dalam pekerjaannya yang diaplikasikan dalam prilaku kerja kritikal, kecerdasan emosi dan kemampuan sesuai denga peranan, kegiatan dan tugas berdasarkan persyaratan jabatan yang telah ditentukan”. Namun, implementasi manajemen kinerja seperti yang tersebut di atas belum dapat dilaksanakan dengan baik sehingga penilaian kinerja dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin belum dapat dilaksanakan secara baik. Hal tersebut membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana implementasi manajemen kinerja pada dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas. I.
Kajian Teoritik Kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh sikap dan karakternya dalam menyelesaikan pekerjaannya yang didasari sebuah orientasi. sebagaimana diungkapkan oleh James f. Bolt dan Geary A. Rummler ada beberapa orientasi seorang bisa berprestasi dalam bekerjanya antara lain: 1). Berorientasi pada pencapaian, 2). Berorientasi pada sebuah keberhasilan, 3). Berorienasi pada sebuah pengakuan, 4). Berorientasi pada sebuah sasaran dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 92 -
IAIS Sambas 5). Berorientasi pada tim kerja. Prof. Dr. Winardi, SE. berpendapat lain bahwa: “kinerja pekerja merupakan hasil dari banyak faktor, yang sebagian tidak diketahui oleh para pimpinan dan bahkan ada beberapa diantara faktorfaktor tersebut yang tidak dipahami secara sadar oleh pekerja atau profesionalis”. Tiap ahli berpandangan sama terdapat dua variabel penting untuk memahami kinerja yaitu a). Motivasi pekerja b). Kemampuan pekerja dipengaruhi oleh adanya intervensi pihak pimpinan dalam meningkatkan kualitas kinerjanya. Dari pendapat Dr Bennet Silalahi dapat disarikan bahwa kualitas kinerja seseorang dapat dilihat dari beberapa faktor antara lain: 1. Faktor Prilaku kerja kritikal antara lain berupa: a) Cara bekerja (lamban, cekatan); b) Absensi/terlambat datang; c) Peringkat supervisi; d)Peringkat instruksi kerja yang diperlukan; e) Kebiasaan dalam keselamatan dan kesehatan kerja. f) Praktik penghematan/pemborosan. g) Apatisme/melawan/ingkar h) Penghematan bahan dan waktu. 2. Faktor kompetensi sebagai akibat dari perilaku kerja Prilaku kerja tersebut harus dikembangkan dengan lebih meningkatkan dalam kompetensi dimana kompetensi itu sebagai perbandingan antara nilai hasil karya dengan prilaku kerja dengan kriteria bahwa: a) Kompetensi meningkat jika nilai hasil karya lebih besar dari prilaku kerja. b) Pengetahuan, keterampilan, motivasi dan kegiatan yang dapat diartikan sebagai prilaku kerja tidak menghasilkan unjuk kerja melainkan mempengaruhi.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 c) Hasil karya akibat perilaku kerja yang mahal tidak dapat dianggap sebagai unjuk kerja yang bernilai tinggi d) Imbalan yang diberikan oleh karena perilaku kerja dapat menimbulkan kemorosatan kompetensi. e) Seorang pekerja dianggap mampu jika secara nyata unjuk kerjanya bernilai. 3. Faktor kartu raport berimbang (balance scorecard) Balance score card dengan kegiatan antara lain adanya sosialisasi kebijakan (visi dan strategi organisasi), umpan balik pembelajaran strategis dan perencanaan dan penetapan sasaran keseluruhan dapat dicapai dengan berimbang. Dr Bennet mengaplikasikan dengan lebih menekankan pada organized work daripada individual work dimana kerja dibuat lebih menantang dan menyenangkan membuka kesempatan untuk bagi pembelajaran dalam organisasi dan mengarahkan pembelajaran mempercepat proses kurva pengalaman. Kurva pengalaman diambil dari Dreyfuss (1986) dalam bukunya “mind over machine” yang membagi kurva pengalaman kedalam lima titik perkembangan: a) Peringkat kesulitan kerja yang tinggi pekerja baru b) Titik kedua tingkat kesulitan mulai menurun c) Titik ketiga keterampilan sudah berkembang d) Titik kempat kemahiran mulai terbentuk e) Titik kelima pekerja sudah menjadi seorang ahli. 4. Faktor pengaruh manajemen humanistik. Manajemen humanistik menitik beratkan pada karyawan sebagai manusia bukan sebagai pekerja, sehingga karyawan bisa dilihat potensinya. Karyawan akan merasa dimanusiakan oleh manajemen bilamana ada keterbukaan dan mereka tahu apa yang dicapainya se-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 93 -
IAIS Sambas hingga hal ini berpengaruh terhadap peningkatan kinerjanya. J.B.Miner dalam bukunya “Theories of organizational behaviour” berpendapat lain bahwa: “Motivasi dan kemampuan bukan satu-satunya variabel yang mempengaruhi kinerja pada karyawan. Berbagai studi riset menunjukan bahwa penetapan tujuan-tujuan memperbesar kemungkinan-kemungkinan pencapaian kinerja baik”. Lebih lanjut Winardi menambahkan ada berbagai macam karakteristik agar penetapan tujuan dapat menyebabkan timbulnya kinerja antara lain : a. Tujuan harus bersifat spesifik. b. Kinerja pada pegawai akan lebih tinggi, apabila tujuan-tujuan yang ditetapkan diterima oleh pihak yang harus melaksanakan pencapaiannya. c. Tujuan yang ditetapkan harus rentang tengah kesulitan merupakan tujuan yang paling efektif untuk merangsang karyawan untuk bekerja dengan baik. d. Para karyawan mendapatkan informasi umpan balik (feedback) tentang bagaimana hasil kinerja mereka. Lain halnya pendapat dari Dr. Bennet Silalahi dalam bukunya Human Research Management, berpendapat bah wa“…faktor yang mendorong keberhasilan suatu kinerja adalah kejelian kepemimpinan organisasi dalam memahami dan mengatasi masalah perbedaan individu”. Victor Vroom (1964) yang terkenal dengan teori model Vroom menguraikan tentang faktor kinerja dapat dilihat dari 3 (tiga) teori sebagai berikut yang terdiri dari: 1. Teori ekspektansi Menurut teori ekpektansi yang bisa mendorong kinerja seseorang yaitu: “Ekspektansi seseorang mewakili keyakinan seorang individu bahwa tingkat upaya tertentu akan diikuti oleh suatu tingkat kinerja tertentu”. Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Craig C. Pinder (1948) dalam bukunya “Work Motivation” berpendapat bahwa: ”Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat ekspektansi seseorang yaitu: a). Harga diri b). Keberhasilan waktu melaksanakan tugas c). Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan. d). Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas. e). Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja”. 2. Teori Instrumentalis Menurut teori instrumentalis yaitu keyakinan seseorang bahwa hasil tertentu tergantung pada pelaksanaan sebuah tingkat kinerja khusus. Kinerja bersifat instrumental apabila ia meyebabkan timbulnya sesuatu yang lain. 3. Teori valensi Teori valensi mengandung arti bahwa nilai positif dan negatif yang diberikan orang-orang kepada hasil-hasil. Ketiga teori tersebut bisa dilihat dari aspek manajerial dan individual. McClleland (1961) dari kutipan Anwar Mangkunegara kualiatas kinerja seseorang dapat dilihat sejauhmana tingkat motivasi berprestasi yang dianggap sebagai “virus mental “ dimana kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasi secara maksimal dengan dorongan kebutuhan yaitu kebutuhan untuk berprestasi (need of avhievement), kebutuhan untuk memperluas pergaulan (need of affiliation) dan kebutuhan untuk menguasai sesuatu (need of power). Dalam hal ini McClelland mengemukakan 6 karakteristik orang yang memiliki tingkat professional tinggi yaitu: a) Memiliki tanggungjawab pribadi yang tinggi. b) Berani mengambil dan memikul resiko c) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuan.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 94 -
IAIS Sambas d) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam semua kegiatan yang dilakukan e) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Begitu juga menurut Edward Murray (1957) berpendapat bahwa karakteristik profesionalisme sebagai berikut : a) Melakukan sesuatu dengan sebaikbaiknya. b) Melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan c) Menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan. d) Berkeinginan menjadi orang terkenal atau menguasai bidang tertentu. e) Melakukan pekerjaan yang sukar dengan hasil yang memuaskan f) Mengerjakan sesuatu yang sangat berarti. g) Melakukan sesuatu yang lebih baik daripada orang lain. h) Menulis novel atau cerita yang bermutu.
Implementasi Manajemen Kinerja Pada Dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Indikator kualitas kinerja seorang dosen dapat dilihat dalam berbagai hal dapat dilihat dari segi ekspektasi, instrumentalis dan valensi yang ditunjukan oleh karyawan terhadap upaya dan hasil kerja yang dicapainya. Louis (1998) bahwa terdapat “Strong association between the quality of teachers work life and their commitment and sense of efficacy” (kualitas kinerja guru memiliki kaitan yang sangat erat dengan dengan komitmen dan rasa efikasi mereka). Untuk itu dia mengidentifikasikan tujuah indikator untuk mengukur kualitas kinerja seorang guru yaitu: 1) Rasa hormat dari orang dewasa yang relevan terutama dari pimpinan (respect from relevant adults such as the principal).
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 2) Partispasi dalam membuat keputusan yang memperbesar pengaruh guru (Participation in decision making that augments techers’ influence). 3) Interaksi professional antar sejawat secara frekuensial dan saling mendorong (frequent and stimulating professional interaction among peers) 4) Struktur sekolah dan prosedurprosedur yang mengkontribusi tinggi pada rasa efikasi dengan memanfaatkan umpan balik pada kinerja (school structureandproceduresthatcontribute to a high sense of efficacy by providing feedback on performance) 5) Peluang-peluang untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan kekinian dan mencoba mendapatkan keterampilan dan pengetahuan baru (opportunity to use existing skill and knowledge and eksperiment and acquire new skill and knowledges). 6) Sumber-sumber yang tepat untuk mengoperasionalkan pekerjaan dan menjadi efektif (adequate resources to carry out the job and be effektif) 7) Adanya kongruensi antara tujuantujuan personal dan tujuan sekolah (congruence between personal goals and the school’s goals). Sedangkan menurut Samuel A. Cypert (1991) terdapat 17 indikator untuk mencapai kualitas kinerja antara lain seorang harus memiliki: a). Sikap mental positif (positif Thinking) b). Kepastian tujuan c).Bekerja melebihi yang harus dikerjakan d). Belajar dari kesalahan e). Inisiatif pribadi f). Antusiasme g). Kepribadian yang menyenangkan h). Disiplin diri i) . Menganggarkan waktu dan uang j) . Menjaga kesehatan fisik dan mental k). Penggabungan kekuatan l). Kerja tim m). Visi yang kreatif
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 95 -
IAIS Sambas n). Perhatian yang terkendali o). Berfikir secara akurat p). Penguasaan iman q). Menggunakan kekuatan kebiasaan kosmik. Dalam hal ini penulis mengambil pendapat dari Samuel A. Cypert yang disarikan kedalam beberapa indikator : a) Kualitas kerja b) Kuantitas kerja c) Konsistensi, disiplin dan Kepribadian. d) Spiritualitas Sebagai individu maupun sebuah organisasi, untuk mampu bertahan dan berkembang di era persaingan ini perlu menunjukkan kinerja yang meningkat. Sebagai seorang individu, modal dasar untuk mampu menunjukkan kinerja adalah penguasaan keahlian (kompetensi) yang mencakup: kompetensi secara teknikal yaitu penguasaan atas bidang keilmuan tertentu seperti bidang teknologi, bidang hukum, bidang ekonomi, dll. Kompetensi secara manajerial, hal ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam bidang kepemimpinannya untuk memberdayakan segala sumberdaya yang tersedia. Kompetensi perilaku, dalam hal ini menyangkut etika, penguasaan emosi, motivasi dan tingkat kebijaksanaan seseorang. Penguasaan individu atas ketiga hal tersebut, menyebabkan seseorang akan mampu menunjukan kinerja yang baik dimanapun berada. Dalam sebuah organisasi yang dibangun oleh sebuah sistem yang terdiri dari SDM, peralatan dan sarana-prasarana, keuangan, dan mekanisme kerja, akan menjadi sebuah organisasi yang berkinerjabaik jika terjasi sidnergi antara komponen tersebut. Organisasi yang dinamis akan selalu meningkatkan produktivitasnya serta mempertahankan hal yang menjadi keunggulan kompetitif mereka. Memperhatikan sumber daya fisik, keuangan, kemampuan memasarkan, serta sumber daya manusia adalah beberapa faktor penting yang disyaratkan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 bagi organisasi untuk tetap kompetitif (Fisher, Schoenfeldt, dan Shaw, 2006). Banyak perusahaan dan organisasi bisnis menggunakan konsep dan ide-ide baru untuk membantu mengelola lebih baik dari hari ke hari kegiatan atau bisnisnya. Keterlibatan orang pada proses yang baru dapat menyita waktu banyak, mereka melupakan aspek yang lebih penting, terutama kebutuhan untuk fokus pada manfaat dan hasil. Pada tahap awal, pemenuhan kualitas sangat menyita kegiatan, terutama pengisian formatformat dan dokumen-dokumen lainnya harus sesuai dengan manual dokumen mutu. Sehingga fokus pada pengisian dokumen itu sendiri, daripada prosesproses yang semestinya dipahami dan ditingkatkan. Organisasi perlu untuk berfokus pada elemen-elemen penting kinerja. Meskipun berbagai metoda peng ukurannya berbeda (balanced Scorecard, Six sigma, dll), yang penting adalah mencapai perbaikan dan perbaikan yang diharapkan, peningkatan manfaat dan nilai yang harus dicapai. Konsep kinerja (Performance) sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Mengingat bahwa misi suatu organisasi itu adalah untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka informasi tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Informasi tentang kinerja organisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru kurang atau bahkan tidak
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 96 -
IAIS Sambas jarang ada yang tidak mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya. Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk meng ukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang lebih relatif, lebih efektif diantara: alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desaindesain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi. Sebagai sebuah pedoman, dalam nilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat atau swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi. Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efficiency pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity process yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut. Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja organisasi privat/publik seperti : work lood/demain, economy, efficiency, effectiveness dan equity (Sclim dan Wood ward, 1992 dalam Keban, 1995) productivity (Perry, 1990 dalam Dwiyanto, 1995). Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai (Fynn, 1986, Jackson dan Palmer, 1992 dalam Bryson, 2002). Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja organisasi publik, namun tidaklah demikian kenyataannya, karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi publik. Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi publik ini dikemukakan oleh Dwiyanto (1995: 1), “kesulitan dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasi swasta. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholders juga menjadi berbedabeda”. Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995) yaitu sebagai berikut: a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. b. Kualitas Layanan Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. c. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. d. Responsibilitas Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 97 -
IAIS Sambas prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990). e. Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedo man dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain adalah berikut ini: a. Efisiensi Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dan rasionalitas ekonomis. b. Efektivitas Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan. c. Keadilan Keadilan mempertanyakan distribusi dan alikasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. d. Daya Tanggap Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara trans-
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 paran demi memenuhi kriteria daya tanggap ini. Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas maupun responsibilitas. Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk melihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dari ber bagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Konsep Peningkatan Kinerja Organisasi Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumbersumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mengwujudkan tujuan organisasi. Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya biasa disebut sebagai manajemen. Sebagai produk dari kegiatan organisasi dan manajemen, kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh faktorfaktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses administrasi dan manajemen yang berlangsung. Sebagus apapun input yang tersedia tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan, apabila dalam proses administrasi dan manajemennya tidak bisa berjalan dengan baik. Antara input dan proses mempunyai keterkaitan yang erat dan sangat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 98 -
IAIS Sambas menentukan dalam menghasilkan suatu output kinerja yang sesuai harapan atau tidak. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa proses manajemen yang berlangsung tersebut, merupakan pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC) atau lebih detailnya lagi adalah planning, organizing, staffing, directing, coordinating, regulating, dan budgetting (POSDCoRB). Mengingat bahwa kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor input dan proses-proses manajemen dalam organisasi, maka upaya peningkatan kinerja organisasi juga terkait erat dengan peningkatan kualitas faktor input dan kualitas proses manajemen dalam organisasi tersebut. Analisis terhadap kondisi input dan proses-proses administrasi maupun manajemen dalam organisasi merupakan analisis kondisi internal organisasi. Selain kondisi internal tersebut kondisikondisi eksternal organisasi juga mempunyai peran yang besar dalam mempunyai kinerja organisasi. Penilaian terhadap faktor-faktor kondisi eksternal tersebut dapat dilakukan dalam analisis: (a) kecenderungan politik, ekonomi, sosial, teknologi, fisik, dan pendidikan; (b) peranan yang dimainkan oleh pihakpihak yang dapat diajak bekerja sama (collaborators) dan pihak-pihak yang dapat menjadi kompetitor, seperti swasta, dan lembaga-lembaga lain; dan (c) dukungan pihak-pihak yang menjadi sumber resources seperti para pembayar pajak, asuransi, dan sebagainya (Bryson, 1995 dalam Keban, 2001). Berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja organisasi, maka pilihan mana yang akan dioptimalkan penanganannya, apakah pada sisi internal organisasi atau pada sisi eksternal organisasi, itu tergantung pada permasalahan yang dihadapi organisasi.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Pembahasan Implementasi manajemen kinerja pada dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas dapat dikembangkan dengan menggunakan metode yang dapat membantu dan memudahkan upaya peningkatan kinerja organisasi di waktu yang akan datang Aspek penting dalam implementasi manajemen kinerja pada dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas adalah mengidentifikasi dan mengembangkan indikator-indikator kinerja yang dianggap penting bagi organisasi pendidikan. Indikator-indikator kinerja yang dikembangkan digunakan sebagai dasar untuk mengimplementasikan strategi dalam upaya mencapai tujuantujuan. Indikator kinerja juga digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dengan melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja, serta upaya peningkatan kinerja melalui diagnosis dan perbaikan kinerja yang berkesinambungan. Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas yang terletak di kabupaten Sambas propinsi Kalimantan Barat mem punyai peran dan potensi yang besar sehingga memerlukan suatu metode untuk meningkatkan kinerjannya. Balance scorecard merupakan salah satu sistem manajemen yang populer, dan karena kelebihannya dipilih sebagai metode untuk mengembangkan model manajemen kinerja organisasi Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas. Balance scorecard merupakan pendekatan konseptual dan analitik untuk memerikan model ke dalam perspektif-perspektif. Dengan mengimplementasikan balance scorecard diharaapkan mampu melakukan perubahan manajemen dan peningkatan kinerja yang berkesinambungan. Balance scorecard dirancang untuk menterjemahkan visi, misi, dan strategi program studi ke dalam enam perspektif yaitu: perspektif finansial, perspektif mahasiswa dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 99 -
IAIS Sambas lulusan, perspektif jasa pemakai, perspektif proses internal, perspektif pelayanan sumber daya manusia, dan perspektif tumbuh dan belajar. Untuk meng analisis perspektif dan indikator kinerja pada perspektif digunakan metode analytical hierarchy process. Pada tulisan ini dilakukan pengembangan model manajemen kinerja yang meliputi perancangan proses perencanaan, pengukuran, evaluasi, diagnosis, dan tindakan perbaikan kinerja dengan menerjemahkan visi, misi, dan strategi program studi ke dalam inisiatif strategi, tujuan-tujuan, dan indikatorindikator kinerja dari ke enam perspek tif. Indikator kinerja proses menggambarkan inisiatif strategi dan indikator kinerja hasil menggambarkan tujuantujuan strategis. Selanjutnya untuk menilai keberhasilan suatu organisasi dengan menentukan faktor keberhasilan tiap perspektif pada indikator kinerja hasil. Perencanaan kinerja adalah suatu target kinerja yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja. Dengan menghubungkan indikator kinerja hasil dan indikator kinerja proses dapat dilakukan diagnosis dan tindakan perbaikan kinerja. Faktor-faktor keberhasilan yang dirancang yaitu: penerimaan, pembiayaan, saving, mahasiswa drop out, tingkat kepuasan mahasiswa, tingkat kepuasan lulusan, kepuasan jasa pemakai terhadap lulusan yang bekerja dan studi lanjut, produk lembaga, rasio penelitian hibah dari jasa pemakai, tingkat kemudahan mahasiswa kerja praktek dan magang, rasio instansi kerja sama menggunakan lulusan, IPK lulusan ≥ 3,00, penguasaan lulusan terhadap IT, % lulusan yang akan menjadi pengusaha, emotional quotient, Toefl lulusan, lama studi ≤ 4 tahun, lama tunggu lulusan memperoleh pekerjaan pertama ≤ 6 bulan, % lulusan bekerja sesuai bidang ilmu, % hasil penelitian
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 yang dipublikasikan, jumlah pengabdian masyarakat sesuai bidang ilmu, % staf pengajar berpendidikan S2 dan S3, staf pengajar lektor kepala dan guru besar, tingkat kepuasan kerja staf pengajar, kualitas layanan tenaga kependidikan, tingkat kepuasan kerja tenaga kependidikan, tingkat kepuasan terhadap jaringan IT bagi mahasiswa, tingkat kepuasan terhadap jaringan IT bagi staf pengajar, tingkat kepuasan terhadap jaringan IT bagi tenaga kependidikan, jumlah kerja sama penelitian, utilitas kelas, utilitas laboratorium, utilitas perpustakaan, kua litas iklim kerja, tingkat kualitas kecendeki awanan staf pengajar, dan komitmen staf pengajar terhadap visi dan misi lembaga. Untuk menganalisis perspektif dan indikator kinerja dengan bantuan software expert choice 11.
SIMPULAN Hasil pengembangan adalah implementasi manajemen kinerja dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas berbasis balance scorecard dan analytical hierarchy proses, terdiri dari: Buku I: Pedoman Umum, Buku II: Manual Pengukuran Kinerja, Instrumen Pengumpulan Data, dan Cara pengolahan Data, dan Buku III: Manual Evaluasi, Diagnosis, dan Tindakan Perbaikan Kinerja. Namun, sebelum pelaksanaan dari pengembangan model manajemen kinerja organisasi Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas berbasis balance scorecard dan analytical hierarchy process perlu kiranya disosialisasikan kepada seluruh civitas akademika dan ditetapkan melalui senat akademik. Agar penerapannya didukung oleh semua pihak.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 100 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Kenichi Ohmae, The End of the Nation State, New York, The Free Press, 1995. Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, Cambridge: Polity, 1998. Jacques B Gelinas, Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization, London, New York: Zed Books, 2000. Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents, Pinguins Books, London, 2002. John Perkins, The Confession of An Economic Hitman, Berrett-Koehler Publishers, Inc. San Francisco, 2005. Wallace-Murphy, What Islam Did For Us: Undertsanding Islam’s Contribution to Western Civilization, Watkins Publishing, London, 2006. Robert Solow, Technical Change and the Aggregate Production Function. A Review of Economics and Statistics. Vol.39, pp. 312 – 320, 1957. Michael E. Porter, The Competitive Advantage of Nations, New York: The Free Press, 1990. Tumar Sumihardjo, Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Melalui Pengembangan Daya Saing Berbasis Potensi Daerah, Fokusmedia, Bandung, hal. 8. Wardiman Djojonegoro, Lima Tahun Mengemban Tugas Pengembangan SDM, Tantangan yang Tiada Hentinya, Balitbang Diknas, 1990. Wiranto, Meretas Jalan Baru Ekonomi, Institute for Democracy of Indonesia, Jakarta, 2009. Wibowo, Manajemen Kinerja, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 101 -
MANAJEMEN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU (STUDI AWAL PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN BIDANG PUBLIKASI ILMIAH) Serli, S.Pd.I, M.Ag*
ABSTRAK Penelitian ini merupakan studi awal dan bertahap untuk mengidentifikasi pengembangan kompetensi guru unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan bidang publikasi ilmiah pada guru PAI di Kabupaten Sambas. Cukup sulit memastikan proses implementasi pengembangan profesi guru saat ini, termasuk bagaimana reaksi guru terhadap pencanangan peraturan tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya yang telah diberlakukan sejak 2013 lalu itu, sebagian mengasumsikan bahwa publikasi ilmiah akan menjadi ancaman sekaligus peluang bagi karir guru. Maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi konsep, implementasi dan respon guru terhadap pengelolaan pengembangan profesi guru, khususnya bidang publikasi ilmiah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sebagai dasar pengenalan lapangan (grand tour observation), dilakukan dengan dokumentasi dan wawancara melalui teknik purpossive sampling. Temuan yang diperoleh adalah: (1) Konsep pengembangan kompetensi profesionalisme guru bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas masih belum tersusun secara terprogram dan sistematis, masih bersifat swadaya, pemerintah belum secara langsung menyelenggarakan pelatihan KTI; (2) Pengembangan kompetensi profesionalisme guru diimplementasikan secara terbatas dengan menyelenggarakan Pelatihan KTI dengan melibatkan pihak LSM, Dinas Pendidikan dan Guru; (3) Penerapan kebijakan pengembangan profesi guru direspons beragam oleh para guru, sebagai peluang atau ancaman bagi peningkatan karir profesinya sebagai guru. KATA KUNCI: Manajemen, Profesionalisme Guru, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
*Dosen
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Masalah pendidikan di Indonesia ber dasarkan berbagai studi pada umumnya masih menghadapi persoalan-persoalan dasar seperti filosofi pendidikan kurang visioner, kepala sekolah hanya berperan sebagai pejabat dan kurang memiliki visi seorang entrepreneur dan pendidik, sistem pendidikan tidak padu, sistem administrasi pendidikan terlalu birokratis, pengorganisasian sekolah tidak efektif, format kurikulum terlalu padat sehingga membelenggu kreativitas dan penghayatan guru dan murid, guru dan penyelenggaraan sekolah kurang profesional, kurangnya pendanaan dan budaya masyarakatkurang kondusif.(Tobroni, 2004: 2). Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan realitas-realitas informasi dan gejala yang muncul ke permukaan, masalah utama terpuruknya pendidikan di Indonesia menurut penulis berpangkal dari sistem pendidikan, kurikulum dan terutama pendidik, pemegang ujung tombak mutu pendidikan yang akan memberi pengaruh pada komponen pem belajaran secara menyeluruh. Dapat dipahami, bahwa gejala rendahnya mutu pendidikan di atas, satu di antara variabel yang esensial dan patut diperhatikan adalah disebabkan oleh SDM guru yang masih relatif rendah, itu berarti, profesionalitas guru harus terus ditingkatkan, terlebih lagi ketika masalah yang melingkupi dunia guru begitu complicated, seperti yang dinyatakan oleh Muhaimin bahwa profesionalitas guru di Indonesia masih tergolong rendah baik dari aspek input, distribusi, mutu akademik, aktivitas ilmiah maupun kelayakan atau penguasaan di bidangnya. (Muhaimin, 2006: 72). Hal ini tidak bisa lepas dari pengaruh pembinaan, pengembangan dan pelatihan yang diberikan kepada guru serta peran pemerintah, pengawas, kepala sekolah dan seluruh pihak termasuk guru itu sendiri. Melalui strategi peningkatan
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 mutu diharapkan optimalisasi sumber daya dan sumber dana, yang secara langsugn dapat mengembangkan kualitas pendidikan. (E. Mulyasa, 2004: 83). Maka dicanangkanlah sistem pengendalian mutu profesionalitas tersebut dengan Uji Kompetensi Guru (UKG), Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Pengembangan keprofesian berkelanjutan mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi yang didesain untuk meningkatkan karakteristik, pengetahuan, pemahaman, danketerampilan.(Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, 2012: 5). Pengakuan terhadap tugas guru sebagai tenaga profesional adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Hal tersebut memfasilitasi guru untuk selalu mengembangkan keprofesiannya secara berkelanjutan. Pelaksanaan program pengembangan keprofesian berlanjutan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masa depan yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru. (Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, 2012: 2). Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pengembangan keprofesian berkelanjutan merupakan salah satu unsur utama yang diberikan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru. Pada upaya realisasi penilaian kinerja guru yang diberlakukan mulai Januari 2013, sistem Pembinaan dan Peng
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 102 -
IAIS Sambas embangan Profesi Guru, sebagai langkah awal pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru, dengan melakukan pemetaan profil kinerja guru dengan menggunakan instrumen evaluasi diri pada awal tahun pelajaran, yang hasilnya digunakan sebagai acuan dalam merencanakan program pengembangan keprofesian berkelanjutan yang akan dilaksanakan sepanjang tahun pelajaran. Pelaksanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan dilakukan terhadap guru yang telah maupun belum mencapai standar yang ditetapkan. Setiap akhir tahun pelajaran, dilakukan penilaian kinerja guru, dimana hasilnya merupakan gambaran peningkatan kompetensi yang diperoleh guru setelah melaksanakan pengembangan keprofesian berkelanjutan pada tahun berjalan dan sekaligus digunakan sebagai dasar penetapan angka kredit unsur utama dari sub-unsur pembelajaran/bimbingan pada tahun tersebut. Hasil penilaian kinerja guru tahun sebelumnya dan dilengkapi hasil evaluasi diri tahun berjalan, selanjutnya digunakan sebagai acuan perencanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan untuk tahun berikutnya. (Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, 2012: 2-3). Realitas kondisi guru saat ini seperti yang dilansir oleh JPNN (11 Januari 2015) terdapat sekitar 800.000 guru berhenti di pangkat golongan IV/a. Berdasarkan hipotesa peneliti, angka stagnasi guru akan semakin mencolok setelah diberlakukannya Permenpan & RB nomor 16 tahun 2009 yang Kegiatan pengembangan profesi dalam bentuk publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sudah harus mulai dilakukan oleh para guru di golongan III/b yang akan naik ke golongan III/c (pasal 17 ayat 2). (http:// www.sekolahdasar.net/2015/01/ tanpa-pelatihan-guru-harus-membuatkarya-tulis.html. Diakses 1 April 2015).
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Berkaitan dengan uraian di atas, maka pengembangan profesionalitas melalui pembinaan dan pelatihan yang tepat dan terarah diperlukan guru yang ingin meningkatkan profesionalitasnya. Adapun aspek-aspek penting yang terkait dengan manajemen pengembangan itu adalah aspek konsep, implementasi dan dampaknya. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menelaah manajemen pengembangan kompetensi profesionalisme guru yang diarahkan pada studi pengembangan keprofesian berkelanjutan bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas. Penelitian pendahuluan ini difokuskan untuk menjawab permasalahan awal penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana konsep pengembangan kompetensi profesionalisme guru di Kabupaten Sambas? b. Bagaimana implementasi pengembangan keprofesian berkelanjutanbidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas? c. Bagaimana respon guru terhadap kebijakan pengembangan keprofesian bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas? Penelitian pendahuluan ini merupakan kegiatan awal dan bertahap untuk mengidentifikasi dan menganalisis mana jemen pengembangan keprofesian berkelanjutan guru bidang publikasi ilmiah khususnya di Kabupaten Sambas, secara lebih khusus adalah untuk mengidentifikasi konsep dan implementasi pengembangan kompetensi profesionalisme guru pada program keprofesian berkelanjutan bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas serta untuk mengetahui respon guru terhadap kebijakan tersebut. Hasil penelitian pendahuluan ini memiliki nilai manfaat sebagai awal dan upaya pengembangan profesi guru. Melalui penelitian pendahuluan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi da pat memberikan kontribusi praktis ke-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 103 -
IAIS Sambas pada para pemikir dan praktisi pendidikan serta terutama kepada peneliti agar dapat merumuskan dan/atau melaksanakan penelitian lanjutan terkait kebijakan-kebijakan yang inovatif dan menddapatkan kejelasan terkait dengan positioning sumberdaya dan kompetensi guru di wacana besar profesionalisme. Kemudian penelitian ini diharapkan ber manfaat bagi guru dalam upaya mengembangkan profesionalitasnya terutama pada bidang publikasi ilmiah dan karir guru.
B. Tinjauan Pustaka Konsep Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia Manajemen dalam sebuah organisasi adalah sebagai alat atau seni mengelola sumber daya agar bisa berjalan dengan efisien (berdaya guna), efektif (berhasil guna), dan bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Richard L. Daft menjelaskan manajemen sebagai proses pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumber daya organisasi. Hal senada juga diungkapkan oleh James A.F. Stoner. Berikut pendapat beberapa ahli manajemen tentang fungsi-fungsi manajemen: (Daft, 2002: 8).
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Disarikan dari Pendapat Beberapa Tokoh Mengenai Fungsi-Fungsi Manajemen Terry
Fayol
Gullic k
Dale
Planning
Plannin g
Plannin g
Plannin g
Organizi ng
Organi zing
Organi zing
Organi zing
Actuating
Comm anding Coordi nating
Staffin g Directi ng Coordi nating
Controlli ng
Control ling.
Reporti ng Budget ing
Koo nts & O’do nnel Plan ning
New man
Ston er
Plan ning
Plan ning
Orga nizin g
Orga nizin g
Orga nizin g
Staffin g Directi ng Innovat ing Repres enting
Staff ing Dire cting
Asse mbli ng of Reso urces , Dire cting
Lead ing
Control ling
Cont rollin g
Cont rollin g
Cont rollin g
Sumber: (T. Hani Handoko, 1986; 22, Benyamin Liputo, 1988: 16-17, dan Nanang Fattah, 1996: 13). Berdasarkan pendapat mengenai fungsi-fungsi manajemen tersebut, terdapat persamaan yang tercermin dalam fungsi planning, organizing dan controlling. Sedangkan pada fungsi actuating/ staffing/ leading pada prinsipnya mengandung substansi sama. Tentu saja hal ini berangkat dari pengalaman dan cara pandang tersendiri terhadap bentuk dan sistem organisasi yang terus berkembang. (Hani Handoko, 1986: 22). Secara sederhana, pengembangan bila dikaitkan dalam konteks pendidikan berarti suatu proses perubahan secara bertahap yang lebih tinggi dan meluas serta mendalam dan secara menyeluruh dapat tercipta kesempurnaan dan kematangan (M. Arifin, 1993: 45). Dari beberapa definisi di atas dapat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 104 -
Demi ng
Planni ng Do
Action
Check
IAIS Sambas dipahami bahwa bahwa pengembangan SDM adalah proses perubahan secara bertahap melalui pendidikan terencana kepada tenaga atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang berupa daya pikir, daya cipta, karsa dan karya yang masih tersimpan dalam dirinya sebagai energi potensial yang siap dikembangkan menjadi daya berguna sesuai dengan tujuan. 2. Implementasi Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Guru. Pelaksanaan pengembangan guru dapat dilakukan dengan beberapa teori pemberdayaan (empowerment) di antaranya teori E oleh Aileen Mitchell Sewart yang menyatakan orang sebenarnya mampu menyumbang lebih banyak daripada yang dimungkinkan oleh kebanyakan organisasi selama ini, bahwa orang mau dan akan bekerja baik jika memberi kemungkinan. Teori ini menjelaskan bah wa para para manajer lebih efektif berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pemimpin. (Aileen Mitchell, 1994: 111). Seorang guru dalam menjalankan perannya sebagai pendidik harus memiliki sikap proaktif, kreatif, memiliki jiwa kritis-teliti, ingin tahu dan berani mengambil sikap-sikap baru demi kemajuan pendidikan. (Rustamaji, 2007: 4).. Pengembangan keprofesian keberlanjutan merupakan bentuk pembelajaran berkelanjutan bagi guru dalam upaya membawa perubahan yang diinginkan. PKB mencakup tiga hal yaitu pelaksanaan pengembangan diri, publikasi il miah dan karya inovatif. Pengembangan keprofesian berkelanjutan mencakup ke giatan perencanaan, pelaksanaa, evaluasi, dan refleksi yang didesain untuk meningkatkan karakteristik, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan. Gambar 2.2: Siklus Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (Sumber: Pusat Pengembangan Profesi Pendidik) Sebagaimana digambarkan pada di-
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 agram berikut ini. Melalui siklus evaluasi, refleksi pengalaman belajar, peren canaan dan implementasi kegiatan peng embangan keprofesian guru secara berlanjutan, maka diharapkan guru akan mampu mempercepat pengembangan kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian untuk kemajuan karirnya. Sistem Pengembangan Profesi Guru dengan melakukan pemetaan profil kinerja guru, menggunakan instrumen eva luasi diri pada awal tahun pelajaran, acuan dalam merencanakan program PKB. Setiap akhir tahun pelajaran, dilakukan PKG, hasilnya adalah gambaran peningkatan kompetensi, menjadi dasar penetapan angka kredit unsur utama dari sub-unsur pembelajaran/bimbingan pada tahun tersebut. Hasil penilaian kinerja guru tahun sebelumnya dan dilengkapi hasil evaluasi diri tahun berjalan, selan jutnya digunakan sebagai acuan perencanaan PKB untuk tahun berikutnya. Pengembangan karir guru ditunjukkan melalui alur:
Gambar 2.3: Alur Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru Peningkatan kompetensi pada akhir nya bukan hanya bertujuan untuk peningkatan keprofesian guru dalam layanan pendidikan bermutu, tetapi juga berimplikasi peningkatan kemampuan melaksanakan tugas utamanya dalam pembelajaran serta perolehan angka kredit untuk pengembangan karir. Pada lembaga pendidikan dilakukan dengan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 105 -
IAIS Sambas penataran (in service training), dalam bentuk penyegaran maupun peningkatan (refreshing and up grading). (Udin Saeffudin, 103). 3. Dampak Pengembangan Profesionalitas Guru terhadap Kinerja Guru di Sambas. Aktivitas guru dalam pengembangan profesionalitasnya akan dapat dilihat dari kinerja guru tersebut. Kinerja memperlihatkan performance dalam melaksanakan aktivitasnya. Merupakan hasil kerja yang dicapai dan dapat diperlihatkan melalui kualitas hasil kerja, ketetapan waktu, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi perserta didik. Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) diarahkan untuk memperkecil jarak antara pengetahuan, keterampilan, kompetensi sosial dan keperibadian yang mereka miliki sekarang dengan apa yang menjadi tuntutan ke depan berkaitan dengan profesinya tersebut. Guru dapat memenuhi standar dan mengembangkan kompetensinya sehingga mampu melaksanakan tugastugas utamanya secara efektif sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik untuk menghadapi kehidupan di masa datang. Unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi unsur pengembangan diri, publikasi ilmiah dan karya inovatif. Berkaitan dengan uraian di atas, maka pembinaan dan pelatihan yang tepat dan terarah diperlukan oleh setiap guru yang ingin terus meningkatkan profesionalitasnya. Di antara masalah yang mencuat dipermukaan adalah kompetensi guru dalam melakukan publikasi ilmiah. Maka pengembangan keprofesian berkelanjutan bidang publikasi ilmiah berdampak terhadap kualitas guru dan perkembangan karir. Adapun dampak dilakukannya MPSDM guru adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendayagunaan SDM guru;
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 memiliki motivasi, komitmen dan konsistensi untuk mencapai tujuan; Guru akan profesional; kualifikasinya akademik maupun non akademik akan meningkat. Edy Sutrisno, 2012: 206-207).
C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Researh and Development /R&D). “Metode pengembangan adalah metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan pengujian keefektifan produk tersebut,” yang pada akhirnya diharapkan mampu mengembangkan model pelatihan dan pengambangan guru dalam mengembangkanprofesionalismenya sehingga mampu menulis dan memublikasikan karya ilmiah. Untuk tahap ini, penelitian dikonsentrasikan pada tahap pemotretan kondisi objektif di lapangan, dan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Mengingat tulisan ini adalah peneliTian pendahuluan yang dijadikan sebagai dasar pengenalan lapangan (grand tour observation), maka sumber data dibatasi kepada beberapa responden dengan teknik purpossive sampling, sesuai kebutuhan data yang diperlukan. Maka narasumber dalam penelitian ini terdiri atas lima orang guru yang telah mengikuti pelatihan KTI, seorang kepala Sekolah, seorang pengawas, dan seorang pegawai dinas pendidikan, Ketua MGMP, dan Kasi di Kementerian Agama. Pengumpulan data dilakukan dengan dokukemntasi dan wawancara. D. Temuan dan Hasil Penelitian Berdasarkan fokus penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, maka peneliti berupaya menemukan beberpa hal yang terkait dengan konsep pengembangan kompetansi guru dan pengeembangan keprofesian keberlanjutan terutama bidang publikasi ilmiah. 1. Konsep Pengembangan Kompetensi Profesionalisme guru bidang publikasi
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 106 -
IAIS Sambas ilmiah di Kabupaten Sambas. Berdasarkan hasil telaah dokumen (panduan pelatihan guru dan data Emis guru PAI Kabupaten Sambas) dan wawancara, bahwa pengembangan kompetensi profesionalisme guru di Kabupaten Sambas sesungguhnya merupakan tanggungjawab guru secara individual. Karena guru secara individual dapat meningkatkan kompetensinya sebagai agen pembelajaran melalui pengalamanpengalaman keseharian di kelas atau melalui komunikasi dengan rekan sejawat. Namun demikian, sepertinya sulit untuk disimpulkan, apakah ada perbedaan signifikan antara guru PAI SMA yang berpengaalaman mengajar kurang dari lima tahun dan guru PAI yang berpengalaman mengajar lebih dari 5 tahun, karena hingga saat ini Uji Kompetensi Guru PAI belum pernah dilakukan. (Dok. Data Emis). Seorang guru diwajibkan membuat karya tulis ilmiah dan memublikasikannya, Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Sebelumnya, publikasi ilmiah diperuntukkan bagi guru yang ingin naik golongan dari IV-a ke IV-b dan mengakibatkan kebanyakan golongan guru bertumpuk di golongan IV-a. Sementara saat ini, publikasi ilmiah dimulai dari III-b ke atas. Fakta di lapangan membuktikan bahwa didapati hampir 500 Guru yang Daftar Usulan Perubahan Angka Kreditnya (DUPAK) dikembalikan, padahal hasil proses perhitungan DUPAK oleh Propinsi sudah selesai bahkan telah diserahkan ke Guru bersangkutan. Namun karena pemberlakuan Permen. PAN & RB. No 16 Tahun 2009 sejak tahun 2013 tersebut, konsekwensi seperti yang dikisahkan tersebut harus dilakukan. Surat Keterangan hasil perhitungan DUPAK itu dikembalikan, dan guru tidak menerima
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Surat Keputusan Perubahan Angka Kredit(PAK) untuk kenaikan pangkat/golongan. (Wawancara R.1). Demikian pun hasil observasi peneliti pada guru PAI yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sambas pada Sekolah Dasar dan Menengah menunjukkan indikasi yang memprihatinkan. Sebab dari 510 Guru PAI sejumlah 64,90 % guru PNS yang telah mencapai golongan ruang IV/a tidak dapat naik pangkat setingkat lebih tinggi. Sedangkan guru yang mampu naik pangkat ke IV b hanya sebesar 0,20 %. (Dok. Data Emis). Jumlah prosentase pada tabel di atas dapat dipahami dengan angka tertinggi di golongan IVa, dimana berdasarkan Kepmen. PAN no 84/1993 tentang jabatan guru dan angka kreditnya, pasal 9 ayat 2 menyebutkan bahwa untuk kenaikan pangkat/jabatan setingkat le-bih tinggi menjadi Pembina Tk.I, golongan ruang IV/b/Guru Pembina Tk.I s. d. Pembina Utama, gol ruangIV/e/Guru Utama, diwajibkan mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) angka kredit dari unsur pengembangan profesi. (Kepmenpan. No 84 tahun 1993 tentang Jabatan Guru dan Angka Kreditnya, pasal 9 ayat 2). Maka angka stagnasi guru akan semakin mencolok setelah diberlakukannya Permanenpan & RB nomor 16 tahun 2009 yang kegiatan pengembangan profesi dalam bentuk publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sudah harus dimulai dilakukan oleh para guru di golongan III/b yang akan naik ke golongan III/c (pasal 17 ayat 2). Berdasarkan fenomena di atas, beberapa pihak secara individu yang terdiri dari Kepala Sekolah, Pengawas dan pegawai dinas pendidikan memandang perlu adanya penguatan kepada guruguru. Maka secara swadaya menyelenggarakan sosialisasi dan pengenalan sistematika penyusunan karya ilmiah. Ini pun diselenggarakan secara door to door.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 107 -
IAIS Sambas Sekolah yang menganggap perlu pemahaman tentang publikasi ilmiah mengundang pengawas yang sekaligus instruktur Karya Tulis Ilmiah. Seperti yang diterangkan oleh pengawas SMA, bahwa pengenalan konsep penyusunan karya tulis ilmiah (KTI) ini baru kegiatan yang sifatnya mengenalkan kulit dari KTI dan publikasi ilmiah kepada guru-guru yang sifatnya terbatas. Pelaksanaan program pelatihan KTI di Kabupaten Sambas juga pernah diselenggarakan oleh pihak LSM atau Perguruan Tinggi, seperti di Bulan Maret diadakan Pelatihan KTI oleh Bina Insan Center Kabupaten Sambas bekerja sama dengan Akper Surya Global Yogyakarta. (Wawancara R.2). Selain itu, pengembangan kompetensi profesionalisme guru bidang publikasi ilmiah menjadi bagian dari program supervisi pengawas, guru selalu dimotivasiuntuk menulis, dan Dinas Pendidikan siap menampung tulisan guru yang akan dimuat di Jurnal Pendidikan. (Wawancara R.2). Pengembangan kompetensi guru untuk budaya literasi di Kabupaten Sambas masih kabur, padahal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di awal 2015 meresmikan pembentukan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan yang bertugas mengurus kenaikan pangkat, peningkatan kompetensi hingga pencairan tunjangan guru mulai guru pendidikan usia dini hingga menengah. Namun belum ada program dari pemerintah yang secara langsung menyelenggarakan pelatihan KTI. Lebih lanjut ketika ditelusuri kepada R.3 terkait pengembangan atau pelatihan untuk guru PAI, dijelaskan bahwa birokrasi kebijakan mengalir secara sentralistik. Apa yang menjadi kebijakan dari pusat, lalu ditindaklanjuti di Propinsi, baru ke tingkat Kabupaten. Program di tingkat kabupaten dalam hal pengembangan keprofesian guru hanya sebatas azas bantuan, menyalurkan informasi
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 dan pengumpulan data. Koordinasi ke para guru biasanya melalui MGMP PAI atau KKG. Saat dikonfirmasi terkait kompetensi guru, dijelaskan bahwa hinggan saat ini, uji kompetensi guru PAI belum dilakukan, sehingga kompetensi guru belum dapat dipetakan. Semoga dalam waktu dekat, pemerintah pusat melalui UIN Jakarta atau UIN Bandung yang menjadi PT pembina akan segera menyelenggarakan program pengembangan keprofesian guru. Pada saat dikonfirmasi lebih lanjut ke LPMP Kalimantan Barat, berdasarkan hasil wawancara didapati bahwa pelatihan yang diselenggarakan selama ini belum ada yang secara khusus menanganipengembangan keprofesian berkelanjutan bidang publikasi ilmiah. Pelatihan setakat ini masih diarahkan pada sosialisasi dan penguatan pemahaman kurikulum 2013, dan dengan ditundanya kebijakan pemberlakuan K-13, sekarang pelatihan dikhususkan hanya untuk sekolah piloting. (Wawancara R.3). Kemudian program untuk pelatihan guru dan pengembangan pendidikan ke depan masih dalam penyusunan anggaran, direncanakan 3 hingga 4 program akan dilaksanakan di antaranya adalah program pelatihan Kepala Sekolah, peningkatan kinerja guru dan temu ilmiah kepala sekolah daerah perbatasan kerjasama dengan Malaysia. Program peningkatan guru dalam bentuk pelatihan KTI sampai saat ini belum pernah dilakukan. LPMP Propinsi fokus pada program proDep kerjasama dengan Australian Aid. (Australia’s Education Parnership with Indonesia), dengan program diklat calon kepala sekolah, program pendampingan kepala sekolah dan pengawas sekolah, program pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala SD/MI. (Wawancara R.4). Jadi, konsep pengembangan kompetensi profesionalisme guru bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas sesungguhnya masih belum tersusun secara terprog-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 108 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
ram dan sistematis, masih bersifat swadaya, belum ada program dari pemerintah yang secara langsung menyelenggarakan pelatihan KTI hingga kini. 2. Implementasi pengembangan keprofesian berkelanjutan bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas. Permen PAN & RB no. 16 tahun 2009 yang diberlakukan Januari tahun 2013 berimbas pada suasana akademik di lingkungan kerja guru. Ditambah fakta dikembalikannya DUPAK kenaikan pangkat dan golongan PNS gelombang April 2013. Guru secara sadar atau terbawa suasana sedang mengalami demam panggung menghadapi pemberlakuan untuk melak sanakan pengembangan keprofesian ke-berlanjutan (PKB). Kewajiban guru setiap golongan untuk melaksanakan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) sebelum dan sesudah penyempurnaan sesuai dengan golonganny masing-masing seperti pada tabel berikut. Permen Menpan 84/1993 1. Gol II/a s.d. IV/a a. Diklat b. KBM c. Penunja ng d. Pengem bangan Profesi (PP) tidak wajib 2. Pengemban gan Profesi wajib bagi:
Penyempurnaan dengan Permen. PAN & RB. 16 tahun 2009
Selain KBM, guru wajib mengikuti kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang terdiri dari pengembangan diri (PD) dan Publikasi Ilmiah dan/atau Karya Inovatif (PI dan/atau KI) untuk mendapatkan angka kredit (AK), dimulai dari: a.
III/a
b.
III/b-c
a. gol IV/a – b penge c. mbang an
PKB : PD = 3 AK PKB: PD = 3
AK + PI dan/atau KI=4 AK III/c-d
PKB: PD = 3
AK + PI dan/atau KI=6
profesi 12 b. gol IV/b – c Penge mbang an profesi 12 c. gol IV/c – d Penge mbang an profesi 12 d. gol IV/d – e Penge mbang an profesi 12
AK d.
III/d-IV/a PKB: PD= 4 AK + PI dan/atau KI=8 AK
e.
IV/a-b PKB: PD = 4 AK + PI dan/atau KI=12 AK
f.
IV/b-c PKB: PD = 4 AK + PI dan/atau KI=12 AK
g.
IV/c-d PKB: PD = 5 AK + PI dan/atau KI=14 AK
h. IV/d-e PKB: PD = 5 AK + PI dan/atau KI=20 AK
Tabel 2. Kewajiban Guru dalam melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan PKB). (Permenneg.PAN no 84 tahun 1993 dan Permen PAN & RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya). Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk mencapai golongan yang lebih tinggi seorang guru harus malakukan pengembangan diri dengan melakukan publikasi ilmiah atau karya inovatif untuk mendapatkan angka kredit yang dibutuhkan sesuai jumlah angka kredit golongan yang akan dicapai. Sebagai upaya meningkatkan kemampuan guru memenuhi kewajibankewajiban tersebut, maka diselenggarakanlah seminar/workshop/pelatihan Teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah sebagaiman yang peneliti deskripsikan sebagai berikut: a. Masukan Peserta yang mengikuti pelatihan berjumlah 57 orang, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan guru
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 109 -
IAIS Sambas bidang studi pelajaran. Identifikasi data individu terdiri dari guru sekolah/madrasah tingkat SLTP dan SLTA. (Wawancara R.5). Hasil wawancara dengan responden tentang latar belakang peserta mengikuti kegiatan bimbingan teknis diperoleh temuan bahwa guru ingin meningkatkan pengetahuan tentang penulisan karya ilmiah, memperoleh angka kredit unsur pengembangan profesi, dan sebagai wahana pembuktian terhadap kemampuan diri. Ditinjau dari latar belakang pengalama peserta menulis ilmiah, ditemukan peserta yang telah memiliki pengalaman, seperti disebutkan R.9, yang telah menulis dalam bentuk buku atau R.10 yang pernah memenangkan lomba karya tulis guru tingkat Provinsi. (Wawancara R.6). Juga terdapat peserta yang belum memiliki pengalaman menulis karya ilmiah sebelum mengikuti pelatihan tersebut, seperti yang disampaikan oleh responden: “sementara ini saya belum pernah mencoba, kecuali menulis skripsi waktu tugas akhir s1. Nah, waktu mendengar ada pelatihan KTI, saya berpikir ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mencoba menulis.” b. Tempat dan waktu Pelaksanaan Kegiatan seminar dan worshop atau pelatihan KTI pengembangan dilaksanakan di gedung keberbakatan Sambas. Fakta hasil wawancara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan pelatihan belum standar, karena hanya ada aula pertemuan, tanpa dilengkapi sarana yang memadai. Hanya ada sarana presentasi dan white bord. Belum dilengkapi sarana lain seperti komputer atau laptop dan mesin cetaknya. Waktu pelaksanaan pelatihan adalah dari tanggal 27-29 Maret 2015, waktu ini berdasarkan tanggapan peserta masih dirasa sangat kurang. Sehingga materi yang disampaikan masih
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 sangat terbatas dan belum sampai ke isiisinya, terlebih untuk praktik dan mengumpulkan pustaka dan data. c. Proses Model kegiatan menggunakan model In-On dengan target 1 naskah karya tulis ilmiah. Metode yang digunakan variatif, ceramah dengan media presentasi untuk kepentingan penyajian materi yang bersifat informatif, tanya jawab, diskusi kelopok, penugasan digunakan untuk kepentingan praktikum penyusunan proposal maupun revisi naskah dan presentasi hasil kerja KTI. (Dok BIC Kab. Sambas). Nara Sumber pelatihan yang membimbing KTI memiliki kompetensi, kredebilitas dan kapabilitas dalam penulisan ilmiah, hal ini seperti yang dinyattakan responden bahwa nara sumber memiliki kemampuan dalam KTI, dibuktikan dengan pernah menjadi pemenang KTI tingkat nasional, dari latar belakang pendidikan juga sudah berpredikat doktor bidang Bahasa Indonesia, dan narasumber lainnya yang sudah sangat mumpuni dalam memberikan motivasi dan arahan tentang pendidikan. d. Materi Pelatihan Materi Pelatihan KTI sebagaimana yang dijelaskan narasumber masih sangat terbatas, bagaimana waktu tiga hari bisa menuntaskan seluruh materi. Sehingga yang disampaikan hanya sebagian dan dipilih dari materi yang bisa tuntas dalam waktu pendek seperti artikel ilmiah dan artikel ilmiah populer. Sebab kalau harus menuntaskan PTK, maka tidak akan cukup waktu untuk menyelesaikannya. Walaupun secara global, setiap materi kita sampaikan, meski hanya perkenalan awal. (seperti di tabel. 4) Naskah yang diangkat oleh peserta dalam pelatihan KTI ini berangkat dari masalah yang pernah ditulis di skripsi waktu S.1, sehingga guru tidak terlalu lama dalam mencari masalah dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 110 -
IAIS Sambas kajian pustakanya, sehingga tinggal mengemasnya dalam bentuk artikel. No 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
Materi Pre test Kebijakan Permenpan. & RB nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Jenis KTI dan Kriteria Penilaiannya Penelitian Tindakan Kelas dan Penulisan Laporannya Macam Makalah dan Teknis penulisannya Penulisan Artikel Kaidah Kebahasaan Praktikum terbimbing dan presentasi Pos test
Tabel.3 Struktur Program Pelatihan KTI (Dok BIC Kab. Sambas).
e. Hasil Pelatihan Berbicara tentang hasil dan kekuatan materi, outcomes dari pelatihan, dari 57 peserta, sudah terdapat 5 tulisan yang masuk ke narasuber, 2 di antaranya dalam bentuk artikel yang siap dimuat di jurnal yang diusung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten. (Wawancara R.4, Rabu, 22 April 2015) Berdasarkan wawancara dengan Event Organaizer Pelatihan KTI, bahwa pelatihan ini akan ditindaklanjuti dengan struktur yang lebih komprehensif dan waktu yang proporsional, dengan menjalin kerjasama dari semua pihak terkait, seperti juga yang harapkan oleh sebagian besar peserta agar tetap diadakan pelatihan tindak lanjutnya. (Wawancara R.5, Rabu, 22 April 2015) 3. Bagaimana respon guru terhadap kebijakan pengembangan keprofesian bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas? Penerapan kebijakan Permenpan & RB no. 16 tahun 2009 direspons beragam oleh para guru. Pendapat sebagian guru yang mengasumsikan kalau publikasi ilmiah akan menjadi ancaman terhadap karir guru adalah bercermin dari
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 terhentinya karir guru pada golongan IVa. Hal itu didukung oleh berbagai alasan, khususnya untuk guru sekolah dasar (SD) sebagai guru rombongan semua mata pelajaran sekaligus menjadi wali kelas. Banyaknya administrasi kelas dan sekolah, menjadi alasan pertama kenapa para guru enggan untuk menulis karya ilmiah untuk meneruskan ke golongan berikutnya. Demikian pun untuk guru PAI, berdasarkan pemaparan ketua MGMP PAI Kabupaten Sambas, sebagian guru bersifat apatis dengan pemberlakuan permanen tentang PKB tersebut. Guru sudah terlalu disibukkan dengan rutinitas mengajar, administrasi, guru dituntut jumlah jam, administrasi, ditambah untuk kenaikan pangkat harus dibenani ini itu, pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan guru, tapi di sisi lain membebani dengan sesuatu yang berat. Memperkuat pernyataan di atas, mengamati perilaku guru yang cenderung tidak ingin terbebani secara administratif kecuali pada hal yang sifatnya wajib dan menyangkut eksistensi jabatannya sebagai guru. Selama masih hal yang bisa dikompromi, guru cenderung mengambil sikap pembiaran. Sebuah fenomena sebagaimana diambil contoh kasus guru yang mengikuti in house training (IHT) di sekolah, demi kepentingan usulan kenaikan pangkat tahunan, maka sertifikat harus dilampirkan dan ditambah laporan deskripsi mengiuti kegiatan, namun karena guru merasa dibebani, ia cenderung tidak mengusakaan, meskipun laporan kegiatan tersebut sangat sederhana dan telah disediakan yang mengambil jalan pintas dengan minta bantuan pihak ketiga untuk menyusun laporan tersebut. Guru cenderung berkonsentrasi pada aspek tugas pokok mengajar dan pemenuhan kewajiban untuk mendapatkan tunjangan sertifikat daripada meningkatkan karir jabatan fungsional yang jika naik dan bertambah juga tidak berkontribusi seberapa dari
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 111 -
IAIS Sambas aspek finansial. Selain itu, masih banyak guru ya-ng merasakebingungan tentang bagaimana cara menulis karya ilmiah yang baik dan benar karena di sekolah tidak diajarkan terlebih dahulu oleh pihak terkait yang mewadahinya. Padahal, jika publikasi ilmiah tersebut dijadikan sebagai syarat kenaikan golongan guru, semestinya, terlebih dahulu dilakukan pendidikan dan pelatihan penulisan karya ilmiah terhadap seluruh guru di semua jenjang pendidikan. Kemudian, diberikan pula pemahaman tentang strategi yang perlu ditempuh untuk mempublikasikan karya tulis tersebut. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan salah seorang responden, bahwa guru tidak melakukan publikasi ilmiah, bukan karena tidak mau, tapi masih belum paham tentang mekanisme dan langkah-langkah dalam menulis atau bagaimana memublikasikan tulisannya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa publikasi ilmiah merupakan peluang baik untuk berkarir dan meningkatkan profesionalitas, dengan menulis seseorang akan termotivasi membuka wawasannya dan menuangkan gagasan dalam tulisan. Dengan menulis atau menyusun penelitian tindakan kelas, seseorang akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya menghadapi tantangan di dalam kelas. Perspektif lain seperti yang diutarakan salah seorang responden, berdasarkan diskusi lepas dengan beberapa guru, menangkap kesan bahwa pemberlakuan menpan (pen. Permenneg.PAN & RB. No 16 tahun 2009) tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya tidak terlepas dari bias politis dan ekonomis, pemerintah memang cenderung sedang melakukan efisiensi. Kenaikan pengkat dan golongan guru tiap tahunnya dengan demikian gampangnya memang terkesan membebani kas negara. Hal ini ditimpali oleh responden
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 lainnya, bahwa Pemerintah sedang melakukan efisiensi, seperti kegiatan tidak dibolehkan di hotel dan lain sebagainya, dari aspek anggaran tahunan, terutama pada ranah operasional dan kegiatan saat ini dipangkas hingga 60%, yang tidak dipangkas hanya tunjangan sertifikasi, tunjangan lauk pauk, dan gaji. Selebihnya dengan dalih efisiensi, anggaran dibatasi. Sehingga saat ini, program kegiatan juga akan mau tidak mau berkurang. Berdasarkan akumulasi gejala dan fakta yang muncul di atas, tidak heran jika sebagian guru bersikap apatis, membiarkan kondisi yang berjalan mengaliri waktu. Pelaksanaan kegiatan pengembangan keprofesia berkelanjutan sesungguhnya tidak hanya perihal pangkat dan jabatan fungsional guru, tapi lebih pada upaya menciptakan guru profesional, bukan hanya sekedar memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki kepribadian yang matang. Dengan demikia, guru mampu menumbuhkembangkan minat dan bakat peserta didik sesuai dengan bidnagnya dalam menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Sehingga guru sebagai pembelajar abad 21 mampu mengikuti perkembangan ilmu dalam bidangnya dan dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan standar kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. SIMPULAN Berdasarkan temuan penelitian yang telah deskripsikan di atas, maka dapat peneliti simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Konsep pengembangan kompetensi profesionalisme guru bidang publikasi ilmiah di Kabupaten Sambas masih belum tersusun secara terprogram dan sistematis, masih bersifat swadaya, belum ada program dari pemerintah yang secara langsung menyelenggarakan pelatihan KTI hingga saat ini.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 112 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
2. Pengembangan kompetensi profesionalisme guru diimplementasikan secara terbatas dengan menyelenggarakan Pelatihan Karya Tulis Ilmiah dengan melibatkan pihak LSM, Dinas Pendidikan dan Guru. 3. Penerapan kebijakan pengembangan kompetensi profesionalisme guru direspons beragam oleh para guru. Sebagai peluang atau ancaman bagi peningkatan karir profesinya sebagai guru.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 113 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Aileen Mitchell Stewart, Empowring People: Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kanisius, 1994). Benyamin Liputo, Pengantar manajemen. (Jakarta: Depdikbud-Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, 1988). Daft, R.L.,Manajemen. (jilid 1 edisi kelima) (Terjemahan Emil Salim, dkk) (Jakarta: Erlangga, 2002). Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999). E. Mulyasa , Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004). Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia,Cet ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Gall, Meredith D., Joyce P. Gall dan Walter Borg.. Educational Research: An Introduction (Seventh Edition) Boston: Pearson Education, Inc, 2003, hlm. 569. Iskandar Agung, Continuing Prfessional Development (CPD) dana Perubahan Paradigma Sekolah, (Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud). Kepmenpan. No 84 /1993 tentang Jabatan Guru dan Angka Kreditnya, pasal 9 ayat 2. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993). Miles dan Huberman, (1984) dalam Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 247. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Nanang Fattah, Landasan manajemen pendidikan. Cet. VII. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996). Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, Pedoman Pengelolaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, (Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidik, 2012). Rustamaji, Guru yang Menggairahkan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007). Stoner, James A.F., Manajemen. (edisi revisi) (Terjemahan Alfonsus Sirait) (Jakarta: Erlangga, 1996). Stooner, James A. F & Freeman, R. Edward. (1992). Management. (Canada: Prentice Hall International). Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Jakarta: Alfabeta, 2010). T. Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, edisi 2, (Yogyakarta: N{FE- Yogyakarta, 2010). Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 114 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
T. Hani Handoko, Manajemen.(edisi kedua). (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1986). Tobroni, Perilaku Kepemimpinan Sprititual Para Pembaharu Pendidikan Islam di Kota Malang, Disertasi, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004). Udin Saefudin Saud, Pengembangan Profesi Tenaga Pendidik, (Bandung: Alfabeta, 2008). Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan Pelaksanaannya, Jogjakarta: Media Wacana Press, 2003. Undang-Undang RI, Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bandung: Nuansa Aulia, cet. ke-2, 2006. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bab XI pasal 39 tentang pendidik dan tenaga kependidikan. Sumber Dokumen dan Internet: Dokumen BIC Kabupaten Sambas, Laporan Kegiatan Pelatihan, KTI 2015.. Dokumen Data Emis Guru PAI Kemenag. Kabupaten Sambas 2015 Dokumen Hasil UKG Guru pra sertifikasi dan setelah sertifikasi. Dokumen Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Rapat Koordinasi Teknis Implementasi ProDEP, Pontianak, 2014. http:// www.sekolahdasar.net/2015/01/ tanpa-pelatihan-guru-harusmembuat-karya-tulis.html. Diakses 1 April 2015 http://webcentral.uc.edu/-cpd_online2. Diakses 22 Desember 2014. http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/152-anatomi-metodologipenelitian.html, akses tanggal 05 Oktober 2012.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 115 -
MURABAHAH DALAM ISLAM SEBUAH PENDEKATAN ANTARA TEORI DAN REALITA Dr. Sumarin, S.E.I, M.S.I*
ABSTRAK Pendidik adalah satu di antara komponen penting dalam suatu sistem kependidikan, karena pendidik merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Dalam konteks pendidikan secara umum, tugas seorang pendidik di titik beratkan pada upaya untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psiko-motorik. Jika merujuk pada narasi al-Qur'an, akan didapatkan beberapa informasi yang berkenaan dengan pendidik dan bentuk kepribadian yang harus di milikinya. Adapun gambaran profil pendidik yang disebut dalam al-Qur'an, di antaranya ada empat, yaitu: 1) Allah; 2) para nabi dan rasul; 3) orang tua; dan 4) orang lain. Dalam al-Qur'an tentang konsep pendidik pada dasarnya lebih menekankan kepada aspek peran dan fungsi yang harus dijalankan oleh setiap pihak yang berkedudukan sebagai pendidik. Pengembangan konsep pendidik dan relevansinya dengan realitas kekinian terdiri atas; pendidik sebagai pemelihara, pendidik-mendidik, pendidik sebagai penuntun, pendidik sebagai pelindung, pendidik sebagai pengajar, dan pendidik sebagai ahli ilmu. KATA KUNCI: Teori Pengembangan Pendidik, Ilmu Pendidikan Islam
*Dosen
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Pemikiran ekonomi (economic thought) bukanlah sebuah ilmu baru yang hadir dalam kehidupan manusia, ia muncul bersama hadirnya manusia di atas muka bumi. Dalam kaitannya ekonomi merupakan sebuah fenomena raksioner terhadap dinamika kondisi empirik kehidupan manusia dalam segala aspek, baik aspek ideologi, politik ataupun sosial budaya. Dalam kajian peradaban Mesir klasik, al-Qur’an telah menggambarkan bagaimana peranan seorang yusup (red: rasul allah) yang telah membuat kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada masa tersebut. (Lihat Q.S. Yusup: 46-49). Selain itu Mahmud Arif Wahbah juga telah mencatatkan bagaimana peradaban Sumeria telah mengembangkan sebuah pemikiran ekonomi dimana telah diterapkannya perbankan secara tradisional pada masa tersebut, tempat-tempat ibadah dijadikan sebagai tempat menyimpan barang-barang dan transaksi pinjam meminjam dengan prinsip barter dan menentukan batas interest rate serta peranan raja dalam menghimbau masyarakat untuk menghindari transaksi ribawi. Said Saad Morthon, 2004: 3). Sebagai sebuah hukum normatife AlQur’an dan hadist adalah bagian terpenting yang menjadi pegangan hidup muslim dalam menjalankan kehidupan ekonominya. Berbagai praktek kehidupan ekonomi merupakan bagian dari interpretase terhadap Al-Qur’an dan hadist yang selanjutnya di rumuskan dalam tataran praktis dalam aturan hukum yang disebut fiqh. Fiqh merupakan rumusan-rumusan praktis dan aplikatif yang dihasilkan dari sebuah proses Ijtihad. Karenanya universalitas Islam menjadi sangat kuat dengan terus berkembangnyaijtihaddalam menselaraskan kehidapan dengan Islam. Seiring dengan kompleksnye kehidupan ekonomi, dipandang sangat perlu untuk merumuskan ijtihad dalam bidang ekonomi, salah satu hasil ijtihad tersebut adalah
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 lahirnya Bank Syariah atau Bank Islam. Hadirnya bank Syariah merupakan sebuah alternatife yang dilakukan para ulama untuk meng-“Islam”-kan dunia perbankan yang sebelumnya telah didominasi oleh sebuah sistem perbankan berbasis bunga. Dimana dalam kajian Islam, mayoritas ulama menggolangkan bunga yang diterapkan dalam praktek perbankan konvensional merupakan salah satu bentuk riba, dan riba dalam kajian fiqh adalah haram. Dalam dunia Perbankan Syariah kita mengenal dua transaksi yang sering menjadi buah bibir sekaligus bahan propaganda untuk mengidentikkan bank Syariah. Yang selanjutnya produk- produk tersebut menjadi sanggat dekat dan dikenal oleh masyarkaat. Adapun Produk yang dimaksud yaituMudharabahdan Murabahah. Sebagaimana penulis jelaskan diawal, produk-produk tersebut merupakan sebuah ijtihad dari para ulama sebagai upaya untuk meng”Islam”kan Bank konvensional. Kajian ini menjadi sangat penting ketika timbulnya sebuah pertanyaan, sejauhmana ke”Islam”an produk produk perbankan yang dikeluarkan oleh ulama melalui ijtihad tersebut? Adalah wajar pertanyaan itu timbul sebagai sebuah upaya untuk memberikan pemahaman mendalam terhadap konsep bank syariah. Pada tulisan ini, penulis akan memberi batasan terhadap produk Murabahah, hal dengan harapan terfokus dan mendalamnya kajian yang akan dituangkan dalam penyusunan makalah ini. PEMBAHASAN MURABAHAH DALAM KAJIAN FIQH 1. Pengertian Murabahah Secara harfian kata Murabahah merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa arab dari akar kata ribhu yang diartikan untung, (Asad M. Kalali, 1987: 587), dimana secara sederhana murabahah diartikan sebagai sebuah bentuk transaksi jual beli yang menyebutkan modal pedagang dan ke-untungan yang
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 117 -
IAIS Sambas diperoleh dalam tran-saksi jual beli tersebut. Sebagian ulama mengartikan murabahah adalah jual beli barang dengan tambahan yang telah disepakati. (Muhammad Taqi Usmani, 2000: 103). Dalam tulisannya Muhammad Taqi Usmani menyatakan Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli yang lazim digunakan, lebih lanjut beliau menyatakan bahwa praktek murabahah merupakan salah satu bentuk perdagangan yang dilakukan oleh Rasulullah. Namun Sejak awal munculnya dalam fiqh praktek murabahah hanya digunakan dalam praktek jual beli atau perdagangan. Tidak pernah murabahah dijadikan sebagai salah satu kontrak atau akad dalam sebuah model keuangan atau pembiayaan yang lazim sekarang digunakan dalam dunia perbankan Islam. (Muhammad Taqi Usmani, 2000: 103). Udovitch menyatakan bahwa Murabahah adalah suatu bentuk jual beli dengan komisi, dimana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli tidak mau susah-susah sendiri sehingga ia mencari jasa perantara. Oleh itu salah satu hal yang senantiasa timbul dalam jual beli murabahah adalah si penjual harus memberitahukan keuntungan atau kelebiha yang diambil dari transaksi jual beli tersebut. (Abdullah Saed, t.th: 119). 2. Landasan Syariah Ketika kita merujuk kepada AlQur’an sebagai sumber tertinggi Islam, bagaimanapun Al-Qur’an itu sendiri tidak pernah membicarakan secara langsung tentang murabahah, dalam arti kata tidak satupun ayat yang secara jelas menyinggung praktik jual beli dengan sistem murabahah ini. Atau bahkan tidak ditemukan satu katapun dalam AlQur’an yang istilah Murabahah. Secara umum Al-Qur’an hanya berbicara tentang jual beli (al-bai’). Sehingga dalam pembenaran praktik murabahah
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 ini ulama mengaitkan praktik murabahah dengan jual beli. Dimana dalil yang menjadi landasan hukum Murabahah adalah, اﻟرﺑَﺎ ّ ِ وَ أَ َﺣ ﱠل ﷲُ ا ْﻟﺑَ ْﯾ َﻊ وَ ﺣَرﱠ َم
Artinya: “………. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”(QS. Al-Baqarah:275) Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman,
ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا ﻻَﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُوا أَﻣْوَ اﻟَﻛُم ﺑَ ْﯾﻧَﻛُم ﺑِﺎ ْﻟﺑَﺎطِ ِل ﺳ ُﻛ ْم َ ُاض ِّﻣﻧ ُﻛ ْم وَ ﻻَﺗَ ْﻘﺗُﻠُوا أَﻧﻔ ٍ َإِﻻﱠ أَنْ ﺗَﻛُونَ ﺗِﺟَﺎرَ ةً ﻋَن ﺗَر إِنﱠ ﷲَ ﻛَﺎنَ ﺑِ ُﻛ ْم رَ ﺣِ ﯾﻣًﺎ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’:29) Berbeda dengan Al-Qur’an, dasar hukum lainnya yakni hadis sangat jelas membicarakan tentang murabahah. Hal ini karena praktik Murabahah merupakan salah satu praktik perdagangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa “Dari Suhaib Ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda; tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan meliputi jual beli tangguh, muqaradah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untukkeperluan rumah, bukan untuk dijual (H.R Ibnu Madjah). Terkait dengan jual beli Murabahah itu sendiri para ulama awal seperti imam syafi’i dan imam malik membolehkan praktik murabahah ini. Adapun alasan yang diambil oleh imam malik adalah mengacu pada praktik penduduk madinah dimana praktik murabahah yang disamakan dengan jual beli telah dilakukan oleh penduduk madinah. Adapun ulama lain
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 118 -
IAIS Sambas dari madzhab hanafi, marghinani membenarkan keabsahan murabahah dengan alasan “Syarat-syarat yang penting bagi keabsahan jual beli dalam murabahah. Atau dengan kata lain marghinani menyamakan praktik jual beli dengan murabahah. 3. Syarat dan Rukun Murabahah Sebagaimana dijelaskan sebelumnya Murabahah merupakan salah satu bentuk praktik dalam jual beli, dimana dalam hal ini syarat dan rukun menjadi ketentuan yang harus dipenuhi agar murabahah menjadi sah dalam pandangan Islam. Dalam melihat syarat dan rukun murabahah pendekatan yang dilakukan adalah pada pendekatan jual beli. Dalam hal rukun jual beli terdapat perbedaan ulama hanafiah dengan jumhur ulama lainnya. Menurut ulama hanafiah rukun jual beli hanya satu yakni ijab (ungakapan membeli dari pembeli) qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut madzab ini yang menjadi rukun jual beli hanyalah kerelaan (rida/tara’di). Kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi karena nilai kerelaan ini bersifat abstrak dan tidak terlihat maka indikasi yang menggambarkan kerelaannya dilihat dari perbuatan ijab qabulatau cara saling memberikan barang dan harga barang. (Nasrun Haroen, 2007: 115). Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada 4 (empat) yaitu: a. Adanya orang yang berakal atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli) b. Adanya Shiqhat (lafal ijab dan qabul) c. Adanya barang yang dibeli d. Adanya nilai tukar pengganti barang Selain rukun, hal lain yang juga harus dipenuhi dalam jual beli adalah syaratsyarat jual beli itu sendiri. Dimana syarat
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 jual beli yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan transaksi jual beli meliputi; (Ibrahim Lubis, 1995: 342). a. Berakal sehat b. Kehendak diri sendiri, tidak dalam paksaan c. Keadaannya tidak mubazzir d. Baliq (dewasa) Selain syarat orang, dalam jual beli barang yang diperjual belikan juga harus memenuhi beberapa syarat meliputi:( Nasrun Haroen, 2007: 118). a. Jelas keberadaan barang yang diperjual belikan b. Dapat dimanfaatkan c. Hak Milik dari seseorang d. Penyerahan barang pada saat transaksi atau sesuai kesepakatan
4. Keuntungan dalam Murabahah Murabahahsebagai salah satu bentuk jual beli, merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keuntungan, dimana salah satu yang menjadi pembeda antara Murabahah dengan bentuk jual beli lainnya adalah ketentuan pengambilan keuntungan yang transparan dalam praktik jual beli ini. Dalam murabahah pembeli akan mengetahui besar keuntungan yang akan diambil oleh seoranga penjual dari barang. Dalam pengambilan keuntungan tersebut besarnya keuntungan yang diharapkan harus jelas dan transparan, dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang diharapkan. Sehingga keuntungan tersebut merupakan lebih bersifat margin atau sesuatu yang disepakati bukan dalam bentuk mark up tambahan yang lebih dekat pada bentuk pengdzaliman, ditentukan sepihak tanpa analisis yang rasional. Besarnya keuntungan tersebut sendiri bisa ditentukan dalam nominal nilai uang (Red: rupiah) atau dalam bentuk persentase dari pokok harga barang. Untuk menentukan besar kecilnya komisi atau tambahan tersebut para ulama madzhab
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 119 -
IAIS Sambas berbeda pendapat dalam menentukan biaya-biaya yang diperbolehkan sebagai tambahan nilai pokok. Golongan maliki membolehkan biaya-biaya yang terkait langsung dan biaya biaya yang terkait secara tidak langsung untuk menambah harga pokok. Berbeda dengan pendapat Maliki, ulama Syafi’i menyatakan bahwa yang dimaksud dengan biaya tambahan dalam murabahah adalah biaya-biaya yang timbul dari transaksi tersebut termasuk keuntungan yang diharapkan dari nilai barang, namun biaya tenaga kerja tidak boleh dilimpahkan sebagai tambahan. Ulama hanafi juga menyatakan seorang penjual hanya mencantumkan tambahan pada biaya transkasi jual beli tersebut tanpa harus mencantumkan biaya produksi yang menjadi tanggung jawab penjual. Sementara ulama maliki menyatakan bahwa semua biaya langsung maupun biaya tidak langusung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya tersebut akan menambah harga barang. (Adiwarman A. Karim, 2001: 86-87). MURABAHAH DAN APLIKASINYA PADA PERBANKAN SYARIAH 1. Model Praktik Murbahah Sebagai sebuahnama produk perbankan, murabahah merupakan sebuah istilah yang diambil dari bahasa fiqh, hal tersebut bukanlah sebuah permasalah. Namun sebagai sebuah sistem hukum yang menjadi dasar dalam berpijakan untuk membuat ijtihad dalam dunia perbankan, hal ini sangat perlu untuk dianalisis secara mendalam. Karena bagaimanapun sebuah hukum dianggap universal kebenarannya ketika mempunyai pendekatan teoritik yang kuat. Praktiknya skim murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan yang di lakukan dalam bank Syariah. Dimana produk ini merupakan aplikasi dari akad jual beli yang dipraktikkan pada umumnya. Pada kenyataanya tentu saja
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 bank bukanlah sebuah Showroom yang memamerkan barang-barang kebutuhan untuk di jual pada pelanggan atau toko serba ada yang menyediakan setiap kebutuhan pelanggan. Sehingga dalam praktiknya bank senantiasa menyertakan akad tambahan untuk mempermudah kegiatan transaksi, adapun akad penyertaan dalam proses pembiayaan murabahah adalah akad wakalah. Murabahah itu sendiri dalam praktiknya dapat dilakukan dengan pesanan ataupun tanpa pesanan. Dengan kata lain bank melakukan pembelian barang setelah ada pesanan dari nasabah. Dalam kategori ini biasanya pesanan yang dilakukan oleh nasabah mengikat dan tidak mengikat nasabah untuk membeli kembali barang pesanan tersebut. Namun kenyataan dilapangan sangat kecil sekali kemungkinan pembatalan terhadap barang yang telah dipesan. Dalam praktik murabahah pesanan ini, bank boleh meminta Hamish ghadiyah (uang tanda jadi) ketika ijabkabul. Hal ini hanya sekedar untuk menunjukkan keseriusan si pembeli. Secara ilustrasi, proses pembiayaan ini meliputi beberapa langkah diantaranya: a. Calon nasabah mengajukan pembiayaan pada bank untuk pembelian suatu barang yang biasanya barang tersebut telah diketahui terlebih dahulu baik harga dan spesifikasinya oleh calon nasabah. b. Selanjutnya bank akan menentukan margin dan menganalisis kemampuan membayar nasabah dan menentukan jangka waktu pembayaran cicilan tersebut, bila setuju maka terjadilah akad. c. Karena keterbatasan bank sebagai lembaga keuangan, ada dua kemungkinan yang dilakukan bank, a) Bank bekerja sama dengan dealer atau penjual barang dan membeli barang tersebut yang selanjutnya dijual kembali pada nasabah, atau b) Bank menunjuk nasabah sebagai wakilnya untuk
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 120 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
membeli barang tersebut pada toko atau dealer yang diingikan. d. Maka berpindahlah kepemilikan barang, dari bank pada nasabah walaupun nasabah belum membayar terhadap nilai atau barang tersebut. Untuk menghindari kerugian biasanya bank menahan barang jaminan (rahn) walaupun hal tersebut tidak ada dalam kajian fiqh klasik. Lebih jelasnya pola pembiayaan murabahah dapat terlihat pada gambar Skema Murabahah 1. Negosiasi & Persyaratan 2. Akad Jual Beli BANK SYARIAH
NASABAH
6. Bayar 3. Beli
PENJUAL (SUPPLIER)
5. Terima Barang 4. Kirim
Dalam proses pembayarannya, akad Murabahah dapat dilakukan secara tunai ataupun cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan harga, dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Sebagai contoh harga barang untuk tunai (Naqdan) lebih kecil ketimabang harga barang dengan model skim murabahah Lump-Sum diakhir (Mu’ajjal). Dan harga barang dengan skim murabahah cicilan dengan angsurang (Taqsith) lebih mahal dari harga barang Murabahah Naqdan dan Murabahah Mu’ajjal. Namun dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Sehingga hal ini seringkali menjadi kritik terhadap prilaku pada perbankan Syariah. (Adiwarman Karim, 2007: 115). Berdasarkan sumber dana yang digunakan pembiayaan murabahah dalam praktiknya, pembiayaan murabahah dapat dibedakan secara garis besar menjadi tiga kelompok:(Adiwarman Karim, 2007: 116).
a. Pembiayaan murabahah yang didanai dari URIA (Unrestricted Investment Account = Investasi tidak terikat) b. Pembiayaan murabahah yang didanai dari RIA (Restricted Investment Account = Investasi terikat) c. Pembiayaan Murabahah yang didanai modal Bank Bonus atau potongan dapat diberikan bank pada nasabah dalam aplikasi praktik murabahah ketika nasabah mempercepat pembayaran cicilan atau melunasi piutangmurabahahnya sebelum jatuh tempo. Hal ini memberikan kemungkinan berkurangnya jumlah harga jual dari nilai barang, dari awalnya kontak yang dilakukan. Namun bonus atau potongan tersebut pada dasarnya bukanlah bagian dari kontrak atau akad dalam transaksi. 2. Ketentuan Umumdalam Murabahah Dalam aplikasinya Murabahah pada bank syariah merupakan salah satu model pembiayaan pada nasabah. Dimana pembiayaan tersebut diaplikasikan dalam bentuk penyediaan pembeliaan barangbarang investasi maupun barang konsumsi. Skim ini merupakan bentuk pembiayaan jangka pendek yang relative aman dibanding skim pembiayaan lainnya. Beberapa ketentuan umum yang menyertai akad murabahah yang di atur dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah meliputi; Rifqi Muhammad, 2008: 159). a. Jaminan Pada dasarnya jaminan bukanlah satu rukun atau prasyarat yang harus dipenuhi dalam akad murabahah. Jaminan ini dibolehkan untuk diambil oleh sebagai bentuk antisipasi terjadinya penyimpangan dalam penggunaan dana. Jaminan juga dimaksud sebagai bentuk keseriusan nasabah dalam proses pemesanan barang pada Bank. b. Ketentuan Hutang Secara prinsip hutang yang terjadi dalam transaksi Murabahah adalah antara
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 121 -
IAIS Sambas nasabah (pemesan) dan Bank (penyedia barang). Nasabah tidak ada hubungannya dengan orang ketiga (mitra Bank) yang menyediakan barang. Oleh itu bila terjadi keuntungan atau kerugian nasabah tetap mempunyai kewajiban pada Bank untuk menyelesaikan hutangnya. c. Penundaan Pembayaran Ketika seorang nasabah mempunyai kemampuan membayar hutang, maka ia mempunyai kewajiban untuk membayar hutang tersebut tepat waktu. Bila pembeli menunda pembayaran hutang maka pembeli (bank) berhak untuk mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali hutang dan mengklaim kerugian financial yang terjadi akibat penundaan. Atau jika sudah tidak tercapainya musyawarah maka penyelesai dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah. d. Keadaan bangkrut Jika pemesan yang berutang dianggap pailit (bangkrut) dan gagal menyelesaikan hutangnya bank harus menunda tagihan hutangnya sampai ia menjadi sanggup kembali. Atau bisa ditempuh jalan lain meliputi: - Melakukan pembiyaan ulang - Penundaan pembayaran - Perbaikan akad (remedial) - Memperkecil angsuran dengan memperpanjang waktu akad dan margin baru (Rescheduling) - Memperkecil margin keuntungan. 3. Aplikasi Murabahah Skim murabahah merupakan salah satu produk pembiayaan yang paling aman dalam dunia perbankan syariah. Hal ini karena skim ini sesuai dengan prinsip prudent (kehati-hatian) yang menjadi pegangan bagi dunia perbankan dalam menghindari dana macet. Dalam awal perkembangan bank syariah di dunia, hampir semua perbankan Islam memulai dan menjadikan produk ini sebagai produk unggulan. Salah satu keunggulan yang melekat pada skim ini
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 adalah tidak perlunya monitoring yang harus dilakukan bank dalam aplikasi penggunaan dana. (Mervin L. Levis, 2001: 206). Namun tidak sepenuhnya pembiyaan murabahah ini menjadi sesuatu yang menarik. Pro dan kontra juga terjadi dalam skim murabahah ini. Ketika sistem pembayaran Murabahah dilakukan dengan cicilan atau tunda terdapat perbedaan ulama dalam menyikapi hal ini. Sebagian ulama awal tidak membenarkan adanya kenaikan harga dalam jual beli secara kredit yang ditentukan oleh waktu. Dengan alasan bahwa waktu sendiri bukanlah uang atau objek material yang menjadi standar nilai imbalan atau tambahan dari utang. Jashshash seorang ulama dari madzhab Hanafi menyatakan bahwa percepatan pembayaran utang dengan syarat bahwa si kreditur mengurangi jumlahnya adalah riba. Ia mendasarkan alasannya dari pendapat Zaib bin Tsabit yang menilai bahwa keuntungan dari pengurangan semacam itu tidak boleh digunakan si penerima, juga tidak boleh ia berikan pada orang lain. Menurut riwayat Abu Hanifah tidak mau mengakui keabsahan suatu kontrak yang seseorang berkata kepada penjahit “jika anda menjahitnya hari ini, maka anda mendapatkan satu dirham. Dan jika anda menjahitnya besok maka anda akan mendapatkan separuh dirham”. Selanjutnya Syaibani seorang fuqaha dari madzab hanafi juga tidak membenarkan penjualan dengan harga lebih murah pada transaksi kontan dan lebih mahal untuk kredit. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa madzhab Hanafi menganggap suatu nilai tidak dapat dinisbatkan kepada waktu dan sebagai akibatnya suatu kenaikan harga tidak bisa dituntut dari lamanya proses pembayaran dalam suatu transaksi jual beli murabahah. Mereka juga beranggapan bahwa praktik murabahah yang terjadi pada bank Syariah terutama murabahah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 122 -
IAIS Sambas dengan pembayaran tunda terdapat dua harga. Harga tunai dan harga kredit, dimana harga tunai mencerminkan biaya ditambah laba yang diingikan. Dan penjual tunda mencerimankan biaya ditambah laba ditambah penghargaan waktu yang terbuang. Dengan kata lain Siddiqi beranggapan bahwa “mark-up akan cenderung semakin lebih tinggi begitu tenggang waktu yang diberikan semakin lama”. Dilain pihak dalam, sebagian ulama membolehkan praktik murabahah dalam kategori ini, dengan alasan tidak adanya kemiripan kenaikan harga kredit pada jual beli dengan riba. mereka berpendapat bahwa dalam suatu hutang, proses bertambahnya uang dengan tidak adanya alasan selain waktu. Namun pada murabahah ini, adanya kejelasan obejek barang yang diperjual belikan, serta akad yang dibangun diawal transaksi. Dewan Syariah Tadamon Islamic Bank membolehkan kenaikan harga jual yang disebabkan oleh waktu. Mereka berpandangan adalah sah bagian harga dapat ditentukan dengan melihat waktu, hal ini karena adanya nilai yang hilang dari kesempatan waktu untuk memutar atau menginvestasikan modal dari transaksi tersebut. Untuk menanggapi hal tersebut setidaknya ada tiga argumentative yang bisa membenarkan praktik murabahah dalam bank Islam meliputi; a. Al-Qur’an secara tegas melarang riba dan membenarkan praktik jual beli. Dimana dalam skim murabahah memungkinkan pembeli untuk menerima barang dalam praktik perdagangan. b. Teknik Murabahah merupakan salah satu bentuk dari prinsip perbankan klasik. Dimana dalam perbankan klasik mengembangkan pinjaman hanya pada swa-likwiditas. c. Bahwa prinsip bagi hasil tidak sepenuhnya dapat dilakukan dalam bank Syariah, selain karena besarnya resiko juga
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 karena akad yang tidak sesuai dengan kebutuhan nasabah. Kecilnya tingkat resika yang dilakukan dengan skim murabahah ini memberikan alasan bahwa skim ini masih menjadi produk andalan dalam dunia perbankan. Dalam data statistik yang dimunculkan oleh BI untuk November 2008 menunjukkan bahwa pembiayaan yang paling besar di salurkan oleh BPRS di Indonesia adalah pembiayaan dengan skim Murabahah. Dimana angka pembiayaan dengan model Murabahah adalah sebesar 70 %. (www. Bi.go.id,StatistikpembiayaanMurabahah pada BPRS per November 2008 Setidaknya ada 5 (lima) hal yang menyebabkan bisnis perbankan dengan sistem bagi hasil tidak menarik dan terlalu beresiko bagi bank Islam dari pada bisnis dengan menggunakan skim murabahah. Azwar Karim Adiwarman, 2001: 54). Pertama, sumber dana bankIslamyang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem bagi hasil, bagi mereka lebih menguntungkan kredit dengan bunga yang sudah pasti jumlahnya. Ketiga, pengusaha dengan bisnis beresiko rendah juga enggan meminta pembiayaan bagi hasil. Kebanyakan yang memilih model bagi hasil ini adalah mereka yang berbisnis dengan resiko tinggi termasuk mereka yang baru terjun kedunia bisnis sebagai pemula. Keempat, untuk menyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan keuntungan tinggi, pengusaha akan terdorong membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimistis. Hal ini akan menyulitkan bank di kemudian hari. Kelima, banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan yang diberikan pada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 123 -
IAIS Sambas kepada bank juga kecil, padahal pada pembukuan yang sebenarnya keuntungan besar. Dalam istilah ekonomi, masalah kedua ketiga dan keempat disebut dari adverses selection, sedangkan masalah kelima disebut moral hazard. Namun berbeda untuk di wilayah sudan dan iran, dimana total pembiayaan dengan menggunakan skim bagi hasil (mudharabah) justru lebih besar. Dua Negara ini mempunyai pengecualian dalam pembiayaan bagi hasil karena mempunyai dua karakteristik yang tidak dimiliki Negara lain. Pertama, struktur masyarakat yang paternalistis dengan peran sentral ulama dalam kehidupan masyarakat.Ketergantungan masyarakat kepada ulama sebagai tokoh sentral menyebabkan adverse selection dan moral Hazard tidak terjadi atau paling tidak dapat ditekan seminimal mungkin. Kedua, adanya wilayahtul hisba yaitu semacam polisi ekonomi lengkap dengan pengadilan niaga yang segera menyelesaikan perselisihan bisnis.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Penulis dapat mengambil beberap benang merah dari kajian murabahah diatas meliputi: 1. Bahwa murabahah merupakan salah satu praktik jual beli yang dilakukan dalam Islam, yang penuh dengan nilai keadilan. 2. Pada praktik Murabahah dalam bank Islam terdapat penyesuaian sebagai bentuk ijtihad namun prinsip dasar dari Murabahah ini masih tetap dipertahankan. 3. Dalam aplikasinya pada Bank Syariah Murabahah Merupakan salah satu bentuk akad sekaligus nama produk yang sangat populer karena skim ini mempunyai resiko yang sangat kecil.
SIMPULAN Ketika mendekatkan antara kajian fiqh klasik dengan konsep murabahah yang dipraktikkan oleh perbankan syariah, ternyata terdapat beberapa perbedaan yang signifikan, hal ini dapat dimaklumi karena kompleksitas kehidupan manusia saat ini yang tidak ditemukan dalam kajianfiqhklasik. Hal ini memungkinkan timbulnya produk-produk hukum baru yang dikeluarkan dari proses ijtihad.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 124 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Asad M, Al-Kalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Azwar Karim Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001 ………………., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi ke-3 2007 Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Mervin K. Levis & Lativa M. Algaoud, Islamic Banking, Massachussetts: Edward Elgar, 2001 Nabhani An-Taqyuddin, Terj. Maghfur Wachid , Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996 Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syaria, Yogyakarta: P3EI Press, 2008
Saad Morthon Said, Terj. Ahmad ikhrom, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Dzikrul Hakim, 2004 Saeed Abdullah, Terj. Arif Maftuhi, Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpertasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis , Jakarta: Paramadina 2004
Taqi Usmani Muhammad, An Introduction to Islamic Finance Pakistan: Idratul Ma’arif, 2000 www. Bi.go.id, Statistik pembiayaan Murabahah pada BPRS per November 2008
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 125 -
KONSEP FITNAH Sri Harjanti, S.Sos.I, M.S.I*
ABSTRAK Dalam konteks apapun juga Islam selalu mentolerir asalkan termasuk da-lam perbuatan yang terpuji dan semata-mata mencari ridho dari Allah swt. Untuk mensosialisasikan terhadap lingkungan-nya yang multi religius diharapkan sa-ling menjaga keutuhan, memberikan ketenangan yang pada akhirnya terciptalah keharmonisan berkat kerukunan antar seluruh umat manusia. KATA KUNCI: Konsep, Fitnah
*Dosen
Fakultas Dak’wah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
IAIS Sambas PENDAHULUAN Agama Islam adalah agama yang memberikan kedamaian. Sesuai dengan arti Islam itu sendiri yaitu selamat. Secara spesifik tertuju pada umatnya dan secara umum merupakan rahmatan lil’alamin. Hal tersebut mencakup seluruh dimenis kehidupan manusia baik yang menyangkut hubungan di dunia maupun yang pada tujuan hakiki yaitu akhirat. Oleh karena itu ajaran keselamatan tersebut merupakan manifestasi menyeluruh dalam ajaran Islam menganjurkan kepada umatnya senantiasa untuk menyuruh berlomba-lomba dalam hal kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf mencegah dari kemungkaran. Menjauhi segala tindakan dan perbuatan yang dilarang dalam agama. Memahami konteks seutuhnya tindakan dan perbuatan, baik yang merugikan dan mencelakakan diri sendiri sifatnya, maupun pada orang lain, pada konsep fitnah. Fitnah bisa diartikan sebagai perbuataan, perkabaran atau berita yang dapat menyebabkan kepada sesuatu yang buruk dan keji. Dengan kata lain fitnah merupakan tuduhan tidak berasas terhadap orang yang dituduhkan. Orang yang melakukan fitnah bersikap tidak jujur, dusta dan tidak amanah dalam menyebarkan perkabaran atau berita kepada orang lain. Ingatlah bahwa memfitnah lebih besar akibatnya daripada pembunuhan. Sebagaimana digambarkan dalam Al-qur’an surah Al-baqarah ayat 217.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Penjelasan tersebut menganjurkan pada kita khususnya umat Islam untuk menjauhi perbuatan fitnah, bahkan berkewajiban untuk membendung perkabaran buruk tersebut. Dilarang menyanpaikan paikan sesuatu yang tidak baik dan menyebarluaskannya kepada
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 127 -
IAIS Sambas orang lain, sehingga menjaga keutuhan terhindar dari konflik dan permusuhan antar sesama manusia, membangun terwujudnya kedamaian di muka bumi. PEMBAHASAN Pengertian Fitnah Secara etimologi fitnah adalah perkataan atau pembicaraan yang sengaja untuk menjelek-jelekkan orang agar mempunyai kesan buruk terhadap orang yang difitnah. (Js. Badudu dan Sultan Muhammad Zain, 1994: 488). Menurut Kamus Besar Indonesia Kontemporer, fitnah adalah tuduhan, perkataan, cerita dan yang diada-adakan untuk menjelekkan orang lain. Peter Salim dan Yenni Salim, t.th: 420), Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti fitnah adalah perkataan yang bermaksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). (KBI, 1989: 242. Secara bahasa, fitnah berasal dari bahasa Arab, berarti bencana, syirik, cobaan, ujian dan siksaan. Karena ada maksud yang tidak baik dari pembuat fitnah terhadap sasaran fitnah. (Bisri M. Jaelani, 2007: 102). Sedang dalam bahasa sehari-hari kata fitnah juga berarti sebagai penisbatan atau tuduhan suatu perbuatan kepada orang lain, dimana sebenarnya orang yang dituduh tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. (Yusu Qardhyawi, 1995: 105). Menurut Fachruddin Hs dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, pengertian fitnah secara bahasa ialah ujian dengan arti yang luas dintaranya yang dimaksud dengan fitnah itu ialah tekanan dan penindasan terhadap kemerdekaan beragam dan rintangan terhadap pemeluknya dalam menjalankan agamanya. (Facruddin, t.th: 306).
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Fitnah di sini digambarkan sebagai usaha menimbulkan kekacauan seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka, menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama. Juga berarti upaya-upaya penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksud untuk menindas Islam dan kaum Muslimin. (Bisri M. Djaelani, 2007: 103). Literatur sejarah mencatat bahwa peristiwa pembunuhan Ustman ra, khalifah ketiga sepeninggal Nabi Saw adalah peristiwa al-fitnah al-kubra (fitnah besar) yang pertama dan peperangan antara Mu’awiyah dan Ali ra sebagai alfitnah al-kubra yang kedua. Inilah gambaran fitnah buta dan tuli, karena mereka sama-sama Islam tanpa melihat siapa sebenarnya yang benar. Al-qur’an menggambarkan bahwa fitnah adalah lebih kejam dan lebih besar daripada pembunuhan. Q. S. Al-Baqarah ayat 191 dan 217: Artinya: “Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 128 -
IAIS Sambas Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlahmereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir”. Fitnah yang berarti ujian atau cobaan dijelaskan dalam Surah al-Anfal ayat 28: Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Surat at-Taghaabun ayat 15: Artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Dan surah az-Zumar ayat 49: Artinya: “Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru kami, Kemudian apabila kami berikan kepadanya nikmat dari kami ia berkata: "Sesungguhnya Aku diberi nikmat itu hanyalah Karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak Mengetahui”.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 Ayat ini menggambarkan bahwa orang yang beribadah kepada Allah setengah-setengah, apabila menerima kebaikan menjadi tenang hatinya, tetapi apabila menerima cobaan menjadi terbalik. Dijelaskan bahwa cobaan Allah swt yang diberikan kepada manusia itu tidak hanya berupa kegagalan tetapi juga berupa kebaikan. Surah al-Anbiya’ ayat 35: Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. Pemberian Tuhan, baik dan buruk, susah dan senang, untung dan rugi, kalah dan menang dan seterusnya dinamakan juga dengan fitnah, karena menjadi ujian, apakah nikmat Tuhan ini digunakan menjadi bersyukur dan adakah orang yang menerima kesusahan menjadi sadar. Kekacauan, perselisihan, pertentangan, dan peperangan yang terjadi dalam suatu kaum atau dalam masyarakat dunia disebut fitnah juga. Menguji, sanggupkah umat ini menghindarkan diri dari sebabsebab yang menimbulkan fitnah itu. Diizinkan berperang untuk mempertahankan agama, melawan fitnah (tekanan dan penindasan), sampai fitnah itu hilang dan kemerdekaan beragama terjamin. Orang yang lemah iman, mundur ketika menghadapi fitnah (tekanan). Peperangan pada pengertian ini diperbolehkan dalam pengertian guna untuk memproteksi dari tekanan dan penindasan musuh. Dengan maksud apabila secara baik-baik melalui diplomasi dan negosiasi tidak mencapai jalan penye-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 129 -
IAIS Sambas lesaian, barulah hal tersebut diperbolehkan. Ini merupakan tawaran yang terakhir untuk memilih. Akan tetapi dianjurkan sebisa mungkin jika menghindari konflik kekerasan sehingga terwujudlah perdamaian, melenyapkan fitnah. Harta dan anak-anak, kesenangan dan kesusahan adalah fitnah (ujian). Organg munafik selalu membuat fitnah (kekacauan) dalam masyarakat. (Facruddin, t.th: 367). Fitnah yang berarti siksaan disebutkan dalam Surat al-Anfal ayat 25: Artinya:”Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. Ayat senada juga ada dalam Surah alMuddatssir ayat 31. Dalam hadits Ibnu Majah dari Ibnu Umar dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar kaum Muslimin menghindari fitnah yang timbul karena pembicaraan yang salah karena terpelesetnya lisan ibaratnya terpelesetnya pedang. (Bisri M. Djaelani, 2007: 103).
Dari berbagai paparan definisi diatas dapatlah dikatakan fitnah itu memiliki pengertian dan pemaknaan yang luas ditinjau dan disesuaikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi kehidupan. Baik fitnah dijadikan sebagai sumber konflik, membawa petaka bagi si korban yang difitnah, maupun fitnah dalam pengertian sebagai cobaan, ujian dan rintangan bagi orang yang beragama (hablum minallah) sebagai bukti keteguhan keimanan dan peningkatan ketaqwaan pada Khaliq-Nya. Maka dari
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 itu memaknai kata fitnah haruslah dipahami secara keseluruhan dari latar belakang turunnya ayat dan konteks kalimat.
Konsep Fitnah Mempreventif Konflik Melahirkan Perdamaian Sebagaimana yang telah diuraikan beberapa pengertian fitnah dan batasannya baik secara kata maupun bahasa. Telah jelas bahwa fitnah sangat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup orang yang difitnah, maka dari itu Islam yang di dalamnya mengajarkan dan menganjurkan konsep cinta kasih dan kedamaian. Allah mengutus Rasulullah sebagai wujud kasih Allah untuk Alam. Q. S al-Anbiya’ ayat 107: Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Rasulullah, Nabi yang mewakili kasih-Nya dan selanjutnya diakui sebagai rahmatan lil ‘alamin (kasih sayang buat alam dunia). Bagi umat Muslim menjadikan contoh tauladan dan sandararn yang demikian mengikuti Nabi SAW harus menjadi seorang yang pengasih dan penyayang untuk semua umat manusia. Siapa pun yang zalim, ia tidak memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain, ia bukan pengikut nabi-nabi. Islam sangat melarang umatnya agar tidak melakukan perbuatan yang keji dan amoral khususnya fitnah. Berangkat dari pernyataan tersebut konsep fitnah di sini memfokuskan pembahasan fitnah dalam upaya preventif konflik disintegritas, menghindarkan dan mengantisipasi timbulnya kekacauan, konflik intern personal dan antar personal, masyarakat dan bahkan ekternal antar agama. (Asghar Ali Engineer, 2004: 196-197).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 130 -
IAIS Sambas Larangan Berbuat Fitnah Ingatlah bahwa memfitnah lebih besar akibatnya daripada perbuatan pembunuhan (Surah Al-Baqarah ayat 217). Jelaslah setiap umat bukan saja dituntut untuk membendung perkhabaran berunsur fitnah dan mengiyakan sama dengan memihak kepada golongan yang sesat. Memfitnah dan mengiyakan fitnah kedua-duanya adalah dosa besar. Justru Allah menyuruh menghalang orang menyebarkan fitnah agar tidak terus mengamalkannya. (Depaq RI, 2007: 29). Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 193: Artinya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya sematamata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. Dan firman Allah dalam Surah AlAnfal ayat 25: Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (Asghar Ali Engineer, 2004: 179). Hal tersebut juga berkenaan dengan sabda Rasulullah yang artinya: Tidak
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 akan masuk surga orang yang suka adu domba (memfitnah). (H.R. Bukhari). (ttp: hajisuryo. Journal. Item/15, diakses 10 Oktober 2014). Dalam hadits riwayat Ibn Majah dari Ibn Umar dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda memerintahkan agar kaum Muslimin menghindari fitnah (yang timbul karena pembicaraan yang salah karena terpelesetnya lisan ibarat terpelesetnya pedang). Setiap masyarakat Islam harus samasama bertanggung jawab menjadikan peraturan dan disiplin Islam itu sebagai landasan hidup untuk memelihara berhubungan yang harmonis dan kemesraan yang sejati. Berikut adalah caracara untuk menghindarkan diri daripada angkara fitnah: Perlu diselidiki terlebih dahulu setiap berita yang diterima (untuk menentukan kebenarannya) supaya tidak mendatangkan keburukan kepada seseorang atau sesuatu kaum/pihak. Berhati-hati dan rasional dalam menerima apa saja berita atau perkabaran yang dating kepada kita. Menjaga keharmonisan, kemesraan dan perpaduan di kalangan umat Islam sejagat. (www. Geocities.com/familyportal agama html). Oleh karena itu kita perlu hati-hati dalam setiap perbuatan, tindakan dan pertuturan agar tidak terjerumus ke lembah fitnah. Mudah-mudahan kita terhindar daripada angkara fitnah. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Yunus ayat 85-86:
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 131 -
IAIS Sambas Artinya: “Lalu mereka berkata: "Kepada Allahlah kami bertawakkal! Ya Tuhan Kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang'zalim, Dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir."
Anjuran melakukan Perdamaian Berpijak dari konsep fitnah maka dianjurkan meminimalisirnya sehingga terhindarnya konflik, yang berdampak pada tindakan yang berbahaya menjadi pokok dan tujuan perdamaian antar individu dan individu, individu dan kelompok, kelompok dan masyarakat, bahkan antar agama. Ajaran agama selalu menganjurkan perdamaian dan tidak mentolerir kekerasan. Agama selalu mengajarkan pada umatnya untuk saling santun dan menghormati terhadap sesamanya. Tidak terkecuali agama Islam. Islam selalu mengajarkan kepada umatnya sikap dan harapan-harapan yang realistis dengan mengambil jalan tegas dalam memecahkan persoalan sehari-hari memusatkan perhatian pada semangat persamaan, persaudaraan, cinta dan kemurnian karakter. Kata Islam sendiri yang merupakan kata jadian dari bahasa Arab "salama" mengandung arti menjadi tentram, menjadi jujur, dan betul-betul damai. (Abdul Qadir Shaleh, 2003: 115-116). Dengan merujuk dari Al-Qur'an Surah Al-baqarah ayat 190-193, dengan jelas mengajarkan dan menganjurkan betapa Rasulullah mengajak umatnya melakukan perdamaian meskipun perdamaian itu dilakukan dengan kafir Quraisy. Melihat latar belakang historis turunnya ayat (asbabun nuzul), dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan perdamaian di Hudaibiyyah yaitu ketika Rasulullah SAW dicegat oleh kaum Quraisy untuk
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain, agar kaum Muslimin menunaikan umrah pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah Saw beserta para sahabatnya mempersiapkan diri untuk melaksanakan umrah sesuai dengan perjanjian, mereka, kaum Quraisy memerangi dan menghalangi mereka masuk masjidil haram, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. (Shaleh & H.A.A Dahlan, 2007: 58). Kendati demikian di zaman itu Rasulullah dan para sahabat telah dikhianati dan difitnah oleh orang-orang Yahudi dan Quraisy, mereka bersatu bersekongkol untuk memusuhi masyarakat Muslim. Sejumlah penyembah berhala, pada sisi lain mengadakan perjanjian dengan Muslim dan menghormati setengah hati. Perjanjian damai Hudaibiyyah dengan persyaratan-persyaratan yang sama sekali tidakpihakMuslim, juga memperlihatkan sebisa mungkin Nabi Saw menghindari bentrokan bersenjata. (Asghar Ali Engineer, 2004: 18). Menurut Sir Syed Ahmad Khan yang dikutip Asghar, menggambarkan secara rinci dalam tafsir Al-Qur'an (jilid II) saat menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an berkenaan dengan izin berperang. Meskipun Muslim diperbolehkancmenggunakan jalan kekerasan untuk mempertahankan diri dalam suatu keadaan, visi transendennya adalah damai. Dan visi inilah yang lebih penting daripada perang itu sendiri. Damai dan keamanan hidup manusia merupakan yang paling mendasar dari ajaran Qur’an. (Asghar Ali Engineer, 2004: 18). Q.S. Al-Maidah ayat 32:
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 132 -
IAIS Sambas Artinya: “…..Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar menentang pertumpahan darah atau membunuh satu nyawa sekalipun, membunuh orang tidak bersalah tanpa sebab. Dalam konteks apapun juga Islam selalu mentolerir asalkan termasuk dalam perbuatan yang terpuji dan sematamata mencari ridho dari Allah swt. Untuk mensosialisasikan terhadap lingkungannya yang multi religius diharapkan saling menjaga keutuhan, memberikan ketenangan yang pada akhirnya terciptalah keharmonisan berkat kerukunan antar seluruh umat manusia.
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015 talitas aktifitas kehidupan yang ditimbulkan bagi si penerima fitnah. Sebagaimana yang digambarkan dalam alqur’an, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Konsep fitnah sendiri menimbulkan nilai-nilai keburukan inilah sudah barang tentu bagi umat Islam khususnya mempunyai tugas untuk mengantisipasi, meredam, menghindarkan dan meminimalisirkan, jangan sampai terjadi konflik yang disebabkan oleh fitnah. Dengan upaya preventif dan antisipatif semua pihak hingga mewujudkan suasana yang kondusif, aman, damai, cinta, kasih sayang mewujudkan perdamaian antar umat, baik sesama Muslim maupun antar umat beragama sebagaimana yang telah difigurkan oleh Rasulullah Saw dan Islam yang dibawanya sebagai wujud agama Rahmatan lil ‘alamin.
SIMPULAN Dari penjelasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa pengertian fitnah dengan berbagai perspektif melahirkan pengertian yang beragam apabila dilihat dari sudut pandang perspektif dan pendekatn, sesuai dengan tingkat pemahaman dan penggunaan makna dari konsep fitnah tersebut. Dilihat dari efek/akibat yang ditimbulkan fitnah membawa nilai negatif dan memudaratkan pada si penerima fitnah atau orang lain. Karena fitnah dapat melumpuhkan to-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 133 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Ali, Asghar, Engineer, Liberalisasi Teologi Islam, Membangun Teologi Damai dalam Islam, Yogyakarta: Alenia Benteng Jendela Aksara, 2004
Apa itu pengertian fitnah, buruk sangka dan khianat. http://hajisunaryo. Multiply.com/journal/item/15. Badudu, JS. dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994 Departemen Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Surakarta: Media Insani Publishing, 2007
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Djaelani, Bisri M. Ensiklopedi Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007 Fachruddin Hs, Ensiklopedi Al-Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 134 -
IAIS Sambas
Vol II No. 1 Juni – Desember 2015
Jelaskan Pengertian Fitnah dan Kesan Serta Cara-cara Menghindarkan Masyarakat dari angkara Fitnah. http://www.geocities.com/familyportal 2003/soal agama. html. Qadir, Abdul Shaleh, "Agama" Kekerasan, Jogjakarta: Prisma Sophie, 2003
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Salim, Peter dan Yenny Salim, Edisi Pertama. Kamus Besar Indonesia Kontemporer
Shaleh, Q. dan H.A.A. Dahlan, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 135 -